3 TINJAUAN PUSTAKA Spodoptera litura (Lepidoptera: Noctuidae) Morfologi dan Bioekologi Ulat grayak atau S. litura merupakan salah satu hama tanaman yang banyak menyerang tembakau dan tanaman lain seperti kacang tanah, kentang, cabai, bawang merah dan kubis. Imago S. litura memiliki dua pasang sayap. Sayap bagian depan berwarna coklat atau keperak-perakan, sedangkan sayap belakang berwarna keputih-putihan dengan bercak hitam. Malam hari ngengat mampu terbang sejauh lima kilometer. Serangga dewasa meletakkan telur pada permukaan bawah daun, bentuk telurnya hampir bulat dengan bagian yang datar melekat pada daun atau bagian tanaman lainnya, telur berwarna coklat kekuning-kuningan, diletakkan berkelompok dengan masing-masing berisi 25-500 butir dan ditutupi bulu seperti beludru. Larva mempunyai warna yang bervariasi, mempunyai kalung/bulan sabit berwarna hitam pada segmen abdomen yang ke-empat dan ke-sepuluh. Pada sisi lateral dorsal terdapat garis kuning. Ulat yang baru menetas berwarna hijau muda, bagian sisi coklat tua atau hitam kecoklatan dan hidup berkelompok. Larva bersembunyi di dalam tanah pada siang hari dan menyerang tanaman pada malam hari. Larva berpindah dari tanaman satu ke tanaman yang lainnya secara bergerombol. Perilaku dan warna larva instar terakhir mirip dengan ulat tanah, perbedaan hanya pada tanda bulan sabit, berwarna hijau gelap dengan garis punggung berwarna gelap memanjang. Panjang larva yang berumur 2 minggu sekitar 5 cm. Larva berkepompong di dalam tanah yaitu membentuk pupa tanpa kokon dengan tipe obtekta. Pupa berwarna coklat kemerahan dengan panjang sekitar 1,6 cm (Deptan 2010). Siklus hidup S. litura berkisar antara 30-60 hari yaitu lama waktu stadia telur selama 2-4 hari, stadia larva yang terdiri dari 5 instar selama 20-46 hari, dan stadia pupa selama 8-11 hari. Seekor ngengat betina dapat meletakkan telur sebanyak 2000-3000 telur. 4 Hama S. litura tersebar luas di Asia-Pasifik dan Australia. Indonesia merupakan salah satu wilayah penyebaran S. litura. Serangga ini dilaporkan ditemukan di provinsi Aceh, Jambi, Sumatera Selatan, Jawa Barat, Jawa tengah, DI Yogyakarta, Bali, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Maluku dan Irian Jaya (Marwoto dan Suharsono 2008). Gejala serangan Larva S. Litura yang berukuran kecil merusak daun dengan meninggalkan sisa-sisa epidermis pada bagian atas dengan hanya meninggalkan tulang-tulang daun. Larva instar lanjut merusak tulang daun dan seringkali menyerang buah. Biasanya larva berada di permukaan bawah daun dan menyerang secara berkelompok. Serangan berat dapat menyebabkan tanaman gundul karena daun dan buah habis dimakan ulat, serangan seperti ini biasanya terjadi pada musim kemarau (Deptan 2010). Tanaman inang S. litura Ulat S. litura adalah serangga polifag yang dapat menyerang tanaman pangan maupun tanaman perkebunan. Beberapa tanaman yang dapat diserang oleh hama ini diantaranya cabai, kubis, padi, jagung, tomat, tebu, buncis, jeruk, tembakau, bawang merah, terung, kentang, kacang-kacangan (kedelai dan kacang tanah), kangkung, bayam dan pisang. Selain itu tanaman hias dan gulma (Limnocharis sp., Passiflora foetida, Ageratum sp., Cleome sp., Clibadium sp. dan Trema sp) juga dapat diserang oleh hama ini (Deptan 2010). Nucleopolyhedrovirus (NPV) Morfologi dan Struktur Agens hayati Nucleopolyhedrovirus termasuk genus Baculovirus dalam famili Baculoviridae. Sebagai parasit obligat, NPV hanya bereplikasi pada sel-sel hidup. Menurut Tanada dan Kaya (1993), NPV memiliki beberapa keunggulan, diantaranya inangnya spesifik, efektif, dan kompatibel dengan cara pengendalian yang lain termasuk insektisida botani dan kimia (Mandal et al., 2003). 5 Penggunaan NPV memiliki kelemahan yaitu mudah rusak oleh sinar ultraviolet yang menyebabkan keefektifannya menurun. Salah satu cara untuk mempertahankan keefektifan NPV yaitu dengan mengurangi pengaruh ultraviolet. Infeksi NPV pada inang biasanya dimulai dari saluran pencernaan, kemudian menyerang organ-organ internal lainnya. Gejala serangan NPV mulai terlihat pada hari ke-2 atau 3 dan kematian larva terjadi pada hari ke-4 hingga ke7 setelah infeksi. Hal ini disebabkan adanya masa inkubasi di dalam tubuh serangga sebelum terjadi kematian. Nucleopolyhedrovirus merupakan virus yang berbentuk batang dan terletak di dalam inclusion bodies, yang disebut polihedra. Polihedra adalah kristal protein yang membungkus virion yang tersusun dari polihedrin dengan ukuran 29.000-31.000 Dalton. Kristal protein ini berfungsi sebagai pelindung partikel virus dan menjaga viabilitasnya di alam serta melindungi DNA virus dari degradasi akibat sinar ultraviolet matahari. Nucleopolyhedrovirus telah ditemukan pada 523 spesies serangga, sebagian besar NPV bersifat spesifik inang, yaitu hanya dapat menginfeksi dan mematikan spesies inang alaminya, sehingga pada mulanya penamaan NPV disesuaikan dengan nama inang saat pertama kali diisolasi. Sebagai contoh NPV yang menginfeksi ulat S. litura dinamai Spodoptera litura Nucleopolyhedrovirus (SlNPV). Spodoptera litura Nucleopolyhedrovirus (SlNPV) Ciri Khas SlNPV Spodoptera litura Nucleopolyhedrovirus memiliki ciri khas yaitu berbentuk batang dan terdapat di dalam inclusion bodies yang disebut polihedra. Polihedra berbentuk kristal bersegi banyak dan berukuran relatif besar (0,5-15µm) sehingga mudah diamati menggunakan mikroskop perbesaran 600 kali. Spodoptera litura Nucleopolyhedrovirus ditemukan dalam berbagai jaringan seperti hemolimfa, badan lemak, hypodermis dan matriks trakea. Larva yang terinfeksi SlNPV menunjukan gejala seperti tubuhnya tampak berminyak, disertai dengan tubuhnya membengkak dan warnanya berubah menjadi pucat-kemerahan. Gejala khas di 6 lapangan, larva merayap ke pucuk tanaman kemudian mati dalam keadaan menggantung dengan tungkai semunya pada bagian tanaman. Integumen larva mengalami lisis dan disintegrasi sehingga sangat rapuh. Apabila robek, dari dalam tubuh ulat keluar cairan hemolimfa yang mengandung banyak polihedra (BB-Biogen 2009). Patogenisitas Spodoptera litura Nucleopolyhedrovirus memiliki tingkat patogenisitas yang relatif tinggi. Nilai LC50 untuk ulat instar III sebesar 5,4 x 103 polihedra inclusion bodies (PIBs)/ml. Ulat instar pertama sampai instar ke-tiga lebih rentan terhadap SlNPV daripada ulat instar ke-empat sampai ke-lima. Tingkat kerentanan ulat instar awal 100 kali lebih tinggi daripada ulat instar akhir (BBBiogen 2009). Mekanisme Infeksi dan Siklus Hidup NPV Di Alam Nucleopolyhedrovirus di alam biasanya dapat ditemukan pada permukaan tanaman atau tanah. Apabila NPV termakan oleh serangga inang (ulat) dan masuk ke dalam saluran pencernaan yang memiliki pH tinggi (>10), maka polihedra akan pecah sehingga melepaskan virion infektif. Virion yang terlepas dari matrik protein ini akan menginfeksi sel-sel saluran pencernaan. Proses infeksi SlNPV pada serangga inang dimulai dengan tertelannya polihedra yang berisi virus bersama dengan pakan serangga. Kondisi alkalin (pH tinggi) pada saluran pencernaan dapat menyebabkan polihedra larut sehingga membebaskan virus. Selanjutnya, virus menginfeksi sel-sel yang rentan dalam waktu 1 sampai 2 hari setelah polihedra tertelan. Larva yang terinfeksi akan mengalami gejala abnormal secara morfologis, fisiologis dan perilakunya. Secara morfologis, hemolimfa larva yang semula jernih berubah menjadi keruh. Selain itu, larva tampak berminyak dan warna tubuh menjadi pucat kemerahan, terutama pada bagian dorsal. Permukaan kulit larva mengalami perubahan warna dari pucat mengkilap pada awal infeksi kemudian akan menghitam dan hancur. Apabila tersentuh, tubuh ulat akan mengeluarkan cairan kental yang berisi partikel virus. Larva mati 7 dalam waktu 3 sampai 7 hari setelah polihedra tertelan. Sebelum mati, larva masih dapat merusak tanaman, namun kerusakan yang diakibatkan ulat yang sudah terinfeksi sangat rendah, karena terjadi penurunan kemampuan makan dari ulat grayak sampai 84% (BB-Biogen 2009). Bahan Pelindung Ultraviolet untuk SlNPV Tanaman Lerak (Sapindus rarak) Tanaman lerak atau Sapindus rarak merupakan tumbuhan famili Sapindaceae dengan nama daerah lerak, rerak atau lerek. Tanaman ini berupa pohon dan mampu tumbuh pada dataran tinggi maupun rendah. Bagian yang digunakan dari lerak adalah buahnya dengan kandungan saponin dan minyak lemak yang bersifat sebagai pembunuh serangga (Zuhud & Haryanto 1994). Tanaman lerak termasuk tumbuhan berukuran besar dengan tinggi dapat mencapai 42 m dan diameter batang sekitar 1 m. Daun berbentuk oval, perbungaanya majemuk, malai terdapat di ujung batang dan berwarna putih kekuningan. Buahnya berbentuk bundar seperti kelereng. Buah yang tua berwarna cokelat kehitaman dengan permukaan buah yang licin dan mengkilap. Bijinya bundar dan berwarna hitam, daging buahnya sedikit berlendir, dan mengeluarkan aroma wangi. Buah lerak terdiri dari 75% daging buah dan 25% biji. Bagian daging buah banyak mengandung saponin yaitu sekitar 38% yang merupakan racun yang cukup kuat (Heyne 1987). Selain racun, buah lerak juga mengandung sekitar 26% sejenis minyak yang tidak mudah mengering yang terdiri dari gliserida, asam palmitat dan asam sterat (Biecher 1960 dalam Sunaryadi 1999). Saponin mudah larut dalam air dan tidak larut dalam eter, memiliki rasa pahit menusuk dan menyebabkan bersin serta iritasi pada selaput lendir. Saponin merupakan racun yang dapat menghancurkan butir darah atau hemolisis pada darah. Saponin juga dapat bersifat racun pada hewan berdarah dingin dan banyak digunakan sebagai racun ikan. Saponin yang bersifat keras atau racun biasa disebut sebagai Sapotoksin (Teguh Hartono 2009). 8 Molase Molase merupakan nira yang tidak mengkristal, mengandung senyawasenyawa seperti sukrosa, glukosa, fruktosa, karbohidrat lainnya, nitrogen, lemak, fosfolopid, pigmen dan vitamin (Puturau 1982 dalam Holilah). Molase merupakan hasil samping proses pembuatan gula. Total kandungan gula berkisar 48-56% dan pHnya sekitar 5,5-5,6. Terdapat 2 jenis molase yaitu molase hitam dan molase pekat, kedua jenis molase tersebut merupakan hasil samping dari insdustri gula tebu dan seringkali digunakan dalam proses fermentasi. Molase hitam merupakan hasil samping kristalisasi gula tebu (cairan gula). Molase merupakan sumber energi yang esensial dengan kandungan gula di dalamnya. Oleh karena itu, molase telah banyak dimanfaatkan sebagai bahan tambahan pakan ternak dengan kandungan nutrisi atau zat gizi yang cukup baik (Pond dkk 1995 dalam Priyono 2009). Molase memiliki kandungan protein kasar sebesar 3,1%, serat kasar sebesar 0,6%, senyawa organik yang terdiri dari bahan ekstrak tanpa nitrogen (BETN) sebesar 83,5%, lemak kasar sebesar 0,9% dan abu sebesar 11,9%. Molase dapat dibedakan menjadi dua, yaitu: (1) Cane-molasses merupakan molase yang memiliki kandungan 25 – 40% sukrosa dan 12 – 25% gula pereduksi dengan total kadar gula 50 – 60% atau lebih. Kadar protein kasar sekitar 3% dan kadar abu sekitar 8 – 10%, yang sebagian besar terbentuk dari K, Ca, Cl dan garam sulfat; (2) Beet-molasses merupakan pakan pencahar yang normalnya diberikan pada ternak dalam jumlah kecil (Cheeke 1999; McDonald dkk. 2001 dalam Priyono 2009).