BAB II LANDASAN TEORI

advertisement
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Teori yang relevan dengan penelitian
1.
Managerial Overconfidence
Organisasi menurut Robert N. Anthony & Vijay Govindarajan (2009:5) yang
diterjemahkan oleh FX. Kurniawan Tjakrawala adalah sebagai berikut :
Bahwa organisasi terdiri dari sekelompok orang yang bekerja bersama-sama
untuk mencapai tujuan bersama (dalam suatu organisasi bisnis tujuan utamanya
adalah memperoleh tingkatan laba yang memuaskan). Organisasi dipimpin oleh
satu hierarki manajer, dengan chief executive officer (CEO) pada posisi puncak
dan para manajer unit bisnis, departemen, bagian (section), dan subunit lainnya
berada di bawah CEO dalam bagan organisasi.
Manajer mempunyai kewajiban untuk memaksimumkan kesehjateraan para
pemegang saham, namun disisi lain manajer juga mempunyai kepentingan untuk
memaksimumkan kesehjateraan mereka. Penyatuan kepentingan pihak-pihak ini
seringkali menimbulkan masalah yang disebut dengan masalah keagenan (Faizal,
2004). Masalah keagenan antara manajer dan pemegang saham muncul sebagai akibat
dari pemisahan fungsi pengelolaan dan kepemilikan. Ketika presentase saham yang
dimiliki oleh manajemen lebih rendah dari saham yang dimiliki oleh pemegang, maka
besar kemungkinan akan terjadi masalah keagenan. Presentase kepemilikan saham
yang lebih rendah yang dimiliki oleh manajer dapat mendorong manajer untuk
melakukan tindakan oportunistik yang akan menguntungkan dirinya sendiri. Hal
tersebut membuat manajer mengabaikan tugas utamanya, yaitu menciptakan nilai bagi
pemegang saham.
10
Akuntansi melalui laporan keuangan sebagai produknya merupakan jembatan
antara manajemen dengan pihak lain, internal maupun eksternal. Seperti telah penulis
jelaskan pada bagian I, bahwa laporan keuangan yang dibuat oleh perusahaan
menggambarkan kinerja manajemen dalam mengelola sumber daya perusahaannya.
Informasi yang disampaikan melalui laporan keuangan ini diguunakan oleh pihak
internal maupun pihal eksternal. Laporan keuangan tersebut harus memenuhi tujuan,
aturan serta prinsip-prinsip akuntansi yang sesuai denagn standar yang berlaku umum
agar dapat menghasilkan laporan keuangan yang dapat dipertanggungjawabkan dan
bermanfaat bagi setiap penggunanya.
Literatur keuangan terdahulu menjelaskan bahwa overconfidence manager
adalah manajer yang secara sistematik memperkirakan pengembalian yang
berlebihan atas proyek-proyek perusahaan, atau manajer yang secara sistematik
memperkirakan pendapatan keuntungan perusahaan yang terlalu berlebihan serta
memprediksi arus kas yang terlalu optimistik, atau terlalu meremehkan
(underestimates) kemungkinan rugi perusahaan (Heaton [2002], Malmendier dan
Tate [2005]. Ahmed dan Duellman (2012) menyatakan bahwa penting untuk meneliti
pengaruh overconfidence
terhadap kebijakan-kebijakan yang dibuat perusahaan,
termasuk didalam nya kebijakan akuntansi, karena overconfidence menyebabkan
keputusan yang dapat merusak nilai perusahaan. Overconfidence managers biasanya
akan memberikan perkiraan yang terlalu berlebihan atas pendapatan (ROI – Return on
Investment) perusahaan dimasa yang akan datang. Ahmed dan Duellman (2012)
memperkirakan hal ini menyebabkan overconfidence managers akan menunda
11
pengakuan rugi dan menggunakan sedikit sekali metode akuntansi konservatisme
dalam melaporkan posisi keuangan perusahaan.
Burg et al. (2012) menyatakan bahwa manajemen memiliki keleluasaan dalam
menentukan kebijakan keuangan perusahaan (termasuk kebijakan dan standar
akuntansi yang akan digunakan), sebagai contoh manajer memiliki keleluasaan dalam
menentukan pengakuan pendapatan dan penentuan biaya. Manajemen biasanya
memiliki beberapa karakteristik, salah satu karakteristik manajemen yang paling
menarik untuk dibahas adalah manajemen yang overconfidence. Overconfidence
adalah perilaku bias manajemen yang mengacu kepada perkiraan yang terlalu
berlebihan terhadap kemampuan individual manajemen. Bias ini muncul karena
fenomena psikologis yang diterima secara umum dimana setiap individu manajer
relatif melebih-lebihkan kemampuan mereka
sendiri
dibandingkan dengan
kemampuan manajer secara rata-rata (pengakuan kemampuan diatas rata-rata).
Para ekskutif korporasi pada umumnya cenderung merasa Overconfidence dan
Overestimate terhadap kemampuan mereka sendiri, karena mereka merasa memiliki
komitmen yang kuat terhadap perusahaan mereka. Kinerja para ekskutif ini sulit untuk
dievaluasi dan mereka cenderung percaya bahwa kinerja perusahaan berada dalam
kendali mereka (Larwood dan Whittaker, [1977] dalam Burg et al. [2012])). Burg et
al. (2012) dalam penelitiannya selain memperkirakan bahwa perubahan susunan
manajemen akan diikuti oleh perubahan standar akuntansi, manajer overconfidence
yang menggantikan manajer rasional akan melakukan big bath Accounting
(kecurangan) dengan menangguhkan pendapatan dan melakukan penghapusan piutang
besar-besaran untuk kemudian menimpakan penyebab kerugian perusahaan kepada
12
CEO sebelumnya, sehingga terlihat seolah-olah para manajer yang overconfidence ini
lebih baik dalam menata keuangan perusahaan daripada manajer sebelumnya yang
lebih rasional. Dechow et al. (1996) serta Hribar dan Jenkins (2004) dalam Burg et al.
(2012) menyatakan bahwa perusahaan akan menanggung biaya pasar yang besar
apabila manipulasi laba yang mungkin dilakukan oleh manajemen yang
overconfidence terungkap. Penulis sependapat dengan hal ini, seperti yang telah
penulis ungkapkan pada Bab I mengenai tututan pemegang saham Blackberry
terhadap perusahaan tersebut, tuntutan yang disebabkan oleh overconfidence yang
dilakukan pihak manajemen Blackberry pada tahun sebelumnya, tentu akan
menyebabkan perusahaan mengeluarkan biaya lebih untuk urusan di pengadilan.
a.
Pengukuran Managerial Overconfidence
Malmendier dan Tate [2005, 2008] dalam Ahmed dan Duellman [2012]
melakukan pengukuran terhadap Managerial Overconfidence dengan 2 cara yaitu :
1. Kepemilikan saham oleh CEO dan keputusan untuk mengevaluasi atau
menjual saham. 2 pengukuran yang menjadi fokus pertama terhadap kebiasaan
CEO adalah dalam hal mengambil kebijakan terhadap saham, keputusan untuk
menahan atau menjual saham kepasaran, sedangkan 2 pengukuran lainnya fokus
terhadap keputusan CEO untuk berinvestasi. Ukuran yang pertama, CEO
diidentifikasi overconfidence dengan meneliti timing CEO tersebut saat
melakukan evaluasi terhadap saham. CEO biasanya dibawah tekanan dan terkena
dampak tersendiri atas resiko saham perusahaan. Karenanya untuk mengurangi
dampak ini, biasanya CEO akan meminimalkan kepemilikan mereka atas saham
dan diikuti dengan segera melakukan evaluasi terhadap kepemilikan saham.
13
Namun, CEO yang overconfidence percaya bahwa perusahaan mereka akan
memperoleh keuntungan dan yakin bahwa harga saham perusahaan akan
meningkat, sehingga mereka menunda untuk melakukan evaluasi terhadap saham.
Ahmed dan Duellman [2012] mengidentifikasi manajer yang overconfidence
dari data pada Execucomp dengan mengikuti metode Campbell et al. [2011] dan
Hirshleifer, Low dan Teoh [2012]. Dengan deskripsi persamaan sebagai berikut :
(1) mencatat nilai rata-rata persaham (C) dengan membagi nilai-nilai saham yang
bisa dievaluasi tetapi tidak dievaluasi dengan jumlah saham yang bisa dievaluasi
tetapi tidak dievaluasi. (2) mengurangi (C) dari nilai pasar (S) pada saat akhir
tahun fiskal untuk mendapatkan harga rata-rata per-saham yang bisa di evaluasi
(X). (3) membagi nilai rata-rata saham (C) dengan nilai rata-rata harga saham
yang dapat dievaluasi (X) untuk menghitung rasio saham yang bernilai uang. (4)
menggunakan metode Holder67 dikategorikan sebagai overconfidence ketika
rasio saham yang bernilai uang (C/X) lebih dari 0,67 paling tidak dua kali selama
periode sampel. Konsisten dengan Malmendier dan Tate [2005] dan Campbell et
al. [2011], seorang CEO dikategorikan overconfidence jika pada tahun fiskal
pertama dia menunjukkan perilaku overonfidence dan selanjutnya pada sisa tahun
sampel diklasifikasikan sebagai overconfidence.
Pengukuran kedua yang dilakukan adalah berdasarkan Malmendier dan Tate
[2005],
yang
menggunakan
metode
pembelian
bersih
CEO
untuk
mengindentifikasi eksekutif yang overconfidence. Karena top eksekutif pada
umumnya memiliki keterbatasan dalam hal penjualan saham, dan sering memiliki
keterbatasan dalam mencegah resiko atas kepemilikan saham dengan menjual
14
saham dalam waktu singkat, seorang eksekutif harus merasa percaya diri
mengenai keuntungan masa depan perusahaan mereka dan merencanakan
pembelian saham tambahan. Karena itu, konsisten dengan penelitian Campbell et
al. [2011], overconfidence CEO diukur dengan menggunakan variabel yang
terbagi menjadi 2, dimana pembelian dianggap setara dengan satu jika pembelian
bersih CEO berada pada kuintil teratas dari distribusi Purchase (Pembelian)
saham oleh semua CEO dan pembelian tersebut meningkatkan kepemilikan
mereka terhadap perusahaan sebesar 10% selama tahun fiskal, selain itu,
dinyatakan nol.
2. Keputusan untuk berinvestasi
Malmendier dan Tate [2005, 2008] dan Ben-David, Graham, dan Harvey
[2010] mendemonstrasikan bahwa keputusan perusahaan dalam ber-investasi
berhubungan dengan managerial overconfidence. Para peneliti ini beranggaparan
bawah keputusan manajemen untuk berinvestasi menyimpan informasi mengenai
level overconfidence manajemen tersebut. Berdasarkan hal ini, terdapat dua
pengukuran overconfidence yang didasarkan pada keputusan CEO untuk
berinvestasi. (1) sebuah proxi berdasarkan teori yang dikemukakan oleh BenDavid, Graham dan Harvey [2010] bahwa perusahaan dengan CEO yang
overconfidence mempunyai anggaran untuk belanja modal (Capital ExpenditureCAPEX) yang lebih besar, dari pada CEO yang tidak overconfidence. Dinilai 1
(Overconfidence) apabila CAPEX dikurangi nilai sisa asset pada tahun berjalan
lebih besar jika dibandingkan dengan CAPEX dikurangi nilai sisa aset pada
pertengahan tahun sebelumnya. Hal ini sesuai dengan penemuan Malmendier dan
15
Tate [2005] yang menyatakan bahwa overconfidence manajer cenderung
berinvestasi secara berlebihan dalam proyek-proyek besar. (2) proxy kedua yang
dipakai untuk mengukur overconfidence berdasarkan keputusan berinvestasi
adalah berdasarkan teori Schrand dan Zechman [2011] yang menyatakan bahwa
kelebihan nilai investasi dalam aset dari sisa regresi total pertumbuhan aset
dengan pertumbuhan penjualan yang dijalankan industri dalam setahun.
Dinyatakan sebagai Over-Invest (Investasi yang berlebihan) jika regresi dari nilai
sisa (residu) atas kelebihan investasi lebih besar dari nol, selain itu dinyatakan
tidak Over-Invest. Secara intuisi dapat ditarik kesimpulan, bahwa apabila
pertumbuhan nilai asset lebih cepat dari dari pertumbuhan penjualan maka dapat
dikatakan bahwa manajer perusahaan tersebut telah melakukan investasi yang
berlebihan dibandingkan manajer-manajer lain, sehingga dapat dikatakan sebagai
overconfidence.
2. Konservatisme Akuntansi
Konservatisme biasanya didefinisikan sebagai reaksi kehati-hatian (Prudent)
terhadap ketidakpastian, ditujukan untuk melindungi hak-hak dan kepentingan
pemegang saham (Shareholder) dan pemberi pinjaman (debtholders) yang
menentukan sebuah verifikasi standar yang lebih tinggi untuk mengakui goodnews
daripada badnews
(Lara, et al., 2005). Ketidakpastian dan risiko tersebut harus
dicerminkan dalam laporan keuangan agar nilai prediksi dan kenetralan bisa
diperbaiki. Pelaporan yang didasari kehati-hatian akan memberi manfaat yang terbaik
untuk semua pemakai laporan keuangan.
16
Dalam Belkaoui (2006 : 288) yang diterjemahkan oleh Ali Akbar Yulianto prinsip
Konservatisme (conservatism principle) di definisikan sebagai berikut :
Suatu prinsip pengecualian atau modifikasi dalam hal bahwa prinsip tersebut
bertindak sebagai batasan terhadap penyajian data akuntansi yang relevan dan
andal. Prinsip konservatisme menganggap bahwa ketika memilih antara dua atau
lebih teknik akuntansi yang berlaku umum, suatu preferensi ditunjukkan untuk
opsi yang memiliki dampak paling tidak menguntungkan terhadap ekuitas
pemegang saham.
Secara lebih spesifik, prinsip tersebut mengimplikasikan bahwa nilai terendah
dari aktiva dan pendapatan serta nilai tertinggi dari kewajiban dan beban yang
sebaiknya dipilih untuk dilaporkan. Konservatisme sebagai reaksi kehati-hatian dalam
menghadapi ketidakpastian yang melekat dalam perusahaan untuk mencoba
memastikan bahwa ketidakpastian dan resiko inheren dalam lingkungan bisnis sudah
cukup dipertimbangkan. Selain merupakan konvensi penting dalam laporan keuangan,
konservatisme mengimplikasikan kehati-hatian dalam mengakui dan mengukur
pendapatan dan aktiva. Konsep konservatisme menyatakan bahwa dalam keadaan
yang tidak pasti, manajer perusahaan akan menentukan pilihan perlakuan atau
tindakan akuntansi yang didasarkan pada keadaan, harapan, kejadian, atau hasil yang
dianggap kurang menguntungkan (Dewi, 2004).
Konservatisme merupakan antisipasi terhadap kerugian daripada laba. Menurut
Watts (2003) dalam Kiryanto dan Supriyanto (2006), mengantisipasi laba berarti
mencatat laba sebelum ada klaim secara hukum dihubungkan dengan aliran kas
dimasa yang akan datang dan sebaliknya tidak mengantisipasi laba berarti belum
mencatat laba sebelum ada klaim secara hukum secara dihubungkan denagn aliran kas
dimasa yang akan datang. LaFond dan Roychowdhury (2007) menyatakan bahwa
konservatisme akuntansi meliputi penggunaan standar yang lebih tepat untuk
17
mengakui badnews sebagai kerugian dan untuk mengakui goodnews sebagai
keuntungan dan memfasilitasi kontrak yang efisien antara manajer dan shareholders.
a. Manfaat Konservatisme Akuntansi
Kontroversi mengenai manfaat angka-angka akuntansi yang konservatif belum
juga mendapatkan jalan tengahnya. Banyak pendapat yang menyatakan bahwa
konservatisme akuntansi bermanfaat. Tetapi ada juga pendapat yang menentangnya
dan beranggapan bahwa konservatisme akuntansi tidak bermanfaat karena
mengandung informasi yang bias.
1) Akuntansi Konsevatif Tidak Bermanfaat
Meskipun prinsip konservatisme telah diakui sebagai dasar laporan keuangan di
Amerika Serikat, namun beberapa peneliti masih meragukan manfaat konservatisme
tersebut. Stabus (1995) dalam Mayangsari dan Wilopo (2002) berpendapat adanya
berbagai cara untuk mendefinisikan dan mengintepretasikan konservatisme
merupakan kelemahan konservatisme. Disampiang itu, konservatisme dianggap
sebagai suatu sistem akuntansi yang bias. Pendapat ini dipicu oleh pengertian
mengenai konservatisme itu sendiri yang disampaikan oleh beberapa peneliti
terdahulu, dimana akuntansi yang mengakui kerugian lebih cepat daripada pendapatan
dan keuntungan, serta menilai aktiva dengan nilai terendah dan kewajiban dengan nilai
tertinggi.
2) Akuntansi Konservatif Bermanfaat
Akuntansi konservatif tetap disarankan untuk digunakan. Hal ini dapat dilihat
dalam aturan-aturan yang ada dalam standar akuntansi yang ada di Indonesia (PSAK
2012). Akuntansi konservatif akan menguntungkan dalam kontrak-kontrak antara
18
pihak-pihak dalam perusahaan maupun luar perusahaan. Konservatisme dapat
membatasi tindakan manajer untuk membesar-besarkan laba (manajemen laba) serta
memanfaatkan informasi asimetri sehingga dapat mengurangi konflik yang terjadi
antara manajemen dan para pemegang saham (agency conflict). Para peneliti
menyebutkan telah terjadi peningkatan konservatisme standar akuntansi secara global.
Peningkatan ini disebabkan oleh meningkatnya tuntutan hukum, sehingga auditor dan
manajer cenderung melindungi dirinya dengan selalu melaporkan angka-angka yang
konservatif di dalam laporan keuangannya (Givoly dan Hayn, 2002 dalam Mayangsari
dan Wilopo, 2002). Berdasarkan kontrak yang efisien, konservatisme akuntansi
menyatakan bahwa besarnya laba yang diantisipasi merupakan fungsi langsung dari
kemampuan perusahaan dalam mengestimasi laba perusahaan dalam masa mendatang.
Secara intuitif, prinsip konservatisme ini bermanfaat karena dapat digunakan untuk
memprediksikan kondisi pada masa mendatang. Dengan kata lain, pemilihan suatu
metide yang mendukung prinsip konservatisme memiliki value relevance. Logika ini
dapat membantah kritik terhadap ketidakbergunaan laporan keuangan yang
berdasarkan pada prinsip konservatisme (Mayangsari dan Wilopo, 2002).
b. Pengukuran Konservatisme
Para Peneliti biasanya menggunakan tiga bentuk pengukuran untuk menyatakan
konservatisme, yaitu Watts (2003b) dalam Fitri (2010) :
1) Net asset measures
Salah satu ukuran yang dapat digunakan untuk mengetahui konservatisme
laporan keuangan seperti yang digunakan oleh Beaver dan Ryan (2000) adalah
nilai aktiva yang understatement dan kewajiban yang overstatement. Proksi
19
pengukuran ini menggunakan rasio market to book value of equity yang
mencerminkan nilai pasar ekuitas relatif terhadap nilai buku ekuitas perusahaan.
Book value dihitung menggunakan nilai ekuitas pada tanggal neraca yaitu
tanggal 31 Desember dan Market Value diukur menggunakan harga penutupan
saham pada tanggal pengumuman agar dapat merefleksikan respon pasar atas
laporan keuangan (Fala, 2007). Rasio yang bernilai lebih dari 1,
mengindikasikan penerapan akuntansi yang konservatif karena perusahaan
mencatat nilai perusahaan lebih rendah dari nilai pasarnya (Dewi, 2004).
2) Earning/Accrual measure
Pada tipe ini, konservatisme diukur dengan menggunakan metode akrual, yaitu
selisih antara laba bersih dengan arus kas. Pengukuran konservatisme ini
dilakukan oleh Dewi dan Sari (2004), yaitu :
Cit = Niit – Cfit
Cit
: tingkat konservatisme perusahaan i pada waktu t
Niit
: laba bersih sebelum extraordinary item ditambah depresiasi dan
amotisasi
Cfit
: arus kas dari kegiatan operasi
Semakin kecil ukuran akrual suatu perusahaan, menunjukkan bahwa perusahaan
tersebut semakin menerapkan prinsip akuntansi yang kionservatis.
3) Earning/Stock relation measure
Stock market price berusaha untuk merefleksikan perubahan nilai asset pada saat
terjadinya perubahan baik perubahan atas rugi ataupun laba dalam nilai asset –
stock return tetap berusaha untuk melaporkannya sesuai dengan waktunya.
20
Untuk menyediakan estimasi konservatisme, Basu (1997) dalam Sari dan
Adhariani (2008) menyatakan bahwa konservatisme menyebabkan kejadiankejadian yang merupakan kabar buruk atau kabar baik terefleksi dalam laba
yang tidak sama (asimetri waktu pengakuan). Hal ini disebabkan karena salah
satu definisi konservatisme menyebutkan bahwa kejadian yang diperkirakan
akan menyebabkan kerugian bagi perusahaan dan harus segera diakui sehingga
mengakibatkan kabar buruk lebih cepat terefleksi dalam laba dibandingkan
kabar baik. Ia memprediksi bahwa pengembalian saham dan earnings
cenderung merefleksikan kerugian dalam periode yang sama, tapi pengembalian
saham merefleksikan keuntungan lebih cepat daripada earnings. Basu (1997)
meregres laba tahunan pada return saham tahunan yang sama :
NI = βo+β1NEG+β2RET+β3RET*NEG+ε
NI
: laba bersih sebelum extraordinary item dibagi dengan nilai pasar
ekuitas pada awal tahun
RET
: Return saham
NEG
: variabel indikator, bernilai satu jika RET negatif dan bernilai nol jika
RET positif
β2
: mengukur ketepatan waktu dari laba dengan respon terhadap return
positif (goodnews)
β3
: mengukur ketepatan waktu dari laba incremental dengan respon
terhadap return negatif (badnews).
Dalam persamaan ini RET yang dipergunakan mengacu pada Jogiyanto
(2003:109) dalam Michell Suharli (2005) dimana saham dibedakan menjadi dua
21
yaitu : (1) return realisasi merupakan return yang telah terjadi, (2) return
ekspektasi merupakan return yang diharapkan akan diperoleh oleh investor di
masa yang akan datang. Berdasarkan pengertian return bahwa return suatu
saham adalah hasil yang diperoleh dari investasi dengan cara menghitung selisih
harga saham periode berjalan dengan periode sebelumnya dengan mengabaikan
deviden, maka persamaan untuk RET ditulis dengan rumus : Ross et al.
(2003:238) dalam Michell Suharli (2005).
Ri =
P t - P t-1
P t-1
Keterangan :
Ri
= Return Saham
Pt
= Harga saham pada periode t
Pt-1
= Harga saham pada periode t-1
c. Peluang Pemilihan Tingkat Konservatisme Oleh Manajemen
Salah satu pengertian mengenai tingkat konservatisme akuntansi adalah tingkat
konservatisme akuntansi yang dipilih oleh manajemen dalam menerapkan Standar
Akuntansi Keuangan (SAK). Beberapa metode akuntansi dalam PSAK (IAI, 2012)
yang memberikan peluang bagi manajer untuk menyelenggarakan akuntansi
konservatif antara lain (Lo, 2005; Widyaningrum, 2008; Fitri, 2010) :
1) PSAK No. 14 (Revisi 2012) : Persediaan
Pada paragraf 22 menyatakan biaya untuk persediaan yang secara umum tidak
dapat ditukar dengan persediaan lain (not ordinary interchangeable) dan barang
atau jasa yang dihasilkan dan dipisahkan untuk proyek tertentu harus
22
diperhitungkan berdasarkan identifikasi khusus terhadap biayanya masingmasing.
Paragraf 24 menyatakan bahwa biaya persediaan, kecuali yang disebut dalam
paragraf 22, harus dihitung dengan menggunakan rumus biaya masuk pertama
keluar pertama (MPKP) atau rata-rata tertimbang. Entitas menggunakan rumus
biaya yang sama terhadap semua persediaan yang memiliki sifat dan kegunaan
yang sama. Untuk persediaan yang memiliki sifat dan kegunaan yang berbeda,
rumus biaya yang berbeda diperkenankan.
Metode MPKP atau yang sering disebut dengan FIFO dalam metode penelitian
persediaan menghasilkan laba yang lebih besar daripada metode LIFO dan ratarata tertimbang (weighted averange cost method) dalam laporan laba rugi
perusahaan. Hal tersebut dikarenakan metode FIFO menghasilkan biaya
persediaan akhir menjadi lebih besar sehingga harga pokok penjualan menjadi
lebih kecil dan laba yang dihasilkan menjadi lebih besar. Oleh karena itu metode
FIFO merupakan metode penilaian persediaan yang paling konservatif. Hal
tersebut berlaku jika kondisi perekonomian mengalami inflasi sehingga harga
terus meningkat.
Berbeda dengan laporan laba rugi akuntansi, laporan laba rugi fiscal hanya
mengakui dua metode penilaian persediaan, yaitu FIFO dan rata-rata tertimbang.
Diantara kedua metode tersebut, metode rata-rata tertimbang merupakan metode
yang paling konservatif karena menghasilkan biaya persediaan akhir yang lebih
besar dan laba yang dihasilkan menjadi lebih kecil Widyaningrum (2008) dalam
Fitri (2010).
23
2) PSAk No. 17 (1994) tentang akuntansi penyusutan telah diganti oleh PSAK No.
16 (Revisi 2012) tentang asset tetap.
Dalam paragraf 63 menyatakan bahwa berbagai metode penyusutan dapat
digunakan untuk mengalokasikan jumlah yang disusutkan secara sistematis dari
suatu asset selama umur manfaatnya. Metode tersebut antara lain metode garis
lurus (straight line method), metode saldo menurun (diminishing balancig
method), dan metode unit produksi (sum of the unit method). Metode garis lurus
menghasilkan pembebanan yang tetap selama umur manfaat asset jika nilai
residunya tidak berubah. Metode saldo menurun menghasilkan pembebanan
yang menurun selama umur manfaat asset. Metode jumlah unit produksi
menghasilkan pembebanan berdasarkan pada ekspektasi penggunaan keluaran
dari aset. Metode penyusutan asset dipilih berdasarkan ekspetasi pola pemakaian
manfaat ekonomi masa depan aset. Metode tersebut diterapkan secara konsisten
dari periode ke periode, kecuali terdapat perubahan dalam ekspetasi pola
pemakaian manfaat ekonomi masa aset tersebut.
Berdasarkan waktunya, jika periode penyusutan suatu perusahaan semakin
pendek, maka akan lebih konservatif dan jika periode penyusutan semakin
panjang maka semakin tidak konservatif (Dewi, 2005). Hal tersebut dikarenakan
jika periode penyusutan semakin pendek, maka biaya penyusutan menjadi lebih
besar sehingga laba yang dihasilkan menjadi lebih kecil. Diantara metode
penyusutan yang disebutkan dalam PSAK tersebut, metode penyusutan saldo
menurun lebih konservatif dibanding metode lainnya. Tetapi hal tersebut hanya
24
terjadi pada awal-awal periode penyusutan sedangkan pada saat menuju akhir
periode penyusutan metode saldo menurun menjadi tidak konservatif.
3) PSAK No. 19 (Revisi 2012) : Aset takberwujud
Pada paragraf 98 menyatakan bahwa terdapat berbagai metode amortisasi untuk
mengalokasikan jumlah tersusutkan aset atas dasar yang sistematis selama umur
manfaatnya. Metode tersebut mencakup metode garis lurus, metode saldo
menurun, dan metode unit produksi. Metode yang digunakan dipilih
berdasarkan pada pola konsumsi manfaat ekonomi masa depan dan diterapkan
secara konsisten dari periode ke periode, kecuali terdapat perubahan dalam
perkiraan pola konsumsi tersebut.
Sama halnya dengan penyusutan, jika periode amortisasi semakin pendek, maka
akan lebih konservatif dan jika periode amortisasi semakin panjang, maka
semakin tidak konservatif (Dewi, 2004). Hal tersebut dikarenakan jika periode
amortisasi semakin pendek, maka biaya amortisasi tiap periode menjadi lebih
lebih besar sehingga laba yang dihasilkan menjadi lebih kecil. Sama seperti
dengan penyusutan pula, diantara metode amortiasi yang disebutkan dalam
PSAK, metode amortisasi menurun merupakan metode yang paling konservatif
diantara metode lain yang ada.
Lebih lanjut, paragraf 99 menyatakan bahwa amortisasi biasanya diakui dalam
laba rugi. Namun, terkadang manfaat ekonomis yang terkandung dalam aset
terserap dalam menghasilkan aset lain. Dalam kasus ini beban amortisasi
merupakan bagian dari biaya perolehan aset lain tersebut dan dimasukkan ke
dalam jumlah tercatatnya. Misalnya, amortisasi asset takberwujud yang
25
digunakan dalam proses produksi dimasukkan ke dalam jumlah tercatat
persediaan.
Kesimpulan yang dapat diambil dari paragraf 99 tersebut adalah bahwa apabila
amortisasi suatu asset tidak berwujud diakui sebagai bagian dari harga pokok
asset lainnya, hal tersebut dapat membuat laba yang dihasilkan dalam laporan
keuangan menjadi besar dan tidak konservatif. Sebaliknya, jika amortisasi
tersebut diakui sebagai beban, maka laba yang dihasilkan menjadi lebih kecil
atau konservatif.
4) PSAK No. 20 : Biaya Riset dan Pengembangan telah diganti oleh PSAK No. 19
: Aset takberwujud (Revisi 2012).
Pada paragraf 53 menyatakan bahwa perusahaan tidak boleh mengakui aset tak
berwujud yang timbul dari penelitian (atau tahap penelitian pada suatu proyek
internal). Pengeluaran untuk penelitian (atau tahap penelitian pada proyek
internal) diakui sebagai beban pada saat terjadinya. Pada paragraf 56
menyatakan bahwa suatu aset takberwujud yang timbul dari pengembangan
(atau dari tahap pengembangan pada proyek internal) diakui jika, dan hanya jika
perusahaan dapat menunjukkan enam kriteria tertentu.
Laporan keuangan akan menjadi lebih konservatif jika biaya riset dan
pengembangan diakui sebagai beban daripada sebagai aktiva. Biaya riset dan
pengembangan yang diakui sebagai beban mengakibatkan laba yang dihasilkan
menjadi lebih kecil. Sedangkan biaya riset dan pengembangan yang diakui
sebagai aktiva mengakibatkan laba yang dihasilkan menjadi lebih besar dan
tidak konservatif.
26
d. Kontroversi Konservatisme Akuntansi
Konservatisme merupakan konsep akuntansi yang kontroversial. Banyak kritik
mengenai kegunaan suatu laporan keuangan jika penyusunannya menggunakan
metode yang konservatif karena laporan akuntansi yang dihasilkan dengan metode
tersebut cenderung bias dan tidak mencerminkan realita (Mayangsari dan Wilopo,
2002). Monahan (1999) dalam Fitri (2010) menyatakan bahwa semakin konservatif
metode akuntansi yang digunakan, maka nilai buku ekuitas yang dilaporkan akan
semakin bias (bervariasi antar waktu). Konsisi ini mendukung simpulan bahwa
laporan keuangan itu sama sekali tidak berguna karena tidak dapat mencerminakn nilai
perusahaan sesungguhnya.
Klein dan Marquant (2000) dalam Juanda (2007) dalam Fitri (2010)
mengemukakan dua aspek yang menjadikan konservatisme akuntansi mengurangi
kualitas laporan keuangan terutama masalah relevansi. Pertama, konservatisme
melaporkan terlalu rendah baik laba maupun aktiva. Hal ini akan mempengaruhi
kualitas
relevansi
laporan
keuangan
khususnya
netralitas.
Karena
ingin
mempertahankan reliabilitas, kadang perusahaan mengabaikan relevansi informasi,
atau sebaliknya. Misalnya, ketika mencatat kerugian kontijensi, mencatat biaya riset
dan pengembangan. Konservatisme mendorong adanya penyimpangan karena sikap
pesimistik, walaupun hal ini memang diharapkan oleh kreditor, namun akan menjadi
problem ketika melakukan analisis ekuitas. Kedua, konservatisme merupakan hasil
dari penundaan secara selektif terhadap berita baik, sementara dengan segera
mengakui berita buruk. Praktik seperti ini akan mengurangi kandungan informasi
laporan keuangan yang berkaitan dengan relevansi.
27
Masih mengenai kontroversi konservatisme akuntansi, pendapat yang lebih
lengkap dikemukakan oleh KAM (1995) dan Qiang (2003) dalam Juanda (2007) dan
dalam Fitri (2010) yang menyatakan bahwa terdapat beberapa aspek yang
menyebabkan konservatisme akuntansi ditolak antara lain: (1) Ketidakkonsistenan.
Ketika aset dilaporkan terlalu rendah karena digunakan atau dijual, hal ini akan
mengakibatkan laba dilaporkan terlalu tinggi. Dalam kasus lain, laba yang dilaporkan
terlalu rendah pada periode sekarang akan dilaporkan terlalu tinggi pada periode
berikutnya; (2) Ketidakteraturan. Tingkat konservatisme dalam laporan keuangan
berkaitan dengan perihal kebijakan perusahaan. Misalnya, ketika mengantisipasi
kerugian, mungkin dicatat dan mungkin tidak karena suatu ekspetasi selalu dapat
direvisi; (3) Penyembunyian. Investor mengalami kesulitan menentukan dan
menemukan jumlah aset yang dilaporkan terlalu rendah, sehingga dalam kasus ini
investor dalam posisi tidak diuntungkan dan memberi peluang keuntungan bagi pihak
dalam; (4) Kontradiktif. Konservatisme akuntansi bertentangan dengan prinsip
akuntansi lainnya antara lain prinsip biaya, prinsip penandingan, prinsip konsistensi,
dan prinsip pengungkapan; (5) Konservatisme akuntansi bertentangan dengan
karakteristik kualitatif laporan keuangan, antara lain, relevan, reliabilitas, dan
komparabilitas.
3. Auditor Eksternal (Akuntan Publik Bersertifikat)
Audit menurut Randal J. Elder et al. (2011:4) yang diterjemahkan oleh Desi
Fitriyani adalah sebagai tugas pengumpulan dan evaluasi bukti mengenai informasi
untuk menentukan dan melaporkan derajat kesesuaian antara informasi tersebut
28
dengan kriteria yang telah ditetapkan. Audit harus dilakukan oleh orang yang
kompeten dan independen.
Randal J. Elder et al. (2012) dalam bukunya tersebut lebih lanjut menjelaskan
mengenai audit, bahwa untuk melakukan audit harus tersedia informasi dalam bentuk
yang dapat diverifikasi dan beberapa standar (kriteria) yang dapat digunakan auditor
untuk mengevaluasi informasi tersebut, yang dapat dan memiliki banyak bentuk. Para
auditor secara rutin melakukan audit atas informasi yang dapat diukur, termasuk
laporan keuangan perusahaan dan SPT Pajak Penghasilan Perorangan. Auditor juga
mengaudit informasi yang lebih subjektif, seperti efektivitas sistem komputer dan
efisiensi operasi manufaktur. Kriteria untuk mengevaluasi informasi juga bervariasi,
tergantung pada informasi yang sedang diaudit. Dalam audit atas laporan keuangan
historis oleh kantor akuntan publik (KAP), kriteria yang berlaku biasanya adalah
prinsip-prinsip akuntansi yang berlaku umum di Indonesia (Generally accepted
accounting principles – GAAP).
Auditor harus memiliki kualifikasi untuk memahami kriteria yang digunakan
dan harus kompeten untuk mengetahui jenis serta jumlah bukti yang akan
dikumpulkan guna mencapai kesimpulan yang tepat setelah memeriksa bukti tersebut.
Auditor juga harus memiliki sikap mental yang independen. Kompetensi orang-orang
yang melaksanakan audit tidak akan ada nilainya jika mereka tidak independen dalam
mengumpulkan dan mengevaluasi bukti. Auditor yang mengeluarkan laporan
mengenai laporan keuangan perusahaan, sering kali disebut auditor independen.
Walaupun auditor ini menerima fee dari perusahaan, mereka biasanya cukup
29
independen dalam melakukan audit yang informasinya dapat diandalkan oleh para
pemakai.
B. Penelitian Terdahulu
Mayangsari dan Wilopo (2002) menguji hubungan antara konservatisme
akuntansi dengan value relevance dan discretionary accruals pada perusahaan
manufaktur di Indonesia dan menemukan bukti bahwa prinsip akuntansi
konservatif memiliki value relevance. Artinya, dengan menggunakan prinsip
konservatisme laporan keuang yang disajikan juga dapat menunjukan nilai pasar
perusahaan. Semakin tinggi konservatisme, semakin tinggi pertumbuhan
perusahaan. Tetapi sebaliknya, semakin tinggi konservatisme, semakin rendah
kemungkinan dilakukannya manajemen laba sehingga hal ini menunjukkan bahwa
konservatisme dapat mengurangi sikap oportunistik pihak manajemen. Sedangkan
discretionary accruals tidak berpengaruh secara signifikan terhadap nilai pasar
perusahaan. Motivasi pembuatan penelitian ini karena adanya tuduhan
ketidakbergunaan prinsip konservatif karena hanya akan menghasilkan kualitas
earnings yang rendah.
Dewi (2004) melakukan penelitian mengenai pengaruh konservatisme
laporan keuangan terhadap earnings response coefficient pada perusahaan
manufaktur dan non-manufaktur (kecuali perbankan) dari tahun 1996 hingga
2000, menemukan bukti bahwa akrual diskresioner dengan konservatisme laporan
keuangan berhubungan signifikan tetapi lemah. Sedangkan hubungan earnings
response coefficient dengan konservatisme laporan keuangan, khususnya bahwa
30
earnings response coefficient laporan yang optimis lebih besar dibandingkan
earnings response coefficient laporan yang konservatif. Hasil pengujian juga
menunjukkan bahwa earnings response coefficients laporan yang cenderung
persisten optimis lebih tinggi dibandingkan earnings response coefficient laporan
yang cenderung persisten konservatif.
Selain itu, Widya (2005) melakukan penelitian dengan judul “analisis
faktor-faktor yang mempengaruhi pilihan perusahaan terhadap akuntansi
konservatif”. Dalam penelitiannya, Widya menggunakan struktur kepemilikan,
kos politis, kontrak utang dan pertumbuhan sebagai variabel bebsa. Sedangkan
variabel terikatnya adalah konservatisme. Hasil dari penelitian tersebut
menunjukkan bahwa konsentrasi struktur kepemilikan, besarnya kos politis dan
pertumbuhan penjualan meerupakan faktor-faktor yang mempengaruhi pilihan
perusahaan terhadap akuntansi konservatif. Semakin besar konsentrasi struktur
kepemilikan perusahaan terhadap modal, serta semakin besar kos politis yang
dikeluarkan perusahaan, maka perusahaan tersebut cenderung untuk memilih
strategi akuntansi konservatf. Disisi lain, penelitian tersebut menunjukkan bahwa
leverage bukan merupakan faktor yang mempengaruhi pilihan perusahaan
terhadap akuntansi konservatif.
Ahmed dan Duellman (2007) menguji mengenai karakteristik dewan
terhadap konservatisme akuntansi menemukan bukti bahwa inside directors
berhubungan negatif signifikan dengan konservatisme akuntansi yang diukur
dengan ukuran akrual, sedangkan outside directors berhubungan positif. Ukuran
dewan yang diukur dengan ukuran akrual menunjukkan hasil yang tidak
31
signifikan dengan konservatisme akuntansi, sedangkan kepemilikan institusional
dan ukuran perusahaan sebagai variabel kontrol berhubungan negatif dan tidak
signifikan.
Penelitian yang dilakukan oleh Ratna Wardhani (2008) yang meneliti
mengenai pengaruh karakteristik dewan terhadap tingkat konservatisme akuntansi
di Indonesia dengan obyek penelitian sebanyak 69 perusahaan yang terdaftar di
BEI dengan variabel independen yang digunakan yaitu komisaris independen,
kepemilikan manajerial, dan keberadaan komite audit menunjukkan hasil bahwa
keberadaan komite audit berpengaruh secara positif dan signifikan terhadap
tingkat konservatisme dengan ukuran akrual, sedangkan kepemilikan manajerial
dan independensi komisaris tidak berpengaruh positif, tetapi independensi
komisaris mempunyai pengaruh positif terhadap konservatisme dengan ukuran
pasar. Dengan ukuran pasar pula, penelitian ini menunjukkan bahwa semakin
tinggi kepemilikan manajerial, semakin rendah tingkat konservatisme suatu
perusahaan.
Penelitian yang dilakukan oleh Fitri Rahmawati (2008) yang meneliti
mengenai pengaruh karakteristik dewan sebagai salah satu mekanisme corporate
governance terhadap konservatisme akuntansi di Indonesia dengan obyek
penelitian perusahaan-perusahaan manufaktur yang listing di BEI selama 4 tahun
berturut-turut dari tahun 2005 hingga 2008 menunjukkan bahwa faktor indepensi
komisaris, kepemilikan manajerial, keberadaan komite audit, ukuran dewan,
kepemilikan institusional, pertumbuhan penjualan, profitabilitas, leverage dan
ukuran perusahaan secara bersama-sama mempengaruhi tingkat konservatisme
32
akuntansi yang diukur dengan ukuran akrual sebesar 40%, sedangkan faktorfaktor diatas secara bersama-sama juga mempengaruhi tingkat konvservatisme
yang diukur dengan ukuran nilai pasar sebesar 23,80 %.
Ahmed & Duellman (2012) menginvestigasi mengenai hubungan antara
managerial overconfidence dan konservatisme akuntansi dan membuktikan bahwa
terdapat hubungan negatif yang signifikan antara managerial overconfidence dan
konservatisme akuntansi. Karena manajer yang terlalu optimistik biasanya
melebih-lebihkan kemungkinan ROI (Return on Investment) yang akan diperoleh
perusahaan, Ahmed dan Duellman telah memprediksi bahwa Managerial
Overconfidence akan terhubung secara negatif dengan konservatisme akuntansi.
Dengan meneliti sampel yang diambil dari 14.641 perusahaan selama tahun 1993
– 2009, mereka menemukan bukti kuat bahwa hubungan negatif yang cukup
signifikan antara kepercayaan diri manajer yang terlalu berlebihan dengan
konservatisme akuntansi. Lebih jauh, penemuan keduanya adalah bahwasanya
pemantauan pihak luar tidak terlalu berpengaruh terhadap hubungan ini.
C.
Pengembangan Hipotesis
1.
Pengaruh Overconfidence terhadap konservatisme akuntansi
Konservatisme di definisikan sebagai standar verifikasi yang tinggi saat
pengakuan good news daripada bad news (Basu [1997], Watts [2003]). Konsep
konservatisme yang dikenal secara umum dibagi menjadi dua sub-konsep :
conditional and unconditional conservatsim (Ball and Shivakumar, 2005; Beaver
and Ryan, 2005). Conditional Conservatism mengarah pada pemikiran bahwa
33
earning direfleksikan dalam pengkuan rugi dan laba dalam kondisi asymmetric
timelines, dimana asimmetric timelines timbul dari kecenderungan akuntan untuk
menggunakan verifikasi tingkat tinggi atas pengakuan kabar baik daripada kabar
buruk dalam laporan keuangan. Contoh dari conditional conservatism dapat
dilihat pada akuntansi persediaan (LOCOM) dan akuntansi impairment untuk aset
berwujud dan tidak berwujud jangka panjang. Estimasi manajemen memainkan
peranan yang kadang di kritik dalam mengaplikasikan konservatisme akuntansi.
Sebagai contoh, ketika manajer mengestimasi nilai bersih persediaan dalam
mengaplikasikan peraturan “lower of cost or market” saat penilaian persediaan.
Mereka pada umumnya akan meninggikan (overestimate) kemungkinan arus kas
yang positif dan merendahkan (underestimate) kemungkinan arus kas yang negatif
(rendah). Manajemen yang terlalu optimistik dalam meramalkan (mengestimasi)
keuntungan yang akan diperoleh perusahaan di masa yang akan datang cenderung
menunda pengakuan kerugian dan menggunakan sedikit sekali praktek akuntansi
konservatisme. Berdasarkan penjelasan tersebut, maka dibentuklah hipotesis
sebagai berikut :
H1a
: Terdapat pengaruh negatif antara optimistik manajemen yang terlalu
berlebihan dalam mengestimasi keuntungan (overconfidence managerial)
dengan konservatisme kondisional (conditional conservatism).
Implikasi kedua dari pemilihan kebijakan akuntansi adalah overconfidence
managers akan melakukan penilaian terhadap aset dengan nilai yang terlalu tinggi
(overvalue) dan melakukan penilaian terhadap hutang dengan nilai yang terlalu
rendah (undervalue). Sebagai contoh, seorang overconfidence manager akan
34
membuat perkiraan yang terlalu tinggi atas pengembalian piutang perusahaan
(account receivable), dan membuat cadangan yang terlalu rendah untuk
pengembalian hutang perusahaan. Demikian halnya ketika membuat perkiraan
atas nilai aset tetap, aset tetap akan dinilai dengan nilai yang tertinggi.
Berdasarkan penjelasan tersebut maka dibentuklah hipotesis sebagai berikut :
H1b : Terdapat pengaruh negatif antara optimistik manajemen yang terlalu
berlebihan dalam mengestimasi keuntungan (overconfidence managerial)
dengan unkondisional konservatisme (unconditional conservatism).
2. Pemantauan pihak ketiga, konservatisme dan Overconfidence
Jajaran direksi dan pemegang saham independen melihat laporan yang
disusun dengan konservatisme akan lebih baik, pantauan pihak ketiga (Auditor
eksternal/Akuntan
publik
bersertifikat)
dapat
mengurangi
efek
negatif
overconfindence managerial terhadap akuntansi konservatisme sebagaimana yang
disampaikan oleh Kahneman dan Lovallo (1993) yang berpendapat bahwa
pengaruh optimisme manajemen yang terlalu berlebihan (Overconfidence
Managerial) terhadap
konservatisme
akuntansi
dapat
dikurangi
dengan
melibatkan pantauan pihak luar. Pendapat ini, yang menyatakan bahwa pantauan
pihak ketiga dapat mengurangi hubungan negatif antara Overconfidence
managerial dan akuntansi konservatisme membentuk hipotesis berikut ini :
H2
: Pengaruh negatif antara optimisme manajer yang terlalu berlebihan
dan konservatisme akuntansi akan menjadi lemah pada perusahaan apabila
35
pemantauan pihak ketiga (Auditor eksternal/Akuntan Publik Bersertifikat)
cukup ketat.
D.
Model Konseptual
Berdasarkan pada teori yang telah dijelaskan sebelumnya dan berdasarkan
pada uraian penelitian-penelitian terdahulu, maka peneliti mengindikasikan bahwa
Overconfidence Managerial yang terdiri dari direksi dan komisaris dependen
dalam perusahaan sebagai variabel independen dan akuntansi konservatisme
sebagai variabel dependen (terikat) serta auditor eksternal (Akuntan Publik
Bersertifikat) sebagai variabel kontrol yang mempengaruhi tingkat konservatisme
akuntansi yang diterapkan sebagai kebijakan perusahaan.
Untuk
membantu
dalam memahami mengenai hubungan antara Overconfidence Managerial
terhadap konservatisme akuntansi dan bagaimana auditor eksternal berperan
sebagai variabel kontrol maka diperlukan sebuah kerangka pemikiran.
Dari landasan teori yang telah diuraikan diatas kemudian dibuatlah
hipotesis-hipotesis yang dapat digambarkan dalam sebuah hubungan antar
variabel seperti dibawah ini :
36
Managerial
Overconfidence
(Susunan manajerial
over optimistik) terdiri
dari :
a. Direksi
b. Komisaris
\
Konservatisme
Akuntasi
a. Dengan
Ukuran Akrual
b. Dengan
Ukuran Nilai
Pasar
External Monitorning
(Pihak luar ketiga/luar
Perusahaan) :
Akuntan Publik (KAP)
Keterangan :
:
:
Variabel Independen
Variabel Kontrol
Gambar 2.1
Model Konseptual
37
Download