BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di era globalisasi

advertisement
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Di era globalisasi, masyarakat semakin gemar mengonsumsi makanan dan
minuman yang mudah proses pembuatannya atau secara instan. Makanan dan
minuman instan pasti menggunakan pengawet agar makanan dan minuman
tersebut awet berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun. Ginjal akan bekerja berlipat
ganda ketika mengonsumsi minuman tersebut dan akan menyebabkan gagal ginjal
(Batubara, 2011). Gagal ginjal kronis diderita oleh satu dari 10 orang dewasa.
Diperkirakan sampai tahun 2015, 36 juta orang warga dunia meninggal dunia
akibat gagal ginjal (Republika, 2009). Di Amerika Serikat, lebih dari 82.000
penderita gagal ginjal kronik meninggal setiap tahunnya sehingga menjadi
penyebab kematian ke-9, dengan angka insidensi 1 dari 9 orang dewasa dan
meningkat sekitar 8% setiap tahunnya. Di Malaysia, diperkirakan terdapat 1800
kasus baru gagal ginjal per tahunnya. Di negara-negara berkembang lainnya,
insiden ini diperkirakan sekitar 40-60 kasus perjuta penduduk pertahun (Suwitra
dalam Sudoyo, dkk., 2007).
Kasus gagal ginjal di Indonesia setiap tahunnya terbilang tinggi dan
fenomenanya seperti gunung es, hanya sekitar 0,1% kasus yang terdeteksi
sementara kasus
yang tidak terdeteksi diperkirakan mencapai 11-16%
(PERNEFRI, 2003). Berdasarkan data dari Indonesia Renal Registry, suatu
kegiatan registrasi dari Perhimpunan Nefrologi Indonesia (PERNEFRI), pada
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
2
tahun 2008 jumlah pasien hemodialisa naik menjadi 2260 dari angka 2147 pada
tahun 2007 (Republika, 2009). Data terbaru yang dirilis oleh PERNEFRI (2012)
pada tahun 2012 pasien gagal ginjal berjumlah 19.612. Berdasarkan PERNEFRI,
angka pasien gagal ginjal akan meningkat jumlahnya dari 19.612 hingga 100.000
jiwa dalam kurun 2014-2019 (Nawawi, 2013). Berdasarkan data yang dirilis PT.
Askes pada tahun 2010, jumlah pasien gagal ginjal adalah 17.507 orang kemudian
meningkat lagi kira-kira lima ribu lebih pada tahun 2011 dengan jumlah pasti
sebesar 23.261 pasien (Nawawi, 2013). Di Semarang khususnya di Rumah Sakit
Umum Kota Semarang pada tahun 2009 terdapat 112 penderita gagal ginjal kronis
yang menjalani hemodialisa (Supriyadi, dkk, 2011).
Fungsi ginjal yang utama adalah menyekresi sisa metabolik, toksin, dan zat
asing, serta mengatur volume dan osmolalitas cairan tubuh. Apabila ginjal tidak
mampu lagi untuk menjalankan fungsinya secara normal, maka seseorang dapat
dikatakan mengalami gagal ginjal (Baradero, dkk., 2009). Salah satu macam gagal
ginjal adalah gagal ginjal kronis. Gagal ginjal kronis adalah kemunduran fungsi
ginjal ireversibel yang dapat terjadi selama beberapa bulan atau beberapa tahun
(Betz & Snowden, 2004). Disampaikan pula oleh Doenges, dkk. (2000) bahwa
gagal ginjal kronis biasanya merupakan akibat akhir dari kehilangan fungsi ginjal
lanjut secara bertahap.
Penyebab terjadinya gagal ginjal kronis pun bermacam-macam misalnya
glomerulonefritis, infeksi kronis, penyakit vascular (nefrosklerosis), penyakit
kolagen (lupus sistemik), agen nefrotik (aminoglikosida), penyakit endokrin
(diabetes mellitus) (Doenges, dkk., 2000). Hipertensi, ginjal herediter, penyakit
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
3
ginjal polikistik, sindrom alport, dan obstruksi saluran kemih yang sudah
berlangsung lama juga turut mendukung terjadinya gagal ginjal kronis
(Rubenstein, dkk., 2007).
Gejala yang ditimbulkan pada gagal ginjal kronis biasanya hanya sedikit,
bahkan pasien lebih sering tidak merasakan adanya gejala (Tim Redaksi
VitaHealth, 2007). Gagal ginjal kronis berkembang lambat dan biasanya datang
dengan latergi, malaise umum, anoreksia dan mual. Impotensi, menstruasi tidak
teratur, dan hilangnya fertilitas adalah keluhan yang umum pada pasien dengan
usia yang lebih muda (Rubenstein, dkk., 2007). Berbagai macam gejala fisik yang
dialami akan berdampak pada psikologis pasien. Pasien yang mengalami
gangguan fungsi ginjal yang kronis biasanya mengalami perasaan tak berdaya, tak
ada harapan, dan tak ada kekuatan (Doenges, dkk., 2000). Tanda-tanda dari gejala
tersebut tersirat ketika pasien mengalami perubahan kepribadian, takut, marah,
lebih sensitif, mengalami kecemasan dan menunjukkan penolakan (Doenges, dkk.,
2000).
Seseorang dengan gagal ginjal kronis membutuhkan pengganti fungsi ginjal
yaitu hemodialisa atau transpantasi ginjal. Hemodialisa menjadi pilihan utama di
Indonesia, karena selain biaya yang besar (Witarko, 2007) kendala utama yang
dihadapi adalah terbatasnya jumlah donor keluarga (Living Related Donor, LRD)
(Hanafiah dan Amir, 1999), penolakan akut, terjadi arus darah yang tidak lancar,
terjadi kebocoran urin, dan terjadinya infeksi luka operasi (Lumenta, dkk., 2006).
Selain itu diperlukan juga tindakan konservatif yang ditujukan untuk meredakan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
4
atau memperlambat perburukan progresif fungsi ginjal yaitu berupa diet,
pembatasan cairan, dan konsumsi obat-obatan (Wilson, 2005).
Hemodialisa merupakan suatu terapi untuk mengeluarkan sisa metabolisme
atau racun tertentu dari peredaran darah menggunakan mesin dialiser. Frekuensi
pasien menjalani tindakan hemodialisa tergantung pada presentase banyaknya
fungsi ginjal yang tersisa. Rata-rata hemodialisa dilakukan dua hingga tiga kali
dalam jangka waktu satu minggu. Proses hemodialisa membutuhkan waktu
selama 3-5 jam. Selama masa proses hemodialisa berlangsung, pada umumnya
pasien akan mendapatkan stress fisik, merasakan kelelahan, sakit kepala dan akan
mengeluarkan keringat dingin akibat tekanan darah yang menurun (Orlic et all,
dalam Supriyadi, 2011).
Diasumsikan bahwa pasien gagal ginjal kronis yang menjalani hemodialisa
memiliki tingkat subjective well-being yang buruk. Uraian di atas sesuai dengan
pernyataan Diener, dkk (2003) bahwa subjective well-being dianggap faktor yang
dapat mereduksi keberadaan tekanan mental, dan merupakan salah satu indikator
kualitas hidup individu dan masyarakat yang baik. Menurut Park (dalam
Nisfiannoor, dkk., 2004), subjective well-being atau kebahagiaan sudah sejak lama
dianggap sebagai komponen inti dari hidup yang baik. Berdasarkan hasil
wawancara dengan dua orang penderita gagal ginjal kronis yang menjalani
hemodisa selama enam bulan dan satu tahun, mereka merasakan hidupnya sangat
berubah dibandingkan dengan sebelum mengalami gagal ginjal kronis dan
menjalani hemodialisa. Keduanya pun merasa kehidupannya yang sekarang tidak
senyaman, tidak sebebas, dan tidak sebahagia dulu lagi. Mereka bercerita bahwa
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
5
dahulu sebelum sakit, mereka masih bebas bertemu dengan teman-teman dan
beraktivitas tanpa batasan serta dapat mengonsumsi apapun yang mereka
inginkan. Hal tersebut tidak dapat mereka lakukan lagi setelah mengalami gagal
ginjal kronis dan harus menjalani hemodialisa untuk menunjang keberlangsungan
hidup mereka.
Gaya hidup kedua penderita tersebut berubah dan menurut keduanya hal
tersebut membuat tidak nyaman serta menyengsarakan. Salah seorang penderita
mengatakan bahwa keluarganya mendukung dan mendorong penderita menuju
kesembuhan dengan cara ikut merubah gaya hidup sesuai dengan penderita. Hal
itu hanya berlaku bagi anggota keluarga penderita saat anggota keluarga tidak
berada di rumah atau tidak berada di depan penderita. Dukungan dari keluarga
penderita membuat penderita tersebut semakin bersemangat untuk lebih disiplin
menjalani kehidupannya dengan gagal ginjal kronis.
Seorang penderita gagal ginjal kronis yang menjalani hemodialisa menyatakan
bahwa beberapa anggota keluarga malas bertemu dengan dengan pasien dengan
berbagai alasan. Menurut penderita, beberapa ada yang menyatakan malas
bertemu karena miris melihat keadaan penderita saat ini. Beberapa ada yang takut
diminta bantuannya berupa bantuan ekonomi. Walaupun beberapa anggota
keluarga penderita tidak memberi dukungan, namun penderita tetap bersyukur
dengan keadaan yang sekarang dan tetap semangat berobat serta mempunyai
harapan yang sangat besar untuk mencapai kesembuhan. Wawancara dengan
kedua penderita gagal ginjal kronis yang menjalani hemodialisa menghasilkan
pernyataan bahwa kedua penderita berbeda dalam hal dukungan yang didapatkan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
6
dari keluarga namun keduanya tetap semangat dan mempunyai harapan untuk
sembuh, walaupun merasa tidak nyaman dengan kondisi kesehatan yang
membatasi kehidupan keduanya.
Subjective well-being, menurut Diener (2000), merupakan istilah yang biasa
disebut dengan kebahagiaan (happiness) pada orang awam. Kebahagiaan
kadangkala digunakan sebagai sinonim dari subjective well-being (Diener, dkk.,
2003). Diener, Scollon, & Lucas (2003) mengartikan subjective well-being
sebagai penilaian pribadi individu mengenai hidupnya, bukan berdasarkan
penilaian dari ahli, termasuk di dalamnya mengenai kepuasan (baik secara umum,
maupun pada aspek spesifik), afek yang menyenangkan dan rendahnya tingkat
afek yang tidak menyenangkan. Subjective well-being mengacu pada evaluasi
seseorang pada hidup mereka yang dapat dinilai seperti kepuasan hidup, evaluasi
berdasarkan perasaan, termasuk suasana hati dan emosi (Diener & Chan, 2011).
Menurut Diener & Chan (2011) ketika seseorang merasakan suasana hatinya
sedang sedih atau merasakan emosi bahagia, itu disebabkan mereka merasakan
kehidupan mereka lebih buruk atau lebih baik.
Diener (1994) menyatakan bahwa subjective well-being meliputi aspek-aspek
yang berbeda secara terpisah: kepuasan hidup (penilaian seseorang tentang
keseluruhan kehidupan mereka), adanya afek positif (kebahagiaan dan sukacita),
tidak adanya afek negatif (marah atau depresi). Menurut Eid & Larsen (2008),
studi ilmiah tentang subjective well-being umumnya berfokus pada dua komponen
kunci yang terkait dengan kesejahteraan atau well-being. Pertama, keseimbangan
antara suasana hati negatif dan positif yang dialami oleh individu pada kehidupan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
7
sehari-harinya. Kedua adalah jumlah kepuasan global tentang kehidupan individu
yang diungkapkan oleh mereka (Eid & Larsen, 2008). Hal tersebut sesuai dengan
pernyataan Diener, Suh, Lucas, & Smith (1999) yang menyatakan bahwa
subjective well-being terdiri dari dua komponen utama yaitu afek dan kepuasan
hidup.
Beberapa faktor mendorong timbulnya subjective well-being pada diri
individu. Diener (2009a) menyatakan bahwa pendapatan, kepribadian, faktor
biologis, dan faktor demografis berperan dalam menimbulkan serta meningkatkan
subjective well-being seseorang. Apabila seseorang sudah memiliki subjective
well-being yang tinggi, maka diharapkan akan berdampak positif pada kesehatan,
hubungan sosial dan perilaku sosial individu. Hal tersebut senada dengan hasil
penelitian yang dilakukan oleh Diener & Chan (2011) bahwa bukti menunjukkan
kalau subjective well-being secara kausal mempengaruhi kesehatan dan umur
panjang. Kebahagiaan yang dirasakan oleh seseorang akan membawa kebaikan
pada sosial individu, membuat lebih sosial, kooperatif, dan lebih etis (Diener dan
Seligman, dalam Diener, 2009a).
Individu dengan level subjective well-being yang tinggi, pada umumnya
memiliki sejumlah kualitas yang mengagumkan (Diener, 2000). Individu ini akan
lebih mampu mengontrol emosinya dan menghadapi berbagai peristiwa dalam
hidup dengan lebih baik (Myers & Diener, dalam Nisfiannoor, 2004). Emosi yang
positif dan kebahagiaan mengarahkan kepada perkembangan dan penggunaan
kemampuan intelektual individu secara lebih baik sehingga individu dapat meraih
prestasi. Kebahagiaan atau subjective well-being membawa kebaikan pada sosial
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
8
individu, membuat lebih sosial, kooperatif dan lebih etis (Diener, 2009a).
Sedangkan individu dengan subjective well-being yang rendah, memandang
rendah hidupnya dan menganggap peristiwa yang terjadi sebagai hal yang tidak
menyenangkan dan oleh sebab itu timbul emosi yang tidak menyenangkan (Myers
& Diener, dalam Nisfiannoor, 2004). Senada dengan Myers & Diener (dalam
Nisfiannoor, 2004), Dush dan Amato (dalam Muhana, 2009) mengatakan bahwa
seseorang disebut memiliki subjective well-being yang tinggi jika dia mengalami
kepuasan hidup dan mengalami kegembiraan lebih sering, serta tidak terlalu
sering mengalami emosi yang tidak menyenangkan seperti kesedihan dan
kemarahan. Sebaliknya, seseorang dikatakan memiliki subjective well-being yang
rendah jika dia tidak puas dengan hidupnya, mengalami sedikit afeksi dan
kegembiraan, dan lebih sering mengalami emosi negatif seperti kemarahan atau
kecemasan (Dush dan Amato, dalam Muhana, 2009).
Setiap individu mengharapkan dapat mencapai kebahagiaan dalam hidupnya,
bahkan menurut Arsitoteles dalam Bertens (dalam Ningsih, 2013) kebahagiaan
merupakan tujuan utama dari eksistensi manusia. Setiap orang juga memiliki
harapan-harapan yang ingin dicapai guna pemenuhan kepuasan dalam
kehidupannya (Ningsih, 2013). Harapan setiap orang yang mengalami penyakit
kronis seperti gagal ginjal kronis adalah mencapai kesembuhan. Proses untuk
mewujudkan harapan sembuh akan memunculkan afek positif.
Harapan adalah keseluruhan dari kemampuan yang dimiliki individu untuk
menghasilkan jalan mencapai tujuan yang diinginkan, bersamaan dengan motivasi
yang dimiliki untuk menggunakan jalan tersebut (Snyder, 2000). Harapan yang
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
9
dimiliki oleh individu, dengan gagal ginjal kronis yang menjalani hemodialisa,
akan membantu individu memproduksi jalur-jalur alternatif untuk mencapai
kesembuhan. Harapan dikonsepkan dalam dua komponen yaitu kemampuan untuk
merencanakan jalur untuk mencapai tujuan yang diinginkan dan motivasi untuk
menggunakan jalur tersebut (Snyder dalam Carr, 2004). Menurut Snyder (dalam
Lopez dan Snyder, 2003) mendefinisikan harapan sebagai arah tujuan berpikir
seseorang yang merasa bahwa dirinya dapat menghasilkan jalur-jalur ke tujuan
(goal) yang diinginkan (disebut pathway thinking) dan motivasi yang diperlukan
untuk menggunakan jalur-jalur tersebut (disebut agency thinking). Pada penderita
gagal ginjal kronis yang menjalani hemodialisa, kesembuhan ditetapkan sebagai
tujuan (goal) yang diinginkan dan diharapkan pasien dapat menghasilkan jalur
untuk mencapai kesembuhan dan motivasi yang diperlukan.
Harapan berkaitan erat dengan dukungan sosial. Dalam penelitiannya
mengenai pasien yang menderita penyakit kronis (Raleigh dalam Weil, 2000)
mengatakan bahwa keluarga dan teman pada umumnya diidentifikasikan sebagai
sumber harapan untuk penderita penyakit kronis dalam beberapa aktivitas seperti
mengunjungi suatu tempat, mendengarkan, berbicara dan memberikan bantuan
secara fisik. Dukungan keluarga dibutuhkan untuk menguatkan harapan pasien
untuk sembuh terlebih karena penjadwalan hemodialisa dan pembatasan asupan
nutrisi sangat mempengaruhi pola hidup pasien.
Dukungan sosial adalah suatu keadaan yang bermanfaat bagi individu yang
diperoleh dari orang lain yang dapat dipercaya, sehingga seseorang akan tahu
bahwa ada orang lain yang memperhatikan, menghargai, dan mencintainya
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
10
(Cohen & Syme, 1985). Gotlieb (Dalam Smet, 1994) menjelaskan bahwa
dukungan sosial terdiri dari informasi atau nasihat verbal atau non-verbal, bantuan
yang nyata atau tingkah laku yang diberikan oleh orang-orang yang akrab dengan
individu di dalam lingkungan sosialnya atau berupa kehadiran dan mempunyai
manfaat emosional atau efek perilaku bagi tingkah laku penerimanya. Retnowati
(2005) mengatakan bahwa dukungan dari keluarga dapat berasal dari orangtua,
saudara kandung, ataupun pasangan. Dukungan keluarga menurut Friedman
(dalam Nusi, dkk., 2010) adalah sikap, tindakan, dan penerimaan keluarga
terhadap anggotanya atau penderita yang sakit.
Bentuk perhatian, penghargaan, dan cinta merupakan bentuk dukungan
keluarga untuk anggota keluarganya. Selanjutnya dukungan keluarga membantu
keluarga untuk menyelesaikan masalah kehidupan khususnya masalah beradaptasi
dengan penyakit dan tahap-tahap pemulihannya. Apabila dukungan tersebut tidak
ada maka keberhasilan proses pemulihan atau penyembuhan berjalan tidak
maksimal (Friedman, 1998). Jikalau proses pemulihan atau penyembuhan tidak
menemui
keberhasilan
maka
akan
membebani
pikiran
yang
otomatis
mempengaruhi kesehatan individu. Kondisi tersebut membuat seseorang tidak
bahagia (Diener, 2009a).
Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Moewardi dipilih sebagai tempat penelitian
karena merupakan rumah sakit daerah yang memiliki kapasitas pasien yang
banyak dan mempunyai fasilitas yang lengkap. Kepemilikan RSUD Dr. Moewardi
berada di bawah pemerintahan Provinsi Jawa Tengah. RSUD Dr. Moewardi
berada di Jl. Kolonel Sutarto 132 Surakarta. Rumah Sakit yang berjargon “Cepat,
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
11
Tepat, Nyaman & Mudah” dan bermotto “Kami Senang Melayani Anda” ini
memiliki 789 tempat tidur serta sarana prasarana yang memadai. Fasilitas
kesehatan yang dimiliki RSUD Dr. Moewardi adalah tesedianya pelayananan
oleh dokter-dokter spesialis di bidang Obstetri dan Ginekologi, Anastesiologi dan
Terapi Intesif, Penyakit Dalam, Gigi dan Mulut, Psikiatri, Saraf, Ilmu Kesehatan
Kulit dan Kelamin, Paru, Bedah, Mata, Kesehatan Anak, THT, dan Kardiologi
serta Kedokteran Vaskuler. RSUD Dr. Moewardi mempunyai instalasi-instalasi
yang menunjang kesehatan pasien yang beberapa di antaranya adalah Instalasi
Ginjal (HD, CAPD) & Hipertensi, Instalasi Perawatan Intensif, Instalasi
Pelayanan Jantung Terpadu, Instalasi Rawat Inap Paviliun Cendana, Instalasi
Rawat Inap Anggrek, Instalasi Rawat Inap Melati, Instalasi Rawat Inap Mawar,
Instalasi Bedah Sentral, Instalasi
Gizi, dan lain-lain. Selan itu RSUD Dr.
Moewardi juga menyediakan klinik-klinik seperti Klinik Napza dan Rumatan
Metadon, Klinik Pelayanan TB MDR, Klinik Alergi Imunologi, Klinik Psikologi,
Klinik Voluntry Couseling dan Testing, Klinik Fertilitas, dan Hastiti Skin Care.
RSUD Dr. Moewardi juga melayani Pelayanan Home Visit, Pelayanan
Hemodialisa, dan Medical Check Up (Uji Kesehatan).
Pelayanan hemodialisa di RSUD Dr. Moewardi berada di instalasi ginjal (HD,
CAPD) dan hipertensi. Ruang hemodialisa membuka pelayanan yang terbagi
menjadi dua waktu dinas. Dinas yang pertama adalah dinas pagi dimulai pukul
07.00 sampai dengan pukul 14.00, sedangkan dinas yang kedua atau dinas sore
dimulai pada pukul 12.00 sampai dengan pukul 19.00. Mesin hemodialisa atau
dialiser yang dimiliki RSUD Dr. Moewardi adalah sebanyak 25 mesin. Dalam
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
12
sehari mesin dialiser bekerja dua kali karena hemodialisa membutuhkan waktu 45 jam dalam sekali terapi.
Berdasarkan studi awal yang dilakukan oleh penulis, jumlah pasien yang
melakukan hemodialisa di RSUD Dr. Moewardi pada tahun 2012, sebanyak 1375.
Pada tahun 2013, sebanyak 848 pasien. Di tahun 2014 sampai bulan Maret,
tercatat sebanyak 117 pasien yang telah melakukan hemodialisa di RSUD Dr.
Moewardi . Dikatakan oleh petugas di bagian pusdiklat yang dibenarkan oleh
petugas di bagian rekam medis RSUD Dr. Moewardi , menurunnya angka pasien
yang melakukan hemodialisa di RSUD Dr. Moewardi
karena bantuan yang
diberikan oleh pemerintah melalui program JKN (Jaminan Kesehatan Nasional)
berkurang dibandingkan dengan bantuan yang diberikan ketika menggunakan
program jamkesmas.
Uraian di atas menimbulkan ketertarikan penulis untuk melakukan penelitian
tentang subjective well-being pada pasien gagal ginjal kronis yang menjalani
hemodialisa dengan harapan sembuh dan dukungan keluarga di RSUD Dr.
Moewardi . Oleh karena itu, peneliti mengadakan sebuah penelitian dengan judul
“Hubungan antara Harapan Sembuh dan Dukungan Keluarga dengan Subjective
Well-Being pada Pasien Gagal Ginjal Kronis yang Menjalani Hemodialisa di
RSUD Dr. Moewardi ”.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
13
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka dirumuskan masalah penelitian ini
adalah:
1. Apakah ada hubungan antara Harapan Sembuh dan Dukungan Keluarga
dengan Subjective Well-Being pada pasien gagal ginjal kronis yang menjalani
hemodialisa di RSUD Dr. Moewardi ?
2. Apakah ada hubungan antara Harapan Sembuh dengan Subjective Well-Being
pada pasien gagal ginjal kronis yang menjalani hemodialisa di RSUD Dr.
Moewardi ?
3. Apakah ada hubungan antara Dukungan Keluarga dengan Subjective WellBeing pada pasien gagal ginjal kronis yang menjalani hemodialisa di RSUD
Dr. Moewardi ?
C.
Tujuan Penelitian
1. Mengetahui hubungan antara Harapan Sembuh dan Dukungan Keluarga
dengan Subjective Well-Being pada pasien gagal ginjal kronis yang menjalani
hemodialisa di RSUD Dr. Moewardi .
2. Mengetahui hubungan antara Harapan Sembuh dengan Subjective Well-Being
pada pasien gagal ginjal kronis yang menjalani hemodialisa di RSUD Dr.
Moewardi .
3. Mengetahui hubungan antara Dukungan Keluarga dengan Subjective WellBeing pada pasien gagal ginjal kronis yang menjalani hemodialisa di RSUD
Dr. Moewardi .
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
14
D.
Manfaat Penelitian
1. Manfaat teoretis
a. Mengembangkan ilmu psikologi khususnya di bidang psikologi positif dan
psikologi klinis.
b. Memberikan informasi tentang subjective well-being, harapan sembuh, dan
dukungan keluarga pada pasien gagal ginjal kronis yang menjalani
hemodialisa dan keluarga pasien.
2. Manfaat praktis
a. Bagi pasien, memunculkan harapan untuk sembuh sehingga menumbuhkan
semangat untuk sembuh dimana semangat tersebut akan mempengaruhi
kegiatan-kegiatan pasien yang mengarah pada kegiatan positif yang dapat
meningkatkan subjective well-being pasien.
b. Bagi keluarga pasien, dapat meningkatkan dukungannya pada pasien agar
dapat memotivasi pasien sehingga meningkatkan subjective well-being
pasien.
c. Bagi peneliti selanjutnya, hasil penelitian dapat digunakan sebagai bahan
referensi bagi peneliti lain yang akan melanjutkan penelitian sejenis atau
penelitian.
commit to user
Download