BAB I PENDAHULUAN

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
CCAM (Congenital Cystic Adenomatoid Malformation) merupakan sekelompok
massa multikistik maupun non kistik akibat proliferasi abnormal bronkhiolus respiratorius
terminalis.1,2 CCAM merupakan lesi yang sering ditemukan (25%) diantara kelainan paru
kongenital lainnya. Pada bayi baru lahir atau anak-anak akan datang dengan distress respirasi
atau bahkan tetap asimptomatik hingga dewasa. CCAM juga sering disebut sebagai CPAM
(Congenital Pulmonary Airway Malformation).1,2,3
CCAM
merupakan
lesi
kistik
kongenital
selain
kista
bronkhogenik,
bronchopulmonary sequestration dan CLE (Congenital Lobar Emphysema). Kasusnya
jarang, ditemukan 1 dari 8.300-35.000 kelahiran. Kista berukuran besar ditemukan sekitar
70% dari CCAM.
3,4
CCAM banyak ditemukan pada bayi baru lahir dan tidak ditemukan
perbedaan predileksi baik pada laki-laki maupun perempuan. Tidak didapatkan perbedaan
predisposisi genetik, kecuali CCAM tipe 4 yang berkaitan dengan sindroma familial
pleuropulmonary blastoma.3,4,5
Deteksi kista paru banyak ditemukan saat pemeriksaan USG prenatal rutin. Akan
tetapi, kadang-kadang pada periode neonatal awal, kista tidak terisi udara sehingga
memberikan gambaran radiologi yang mirip dengan airspace disease.3 Kista yang belum
terisi udara kadang memberikan gambaran konsolidasi atau massa solid sehingga sering
dikelirukan dengan suatu massa paru seperti pleuropulmonary blastoma.4,5 Bahkan pada
beberapa kasus menyerupai gambaran hernia diafragma kongenital dengan loop usus yang
terisi cairan apabila lesi kistik terletak di basis paru.5
1
Diagnosis CCAM pun kadang dikelirukan dengan suatu infeksi paru yang lebih
banyak terjadi di negara berkembang. Pneumonia rekuren lobus inferior yang sudah diterapi
akan membentuk gambaran pneumatocele yang mirip dengan lesi kistik pada CCAM.
Menurut Sruthi, et al, pernah dilaporkan seorang bayi berusia 15 bulan yang awalnya
asimptomatik, diantar ke rumah sakit akibat demam intermitten selama 21 hari.6 Bayi tersebut
didiagnosis dengan pneumatocele akibat pneumonia lobus bawah yang setelah diterapi
antibiotik selama 3 minggu, rontgen toraks menunjukkan gambaran lesi kistik multiple
berdinding tipis yang menyerupai gambaran CCAM. 5,6
Radiologi memegang peranan penting dalam penentuan lesi kistik kongenital
pada paru. Gambaran malformasi bronkhopulmoner tersebut sangat bervariasi dan sering
overlapping satu sama lain. Variasi gambaran diagnosis lesi kistik kongenital paru berperan
penting dalam penentuan penanganan dan prognosis suatu lesi. Beberapa lesi kistik
kongenital paru dilakukan tindakan pembedahan, sedangkan beberapa lesi kistik yang lain
hanya dilakukan tindakan konservatif.5,6,7
Alasan pemilihan kasus ini ialah perbedaan diagnosis CCAM dari foto polos
dengan CT scan, dimana dikesankan CLE (Congenital Lobar Emphysema) dari CT scan.
Penulisan laporan kasus ini bertujuan untuk melaporkan kasus CCAM yang secara radiologi
dan histopatologis gambarannya sesuai dengan literatur dan membedakan CCAM dengan
CLE dari foto polos dengan CT scan.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1. Embriologi Pulmo dan Vaskuler Paru
II.1.1. Embriologi Paru
Perkembangan paru manusia saat intrauterin dibagi menjadi 5 fase, yaitu
embrionik, pseudoglanduler, kanalikuler, sakuler dan alveolar (gambar 1).1 Fase embrionik
dimulai saat usia kehamilan 4 minggu dengan pembentukan divertikulum respiratorium
(tunas paru atau laryngotracheal bud) dari dinding ventral primitive foregut. Selama fase
embrionik, foregut berkembang dari embrionik endoderm mulai hari ke-9 dan perkembangan
median faringeal dari foregut pada hari ke-22.4,5
Sekitar umur kehamilan empat minggu, tunas pulmo tampak sebagai suatu
tonjolan keluar dari dinding ventral usus depan. Karena itu, epitel lapisan dalam laring,
trakhea, bronkhus, serta lapisan epitel paru, seluruhnya berasal dari endoderm. Akan tetapi,
unsur kartilago yang terbentuk di awal minggu ke-6 dan otot pada trakhea dan paru berasal
dari mesoderm splanknik yang mengelilingi usus depan.6,7
Karena tunas paru terus memanjang, invaginasi mesoderm ke lateral akan
membentuk septum trakheoesofageal yang memisahkan esofagus dari trakhea. Saat usia
kehamilan 5-7 minggu, bagian distal tunas paru bercabang menjadi 2 bronkhus primarius
dekstra et sinistra pada masing-masing lobus sebagai tanda akhir fase embrionik (gambar 2)8.
Fase pseudoglanduler terbentuk sekitar usia kehamilan 7-16 minggu yang
ditandai dengan terlihatnya kartilago di trakhea pada awal fase tersebut. Selama fase tersebut
3
terbentuk bronkhus segmental dan subsegmental yang selanjutnya akan bercabang menjadi
beberapa bronkhiolus membentuk sejumlah duktus alveolaris dan alveoli. Memasuki akhir
fase pseudoglanduler, seluruh bronkhus terbentuk dan fase kanalikuler pun akan dimulai.8
Fase kanalikuler terjadi saat usia kehamilan 16-24 minggu dimana transitional
airway dan distal asinus mulai terbentuk. Jaringan mesenkim akan berkurang, alveolus dan
kapiler baru mulai terbentuk satu sama lain. Sedangkan fase sakuler dimulai saat 24-36
minggu dimana alveolus dan saccus terminalis terbentuk dengan penekanan interstisial dan
dimulainya pembentukan septa alveoli.8,9
Kanalis perikardioperitonealis yang ada di sisi kanan dan kiri usus depan
ditembus oleh tunas paru yang terus berkembang. Akhirnya, kanalis perikardioperitonealis
terpisah dari rongga peritoneum dan rongga perikardium masing–masing oleh lipatan
pleuroperitoneal dan lipatan pleuroperikardial, dan ruang yang masih tersisa adalah rongga
pleura primitif. Mesoderm, yang meliputi sisi luar paru, berkembang menjadi pleura
visceralis. Lapisan mesoderm somatik yang melapisi dinding tubuh dari sebelah dalam
menjadi pleura parietalis.8,9
Pada perkembangan selanjutnya, bronkhus sekunder terus–menerus bercabang
secara dikotomi, dengan membentuk 10 bronkhus tersier (segmental) di paru kanan dan 8 di
paru kiri, sehingga menciptakan segmen–segmen bronkhopulmoner paru dewasa. Pada akhir
bulan ke 6, telah terbentuk lebih kurang 17 generasi anak cabang. Akan tetapi, sebelum
percabangan bronkhus tersebut mencapai bentuk akhirnya, akan terbentuk 6 anak cabang
tambahan pada kehidupan pasca lahir. Sementara semua anak cabang baru ini terbentuk dan
cabang–cabang bronkhus berkembang, paru–paru bergeser kedudukannya lebih ke kaudal,
sehingga pada saat lahir, bifurkasio trakhea terletak berhadapan dengan vertebra thorakalis ke
4 (gambar 3).8,9
4
II.1.2. Embriologi A. pulmonalis
Arteri pulmonalis terbentuk dari arcus aorta ke-6. Bagian proksimal arcus
menjadi segmen proksimal arteri pulmonalis kanan dan kiri. Pada sisi kanan, bagian distal
kehilangan hubungan dengan arcus, sedangkan bagian kiri mempertahankan hubungannya
sebagai duktus arteriosus. Selama fase embrionik dan pseudoglanduler, arteri berkembang
berjalan paralel mengikuti jalan napas. Karena fetus semakin berkembang, terjadi
peningkatan diameter dan panjang pembuluh darah dan pada fase postnatal proses
bercabangnya bronkhus akan diikuti dengan berproliferasinya alveolus pada awal kanakkanak hingga usia 8 tahun.8,9
II.2. Anatomi Pulmo
Struktur dasar jalan napas telah ada sejak lahir dan berkembang selama neonatus
dan dewasa menjadi sistem bronkopulmonal. Jalan napas pada setiap usia tidak simetris.
Apabila dibagi menjadi dua bagian, ada perbedaan bentuk dan jumlah cabang yang
tergantung dari lokasinya. Variasi tersebut menyebabkan implikasi fisiologi yang berbeda.
Alur yang berbeda menyebabkan perbedaan resistensi terhadap aliran udara, sehingga
menyebabkan distribusi udara atau partikel yang terhisap tidak merata. Cabang dari bronkhus
mengalami pengecilan ukuran dan kehilangan kartilago, yang kemudian disebut bronkhiolus.
Bronkhiolus terminalis membuka saat pertukaran udara dalam paru-paru.8,9
Jalan napas dilapisi oleh membran epitel yang berganti secara bertahap dari epitel
kolumner bertingkat bersilia di bronkhus menjadi epitel kuboid bersilia pada area tempat
pertukaran udara. Silia berfungsi untuk menghantarkan mukus dari pinggir jalan nafas ke
faring. Sistem transpor mukosilier ini berperan penting dalam mekanisme pertahanan paru. 8,9
Unit pertukaran udara terdiri dari bronkhiolus respiratorius, duktus alveolaris dan
alveoli (gambar 4 dan 5). Pulmo dekstra dan sinistra dibagi oleh alur yang disebut incissura
5
interlobaris dalam beberapa lobus pulmo. Pulmo dekstra dibagi menjadi 3 lobus, yaitu:
Lobus superior yang dibagi menjadi 3 segmen: apikal, posterior, inferior. Lobus medius,
dibagi menjadi 2 segmen: lateralis dan medialis, Lobus inferior yang dibagi menjadi 5
segmen: apical, mediobasal, anterobasal, laterobasal, posterobasal. Pulmo sinistra dibagi
menjadi 2 lobus, yaitu: Lobus superior yang dibagi menjadi segmen: apicoposterior, anterior,
lingularis superior, lingularis inferior. Lobus inferior, dibagi menjadi 4 segmen: apikal,
anteromediobasal, laterobasal, dan posterobasal (gambar 6).8,9
II.3. Definisi CCAM
Istilah CCAM pertama kali digunakan oleh Chin dan Tang di Inggris pada tahun
1949. CCAM merupakan kelainan perkembangan traktus respiratorius bagian bawah yang
ditandai dengan terbentuknya lesi kistik dan proliferasi adenomatoid dari bronkhiolus
terminalis selama pembentukan fetus.7 Istilah Congenital Pulmonary Airway Malformation
telah direkomendasikan sebagai istilah lain dari CCAM karena lesi kistik hanya terlihat pada
3 dari 5 tipe lesi dan adenomatoid hanya pada 1 tipe (tipe 3). 9,10
Kista paru didefinisikan sebagai ruangan di parenkim paru yang berbatas tegas,
berdinding tipis (< 2 mm) atau relatif tipis (≤ 4 mm). Lesi kistik tersebut dapat berisi udara
atau cairan, dengan diameter ≥ 1 cm. Komposisi dinding kista ditentukan oleh komponen
yang ditemukan pada bronkhopulmoner (originnya), yaitu kelenjar bronkhus, kartilago atau
epitel alveolus.11,12,13
II.4. Epidemiologi
CCAM merupakan lesi kistik pulmo yang bersifat kongenital yang ditemukan 1
dari 25.000-35.000 kehamilan.14 Banyak ditemukan pada periode neonatal dan 90% diagnosis
CCAM ditentukan dalam 2 tahun pertama. CCAM ditemukan sporadis dan tidak
6
berhubungan dengan faktor maternal seperti ras, usia, maupun exposure agent. Sering
ditemukan unilateral, dapat mengenai lobus apapun dalam pulmo dan pada beberapa kasus
dengan predileksi sedikit lebih banyak pada bayi laki-laki. Tidak ada laporan mengenai
predisposisi genetik, kecuali CCAM tipe 4 yang berkaitan dengan familial pleuropulmonary
blastoma syndrome.13,14
II.5. Patofisiologi
Mekanisme terbentuknya CCAM tidak diketahui pasti, tetapi diperkirakan akibat
ketidakseimbangan proliferasi dan apoptosis sel, yaitu peningkatan proliferasi sel dan
penurunan apoptosis dibandingkan dengan
gestational controls. Adanya kelainan
pembentukan cabang trakheobronkhial paru akan mengakibatkan terjadinya defek maturasi.
Menurut Biyyam, et al terdapat sebuah penelitian yang mengemukakan ekspresi gen HoxB5
dan protein sebagai faktor pertumbuhan lain seperti platelet derived growth factor.10,12
Beberapa teori pun banyak dikemukakan seperti vascular traction teory,
insufisiensi vaskuler, kelainan pembentukan vaskuler, molecular marker dan signaling
protein. Akan tetapi, semua teori tersebut masih banyak menimbulkan kontroversi.9,10
Polihidramnion sering berkaitan dengan CCAM. Hal tersebut kemungkinan
disebabkan karena gangguan proses fetus saat menelan akibat penekanan esofagus,
kehilangan protein cairan amnion, sekresi atau induksi sekresi ADH atau berkurangnya
absorbsi cairan amnion oleh pulmo yang tertekan. Hidrops dapat terjadi karena obstruksi
aliran balik vena oleh massa yang membesar yang menekan jantung dan mengganggu aliran
balik vena dan curah jantung.4,7,9
7
II.6. Gejala Klinis
Gambaran klinis CCAM bervariasi tergantung dari perluasan malformasi di paru
dan terdapatnya kondisi yang menyertai yang dapat timbul sejak awal masa prenatal hingga
dewasa.6 Pada periode neonatal akan tampak sebagai distress pernapasan akut akibat air
trapping atau efek massa dan kompresi paru atau hipoplasia. Pernah dilaporkan temuan
insidental CCAM pada foto toraks karena asimptomatis.3,9
Sedangkan pada dewasa, CCAM akan tampak sebagai infeksi paru rekuren, abses
paru pada 1 lobus, empiema, pneumotoraks, gagal tumbuh kembang atau bahkan berkembang
menjadi malignansi. Diagnosis CCAM pada dewasa biasanya timbul akibat keterlambatan
diagnosis atau ukuran lesi kistik yang tidak terlalu besar hingga tidak menimbulkan efek
massa atau kompresi paru.8
II.7. Klasifikasi CCAM
Perbedaan tingkat cabang trakhebronkhial dan fase pembentukan pulmo akan
menentukan tipe CCAM. Klasifikasi CCAM oleh Stocker, et al didasarkan pada proporsi
kista, jaringan adenomatoid dan tipe sel yang mendominasi. 3,5,7,10
CCAM tipe I (large cyst type) ditemukan pada 60%-70% kasus berupa kista
berukuran besar (diameter hingga 10 cm), tunggal atau multiple yang dilapisi epitel kolumner
berlapis semu dan bersilia menyerupai cabang bronkhus distal dan asinus proksimal dengan
alveoli normal diantara kista. Kista berukuran besar tersebut sering dikelilingi kista-kista
kecil. Kista tersebut dapat mengandung sedikit komponen adenomatoid atau dapat juga tidak
ditemukan.3,5,7,10
CCAM tipe 2 (small cyst type) ditemukan pada 20%-40% kasus dengan
campuran lesi solid lesi kistik multiple kecil-kecil yang berukuran 0,5 cm - 2 cm dan sering
8
ditemukan bersamaan dengan anomali kongenital lainnya seperti fistula trakheoesofageal,
agenesis ren, atresia intestinal, maupun hernia diafragmatika. Sedangkan CCAM tipe 3 (tipe
mikrokistik atau solid) cenderung tampak sebagai massa densitas soft tissue dengan origin
bronkhiolus-duktus alveolaris dan meliputi 5%-10% kasus.3,5,7,10
Pada tahun 2001, Stocker telah menambahkan 2 tipe, yaitu tipe 0 dan tipe 4
berdasarkan gambaran anatomi dan mikroskopis airway pulmo karena komponen kistik dan
adenomatoid tidak ditemukan di setiap tipe CCAM. Selain itu, Stocker menggunakan istilah
CPAM (Congenital Pulmonary Airway Malformation) untuk kelainan tersebut. (CCAM
pneumonia). CCAM tipe 0 berupa kista dengan diameter < 0,5 cm. Sedangkan CCAM tipe 4
terdiri dari kista berukuran besar dengan diameter hingga 10 cm dan ditemukan sekitar 10%15% kasus.3,5,7,10
II.8. Pemeriksaan Histopatologis
CCAM dibedakan dari lesi lain dan paru normal berdasarkan 5 kriteria. 5 kriteria
tersebut ialah mukosa CCAM yang menonjol berbentuk polipoid, meningkatnya smooth
muscle dan jaringan elastis di dalam dinding kista, tidak adanya kartilago di parenkim paru
yang kistik, ditemukannya sel-sel yang mensekresi mukus dan tidak terdapatnya inflamasi
(gambar 7).8
II.9. Pemeriksaan Radiologi
II.9.1. Foto Polos Dada
Foto polos dada merupakan pilihan modalitas awal untuk diagosis CCAM pada
periode neonatal. Gambaran radiologi CCAM tergantung dari ukuran, kandungan dan jumlah
kista. Derajat obstruksi, lengkap tidaknya obstruksi dan waktu terjadinya obstruksi
membentuk pola malformasi paru yang berbeda. Tampak kista multiple dengan berbagai
9
ukuran, berdinding tipis dan berisi udara. Kista berukuran besar dapat menyebabkan
pergeseran mediastinum yang dapat mengakibatkan hipoplasi paru. 9,10
Pada periode awal postnatal, paru yang terkena dapat terlihat opak pada roentgen
thorak karena slow clearance cairan paru fetus yang kemungkinan berkaitan dengan kelainan
suplai airway. Selanjutnya udara akan memasuki kista yang berisi cairan karena berhubungan
dengan cabang trakheobronkhial, sehingga dapat ditemukan kista hanya berisi udara atau
terdapat air fluid level. Sebaliknya, kista yang berisi cairan dapat terlihat karena retensi
sekresi cairan paru, perdarahan atau infeksi. Gambar 8, 9, 10 dan 11 menunjukkkan
gambaran CCAM berdasarkan tipenya.9,10,12
II.9.2. CT scan
CT scan berperan dalam penentuan lokasi, morfologi, kandungan kista, ada
tidaknya kelainan suplai vaskuler, dan perluasan lesi kistik untuk perencanaan pembedahan.
Selain itu, ada tidaknya hubungan antara kista dengan cabang trakhebronkhial juga akan
tervisualisasi pada CT.5,6 Menurut Manning F, CCAM selalu berhubungan dengan cabang
trakheobronkhial, meskipun hubungan tersebut abnormal (kecil atau tortous). Kebanyakan
CCAM mendapat aliran darah dari a. pulmonalis dan mengosongkannya melalui v.
pulmonalis, kecuali lesi hibrid yang mendapat aliran darah sistemik.3,5,6,14
Pada kebanyakan kasus, temuan CT CCAM tipe 1 berupa kista besar yang
berjumlah banyak dan berisi udara atau terbentuk air fluid level. Akan tetapi, CT tidak selalu
dapat membedakan bentuk mikrokistik CCAM dari subtipe CCAM yang lain atau dari
beberapa lesi solid lainnya. Gambaran radiologi hanya dapat membedakan CCAM tipe 1, 2
dan 3. CT berperan penting dalam membedakan CCAM dengan lobar emphysema, kista
bronkhogenik dan sekuestrasi pulmo.3,5,6,14,15
10
II.9.3. USG Prenatal
USG prenatal dapat membantu mengidentifikasi suatu lesi pada usia kehamilan
18-20 minggu. Tingkat akurasi diagnostik USG prenatal 100% untuk kista kongenital, tetapi
spesifitasnya
bervariasi dalam membedakan kista kongenital yang satu dengan lainnya.
Penelitian yang dilakukan oleh Wong, et al menunjukkan sensitivitas USG prenatal dalam
mendeteksi CCAM sebesar 81% dengan nilai PPV hanya 57%. CCAM akan tampak sebagai
massa paru multikistik atau echogenik dengan atau tanpa hidrops fetalis dan
polihidramnion.16,17
USG antenatal berfungsi untuk mendeteksi efek massa yang berkaitan dengan
anomali fetus. Lesi berukuran besar akan menyebabkan kompresi jantung atau bahkan
kematian fetus. Menurut Adzick, disebut makrokistik apabila lesi berukuran > 5mm dan
mikrokistik apabila berukuran < 5 mm. Lesi mikrokistik akan memberikan gambaran
menyerupai lesi solid dengan echogenisitas yang homogen.16,17
USG Doppler pun turut berperan untuk mengevaluasi ada tidaknya suplai arteri
sistemik. USG Doppler akan mengidentifikasi kelainan pembuluh darah dari aorta ke lesi
yang dicurigai sekuestrasi pulmo, tetapi tidak dapat membedakan lesi campuran (hibrid).
Gambaran radiologi pada periode antenatal awal lesi tersebut tampak lebih solid daripada
kistik karena keterlambatan clearance cairan paru. Umumnya, malformasi paru fetus tidak
mudah digolongkan sesuai klasifikasi CCAM post natal.16,17,18
II.9.4. MRI Fetus
MRI fetus mampu meningkatkan akurasi diagnostik dengan membantu
mengidentifikasi lokasi lesi, karakteristik gambaran lesi dan struktur vaskularisasi paru,
11
jantung dan mediastinum. Oleh karena itu, MRI mampu membedakan sekuestrasi pulmo,
Congenital Lobar Emphysema (CLE) dan hernia diafragmatika.19,20
Gambaran MRI CCAM tegantung dari tipe CCAM. CCAM tipe 1 memberikan
gambaran hiperintens fokal atau multifokal dengan dinding diskret pada T2WI (gambar 11).
CCAM tipe 2 lebih bervariasi tergantung dari komposisi malformasi. Sedangkan CCAM tipe
3 memiliki gambaran massa solid homogen hiperintens dengan parenkim paru berdekatan
yang normal.19,20
II.10. Komplikasi
Komplikasi yang mungkin terjadi meliputi kematian janin, persalinan prematur,
infeksi paru berulang, pneumotoraks, hemotoraks dan perubahan maligna. Kaitan antara
karsinoma bronkhoalveolar dan rhabdomiosarkoma dengan CCAM telah dilaporkan pada
anak-anak dan dewasa. Sejak tahun 1980, lebih dari 25 kasus malignansi dilaporkan terjadi
pada anak-anak berusia 1 bulan hingga 13 tahun. Transformasi maligna tersebut banyak
terjadi pada CCAM dengan tindakan reseksi sebagian. Meskipun faktor predisposisi
terjadinya karsinoma bronkhoalveolar tersebut belum diketahui pasti, abnormalitas
perkembangan paru dianggap berperan dalam patogenesis terjadinya transformasi maligna
tersebut.18
II.11. Penatalaksanaan
Pada
anak-anak,
reseksi
lengkap
(lobektomi)
direkomendasikan
untuk
menghindari infeksi paru rekuren, terjadinya pneumotoraks, dan transformasi ke arah
malignansi pada reseksi sebagian. Tindakan pembedahan dilakukan pada bayi anak-anak
yang simptomatik. Akan tetapi, masih terjadi perbedaan pendapat mengenai penanganan
CCAM pada bayi yang asimptomatik berkaitan dengan waktu eksisi. 20
12
II.12. Prognosis
Prognosis CCAM tergantung dari ukuran lesi, keterlibatan kedua pulmo dan ada
tidaknya hidrops. Ukuran lesi yang lebih besar akan berkaitan dengan vascular compromised
dan hipoplasi paru yang memiliki prognosis yang lebih buruk. Akan tetapi, beberapa
penelitian menunjukan bahwa meskipun lesi kistik pada CCAM tipe 1 berukuran besar, tetapi
memiliki prognosis yang baik karena jarang berkaitan dengan hidrops fetalis, hipoplasi paru
maupun anomali kongenital lainnya. Sedangkan CCAM tipe 2 memiliki prognosis yang
buruk karena sering ditemukan pada bayi dengan anomali kongenital lainnya.15,21,22
Pengukuran kuantitafif rasio massa dengan toraks > 0,56 atau rasio volume
CCAM (volume massa / lingkar kepala) > 1,6 juga mengarah ke prognosis yang lebih buruk
dan berkembangnya hidrops yang lebih besar. Akan tetapi, beberapa penelitian menyebutkan
prognosis pasien pada periode prenatal tidak hanya ditentukan berdasar ukuran lesi, tetapi
juga ada tidaknya hidrops.15,21,23
II.13. Diagnosis Banding
III.13.1. CLE (Congenital Lobar Emphysema) atau CLO (Congenital Lobar Overinflation)
CLE merupakan abnormalitas kongenital pada paru-paru yang ditandai dengan
pengembangan paru yang berlebihan dan progresif yang biasanya disertai kompresi paru
ipsilateralnya. Insidensinya jarang, terjadi pada 1/20.000 – 1/30.000 kelahiran. Lobus kiri atas
paru cenderung lebih sering terlibat (42,2% kasus), diikuti lobus tengah kanan pada 35,3%
kasus, lobus kanan atas pada 20,7% kasus dan lobus bawah pada <1% kasus.24,25
CLE merupakan keadaan patologi yang jarang terjadi yang menyebabkan
hiperinflasi lobus paru, air trapping dan pergeseran mediastinum ke arah kontralateral,
13
sehingga menyebabkan terjadinya distress pernapasan berat dan sianosis pada periode
neonatus.17,24,25
Beberapa penelitian menyebutkan bahwa secara anatomis dan numerik alveoli
pada lobus paru yang terkena normal. Kondisi tersebut diduga oleh karena tidak
ditemukannya atau kegagalan perkembangan cincin kartilago atau bronkhomalasia airway
proksimal karena kompresi ekstrinsik in utero (misal oleh large pulmonary artery atau kista
bronkhogenik), sehingga menyebabkan air trapping (gambar 12). 17,24,25
Pada awalnya, gambaran CLE tampak sebagai massa densitas jaringan lunak
akibat retensi cairan pulmo fetus atau reticular pattern akibat pelebaran saluran limfe pulmo.
Selanjutnya temuan CLE berupa air trapping dengan hiperinflasi lobus, pergeseran
mediastinum dan kompresi paru kontralateral (gambar 13 dan 14). Sedangkan modalitas CT
berguna dalam konfirmasi diagnosis, menyingkirkan
penyebab lain hiperlusensi pada
neonatus, mengevaluasi lesi penyebab dan menentukan perluasan lesi. 17,24,25
CLE pada CT scan menunjukkan hiperinflasi lobus paru disertai atenuasi struktur
vaskuler. Terdapat 2 bentuk CLE, yaitu hipoalveolar dan polialveolar. Tipe hipoalveolar
menunjukkan jumlah alveoli yang
normal atau lebih sedikit dari yang diharapkan.
Sedangkan polialveolar merujuk pada peningkatan jumlah alveoli lebih dari yang diharapkan.
CLE dapat mengancam kehidupan dan lobektomi merupakan pilihan tindakan, meskipun
beberapa pasien tetap bertahan hidup dengan terapi konservatif. 17,24,25
14
BAB III
LAPORAN KASUS
Dilaporkan seorang bayi perempuan yang lahir di RSUP Dr.Sardjito (RSS) pada
tanggal 26 Oktober 2014 dan bertempat tinggal di Temanggung, datang ke Instalasi Gawat
Darurat RSS pada tanggal 3 Maret 2015 dengan keluhan utama sesak napas dan batuk
berdahak. Pasien tersebut rujukan dari RSUD Temanggung dengan diagnosis infeksi paru.
Pasien memiliki riwayat USG prenatal oleh SpOG RSUD Temanggung berupa kista paru
kanan berukuran 2,82 cm x 2 cm x 2,53 cm yang terdiagnosis sejak usia kehamilan 24
minggu (gambar 15).
Pasien lahir dari ibu G3P1A1 berusia 31 tahun di RSS, lahir spontan, langsung
menangis dengan berat badan lahir 2832 gr, panjang badan 46 cm, lingkar kepala 35 cm,
lingkar dada 33 cm, lingkar lengan atas 12 cm, Dubowitz score 38+2 minggu, sehingga bayi
termasuk BBLC, CB, SMK. Bayi lahir menangis kuat, gerak aktif. Frekuensi denyut jantung
saat lahir 138 x/menit, frekuensi napas 44 x/menit, suhu anal 36,8 C.Tidak didapatkan
deformitas pada leher maupun retraksi dada. Saat lahir bunyi jantung suara jantung 1 (S1)
tunggal, suara jantung 2 (S2) membelah tak konstan, tak ditemukan bising. Vesikuler
terdengar menurun di paru kanan, tak tampak takipnea. Bising usus normal, hepar dan lien
tak teraba. Akral hangat dengan capillary refill time (CRT) < 2 detik.
Ibu pasien terdiagnosis hamil saat usia kehamilan 5 minggu, kontrol rutin ke
SpOG RSUD Temanggung tiap bulan dan mendapat multivitamin yang diminum rutin.
Selama hamil mengalami peningkatan berat badan 8 kg dengan tekanan darah normal 120/70
15
mmHg. Tidak didapatkan riwayat perdarahan, infeksi saluran kemih, hipertensi, bengkak
pada kaki, asma, diabetes mellitus maupun infeksi lainnya pada ibu pasien.
Pasien merupakan anak ke-3 dari 3 bersaudara. Anak pertama meninggal saat usia
kehamilan 5 minggu (abortus spontan). Tahun 2011 ibu pasien melahirkan anak laki-laki,
usia kehamilan cukup bulan, BBL 2700 gram, lahir secara spontan. Resusitasi sampai tahap
awal, langsung menangis.
Pasien dirawat selama 18 hari (23 Oktober 2014 – 9 November 2014). Rontgen
toraks tanggal 26 Oktober 2015 di RSS menunjukkan multiple lusensi berbentuk bulat di
hemitoraks kanan, batas tegas, tepi licin, dengan diameter terbesar 3,5 cm yang mendorong
mediastinum ke arah sinistra, disertai multiple lusensi kecil-kecil dan konsolidasi semiopak
inhomogen di sebagian basal pulmo, batas tak tegas, air bronkhogram minimal. Dikesankan
gambaran CCAM tipe 1 (gambar 16).
CT scan thorax tanpa pemberian bahan kontras dilakukan di RSA Gadjah Mada
tanggal 26 Oktober 2014, tampak lesi hipodens ukuran besar, batas tegas, di 2/3 paru kanan
atas. Mediastinum tampak terdorong ke arah kiri, sehingga jantung bergeser ke kiri. Batas lesi
tampak menebal tidak teratur. Tanda efusi tidak jelas. Sinus dan diafragma normal. Dari
deskripsi dikesankan suspect local emphysema congenital (gambar 17).
Selama dirawat di RSS kondisi pasien baik, tidak sesak, tidak batuk dan tidak
demam. Selama dirawat, pasien disarankan untuk melalukan evaluasi foto toraks dan apabila
ukuran kista membesar dan terjadi perburukan gejala, direncanakan dilakukan operasi
pengangkatan kista paru oleh bagian bedah toraks.
11/2 bulan sebelum masuk RSS, pasien sesak napas disertai batuk berdahak,
dirawat di RSUD Temanggung selama 7 hari dan didiagnosis infeksi paru. 2 hari sebelum
16
masuk RS, pasien bertambah sesak, batuk ngikil tanpa disertai demam, dirawat di RSUD
Temanggung selama 2 hari. Pasien diberikan terapi ceftriaxon, salbutamol, parasetamol, dan
nebu ventolin.
Pada hari masuk rumah sakit (3 Maret 2015), sesak napas bertambah, sehingga
pasien dirujuk dari ICU RSUD Temanggung ke RSUP Dr. Sardjito untuk dilakukan
penanganan lebih lanjut oleh ahli bedah toraks. Kesan umum pasien tampak lemah, terpasang
endotracheal tube (ET) dan tersedasi dengan midazolam. Tanda vital saat pasien tiba di IGD
RSS frekuensi nadi 114 x/menit, isi dan tegangan cukup, teratur, suhu 36,8C, frekuensi nadi
56 x/menit dengan tipe thorakoabdominal. Berat badan 4,2 kg, tinggi badan 55 cm, lingkar
kepala 40,5 cm, lingkar dada 39 cm, lingkar lengan atas 12 cm, sehingga status gizi pasien
termasuk gizi kurang.
Pemeriksaan fisik daerah kepala tidak didapatkan conjungtiva anemis, sklera
ikterik, maupun sianosis pada bibir. Pada leher tidak didapatkan pembesaran lymphonodi.
Sistema saraf pusat, pasien tampak lemah, tidak kejang. Sistema kardiovaskuler,
hemodinamik stabil, kesan tidak didapatkan kardiomegali, S1 tunggal, S2 membelah tidak
konstan. Sistema respiratorius, terpasang ET, takipnea dengan retraksi suprasternal dan
intercostal. Vesikuler menurun pada toraks kanan atas, tidak terdengar krepitasi Pada
ekstremitas, akral hangat, CRT 2 detik, tak tampak jari tabuh.
Roentgen toraks tanggal 3 Maret 2015 pukul 17.25 menunjukkan lesi lusen di
pulmo dekstra, bentuk membulat, batas tegas, tepi licin dengan dinding tipis, multiple, ukuran
terbesar 7 cm x 8 cm yang mendorong mediastinum ke sinistra dan mendatarkan diafragma
dekstra. Terpasang ETT di proyeksi airway dengan ujung distal setinggi VTh III (gambar
18). Dibandingkan foto lama tanggal 3 Maret 2014, ukuran lesi tampak membesar,
pergeseran mediastinum ke sinistra bertambah dan terjadi pendataran diafragma dekstra.
17
Tanggal 4 Maret 2015, pasien mengalami gagal napas dan syok kardiogenik,.
Kondisi umum pasien lemah, tersedasi, dan tersambung ventilator. Tanda-tanda vital tekanan
darah 97/42 mmHg, frekuensi denyut nadi 205 x/menit, frekuensi napas 30x/menit. Analisa
gas darah menunjukkan pH 7,25, SaO2 80,4%, BE 1,5, pO2 49,8, pCO2 69,5, HCO3 9,5
dikesankan asidosis respiratorik
Oleh karena hal tersebut di atas, dilakukan needle decompression oleh bagian
bedah toraks pada tanggal 4 Maret 2015. Saat ditusuk, tampak gelembung-gelembung udara
yang keluar. Rontgen toraks menunjukkan ujung proksimal needle terpasang di proyeksi
paravertebra dextra setinggi VTh III-IV, dibandingkan rontgen toraks 1 hari sebelumnya
tampak pergeseran mediastinum relatif berkurang. Akan tetapi, oleh karena needle terlepas,
maka dilakukan pemasangan WSD (7 Maret 2015) (gambar 19).
Karena pasien bertambah sesak akibat bertambahnya pergeseran mediastinum dan
terjadi komplikasi seperti infeksi paru dan syok kardiogenik, maka dilakukan thoracotomi
dan eksisi bula tanggal 10 Maret 2015. Operasi dilakukan selama 2 jam dengan General
Anesthesia (GA). Dilakukan insisi bagian posterolateral dekstra dari cavum toraks, dari ujung
skapula ke arah anterior sampai linea axillaris anterior mengikuti lengkung costa yang
diperdalam lapis demi lapis hingga pleura parietalis. Dilakukan eksisi bula yang tampak di
lobus medius, kemudian dilakukan tes apung paru dan tidak ada kebocoran pada lobus
medius. Selanjutnya dipasang selang drainase toraks dan luka operasi ditutup lapis demi
lapis.
Foto toraks evaluasi tanggal 11 Maret 2015 menunjukkan lobus superior et
inferior pulmo dextra mulai mengembang. Tampak infiltrat di perihiler dan paracardial
bilateral disertai efusi pleura bilateral (gambar 20). Hasil pemeriksaan patologi anatomi
tanggal 12 Maret 2015 menunjukkan jaringan paru-paru dengan ukuran bervariasi, dibatasi
18
oleh sel epitel kuboid hingga kolumner, selapis hingga bertumpuk, menyerupai gambaran
adenoma “adenomatoid”. Didapatkan alveoli yang normal yang berisi darah di antaranya.
Didapatkan sebukan limfosit cukup. Tidak didapatkan tanda keganasan. Disimpulkan sebagai
jaringan bula kongenital pulmo dekstra : CCAM (gambar 21)
Gambar 22 menunjukkan pneumotoraks dextra yang mulai muncul H+ 9 setelah
eksisi bula, yang pada awalnya ukurannya menetap, selanjutnya membesar pada tanggal 26
Maret 2015. Bagian bedah toraks menduga adanya fistula pleuropulmonal, sehingga pada
tanggal 12 April 2015 dilakukan operasi repair fistel. Rontgen toraks 13 April 2015
menunjukkan sudah tidak tampak pneumotoraks (gambar 23)
Efusi pleura dextra tampak pada foto rontgen tanggal 14 April-23 April 2015
(gambar 24). Pulmo dekstra tampak mengembang. Pasien diperbolehkan pulang tanggal 29
April karena pasien sudah tidak sesak dan efusi pleura dekstra sudah berkurang.
Diagnosis akhir pasien tersebut ialah CCAM dengan komplikasi Acute
Respiratory
Distress Syndrome (ARDS), pneumonia, syok kardiogenik dan asidosis
respiratorik.
19
BAB IV
PEMBAHASAN
Kelainan paru kongenital secara garis besar dapat dibagi menjadi 3, yaitu
kelainan pembentukan bronkhopulmoner (lungbud/ foregut malformation), anomali vaskuler
dan gabungan anomali parenkim pulmo dan vaskuler. Anomali bronkhopulmoner termasuk
agenesis
pulmo,
hipoplasia
pulmo,
CCAM,
CLE,
atresia
bronkhus
dan
kista
bronkhogenik.21,22 Kelainan vaskuler meliputi tidak ditemukannya a. pulmonalis utama,
pulmonary sling, anomaly pulmonary venous drainage dan malformasi arteriovenosa
pulmoner. Sedangkan anomali parenkim pulmo disertai vaskuler berupa scimitar syndrome
dan sekuestrasi bronkhopulmoner.9,21,22
Pada kasus ini, terdapat perbedaan diagnosis CCAM dari foto polos dengan CT
scan, dimana CT scan di RSA dikesankan dengan suspect local emphysema congenital.
Ketidaksesuaian tersebut perlu dievaluasi lebih lanjut setelah faktor-faktor teknis yang
mempengaruhi kualitas suatu foto disingkirkan.
Pada bayi baru lahir, foto toraks masih menjadi pemeriksaan penunjang pertama
dalam mengevaluasi suatu lesi di pulmo. Pada kasus ini, kista paru dekstra yang terdiagnosis
saat prenatal menunjukkan bahwa kista timbul akibat kelainan kongenital pembentukan paru.
Derajat obstruksi, lengkap tidaknya obstruksi dan waktu terjadinya obstruksi saat
pembentukan bronkhopulmoner paru akan menghasilkan pola malformasi paru yang
berbeda.3,19
Terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan oleh radiolog saat menganalisis
suatu lesi kongenital di pulmo akibat malformasi bronkhopulmoner pada foto toraks, salah
20
satunya ialah asimetrisitas. Adanya agenesis paru, hipoplasia paru, scimitar syndrome dan
pulmonary artery sling menyebabkan cavum toraks berukuran lebih kecil. Ada tidaknya
hiperlusensi fokal paru juga mengakibatkan cavum toraks tampak asimetris. Tentunya apakah
asimetrisitas disebabkan oleh rotasi pasien harus disingkirkan terlebih dulu.20
Terdapat beberapa kemungkinan lesi lusen fokal paru pada bayi baru lahir.
Adanya CLE, CCAM, PIE (Pulmonary Interstitial Emphysema) yang persisten maupun CDH
dapat mengakibatkan lusensi fokal di paru. Selanjutnya perlu dinilai ada tidaknya gambaran
menyerupai focal mass ataupun konsolidasi. Sekuestrasi, kista bronkhogenik, CCAM,
mucocele pada atresia bronkhus akan memberikan gambaran solid di foto toraks (tabel 2)13,24
Penting bagi radiolog untuk membedakan lesi lusen fokal di paru suatu kista,
cavitas, bula, bleb, ataupun pneumatocele. Kista dan cavitas akan tampak sebagai daerah
dengan penurunan densitas paru yang dibatasi oleh dinding berbatas tegas. Sebaliknya
ruangan emphysematosa biasanya seperti tidak berdinding (bulla dan bleb). Ada atau tidak
adanya dinding yang mengelilingi area radiolusen lebih jelas terlihat pada HRCT. 25
Kista didefinisikan sebagai ruangan berisi udara dengan dinding tipis (≤ 4 mm)
dan memiliki batas yang tegas dengan diameter ≥ 1 cm. Sedangkan cavitas memiliki dinding
lebih tebal (> 4 mm) dan dikelilingi oleh infiltrat atau massa. (gambar 26). Penentuan kista
atau cavitas penting karena lesi kistik di paru jarang menjadi maligna. Sedangkan temuan
cavitas memiliki kemungkinan yang lebih besar untuk terjadinya malignansi. Kista tidak
hanya berisi udara, tetapi juga dapat berisi cairan atau udara beserta cairan yang membentuk
gambaran air fluid level. Adanya air fluid level tidak memiliki korelasi dengan keadaan
benigna atau maligna.12,13
Sedangkan bula didefinisikan sebagai ruangan emphysematosa di dalam paru
dengan diameter > 1 cm dengan dinding yang sangat tipis (hair thin, < 1 mm) yang hampir
21
tidak terlihat oleh mata yang dilapisi oleh pleura dan septa jaringan ikat. Istilah bleb
digunakan untuk ruangan berisi udara dengan diameter < 1 cm di dalam lapisan pleura
visceralis yang sering terletak di apex pulmo. Pneumatocele merupakan ruangan berdinding
tipis yang berisi udara yang menunjukkan distensi airspace bagian distal akibat check-valve
obstruction dari bronkhus atau bronkhiolus. Kebanyakan pneumatocele timbul akibat infeksi
sekunder Staphylococcal pneumonia.12,13
Rontgen toraks tanggal 26 Oktober 2014 (bayi baru lahir) pada kasus ini
menunjukkan adanya lesi lusen fokal, bentuk membulat di pulmo dextra, batas tegas,
diameter terbesar 3,5 cm, dinding tipis sekitar 2 mm. Batas lesi yang tegas dengan ketebalan
sekitar 2 mm menunjukkan bahwa lesi tersebut merupakan suatu kista. Di bagian inferior lesi
lusen tersebut tampak lusensi kecil-kecil yang juga merupakan suatu kista. Kista tersebut
tampak menggeser strukur mediastinum ke arah sinistra. Berdasarkan ukuran, serta adanya
sebuah kista besar yang dikelilingi multiple kista kecil pada roentgen toraks, maka kasus ini
sesuai dengan gambaran CCAM tipe 1 seperti yang telah disebutkan di literatur.
Gambaran radiologi CCAM pada foto polos pun bervariasi tergantung dari
ukuran dan kandungan kista. Dapat berupa massa solid atau multikistik dengan kandungan
udara dan cairan yang bervariasi. Hanya 3 tipe CCAM yang dapat dibedakan dari rontgen
toraks, yaitu CCAM tipe 1 (large cyst), CCAM tipe 2 (small cyst) yang terdiri dari
makrokistik, dan CCAM tipe 3 (microcystic atau solid type) yang memiliki diameter < 5 mm
dengan ruangan kistik yang hampir tidak dapat terlihat.
Selanjutnya pada kasus ini, diagnosis kemungkinan CCAM tipe 1 dari rontgen
toraks dikonfirmasikan dengan CT toraks. Pasien lahir secara spontan, BBLC, CB, SMK, dan
tidak ditemukan kesulitan saat persalinan. Lahir langsung menangis kuat dan gerak aktif,
sehingga dapat dikatakan adanya kista paru dextra cenderung asimptomatik pada pasien. CT
22
scan toraks merupakan modalitas utama pasien postnatal yang asimptomatik dengan
kecurigaan CCAM pada periode antenatalnya. 25
Akan tetapi, pada expertise CT yang dilakukan di RSA disebutkan tampak lesi
hipodens fokal di paru kanan atas dengan batas lesi tampak menebal tidak teratur yang
menggeser mediastinum kearah sinistra dan dikesankan congenital emphysema. Modalitas
CT akan menunjukkan keterlibatan lobus paru dan vaskularisasinya secara lebih detil. CLE
menunjukkan adanya udara di dalam alveoli, sehingga septum interstisial dan serabut
bronkhovaskuler terletak di tepi, tidak terletak di tengah lusensi. Air space pada CLE tampak
lebih besar dibandingkan parenkim paru yang normal dan pembuluh darah pulmoner akan
mengalami atenuasi.22,25
Tidak ditemukannya pulmonary vascular marking pada CT scan pasien dapat
menyingkirkan kemungkinan CLE. Densitas -1000 HU di dalam lesi menunjukkan
komponen udara intralesi. Hal tersebut sesuai dengan literatur sebelumnya bahwa kista dapat
berisi udara maupun cairan. Ketebalan dinding lesi tersebut 3 mm, sehingga mendukung
suatu lesi berupa kista, bukan bula emphysematosa.
CT scan toraks pada kasus ini tidak menggunakan bahan kontras sehingga normal
tidaknya suplai vaskuler yang memvaskularisasi lesi tidak dapat dinilai. CT scan dengan
pemberian bahan kontras akan menggambarkan suplai vaskularisasi yang normal pada lobus
yang terkena pada CLE.
Sedangkan CLE pada foto polos akan memberikan gambaran hiperlusensi pada
lobus yang terkena yang disebabkan distensi alveoli oleh udara di dalamnya. CLE dapat
mengenai sebagian dari lobus ataupun lebih dari 1 lobus. Menurut Baert, et al, CLE
sebaiknya dipertimbangkan ketika sebuah lobus radiodense yang menjadi progresif
23
hiperlusen dan hiperinflasi segera setelah lahir. Lobus kiri atas merupakan lokasi
tersering.17,18
Temuan radiopak pada hemitoraks bayi baru lahir dengan pergeseran
mediastinum bukan hanya ditemukan pada CLE, tetapi juga dapat ditemukan pada CCAM,
hernia diafragma kongenital dan chylotoraks (Tabel 3). Pengenalan karakteristik masingmasing lesi dan foto polos evaluasi diperlukan untuk menyingkirkan diagnosis banding
lainnya.
Saat masih periode prenatal, USG prenatal menjadi modalitas utama untuk
mengevaluasi fetus, karena aman, sudah banyak dikerjakan dan murah. Apabila terdapat lesi
kistik pada USG prenatal, CCAM merupakan diagnosis banding utama karena merupakan
lesi kistik kongenital yang paling sering ditemukan dengan didominasi tipe makrokistik.
Sedangkan CLE jarang terdeteksi in utero dan apabila terdeteksi akan tampak massa
echogenik difus berukuran besar tanpa adanya suplai arteri sistemik. Oleh karena itu, pada
kasus ini, adanya lesi kistik di pulmo dextra saat USG prenatal 24 minggu saja sudah
mengarah ke diagnosis CCAM.
USG prenatal CCAM tipe I dapat berupa lesi kistik tunggal, multiple, atau
bersepta-septa. CCAM tipe II sering menunjukkan lesi kistik multiple dengan ukuran yang
sama, meskipun pernah dilaporkan CCAM tipe II berupa kista multiple dengan area
echogenik. Sedangkan CCAM tipe III sering menunjukkan lesi berukuran besar yang
solid.16,17
Temuan lesi kistik pada toraks fetus menunjukkan bahwa lesi kistik tersebut
merupakan lesi kongenital. Pasien tersebut didiagnosis kista paru dekstra saat usia 24
minggu. Hal tersebut sesuai dengan referensi karena kebanyakan kista paru kongenital dapat
terdeteksi mulai usia 20 minggu. Berdasarkan gambaran USG prenatal, lesi pada kasus ini
24
tergolong lesi mikrokistik karena berukuran <5 mm. Menurut Hsu, et al, lesi mikrokistik
sering berkaitan dengan hidrops fetalis dan memiliki prognosis yang buruk. Hal tersebut tidak
ditemukan pada kasus ini, karena USG prenatal saat usia kehamilan 34 minggu hanya
menunjukkan polihidtramnion, tidak hidrops fetalis.3,16
Polihidramnion pada kasus ini kemungkinan disebabkan gangguan proses fetus
saat menelan akibat penekanan esofagus oleh lesi kistik yang membesar. Tidak didapatkan
data mengenai ukuran kista saat USG prenatal usia kehamilan 34 minggu. Akan tetapi, ketika
lahir, tampak kista dengan diameter 3,5 cm yang mendesak mediastinum ke sinistra dengan
kemungkinan juga menekan struktur esofagus fetus. Adanya induksi sekresi ADH dapat
disingkirkan, karena hingga usia kehamilan aterm, tidak didapatkan bengkak pada
ekstremitas ibu pasien.
Munculnya distress pernapasan, syok kardiogenik dan keluarnya udara saat
dilakukan needle decompression menunjukkan terjadinya pneumothorax. Pneumothorax yang
timbul pada kasus ini kemungkinan disebabkan rupturnya kista-kista kecil yang terletak di
inferior dari kista berukuran besar. Roentgen thorax tanggal 3 Maret 2015 menunjukkan
bahwa ukuran kista bertambah besar dibanding sebelumnya (26 Oktober 2014), sehingga
akan menekan kista-kista kecil di inferiornya, terjadi ruptur kista-kista kecil dan terjadi
pneumothorax.
.
Pada kasus ini, tindakan pembedahan perlu dilakukan karena gejala yang timbul
akibat mass effect CCAM sudah mengancam jiwa, yaitu timbulnya syok kardiogenik dan
distress pernapasan. Selain itu, keluhan batuk berdahak dan demam sering muncul pada
pasien yang menunjukkan adanya infeksi paru. Saat dilakukan bulektomi di lobus medius
pulmo dextra pasien, tampak lobus superior dan inferior mengembang sempurna, sedangkan
25
lobus medius mengembang sebagian. Lobus medius baru mengembang sempurna 3 hari
setelah eksisi bula.
Penentuan tindakan pembedahan masih merupakan hal yang kontroversi,
terutama pada CCAM yang asimptomatik. Menurut Sauvat, tindakan pembedahan dapat
diindikasikan pada CCAM yang asimptomatik karena dapat mencegah komplikasi seperti
infeksi paru, terbentuknya karsinoma bronkhoalveolar dan rhabdomiosarkoma .15
Pada kasus ini, terdapat kesesuaian gambaran radiologi rontgen toraks dengan
pemeriksaan histopatologisnya, yaitu gambaran CCAM tipe 1. Gambaran radiologi rontgen
toraks CCAM tipe 1 juga sesuai dengan literatur sebelumnya. Sebuah kista besar yang
dikelilingi oleh beberapa kista kecil merupakan merupakan ciri khas CCAM tipe 1 dari foto
toraks. CCAM tipe 1 selalu terletak intrapulmo dan tidak ditemukan kartilago pada dinding
kista yang menunjukkan gangguan pembentukan cabang bronkhopulmoner terjadi sebelum
usia 16 minggu kehamilan, dimana kartilago seharusnya terbentuk pada periode tersebut.
26
BAB V
KESIMPULAN
Telah dilaporkan bayi baru lahir dengan riwayat USG prenatal kista paru dekstra
dengan gambaran foto polos berupa lesi lusen fokal di pulmo dekstra aspek superior,
membulat, diameter 3,5 cm, ketebalan dinding 2 mm disertai multiple lesi lusen kecil di
inferiornya yang mendeviasi mediastinum ke sinistra, sangat mungkin CCAM tipe 1. Hal
tersebut didukung dengan pemeriksaan histopatologis yang sesuai dengan literatur.
Gambaran CCAM pada foto polos bervariasi, CCAM tipe 1 (large cyst,
berukuran 2-10 cm, ), CCAM tipe 2 (small cyst, berukuran 0,5 cm-2 cm) dan CCAM tipe 3
(microcystic atau solid type, berukuran < 0,5 cm). Sedangkan pada CT scan, CCAM tipe 1
menunjukkan kista berukuran besar yang berisi udara/air fluid level, CCAM tipe 2 berupa
massa multikistik berisi udara atau area konsolidasi dan CCAM tipe 3 berupa massa solid.
CCAM dibedakan dengan CLE pada foto polos berdasarkan ada tidaknya corakan
pulmo intralesi dan tegas tidaknya dinding lesi. Sedangkan pada CT scan berdasarkan ada
tidaknya pulmonary vascular marking, ketebalan dinding lesi dan normal tidaknya suplai
vaskuler lesi.
27
DAFTAR PUSTAKA
1.
Kim WS, Lee KS, Kim IO, Suh YL. Congenital Cystic Adenomatoid Malformation: CTPathologic Correlation. JR. 1997, 168: 47-53
Bokyung Kim Han2
2. 1Imaging in
the Diagnosis of Fetal Anomalies, Chapter 18, p 286
3.
Jain A, Singla S, Kumar A. Congenital Cystic Lung Diseases. Journal of Clinical
Imaging Science. 2013, vol 3
4.
Kernstine KH, Natta TL Van, Burkhart HM, Dearmond DT. Congenital Lung Diseases
[Internet]. Eighth Edition. Sabiston & Spencer Surgery of the Chest. 2009:129-50.Elsevier;.
5.
Sruthi G, Sajitha S, Naveen V, Geetha V, 2014, Congenital Cystic Adenomatoid
Malformation Presenting as Complicated Pneumonia. Amrita Journal of Medicine., p 144 (CCAM pneumonia)
6.
Rothenberg S. Congenital Lung Malformations, Update and Treatment. Rev Med Clin
Condes. 2009, 20:734-8
7.
Zylak CJ, Eyler WR, Spizarny DL, Stone CH. Developmental Lung Anomalies in the
Adult: Radiologic-Pathologic Correlation. RadioGraphics. 2002, p 25-43
8.
Newman B. Congenital Bronchopulmonary Foregut Malformations: Concepts and
Controversies. Pediatr Radiol. 2006, p 773-91.
9.
Biyyam DR, Chapman T, Ferguson MR, Deutsch G, Dighe MK. Congenital Lung
Abnormalities: Embryologic Features, Prenatal Diagnosis and Postnatal Radiologic
Pathologic Correlation. RSNA. 2010, p 1725-30.
10. Cho BS, Kim SJ, Jeon MH, Lee OJ, Choe KH, Lee KM, Hong JM. Congenital Cystic
Adenomatoid Malformation (Type II) with Active Tuberculosis in an Adult. 2008, 197200
11. Jana M, Gupta K. Radiologic Evolution of Congenital Cystic Adenomatoid
Malformation in a Neonate. Indian Journal of Pediatrics. 2010, 77: 212-3
12. Melissa L, Christensin R, Stocker T. Congenital Cystic Adenomatoid Malformation.
1991. Radiographics, p 865-86
13. Lakho K, Mngongo C. Congenital Cystic Lung Lesions.
14. Santra G. Lung Cyst, A Diagnostic Dilemma. JIACM. 2011. 12: 308-10
15. HsuYR, Lee SY. Prenatal Diagnosis of Congenital Cystic Adenomatoid
Malformation. Chang Gung Med J. 2004, 27: 61-4
28
16. Ribes R, Luna A. Learning Diagnostic Imaging: 100 Essential Cases
17. Hasegawa M, Sakai F, Arimura K, Katsura H, Koh E, Sekine Y. EFGR Mutation
of Adenocarcinoma in Congenital Cystic Adenomatoid Malformation/Congenital
Pulmonary Airway Malformation: A Case Report. Jpn J Clin Oncol. 2014: 44:
278-81
18. Daltro P, Werner H, Gasparetto TD, Domingeues RC, Rodrigues L, Marchiori E.
Congenital Chest Malformations: A Multimodality Approach with Emphasis on
Fetal MR Imaging. RadioGraphics. 2010. 30: 385-95.
19. Wong A, Vieten D, Singh S, Harvey. Long-term Outcom of Asymptomatic Patients with
Congenital Cystic Adenomatoid Malformation. Pediatr Surg Int. 2009. 25: 479-85
20. Hsu YR, Lee SY. Prenatal Diagnosis of Congenital Cystic Adenomatoid Malformation.
Yaw Hsu, MD; Shin-Yi Lee1, MD -Ren
21. Gupta AK, Veena C, Niranjan KA. Diagnostic Radiology Paediatric Imaging.
22. Morelli L, Piscioli I, Licci S, Donato S, Catalucci A, Nonno FD. Pulmonary Congenital
Cystic Adenomatoid Malformation type I Presenting As A Single Cyst of The Middle
Lobe in An Adult: Case Report. Diagnostic Pathology. 2007, 2:17.
23. Kao SW, Zuppan CW, Young LW. AIRP Best Cases in Radiologic Pathologic
Correlation Type 2 Congenital Cystic Adenomatoid Malformation (Type 2 Congenital
Pulmonary Airway Malformation).
24. Baert AL, Knauth M, Radiological Imaging of Neonatal Chest. Springer. 2008, p 114-33
25. Lee EY, Boiselle PM, Cleveland RH. Multidetector CT Evaluation of Congenital Lung
Anomalies. Radiology. 2008. 247: 632-38
.
29
Download