BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Pacaran (dating) Dating ialah jalinan hubungan antara dua orang yang berbeda jenis kelamindengan saling membagi rasa saling mengenal, memenuhi kebutuhan satu sama lain, percaya, termasuk merasa aman dan nyaman juga ingin membuat pasangannya merasakan hal yang sama yang juga menimbulkan kedekatan psikologis antara keduanya.Pacaran (dating) dimulai dari berkenalan, berteman dan kemudian pacaran (Tucker, 2004).Pacaran atau dating didefinisikan sebagai interaksi dyadic, termasuk didalamnya adalah mengadakanpertemuan untuk berinteraksi dan melakukan aktivitas bersama dengan keinginan secara eksplisit atauimplisit untuk meneruskan hubungan setelah terdapat kesepakatan tentang status hubungan mereka saatini (Straus, 2004). Fungsi dating menurut Paul & White (dalam Santrock 2003): (1) Dating bisa menjadi bentuk rekreasi. (2) Dating merupakan sumber status dan prestasi.Bagian dari proses perbandingan sosial yang melibatkan mengevaluasi status dari seseorang. (3) Dating adalah bagian dari proses sosialisasi. Ini membantuseseorang untuk belajar bagaimana bergaul dengan orang lain dan membantudalam berperilaku sopan santun dan ramah. (4) Dating mempelajari tentangkeintiman dan berfungsi sebagai sebagai kesempatan untuk membangun hubungan dengan lawan jenis. (5) Dating bisa menjadi konteks eksperimen seksual dan penjelasan. (6) Dating dapat memberikan persahabatan melalui interaksi dan aktivitas bersama dalam hubungan dengan lawan jenis. (7) Pengalaman berpacaran berkontribusi untuk mengidentifikasi pembentukan dan pengembangan. Dating membantu untuk menjelaskan identitas mereka dan untuk memisahkan dari keluarga atau asal mereka. (8) Dating dapat menjadi sarana pemilahan dan pemilihan pasangan, sehingga mempertahankan fungsi pacaran yang sebenarnya. 2.2. Kekerasan Dalam Bepacaran (Dating Violence) Kekerasan menurut definisi Humm (dalam Pitawati, 2008) bentuk dari pemerkosaan, inses, pemukulan, penghinaan, pelecehan seksual dan pornografi. Kekerasan pada wanita sangat sering dan biasa terjadi dalam produk masyarakat patriakal dimana kaum pria mendominasi institusi sosial dan tubuh wanita. Kekerasan merupakan serangan kepada fisik dan mental seseorang (Hadi dan Aminah, 2000), Galtung (dalam Pitawati, 2008) mendefinisikan kekerasan merupakan suatu perlakuan atau situasi yang menyebabkan realitas aktual seseorang berada dibawah realitias potensial. Sedangkan menurut Hayati (2000) kekerasan merupakan semua bentuk perilaku baik verbal maupun non-verbal yang dilakukan oleh seseorang sehingga menyebabkan efek negatif baik secara fisik, emosional maupun psikologis terhadap orang yang menjadi sasaran dalam hal ini seorang wanita oleh seseorang pria dalam relasi berpacaran. Kekerasan dapat berkembang seiring makin dekatnya hubungan, pelaku dapat orang dengan posisi otoritas, orang asing, teman dan pasangan hubungan intim (suami, bekas suami, pacar dll). 2.2.1. Bentuk-bentuk kekerasan dalam berpacaran (dating violence) Bentuk-bentuk kekerasan dalam berpacaran (dating violence) menurut Rahayu (2004), yaitu: 1. Bersifat fisik, misalnya: tamparan, tendangan, pukulan, menjambak, meludahi, menusuk, serta mendorong. 2. Bersifat non fisik, misalnya: memaksa, mengekang, cemburu berlebihan dan membatasi diri untuk berkembang meskipun atas alasan cinta. 3. Bentuk-bentuk lain adalah kekerasan seksual seperti pelecehan seksual Bentuk-bentuk kekerasan dalam berpacaran menurut Hadi dan Aminah (2000): 1. Kekerasan fisik : kekerasan yang dilakukan dengan anggota tubuh pelaku atau dengan bantuan alat kepada tubuh korbannya. 2. Kekerasan emosional (psikologis): kekerasan yang cenderung tidak terlihat nyata atau jelas seperti kekerasan fisik. Kekerasan emosional lebih dirasakan atau berdampak pada perasaan sakit hati, tertekan, perasaan marah, perasaan terkekang, minder dan perasaan-perasaan negatif lainnya. 3. Kekerasan seksual : kekerasan yang berkaitan dengan penyerangan seksual atau agrsifitas seksual seperti mencium, memeluk dengan paksa, meraba-raba, kekerasan seksual juga termasuk pemberian perhatian berkonotasi seksual dan lebih jauh lagi adalah pemerkosaan (dating rape). 4. Kekerasan ekonomi : kekerasan yang berhubungan dengan uang dan barang. Gunawan (dalam Pitawati, 2008) menjelaskan bahwa berbagi materi dengan pasangan dengan didasarkan pada kepercayaan bukanlah suatu larangan, tetapi harus tetap bedasarkan rasio, sebab mungkin suatu hubungan dapat putus sewaktu-waktu, jangan sampai bangkrut dan terbelit hutang karena cinta. Bedasarkan apa yang telah diuraikan di atas dapat disimpulkan bahwa kekerasan dalam berpacaran (dating violence) merupakan tindakan kekerasan yang terjadi pada wanita dalam suatu relasi berpacaran dan tindakan tersebut dapat berupa kekerasan fisik, emosional, ekonomi serta kekerasan seksual yang dilakukan oleh pasangan lelakinya. 2.2.2. Penyebab kekerasan dalam berpacaran (dating violence) Berikut ini adalah sebab-sebab dari terjadinya kekerasan dalam berpcaran (dating violence) menurut Hadi dan Aminah (2000), yaitu: 1. Ideologi gender dan budaya patriarki Ideologi gender menempatkan wanita pada posisi-posisi tertentu yang menyebabkan wanita lemah dan cenderung untuk tergantung pada pasangan sehingga tidak adanya keseimbangan sisi feminin dan maskulin. Studi gender lebih menekankan pada perkembangan aspek maskulinias dan feminitas seseorang. Sadli (2000) mengatakan bahwa gender adalah hasil sosialisasi dan enkulturasi seseorang. Sifat-sifat feminitas bagi wanita dan sifat maskulinitas bagi pria. Mendatu (2007) menyatakan bahwa sifat-sifat yang terdapat pada wanita (feminitas) memicu adanya kekerasan dalam berpacaran, antara lain adanya perasaan bahwa dirinya lemah, tidak berdaya, ketidakmampuan dalam hal ekonomi maupun kejiwaan, serta ketidakmampuan dalam bersikap dan berkomunikasi secara terbuka (asertif). Budaya patriarki adalah budaya yang selalu mengutamakan dan mengunggulkan kaum pria. 2. Pengertian yang salah mengenai makna pacaran Pacaran sering dianggap sebagai bentuk pemilihan atau penguasaan atas diri pasangan. Tidak salah jika berpacaran dengan seseorang berarti ada semacam ikatan, tetapi yang perlu diingat, ikatan itu bukan berarti memiliki atau menguasai. Ditambakan oleh Siera (2000) mencintai sesorang berarti dapat menerima mereka apa adanya, dapat menerima kekurangan dan kelebihan pasangan kita, serta membuat pasangan kita bahagia. Seseorang yang berpacaran sering kali salah menilai makna pacaran sehingga pada akhirnya menimbulkan berbagai macam masalah. 3. Adanya upaya untuk mengendalikan wanita Wanita dibatasi hak dan wewenangnya untuk mengembangkan diri. Ada anggapan bahwa wanita harus dikendalikan sebab jika tidak akan menginjak-injak harga diri pria. Disini kesetaraan gender sangat diperlukan agar wanita lebih dapat menentukan sikap sesuai dengan keinginan dan harapannya sesuai dengan wewenangnya sebagai wanita. 4. Adanya mitos-mitos yang berkembang seputar pacaran Mitos adalah keyakinan yang salah mengenai suatu hal yang disebabkan kurangnya informasi ataupun kesalahan pengertian, misalnya: Pria mempunyai dorongan seks yang lebih besar dibandingkan wanita, sehingga dapat dimaklumi apabila pria bersikap agresif. Dorongan seks tidak ada hubungannya dengan jenis kelamin. Baik pria maupun wanita jika memasuki masa puber dorongan seksnya cenderung meningkat, tergantung dapat mengendalikannya atau tidak. Perasaan cinta harus dibuktikan dengan berhubungan seksual. Sebaiknya tidak mencampuradukan cinta dengan hubungan seksual pada masa pacaran. Tidak mau melakukan hubungan seksual berarti akan kehilangan pacar. Bila wanita mampu menolak berhubungan seksual dengan pacarnya berarti dirinya memiliki pendirian dan teguh. Jadi seharusnya tidak perlu takut menolak, karena seorang pendamping yang baik tidak akan membuat penderitaan bagi pasangannya. Pria yang mengajak berhubungan seksual pasti akan menikahi. Tidak pernah ada jaminan hal itu akan menjadi kenyataan, karena pria yang mengajak berhubungan seksual sering kali hanya ingin melampiaskan nafsu birahi sesaat dan mereka akan melancarkan berbagai rayuan untuk melancarkan tujuannya tersebut. Cinta butuh pengorbanan Benar jika cinta butuh pengorbanan, tetapi tidak harus melakukan hubungan seksual, cukup dengan memberi perhatian dan kasih sayang. Lagipula sebenarnya wanita dapat membalik logika dengan berpikir “kalau pasangan memang mencintai mengapa tidak mau berkorban dengan menahan hasrat seksualnya sampai adanya ikatan pernikahan yang sah dimata agama dan hukum”. Berdasarkan apa yang telah diuraikan diatas dapat disimpulkan bahwa penyebab kekerasan dalam berpacaran antara lain : ideologi gender, budaya patriarki, pengertian salah mengenai makna pacaran, adanya upaya untuk mengendalikan wanita dan terdapatnya mitosmitos yang berkembang seputar pacaran. 2.2.3. Dampak kekerasan dalam berpacaran (dating violence) Hadi dan Aminah (2000) memaparkan kekerasan dalam berpacaran atau dating violence membawa akibar-akibat sebagai berikut: 1. Dampak kejiwaan Wanita menjadi benci atau trauma kepada pria. Akibatnya menjadi takut untuk berhubungan kembali dengan seorang pria (frigid dan vaginismus). 2. Dampak sosial Posisi wanita menjadi lemah dalam hubungannya dengan seorang pria. Apalagi pada wanita yang merasa telah menyerahkan kesucian pada pasangan, biasanya mereka akan merasa minder untuk menjalin hubungan kembali. 3. Dampak fisik Pertama, jika terjadi kehamilan yang tidak dikehendaki, dan sang pacar meninggalkannya. Ada dua kemungkinan : melanjutkan kehamilan atau aborsi. Jika memilih melanjutkan kehamilan seorang wanita harus siap dengan kemungkinan untuk menjadi orangtua tunggal (single parent), jika memilih aborsi maka harus siap-siap dengan resiko seperti : pendarahan, infeksi, bahkan kematian. Kekerasan juga berdampak pada kemampuan wanita untuk bertindak, serta mempengaruhi perkembangan kepribadian dan rasa keamanannya. Dari uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa dampak dari kekerasan dalam berpacaran wanita dapat berupa : dampak kejiwaan, dampak sosial dan dampak fisik. 2.3. PENGAMBILAN KEPUTUSAN 2.3.1. Definisi Pengambilan Keputusan Pengambilan keputusan merupakan suatu proses pemilihan alternatif terbaik dari beberapa alternatif. Pengambilan keputusan dalam pemahaman luas dapat disamakan dengan pemecahan masalah.Sedangkan pendekatan pengambilan keputusan dalam konteks yang lebih sempit dinyatakansebagai kegiatan-kegiatan internal (mental) dalam melakukan pilihan dan beberapa alternatif pilihan.Pengambilan keputusan dalam pengertian yang lebihlengkap mencakup pula penerapan atau konsekuensi secara nyata dari keputusanyang diambil (Moordiningsih, 2005). Untuk mengembangkan kemampuan guna membuat keputusan-keputusan yang mantap dan handal, dibutuhkan beberapa bekal untuk melakukanhal tersebut. Pertama; dibutuhkan kemampuan nalar atau pertimbangan yangmasak agar setelah meneliti semua faktor yang berhubungan dengan suatumasalah dan segenap alternatif pemecahannya, mampu menetapkan suatu pemecahan terbaik yang dapat dilaksanakan dengan lancar dan juga dituntut untuk memiliki wawasan yang jauh kedepan agar dapat mengantisipasi danmerencanakan aksi dan reaksi yang akan muncul akibat reaksi tersebut. Kedua;harus mempunyai watak kuat yang diperlukan untuk membuat keputusan terbaik pada waktu yang tepat, dan mengumumkannya juga pada waktu dan tempat yangtepat sehingga akan diperoleh hasil-hasil sesuai yang diharapkan (Sumaryanto,2011). 2.3.2. Dasar - Dasar Pengambilan Keputusan Dasar-dasar yang berlaku dari pengambilan keputusan yang berlakudijelaskan oleh Terry (Sumaryanto, 2011), yaitu: a. Intuisi, memiliki sifat subjektif sehingga mudah terkena pengaruh, meskipun waktu yang digunakan untuk mengambil keputusan relatif pendek, tetapi keputusan yang dihasilkan seringkali kurang baik karena mengabaikan dasar-dasar pertimbangan lainnya. b. Pengalaman, memiliki pengalamanseseorang manfaat dapat bagi pengetahuan memperkirakan keadaan praktis karena sesuatu, dapat memperhitungkan untungruginya, baik buruknya keputusan yang akan diambil. c. Fakta, dapat memberikankeputusan yang sehat, solid, dan baik, tingkat kepercayaan terhadap pengambilankeputusan dapat lebih tinggi, sehingga dapat menerima keputusan-keputusandengan lapang dada. d. Wewenang, biasa dilakukan oleh pimpinan terhadap bawahannya atau orang yang lebih tinggi kedudukannya kepada orang yang lebihrendah kedudukannya. Hasil keputusannya dapat bertahan dalam jangka waktuyang cukup lama dan memiliki otentisitas, tetapi dapat menimbulkan sifatrutinitas, mengasosiasikan dengan praktek diktatorial. e. Rasional, pada pengambilan keputusan yang berdasarkan rasional, keputusan yang dihasilkan bersifat objektif, logis, lebih transparan, konsisten untuk memaksimalkan hasilatau nilai dalam batas kendala tertentu, sehingga dapat dikatakan mendekatikebenaran atau sesuai dengan apa yang diinginkan. Pengambilan keputusan secararasional ini berlaku sepenuhnya dalam keadaan yang ideal. 2.3.3. Pertimbangan dalam pengambilan keputusan Pengambilan keputusan melibatkan pertimbangan-pertimbangan menurut Jahja dan Mann (1987) mengelompokkan pertimbangan-pertimbangan dalam pengambilan keputusan menjadi dua kelompok, yaitu: a. Pertimbangan utilitarian, yaitu segala pertimbangan yang berhubungan dengan instrumental dari suatu keputusan. Pertimbangan utilitarian meliputi ; 1. Pertimbangan keuntungan dan kerugian bagi diri sendiri, meliputi antisipasi pengaruh keputusan terhadap kesejahteraan pribadi dalam pengambilan keputusan. 2. Pertimbangan keuntungan dan kerugian bagi orang lain, termasuk hal-hal yang diantisipasikan akan berpengaruh terhadap pihak lain. b. Pertimbangan nonutilitarian, yaitu pertimbangan-pertimbangan lain diluar efek instrumental dari suatu keputusan. Pertimbangan nonutilitarian meliputi : 1) Penerimaan dan penolakan dari diri, yang melibatkan emosi atau perasaan dan harga diri seseorang. 2) Penerimaan dan penolakan dari orang lain yang meliputi kritik atau penghargaan dari orang lain yang mempengaruhi alternative yang dipilih. Pertimbangan-pertimbangan tersebut mempengaruhi proses pengambilan keputusan yang dilakukan serta alternatif yang akan dipilih oleh pengambil keputusan. Selain pertimbangan-pertimbangan di atas, terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi proses pengambilan keputusan(Terry dalam Hendrian, 2012)yaitu: 1. Fisik Didasarkan pada rasa yang dialami pada tubuh, seperti rasa tidak nyaman atau kenikmatan. Ada kecenderungan menghindari tingkah laku yang menimbulkan rasa tidak senang, sebaliknya memilih tingkah laku yang memberikan kesenangan. 2. Emosional Didasarkan pada perasaan atau sikap. Orang akan bereaksi pada suatu situasi secara subjektif. 3. Rasional Didasarkan pada pengetahuan orang orang mendapatkan informasi, memahami situasi dan berbagai konsekuensinya. 4. Praktikal Didasarkan pada keterampilan individual dan kemampuan melaksanakannya. Seseorang akan menilai potensi diri dan kepercayaan dirinya melalui kemampuannya dalam bertindak. 5. Interpersonal Didasarkan pada pengaruh jaringan sosial yang ada. Hubungan antar satu orang ke orang lainnya dapat mempengaruhi tindakan individual. 6. Lingkungan Didasarkan pada lingkup sosial dimana lingkungan dapat memberikan hasil yang mendukung atau mengkritik suatu tingkah laku tertentu 2.3.4. Faktor yang Mempengaruhi Pengambilan Keputusan Teori interdependence adalah teori mengenai tingkah laku manusia berdasarkan model ekonomi. Perspektif ini mengatakan bahwa tingkah laku seseorang dalam situasi pacar dimotivasi oleh keinginan untuk memaksimalkan keuntungan dan meminimalisasikan kehilangan, motif yang sama inilah yang menentukan tingkah laku dalam interaksi sosial (Thibaut & Kelley dalam Brehm, 1992). Terdapat lima komponen utama dalam teori ini, yaitu reward, cost, ekspektansi, alternatif, dan investasi. Berikut akan dijelaskan lebih lanjut mengenai kelima hal tersebut. Komponen pertama dan kedua adalah reward dan cost. Reward merupakan kepuasan dan kesenangan yang diterima seseorang yang didapat dari partisipasinya dengan orang lain (Shaw & Contanzo, 1970). Konsep serupa dikemukakan oleh Foa dan Foa (Sprecher, 1998) dengan istilah Resources merupakan semua komoditas baik itu berupa materi ataupun simbolik yang dapat dipertukarkan dalam hubungan interpersonal dan memberikan seseorang kemampuan untuk memberikan reward atau sama lain (Foa dan Foa dalam Sabatelli, 2007). Foa dan Foa (Vaughan, 2005) menyebutkan terdapat 6 jenis resources yang terdapat dalam sebuah hubungan, yaitu cinta, barang, informasi, uang, jasa, dan status. Cinta merupakan ekspresi dari afeksi, kehangatan, dan kenyamanan. Cinta merupakan resources yang paling spesifik dan nilainya sangat dipengaruhi oleh orang tertentu yang memberikan cinta tersebut. Barang merupakan segala bentuk benda atau objek yang dapat terlihat. Informasi merupakan saran, opini, instruksi ataupun penjelasan tertentu. Uang merupakan koin, mata uang, ataupun token yang memiliki nilai unit standar dari pertukaran yang terjadi. Uang merupakan resources yang paling umum karena terlepas dari peran orang yang memberi ataupun menerima. Jasa merupakan aktivitas tubuh yang dimiliki seseorang yang dilakukan untuk orang lain. Status merupakan penilaian evaluatif yang dapat memberikan prestis, penghargaan, ataupun penilaian tertentu (Stangl, 1993). Dalam hubungan personal reward dapat berupa companionship, cinta, dukungan-dukungan saat situasi yang menekan, kepuasan seksual apabila hubungan tersebut bersifat seksual. Reward yang diantisipasi oleh seseorang juga merupakan hal yang penting (Brehm, 1992). Cost merupakan faktor yang dapat menghambat performa dari beberapa tingkah laku (Shaw & Costanzo, 1970) dan merupakan konsekuensi negatif yang muncul dalam interaksi (Taylor, Peplau, & Sears, 2006). Sebuah interaksi dapat membawa banyak konsekuensi negatif karena hubungan tersebut membutuhkan benyak energi dan waktu karena mengandung banyak konflik didalamnya atau karena orang lain tidak menyetujui hubungan tersebut dan mengkritik orang yang terlibat dalam hubungan tersebut. Brehm (1992) juga menyebutkan bahwa sebuah hubungan dapat melibatkan cost seperti waktu dan usaha yang dikeluarkan untuk membina hubungan, kesepakatan untuk tetap berada dalam harmoni, menderita saat berada dalam konflik, dan kesempatan yang ada di luar hubungan yang harus direlakan apabila hubungan tersebut dilanjutkan. Sebuah studi yang dilakukan pada mahasiswa untuk mendeskripsikan reward dan cost yang ada dalam hubungan tersebut adalah companionship, perasaan dicintai, kebahagiaan, intimacy, memahami diri, dan kepuasan seksual. Sedangkan cost yang ada dalam sebuah hubungan adalah stress dan kekhawatiran mengenai hubungan tersebut, kebebasan yang terbatas untuk bergaul dengan orang lain atau untuk mengencani orang lain, usaha dan waktu yang dibutuhkan oleh hubungan tersebut, pertengkaran, dan perasaan tergantung dengan pasangan (Taylor, Peplau, & Sears, 2006). Prinsip dasar teori ini adalah hubungan yang lebih dapat menyediakan reward dan lebih sedikit cost akan lebih memuaskan dan akan bertahan lebih lama (Brehm, 1992). Komponen ketiga adalah ekspektansi. Thibaut dan Kelley (dalam Brehm, 1992) mengatakan bahwa jika ingin memprediksi seberapa puas seseorang dalam hubungan yang dijalaninya, harus dipertimbangkan juga pengalaman dan ekspektansinya yaitu jenis hasil (outcome) yang telah diterima dalam hubungan yang pernah dijalani dan berdasarkan pengalaman masa lalu, jenis hasil (outcome) yang diharapkan pada masa depan. Thibaut dan Kelley mendeskripsikan ekspektansi ini sebagai comparison level atau tingkat perbandingan (CL). CL merupakan ekspektansi seseorang mengenai apa yang pantas ia dapatkan dalam sebuah hubungan dan merupakan standar yang digunakan dalam mengevaluasi hubungan tersebut berdasarkan pengalaman sebelumnya dan kesadaran akan pengalaman orang lain (Sprecher, 1998). CL dapat berubah seiring dengan waktu. CL bukan saja perubahan sebagai konsekuensi dari pengalaman, tetapi seseorang juga mengembangkan berhubungan domain interpersonal yang mereka jalani (Fletcher & Clark, 2001). banyak CL Komponen keempat adalah alternatif. Menurut teori ini, kepuasan akan hubungan sendiri tidak bisa menentukan kecenderungan bahwa hubungan tersebut akan berlanjut. Sehingga Thibaut dan Kelley mengajukan konsep comparison level alternative atau tingkat perbandingan alternatif (CLalt) untuk menjelaskan keputusan individu untuk bertahan atau meninggalkan hubungan yang dijalaninya (Sabatelli, 2007). Tingkat perbandingan alternatif adalah jenis hasil yang diharapkan akan didapat dari hubungan alternatif terbaik yang tersedia pada sebuah hubungan. Alternatif terbaik yang dimaksud adalah pertama, seseorang mungkin sadar akan alternatif tertentu dalam interaksi yang mungkin dapat dilibatkan. Kedua, penilaian seseorang dapat dipengaruhi oleh kualitas umum dari “pasar” yaitu seberapa favorable pada “pasar” untuk orang pada usia, gender, dan orientasi yang sesuai dengan orang tersebut. Ketiga, seseorang mungkin menilai alternatif dalam kaitan pilihan yang bebas (apakah kebutuhan saya dapat terpenuhi oleh teman, keluarga, atau keterlibatan romantis yang bebas?). CLalt juga berhubungan dengan level ketergantungan seseorang yaitu sejauh mana seseorang sangat bergantung pada hubungan untuk mendapatkan hasil yang positif (Fletcher & Clark, 2001). Komponen kelima adalah investasi. Rusbult mengembangkan teori Thibaut dan Kelley dengan menambahkan investasi sebagai komponen yang penting (Sprecher, 1998). Komitmen akan meningkat tidak hanya ditentukan oleh kepuasan tinggi yaitu dengan membandingkan outcome dengan CL dan CLalt tetapi juga dipengaruhi oleh investasi. Investasi merupakan sesuatu yang diletakkan seseorang dalam hubungan yang tidak bisa dikembalikan saat hubungan tersebut berakhir. Secara umum investasi meningkatkan komitmen terhadap hubungan. Saat hubungan tersebut memuaskan, maka orang tersebut akan menginvestasi lebih banyak untuk melanjutkan hubungan tersebut atau meningkatkan justifikasi terhadap investasi yang telah dilakukan (Brehm, 1992) 2.4. Dewasa Awal 2.4.1. Perkembangan Dewasa Awal Menurut Dariyo (2004) Inidividu dewasa awal (young adulthood) secara fisik menampilkan fisik yang sempurna dalam arti pertumbuhan dan perkembangan aspek-aspek fisiologis sudah mencapai posisi puncak. Mereka yang tergolong individu dewasa awal adalah individu yang berusia antara 20 sampai 40 tahun. Santrock (2003) menambahkan bahwa dewasa awal termasuk masa transisi, baik transisi secara fisik (physically transtition), transisi secara intelektual (cognitive transtition), serta transisi peran sosial (social role transtition). Bedasarkan pertumbuhan fisik Santrock (2003) menjelaskan apabila diketahui apabila pada masa dewasa awal secara fisik memang sudah berada dalam keadaan yang matang sehingga mereka siap untuk melakukan tugas-tugas seperti bekerja, menikah dan memiliki anak. Masa perubahan fisik ini ditandai dengan misalnya tumbuh bulu-bulu halus, perubahan suara, menstruasi dan kemampuan bereproduksi. Transisi secara intelektual pada dewasa awal yaitu mencapai tahap post formal thought. Menurut Piaget (dalam Papalia, Old & Feldman, 2008) orang dewasa yang mencapai post formal thought merupakan tahap kognisi yang paling tinggi. Post formal thought merupakan tipe yang matang, percaya pengalama subjektif, intuisi yang masuk akal dan berguna untuk berhubungan dengan ketidakyakinan, ketidakkonsistenan, kontradiksi, ketidaksempurnaan dan kompromi. Transisi peran sosial menurut Erikson (dalam Papalia, Old & Feldman, 2008) ialah masa untuk membentuk suatu hubungan intimasi yang dalam dengan orang lain ataupun hubungan dengan sesama yang berarti. Jika indiidu dewasa awal tidak dapat membangun komitmen pada sebuah hubungan personal dengan orang lain maka dirinya akan merasa terisolasi. Suatu hubungan yang intim dan dalam membutuhkan pengorbanan dan kompromi. Pada masa dewasa awal personality traits dan gaya hidup seseorang cenderung stabil, namun perubahan perilaku dapat terjadi apabila terjadi hal yang benar-benar berpengaruh terhadap gaya hidup dan personality traits seseorang. Keputusan akan keintiman dan tipe hubungan personal sudah ditentukan (termasuk dalam kohabitasi). Banyak yang memulai membangun keluarganya sendiri serta menjadi orangtua pada tahap Intimasi ini. Dewasa awal merupakan tahap dimana individu sangat tertarik dalam mengembangkan hubungan yang dekat dengan orang lain dan mereka juga merasakan pentingnya kemandirian dan kebebasan. 2.4.2. Wanita Dewasa Awal Kepribadian wanita merupakan suatu kesatuan yang terpadu antara aspek emosi, rasio dan suasana hati yang berhubungan erat dengan hakikatnya sebagai seorang wanita. Hal ini mengakibatkan apa yang menjadi keputusan dan perilaku wanita dipengaruhi oleh ketiga aspek tersebut. Wanita sering kali cepat untuk mengambil keputusan, melakukan tindakan, memberikan kesan tindakan impulsif sebelum didahului oleh pemikiran dan pertimbangan yang matang (Gunarsa & Gunarsa, 2004). Biasa wanita memberikan respon-respon yang lebih kuat dan lebih emosional terhadap masalah-masalah yang dihadapi. Giligan (dalam Dariyo, 2004) menyatakan bahwa dalam diri wanita juga memiliki tahap perkembangan moral sendiri. Giligan membagi tahap perkembangan moral wanita dalam tiga tahap, yaitu (a) orientation of individual survival (transisi I: from selfishness to responsibility), (b) goodness as self-sacrifice (transisi II: from goodness to truth), (c) morality of non violence. Tahap petama yaitu orientasi untuk mempertahankan kehidupan pribadi. Awal mulanya wanita berupaya memikirkan dan mengusahakan hal-hal yang terbaik untuk kehidupan pribadinya sendiri. Disini yang penting adalah bagaimana agar dirinya dapat bertahan dalam kehidupan secara praktis. Usaha ini ditempuh melalui kegiatan-kegiatan untuk meningkatkan kualitas kepribadiannya, misalnya usaha seorang wanita untuk menempuh pendidikan formal agar diri mereka mampu sejajar dengan kaum laki-laki dan mampu untuk mendapatkan pekerjaan yang baik (Dariyo, 2004). Transisi pertama adalah dari diri sendiri menuju rasa tanggung jawab. Wanita menyadari bahwa dirinya mempunyai relasi dengan orang lain dalam lingkungan sosial. Bagaimanapun juga apa yang dilakukannya harus dapat dipertanggungjawabkan secara moral kepada orang lain (Dariyo, 2004). Tahap kedua adalah kebaikan sebagai pengorbanan diri. Pada tahap ini wanita cenderung melakukan kebaikan dan menjadikannya sengai prinsip hidup, yaitu bagaimana dirinya berkorban dari segi waktu, tenaga ataupun materi (biaya) untuk kepentingan orang lain. Kenyataannya karena faktor gender, sering kali seorang wanita lebih banyak mengorbankan kepentingannya (Dariyo, 2004). Transisi kedua adalah kebaikan menuju kebenaran. Wanita menilai bahwa setiap keputusan yang diambil bukanlah bergantung kepada orang lain, tetapi karena bedasarkan keyakinan diri dan hati nurani yang mantap yang berpijak pada kebenaran. Dengan dasar keyakinan yang benar, wanita mau mengambil keputusan sebagai langkah konkret guna mewujudkan apa yang diyakini dirinya sebagai suatu kebenaran (Dariyo, 2004). Tahap ketiga adalah moralitas yang tidak bedasarkan pada kekerasan. Sifat dasar wanita adalah kelembutan dan kehalusan budi pekerti sebab hal ini merupakan refleksi dari sifat feminitasnya. Wanita dewasa awal membutuhkan pemenuhan kebutuhan akan intimasi oleh karena itu untuk memenuhi kebutuhan akan intimasi sesuai dengan tahapan kebutuhan yang disampaikan Erikson (dalam Papalia, Old & Feldman, 2008) wanita dewasa akan membina hubungan dengan seorang pria atas dasar cinta dan harapan untuk dapat melanjutkan hubungan ke jenjang pernikahan. Hubungan ini dinamakan pacaran. Pacaran merupakan suatu fase umum yang diterima masyarakat sebagai upaya pengenalan dan pemahaman kepribadian, selain itu memiliki tujuan dan bermuara pada suatu pernikahan. Setiap pasangan yang berpacaran tentu mengharapkan hubungan yang indah, penuh romantisme, kebahagiaan dan banyak masyarakat juga menilai setiap orang yang berpacaran akan dengan senang dan bahagia menjalankan hubungan tersebut. Terdapat banyak kasus yang berkembang kemudian hari mengenai kekerasan dalam berpacaran atau dating violence. Menurut Hadi (2000) kekerasan adalah serangan fisik maupun mental. Ditambahkan menurut Hayati (2000) kekerasan adalah adalah semua bentuk perilaku, baik verbal maupun non-verbal, yang dilakukan seseorang yang menyebabkan efek negatif secara fisik, emosional dan psikologis terhadap seseorang yang menjadi sasaran. Kekerasan yang terjadi pada wanita saat terikat hubungan pacaran dinamakan dating violence. Dating violence merupakan kekerasan dalam berbagai bentuk yang dilakukan oleh pasangan yang umumnya pria kepada wanita. Kekerasan ini dapat berupa kekerasan fisik, kekerasan verbal, kekerasan ekonomi, kekerasan seksual hingga pemerkosaan. Banyak wanita bertahan pada perlakuan menyakitkan yang dilakukan oleh pacarnya. Pengambilan keputusan untuk bertahan pada suatu hubungan berpacaran yang berkekerasan merupakan suatu tindakan yang sudah didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan. Pertimbangan-pertimbangan tersebut termasuk dalam pertimbangan keuntungan dan kerugian terhadap diri sendiri maupun orang lain Jahja dan Mann (1987). Pengambilan keputusan untuk bertahan pada suatu hubungan ini juga akan memberikan dampak-dampak tersendiri bagi diri wanita dewasa awal yang menjalani hubungan baik secara fisik maupun mental.