kuning saflor b, minyak atsiri, dan aspartam

advertisement
STUDI BAHAN TAMBAHAN PANGAN (KUNING SAFLOR B,
MINYAK ATSIRI, DAN ASPARTAM)
Wika Herfiza
M Rizky Darmawangsa
Monica C Sitanggang
Diah Ayuning Tyas
J3L112057
J3L212196
J3L112008
J3L112092
PROGRAM KEAHLIAN ANALISIS KIMIA
PROGRAM DIPLOMA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2014
DAFTAR ISI
DAFTAR GAMBAR
1 BAHAN TAMBAHAN PANGAN
2 PEWARNA
2.1 Kuning Saflor B
3 ANTIMIKROB
3.1 Minyak Atsiri
4 PEMANIS
4.1 Aspartam
5 PENUTUP
DAFTAR PUSTAKA
i
1
2
2
4
5
7
8
11
11
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1 Struktur kuning saflor B
Gambar 2 Spektrum UV/VIS absorbansi kuning saflor B dengan sampel
kuning saflor B dalam buffer sitrat/fosfat 50 mM dengan pH 5 yang
dipanaskan selama 30 menit
----∙ ∙ (pH 7.0)
Gambar 3 Struktur aspartam
Gambar 4 Reaksi pembentukan diketopiperazina
3
4
8
9
1 BAHAN TAMBAHAN PANGAN
Bahan tambahan pangan adalah senyawa yang sengaja ditambahkan ke
dalam makanan dengan jumlah dan ukuran tertentu dan terlibat dalam proses
pengolahan, pengemasan, dan penyimpanan. Unsur penyusun bahan tambahan
pangan terdapat secara alami dalam beberapa bahan pangan. Bahan tambahan
pangan atau aditif makanan berfungsi untuk meningkatkan mutu, memperbaiki
warna, bentuk, cita rasa, dan tekstur, serta memperpanjang masa simpan, dan
bukan merupakan bahan utama. Bahan tambahan pangan adalah bahan yang tidak
lazim dikonsumsi sebagai makanan, yang dicampurkan secara sengaja pada proses
pengolahan makanan karena bahan tambahan pangan biasanya tidak memiliki
nilai gizi. Bahan tambahan pangan diantaranya terdiri dari antioksidan,
antimikrob, pemanis buatan, pengawet, dan pewarna.
Pewarna merupakan bahan tambahan pangan yang digunakan untuk
menutupi warna setelah produksi dan menstabilkan warna saat penyimpanan
sehingga dapat menarik konsumen. Bahan pewarna makanan dibagi menjadi 2
golongan, yaitu pewarna alami dan pewarna sintetik. Pewarna alami berasal dari
isolasi atau ekstraksi tanaman, hewan, dan mineral. Pewarna alami yang umum
digunakan ialah kurkumin, karotenoid, klorofil, antosianin, kuning saflor B, dan
lain-lain. Pewarna alami dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu panas,
cahaya, dan pH, tetapi pewarna alami juga memiliki kelebihan seperti aman untuk
dikonsumsi dan dapat menambahkan nilai gizi pada produk. Pewarna sintetik
yang umum digunakan untuk makanan ialah tetrazin, eritrosin, allura, dan lainlain. Pewarna sintetik memiliki keunggulan warna lebih tahan lama, harga yang
relatif murah, dan warna stabil ketika proses pemasakan. Namun kekurangan dari
pewarna sintetik ialah kontaminasi arsen dan logam berat lainnya karena proses
produksi pewarna sintetik diberi perlakuan asam nitrat dan asam sulfat.
Antimikrob adalah senyawa yang dapat membunuh atau menghambat
pertumbuhan mikroorganisme. Pengawet dengan sifat antimikrob memiliki peran
penting dalam mencegah kebusukan dan menjamin keamanan pangan. Contoh
antimikrob diantaranya sulfit dan belerang oksida, garam nitrit dan nitrat, asam
sorbat, natamisin, ester gliseril, asam propionat, asam asetat, asam benzoat, ester
alkil p-hidroksibenzoat, epoksida, antibiotik, campuran minyak cengkih dan
minyak kayu manis, dan dietil pirokarbonat.
Pemanis merupakan bahan tambahan pangan yang digunakan untuk
meningkatkan cita rasa dari makanan agar terasa manis. Pemanis digolongkan
menjadi dua, yaitu pemanis alami dan pemanis buatan. Pemanis alami merupakan
karbohidrat yang menurut struktur kimianya digolongkan menjadi tiga, yaitu
monosakarida, oligosakarida, dan polisakarida. Pemanis alami umumnya berasal
dari tumbuh-tumbuhan yang kemudian diisolasi, contohnya ialah tebu. Pemanis
sintetik dibuat melalui proses kimia, pemanis sintetik pada umumnya digunakan
sebagai bahan tambahan pangan yang menimbulkan rasa manis. Pemanis sintetik
sering ditambahkan ke dalam makanan maupun minuman sebagai pengganti
pemanis alami karena memiliki banyak keunggulan, yaitu rasanya lebih manis,
rendah kalori, dan harganya jauh lebih murah. Contoh pemanis sintetik
diantaranya sakarin, aspartam, dulsin, siklamat, sukralosa, dan lain-lain.
2
Antioksidan merupakan senyawa yang dapat memperlambat oksidasi di
dalam bahan. Penggunaan pada bahan pangan, antara lain lemak hewani, minyak
nabati, produk pangan dengan kadar lemak tinggi, produk pangan berkadar lemak
rendah, produk daging, produk ikan, dan lain-lain. Antioksidan efektif dalam
mengurangi ketengikan oksidatif dan polimerisasi tetapi tidak mempengaruhi
hidrolisis. Oksidasi terjadi ketika elektron dihilangkan dari suatu atom atau gugus
atom. Contoh antioksidan diantaranya asam askorbat, tokoferol, gosipol, asam
tiodipropionat, dilauril tiodipropionat, dan lain-lain.
Bahan pengawet adalah bahan tambahan pangan yang dapat mencegah
atau menghambat proses fermentasi, pengasaman, atau penguraian lain terhadap
makanan yang disebabkan oleh mikroorganisme. Biasanya bahan tambahan
pangan ini ditambahkan ke dalam makanan yang mudah rusak, atau makanan
yang disukai sebagai media tumbuhnya bakteri atau jamur, misalnya pada produk
daging, buah-buahan, dan lain-lain.
2 PEWARNA
Pewarna merupakan bahan kimia baik alami atau sintetik yang
memberikan warna. Bahan pangan memiliki warna karena kemampuan mereka
memantulkan atau meneruskan jumlah energi sinar tampak. Sinar tampak
mencakup panjang gelombang 380-770 nm. Kisaran ini merupakan sebagian kecil
dari spektrum elektromagnetik (Fennema 1996).
Pigmen ialah zat alami dalam sel dan jaringan tanaman dan hewan yang
menghasilkan warna. Zat warna (dye) ialah zat yang cenderung memberikan
warna pada bahan. Zat warna lazim digunakan dalam industri tektil. Warna adalah
sifat mutu yang utama tetapi bukan yang terpenting dari bahan pangan. Warna
pada bahan pangan menjadi faktor yang meningkatkan minat konsumen. Warna
dapat mempengaruhi persepsi citra rasa. Pengaruh warna pada persepsi kemanisan
h i u ju
hw z s
i β-karoten atau riboflavin bukan hanya
pewarna, tetapi memiliki zat gizi. Pigmen bahan pangan seperti pigmen heme,
karotenoid, klorofil, dan flavonoid (Fennema 1996).
Banyak pigmen bahan pangan yang tidak stabil selama pemrosesan dan
penyimpanan. Pencegahan perubahan yang tidak diinginkan biasanya sulit
dilakukan. Hal ini bergantung pada stabilitas pigmen bahan pangan seperti ada
tidaknya cahaya, oksigen, logam berat, dan bahan pengoksidasi atau pereduksi,
suhu dan aktivitas air, dan pH. Karena ketidakstabilan pigmen, pewarna sering
kali ditambahkan pada bahan pangan (Fennema 1996).
2.1 Kuning Saflor B
Kuning saflor B merupakan pewarna alami berwarna kuning-jingga yang
diperoleh dari tumbuhan vaskuler dan hewan. Komponen-komponen yang
3
terdapat pada kuning saflor B diantaranya flavin, kuinon, karotenoid, dan
flavonoid. Kuning saflor B adalah flavonoid dengan struktur kompleks yaitu
adanya senyawa kalkokuinoid dimer poli-oksi dengan dua C-glukopiranosil dan
satu gugus C-glusitol. Pewarna ini dihasilkan dalam kuntum bunga dyer saffron
(Carthamus tinctorius L.) pada tahap perbungaan (Saito & Murata 1994). Struktur
dari kuning saflor B dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1 Struktur kuning saflor B (Saito & Murata 1994)
Kuning saflor B telah lama dikenal sebagai pewarna tekstil, tetapi pada
proses preparasinya dari kartamin, pewarna ini cenderung lebih cepat pudar.
Sehingga penggunaan kuning saflor B pada tekstil tidak efektif dan tidak
ekonomis. Kuning saflor B kemudian digunakan sebagai pewarna pada bahan
pangan. Karena kemudahan warna kuning saflor B yang cepat memudar sehingga
dilakukan identifikasi untuk mengetahui stabilitas warna dari kuning saflor B.
Identifikasinya dilakukan dari hasil proses preparasi kuning saflor B dari
kartamin.
Menurut Saito & Murata (1994) metode untuk mengetahui stabilitas
pigmen kuning saflor B pada bahan pangan digunakan metode spektrofotometer
UV/VIS dengan panjang gelombang maksimum 403 nm atau 220-500 nm,
sebelum dan setelah dipanaskan dalam autoklaf pada suhu 121ºC. Pigmen kuning
saflor B yang diidentifikasi sebelumnya telah dilarutkan terlebih dahulu dengan
menggunakan buffer sitrat/fosfat 50mM dengan pH 5,0. Parameter uji stabilitas
pigmen berupa pengaruh pH, suhu, lamanya waktu pemanasan, pengaruh ion
logam, dan pengaruh antioksidan.
Warna kuning-jingga dari kuning saflor B sensitif terhadap suhu,
dibuktikuan dari pemudaran warna dengan mudah ketika diberi perlakuan suhu
tinggi dan tekanan. Persen kehilangan warna setelah diberi perlakuan dengan suhu
tinggi sebesar 121ºC dan tekanan 1,2 kgf/cm2 pada 10, 30, dan 60 menit berturutturut sebesar 21,4%; 36,8%; dan 45,5%.
Saflor kuning B relatif stabil pada pH 5.0, sedangkan ketidakstabilan pada
pH 3,0 dan 7.0 cenderung menurun ditunjukkan dari spektrum serapan UV/VIS
yang semakin menurun di bawah kontrol pH (Gambar 2). Tingkat penurunan
warna kuning saflor B menurun sebanyak 1-15% setelah diberi perlakuan pH
berbeda.
4
Gambar 2 Spektrum UV/VIS absorbansi kuning saflor B dengan sampel
kuning saflor B dalam buffer sitrat/fosfat 50 mM dengan pH 5
yang dipanaskan selama 30 menit dengan pH yang berbeda-beda.
(kontrol);
(pH 3.0); ----- (pH 5.
∙ ∙ (pH
7.0)
Menurut Saito & Murata (1994) beberapa cemaran ion logam kelumit
(trace metals) dalam bahan pangan menunjukan sifat kooksidan yang dapat
menurunkan stabilitas warna. Penambahan kation logam dengan konsentrasi 0,3
mM ke dalan larutan pewarna dapat menurunkan stabilitas warna. Pengaruh
kation terbesar ditimbulkan oleh Mn2+ dan Mn3+, sedangkan pengaruh terkecil
ditimbulkan oleh Zn2+ dan Mg2+. Penambahan gula seperti pentosa, heksosa, dan
disakarida dapat menahan laju hilangnya warna. Gula dapat berperan ganda
sebagai pemanis dan mempertahankan warna dalam sistem bahan pangan yang
menggunakan pewarna kuning saflor B yang diolah pada suhu dan tekanan tinggi.
Pengaruh penambahan oksidan berupa kalium ferisianida, kalium
permanganat, dan hidrogen peroksida dapat menurunkan stabilitas kuning saflor B
jauh melebihi pengaruh penambahan antioksidan berupa asam D-isoaskorbat,
asam L- s
, α-tokoferol, dan hidrokuinon. Tetapi penambahan antioksidan
husus
α-tokoferol relati tidak memutihkan warna kuning saflor B.
Menurut Saito & Murata (1994) penambahan ion logam, oksidan, dan
antioksidan harus dihindari. Pemrosesan bahan pangan dengan pewarna kuning
saflor B dilakukan dengan suhu dan tekanan yang rendah.
3 ANTIMIKROB
Antimikrob adalah senyawa yang dapat membunuh atau menghambat
pertumbuhan mikroorganisme. Pengawet dengan sifat antimikrob memiliki peran
penting dalam mencegah kebusukan dan menjamin keamanan pangan. Contoh
antimikrob diantaranya sulfit dan belerang oksida, garam nitrit dan nitrat, asam
sorbat, natamisin, ester gliseril, asam propionat, asam asetat, asam benzoat, ester
5
alkil p-hidroksibenzoat, epoksida, antibiotik, campuran minyak cengkih dan
minyak kayu manis, dan dietil pirokarbonat (Fennema 1996).
3.1 Minyak Atsiri
Minyak atsiri (EO) dan komponen penyusunnya sangat efisien terhadap
patogen dan mikroorganisme pembusuk dalam uji in vitro sehingga berpotensi
sebagai alternatif antimikrob yang secara umum dipandang aman. Akan tetapi,
pengaruh yang sama dalam bahan pangan memerlukan pemberian EO dengan
konsentrasi lebih tinggi sehingga secara organoleptik dapat mengubah rasa alami
makanan ketika melebihi ambang rasa yang diterima. Menggabungkan komponen
ekstrak EO dari beberapa tanaman digunakan sebagai salah satu pendekatan untuk
mengatasi hal ini melalui efek sinergistik, aditif, atau antagonis yang dihasilkan,
seperti telah dilaporkan pada kombinasi ekstrak cengkih dan rosemari, bergantung
pada mikroorganismenya.
Menurut Goñi et al (2009) potensi antimikrob EO juga telah dilaporkan
pada fase uapnya sehingga berpotensi dikembangkan menjadi kemasan
antimikrob. Efek antimikrob ekstrak kayu manis, cengkih, dan campuran EO
keduanya diuji pada fase uap. Aktivitas EO dari kombinasi kayu manis dan
cengkih diuji terhadap pertumbuhan empat bakteri Gram negatif (Escherichia
coli, Yersinia enterocolitica, Pseudomonas aeruoginosa, dan Salmonella
choleraesuis) dan empat bakteri Gram positif (Staphylococcus aureus, Listeria
monocytogenes, Bacillus cereus, dan Enterococcus faecalis). Atmosfer yang
terbentuk dari setiap ekstrak dicuplik menggunakan mikroekstraksi fase-padat
(SPME) dengan lapisan polimer poliakrilat (PA) atau polidimetilsiklooksana
(PMOS) kemudian dianalisis komposisinya dengan kromatografi gasspektrofotometri massa perangkap ion (GC-ITMS).
Secara keseluruhan, kedua ekstrak yang diujikan dalam penelitian
m
u
u
s
i m
u m ii u i
h β-kariofilena sebagai
komponen kedua terbanyak. Kandungan eugenol dalam minyak cengkih sebesar
(>60%). Selain eugenol, terdapat juga β-kariopilena (10%) dan α-humulena (3%),
eugenol asetat, δ-kardinena dan kalamenena. Sedangkan kandungan utama dari
minyak kayu manis adalah eugenol (67%), β-kariopilena (8,6%), linalool (3%),
dan safrol (2,8%). Campuran minyak cengkih dan kayu manis diperkirakan akan
meningkatkan tingginya kadar eugenol dalam minyak campuran tersebut sehingga
memiliki aktivitas yang lebih tinggi lagi untuk menghambat aktivitas mikroba.
Aktivitas antimikrob dideteksi dengan metode kertas cakram dengan uji
difusi uap dan difusi padat yang dihasilkan oleh campuran minyak atsiri kayu
manis dan cengkih terhadap pertumbuhan empat Gram negatif dan empat bakteri
Gram positif serta dinilai dengan menggunakan indeks konsentrasi penghambatan
fraksional (FIC). Indeks FIC adalah nisbah antara konsentrasi campuran EO dan
konsentrasi EO murni yang menghambat bakteri. Penelitian indeks FIC untuk
menentukan efek antimikrob dari campuran EO kayu manis dan cengkih, yaitu
efek sinergistik, aditif, atau antagonis terhadap aktivitas bakteri.
Nilai FIC yang lebih kecil atau sama dengan 0,5 menunjukkan efek
sinergistik, yaitu menunjukkan bahwa campuran EO memiliki efek antimikrob
6
lebih besar dari jumlah efek antimikrob setiap EO. Nilai FIC antara 0,5 sampai
0,75 menunjukkan efek aditif, yaitu campuran EO memiliki efek antimikrob yang
sama dengan jumlah efek antimikrob setiap EO. Nilai FIC antara 0,76 sampai 2,0
menunjukkan efek yang tidak berbeda. Sedangkan nilai FIC lebih besar atau sama
dengan 2,0 menunjukkan efek antagonis, yaitu efek campuran EO lebih kecil dari
jumlah efek antimikrob setiap EO. Jika dasarnya ialah nilai konsentrasi
penghambatan maksimum (Cmax), yaitu konsentrasi EO yang menghasilkan
penghambatan terbesar, maka efek sinergistik ditunjukkan oleh nilah FIC kurang
dari 0,5, efek aditif ditunjukkan oleh nilai FIC sebesar 0,5 sampai 4, dan efek
antagonis ditunjukkan oleh nilai FIC lebih dari 4.
Uji difusi uap dan padat berbeda pada proses pencelupan kertas cakram.
Prosedur uji difusi padat dilakukan dengan cakram kertas saring yang telah
mengandung EO dengan konsentrasi tertentu dan akan kontak langsung dengan
medium padatan yang telah ditambahkan bakteri. Prosedur uji difusi uap
dilakukan dengan cakram ditempatkan di tengah-tengah tutup petri bagian dalam
sehingga hanya uap EO yang akan kontak langsung dengan bakteri pada medium
padat. Efektivitas minyak atsiri dihitung dengan mengukur diameter dari zona
hambat pertumbuhan mikroorganisme pada cawan petri. Konsentrasi inhibisi
minimum (MIC) adalah konsentrasi EO minimum untuk menyebabkan
mikroorganisme tidak tumbuh secara kasatmata. Konsentrasi reduksi (RC) adalah
konsentrasi EO minimum untuk mengurangi pertumbuhan mikroorganisme yang
tampak. Nilai MIC umumnya lebih besar daripada RC. Konsentrasi minyak atsiri
yang menghasilkan zona hambat terbesar disebut sebagai Cmax.
Tabel 1 Indeks fraksional hambat konsentrasi (FIC) untuk minyak atsiri cengkeh
(Cl), kayu manis (CL) dan campuran keduanya dengan perbandingan 1:1
FICCl
FICCL
FICCl+CL
Merujuk pada nilai MIC
E. coli
2,5 (A)
1,7 (I)
4,2 (A)a
Y. enterocolitica
0,5 (S)
1,0 (I)
1,5 (ad)
S. choleraesuis
0,5 (S)
1,3 (I)
1,8 (ad)
B. cereus
1,0 (I)
1,0 (I)
2,0 (ad)
L. monocytogenes
0,8 (I)
2,5 (A)
3,3 (ad)
E. faecalis
0,8 (I)
0,5 (S)
1,3 (ad)
S. aureus
0,7 (I)
1,0 (I)
1,8 (ad)
Merujuk pada nilai Cmax
E. coli
0,8 (I)
0,3 (S)
1,1 (ad)
Y. enterocolitica
0,1 (S)
0,1 (S)
0,2 (S)b
S. choleraesuis
0,5 (S)
0,5 (S)
1,0 (ad)
B. cereus
0,2 (S)
0,2 (S)
0,4 (S)
L. monocytogenes
0,2 (S)
0,3 (S)
0,5 (S)
E. faecalis
0,5 (S)
0,5 (S)
1,0 (ad)
S. aureus
0,4 (S)
0,8 (I)
1,1 (ad)
Keterangan: A = Ef
is FIC ≥2 MIC ≥4 Cmax)), S = Efek sinergistik
FIC ≤ , MIC
Cmax)), I = Tidak menimbulkan efek (FIC =
0,76-2,0 (MIC)); ad = Efek aditif (FIC = 0.5-0.75 (MIC); 0.5-4
(Cmax))
7
Aktivitas antimikrob kayu manis dan minyak cengkih dengan
kombinasinya (1:1) diketahui bahwa tidak ada perbedaan signifikan yang diamati
antara ukuran zona inhibisi untuk campuran dan minyak atsiri tunggal ketika
kontak langsung, sementara kombinasi memberikan peningkatan aktivitas untuk
Y. enterocolitica, B. cereus dan L. monocytogenes yang signifikan. Minyak atsiri
menunjukkan aktivitas yang lebih tinggi dalam fase uap. Pseudomona aeruginosa
adalah satu-satunya bakteri yang aktivitasnya terhambat lebih baik ketika kontak
langsung. Ukuran zona hambatan dalam fase uap umumnya meningkat dengan
urutan sebagai berikut. Minyak kayu manis: S. choleraesuis< E. faecalis< L.
monocytogenes ≈ E. coli ≈ S. aureus ≈ B. cereus< Y. enterocolitica; Minyak
cengkeh: S. choleraesuis ≈ L. monocytogenes ≈ E. faecalis< S. aureus ≈ B.
cereus< E. coli< Y. enterocolitica; dan campuran minyak kayu manis-cengkeh: E.
faecalis< S. choleraesuis< S. aureus ≈ L. monocytogenes ≈ E. coli « B. cereus<
Y. enterocolitica. Namun, tidak ada hubungan antara struktur Gram positif atau
Gram negatif dan aktivitas minyak esensial diamati, kecuali P. aeruginosa, yang
menyediakan aktivitas kecil dalam kontak langsung dengan kayu manis.
Berdasarkan nilai MIC, tidak ada efek sinergistik diperoleh untuk
kombinasi minyak atsiri terhadap bakteri E. coli, L. monocytogenes dan B. cereus
dan diperlukan konsentrasi yang lebih tinggi dari campuran untuk menghambat.
Campuran minyak atsiri kayu manis dan cengkih menunjukkan efek antagonis
yang jelas terhadap E. coli, sedangkan pada Y. enterocolitica, L. monocytogenes
dan B. cereus menunjukkan efek sinergistik saat Cmax digunakan. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa efek sinergistik dapat dicapai untuk beberapa
mikroorganisme tetapi bergantung pada konsentrasi. Hasil penelitian juga untuk
mengembangkan sebuah kemasan antimikrob dengan minyak atsiri yang dapat
menjaga keamanan pangan dan sifat organoleptik pangan.
Menurut Goñi et al (2009) metode difusi padat dianggap tidak cocok
dalam memperkirakan aktivitas antimikrob minyak atsiri karena komponen volatil
kemungkinan akan menguap bersama-sama dengan pelarut pendispersi. Oleh
karena itu, fase uap lebih baik digunakan dalam menentukan sifat antibakteri dari
minyak atsiri.
4 PEMANIS
Pemanis merupakan bahan tambahan pangan yang digunakan untuk
meningkatkan cita rasa dari makanan agar terasa manis. Pemanis dibagi menjadi
dua, yaitu pemanis rendah kalori dari alkohol polihidrat dan pemanis non nutritif
dan rendah kalori yang sangat manis. Pemanis rendah kalori dari alkohol
polihidrat merupakan kelompok senyawa meliputi glikol sintetik dan gliserol yang
dihasilkan secara alami. Selain itu, xilitol, sorbitol, dan manitol dihasilkan
berturut-turut dari hidrogenasi xilosa, glukosa, dan manosa. Banyak alkohol
polihidrat terdapat secara alami, tetapi karena konsentrasinya terbatas, biasanya
tidak menunjukkan peran fungsional dalam bahan pangan. Misalnya, gliserol
bebas terdapat dalam anggur dan bir sebagai hasil fermentasi dan sorbitol terdapat
8
dalam buah seperti pir dan apel. Pemanis non nutritif dan rendah kalori mencakup
sekelompok zat yang luas yang menimbulkan rasa manis atau meningkatkan
persepsi rasa manis. Pemanis non nutritif dan rendah kalori contohnya yaitu
siklamat, sakarin, sukralosa, alitam, aspartam, dan lain-lain (Fennema 1996).
Aspartam merupakan pemanis berkalori karena merupakan dipeptida yang
dicerna seluruhnya setelah konsumsi. Rasa manis aspartam mirip sukrosa tetapi
aspartam 200 kali lebih manis daripada sukrosa. Kemanisannya yang kuat
membuat fungsionalitas dapat dicapai pada kadar sangat rendah yang memberikan
kalori yang sangat sedikit. Aspartam pertama kali disetujui di Amerika Serikat
tahun 1981 dan sekarang diperbolehkan penggunaannya di lebih dari 75 negara.
4.1 Aspartam
Aspartam atau ester metil dari L-aspartil-L-fenilalanina adalah pemanis
sintetis yang telah digunakan dengan aman dalam makanan selama lebih dari 30
tahun. Aspartam adalah pemanis buatan dipeptida terdiri dari asam amino
fenilalanina dan asam aspartat, ditambah sedikit metanol. Aspartam 200 kali lebih
manis dari sukrosa. Aspartam (Gambar 3) telah digunakan lebih dari 6000
berbagai jenis produk termasuk minuman ringan, makanan penutup campuran,
makanan penutup beku dan yogurt, multi-vitamin kunyah, sereal sarapan, pemanis
dan bahan farmasi. Di Uni Eropa, keamanan pemanis saat ini menjadi tanggung
jawab dari EFSA Panel on Food Additives and Nutrient Sources Added to Food
(ANS), salah satu lembaga di bawah European Food SafetyAuthority (EFSA).
Badan serupa yang bertanggung jawab di Amerika Serikat adalah US Food and
Drugs Administration (FDA), sedangkan Lembaga dunia di PBB yang mengatur
hal ini ialah Joint FAO/WHO Expert Committee on Food Additives (JECFA).
HO
H2N
O
O
O
NH
O
Gambar 3 Struktur aspartam (Fennema 1996)
Dua kekurangan aspartam ialah tidak stabil pada kondisi asam dan terurai
dengan cepat pada suhu tinggi. Pada kondisi asam, seperti minuman ringan
terkarbonasi, rasa manis hilang secara bertahap dan bergantung pada suhu dan pH.
Sifat peptida dari aspartam membuatnya rentan terhadap hidrolisis, dan sifat ini
juga memungkinkan interaksi kimia lainnya dan penguraian oleh mikrob. Selain
hilangnya rasa manis karena hidrolisis ester metil pada fenilalanina atau ikatan
peptida di antara kedua asam amino, aspartam mudah mengalami kondensasi
intramolekul, terutama pada suhu tinggi, menghasilkan diketopiperazina (asam 5benzil-3,6-diokso-3-piperazinasetat) yang ditampilkan pada Gambar 4.
9
O
O
O
O
-
O
Adisi-eliminasi
pH > 6
H2N
O
-
+
HN
H3C OH
O
H3C
O
O
Gambar 4 Reaksi pembentukan diketopiperazina
Reaksi ini bergantung pada pH netral dan basa, karena gugus amina akan
tidak terprotonkan pada kondisi ini. Selain itu, pH basa mendorong reaksi
karbonil-amino dan aspartam telah ditunjukkan bereaksi dengan mudah dengan
glukosa dan vanilin pada kondisi tersebut. Kedua reaksi ini berturut- turut
menyebabkan hilangnya kemanisan aspartam selama penyimpanan dan hilangnya
cita rasa vanila.
Menurut Marinovich et al (2013) prosedur penilaian keamanan pada zat
aditif makanan alami dan sintetis serta berbagai kontaminan telah ditetapkan.
Tahap pertama identifikasi bahaya, yaitu kemampuan molekul yang dapat
menyebabkan kerusakan, menggunakan model silico dan berbagai kondisi
percobaan in vitro dan in vivo. Berdasarkan EFSA dan JECFA menetapkan nilai
Acceptable Daily Intake (ADI) untuk aspartam sebesar 0-40 mg/kg berat badan,
yang didasarkan pada nilai no observed adverse effect level (NOAEL) sebesar 4
g/kg berat badan per hari dibagi dengan suatu faktor ketidakpastian (100 untuk
studi dengan hewan). Nilai ADI yang lebih rendah, yaitu 7,5 mg/kg bobot badan
per hari juga ditetapkan JECFA untuk diketopiperazina (DKP), yaitu suatu
turunan dipeptida siklik minor dari aspartam, yang terbentuk dari larutan berair.
Nilai ADI yang lebih tinggi yang ditetapkan oleh FDA yaitu 50 mg/kg. Dosis ini
diperkirakan masih 10 kali lebih tinggi daripada konsumsi harian aspartam
kebanyakan orang dewasa di Amerika Serikat dan masih 100 kali lebih rendah
daripada dosis yang memberikan pengaruh pada hewan dalam studi jangka
panjang. Aspartam di negara tersebut lebih banyak dikonsumsi oleh jenis kelamin
laki-laki dengan rentang umur 30-39 tahun.
Aspartam memiliki toksisitas akut yang sangat rendah pada tikus, mencit,
kelinci, dan anjing, demikian pula toksisitas sub-kronisnya rendah. Menurut
Marinovich et al (2013) setelah dikonsumsi aspartam sangat efisien terhidrolisis,
namun kekhawatiran muncul pada produk hidrolisisnya, yaitu sekitar 50%
fenilalanina, 40% asam aspartat, dan 10% metanol, serta produk penguraian
aspartam seperti asam 5-benzil-3,6-diokso-2- i
zi s
β-aspartam.
Komponen-komponen ini kemudian diserap ke dalam darah dan selanjutnya
dimetabolisme. Secara umum produk metabolisme tersebut tidak berbahaya
karena tidak terakumulasi dalam tubuh dan ditangani oleh organisme dengan cara
yang sama seperti makanan. Metabolit dari aspartam banyak ditemukan dalam
bahan pangan seperti susu tanpa lemak dan jus tomat.
Menurut SCF dan EFSA, pembentukan metanol pada hasil hidrolisis
aspartam akan memiliki potensial karsinogen dan toksisitas. Kemudian SCF dan
10
EFSA menyimpulkan bahwa data yang tersedia tidak menunjukkan genotoksik
dan karsinogenik untuk metanol yang berasal dari asupan aspartam. Untuk
konsumen rata-rata aspartam, kontribusi aspartam terhadap keseluruhan paparan
maksimum metanol mencapai 10% pada populasi umum. Metanol merupakan
produk pemecahan alami banyak makanan yang biasa dikonsumsi, dan tidak
berbahaya apabila dibawah dosis ADI. Sebagai contoh, segelas jus tomat
menyediakan sekitar 6 kali lebih banyak metanol sebagai jumlah yang setara diet
minuman manis dengan aspartam. Menurut Marinovich et al (2013) metanol
tersebut akan dioksidasi dalam hati menjadi formaldehida, yang selanjutnya
dioksidasi menjadi asam format dan membebaskan CO2. Formaldehida memiliki
waktu paruh sekitar 1,5 menit, oleh karena itu tidak terakumulasi dalam jaringan.
Evaluasi fenilalanina yang berasal dari aspartam menjadi perhatian dalam
pengaruh potensi perkembangan manusia. European Ramazzini Foundation on
Oncology and Environmental Sciences (ERF) pada tahun 2006 pernah mengklaim
efek buruk aspartam yaitu meningkatkan berbagai penyakit berbahaya seperti
tumor ganas pada tikus, sehingga bersifat karsinogenik pada dosis normal pada
makanan. Menurut Marinovich et al (2013) menemukan beberapa kejanggalan
dalam penelitian yang dilakukan, seperti durasi pemberian aspartam yang berawal
dari janin hari ke-12 hingga kematian alami, tidak sesuai dengan prosedur uji
baku dari Organization for Economy Cooperation and Development (OECD),
FDA, maupun International Conference of Harmonization (ICH) yang
merekomendasikan penggunaan hewan muda dengan durasi penelitian 24 bulan
untuk hewan pengerat, yang mewakili rentang umur normal pada kebanyakan
hewan. Dosis yang digunakan yaitu 20 g/hari juga dipertanyakan, karena estimasi
berdasarkan asumsi 400 g berat badan tikus dan konsumsi makanan yang konstan.
Tingginya kejadian penyakit infeksi (peradangan kronis) berupa limfoma dan atau
leukemia juga belum tentu menandakan tumor ganas, melainkan mungkin hanya
kondisi hiperplasia sebagaimana yang terjadi dalam kasus pneumonia kronis pada
tikus yang dilaporkan dalam studi tahun 1960-an.
Risiko kanker pada pemanis rendah kalori banyak dipelajari sejak tahun
1970-an, ketika risiko kanker kandung kemih (prostat) pada hewan pengerat
didapati meningkat dengan dosis sakarin yang sangat tinggi. Namun, belakangan
diketahui bahwa efek karsinogenik tersebut bersifat spesifik spesies pada tikus
jantan yang diberi dosis natrium sakarin tinggi, karena terbentuk endapan amorf
dalam urinnya. Data lebih lanjut tidak adanya hubungan antara aspartam dan
peningkatan kejadian tumor otak dan tidak ada kebutuhan untuk merevisi ADI 40
mg/kg berat badan setelah kajian menyeluruh dari semua data keamanan yang
tersedia. Selain itu, hubungan antara aspartam dan kanker otak tidak jelas pada
hewan percobaan, dan studi kasus-kontrol berikutnya pada kanker otak tidak
menemukan bukti yang konsisten dari risiko kelebihan dalam kaitannya dengan
aspartam dan aspartam berbasis minuman ringan pada manusia. Menurut
Marinovich et al (2013) dapat diketahui bahwa data epidemiologi yang tersedia
tidak ada bukti yang menghubungkan aspartam dan pemanis rendah kalori lainnya
untuk risiko kanker otak, baik pada anak-anak atau orang dewasa.
Studi kasus kontrol dari Denmark pada 1336 wanita melaporkan tidak ada
hubungan antara penggunaan pemanis buatan dan risiko kanker payudara. Sebuah
studi pendamping tidak menemukan hubungan dengan pemanis rendah kalori dan
kanker lambung, pankreas dan endometrium, menambahkan bukti lebih lanjut
11
tidak adanya efek negatif dari pemanis rendah kalori terhadap risiko neoplasma.
Hasil menunjukkan kurangnya hubungan antara aspartam dan pemanis rendah
kalori lainnya dan risiko beberapa neoplasma umum. Selain risiko kanker dari
data epidermologis juga menunjukan bahwa minuman rendah kalori tidak
menimbulkan risiko penyakit jantung koroner sebagaimana yang ditunjukkan oleh
minuman berpemanis gula. Menurut Marinovich et al (2013) penelitian hubungan
antara pemanis rendah kalori dan risiko kelahiran prematur menunjukkan tidak
adanya kaitan antara pemanis rendah kalori dengan meningkatnya risiko kelahiran
prematur. Berdasarkan bukti-bukti tersebut, aspartam dan pemanis rendah kalori
aman digunakan sebagai bahan tambahan pangan.
5 PENUTUP
Pemrosesan bahan pangan dengan pewarna kuning saflor B dilakukan
dengan suhu dan tekanan yang rendah dan penambahan ion logam, oksidan, dan
antioksidan harus dihindari. Metode difusi padat dianggap tidak cocok dalam
memperkirakan aktivitas antimikrob minyak atsiri sedangkan fase uap lebih baik
digunakan dalam menentukan sifat antibakteri dari minyak atsiri. Pemanis
aspartam merupakan pemanis yang sering digunakan sebagai tambahan makanan
yang aman bagi tubuh manusia.
DAFTAR PUSTAKA
Goñi P, López P, Sánchez C, Gómez-Lus R, Becerril R, Nerín C. 2009.
Antimicrobial activity in the vapour phase of a combination of cinnamon
and clove essential oils. Food Chemistry. 116 : 982–989.
Fennema OR. 1996. Food Chemistry. Ed ke-3. New York: Marcell Dekker Inc.
Hlm. 793-800.
Marinovich M, Galli CL, Bosetti C, Gallus S, La Vecchia C. 2013. Aspartame,
low-calorie sweeteners and disease: Regulatory safety and epidemiological
issues. Food and Chemical Toxicology. 60 : 109–115.
Saito K, Murata T. 1994. The influence of thermal treatments on the stability of
safllor yellow B. Food Chemistry. 51 : 307-310.
Download