BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Pacaran (dating) Dating ialah jalinan

advertisement
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1.
Pacaran (dating)
Dating ialah jalinan hubungan antara dua orang yang berbeda jenis kelamindengan
saling membagi rasa saling mengenal, memenuhi kebutuhan satu sama lain, percaya, termasuk
merasa aman dan nyaman juga ingin membuat pasangannya merasakan hal yang sama yang
juga menimbulkan kedekatan psikologis antara keduanya.Pacaran (dating) dimulai dari
berkenalan, berteman dan kemudian pacaran (Tucker, 2004).Pacaran atau dating didefinisikan
sebagai interaksi dyadic, termasuk didalamnya adalah mengadakanpertemuan untuk
berinteraksi dan melakukan aktivitas bersama dengan keinginan secara eksplisit atauimplisit
untuk meneruskan hubungan setelah terdapat kesepakatan tentang status hubungan mereka
saatini (Straus, 2004).
Fungsi dating menurut Paul & White (dalam Santrock 2003): (1) Dating bisa menjadi
bentuk rekreasi. (2) Dating merupakan sumber status dan prestasi.Bagian dari proses
perbandingan sosial yang melibatkan mengevaluasi status dari seseorang. (3) Dating adalah
bagian dari proses sosialisasi. Ini membantuseseorang untuk belajar bagaimana bergaul
dengan orang lain dan membantudalam berperilaku sopan santun dan ramah. (4) Dating
mempelajari tentangkeintiman dan berfungsi sebagai sebagai kesempatan untuk membangun
hubungan dengan lawan jenis. (5) Dating bisa menjadi konteks eksperimen seksual dan
penjelasan. (6) Dating dapat memberikan persahabatan melalui interaksi dan aktivitas bersama
dalam hubungan dengan lawan jenis. (7) Pengalaman berpacaran berkontribusi untuk
mengidentifikasi pembentukan dan pengembangan. Dating membantu untuk menjelaskan
identitas mereka dan untuk memisahkan dari keluarga atau asal mereka. (8) Dating dapat
menjadi sarana pemilahan dan pemilihan pasangan, sehingga mempertahankan fungsi pacaran
yang sebenarnya.
2.2.
Kekerasan Dalam Bepacaran (Dating Violence)
Kekerasan menurut definisi Humm (dalam Pitawati, 2008) bentuk dari pemerkosaan,
inses, pemukulan, penghinaan, pelecehan seksual dan pornografi. Kekerasan pada wanita
sangat sering dan biasa terjadi dalam produk masyarakat patriakal dimana kaum pria
mendominasi institusi sosial dan tubuh wanita.
Kekerasan merupakan serangan kepada fisik dan mental seseorang (Hadi dan Aminah,
2000), Galtung (dalam Pitawati, 2008) mendefinisikan kekerasan merupakan suatu perlakuan
atau situasi yang menyebabkan realitas aktual seseorang berada dibawah realitias potensial.
Sedangkan menurut Hayati (2000) kekerasan merupakan semua bentuk perilaku baik verbal
maupun non-verbal yang dilakukan oleh seseorang sehingga menyebabkan efek negatif baik
secara fisik, emosional maupun psikologis terhadap orang yang menjadi sasaran dalam hal ini
seorang wanita oleh seseorang pria dalam relasi berpacaran. Kekerasan dapat berkembang
seiring makin dekatnya hubungan, pelaku dapat orang dengan posisi otoritas, orang asing,
teman dan pasangan hubungan intim (suami, bekas suami, pacar dll).
2.2.1. Bentuk-bentuk kekerasan dalam berpacaran (dating violence)
Bentuk-bentuk kekerasan dalam berpacaran (dating violence) menurut Rahayu (2004),
yaitu:
1. Bersifat fisik, misalnya: tamparan, tendangan, pukulan, menjambak, meludahi, menusuk,
serta mendorong.
2. Bersifat non fisik, misalnya: memaksa, mengekang, cemburu berlebihan dan membatasi
diri untuk berkembang meskipun atas alasan cinta.
3. Bentuk-bentuk lain adalah kekerasan seksual seperti pelecehan seksual
Bentuk-bentuk kekerasan dalam berpacaran menurut Hadi dan Aminah (2000):
1. Kekerasan fisik : kekerasan yang dilakukan dengan anggota tubuh pelaku atau dengan
bantuan alat kepada tubuh korbannya.
2. Kekerasan emosional (psikologis): kekerasan yang cenderung tidak terlihat nyata atau
jelas seperti kekerasan fisik. Kekerasan emosional lebih dirasakan atau berdampak
pada perasaan sakit hati, tertekan, perasaan marah, perasaan terkekang, minder dan
perasaan-perasaan negatif lainnya.
3. Kekerasan seksual : kekerasan yang berkaitan dengan penyerangan seksual atau
agrsifitas seksual seperti mencium, memeluk dengan paksa, meraba-raba, kekerasan
seksual juga termasuk pemberian perhatian berkonotasi seksual dan lebih jauh lagi
adalah pemerkosaan (dating rape).
4. Kekerasan ekonomi : kekerasan yang berhubungan dengan uang dan barang. Gunawan
(dalam Pitawati, 2008) menjelaskan bahwa berbagi materi dengan pasangan dengan
didasarkan pada kepercayaan bukanlah suatu larangan, tetapi harus tetap bedasarkan
rasio, sebab mungkin suatu hubungan dapat putus sewaktu-waktu, jangan sampai
bangkrut dan terbelit hutang karena cinta.
Bedasarkan apa yang telah diuraikan di atas dapat disimpulkan bahwa kekerasan dalam
berpacaran (dating violence) merupakan tindakan kekerasan yang terjadi pada wanita dalam
suatu relasi berpacaran dan tindakan tersebut dapat berupa kekerasan fisik, emosional,
ekonomi serta kekerasan seksual yang dilakukan oleh pasangan lelakinya.
2.2.2. Penyebab kekerasan dalam berpacaran (dating violence)
Berikut ini adalah sebab-sebab dari terjadinya kekerasan dalam berpcaran (dating
violence) menurut Hadi dan Aminah (2000), yaitu:
1.
Ideologi gender dan budaya patriarki
Ideologi gender menempatkan
wanita
pada
posisi-posisi tertentu
yang
menyebabkan wanita lemah dan cenderung untuk tergantung pada pasangan sehingga
tidak adanya keseimbangan sisi feminin dan maskulin. Studi gender lebih menekankan
pada perkembangan aspek maskulinias dan feminitas seseorang. Sadli (2000)
mengatakan bahwa gender adalah hasil sosialisasi dan enkulturasi seseorang. Sifat-sifat
feminitas bagi wanita dan sifat maskulinitas bagi pria. Mendatu (2007) menyatakan
bahwa sifat-sifat yang terdapat pada wanita (feminitas) memicu adanya kekerasan
dalam berpacaran, antara lain adanya perasaan bahwa dirinya lemah, tidak berdaya,
ketidakmampuan dalam hal ekonomi maupun kejiwaan, serta ketidakmampuan dalam
bersikap dan berkomunikasi secara terbuka (asertif). Budaya patriarki adalah budaya
yang selalu mengutamakan dan mengunggulkan kaum pria.
2.
Pengertian yang salah mengenai makna pacaran
Pacaran sering dianggap sebagai bentuk pemilihan atau penguasaan atas diri
pasangan. Tidak salah jika berpacaran dengan seseorang berarti ada semacam ikatan,
tetapi yang perlu diingat, ikatan itu bukan berarti memiliki atau menguasai. Ditambakan
oleh Siera (2000) mencintai sesorang berarti dapat menerima mereka apa adanya,
dapat menerima kekurangan dan kelebihan pasangan kita, serta membuat pasangan
kita bahagia. Seseorang yang berpacaran sering kali salah menilai makna pacaran
sehingga pada akhirnya menimbulkan berbagai macam masalah.
3.
Adanya upaya untuk mengendalikan wanita
Wanita dibatasi hak dan wewenangnya untuk
mengembangkan diri. Ada
anggapan bahwa wanita harus dikendalikan sebab jika tidak akan menginjak-injak harga
diri pria. Disini kesetaraan gender sangat diperlukan agar wanita lebih dapat
menentukan sikap sesuai dengan keinginan dan harapannya sesuai dengan
wewenangnya sebagai wanita.
4.
Adanya mitos-mitos yang berkembang seputar pacaran
Mitos adalah keyakinan yang salah mengenai suatu hal yang disebabkan
kurangnya informasi ataupun kesalahan pengertian, misalnya:
Pria mempunyai dorongan seks yang lebih besar dibandingkan wanita, sehingga
dapat dimaklumi apabila pria bersikap agresif. Dorongan seks tidak ada
hubungannya dengan jenis kelamin. Baik pria maupun wanita jika memasuki
masa puber dorongan seksnya cenderung meningkat, tergantung dapat
mengendalikannya atau tidak.
Perasaan cinta harus dibuktikan dengan berhubungan seksual. Sebaiknya tidak
mencampuradukan cinta dengan hubungan seksual pada masa pacaran.
Tidak mau melakukan hubungan seksual berarti akan kehilangan pacar. Bila
wanita mampu menolak berhubungan seksual dengan pacarnya berarti dirinya
memiliki pendirian dan teguh. Jadi seharusnya tidak perlu takut menolak, karena
seorang pendamping yang baik tidak akan membuat penderitaan bagi
pasangannya.
Pria yang mengajak berhubungan seksual pasti akan menikahi. Tidak pernah
ada jaminan hal itu akan menjadi kenyataan, karena pria yang mengajak
berhubungan seksual sering kali hanya ingin melampiaskan nafsu birahi sesaat
dan mereka akan melancarkan berbagai rayuan untuk melancarkan tujuannya
tersebut.
Cinta butuh pengorbanan
Benar jika cinta butuh pengorbanan, tetapi tidak harus melakukan hubungan
seksual, cukup dengan memberi perhatian dan kasih sayang. Lagipula
sebenarnya wanita dapat membalik logika dengan berpikir “kalau pasangan
memang mencintai mengapa tidak mau berkorban dengan menahan hasrat
seksualnya sampai adanya ikatan pernikahan yang sah dimata agama dan
hukum”.
Berdasarkan apa yang telah diuraikan diatas dapat disimpulkan bahwa penyebab
kekerasan dalam berpacaran antara lain : ideologi gender, budaya patriarki, pengertian salah
mengenai makna pacaran, adanya upaya untuk mengendalikan wanita dan terdapatnya mitosmitos yang berkembang seputar pacaran.
2.2.3. Dampak kekerasan dalam berpacaran (dating violence)
Hadi dan Aminah (2000) memaparkan kekerasan dalam berpacaran atau dating
violence membawa akibar-akibat sebagai berikut:
1.
Dampak kejiwaan
Wanita menjadi benci atau trauma kepada pria. Akibatnya menjadi takut untuk
berhubungan kembali dengan seorang pria (frigid dan vaginismus).
2.
Dampak sosial
Posisi wanita menjadi lemah dalam hubungannya dengan seorang pria. Apalagi
pada wanita yang merasa telah menyerahkan kesucian pada pasangan,
biasanya mereka akan merasa minder untuk menjalin hubungan kembali.
3.
Dampak fisik
Pertama, jika terjadi kehamilan yang tidak dikehendaki, dan sang pacar
meninggalkannya. Ada dua kemungkinan : melanjutkan kehamilan atau aborsi.
Jika memilih melanjutkan kehamilan seorang wanita harus siap dengan
kemungkinan untuk menjadi orangtua tunggal (single parent), jika memilih aborsi
maka harus siap-siap dengan resiko seperti : pendarahan, infeksi, bahkan
kematian. Kekerasan juga berdampak pada kemampuan wanita untuk bertindak,
serta mempengaruhi perkembangan kepribadian dan rasa keamanannya.
Dari uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa dampak dari kekerasan dalam berpacaran
wanita dapat berupa : dampak kejiwaan, dampak sosial dan dampak fisik.
2.3.
PENGAMBILAN KEPUTUSAN
2.3.1. Definisi Pengambilan Keputusan
Pengambilan keputusan merupakan suatu proses pemilihan alternatif terbaik dari
beberapa alternatif. Pengambilan keputusan dalam pemahaman luas dapat disamakan dengan
pemecahan masalah.Sedangkan pendekatan pengambilan keputusan dalam konteks yang
lebih sempit dinyatakansebagai kegiatan-kegiatan internal (mental) dalam melakukan pilihan
dan beberapa alternatif pilihan.Pengambilan keputusan dalam pengertian yang lebihlengkap
mencakup pula penerapan atau konsekuensi secara nyata dari keputusanyang diambil
(Moordiningsih, 2005).
Untuk mengembangkan kemampuan guna membuat keputusan-keputusan yang mantap
dan handal, dibutuhkan beberapa bekal untuk melakukanhal tersebut. Pertama; dibutuhkan
kemampuan nalar atau pertimbangan yangmasak agar setelah meneliti semua faktor yang
berhubungan
dengan
suatumasalah
dan
segenap
alternatif
pemecahannya,
mampu
menetapkan suatu pemecahan terbaik yang dapat dilaksanakan dengan lancar dan juga
dituntut
untuk memiliki
wawasan
yang
jauh
kedepan
agar
dapat
mengantisipasi
danmerencanakan aksi dan reaksi yang akan muncul akibat reaksi tersebut. Kedua;harus
mempunyai watak kuat yang diperlukan untuk membuat keputusan terbaik pada waktu yang
tepat, dan mengumumkannya juga pada waktu dan tempat yangtepat sehingga akan diperoleh
hasil-hasil sesuai yang diharapkan (Sumaryanto,2011).
2.3.2. Dasar - Dasar Pengambilan Keputusan
Dasar-dasar yang berlaku dari pengambilan keputusan yang berlakudijelaskan oleh
Terry (Sumaryanto, 2011), yaitu:
a. Intuisi, memiliki sifat subjektif sehingga mudah terkena pengaruh, meskipun waktu
yang digunakan untuk mengambil keputusan relatif pendek, tetapi keputusan yang
dihasilkan seringkali kurang baik karena mengabaikan dasar-dasar pertimbangan
lainnya.
b. Pengalaman,
memiliki
pengalamanseseorang
manfaat
dapat
bagi
pengetahuan
memperkirakan
keadaan
praktis
karena
sesuatu,
dapat
memperhitungkan untungruginya, baik buruknya keputusan yang akan diambil.
c. Fakta, dapat memberikankeputusan yang sehat, solid, dan baik, tingkat kepercayaan
terhadap pengambilankeputusan dapat lebih tinggi, sehingga dapat menerima
keputusan-keputusandengan lapang dada.
d. Wewenang, biasa dilakukan oleh pimpinan terhadap bawahannya atau orang yang
lebih tinggi kedudukannya kepada orang yang lebihrendah kedudukannya. Hasil
keputusannya dapat bertahan dalam jangka waktuyang cukup lama dan memiliki
otentisitas, tetapi dapat menimbulkan sifatrutinitas, mengasosiasikan dengan praktek
diktatorial.
e. Rasional, pada pengambilan keputusan yang berdasarkan rasional, keputusan yang
dihasilkan bersifat objektif, logis, lebih transparan, konsisten untuk memaksimalkan
hasilatau
nilai
dalam
batas
kendala
tertentu,
sehingga
dapat
dikatakan
mendekatikebenaran atau sesuai dengan apa yang diinginkan. Pengambilan
keputusan secararasional ini berlaku sepenuhnya dalam keadaan yang ideal.
2.3.3. Pertimbangan dalam pengambilan keputusan
Pengambilan keputusan melibatkan pertimbangan-pertimbangan menurut Jahja dan
Mann (1987) mengelompokkan pertimbangan-pertimbangan dalam pengambilan keputusan
menjadi dua kelompok, yaitu:
a. Pertimbangan utilitarian, yaitu segala pertimbangan yang berhubungan dengan
instrumental dari suatu keputusan. Pertimbangan utilitarian meliputi ;
1. Pertimbangan keuntungan dan kerugian bagi diri sendiri, meliputi
antisipasi pengaruh keputusan terhadap kesejahteraan pribadi dalam
pengambilan keputusan.
2. Pertimbangan keuntungan dan kerugian bagi orang lain, termasuk hal-hal
yang diantisipasikan akan berpengaruh terhadap pihak lain.
b. Pertimbangan nonutilitarian, yaitu pertimbangan-pertimbangan lain diluar efek
instrumental dari suatu keputusan. Pertimbangan nonutilitarian meliputi :
1) Penerimaan dan penolakan dari diri, yang melibatkan emosi atau
perasaan dan harga diri seseorang.
2) Penerimaan dan penolakan dari orang lain yang meliputi kritik atau
penghargaan dari orang lain yang mempengaruhi alternative yang dipilih.
Pertimbangan-pertimbangan tersebut mempengaruhi proses pengambilan keputusan
yang dilakukan serta alternatif yang akan dipilih oleh pengambil keputusan. Selain
pertimbangan-pertimbangan di atas, terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi proses
pengambilan keputusan(Terry dalam Hendrian, 2012)yaitu:
1.
Fisik
Didasarkan pada rasa yang dialami pada tubuh, seperti rasa tidak nyaman atau
kenikmatan. Ada kecenderungan menghindari tingkah laku yang menimbulkan rasa tidak
senang, sebaliknya memilih tingkah laku yang memberikan kesenangan.
2.
Emosional
Didasarkan pada perasaan atau sikap. Orang akan bereaksi pada suatu situasi secara
subjektif.
3.
Rasional
Didasarkan pada pengetahuan orang orang mendapatkan informasi, memahami situasi
dan berbagai konsekuensinya.
4.
Praktikal
Didasarkan
pada
keterampilan
individual
dan
kemampuan
melaksanakannya.
Seseorang akan menilai potensi diri dan kepercayaan dirinya melalui kemampuannya
dalam bertindak.
5.
Interpersonal
Didasarkan pada pengaruh jaringan sosial yang ada. Hubungan antar satu orang ke
orang lainnya dapat mempengaruhi tindakan individual.
6.
Lingkungan
Didasarkan pada lingkup sosial dimana lingkungan dapat memberikan hasil yang
mendukung atau mengkritik suatu tingkah laku tertentu
2.3.4. Faktor yang Mempengaruhi Pengambilan Keputusan
Teori interdependence adalah teori mengenai tingkah laku manusia berdasarkan model
ekonomi. Perspektif ini mengatakan bahwa tingkah laku seseorang dalam situasi pacar
dimotivasi oleh keinginan untuk memaksimalkan keuntungan dan meminimalisasikan
kehilangan, motif yang sama inilah yang menentukan tingkah laku dalam interaksi sosial
(Thibaut & Kelley dalam Brehm, 1992). Terdapat lima komponen utama dalam teori ini, yaitu
reward, cost, ekspektansi, alternatif, dan investasi. Berikut akan dijelaskan lebih lanjut
mengenai kelima hal tersebut.
Komponen pertama dan kedua adalah reward dan cost. Reward merupakan kepuasan
dan kesenangan yang diterima seseorang yang didapat dari partisipasinya dengan orang lain
(Shaw & Contanzo, 1970). Konsep serupa dikemukakan oleh Foa dan Foa (Sprecher, 1998)
dengan istilah Resources merupakan semua komoditas baik itu berupa materi ataupun simbolik
yang dapat dipertukarkan dalam hubungan interpersonal dan memberikan seseorang
kemampuan untuk memberikan reward atau sama lain (Foa dan Foa dalam Sabatelli, 2007).
Foa dan Foa (Vaughan, 2005) menyebutkan terdapat 6 jenis resources yang terdapat dalam
sebuah hubungan, yaitu cinta, barang, informasi, uang, jasa, dan status. Cinta merupakan
ekspresi dari afeksi, kehangatan, dan kenyamanan. Cinta merupakan resources yang paling
spesifik dan nilainya sangat dipengaruhi oleh orang tertentu yang memberikan cinta tersebut.
Barang merupakan segala bentuk benda atau objek yang dapat terlihat. Informasi merupakan
saran, opini, instruksi ataupun penjelasan tertentu. Uang merupakan koin, mata uang, ataupun
token yang memiliki nilai unit standar dari pertukaran yang terjadi. Uang merupakan resources
yang paling umum karena terlepas dari peran orang yang memberi ataupun menerima. Jasa
merupakan aktivitas tubuh yang dimiliki seseorang yang dilakukan untuk orang lain. Status
merupakan penilaian evaluatif yang dapat memberikan prestis, penghargaan, ataupun penilaian
tertentu (Stangl, 1993). Dalam hubungan personal reward dapat berupa companionship, cinta,
dukungan-dukungan saat situasi yang menekan, kepuasan seksual apabila hubungan tersebut
bersifat seksual. Reward yang diantisipasi oleh seseorang juga merupakan hal yang penting
(Brehm, 1992).
Cost merupakan faktor yang dapat menghambat performa dari beberapa tingkah laku
(Shaw & Costanzo, 1970) dan merupakan konsekuensi negatif yang muncul dalam interaksi
(Taylor, Peplau, & Sears, 2006). Sebuah interaksi dapat membawa banyak konsekuensi negatif
karena hubungan tersebut membutuhkan benyak energi dan waktu karena mengandung
banyak konflik didalamnya atau karena orang lain tidak menyetujui hubungan tersebut dan
mengkritik orang yang terlibat dalam hubungan tersebut. Brehm (1992) juga menyebutkan
bahwa sebuah hubungan dapat melibatkan cost seperti waktu dan usaha yang dikeluarkan
untuk membina hubungan, kesepakatan untuk tetap berada dalam harmoni, menderita saat
berada dalam konflik, dan kesempatan yang ada di luar hubungan yang harus direlakan apabila
hubungan tersebut dilanjutkan.
Sebuah studi yang dilakukan pada mahasiswa untuk mendeskripsikan reward dan cost
yang ada dalam hubungan tersebut adalah companionship, perasaan dicintai, kebahagiaan,
intimacy, memahami diri, dan kepuasan seksual. Sedangkan cost yang ada dalam sebuah
hubungan adalah stress dan kekhawatiran mengenai hubungan tersebut, kebebasan yang
terbatas untuk bergaul dengan orang lain atau untuk mengencani orang lain, usaha dan waktu
yang dibutuhkan oleh hubungan tersebut, pertengkaran, dan perasaan tergantung dengan
pasangan (Taylor, Peplau, & Sears, 2006). Prinsip dasar teori ini adalah hubungan yang lebih
dapat menyediakan reward dan lebih sedikit cost akan lebih memuaskan dan akan bertahan
lebih lama (Brehm, 1992).
Komponen ketiga adalah ekspektansi. Thibaut dan Kelley (dalam Brehm, 1992)
mengatakan bahwa jika ingin memprediksi seberapa puas seseorang dalam hubungan yang
dijalaninya, harus dipertimbangkan juga pengalaman dan ekspektansinya yaitu jenis hasil
(outcome) yang telah diterima dalam hubungan yang pernah dijalani dan berdasarkan
pengalaman masa lalu, jenis hasil (outcome) yang diharapkan pada masa depan. Thibaut dan
Kelley mendeskripsikan ekspektansi ini sebagai comparison level atau tingkat perbandingan
(CL). CL merupakan ekspektansi seseorang mengenai apa yang pantas ia dapatkan dalam
sebuah hubungan dan merupakan standar yang digunakan dalam mengevaluasi hubungan
tersebut berdasarkan pengalaman sebelumnya dan kesadaran akan pengalaman orang lain
(Sprecher, 1998). CL dapat berubah seiring dengan waktu. CL bukan saja perubahan sebagai
konsekuensi
dari
pengalaman,
tetapi
seseorang
juga
mengembangkan
berhubungan domain interpersonal yang mereka jalani (Fletcher & Clark, 2001).
banyak
CL
Komponen keempat adalah alternatif. Menurut teori ini, kepuasan akan hubungan
sendiri tidak bisa menentukan kecenderungan bahwa hubungan tersebut akan berlanjut.
Sehingga Thibaut dan Kelley mengajukan konsep comparison level alternative atau tingkat
perbandingan alternatif (CLalt) untuk menjelaskan keputusan individu untuk bertahan atau
meninggalkan hubungan yang dijalaninya (Sabatelli, 2007). Tingkat perbandingan alternatif
adalah jenis hasil yang diharapkan akan didapat dari hubungan alternatif terbaik yang tersedia
pada sebuah hubungan. Alternatif terbaik yang dimaksud adalah pertama, seseorang mungkin
sadar akan alternatif tertentu dalam interaksi yang mungkin dapat dilibatkan. Kedua, penilaian
seseorang dapat dipengaruhi oleh kualitas umum dari “pasar” yaitu seberapa favorable pada
“pasar” untuk orang pada usia, gender, dan orientasi yang sesuai dengan orang tersebut.
Ketiga, seseorang mungkin menilai alternatif dalam kaitan pilihan yang bebas (apakah
kebutuhan saya dapat terpenuhi oleh teman, keluarga, atau keterlibatan romantis yang
bebas?). CLalt juga berhubungan dengan level ketergantungan seseorang yaitu sejauh mana
seseorang sangat bergantung pada hubungan untuk mendapatkan hasil yang positif (Fletcher &
Clark, 2001). Komponen kelima adalah investasi. Rusbult mengembangkan teori Thibaut dan
Kelley dengan menambahkan investasi sebagai komponen yang penting (Sprecher, 1998).
Komitmen akan meningkat tidak hanya ditentukan oleh kepuasan tinggi yaitu dengan
membandingkan outcome dengan CL dan CLalt tetapi juga dipengaruhi oleh investasi. Investasi
merupakan sesuatu yang diletakkan seseorang dalam hubungan yang tidak bisa dikembalikan
saat hubungan tersebut berakhir. Secara umum investasi meningkatkan komitmen terhadap
hubungan. Saat hubungan tersebut memuaskan, maka orang tersebut akan menginvestasi
lebih banyak untuk melanjutkan hubungan tersebut atau meningkatkan justifikasi terhadap
investasi yang telah dilakukan (Brehm, 1992)
2.4.
Dewasa Awal
2.4.1. Perkembangan Dewasa Awal
Menurut Dariyo (2004) Inidividu dewasa awal (young adulthood) secara fisik
menampilkan fisik yang sempurna dalam arti pertumbuhan dan perkembangan aspek-aspek
fisiologis sudah mencapai posisi puncak. Mereka yang tergolong individu dewasa awal adalah
individu yang berusia antara 20 sampai 40 tahun. Santrock (2003) menambahkan bahwa
dewasa awal termasuk masa transisi, baik transisi secara fisik (physically transtition), transisi
secara intelektual (cognitive transtition), serta transisi peran sosial (social role transtition).
Bedasarkan pertumbuhan fisik Santrock (2003) menjelaskan apabila diketahui apabila
pada masa dewasa awal secara fisik memang sudah berada dalam keadaan yang matang
sehingga mereka siap untuk melakukan tugas-tugas seperti bekerja, menikah dan memiliki
anak. Masa perubahan fisik ini ditandai dengan misalnya tumbuh bulu-bulu halus, perubahan
suara, menstruasi dan kemampuan bereproduksi. Transisi secara intelektual pada dewasa awal
yaitu mencapai tahap post formal thought. Menurut Piaget (dalam Papalia, Old & Feldman,
2008) orang dewasa yang mencapai post formal thought merupakan tahap kognisi yang paling
tinggi. Post formal thought merupakan tipe yang matang, percaya pengalama subjektif, intuisi
yang masuk akal dan berguna untuk berhubungan dengan ketidakyakinan, ketidakkonsistenan,
kontradiksi, ketidaksempurnaan dan kompromi.
Transisi peran sosial menurut Erikson (dalam Papalia, Old & Feldman, 2008) ialah masa
untuk membentuk suatu hubungan intimasi yang dalam dengan orang lain ataupun hubungan
dengan sesama yang berarti. Jika indiidu dewasa awal tidak dapat membangun komitmen pada
sebuah hubungan personal dengan orang lain maka dirinya akan merasa terisolasi. Suatu
hubungan yang intim dan dalam membutuhkan pengorbanan dan kompromi. Pada masa
dewasa awal personality traits dan gaya hidup seseorang cenderung stabil, namun perubahan
perilaku dapat terjadi apabila terjadi hal yang benar-benar berpengaruh terhadap gaya hidup
dan personality traits seseorang. Keputusan akan keintiman dan tipe hubungan personal sudah
ditentukan (termasuk dalam kohabitasi). Banyak yang memulai membangun keluarganya
sendiri serta menjadi orangtua pada tahap Intimasi ini.
Dewasa awal merupakan tahap dimana individu sangat tertarik dalam mengembangkan
hubungan yang dekat dengan orang lain dan mereka juga merasakan pentingnya kemandirian
dan kebebasan.
2.4.2. Wanita Dewasa Awal
Kepribadian wanita merupakan suatu kesatuan yang terpadu antara aspek emosi, rasio
dan suasana hati yang berhubungan erat dengan hakikatnya sebagai seorang wanita. Hal ini
mengakibatkan apa yang menjadi keputusan dan perilaku wanita dipengaruhi oleh ketiga aspek
tersebut. Wanita sering kali cepat untuk mengambil keputusan, melakukan tindakan,
memberikan kesan tindakan impulsif sebelum didahului oleh pemikiran dan pertimbangan yang
matang (Gunarsa & Gunarsa, 2004). Biasa wanita memberikan respon-respon yang lebih kuat
dan lebih emosional terhadap masalah-masalah yang dihadapi.
Giligan (dalam Dariyo, 2004) menyatakan bahwa dalam diri wanita juga memiliki tahap
perkembangan moral sendiri. Giligan membagi tahap perkembangan moral wanita dalam tiga
tahap, yaitu (a) orientation of individual survival (transisi I: from selfishness to responsibility), (b)
goodness as self-sacrifice (transisi II: from goodness to truth), (c) morality of non violence.
Tahap petama yaitu orientasi untuk mempertahankan kehidupan pribadi. Awal mulanya wanita
berupaya memikirkan dan mengusahakan hal-hal yang terbaik untuk kehidupan pribadinya
sendiri. Disini yang penting adalah bagaimana agar dirinya dapat bertahan dalam kehidupan
secara praktis. Usaha ini ditempuh melalui kegiatan-kegiatan untuk meningkatkan kualitas
kepribadiannya, misalnya usaha seorang wanita untuk menempuh pendidikan formal agar diri
mereka mampu sejajar dengan kaum laki-laki dan mampu untuk mendapatkan pekerjaan yang
baik (Dariyo, 2004).
Transisi pertama adalah dari diri sendiri menuju rasa tanggung jawab. Wanita menyadari
bahwa dirinya mempunyai relasi dengan orang lain dalam lingkungan sosial. Bagaimanapun
juga apa yang dilakukannya harus dapat dipertanggungjawabkan secara moral kepada orang
lain (Dariyo, 2004). Tahap kedua adalah kebaikan sebagai pengorbanan diri. Pada tahap ini
wanita cenderung melakukan kebaikan dan menjadikannya sengai prinsip hidup, yaitu
bagaimana dirinya berkorban dari segi waktu, tenaga ataupun materi (biaya) untuk kepentingan
orang lain. Kenyataannya karena faktor gender, sering kali seorang wanita lebih banyak
mengorbankan kepentingannya (Dariyo, 2004).
Transisi kedua adalah kebaikan menuju kebenaran. Wanita menilai bahwa setiap
keputusan yang diambil bukanlah bergantung kepada orang lain, tetapi karena bedasarkan
keyakinan diri dan hati nurani yang mantap yang berpijak pada kebenaran. Dengan dasar
keyakinan yang benar, wanita mau mengambil keputusan sebagai langkah konkret guna
mewujudkan apa yang diyakini dirinya sebagai suatu kebenaran (Dariyo, 2004). Tahap ketiga
adalah moralitas yang tidak bedasarkan pada kekerasan. Sifat dasar wanita adalah kelembutan
dan kehalusan budi pekerti sebab hal ini merupakan refleksi dari sifat feminitasnya.
Wanita dewasa awal membutuhkan pemenuhan kebutuhan akan intimasi oleh karena itu
untuk memenuhi kebutuhan akan intimasi sesuai dengan tahapan kebutuhan yang disampaikan
Erikson (dalam Papalia, Old & Feldman, 2008) wanita dewasa akan membina hubungan
dengan seorang pria atas dasar cinta dan harapan untuk dapat melanjutkan hubungan ke
jenjang pernikahan.
Hubungan ini dinamakan pacaran. Pacaran merupakan suatu fase umum yang diterima
masyarakat sebagai upaya pengenalan dan pemahaman kepribadian, selain itu memiliki tujuan
dan bermuara pada suatu pernikahan. Setiap pasangan yang berpacaran tentu mengharapkan
hubungan yang indah, penuh romantisme, kebahagiaan dan banyak masyarakat juga menilai
setiap orang yang berpacaran akan dengan senang dan bahagia menjalankan hubungan
tersebut.
Terdapat banyak kasus yang berkembang kemudian hari mengenai kekerasan dalam
berpacaran atau dating violence. Menurut Hadi (2000) kekerasan adalah serangan fisik maupun
mental. Ditambahkan menurut Hayati (2000) kekerasan adalah adalah semua bentuk perilaku,
baik verbal maupun non-verbal, yang dilakukan seseorang yang menyebabkan efek negatif
secara fisik, emosional dan psikologis terhadap seseorang yang menjadi sasaran. Kekerasan
yang terjadi pada wanita saat terikat hubungan pacaran dinamakan dating violence. Dating
violence merupakan kekerasan dalam berbagai bentuk yang dilakukan oleh pasangan yang
umumnya pria kepada wanita. Kekerasan ini dapat berupa kekerasan fisik, kekerasan verbal,
kekerasan ekonomi, kekerasan seksual hingga pemerkosaan.
Banyak wanita bertahan pada perlakuan menyakitkan yang dilakukan oleh pacarnya.
Pengambilan keputusan untuk bertahan pada suatu hubungan berpacaran yang berkekerasan
merupakan suatu tindakan yang sudah didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan.
Pertimbangan-pertimbangan tersebut termasuk dalam pertimbangan keuntungan dan kerugian
terhadap diri sendiri maupun orang lain Jahja dan Mann (1987). Pengambilan keputusan untuk
bertahan pada suatu hubungan ini juga akan memberikan dampak-dampak tersendiri bagi diri
wanita dewasa awal yang menjalani hubungan baik secara fisik maupun mental.
Download