Caesio cuning - IPB Repository

advertisement
2
2.1
TINJAUAN PUSTAKA
Parameter Lingkungan
Keberadaan karang pada suatu perairan ditentukan oleh kondisi lingkungaan
perairan tersebut. Faktor yang paling menentukan dalam mengontrol komposisi
komunitas terumbu karang adalah ketersediaan cahaya, gelombang, sedimentasi,
salinitas dan kisaran pasang surut. Dalam skala yang lebih besar, ketersediaan
nutrient organik, suhu dan bentuk dasar perairan juga merupakan hal yang penting
(Veron 1986)
Faktor lingkungan tersebut di atas saling berhubungan, contohnya
gelombang yang dapat mempengaruhi jumlah sedimen karena terjadinya
pengadukkan di dasar perairan, akibatnya perairan akan menjadi keruh sehingga
dapat mempengaruhi penetrasi cahaya ke dalam perairan. Selain itu, lingkungan
biologis juga dapat mempengaruhi eksistensi terumbu karang, lingkungan biologis
menciptakan kekayaan spesies yang merupaka ciri-ciri terumbu karang (Wolanski
2001).
Kanwisher dan Wainwright (1967) mengatakan bahwa titik kompensasi
binatang karang terhadap cahaya adalah pada intensitas antara 200–700 f.c (atau
umumnya terletak pada kisaran 300–500 f.c). Intensitas cahaya secara umum di
permukaan laut adalah 2500–5000 f.c, Mengingat kebutuhan tersebut maka hewan
karang (coral) umumnya tersebar didaerah tropis.
Cahaya yang masuk ke dalam perairan berubah dengan cepat, baik secara
intensitas maupun komposisinya. Kecerahan perairan terumbu karang dapat
mencapai kedalam 50 meter untuk terumbu-terumbu di daerah lautan terbuka.
Tetapi juga dapat mencapai kurang dari satu meter sesudah terjadinya badai pada
daerah tersebut. Setiap spesies karang mempunyai toleransi tertentu pada tingkat
cahaya maksimum dan minimum. Daerah perairan disekitar muara sungai
merupakan daerah yang kurang baik bagi pertumbuhan karang ditinjau dari
penetrasi cahaya yang biasanya rendah akibat dari banyaknya partikel-partikel
tersuspensi dari air sungai yang masuk ke laut (Lalamentik 1991)
Daerah karang dipengaruhi oleh sedimentasi yang berasal dari peningkatan
sedimen di daerah terumbu karang itu sendiri, run-off dari darat dan sungai.
7
Kondisi tersebut berdampak terhadap struktur komunitas terumbu karang.
Dampak yang diberikan pada jenis karang tertentu bergantung pada jenis dan
ukuan sedimen, frekuensi yang ditimbulkan, pembebasan hutan, morfologi dan
jenis yang resisten ( Bak dan Elgershuizen 1992; Dodge dan Lang 1983).
2.2
Ekosistem Terumbu Karang
Terumbu karang merupakan komunitas organisme yang hidup di dasar
perairan dan berupa batuan kapur (CaCO3) yang cukup kuat untuk menahan gaya
gelombang laut. Pada dasarnya terumbu karang merupakan endapan padat
kalsium karbonat (kapur) yang diproduksi oleh hewan karang dengan sedikit
tambahan dari alga berkapur dan organisme lainnya yang menghasilkan kalsium
karbonat. Klasifikasi ilmiah menunjukan bahwa karang termasuk kelompok
binatang dan bukan sebagai kelompok tumbuhan. Hewan karang ini termasuk
dalam filum Cnidaria, kelas Anthozoa, ordo Scleractinia (Baker et al. 1991).
Organismen yang dominan hidup di terumbu karang adalah binatang-binatang
karang yang mempunyai kerangka kapur dan algae yang diantaranya banyak
mengandung kapur (Supriharyono 2000). Dalam hal kemampuan membentuk
terumbu, karang dapat dibedakan atas karang hermatipik yaitu karang yang
mampu membangun terumbu dan karang ahermatipik yaitu karang yang tidak
mampu membentuk terumbu. Karang banyak dijumpai diantara 30 oLU dan
25
o
LS. Hewan
ini kebanyakkan bersifat nocturnal. Hal ini dikarenakan
mangsanya berupa zooplankton, banyak muncul dimalam hari dan karang
merupakan hewan karnivora (Veron 1986).
Morfologi skeleton karang merupakan hasil jadi dari bentuk pertumbuhan
koloni karang. Istilah yang paling umum digunakan oleh Veron (1986) untuk
mengambarkan bentuk pertumbuhan karang yang menghasilkan morfolgi karang
yaitu massive (sama dalam semua dimensi), columnar (berbentuk tonggak),
branching (seperti cabang pohon atau jari), encrusting (melekat pada substrata
atau berbentuk kerak, foliaceous (seperti daun), laminar (seperti lempengan) dan
free living ( hidup lepas dari substrat).
Veron (1986) dan Wallace (1998) mengemukakan bahwa ekosistem terumbu
karang adalah unik karena umumnya hanya terdapat di perairan tropis, sangat sensitif
terhadap perubahan lingkungan hidupnya terutama suhu, salinitas, sedimentasi,
8
eutrofikasi dan memerlukan kualitas perairan alami (pristine). Tahun 1998 telah terjadi
perubahan suhu lingkungan akibat pemanasan global yang melanda perairan tropis
sehingga menyebabkan pemutihan karang (coral bleaching) yang diikuti dengan
kematian massal mencapai 90-95%. Suharsono (1998) mencatat selama peristiwa
pemutihan tersebut, rata-rata suhu permukaan air di perairan Indonesia adalah 2-3 oC
di atas suhu normal.
Selain dari perubahan suhu, maka perubahan pada salinitas juga akan
mempengaruhi terumbu karang. Hal ini sesuai dengan penjelasan McCook (1999) bahwa
curah hujan yang tinggi dan aliran material permukaan dari daratan (mainland run
off) dapat membunuh terumbu karang melalui peningkatan sedimen dan terjadinya
penurunan salinitas air laut. Efek selanjutnya adalah kelebihan zat hara (nutrient
overload) berkontribusi terhadap degradasi terumbu karang melalui peningkatan
pertumbuhan makroalga yang melimpah (overgrowth) terhadap karang.
Meskipun beberapa karang dapat dijumpai dari lautan subtropis tetapi spesies yang
membentuk karang hanya terdapat di daerah tropis. Kehidupan karang di lautan dibatasi
oleh kedalaman yang biasanya kurang dari 25 m dan oleh area yang mempunyai suhu
rata-rata minimum dalam setahun sebesar 10 0C. Pertumbuhan maksimum terumbu karang
terjadi pada kedalaman kurang dari 10 m dan suhu sekitar 25 oC sampai 29 0C. Karena
sifat hidup inilah maka terumbu karang banyak dijumpai di Indonesia (Hutabarat dan
Evans 1985).
Selanjutnya Nybakken (1992) mengelompokkan terumbu karang menjadi tiga tipe
umum yaitu terumbu karang tepi (Fringing reef/shore reef),terumbu karang
penghalang (Barrier reef) dan terumbu karang cincin (atoll). Diantara ketiga
struktur tersebut, terumbu karang yang paling umum dijumpai di perairan Indonesia
adalah terumbu karang tepi (Suharsono 1998). Penjelasan ketiga tipe terumbu karang
sebagai berikut :
1) Terumbu karang tepi (fringing reef) ini berkembang di sepanjang pantai
dan mencapai kedalaman tidak lebih dari 40 m. Terumbu karang ini tumbuh
ke atas atau kearah laut. Pertumbuhan terbaik biasanya terdapat
dibagian yang cukup arus. Sedangkan diantara pantai dan tepi luar
terumbu, karang batu cenderung mempunyai pertumbuhaan yang kurang
9
baik bahkan banyak mati karena sering mengalami kekeringan dan
banyak endapan yang datang dari darat.
2) Terumbu karang tipe penghalang (Barrief reef) terletak di berbagai
jarak kejauhan dari pantai dan dipisahkan dari pantai tersebut oleh dasar
laut yang terlalu dalam untuk pertumbuhan karang batu (40-70 m).
Umumnya memanjang menyusuri pantai dan biasanya berputar-putar
seakan–akan merupakan penghalang bagi pendatang yang datang dari
luar, contohnya adalah The Great Barier Reef yang berderet disebelah
timur laut Australia dengan panjang 1.350 mil.
3) Terumbu karang cincin (atoll) yang melingkari suatu goba (laggon).
Kedalaman goba didalam atol sekitar 45 m jarang sampai 100 m seperti
terumbu karang penghalang, contohnya adalah atol di Pulau Taka Bone
Rate di Sulawesi Selatan.
Moberg dan Folke (1999), menyatakan bahwa fungsi ekosistem terumbu
karang yang mengacu kepada habitat, biologis atau proses ekosistem sebagai
penyumbang barang maupun jasa. Sebagai penyumbang barang yaitu terkait
dengan sumberdaya pulih seperti bahan makanan (ikan, rumput laut) dan tambang
(pasir dan karang). Sedangkan sebagai penyumbang jasa, ekosistem terumbu
karang terdiri dari :
1.
Jasa struktur fisik sebagai pelindung pantai.
2.
Jasa biologi sebagai habitat dan dan suport mata rantai kehidupan.
3.
Jasa biokimia sebagai fiksasi nitrogen.
4.
Jasa informasi sebagai pencatatan iklim.
5.
Jasa sosial dan budaya sebagai nilai keindahan, rekrasi dan permainan
Terumbu karang menyediakan berbagai manfaat langsung maupun tidak
langsung. Cesar (2000) menjelaskan bahwa ekosistem terumbu karang banyak
meyumbangkan berbagai biota laut seperti ikan karang, mollusca, crustacean
bagi masyarakat yang hidup dikawasan pesisir. Selain itu bersama dengan
ekosistem pesisir lainnya menyediakan makanan dan merupakan tempat berpijah
bagi berbagai jenis biota laut yang mempunyai nilai ekonomis tinggi.
Menurut Supriharyono (2000) mengemukakan bahwa tingginya produktivitas
primer di perairan terumbu karang, memungkinkan ekosistem ini dijadikan tempat
10
pemijahan, pengasuhan, dan mencari makan bagi banyak biota laut. Menurut Salm
(1984) dalam Supriharyono (2000), bahwa 16% dari total hasil ekspor ikan
Indonesia berasal dari daerah karang.
2.3
Tipe Dasar Terumbu Karang
Bagi ikan karang, terumbu karang sebagian besar adalah substrat dasar yang
keras tetapi merupakan substrat dasar yang secara tipologinya jauh lebih komplek
dari yang lainnya. Terumbu karang menyediakan keanekaragaman bentuk dan
ukuran tempat berlindung yang digunakan ikan karang. Terumbu karang adalah
lingkungan yang terbagi-bagi kedalam habitat-habitat kecil yang sangat bervariasi.
Terumbu karang membentang di lautan, dengan skala ratusan kilometer, tapi
pada skala yang lebih kecil terumbu karang merupakan berbagai macam zona
habitat yang berbeda dari segi fisik dan lainnya tiap zona habitat. Setiap zona
habitat pada skala meter terdapat bagian-bagian yang terdiri dari situs-situs
tersendiri yang berbeda berdasarkan perbedaan morfologi tiap karang dan
pencampuran antara koloni terumbu dengan rubble, pasir dan batuan-batuan
sebagai pembentuk tipe dasar (Sale 1991).
Menurut Chappel (1980) dalam Supriharyono (2000), beberapa bentuk
pertumbuhan karang diantaranya globose (Massive), ramose (Submassive),
brancing, digitate plate, compound plate, fragile branching, encrusting, plate,
foliate dan micro atoll. Bentuk-bentuk karang ini dipengaruhi oleh beberapa
faktor alam, terutama oleh level cahaya, tekanan hidrodinamis, sedimen dan
subareal exposure.
2.4
Sumberdaya Ikan Karang
Komunitas ikan karang dibandingkan dengan komunitas lain di terumbu
karang, merupakan jumlah yang paling berlimpah. Tingginya keragaman ini
disebabkan terdapatnya variasi habitat yang ada di terumbu karang dimana semua
tipe habitat yang ada diisi oleh spesies ikan karang (Sutton 1983 dalam Emor
1993).
Bentuk pertumbuhan terumbu karang yang beragam seperti bercabang,
pipih/merayap, meja daun dan pejal/padat, memungkinkan adanya ruang sebagi
tempat hidup dan tempat yang nyaman untuk melakukan pemijahan, pengasuhan
dan mencari makan atupun tempat berteduh bagi ikan karang yang mempunyai
11
nilai ekonomis tinggi. Choat dan Bellwood (1991) menggolongkan ikan-ikan yang
ditemukan di terumbu karang ke dalam dua kategori utama yaitu jenis terumbu
(reef species) dan jenis yang dihubungkan dengan terumbu karang (reefassociated speies). Penggolongan ini oleh Choat dan Bellwood (1991) didasarkan
pada karakteristik ekologis, hubungannya dengan habitat, pendistribusian,
karakteristik taxonomic dan fitur struktural.
Perbedaan pendapat muncul mengenai hubungan keragaman spesies ikan
dan keragaman habitat terumbu karang. Beberapa penelitian terus dilakukan dan
akhirnya memunculkan dua teori tentang ikan karang di terumbu karang, seperti
yang dirangkum oleh Nybakken (1988); Pertama. Hidup berdampingan
merupakan hasil dari tingkat spesialisasi yang tinggi, sehingga setiap spesies
mempunyai tempat beradaptasi khusus yang didapat dari persaingan pada suatu
keadaan di karang, jadi ikan-ikan ini mempunyai relung ekologi yang lebih sempit
dan berarti daerah itu dapat menampung lebih banyak spesies; Kedua, ikan karang
tidak mempunyai sifat khusus, banyak spesies serupa yang mempunyai kebutuhan
sama dan dapat bersaing aktif diantar spesies.
Faktor kedalaman berperan dalam penyebaran ikan-ikan karang. Umumnya
ikan-ikan tersebut memiliki kisaran kedalaman yang sempit tergantung dari
ketersediaan makanan, ombak dan keberadaan predator. Pada daerah-daerah yang
kaya akan makanan ikan akan cenderung berkelompok. Ikan-ikan tersebut
menghindari pecahan ombak dengan menempati daerah yang lebih dalam.
Kebanyakan ikan-ikan yang tergolong herbivore adalah ikan-ikan diurnal,
berwarna cemerlang dengan ukuran bukaan mulut kecil. Beberapa ikan ini
merupakan ikan yang bergerak cepat dan berkelompok (Connaughey dan Zottoli
1983)
Dartnall dan Jones (1986) melakukan pengelompokan ikan karang menjadi
tiga yaitu (1) Kelompok ikan target, merupakan ikan konsumsi seperti ikan-ikan
dari famili serranidae, Lutjanidae, Haemulidae, Lethrinidae; (2) Kelompok ikan
Indikator yaitu ikan-ikan yang digunakan sebagai indikator keberadaan suatu
perairan terumbu karang, seperti family Chaetodontidae; (3) Kelompok ikan yang
berperan dalam rantai makanan adalah ikan-ikan yang peranan lainnya belum
12
diketahui seperti ikan-ikan dari family Pomacentridae, Searidae, Acanthuridae,
Caesionidae, Labridae, Siganidae, Muliidae, Apogonidae.
2.5
Klasifikasi Ikan Ekor Kuning
Ikan ekor
kuning (Gambar 2) termasuk dalam famili caesionidae,
pengklasifikasian menurut Nelson (2006) adalah sebagai berikut :
Kingdom
: Animal
Phylum
: Chordata
Class
: Osteichtyes
Order
: Perciformes
Family
: Caesionidae
Genus
: Caesio
Species
: Caesio cuning
Gambar 2 Ikan ekor kuning
Ciri morfologi ikan ekor kuning adalah bentuk badan memanjang, melebar
dan gepeng, mulut kecil dan serong, memiliki gigi-gigi kecil dan lancip. Dua gigi
taring pada rahang bawah dan yang halus pada langit-langit. Jari-jari keras sirip
punggung 10 dan yang lemah 15, sedangkan jari-jari keras pada sirip dubur 3 dan
yang lemah 11. Ikan ini memliki sisik tipis pada garis rusuknya, sisik-sisik kasar
di bagian atas dan bawah garis rusuk serta tersusun horizontal, sisik pada kepala
mulai dari mata (Kottelat et al. 1993).
Tubuh ikan ekor kuning bagian atas sampai punggung berwarna ungu
kebiruan, bagian belakang punggung, batang ekor, sebagian dari sirip punggung
yang berjari-jari lemah, sirip dubur berwarna biru keputihan dan ekor berwarna
13
kuning. Bagian bawah kepala, badan, sirip perut dan dada berwarna merah jambu,
pinggir sirip punggung sedikit hitam dan ketiak sirip dada berwarna hitam
(Kottelat et al. 1993)
2.6
Habitat dan Kebiasaan Hidup Ikan Ekor Kuning
Habitat adalah suatu lingkungan dengan kondisi tertentu dimana suatu
spesies
atau
komunitas
hidup.
Habitat
yang
baik
akan
mendukung
perkembangbiakkan organisme yang hidup di dalamnya secara normal. Habitat
memiliki kapasitas tertentu untuk mendukung pertumbuhan populasi suatu
organisme. Kapasitas optimum habitat untuk mendukung populasi suatu
organisme disebut daya dukung habitat .
Menurut Macpherson (1981) bahwa jenis ikan yang mempunyai luas relung
yang luas, berarti jenis ikan tersebut mempunyai peran yang besar dalam
memanfaatkan pakan yang tersedia dan mempunyai kemampuan yang sangat baik
dalam menyesuaikan diri terhadap fluktuasi kesedian pakan, serta mempunyai
daya reproduksi secara individual sangat besar. Jadi berdasarkan luas relung, jenis
ikan mempunyai potensi yang paling besar untuk berkembang menjadi induk
populasi di dalam ekosistem perairan dimana ikan tersebut hidup.
Kelayakan suatu perairan sebagai lingkungan hidup organisme perairan
dipengaruhi oleh sifat fisika–kimia (faktor abiotik) perairan itu sendiri. Tetapi
dilain pihak sifat organisme perairan itu sendiri ikut berperan. Suatu perairan yang
ideal bagi kehidupan ikan dapat didefinisikan sebagai suatu perairan yang dapat
mendukung kehidupan ikan dalam menyesuaikan seluruh daur hidupnya, serta
dapat mendukung kehidupan organisme makanan ikan yang diperlukan dalam
setiap stadia daur hidupnya dengan jumlah yang mencukupi (Wardoyo, 1981).
Habitat ikan ekor kuning adalah diperairan pantai karang, perairan karang
dengan suhu perairan lebih dari 20 0C. Hidupnya berasosiasi dengan terumbu
karang dan dapat ditemukan pada kedalaman 1-60 meter, terkadang ikan ini
berenang dengan membentuk gerombolan besar dan ditemui di dekat tubir
(Randal et al. 1990).
Subroto dan Subani (1994), di indonesia ikan ekor kuning banyak ditangkap
di wilayah perairan karang Riau Kepulauan, Sumatra Barat, Bangka, Belitung,
Lampung, Kepulauan Seribu, Jawa Barat, Jawa Tengah (Kepulauan Karimun
14
Jawa), Jawa Timur (Kepulauan Kangean), Kalimantan Barat, Sulawesi Selatan,
Sulawesi Tengah dan Sulawesi Utara.
Ikan ekor kuning dilihat dari fungsi atau perannya adalah merupakan ikan
karang kelompok ikan mayor dimana belum diketahui peran lainnya, sedangkan
dilihat dari jenis makanan ikan ekor kuning termasuk plankton feeder, yaitu
pemakan plankton. Hidup di perairan pantai, karang-karang, perairan karang dan
membentuk gerombol besar. Panjang tubuh dapat mencapai 35 cm, umumnya 25
cm (Kuiter dan Tonozuka 2004). Famili Caesionidae mempunyai ciri khas yaitu
bergerombol (schooling) dalam ukuran yang besar, berenang dengan cepat (fastswimming), memakanan zooplankton dan banyak terdapat di kolom perairan
sepanjang tepi lereng terumbu karang. Ikan ekor kuning dapat hidup di perairan
pada kedalaman 0-40 m (Allen 1999). Menurut Isnaini (2008), makanan ikan ekor
kuning muda adalah copepoda, sedangkan untuk ikan dewasa memakan uburubur, larva dan ikan kecil lainnya (Isnaini 2008).
2.7
Pertumbuhan
Menurut Effendie (1997), Faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan
dapat digolongkan menjadi dua bagian yang besar yaitu faktor dalam dan faktor
luar. Faktor-faktor ini ada yang dapat dikontrol dan ada yang tidak. Faktor dalam
umumnya adalah faktor yang sulit untuk dikontrol, diantaranya adalah keturunan,
jenis kelamin, umur, parasit dan penyakit. Sedangkan faktor luar seperti suhu air,
kandungan oksigen terlarut, amonia, salinitas dan fotoperiod (panjang hari).
Faktor-faktor tersebut berinteraksi satu sama lain dan bersama-sama dengan
faktor-faktor lain seperti kompetisi, jumlah dan kualitas makan, umur serta tingkat
kematian yang dapat mempengaruhi laju pertumbuhan ikan.
Faktor-faktor yang paling banyak mempengaruhi pertumbuhan ikan adalah
jumlah dan ukuran pakan yang tersedia, jumlah individu yang menggunakan
pakan yang tersedia, kualitas air terutama suhu, oksigen terlarut, umur, ukuran
ikan serta kematangan gonad (Effendie 1997).
2.8
Hubungan Panjang Berat
Ukuran
panjang-berat
merupakan
salah
satu
faktor penting bagi
pertumbuhan ikan dalam kurun waktu tertentu. Dalam hal ini berat dianggap
sebagai fungsi dari panjang, karena dengan bertambahnya berat dapat menentukan
15
panjang ikan. Dengan menggunakan variabel panjang dan berat dapat ditentukan
bentuk pertumbuhan dari ikan. Pengukuran panjang tubuh memberikan bukti
langsung terhadap pertumbuhan. Peningkatan ukuran panjang umumnya tetap
berlangsung walaupun ikan mungkin dalam keadaan kekurangan makanan.
Panjang tubuh dapat diukur dalam banyak cara dan yang umum digunakan
untuk ikan adalah panjang total, panjang cagak dan panjang baku. Panjang total
adalah panjang ikan yang diukur mulai dari ujung terdepan bagian kepala sampai
ujung terakhir bagian ekornya. Panjang cagak adalah panjang ikan yang diukur
dari ujung terdepan sampai ujung bagian luar lekukan sirip ekor, sedangkan
panjang standar atau panjang baku adalah panjang ikan yang diukur dari ujung
terdepan darai kepala sampai ujung terakhir dari tulang punggungnya atau
pangkal sirip ekor (Effendie 1997).
Analisa hubungan panjang berat bertujuan untuk mengetahui pola
pertumbuhan ikan dengan menggunakan parameter panjang dan berat. Berat dapat
dianggap sebagai salah satu fungsi dari panjang. Nilai yang didapat dari
perhitungan panjang berat ini adalah untuk menduga berat dari panjang atau
sebaliknya serta dapat diketahui pola pertumbuhan, kemontokan dan pengaruh
perubahan lingkungan terhadap pertumbuhan ikan (Effendie 1997), sedangkan
menurut Fafioye dan Oluajo (2005) analisis panjang berat yang dihubungkan
dengan data kelompok umur dapat digunakan untuk mengetahui komposisi stok,
umur saat pertama memijah, siklus kehidupan, kematian, pertumbuhan dan
produksi.
Menurut Effendie (1997), jika panjang dan berat diplotkan dalam suatu
gambar maka akan didapatkan persamaan W=aLb; W=berat, L=panjang, a dan b
adalah suatu konstanta. Nilai b berfluktuasi antara 2.5 sampai 4, tetapi
kebanyakan mendekati 3 karena pertumbuhan mewakili peningkatan dalam tiga
dimensi, sedangkan pengukuran panjang diambil dari satu dimensi. Nilai b yang
merupakan konstanta adalah nilai pangkat yang menunjukkan pola pertumbuhan
ikan. Hubungan ini juga memungkinkan untuk membandingkan individu dalam
satu populasi maupun antar populasi (Lagler et al. 1977). Nilai b=3
menggambarkan pertumbuhan isometrik, yang akan mencirikan ikan mempunyai
bentuk tubuh yang tidak berubah (Riker 1975) atau pertambahan panjang ikan
16
seimbang dengan pertambahan beratnya. Nilai b≠3 menggambarkan pertumbuhan
allometrik. Jika b<3 menunjukkan keadaan ikan yang kurus dimana pertambahan
panjangnya lebih cepat dari pertambahan beratnya. Jika b>3 menunjukkan
keadaan ikan yang gemuk dimana pertambahan beratnya lebih cepat dari
pertambahan panjangnya (Effendie 1997). Kenyataan ini berbeda dari setiap ikan,
karena adanya pengaruh musim dan jenis kelamin.
2.9
Makanan Ikan
Makanan adalah merupakan salah satu fungsi yang terpenting dari
organisme. Seperti semua organisme, ikan membutuhkan energi untuk bahan
bakar tubuh mereka, proses pertumbuhan, metabolisme dan reproduksi (Islam
2004). Setiap jenis ikan beradaptasi untuk memakan satu jenis makanan tertentu,
alat pengelihatan untuk mencari makan, rongga mulut (buccal cavity) untuk
menangkap dan usus untuk mencernakannya (Nikolsky 1963).
Berdasarkan jenis makanan utama, maka ikan secara umum dapat
digolongkan ke dalam tiga golongan yaitu (1) ikan kanivora yaitu pemakan
daging, yang biasanya mempunyai usus yang pendek; (2) ikan omnivor yaitu
pemakan daging dan tumbuh-tumbuhan, mempunyai panjang usus yang sedang;
(3) ikan herbivora yaitu pemakan tumbuh-tumbuhan, mempunyai usus yang
sangat panjang melingkar-lingkar di dalam rongga perut (Wootton 1992).
Hobson (1974), menyatakan bahwa kebiasaan makan ikan ini berubah
dalam daur hidupnya, paling tidak untuk kebanyakan ikan, biasanya dengan
perubahan-perubahan yang nyata dalam tingkah laku dan morfologinya.
Selanjutnya
Lagler
memperlihatkan
(1961),
secara
mengemukakan
mendetail
studi-studi
hubungan-hubungan
makanan
ekologis
dapat
diantara
organisme-organisme, maka diperlukan identifikasi secara menyeluruh dari jenisjenis makanan tersebut.
Keadaan
komposisi
makanan
ikan
akan
membantu
menjelaskan
kemungkinan-kemungkinan habitat yang seringkali dikunjunginya (Kagwade
1967). Menurut Roa (1974), besarnya populasi ikan di dalam suatu perairan
adalah merupakan suatu fungsi dari potensialitas makanannya, sehingga suatu
pengetahuan yang benar dari hubungan antara ikan dengan organisme-organime
makanannya adalah penting untuk ramalan dan eksploitasi dari keberadaan
17
populasi ikan tersebut. Sedangkan Nikolsky (1969), mengemukakan besar serta
komposisi dari suplai makanan menentukan komposisi jenis ikan yang ada dan
juga mempengaruhi pertumbuhan ikan-ikan tersebut.
2.10 Siklus Hidup dan Tingkat Kematangan Gonad (TKG)
Siklus kehidupan dari kebanyakan ikan karang dapat dibagi dalam tiga tahap
biologi/ekologi (Tissot 2003) yaitu (1) tahap dalam bentuk larva pelagik; (2)
tahap ikan muda; dan (3) tahap ikan dewasa. Sepanjang tahap pelagik, telurtelur/larva mengapung di dalam air terbuka sebagai komponen plankton laut. Fase
ikan muda dimulai saat ikan-ikan muda menempati terumbu karang dalam suatu
proses yang dikenal sebagai perekrutan. Ikan-ikan muda cenderung untuk
memikirkan diri sendiri dan adalah lebih sedikit nampaknya dibandingkan ikan
dewasa. Tahap ikan dewasa ditandai oleh kedewasaan seksual dan bisa disertai
oleh suatu transisi dari ikan muda sampai pewarnaan ikan dewasa atau
morphologi.
De Young (1940) dalam Effendie (1997) melakukan penelitian terhadap
kebiasaan memijah tiga belas spesies ikan ekonomis penting di laut jawa
berdasarkan distribusi garis tengah telurnya. Hasilnya memperlihatkan bahwa
pemijahan induvidu betul-betul berkala. Dari perbedaan yang khas dimungkinkan
membedakan tiga macam atau pola pemijahan yang berlainan. Ikan ekor kuning
termasuk dalam kelompok pola pemijahan kedua, dimana pada kelompok ini
sebelum telur kelompok pertama mencapai kematangan, kelompok telur
berikutnya sudah memisahkan dari stok telur yang lain. Sebelum terjadi
pemijahan didapatkan dua kelompok telur yang bepisah. Sesudah berpijah
didapatkan selain kelompok stok telur yang umum ada pula sekelompok telur
yang berukuran lebih besar yang sedang mematang dan akan dikeluarkan dalam
pemijahan berikutnya.
Klasifikasi kematangan gonad menurut Romimohtarto dan Juwana (2001)
untuk ikan laut adalah:
Tingkat. I
: Tidak matang (immature). Gonad memanjang, kecil hampir
transparan)
Tingkat II
: Sedang matang (maturing). Gonad membesar, berwarna jingga
18
kekuning-kuningan, butiran telur belum terlihat dengan mata
telanjang
Tingkat III : Matang (mature). Gonad berwarna putih kekuningan, butiran
telur sudah dapat terlihat dengan mata telanjang
Tingkat IV : Siap pijah. Butiran telur membesar dan berwarna kuning jernih,
dapat keluar dengan sedikit tekanan pada perut
Tingkat V
: Pijah (spent). Gonad mengecil, berwarna merah dan banyak
terdapat pembuluh darah
Tingkat kematangan gonad (TKG) merupakan salah satu aspek biologi
reproduksi yang merupakan tahapan-tahapan tertentu perkembangan gonad
sebelum dan sesudah ikan memijah. Keterangan tentang TKG ikan diperlukan
untuk mengetahui perbandingan antara ikan yang ada di perairan, ukuran atau
umur ikan pertama kali matang gonadnya dan apakah ikan sudah memijah atau
belum. Selanjutnya ikan pertama kali mencapai matang gonad dipengaruhi oleh
beberapa faktor luar seperti suhu, arus, adanya individu yang berjenis kelamin
yang berbeda dan faktor dalam seperti umur, ukuran dan perbedaan spesies
(Niklosky 1963; Effendie 1997).
Pemijahan dalam proses reproduksi dapat diketahui dengan melihat
perubahan gonad yaitu menjadi besar dan berat. Berat gonad akan mencapai
maksimum saat ikan akan memijah, kemudian menurun dengan cepat selama
pemijahan sampai selesai (Effendie 1997). Untuk mengetahui perubahan gonad
tersebut secara kualitatif dapat dinyatakan dengan Indeks Kematangan Gonad
(IKG). IKG adalah suatu nilai dalam persen sebagai hasil dari perbandingan berat
gonad dengan berat tubuh ikan termasuk gonad dikalikan 100%. IKG ini akan
bertambah besar sampai mencapai maksimum ketika akan terjadi pemijahan
(Effendie 1997).
Royce (1984), ikan dapat memijah jika nilai IKG betina berkisar antara 1025% dan nilai IKG jantan berkisar antara 5-10%. Royce (1984), menyatakan
semakin banyak makanan tersedia, pertumbuhan ikan semakin cepat dan
fekunditas semakin besar. Fekunditas ikan berhubungan erat dengan lingkungan
dimana fekunditas spesies akan berubah bila keadaan lingkungan berubah (Musa
dan Bhuiyan 2007).
19
2.11 Hubungan Terumbu Karang dengan Komunitas Ikan Karang
Ekosistem terumbu karang merupakan ekosistem yang mempunyai
produktivitas organik yang tinggi, hal ini disebabkan kemampuan terumbu karang
menahan nutrien dalam sistem dan peran sebagai kolam untuk menampung segala
masukan dari luar. Disamping itu terumbu karang kaya akan keanekaragaman
spesies penghuninya karena variasi habitat yang terdapat pada terumbu. Ikan
merupakan salah satu organisme yang terbanyak ditemukan pada ekosistem
terumbu karang. Fungsi ekologis lainnya adalah tempat hidup berbagai jenis ikan
karang, udang karang, alga teripang dan kerang mutiara (Dahuri et al. 1996)
Dilihat dari fungsi biodiversiti, ekosistem ini mempunyai produktivitas dan
keanekaragaman jenis biota yang tinggi, keanekaragaman hidup di ekosistem ini
perunit area sebanding atau lebih besar dibandingkan hal yang sama dengan di
hutan tropis. Terumbu karang dikenal sebagai laboratorium untuk ilmu ekologi
(White et al. 1994)
Sumberdaya ikan karang merupakan ikan yang kehidupannya terikat dengan
perairan karang. Keterkaitan antara berbagai organisme di ekosistem terumbu
karang sangat ditentukan oleh kondisi terumbu karang. Apabila terjadi degredasi
pada suatu komunitas organisme akan dapat berakibat buruk bagi organisme
lainnya, secara ekologis, terumbu karang memiliki peranan yang penting bagi
ekosistem lainnya seperti ekosistem padang lamun dan ekosistem mangrove
(Lalamatik 1991)
Fasktor-faktor yang mempengaruhi keanekaragaman dan kelimpahan jenis
dari komunitas ikan karang dalam hubungannya dengan terumbu karang adalah
tutupan karang hidup (Bel dan Galzin 1984; Anderson 2002) Keanekaragaman
subtratum (Robert dan Ormond 1987) dan (3) Keanekaragaman struktural
(Luckhurst dan Luckhurst 1978; Mc Clanahan 1994). Hal ini didukung oleh studi
Chabanet et al. (1997), dilaporkan bahwa keanekaragaman dan kekayaan jenis
dari kumpulan ikan karang adalah dihubungkan dengan banyak variabel karang
seperti kompleksitas bangunan (architectural) atau tutupan karang bercabang,
keanekaragaman, kekayaan jenis, kelimpahan, ukuran koloni, tutupan karang
hidup, tutupan karang padat dan tutupan karang pipih/merayap.
20
Acosta dan Robertson (2002) mengatakan bahwa kelimpahan dan
keanekaragaman ikan karang ditentukan pula oleh besar kecilnya luasan terumbu
karang, terumbu karang yang lebih luas kelimpahan dan keanekaragaman jenis
ikan karang akan lebih tinggi dibandingkan dengan terumbu karang yang
luasannya kecil. Hubungan antara terumbu karang sebagai habitat dan distribusi
komunitas ikan karang adalah dapat dijelaskan oleh ketergantungan ikan karang
pada terumbu karang yang menyediakan tempat makan, perlindungan
dan
reproduksi.
Hubungan terumbu karang dan ikan karang adalah pada terumbu karang
sehat keragaman dan kuantitas makanan tinggi dan ini berdampak positip
langsung pada keragaman dan kelimpahan ikan karang, dan terumbu karang
merupakan tempat naungan dan perlindungan ikan karang dari predator,
khususnya bagi ikan berjenis kecil serta terumbu karang juga menyediakan
lingkungan yang tepat untuk kegiatan reproduksi dan penempatan larva bagi ikan
karang.
2.12 Dasar Pengelolaan Terumbu Karang dan Ikan Karang
Nikijuluw (2002) menyatakan, bahwa sumberdaya perikanan dapat berupa
sumberdaya ikan, sumberdaya lingkungan dan sumber daya buatan manusia yang
digunakan untuk memanfaatkan sumberdaya ikan. Pemanfaatan sumberdaya ikan
oleh manusia berhubungan erat dengan kondisi lingkungan tempat ikan tersebut
tinggal. Adanya interaksi antara sumberdaya ikan, lingkungan perairan
serta
manusia sebagai pengguna, maka diperlukan sebuah pengelolaan agar ketiga
interaksi tersebut dapat berjalan secara seimbang dalam sebuah ekosistem.
Artinya pengelolaan sumberdaya ikan adalah penataan pemanfaatan sumberdaya
ikan, pengelolaan lingkungan dan pengelolaan manusia sebagai pengguna. Lebih
lanjut Murdiyanto (2004) menyatakan bahwa dalam sebuah pengelolaan
sumberdaya perikanan pantai, para pengelola harus dibekali dengan pengetahuan
dan fasilitas yang memadai. Ketersedian data dan informasih yang akurat,
sumberdaya manusia yang handal, dana, serta kesadaran dan partisipasi
masyarakat adalah hal-hal yang dibutuhkan agar pengelolaan sumberdaya
perikanan dapat berhasil dengan baik
21
Murdiyanto (2004) menyatakan bahwa permasalahan umum yang sering
dihadapi dalam melaksanakan pengelolaan sumberdaya perikanan pantai adalah ;
(1) kurangnya informasi tentang data perikanan pantai, (2) penurunan hasil
tangkapan, (3) dukungan pemerintah masih sangat terbatas, (4) kurangnya
kesadaran masyarakat untuk menjaga lingkungan, dan (5) kwalitas sumber daya
manusia
terutama yang menyentuh masyarakat langsung belum memadai.
Keadaan sedemikian rupa menyebabkan degredasi
sumberdaya cendrung
semakin cepat, terutama sumberdaya terumbu karang dan pada akhirnya akan
mempengaruhi sumberdaya perikanan.
Pelaksanaan suatu pengelolaan di wilayah pesisir harus diawali dengan
perencanaan dengan melihat berbagai potensi sumberdaya yang ada sehingga
dapat tertata dengan rapi. Tujuan dari pengelolaan terumbu karang adalah untuk
menjaga dan melindungi kakasan ekosistem atau habitat terumbu karang supaya
keanekaragaman hayati dari kawasan ekosistem atau habitat tersebut dapat dijaga
dan
dipelihara
kelestariannya
pengrusakan (Supriharyono 2000).
dari
kegiatan-kegiatan
pengambilan
atau
Download