analisis dinamis pengaruh instrumen fiskal terhadap

advertisement
ANALISIS DINAMIS PENGARUH INSTRUMEN FISKAL
TERHADAP PDB DAN INFLASI DI INDONESIA
JURNAL ILMIAH
Disusun oleh :
Berto Muharman
105020115111011
JURUSAN ILMU EKONOMI
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2013
LEMBAR PENGESAHAN PENULISAN ARTIKEL JURNAL
Artikel Jurnal dengan judul :
ANALISIS DINAMIS PENGARUH INSTRUMEN FISKAL TERHADAP PDB
DAN INFLASI DI INDONESIA
Yang disusun oleh :
Nama
:
Berto Muharman
NIM
:
105020115111005
Fakultas
:
Ekonomi dan Bisnis
Jurusan
:
S1 Ilmu Ekonomi
Bahwa artikel Jurnal tersebut dibuat sebagai persyaratan ujian skripsi yang
dipertahankan di depan Dewan Penguji pada tanggal 12 Juli 2013
Malang, 12 Juli 2013
Dosen Pembimbing,
Dr. Ghozali Maski, SE., MS.
NIP.19580927 198601 1 002
Analisis Dinamis Pengaruh Instrumen Fiskal terhadap PDB dan Inflasi
di Indonesia
Berto Muharman
Ghozali Maski
Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya Malang
Email :[email protected]
ABSTRACT
Government Expenditure and tax revenue is an instrument of fiscal policy as a government
instrument to achieve development goals. Development objectives are reflected in the high growth
achievement and inflation rate can be reduced.
This study uses time series data of the Indonesian economy in 1970 to 2012 with the dynamic
approach of Error Correction Mechanism (ECM). This study to determine the effect of government
spending and taxes to GDP in the short term and long term and also to determine the effect of
government spending and taxes on inflation in the short term and in the long term.
The empirical results indicate that in the short term, government spending and taxes have a
positive influence on GDP in both the short term and the long term. Fiscal instruments to influence
inflation, found that goverment spending and taxes has a positive effect in the short term meanwhile
negative effect in the long-term. In the short term effect of government spending is greater than tax to
influence GDP meanwhile in the long term tax is more influential in estimating GDP. Government
spending and taxes influence inflation at the same rate in both the short term and in the long term.
Keywords: government expenditure, tax revenue, GDP, inflation, ECM.
ABSTRAK
Pengeluaran negara dan penerimaan pajak merupakan instrumen fiskal sebagai alat penempuh
kebijakan pemerintah untuk mencapai sasaran pembangunan. Sasaran pembangunan tercermin dalam
pertumbuhan yang tinggi dan laju inflasi yang dapat ditekan.
Penelitian ini menggunakan data runtut waktu perekonomian Indonesia tahun 1970 sampai
dengan 2012 dengan pendekatan dinamis Error Correction Mechanism (ECM). Penelitian ini untuk
mengetahui pengaruh belanja negara dan pajak terhadap PDB dalam jangka pendek maupun jangka
panjang dan juga untuk mengetahui pengaruh belanja negara dan pajak terhadap inflasi dalam
jangka pendek maupun dalam jangka panjang.
Hasil empiris mengindikasikan bahwa dalam jangka pendek, belanja negara dan pajak
mempunyai pengaruh yang positif terhadap PDB baik dalam jangka pendek maupun dalam jangka
panjang. Pengaruh instrumen fiskal terhadap inflasi menemukan bahwa belanja negara dan pajak
berpengaruh positif dalam jangka pendek sedangkan berpengaruh negative dalam jangka panjang.
Dalam jangka pendek pengaruh belanja negara lebih besar dibandingkan pajak dalam mempengaruhi
PDB sedangkan jangka panjang pajak yang lebih berpengaruh dalam menaksir PDB. Belanja negara
maupun pajak mempengaruhi inflasi dengan tingkat yang sama baik dalam jangka pendek maupun
dalam jangka panjang.
Kata Kunci : pengeluaran negara, penerimaan pajak, PDB, inflasi, ECM.
A. LATAR BELAKANG
Keberhasilan perekonomian Indonesia mempertahankan pertumbuhan positif diatas 6% dan
stabilitas inflasi disaat krisis global tahun 2008 memberikan beberapa pertanyaan bagaimana Indonesia
bisa tetap melaju tanpa pengaruh berarti dari krisis keuangan global. Padahal satu dekade sebelumnya
Indonesia pernah mendapat gunjangan ekonomi yang sama. Pada krisis tahun 1998 tingkat agregat
demand yang menurun menyebabkan industri menurunkan tingkat output. Turunnya output perusahaan
membawa perusahaan ke dalam kerugian, sehingga untuk mengurangi beban biaya perusahaan
melakukan perampingan tenaga kerja. Pengangguran ini meningkatkan kemiskinan selanjutnya daya
beli masyarakat menurun. Krisis tersebut menjadi momentum dalam meningkatkan ketahanan
ekonomi juga menjadi pembelajaran pada pemerintah Indonesia dalam menempuh kebijakan fiskal dan
moneter yang efisien dan efektif. Dengan kedua instrumen kebijakan ini pemerintah dapat
mengendalikan kegiatan ekonomi masyarakat dengan maksud mencapai pertumbuhan yang diinginkan
yaitu pertumbuhan yang dapat dirasakan oleh seluruh masyarakat.
Kebijakan fiskal yang tertuang dalam dokumen anggaran memiliki fungsi dan tujuan anggaran
negara dalam hal mencapai sasaran pembangunan yang direncanakan, seperti mewujudkan
pertumbuhan dan stabilitas perekonomian (stabilitas harga) serta pemerataan pendapatan.Sehingga
penyusunan anggaran yang berdasarkan pada perkembangan asumsi-asumsi makro untuk mencapai
kembali asumsi-asumsi makro yang direncanakan.Hal ini sesuai dengan pendapat Samuelson,
pemerintah dengan kebijakan fiskal dapat mempengaruhi sasaran-sasaran ekonomi seperti peningkatan
pertumbuhan, stabilitas harga, kesempatan kerja dan perdagangan internasional yang kompetitif.
Kebijakan fiskal seperti belanja pemerintah akan berpengaruh pada konsumsi total dari permintaan
agregat sedangkan penerimaan perpajakan mengurangi pendapatan, mempengaruhi penanaman modal
dan output potensial. Dengan demikian kebijakan fiskal memiliki dampak pada pertumbuhan ekonomi
serta tingkat inflasi.
Dalam teori terdapat perbedaan persepsi pengaruh kebijakan fiskal misalnya pengeluaran
pemerintah terhadap pertumbuhan ekonomi.Perbedaan persepsi ini tertuang dalam teori permintaan
Agregat Demand dan Agregrat Supply.Berdasarkan teori pengeluaran pemerintah dari Keynes dalam
permintaan agregat mengungkapkan bahwa pengeluaran pemerintah merupakan salah satu faktor
pengaruh dalam pertumbuhan ekonomi namun menurut Solow mengungkapkan bahwa peran
pemerintah dalam kebijakan fiskal tidak dapat mempengaruhi pertumbuhan. Solow dan Swan
mengungkapkan bahwa pertumbuhan ekonomi hanya dipengaruhi dari agregat supply berupa
akumulasi modal, tenaga kerja dan penggunaan teknologi.
Kebijakan fiskal juga dapat mempengaruhi terhadap inflasi yang ditimbulkan.Golongan
Keynesian beranggapan bahwa kebijakan fiskal juga dapat mempengaruhi tingkat harga, dengan
mengatur besaran belanja negara dan penerimaan pajak akan mempengaruhi sisi permintaan total
sehingga mengubah keseimbangan harga pasar. Sedangkan golongan monetaris beranggapan bahwa
inflasi hanya dapat ditentukan oleh indikator-indikator makro seperti jumlah uang beredar, suku bunga
maupun nilai tukar.
Berdasarkan uraian diatas maka tujuan penelitian ini adalah mengetahui pengaruh jangka pendek
dan jangka panjang belanja negara dan pajak terhadap PDB dan inflasi.
.
B. KAJIAN PUSTAKA
Pengeluaran Negara dan PDB
Menurut Keynes, kebijakan fiskal ekspansif dilakukan untuk mengatasi resesi ekonomi.
Kebijakan fiskal ekspansif dapat dilakukan dengan menaikan belanja pemerintah dibarengi dengan
pemotongan pajak, dengan begitu akan menstimulus pasar barang dan meningkatkan output nasional.
Teori permintaan agregat dari Keynes mencoba mencari pola hubungan antara kebijakan fiskal
terhadap output nasional. Output nasional atau PDB sangat ditentukan oleh keinginan rumah tangga,
perusahaan, dan pemerintah untuk membelanjakan pendapatannya. Semakin banya pelaku ekonomi
tersebut berbelanja semakin banyak barang dan jasa yang bisa dijual perusahaan. Output perusahaan
yang meningkat akan berdampak pada meningkatnya penggunaan faktor tenaga kerja, hal ini
menyebabkan akan menurunnya penggangguran.
Efek pengganda pengeluaran negara muncul akibat permintaan belanja negara direspon oleh
perusahaan dan dijadikan sebagai pendapatan, kemudian pendapatan perusahaan di jadikan sebagai
dana untuk belanja perusahaan seperti belanja modal, belanja gaji dan sebagainya. Pendapatan dari gaji
maupun modal dijadikan untuk konsumsi lagi.Konsumsi meningkatkan pendapatan perusahaan dan
begitu seterusnya.
Penerimaan Pajak dan PDB
Hubungan instrumen fiskal penerimaan perpajakan terhadap PDB juga dapat dijelaskan dalam
teori perpotongan Keynesian.Apabila kebijakan fiskal pemerintah adalah meningkatkan gairah
perekonomian maka penurunan tarif pajak merupakan keputusan yang perlu diambil. Penurunan pajak
akan berdampak pada pendapatan riil masyarakat meningkat. Penurunan tarif pajak penghasilan
meningkatkan penerimaan penghasilan atau bertambahnya laba perusahaan. Sedangkan penurunan
pajak akan barang kena pajak meningkatkan kemampuan konsumsi atas barang-barang tersebut
misalkan penurunan pajak atas barang modal menggairahkan sektor industri untuk mengembangkan
perusahaan. Begitu juga jika dilakukan penurunan tarif impor bahan baku yang dapat meningkatkan
usaha produsen dalam negeri yang bergantung pada bahan baku dari luar negeri.
Efek pengganda yang muncul dari pemotongan pajak langsung direspon dengan meningkatkan
pendapatan disposibel karyawan dan perusahaan. Karyawan maupun perusahaan kemudian
meningkatkan konsumsi atas barang konsumsi, bahan baku maupun barang modal, kemudian kenaikan
permintaan direspon dunia usaha, akibatnya akan meningkatan penghasilan perusahaan dan karyawan
lagi begitu seterusnya.
Kebijakan fiskal dapat dijadikan sebagai kebijakan stabilisasi pemerintah dalam menghadapi
resesi ekonomi. Kebijakan fiskal tersebut dianggap sebagai kebijakan stabilisasi dari akibat yang
ditimbulkan oleh gunjangan ekonomi. Kebijakan stabilisasi bertujuan mengurangi tekanan fluktuasi
ekonomi dalam jangka pendek dan memperkecil siklus bisnis dengan mempertahankan output dan
kesempatan kerja sedekat mungkin pada tingkat alamiahnya dalam jangka panjang.
Alesina dan Ardagna (2010) menerangkan bahwa korelasi perpajakan cenderung lebih besar
mempengaruhi output nasional dibandingkan dengan menaikkan belanja negara. Sedangkan menurut
Abustan dan Mahyudin (2009) mengevaluasi keterkaitan hubungan sebab akibat antara belanja
pemerintah dan pertumbuhan ekonomi di Makasar. Dalam penelitian menemukan bahwa APBD
ditentukan oleh besarnya PDRB Makasar tidak sebaliknya. Dalam hal ini kinerja belanja pemerintah
tidak berdampak pada pertumbuhan ekonomi.Ini berarti penelitian tidak sesuai dengan teori
Keynesian.
Pengeluaran Pemerintah dan Inflasi
Teori permintaan dan penawaran agregat Keynes dapat menjelaskan terjadinya inflasi. Inflasi
yang disebabkan oleh kelebihan permintaan terhadap penawaran barang dan jasa atau disebut dengan
demand pull inflation. Inflasi ini terjadi karena naiknya tingkat pendapatan masyarakat sehingga
cenderung membeli barang dan jasa lebih banyak dari yang biasanya mereka konsumsi.Kebijakan
fiskal ekspansif, kenaikan belanja negara menstimulus peningkatan konsumsi negara sedangkan disatu
sisi kenaikan kapasitas produksi perusahaan terbatas dalam menghasilkan barang dan jasa sehingga
menyebabkan kenaikan harga barang-barang.
Penerimaan Pajak dan Inflasi
Teori kedua yang menjelaskan hubungan instrumen fiskal dengan inflasi adalah cosh push
inflation, yaitu kenaikan harga barang-barang disebabkan oleh kenaikan biaya produksi akibat adanya
kenaikan dari faktor-faktor produksi itu sendiri. Kebijakan fiskal seperti kenaikan tarif pajak tinggi
sangat membebankan kegiatan produksi, akibatnya dunia usaha mengurangi output
produksinya.Berkurangnya penawaran sedangkan permintaan tetap pada akhirnya menjadi dasar
terciptanya inflasi.
Sujai (2011) menjelaskan kebijakan pengurangan pajak merupakan kebijakan fiskal yang efektif
untuk jangka pendek dalam menstabilkan harga komoditas pangan. Namun kebijakan pengurangan
pajak dan bea masuk dalam jangka panjang menjadi disintensif terhadap produktifitas sektor pertanian.
Sehingga untuk mengatasi volatilitas harga pangan kedepannya perlu ditempuh kebijkan fiskal seperti
sinergi kebijakan antara kebijakan fiskal dan tarif serta kebijakan sektor pertanian, menciptakan
stabilitasi harga komoditas dengan cara mengurangi pajak, operasi pasar, mengawasi saluran distribusi
dan peningkatan produksi dalam negeri dan mempertahankan keseimbangan antara penawaran dan
permintaan dengan ketersediaan pasokan yang cukup.
C. METODE PENELITIAN
Objek dan Metode Pengumpulan Data
Objek penelitian ini adalah perekonomian Indonesia. Data yang digunakan adalah data sekunder time
series dengan jangka waktu tahun 1970 sampai dengan 2012 yang diperoleh dari World Bank,Laporan
Tahunan Nota Keuangan dan APBN, dan Asian Development Bank (ADB).
Metode dan Prosedur Analisis Data
Untuk mengetahui pengaruh jangka pendek dan panjang dari instrumen fiskal (pengeluaran
pemerintah dan penerimaan pajak) terhadap masing masing sasaran makronya (PDB dan inflasi),
dalam penelitian menggunakan metode analisis dinamis error correction mechanism (ECM).Dalam
penelitian menggunakan uji penentuan model Mackinnon-White-Davidson (MWD), uji stasioner, dan
uji kointegrasi. Kemudian dilakukan ujivalidasi model seperti asumsi klasik (autokorelasi,
heteroskedastisitas, normalitas dan multikolinearitas) dan uji kesesuaian (uji t, uji F dan R-squared)
D. HASIL DAN PEMBAHASAN
Perkembangan Instrumen Fiskal dalam APBN
Dalam struktur APBN, pengelolaan keuangan negara telah mengalami perubahan dengan maksud
mencapai tingkat efisiensi dan efektivitas belanja. Dimulai pada tahun 2001, APBN sudah
meninggalkan sistem anggaran berimbang dinamis yaitu pengangaran dimana jumlah penerimaan
negara selalu sama dengan pengeluaran negara. Sistem anggaran ini mengaburkan sifat bantuan luar
negeri sebagai pinjaman yang harus dibayar kembali dimasukan sebagai item penerimaan.Oleh karena
itu penganggaran berubah menjadi sistem penganggaran surplus atau defisit.Dimana anggaran defisit
ditutupi dengan pembiayaan sedangkan dalam pembiayaan itu sendiri tercantum pinjaman luar negeri
dan pengembalian pokok pinjaman.
Uji MWD (Mackinnon-White-Davidson)
Uji MWD digunakan untuk mencari model yang terbaik apakah linier atau log-linier.Hal ini dapat
diketahui dengan menghasilkan t-stat Z1 dari bentuk model regresi linier dan untuk mengthasilkan tstat Z2 dari bentuk model regresi log-linier. Kemudian masing-masing t-stat Z1 dan Z2 kemudian
dibandingkan dengan t-tabel, atau dengan cara menghitung probilitas Z1 dan Z2 dibandingkan dengan
probilitas nilai kritis α = 0,05. Kriteria untuk uji linieritas dalam penelitian dengan menggunakan uji
MWD. yaitu,
1. Jika Z1 signifikan secara statistik berarti bentuk linier ditolak, sehingga model yang sesuai
adalah bentuk log linier, dan sebaliknya.
2. Jika Z2signifikan secara statistik berarti bentuk log linier ditolak sehingga model yang sesuai
adalah bentuk linier, dan sebaliknya.
3. Jika Z3 signifikan secara statistik berarti bentuk linier ditolak, sehingga model yang sesuai
adalah bentuk log linier, dan sebaliknya.
4. Jika Z4signifikan secara statistik berarti bentuk log linier ditolak sehingga model yang sesuai
adalah bentuk linier, dan sebaliknya.
Tabel 1: Uji MWD
PDB
C
LPDB
1,29
0,20
C
BEL
12,86
0,00
PJK
11,86
Z1
-1,65
INF
LINF
32,4
0,00
C
7,40
0,00
C
7,57
0,00
LBEL
15,62
0,00
BEL
-2,6
0,01
LBEL
-1,36
0,17
0,00
LPJK
8,77
0,00
PJK
2,52
0,15
LPJK
0,92
0,36
0,51
Z2
-1,03
0,30
Z3
-2,1
0,04
Z4
-1,60
0,11
Sumber : Diolah dari Aplikasi Eviews
Dari tabel 1 terlihat bahwa Z1 dan Z2 dari persamaan pertama (variabel terikat PDB dan LPDB)
baik linier maupun log-linier ternyata tidak signifikan sehingga setiap persamaan dapat dipergunakan
baik itu linier maupun log-linier. Pada nilai Z3 dan Z4 pada persamaan kedua (variabel terikat INF
dan LINF) ternyata Z3 signifikan sehingga model linier ditolak sehingga model yang sesuai adalah
log-linier sedangkan nilai Z4 tidak signifikan sehingga model log-linier diterima. Dengan hasil uji
MWD seperti yang diatas maka model yang sesuai adalah log-linier
Uji Akar Unit
Dalam analisis runtut waktu, uji stasioner diketahui dengan menggunakan uji akar unit (unit root)
dengan menggunakan metode ADF. Terlebih dahulu menguji setiap variabel pada derajat I(0) atau
derajat level dengan hipotesis sebagai berikut:
Nilai kestasioneritas data dapat juga diketahui dari nilai probabilitas Mac-Kinnon dimana nilai
prob. Mac-Kinnon kecil dari nilai probabilitas kritis α = 1%, 5% atau 10%.
Tabel 2: Hasil Pengujian Akar Unit
Variabel
Nilai t-statistic ADF
Nilai t-statistic ADF
(prob)
(prob)
level
first difference
LPDB
2,336609 (0,1657)
4,557087* (0,0007*)
LDB
4,308676* (0,0014*)
9,052982*(0,0014*)
LINV
2,194914 (0,2111)
4,838563*(0,0003*)
LPOPG
1,853632 (0,3503)
5,641133*(0,0000*)
Sumber : Diolah dari Aplikasi Eviews
* signifikan pada α = 1%
Hasil seluruh variabel stasioner pada diferensi pertama, dapat juga dicari melalui dari nilai prob.
Mac-Kinnon dari seluruh variabel yang lebih kecil dari nilai probabilitas kritis 1%, 5% dan
10%.Karena seluruh variabel sudah stasioner pada diferensi pertama maka tidak perlu dilanjutin uji
stasioner ke diferensi kedua.
Uji Kointegrasi Johansen
Variabel-variabel yang tidak stasioner sebelum dideferensi namun stasioner pada tingkat diferensi
pertama, besar kemungkinan akan terjadi kointegrasi yang berarti terdapat hubungan jangka panjang
diantara variabel-variabel tersebut (Winarno, 2007).
Untuk mengetahui karakteristik masing-masing data yang akan digunakan dalam penelitian, di
mana konsistensi jangka panjang dari model analisis dapat diketahui melalui uji kointegrasi Johansen.
Pada uji kointegrasi Johansen apabila nilai trace dan max eigen lebih besar dari nilai kritis yang
ditolerir (α = 0,05) maka data terkointegrasi. Namun sebelum melakukan uji kointegrasi Johansen
terlebih dahulu mencari lag optimal dan jenis tren dan tipe data. Dalam penelitian telah diketahui
bahwa lag optimal yang diperoleh berada pada Lag 1 dengan tren dan tipe data linier dan intersep tren
(lampiran).
Tabel 3: Uji Kointegrasi
Nilai Trace
45,78081
Nilai Kritis
(α = 5%)
42,91525
Nilai Max Eigen
26,67603
Nilai Kritis
(α = 5%)
25,82321
Nilai Trace
59,02061
Nilai Kritis
(α = 5%)
42,91525
Nilai Max Eigen
39,28782
Nilai Kritis
(α = 5%)
25,82321
LPDB=f(LBEL,LPJK)
LINF=f(LBEL,LPJK)
Sumber : Hasil Olah Data Estimasi dari program eviews
Pada Uji Kointegrasi Johansen diatas menunjukan data terkointegrasi, hal ini dapat dilihat pada
nilai trace dan max eigen dari kedua fungsi persamaan lebih besar dari nilai kritis pada α = 0,05. Pada
fungsi pertama nilai trace (45,78081) > nilai kritis α = 0,05 ( 42.91525) begitu juga nilai max eigen
(31.28769) > dari nilai kritis α = 0,05 (25.82321). Sehingga persamaan pertama memiliki hubungan
kointegrasi. Atau dapat diartikan bahwa variabel PDB, Belanja dan Pajak terdapat hubungan jangka
panjang.
Sedangkan pada fungsi kedua nilai trace (59,02061) dan max eigen (39,28782) lebih besar dari
nilai kritis α = 0,05 masing-masing ( 42.91525 dan 25.82321). Sehingga persamaan pertama memiliki
hubungan kointegrasi. Atau dapat diartikan bahwa variabel Inflasi, Belanja dan Pajak terdapat
hubungan jangka panjang.
Hasil Estimasi ECM Instrumen Fiskal Terhadap PDB
Model persamaan ECM merupakan model persamaan dinamis dalam jangka pendek.Karena
dalam jangka pendek variabel-variabel dalam model tidak ekuilibrium.Oleh karena itu, meletakkan
error term pada model ECM sebagai equilibrium error.Selanjutnya menggunakan error term tersebut
untuk mengikat perilaku jangka pendek terhadap nilai jangka panjang (Ajija, 2011).Dapat dikatakan
bahwa model ECM merupakan model persamaan jangka pendek.
Tabel 4: Hasil Estimasi ECMInstrumen Fiskal Terhadap PDB
ΔLPDB = 0,0735522 + 0,315750ΔLBEL + 0,250023ΔLPJK – 0,445473
t-stat
3,654214
(0,0008)*
5,797661
(0,0000)*
2,277242
(0,0285)*
-3,960027
(0,0003)*
0,688428
DW-stat
1,709512
t-tabel
5% = 1,68
F-stat
27,98745
F-tabel
5% = 3,23
Sumber : Hasil Olah Data Estimasi dari program eviews
* Signifikan pada α = 5%
Pada tabel 4 estimasi regresi ECM menunjukan persamaan regresi tidak mengandung regresi
lancung karena nilai DW-stat sebesar 1,709 lebih besar dari nilai R-squared 0,688. Pada uji F, nilai Fstatistik sebesar 27,987 dengan probabilitasnya 0,000 sedangkan nilai F-tabel sebesar 3,23 pada nilai
kritis α = 5% sehingga Nilai F-hitung lebih besar dari F-tabel atau 27,987 > 3,23. Dapat disimpulkan
variabel-variabel bebas secara simultan mempengaruhi variabel terikatnya atau dalam penelitian
variabel belanja negara dan variabel pajak secara serentak mempengaruhi variabel PDB dalam jangka
pendek.
Nilai R-squared pada model estimasi ECM adalah 0,688, hal ini berarti bahwa 68,8% variasi
PDB dapat dijelaskan oleh variasi variabel belanja dan pajak dalam jangka pendek, sisanya sebesar
31,2% dapat dijelaskan oleh variabel-variabel lain diluar model.
Nilai
merupakan hal terpenting dalam model ECM dalam penyesuaian jangka pendek ke
jangka panjang menuju keseimbangan sehingga
disebut juga sebagai error correction term
(ECT). Nilai t-hitung
bertanda negatif (-3,96) dan probabilitasnya signifikan sebesar 0,0008 <
nilai kritis pada α = 0,05 maka terdapat penyesuai terhadap ketidakstabilan yang terjadi dalam jangka
pendek. Ini berarti bahwa model ECM diatas sudah valid.
Koefisien
bernilai 0,445 merupakan nilai kecepatan dalam penyesuaian diri menuju tren
jangka panjang sebesar 44,5% dengan 1 lag. Dapat diartikan juga bahwa sebesar 44,5% dari
ketidaksesuaian yang dapat dikoreksi jangka pendek terhadap jangka panjang selama 1 tahun.
Uji Asumsi Klasik Regresi ECM Instrumen Fiskal terhadap PDB
a) Autokorelasi
Dalam pengujian autokorelasi diperoleh nilai probabilitas chi-squareobs*R-squared sebesar
0,1935 < nilai kritis pada α = 0,05, maka Ho tidak dapat ditolak atau menerima Ho. Dengan begitu
model regresi instrumen fiskal terhadap PDB dalam jangka pendek tidak mengandung autokorelasi.
b) Heterokedastisitas
Dalam pengujian heteroskedastisitas diperoleh nilai probabilitas chi-squareobs*R-squared
sebesar 0,5907 > nilai kritis pada α = 0,05, maka Ho tidak dapat ditolak atau menerima Ho. Dengan
begitu model regresi instrumen fiskal terhadap PDB dalam jangka pendek tidak mengandung
heteroskedastis atau bersifat homoskedastis.
c) Normalitas
Dalam uji normalitas diperoleh nilai probabilitas Jarque-Bera sebesar 0,197 > nilai kritis pada α
= 0,05, maka Ho tidak dapat ditolak atau menerima Ho. Dengan begitu model regresi instrumen fiskal
terhadap PDB dalam jangka pendek berdistribusi normal.
d) Multikolinearitas
Dalam uji multikolinearitas diperoleh R-squared utama (
) sebesar 0,688 dan Rsquaredparsial (
,
dan
) berturut-turut bernilai 0,322, 0,298 dan 0,068.
Dengan begitu nilai
= 0,688 >
= 0,322 dan
= 0,688 >
= 0,298 dan
juga
= 0,688 >
=0,068 sehinggamodel estimasi ECM instrumen fiskal terhadap PDB
dalam jangka pendek tidak terjadi multikolinearitas.
Berdasarkan keempat uji asumsi klasik diatas model ECM sudah memenuhi standar untuk
mengahasilkan estimasi yang bersifat BLUE.
Hasil Estimasi Insrumen Fiskal terhadap PDB Dalam Jangka Panjang
Pada uji kointegrasi sebelumnya dihasilkan adanya hubungan kointegrasi antara variabel bebas
LBEL dan LPJK sebagai instrumen fiskal terhadap variabel terikat LPDB dan LINF, sehingga terdapat
keseimbangan jangka panjang diantara variabel-variabel didalam model.
Regresi estimasi instrumen fiskal seperti variabel belanja dan pajak terhadap PDB dalam jangka
panjang dapat ditunjukkan persamaan seperti dibawah ini,
LPDB = 0,83957 + 0,291203LBEL + 0,438747LPJK
Nilai koefisien variabel belanja sebesar positif 0,2912 dengan perilaku variabel lain dianggap
tetap (ceteris paribus) menunjukan bahwa setiap ada kenaikan 1 persen pengeluaran pemerintah dapat
diperkirakan akan menaikkan sebesar 0,2912 persen PDB. Besaran koefisien variabel pajak itu sendiri
adalah 0,4387, hal ini dapat diartikan dengan mengasumsikan variabel lain tetap (ceteris paribus)
menunjukan bahwa setiap ada kenaikan 1 persen dalam penerimaan pajak dapat mengakibatkan
kenaikan sebesar 0,4387 persen PDB.
Hasil Estimasi Intsrumen Fiskal terhadap Tingkat Inflasi Dalam Jangka Pendek
Regresi estimasi ECM instrumen fiskal seperti variabel belanja (LBEL) dan pajak (LPJK)
terhadap inflasi (LINF) dalam jangka pendek dapat disajikan dalam tabel berikut,
Tabel 5: Hasil Estimasi ECMInstrumen Fiskal Terhadap Inflasi
ΔLINF = -0,646452 + 1,608745ΔLBEL + 0,250023ΔLPJK – 0,563117
t-stat
-3,999106
(0,0003)*
3,707846
(0,0007)*
1,846214
(0,0727)**
-4,589741
(0,0000)*
0,648905
DW-stat
2.069406
t-tabel
5% = 1,68
F-stat
23,41095
F-tabel
5% = 3,23
Sumber : Hasil Estimasi dari program eviews
* Signifikan pada α = 5%
Dari hasil persamaan mengindikasikan bahwa regresi ECM pada tabel 5 bukan merupakan regresi
lancung dapat dilihat dari nilai DW-stat 2,069 lebih besar dari R-squared 0,648.
Uji F terhadap model estimasi jangka pendek menunjukkan variabel bebas belanja dan pajak
secara bersama-sama mempengaruhi secara signifikan terhadap variabel terikat variabel inflasi. Hal ini
ditunjukkan oleh nilai F-hitung 23,41> dari F-tabel sebesar 3,23 pada nilai kritis α = 0,05. Atau
melihat probabilitas F-stat yang 0,000 < daripada nilai kritis α = 0,05.
Nilai R-squared pada model estimasi ECM adalah 0,648, hal ini berarti bahwa 64,8% variasi
inflasi dapat dijelaskan oleh variasi variabel belanja dan pajak dalam jangka pendek, sisanya sebesar
35,2% dapat dijelaskan oleh variabel-variabel lain diluar model.
Nilai t-hitung
bertanda negatif (-4,589) dan probabilitasnya signifikan sebesar 0,0008< nilai
kritis pada α = 5% maka model persamaan ECM diatas terdapat penyesuai terhadap ketidakstabilan
yang terjadi dalam jangka pendek.
Nilai koefisien residual
bernilai 0,563 merupakan nilai speed of adjustment atau kecepatan
dalam penyesuaian ketidakseimbangan sistem dari model ECM sebesar 56,3%. Dapat diartikan juga
bahwa sebesar 56,3% dari ketidaksesuaian antara jangka panjang dan jangka pendek yang dapat
dikoreksi selama 1 tahun.
Melihat pengaruh jangka pendek belanja negara terhadap inflasi dilihat dari uji-t dengan cara
nilai t-hitung dibandingkan terhadap t-tabel. Nilai t-hitung variabel belanja positif 3,707 > t-tabel 1,68
pada nilai kritis α = 0,05 sehingga variabel belanja berpengaruh positif dan signifikan terhadap
variabel inflasi dalam jangka pendek.
Uji Asumsi Klasik Regresi ECM Instrumen Fiskal terhadap Inflasi
a) Autokorelasi
Dalam pengujian autokorelasi diperoleh nilai probabilitas chi-squareobs*R-squared sebesar
0,4583< nilai kritis pada α = 0,05, maka Ho tidak dapat ditolak atau menerima Ho. Dengan begitu
model regresi instrumen fiskal terhadap inflasi dalam jangka pendek tidak mengandung autokorelasi.
b) Heterokedastisitas
Dalam pengujian heteroskedastisitas diperoleh nilai probabilitas chi-squareobs*R-squared
sebesar 0,2126 > nilai kritis pada α = 0,05, maka Ho tidak dapat ditolak atau menerima Ho. Dengan
begitu model regresi instrumen fiskal terhadap inflasi dalam jangka pendek tidak mengandung
heteroskedastis atau bersifat homoskedastis.
c) Normalitas
Dalam uji normalitas diperoleh nilai probabilitas Jarque-Bera sebesar 0,9681> nilai kritis pada α
= 0,05, maka Ho tidak dapat ditolak atau menerima Ho. Dengan begitu model regresi instrumen fiskal
terhadap inflasi dalam jangka pendek berdistribusi normal.
d) Multikolinearitas
Dalam uji multikolinearitas diperoleh R-squared utama (
) sebesar 0,648 dan R-squared
parsial (
,
dan
) berturut-turut bernilai 0,314, 0,275 dan 0,064.
Dengan begitu nilai
= 0,648 >
= 0,314 dan
= 0,648 >
= 0,275 dan
juga
= 0,648 >
=0,064 sehinggamodel estimasi ECM instrumen fiskal terhadap inflasi
dalam jangka pendek tidak terjadi multikolinearitas.
Berdasarkan keempat uji asumsi klasik diatas model ECM sudah memenuhi standar untuk
mengahasilkan estimasi yang bersifat BLUE.
Hasil Estimasi Insrumen Fiskal terhadap Tingkat Inflasi Dalam Jangka Panjang
Regresi estimasi instrumen fiskal seperti variabel belanja dan pajak terhadap inflasi dalam jangka
panjang dapat ditunjukkan seperti dibawah ini,
LINF = 2,1479 - 1,8568LBEL - 1,8388LPJK
Nilai koefisien variabel belanja sebesar -1,856, dengan perilaku variabel lain dianggap tetap
(ceteris paribus) menunjukan bahwa setiap ada kenaikan 1 persen belanja dapat diperkirakan akan
menurunkan sebesar 1,856 persen inflasi. Besaran koefisien variabel pajak adalah -1,838, dengan
mengasumsikan variabel lain tetap (ceteris paribus) menunjukan bahwa setiap ada kenaikan 1 persen
dalam penerimaan pajak member dampak turunnya inflasi sebesar -1,838 persen.
Interpretasi Ekonomi dari Hasil Estimasi
Dari hasil estimasi diatas dapat disimpulkan secara menyeluruh pola hubungan antara instrumen
fiskal seperti pengeluaran pemerintah dan penerimaan pajak terhadap sasaran makro perekonomian
yang direpresentasikan oleh produk domestik bruto (PDB) dan tingkat inflasi, yang dapat ditujukkan
oleh tabel berikut,
Tabel 6: Hubungan Jangka Pendek dan Panjang Instrumen Fiskal terhadap PDB dan Inflasi
JANGKA PENDEK
Var
ECT
Belanja
JANGKA PANJANG
Pajak
Belanja
Pajak
Koef.
Prob.t
Koef.
Prob.t
Koef.
Prob.t
Koef.
Koef.
PDB
-0,44
0,000*
0,315
0,000*
0,250
0,028
0,291
0,438
Inflasi
-0,56
0,000*
1,608
0,001*
1,598
0,072**
-1,85
-1,83
Sumber : diolah dari Hasil pengolahan data Eviews
** Signifikan pada nilai kritis α = 5% ** Signifikan pada nilai kritis α = 10%
Interpretasi Ekonomi Instrumen Fiskal terhadap PDB
Terdapat hubungan keseimbangan jangka panjang antara output nasional, pengeluaran
pemerintah dan pajak karena ketiga variabel didalam model persamaan terkointegrasi. Karena dalam
jangka pendek selalu terjadi dinamika-dinamika hubungan antara variabel menuju keseimbangan. Nilai
koreksi kesalahan (error correction term) sebesar 0,44 berarti bahwa dalam periode setahun model
mengoreksi kesalahan sebesar 44% menuju keseimbangan atau lamanya waktu yang diperlukan untuk
mencapai keseimbangan jangka panjang adalah 2,27 tahun (1/0,44).
Dampak pengeluaran pemerintah dan pajak terhadap PDB dalam jangka pendek lebih besar
dibandingkan pajak. Hal ini dapat dilihat dari nilai koefisien pengaruh belanja negara 0,315 lebih besar
dari koefisien pajak sebesar 0,25. Berbeda jika berdasarkan pada keseimbangan jangka panjangnya,
ternyata penerimaan pajak lebih besar pengaruhnya dibandingkan pengeluaran negara. Dalam jangka
panjang dampak yang ditimbulkan oleh 1 persen pajak akan mempengaruhi PDB sebesar 0,43 persen
lebih besar dibandingkan dampak dari belanja negara sebesar 0,29 persen.
Dampak yang ditunjukkan oleh pengeluaran pemerintah terhadap PDB sesuai dengan pernyataan
Keynes bahwa dalam jangka pendek pengeluaran pemerintah sebagai salah satu komponen
permintaan agregat dapat mempengaruhi pendapatan nasional. Kenaikan konsumsi pemerintah
langsung direspon oleh sistem pasar yang pada akhirnya perekonomian berkembang.
Hal ini disebabkan kontribusi belanja negara terhadap output masih terbilang tinggi dengan ratarata rasio belanja terhadap PDB sebesar 10 persen, sehingga masih terdapat ketergantungan
perekonomian terhadap pengeluaran negara. Bila terjadi resesi, pemerintah meningkatkan
pengeluarannya pada belanja program-program dapat langsung memulihkan perekonomian.Sebagai
contoh, sektor pertanian mengalami gagal panen maka pemerintah memberikan subsidi terhadap
komoditas pertanian yang mengalami gagal panen.
Hubungan belanja yang positif dalam jangka panjangnya menunjukkan dampak positif dari
reformasi tata kelola anggaran yang dilakukan oleh Kementerian Keuangan selama ini. Karena dampak
pengaruh dari perubahan sistem anggaran adalah terjaminnya ketersediaan pendanaan bagi kegiatankegiatan pemerintah secara berkesinambungan yang dialokasikan pada jenis belanja secara efektif dan
efisien.
Sedangkan dalam sektor perpajakan ternyata tidak sesuai dengan teori Keynes. Keynes
beranggapan dengan menurunkan sektor pajak akan menimbulkan gairah ekonomi sektor swasta yang
pada akhirnya meningkatkan output nasional. Sedangkan dalam penelitian meningkatnya sektor
perpajakan berdampak positif pada peningkatan output nasional. Hal ini berarti bahwa pendapatan
pajak merupakan salah satu bagian terpenting dalam pembiayaan belanja negara khususnya untuk
pembangunan.
Belanja modal untuk pembangunan sarana dan prasarana mengalami peningkatan dari tahun ke
tahun, hal ini mengindikasikan adanya dukungan pemerintah dalam pengembangan dunia usaha.
Meningkatnya pembangunan memberi dampak meningkatnya investasi baik dalam bentuk investasi
fisik maupun dalam surat berharga. Investasi yang tinggi akan meningkatkan penerimaan dalam sektor
pajak, kemudian pajak kembali untuk membiayai pengeluaran pembangunan, begitu seterusnya
sehingga bersifat upward spiral. Saling mendukung antara belanja modal, investasi dan pajak akan
terjalin selama ada kepercayaan pihak swasta dalam menanamkan modalnya di Indonesia.
Komitmen terhadap reformasi perpajakan, melihat potensi pajak yang masih tinggi dapat dilihat
dari populasi Indonesia yang merupakan salah satu negara dengan jumlah penduduk tertinggi, selain
itu jumlah dari pelaku usaha, khususnya usaha kecil menengah UMKM yang mencapai 99.99 persen
yang sebagian besar masih belum sadar akan kewajibannya membayar pajak padahal kemampuan
ekonomi atau keuntungan perusahaan sudah masuk dalam kategori kena pajak.
Interpretasi Ekonomi Instrumen Fiskal terhadap Inflasi
Pengeluaran pemerintah dan penerimaan pajak memiliki hubungan jangka pendek yang positif
dan signifikan terhadap laju inflasi. Besarnya pengaruh jangka pendek pengeluaran pemerintah hampir
sama dengan penerimaan pajak dalam mengestimasi kenaikan laju inflasi, hal ini dilihat dari nilai
masing-masing koefisien pengeluaran negara dan pajak sebesar 1,608 dan 1,598. Hasil ini sesuai
dengan teori demand pull inflation dimana jika terdapat kelebihan dari sisi permintaan sehingga
menyebabkan kenaikan harga.
Penelitian ini sesuai dengan dengan penelitian Rahmawati (2011) yang menjelaskan faktor
pengeluaran pemerintah menunjukkan pengaruh yang positif terhadap laju inflasi.
Pengaruh positif belanja negara terhadap laju inflasi pada jangka pendek di pengaruhi oleh masih
tingginya belanja untuk pegawai, sedangkan belanja pegawai sebagai hasil imbal jasa pegawai dan
biasanya penggunaannya untuk konsumsi bukan untuk modal kerja. Peningkatan konsumsi akan
berdampak pada kenaikan inflasi secara langsung. Hal ini sesuai dengan teori demand pull inflation
yaitu kenaikan tingkat harga karena tingkat pendapatan yang tinggi.
Sedangkan penerimaan yang berhubungan positif terhadap inflasi sesuai dengan teori cosh push
inflation, hal ini disebabkan oleh kebijakan perpajakan dengan menaikkan tarif pajak. Tarif pajak yang
tinggi baik itu tarif pajak untuk impor barang modal dan bahan baku, pajak penghasilan dan lain
sebagainya mendorong peningkatan biaya produksi. Pada akhirnya perusahaan meningkatkan harga
output untuk memperoleh laba maksimal. Kenaikan inflasi seperti ini disebut dengan cosh push
inflation yaitu akibat kenaikan biaya produksi mempengaruhi harga faktor produksi sehingga
berdampak pada kinerja perusahaan dengan menaikkan harga output atau mengurangi output produksi
yang akhirnya juga menaikkan harga.
Namun pengaruh instrumen fiskal ternyata dalam jangka panjang bertanda negatif senilai -1,85
untuk belanja negara dan -1,83 untuk pajak. Hal ini bertentangan dengan teori inflasi.Hal ini
mengindikasikan bahwa sifat kebijakan fiskal yang dapat mengganggu mekanisme pasar.Misalnya
kasus terkini dengan kompleksitas tinggi adalah kasus mengenai kebijakan untuk mengurangi belanja
subsidi BBM. Pemerintah mengambil kebijakan tersebut dengan alasan mempertahankan kesehatan
fiskal, dengan cara mengurangi defisit anggaran. Selain itu pemerintah merasa bahwa subsidi BBM
selama ini salah sasaran dan akan dialokasikan kepada pihak-pihak penerima yang sebenarnya yaitu
golongan masyarakat miskin.
Berdasarkan hasil penelitian bahwa pengurangan tingkat belanja baik dalam jangka pendek
maupun jangka panjang akan menurunkan output nasional. Oleh karena itu penurunan belanja subsidi
BBM berdampak pada penurunan output nasional. Walau sebenarnya pengurangan belanja subsidi
BBM rencananya dialokasi kepada belanja-belanja bantuan sosial seperti bantuan langsung, pemberian
beasiswa dan sebagainya, sehingga secara total belanja negara masih tetap jumlahnya dan tepat
sasaran, namun masih terdapat dampak lanjutan dari penurunan belanja subsidi BBM. Dunia usaha lah
yang pertama sekali merasakan dampaknya khususnya para UKM, karena BBM merupakan faktor
utama dalam distribusi barang. Sehingga tidak heran harga BBM naik akan menaikan harga komoditas
lainnya.
E. KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Setelah melakukan analisis dan pembahasan terhadap hasil penelitian sebagaimana diuraikan
dalam bab-bab sebelumnya, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut,
1. Dalam jangka pendek, belanja negara lebih memiliki dampak terhadap PDB dibandingkan jangka
panjangnya. Belanja negara langsung direspon oleh mekanisme pasar yang memperoleh dampak
kejutan akibat kenaikan belanja negara. Sedangkan dalam jangka panjang, kejutan dari belanja
negara menurun menuju keseimbangan karena pasar dapat menyesuaikan atas kenaikan belanja
negara.
2. Pengaruh belanja terhadap inflasi sama besarnya dalam jangka pendek maupun dalam jangka. Hal
ini berarti pemerintah baik otoritas fiskal maupun otoritas moneter dapat mengendalikan tingkat
inflasi.
3. Pajak dalam jangka panjang lebih besar memberikan dampak terhadap output nasional dibandingkan
dalam jangka pendeknya. Potensi pajak di Indoensia masih dapat digali, selain jumlah penduduk
yang besar begitu juga dapat dilihat dari pelaku-pelaku ekonomi yang masih belum menjadi wajib
pajak.
4. Hasil penelitian juga mendukung teori dari Keynes dan Samuelson yang menerangkan pertumbuhan
ekonomi dapat dipengaruhi oleh pengeluaran pemerintah dan penerimaan pajak. Begitu juga hasil
penelitian juga sesuai dengan teori inflasi yang menerangkan inflasi dapat terjadi dari belanja negara
dan pajak yang tinggi.
Saran
Berdasarkan pembahasan dan kesimpulan sebelumnya, perlu disampaikan beberapa saran yang
berkaitan dengan penelitian ini yaitu,
1. Perlunya kebijakan fiskal yang mendorong sektor industri, hal ini dilakukan untuk mengurangi
ketergantungan terhadap pengeluaran negara. Negara diharapkan hanya menjalankan tugas sebagai
stabilisator, pengeluaran negara untuk kesejahteraan sosial seperti belanja pendidikan dan kesehatan
dan belanja untuk infrastruktur untuk kelancaran transaksi.
2. Perlunya kebijakan fiskal yang pro dunia usaha dalam negeri, khususnya para UKM sehingga perlu
kebijakan fiskal yang mendorong kemajuan unit usaha UKM. Hal ini dapat dilakukan dengan
meningkatkan belanja subsidi-subsidi yang mendukung sektor UKM seperti subsidi pertanian,
nelayan, pemberian kredit lunak, pengurangan tarif untuk impor bahan baku dan sebagainya.
3. Komitmen terhadap reformasi keuangan dalam pengelolaan keuangan. Reformasi sektor perpajakan
yang dilakukan oleh lingkup instansi Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan dan
reformasi sektor pengeluaran negara oleh Direktorat Jenderal Anggaran dan Direktorat Jenderal
Perbendaharaan Negara Kementerian Keuangan.
4. Menciptakan efisiensi dan efektifitas dalam pengelolaan keuangan dan kekonsistenan pelaksanaan
program pemerintah yang tertuang dalam dokumen anggaran (APBN/APBD) dimulai dari
perencanaan, pelaksanaan, pembiayaan, pengawasan dan pelaporan.
5. Penegakkan hukum atas kasus korupsi seharusnya memberikan efek jera karena kejahatan ini
termasuk kedalam extra ordinary crime. Hal ini dapat dilakukan dengan pemberian sanksi yang
berat terhadap pelaku kejahatan.
DAFTAR PUSTAKA
Abustan & Mahyudin. 2009. Analisis Vector Auto Regressive (VAR) terhadap Korelasi antara Belanja
Publik dan Pertumbuhan Ekonomi di Sulawesi Selatan, Tahun 1985-2005. Jurnal Ekonomi
Pembangunan Vol.10 (No.1): Hal 1-14
Aghion, P. & Marinescu, I. 2007. Cyclical Budgetary Policy and Economic Growth: What Do We
Learn from OECD Panel Data?”.NBER Macroeconomics Annual, Vol. 22: 251-293.
http://www.jstor.org/stable/25554967 diakses tanggal 2 april 2013
Ajija, S. R, Sari, D. W, Setianto, R. H, dan Primanti, M. R. 2011. Cara Cerdas Menguasai Eviews.
Jakarta: Salemba Empat.
Alesina, A. & Ardagna, S. 2010. Large Changes in Fiscal Policy: Taxes versus Spending. Tax Policy
and the Economiy, Tax Policy and the Economy, Vol. 24, (No.1): 35-68.
http://www.jstor.org/stable/10.1086/649828 diakses tanggal 2 april 2013
Andriyana, Asri. 2010. Pengaruh Pajak Penghasilan dan Gaji Pegawai terhadap Pertumbuhan
Ekonomi.Naskah Skripsi tidak diterbitkan. Malang: Universitas Islam Negeri Maulana Malik
Ibrahim.
Ariefianto, Doddy. 2012. Ekonometrika: esensi dan aplikasi dengan menggunakan Eviews. Jakarta:
Erlangga.
Datu, I.R. 2012.Analisis Faktor Yang mempengaruhi Pendapatan Asli Daerah (PAD) di Makassar
Tahun 1999-2009.Naskah Skripsi tidak diterbitkan. Makassar: FEB Universitas Hasanuddin.
Davig, T. & dan Leeper, L.M. 2006.Fluctuating Macro Policies and the Fiscal Theory.NBER
Macroeconomics Annual, Vol. 21: 247-305.http://www.jstor.org/stable/25554956diakses pada
tanggal 2 april 2013
Dirjen Anggaran. 2011. Peraturan Menteri Keuangan No. 101/PMK.02/2011 tentang
Anggaran http://www.anggaran.depkeu.go.id/dja diakses pada 5 maret 2013
Klasifikasi
Direktorat Jenderal Anggaran. 2013. Dasar-Dasar Praktek Penyusunan APBN di
Indonesiahttp://www.anggaran.depkeu.go.id/dja/edef-konten-view.asp?id=951 diakses pada 5
maret 2013
Direktorat Jenderal Pajak. 2007. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perbendaharaan
Indonesia http://www.pajak.go.id/dmdocuments/UU-28-2007.pdfdiakses pada 5 maret 2013
Direktorat Jenderal Perbendaharaan. 2003. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan
Negara http://www.perbendaharaan.go.id/new/index.php diakses pada 5 maret 2013
Direktorat Jenderal Perbendaharaan. 2004. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang
Perbendaharaan Indonesia http://www.perbendaharaan.go.id/new/index.php diakses pada 5
maret 2013
Gujarati dan Porter. 2010. Dasar-dasar Ekonometrika. buku satu, edisi kelima terjemahan. Jakarta:
Salemba Empat
Gujarati dan Porter. 2010. Dasar-dasar Ekonometrika. buku dua, edisi kelima terjemahan. Jakarta:
Salemba Empat
Gulo, Angandrowa. 2008. Analisis Pengaruh Aspek Fiskal dan Moneter terhadap Pertumbuhan
Ekonomi Indonesia. Naskah Tesis tidak diterbitkan. Medan: FEB Universitas Sumatera Utara.
Hadiyatullah. 2011. Model Vector Autoregressive (VAR) dan Penerapannya untuk Analisis Pengaruh
Harga Migas Terhadap Indeks Harga Konsumen (IHK): Studi Kasus Daerah Istimewa
Yogyakarta, Periode 1997 – 2009. Skripsi. UNY
Kementerian Keuangan, SJDIH Peraturan Pemerintah Nomor 21 tahun 2004 tentang Penyusunan
Rencana
Kerja
dan
Anggaran
Kementerian
Negara/Lembaga
http://www.sjdih.depkeu.go.id/fullText/2004/21TAHUN2004PP.htm diakses pada 5 Maret
2013
Kementerian Keuangan, SJDIH Undang-Undang Republik Indonesia No. 19 Tahun 2012 tentang
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2013 diakses 5 Maret 2013
Kwik, Kian Gie. Krisis Keuangan Global, artikel http://kwikkiangie.com/v1/2011/03/krisis-keuanganglobal-artikel-2/ diakses 15 maret 2013
Lutfi, M. & Hidayat, A. Analisis Faktor-Faktor Jumlah Uang Beredar, Kurs dan Pengeluaran
Pemerintah yang Mempengaruhi Inflasi di Indonesia. STIE Bisnis Indonesia
Mangkoesoebroto, G. 2010. Ekonomi Publik.edisi ketiga, cetakan kedua belas. Yogyakarta. BPFE
Mankiw, N. G. 2007. Makroekonomi, edisi keenam terjemahan. Jakarta: Erlangga.
Ma’ruf, A. dan Wihastuti, L. 2008. Pertumbuhan Ekonomi Indonesia: Determinan dan Prospeknya.
Jurnal Ekonomi dan Hasil Studi Pembangunan, Vol. 9, (No.1): Hal. 44-55
Nawarcono, Winanto. (…). Aktifias Fiskal dan Investasi Daerah Tingkat II di Provinsi Yogyakarta
serta Pengaruhnya Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Regional.Naskah Artikel tidak
dipublikasikan. STIE Nusa Megarkencana
Prabowo, Y. 2006, Akuntansi Perpajakan Terapan. Jakarta. Grasindo
Putriani, S. 2011. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pengeluaran Pemerintah di Indonesia
Periode 1999-2009.Naskah Skripsi tidak dipublikasikan. Makasar: FE Universitas Hasanuddin
Rahmawati. 2011. Pengaruh Jumlah Uang beredar, Pengeluaran Pemerintah, dan Suku Bunga terhadap
Tingkat Inflasi di Nanggroe Aceh Darussalam. Jurnal Aplikasi Manajemen, Vol. 9 (No.1): 177–
188
Rositawati, Rona. 2009. Sistem Pemungutan Pajak Daerah dalam Era Otonomi Daerah (Studi Kasus di
Kabupaten Bogor).Naskah Tesis tidak diterbitkan. Semarang: FH Universitas Diponegoro
Semarang.
Rother, P. C. 2004. Fiscal Policy and Inflation Volatility.European Central Bank Working Paper
Series, No.317
Sasana, H. 2011. Analisis Determinan Belanja Daerah di Kabupaten/Kota Provinsi Jawa Barat dalam
Era Otonomi dan Desentralisasi FIskal.Jurnal Bisnis dan Ekonomi Vol.18 (No.1): Hal. 46-58
Sujai, Mahpud. 2011. Dampak Kebijakan Fiskal dalam Upaya Stabilisasi Harga Komoditas Pertanian.
Jurnal Analisis Kebijakan Pertanian, Vol. 9, (No.4): Hal. 297-312
Surjaningsih, N. Utari, G. A. D. Trisnanto, B. 2012. Dampak Kebijakan Fiskal Terhadap Output dan
Inflasi.Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan,-Sutikno. 2007. Dampak Kebijakan Moneter Terhadap Performance Makro Ekonomi Indonesia
(Sebelum dan Pasca Krisis). Naskah Publikasi Pengembangan Ipteks. Malang: FE Universitas
Muhammadiyah Malang
Syaipudin. 2011. ReformasiPerencanaan, Penganggaran APBN danPengelolaan Keuangan Negara
Menurut Undang-Undang No.17 Tahun 2003 Tentang KeuanganNegara. Jurnal Spirit Publik,
Vol. 7, (No.2): Hal. 43-56
Tjandra, Riawan. 2009. Hukum Keuangan Negara. Jakarta: Grasindo
Todaro, Smith. 2006. Pembangunan Ekonomi, jilid satu, edisi kesembilan terjemahan. Jakarta:
Erlangga
Todaro, Smith. 2006. Pembangunan Ekonomi, jilid dua, edisi kesembilan terjemahan. Jakarta:
Erlangga
Winarno, W. W. 2007. Analisis Ekonometrika dan Statistika dengan Eviews. UPP STIM YKPN
World Bank. 2013. Indonesia Metadata 2012. www.worldbank.org. diakses tanggal 4 Maret 2013
Download