IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. KONDISI UMUM RUMAH SAKIT PMI Rumah Sakit PMI Bogor merupakan salah satu rumah sakit swasta utama yang ada di Kota Bogor. Rumah Sakit PMI telah berdiri sejak tahun 1931. Seluruh aktivitas yang dilakukan di rumah sakit menghasilkan limbah. Limbah Rumah Sakit PMI dibagi menjadi dua kelompok besar, yaitu limbah klinis dan limbah non klinis. Selanjutnya limbah tersebut juga dibagi berdasarkan bentuk fisik menjadi dua bagian, yaitu limbah padat dan limbah cair. Limbahlimbah yang dihasilkan Rumah Sakit PMI Bogor dikelola oleh bagian Kesehatan Lingkungan Rumah Sakit PMI (Kesling). Rumah Sakit PMI Bogor memiliki Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) yang digunakan untuk mengolah limbah cair baik medis maupun non medis. Mekanisme pengolahan limbah dilakukan secara aerobik yang dilengkapi dengan dua buah blower. Adapun persentase limbah yang masuk ke dalam IPAL ditunjukkan oleh Tabel 7. Tabel 7. Persentase limbah cair yang masuk ke IPAL No 1 2 3 4 5 6 Sumber Limbah Laundry Instalasi Gizi Laboratorium Rawat Inap Sekitar Poliklinik Radiologi Persentase (%) 40 20 15 15 5 5 Debit inlet limbah yang masuk ke dalam IPAL sebesar ± 216 m3/hari dengan kapasitas limbah cair yang masuk sebesar 300 m3/hari dan outlet limbah yang keluar dari IPAL sebesar ± 10 m3/hari. Rumah Sakit PMI bekerja sama dengan PT. Sandifa Putra Yumada dalam hal pemeliharaan IPAL. Adapun hasil pengolahan air limbah selanjutnya akan diuji di laboratorium BPLHD2 setiap bulannya. Rumah Sakit PMI Bogor tidak dapat menggunakan kembali hasil pengolah limbah cair, sehingga perlu adanya teknologi penjernihan air lebih lanjut, agar air layak untuk digunakan kembali oleh rumah sakit. Sumber air bersih Rumah Sakit PMI berasal dari PDAM dan sumur air tanah. Berikut ini merupakan hasil uji outlet limbah yang keluar dari IPAL. Tabel 8. Hasil uji outlet pembuangan limbah cair Rumah Sakit PMI dari IPAL No 1 2 3 4 5 6 7 Parameter Amonia BOD(20o,5 hari) COD(Dicromat) pH Phosfat Zat padat tersuspensi Bakteri koli Satuan mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L Hasil uji 0.87 8.90 32.12 8.1 1.76 2.0 14.104 Sumber: Arsip Rumah Sakit PMI Bogor bulan Agustus (2010) 21 Pengelolaan limbah padat Rumah Sakit PMI Bogor terdiri atas sampah non klinis (dikemas dalam plastik warna hitam) dan sampah klinis (dikemas dalam plastik warna kuning) yang sudah ditetapkan oleh peraturan pemerintah yang tertuang dalam peraturan KEPMENKES No.1204/MENKES/SK/X/2004 tentang persyaratan kesehatan lingkungan rumah sakit. Rata-rata limbah padat klinis yang dihasilkan sebanyak ±150 kg/hari dibakar dengan menggunakan incinerator dengan kapasitas pemasukan 25 kg/jam dan dengan suhu pembakaran mencapai 1200oC, sedangkan untuk rata-rata limbah padat non medis ±3 m3/hari dibuang ke TPS yang selanjutnya diangkut ke TPA Galuga. 4.1.1. Potensi Bahan Isian dan Potensi Pemanfaatannya Limbah cair yang digunakan dalam penelitian, yaitu limbah cair yang berasal dari instalasi gizi. Limbah cair yang dihasilkan oleh instalasi gizi merupakan sisa-sisa bahan makanan pasien yang terdiri atas bahan makanan kering dan bahan makanan basah (Lampiran 4). Hasil pengujian kadar COD dan BOD 5 limbah cair gizi, diketahui bahwa limbah cair tersebut memiliki kadar COD sebesar 192 mg/L masuk dalam golongan II, sedangkan BOD5 sebesar 489 mg/L tidak termasuk standar baku mutu limbah cair. Pengukuran kadar air dilakukan untuk mengetahui kadar air yang dimiliki oleh bahan padatan yang terdapat pada penampungan sementara limbah. Pengukuran kadar air padatan digunakan untuk mengetahui potensi pencampuran padatan dengan limbah cair. Adapun hasil pengukuran kadar air ada pada Tabel 9. Tabel 9. Kadar air padatan N Sampel 1I Kadar Air(%) 84.16 2II 3III 83.60 4IV 84.62 84.38 Rata-rata 85.13 Dari hasil pengukuran limbah padat yang dibuang bersama limbah cair gizi dapat diketahui bahwa setiap harinya limbah padat yang ada di penampungan sementara limbah cair gizi ±11.59 kg/hari, selain itu rata-rata debit outlet yang keluar dari saluran pembuangan sebesar 15.6 m3/hari. Limbah cair dan padatan yang digunakan pada penelitian pendahuluan adalah bahan yang sama, namun dengan komposisi yang berbeda yaitu limbah cair, limbah cair dengan kadar padatan 4%, dan limbah cair dengan kadar padatan 8.3%. Sebelum melakukan penelitian terlebih dahulu dianalisa C/N ratio dari masingmasing komposisi tersebut. C/N ratio yang optimum dalam pembentukan gas metan adalah antara 20:1 sampai 30:1 (Abdullah, et all, 1998). Pengujian C/N ratio dilakukan pada tiga komposisi bahan yaitu limbah cair, limbah dengan padatan 4%, dan limbah cair dengan penambahan padatan 8.3%. Hasil pengujian menunjukkan bahwa C/N ratio limbah cair gizi sebesar 16.36, sedangkan untuk limbah cair dengan padatan sebanyak 22 8.3% sebesar 38.8, dan limbah cair padatan 4 % sebesar 16.95. Hasil pengujian C/N ratio disajikan dalam Tabel 10 Tabel 10. Hasil pengujian C/N ratio limbah cair gizi pada kondisi awal proses Bahan Limbah Cair Limbah Cair kadar padatan 8.3% Limbah Cair kadar padatan 4 % C 0.043 5.34 0.39 N 0.0026 0.14 0.023 Ratio C/N 16,36 38,80 16.95 Limbah cair gizi yang digunakan dalam pembuatan biogas pada penelitian ini adalah limbah cair gizi tanpa padatan. Pengamatan limbah cair tanpa padatan digunakan sebagai kontrol pada proses pembentukan biogas dan dianalisis secara teknis. Bahan ini dipilih berdasarkan hasil uji pendahuluan dan tanpa penambahan bahan lain untuk memperbaiki C/N ratio, karena ingin mengetahui potensi biogas yang dapat dihasilkan. Penelitian pendahuluan dilakukan pada tiga jenis bahan dengan waktu retensi selama 40 hari. Uji pendahuluan yang dilakukan pada tiga komposisi ditunjukkan oleh Gambar 8. Produksi gas dari masing-masing komposisi gas berfluktuatif. Komposisi yang menghasilkan gas optimum adalah limbah cair tanpa padatan dengan produksi rata-rata 0.718 liter/hari, sedangkan untuk limbah cair dengan padatan 4 % sebesar 0.689 liter/hari, dan limbah cair dengan padatan 8.3 % sebesar 0.665 liter/hari. Berdasarkan data produksi gas tersebut maka dipilih limbah cair tanpa padatan sebagai bahan baku pada penelitian utama. Gafik Produksi Biogas dengan Tiga Komposisi yang Berbeda Volume Biogas (L) 2 1.5 Limbah cair tanpa padatan 1 Limbah Cair padatan 8 % 0.5 0 -0.5 0 10 20 30 40 Waktu (hari ke-) 50 Limbah Cair Padatan 4% Gambar 8. Grafik produksi biogas limbah cair gizi uji pendahuluan 4.1.2. Kebutuhan Energi Kebutuhan energi di Rumah Sakit PMI terutama gas, yaitu kegiatan memasak di instalasi gizi, pengeringan pakaian di bagian laundry, dan pembakaran sampah padat medis dengan menggunakan incenerator. Gas yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan energi tersebut berasal dari gas LPG dan gas alam. LPG hanya digunakan di 23 instalasi gizi dengan penggunaan sebanyak 5 tabung/bulan. Adapun data kebutuhan gas alam di Rumah Sakit PMI dapat dilihat pada Tabel 11. Tabel 11. Kebutuhan gas alam di Rumah Sakit PMI Bogor No 1 2 3 Uraian Incenerator Laundry Instalasi gizi Kebutuhan Gas (m3/bulan) 286 1583 3247 Sumber: Arsip Rumah Sakit PMI Bogor, 2010 4.2. UNJUK KERJA 4.2.1. Persiapan Bahan Isian Bahan isian berasal dari instalasi gizi yang berupa limbah cair dan padatannya. Limbah cair buangan diambil dari tempat penampungan sementara dan dipisahkan dari padatan. Bahan isian diambil sekitar pukul 07.00 WIB. Bahan yang digunakan merupakan bahan yang dibuang dari siang hingga pagi hari. Limbah cair tersebut mengandung bahanbahan organik yang dapat diproses lebih lanjut secara anaerobik. Bahan dimasukan ke dalam digester setiap harinya sebanyak 4.8 liter dengan waktu retensi selama 40 hari. Gambar 9. Pengambilan padatan dari tempat penampungan sementara limbah cair gizi 4.2.2. Hasil Fermentasi Anaerobik Percobaan pertama dilakukan dengan memasukkan limbah cair ke dalam digester secara kontinyu setiap hari. Banyaknya limbah yang dimasukan sebanyak 4.8 liter dengan retensi waktu selama 40 hari. Selanjutnya dengan menggunakan limbah yang sama dilakukan percobaan kedua, yaitu memasukkan limbah secara kontinyu ke dalam digester dengan keadaan digester telah terisi oleh limbah pada percobaan sebelumnya. 24 Biogas yang dihasilkan dari limbah cair gizi memiliki pola yang berfluktuasi. Pola Gambar 10. Biodigester produksi biogas tersebut dipengaruhi oleh kondisi lingkungan. Instalasi biogas yang diletakkan di atas tanah membuat suhu yang terdapat di dalam ruangan anaerob (digester) tidak stabil, sehingga menyebabkan produksi harian biogas memiliki pola pertumbuhan yang tidak teratur (Fauziyah, 1996). Data produksi biogas pada percobaan I dapat dilihat pada Gambar 11, biogas mulai terbentuk pada hari ke-11 sebanyak 1.038 liter pada tekanan 1 atm dan suhu larutan 30.4oC, sedangkan untuk produksi maksimum biogas dicapai pada hari ke-19 sebanyak 10.672 liter pada tekanan 1 atm dan suhu larutan 29 oC. Produksi biogas terhambat disebabkan oleh suhu lingkungan di lokasi penempatan biodigester yang rendah berkisar antara 24oC-27oC, sedangkan suhu optimum untuk mikroba menghasilkan biogas berkisar antara 30oC-35oC (Yani dan Darwis, 1990). Produksi biogas terendah pada percobaan I terjadi pada hari ke-38, biogas yang dihasilkan sebanyak 3.322 liter pada tekanan 1 atm dan suhu larutan 29.2oC. Produksi biogas menurun disebabkan oleh kondisi lingkungan. Pada hari tersebut turun hujan, suhu lingkungan yang rendah berpengaruh pada produksi biogas. Volume Biogas (L/hari) Grafik Produksi Biogas Percobaan I tipe kontinyu 12.000 10.000 8.000 6.000 4.000 Produksi Biogas 2.000 0.000 -2.000 0 10 20 30 40 50 Waktu (Hari ke-) Gambar 11. Grafik produksi biogas percobaan I Setelah dilakukan percobaan I, percobaan ke II dilakukan dengan menggunakan bahan yang sama dan ditambahkan setiap hari sebanyak 4.8 liter, dengan kapasitas pengisian ½ volume tangki pencerna. Berdasarkan pengamatan yang dilakukan, produksi maksimum biogas pada percobaan II pada hari ke-23, yaitu sebanyak 8.305 liter dengan tekanan 1 atm dan suhu larutan 30.8oC, sedangkan produksi terendah pada hari ke-36 sebanyak 4.360 liter dengan tekanan 1 atm dan suhu larutan 28 oC. Grafik produksi biogas pada percobaan II dapat dilihat pada Gambar 12. 25 Volume Biogas(L/hari) Grafik Produksi Biogas Percobaan II tipe Kontinyu 10.000 8.000 6.000 4.000 Produksi Biogas 2.000 0.000 0 10 20 30 40 50 Waktu(Hari ke-) Gambar 12. Grafik produksi biogas percobaan II Produksi biogas pada percobaan I dan percobaan II selama waktu retensi 40 hari cukup berfluktuatif. Hal ini dapat disebabkan suhu lingkungan yang tidak stabil, sehingga berpengaruh terhadap aktivitas bakteri metanogen yang rentan terhadap perubahan suhu. Perubahan suhu yang sangat cepat akan menyebabkan produksi gas menurun. Perubahan suhu terjadi karena perubahan cuaca yang terjadi di lingkungan sekitar tempat digester. Berikut ini merupakan profil suhu larutan dalam digester dan suhu lingkungan selama proses pembentukan biogas. Profil Suhu Pada Proses Pembentukan Biogas Percobaan I 50 Suhu (oC) 40 30 20 Suhu Lingkungan 10 Suhu Larutan 0 0 10 20 30 40 50 Waktu (Hari ke-) Gambar 13. Profil suhu larutan dan suhu lingkungan selama proses percobaan I Profil suhu pada percobaan I menunjukkan bahwa pada awal proses suhu larutan dan suhu lingkungan relatif sama, seperti yang terjadi pada hari ke- 9 dan hari ke-17. Pada hari ke-9 suhu larutan dan suhu lingkungan mencapai 27 oC, sedangkan pada hari ke-17 suhu larutan dan suhu lingkungan mencapai 29 oC. Suhu mulai meningkat pada hari ke-11 hingga hari ke-13 mencapai 34.9oC, selanjutnya terjadi penurunan kembali hingga mencapai 27 oC. Kondisi optimum terjadi pada hari ke-20 dengan suhu larutan yang 26 tercapai 32.5oC. Suhu larutan bahan mencapai 30oC, menunjukkan bahwa tempat perkembangan bakteri anaerob telah mencapai kondisi optimum (Arifiyah, 2009). Profil suhu yang terbentuk menunjukkan kondisi cuaca yang tidak menentu, kondisi lingkungan tempat dilakukannya penelitian merupakan daerah yang memiliki frekuensi hujan cukup tinggi. Pada hari ke-19 hingga hari ke-41 terjadi perubahan yang drastis, dimana suhu larutan dalam digester lebih besar dari suhu lingkungan. Hal ini disebabkan oleh kondisi lingkungan yang berubah-ubah, sedangkan suhu dalam digester hanya mengalami perubahan secara lambat, sehingga hasil pengukuran menunjukkan bahwa suhu larutan di dalam digester lebih tinggi dibandingkan dengan suhu lingkungan. Profil Suhu Pada Proses Pembentukan Biogas Suhu (oC) 40 30 20 Suhu Lingkungan 10 Suhu Larutan 0 0 10 20 30 40 50 Waktu (hari) Gambar 14. Profil suhu larutan dan suhu lingkungan selama proses percobaan II Profil suhu percobaan II memperlihatkan bahwa hari ke-1 hingga hari ke-40 suhu lingkungan kembali menjadi lebih tinggi dibandingkan dengan suhu larutan di dalam digester. Keadaan optimum yang dicapai pada percobaan II, yaitu pada hari ke-22 suhu larutan bahan mencapai 30.2oC. Selain suhu, faktor yang dapat mempengaruhi produksi biogas adalah pH larutan di dalam digester. Pada awal proses pH larutan bernilai 7, selanjutnya mulai hari ke-5 terjadi penurunan pH hingga bernilai 6, untuk mengantisipasi penurunan pH secara terus – menerus, maka pemberian kapur dilakukan untuk meningkatkan pH larutan hingga diperoleh pH bernilai 7. Penurunan pH biasa terjadi pada awal proses, pada tahap awal terjadi pemecahan larutan seperti lemak, protein, dan polisakarida menjadi asam-asam amino dan asam-asam berantai pendek. Asam berantai pendek yang dihasilkan selanjutnya diubah menjadi asam asetat yang dapat menyebabkan kondisi di dalam digester menjadi asam. Bila derajat keasaman lebih kecil atau lebih besar dari kisaran nilai pH 7.2-8.2, maka bahan tersebut akan mempunyai sifat toksik terhadap bakteri metanogenik (Fry, 1974). 27 Profil pH selama Proses Produkasi Biogas 10 pH 8 6 4 pH Larutan 2 0 0 20 40 60 80 100 Waktu (Hari ke-) Gambar 15. Grafik perubahan pH selama proses Kondisi pH larutan mencapai 7 pada hari ke-20, kemudian pada hari ke-37 pH mulai mengalami peningkatan hingga pada hari ke-40 pH mencapai 8, nilai pH tersebut bertahan hingga akhir proses. Menurut Haryati (2006) kondisi keasaman yang optimal pada pencernaan anaerobik yaitu sekitar 6.8-8, laju pencernaan akan menurun pada kondisi pH lebih tinggi atau lebih rendah. 4.2.3. Analisis Bahan Isian Kadar padatan dalam limbah cair sangat berpengaruh, semakin banyak padatan yang ada pada limbah cair maka C/N ratio semakin meningat. Hal ini dapat dilihat dari hasil pengujian C/N ratio bahwa limbah cair tanpa penambahan padatan memiliki C/N ratio 16.36, sedangkan jika ditambahkan padatan sebanyak 8.3 % maka C/N ratio meningkat menjadi 38.8, sedangkan ditambahkan padatan 4% C/N ratio menjadi 16.95, peningkatan C/N ratio hanya 0.59 dari kondisi limbah cair tanpa padatan. Hasil analisis laboratorium menunjukkan bahwa peningkatan carbon diikuti dengan peningkatan nitrogen, kandungan nitrogen yang tinggi berpengaruh terhadap nilai C/N ratio, sehingga nilai C/N ratio tidak mengalami peningkatan yang signifikan dan tidak mencapai ratio C/N yang optimum dalam pembentukan biogas. Menurut Widodo (2006) produksi gas metan tergantung pada C/N ratio dari bahan, suhu, pH larutan, retention time, dan toxicity. Limbah cair gizi memiliki C/N ratio 16.36, kandungan tersebut kurang optimum untuk memproduksi biogas, karena untuk menghasilkan biogas yang optimum dibutuhkan C/N ratio antara 20:1 sampai 30:1. Pada akhir proses anaerobik, C/N ratio diukur kembali untuk mengetahui bahwa bakteri melakukan aktivitas, dan mendegradasi bahan organik yang terdapat pada limbah, hal ini ditandai dengan berkurangnya C/N ratio. Berikut ini data pengujian hasil akhir proses limbah cair yang disajikan pada Tabel 12. 28 Tabel 12. C/N ratio pada akhir proses anaerob limbah cair No Keterangan C (ppm) N (ppm) C/N 204.80 101.85 2.01 Pemasukan tipe kontiyu 1 Limbah cair Instalasi gizi Pemasukan tipe batch 1 Limbah cair instalasi gizi padatan 4% 1024 305.55 3.35 2 Limbah cair instalasi gizi padatan 8% 1843.20 341.20 5.40 Zat toksik dapat menyebabkan kegagalan dalam proses penguraian limbah secara anaerobik. Limbah cair instalasi gizi mengandung tanin yang diperoleh dari buah pisang, kedelai, dan sereal yang dibuang dari dapur instalasi gizi. Selain itu, limbah cair telah terkontaminasi oleh deterjen yang digunakan untuk mencuci peralatan memasak di ruang instalasi gizi. Penggunaan detergan pada saat pencucian peralatan memasak sebanyak 20 cup/bulan. Detergan merupakan pembunuh semua jenis bakteri, sehingga apabila detergan terdapat pada limbah cair yang dijadikan bahan baku sebesar 20-40 ppm (Telaah, 1980 dalam Fauziyah, 1996), maka kerja bakteri metanogen dapat menurun atau bahkan terhenti. 4.2.4. Analisis Teknis Pada awal proses anaerobik, penampungan biogas menggunakan drum besi dengan volume 56 liter, namun pada pelaksanaannya tekanan biogas yang sangat rendah menyebabkan biogas tidak dapat masuk ke penampungan dan menaikan tampungan, sehingga pengukuran volume tidak dapat dilakukan. Selanjutnya penampungan diganti dengan tampungan plastik yang berkapasitas 35 liter pada hari ke-12 pada percobaan I. Uji bakar dilakukan setiap hari pada percobaan kedua. Produksi rata-rata biogas pada percobaan kedua mencapai 5.78 liter/hari. Bahan yang digunakan pada percobaan pertama adalah bahan yang segar yang berasal dari tempat penampungan sementara limbah cair. Percobaan pertama merupakan percobaan awal, sehingga hasil dari awal proses ini yang akan dijadikan sebagai activated sludge yang akan membantu memicu pertumbuhan bakteri metanogen pada percobaan II. Pembibitan dengan activated sludge akan menghasilkan gas yang lebih sedikit bila dibandingkan dengan kotoran ternak segar (Suphwat, 1979). Perbedaan ini disebabkan oleh kandungan bakteri metan pada activated sludge tidak sebanyak bakteri metan pada kotoran ternak segar. Oleh sebab itu, produksi biogas yang dihasilkan oleh limbah cair tidak cukup banyak setiap harinya dengan konsentrasi gas metan yang rendah pula, selain itu nyala api saat uji bakar yang masih berwarna merah dan tidak berwarna dengan semburan yang kurang kuat. 29 (a) (b) Gambar 16. Hasil uji bakar (a) limbah cair dengan padatan 4% dan (b) Limbah cair tanpa padatan Pembentukan biogas memerlukan kondisi yang optimum. Limbah cair gizi dimasukkan ke dalam biodigester secara kontinyu dengan Retention Time (RT) 40 hari, dengan RT 40 hari diharapkan bahan dapat mencapai kondisi optimum. Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan, bahwa pada daerah tropis umumnya suhu yang tercapai di dalam reaktor sekitar 25-30oC, RT berkisar antara 40-50 hari (Gunnerson and stuckey, 1986). Biogas yang diproduksi dari bahan organik tidak berwarna, tidak menyala, dan umumnya mengandung 60% metan dan 40% karbondioksida (Wahyuni, 2009). Analisis gas metan dilakukan pada dua bahan dengan komposisi yang berbeda, yaitu limbah cair gizi tanpa padatan dan limbah cair gizi dengan padatan sebanyak 4%. Bahan yang diuji diambil dengan menggunakan jarum suntik 10 ml dan karet yang digunakan untuk menutup bagian jarum untuk menghindari kebocoran. Pengujian konsentrasi gas metan dilakukan dengan menggunakan gas chromatography (GC). Berdasarkan hasil analisis Laboratorium Terpadu IPB limbah cair gizi dengan padatan sebanyak 4% menunjukkan konsentrasi gas metan sebesar 448.98 ppm atau 0.04%, sedangkan untuk limbah cair gizi tanpa padatan menunjukkan konsentrasi gas metan sebanyak 395.2 ppm atau 0.04%. Biogas tersebut dapat terbakar walaupun daya bakarnya rendah, hal ini disebabkan adannya gas lain selain gas CH4 yang mampu bakar tetapi tidak dianalisis pada penelitian ini. Hasil analisis kadar metan yang kecil dapat disebabkan oleh pengambilan sampel gas limbah cair gizi dengan 4% padatan pada hari ke-23, dimana pada hari tersebut produksi gas metan sedang mengalami penurunan. Adapun faktor lain yang dapat menjadi penyebab konsentrasi gas yang rendah, yaitu bahan baku yang telah tercampur dengan zat toksik seperti detergen dan bahan makanan yang dapat menyebabkan patogen bagi bakteri metanogen. Hasil pengujian menunjukkan bahwa penambahan bahan padatan untuk meningkatkan C/N ratio bahan baku ke dalam limbah cair tidak berpengaruh banyak terhadap peningkatan kadar gas metan. Menurut Widodo (2006) nilai ratio C/N yang rendah, menyebabkan nitrogen akan bebas dan berakumulasi dalam bentuk amoniak (NH4), NH4 akan meningkatkan derajat pH bahan dalam pencerna dan akan mulai menunjukkan akibat racun pada populasi bakteri metan. Hasil uji bakar yang telah dilakukan setiap hari menunjukkan bahwa biogas yang dihasilkan kurang bagus karena warna nyala api yang tidak berwarna biru seperti halnya biogas yang dihasilkan dari kotoran ternak. Pada percobaan II hari ke-23 merupakan produksi gas maksimum, gas yang dihasilkan sebanyak 8.305 liter suhu 30.8 oC dan 30 tekanan 6.8 atm dengan uji bakar selama 00:01:28 detik. Biogas memiliki bau yang tidak nyaman karena mengandung hydrogen sulfide (H2S). Hasil akhir reaksi anaerob limbah cair gizi tanpa padatan sistem kontinyu tidak menghasilkan sludge, sehingga tidak dapat dimanfaatkan sebagai pupuk organik. Pada akhir proses hanya ditemukan kerak pada bagian permukaan air dalam jumlah yang sedikit. Proses akhir limbah cair masih mengandung bahan organik dalam jumlah yang kecil dengan perbandingan C/N ratio 2.01. Kandungan C/N ratio bahan baku yang berasal dari limbah cair instalasi gizi dapat ditingkatkan dengan penambahan serbuk gergaji yang memiliki kandungan karbon yang tinggi dan nitrogen rendah dengan C/N ratio 200. Peningkatan kandungan gas metan dapat dilakukan dengan penambahan kotoran ternak, karena memiliki kandungan bakteri metanogen yang tinggi. Perhitungan peningkatan ratio C/N dapat dilihat pada Lampiran 10. 4.3. PENERAPAN TEKNOLOGI BIOGAS DI RUMAH SAKIT PMI Limbah cair yang berpotensi untuk diolah dengan menggunakan teknologi biogas, yaitu limbah cair instalasi gizi dengan limbah yang dihasilkan sebanyak 15.6 m3/hari. Sistem yang digunakan adalah tipe batch dengan waktu retensi selama 40 hari. Analisis produksi gas metan berdasarkan kandungan COD dapat dilihat pada Tabel 13. Tabel 13. Perhitungan total energi dan gas metan yang dihasilkan Nilai Debit limbah cair Kandungan COD limbah cair Temperatur Produksi metan (STP) kg COD/hari Total gas metan yang dihasilkan Energi panas yang dihasilkan gas metan,(STP) Total energi panas yang dihasilkan gas metan 15.6 m3/hari 192 mg/L 27oC 0.35 m3/kg COD 2.9952 kg COD/hari 1.04832 m3/hari 31.449 m3 35846 kJ/m3 37578.07872 kJ/hari Berdasarkan produksi limbah yang dihasilkan, yaitu sebanyak 15.6 m3/hari dengan pemasukan tipe batch, maka digester yang dibutuhkan cukup besar, yaitu dengan volume total 624 m3 dan memerlukan area penempatan yang cukup luas. Digester tersebut mengolah limbah cair organik instalasi gizi dengan persentase limbah 20% dari total limbah Rumah Sakit PMI, sehingga jika teknologi biogas benar-benar diterapkan untuk mengolah seluruh limbah cair Rumah Sakit PMI, maka akan membutuhkan ukuran digester lima kali ukuran digester untuk mengolah limbah cair instalasi gizi (perhitungan ada pada Lampiran 10). Selain area yang sangat luas, dibutuhkan pula biaya investasi yang tinggi. 31