BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bambu merupakan bahan yang telah digunakan sejak zaman nenek moyang baik sebagai bahan struktur bangunan maupun perabot rumah tangga. Pemilihan bambu sebagai bahan bangunan dapat didasarkan pada harganya yang rendah, serta kemudahan untuk memperolehnya. Keunggulan bambu sebagai bahan struktur adalah kekuatan bahan yang cukup tinggi. Keunggulan bambu dari bahan struktur yang lain di antaranya bambu merupakan bahan yang dapat diperbarui, pelaksanaan konstruksi lebih cepat, biaya konstruksi lebih murah dan tidak memerlukan peralatan yang modern. Di samping itu bambu memiliki keungggulan lain yaitu ringan dan mempunyai kelenturan yang cukup tinggi sehingga sangat baik digunakan untuk bangunan tahan gempa. Perilaku struktural sambungan rangka batang bambu di antaranya meliputi kekuatan dan kekakuan struktur. Kuat geser, kuat tumpu dan kuat tarik pada sambungan bambu merupakan hal yang paling kritikal sebagai pertimbangan dalam mendesain sebuah struktur bambu. Kekuatan dan kekakuan struktur bambu sangat dipengaruhi oleh sistem sambungannya. Bambu sebagai bahan bangunan dalam merangkainya membutuhkan cara penyambungan yang berbeda dengan kayu. Kekuatan bambu yang tinggi belum dapat dimanfaatkan dengan maksimal karena kendala dalam sistem sambungan antar batangnya. Penyambungan atau perangkaian pada bambu utuh biasanya dilakukan secara konvensional dengan memakai ijuk, paku dan pasak. Sambungan dengan paku atau pasak menyebabkan terjadinya sobekan serat yang sejajar batang dimana kekuatan gesernya rendah yang menjadikan bambu mudah pecah. Pada sambungan dengan tali ataupun ijuk kekuatan sambungan hanya didasarkan pada kekuatan gesek antara tali atau ijuk dengan bambu atau antara bambu satu dengan bambu yang lainnya (Morisco, 1999). Karena alasan geometrik, struktur bambu 1 sering kali memerlukan sambungan perpanjangan untuk memperpanjang bambu dan sambungan buhul untuk menggabungkan beberapa batang bambu pada satu buhul atau join. 1.2 Rumusan Masalah Jarak alat sambung baut ke ujung bambu pada sistem sambungan bambu dipengaruhi oleh beberapa faktor, salah satunya yaitu diameter baut, oleh karena itu perlu diketahui bagaimana menentukan hubungan antara diameter baut dengan jarak kritis ke ujung bambu. 1.3 Tujuan Penelitian Adapun tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Mengetahui pengaruh ukuran diameter dengan jarak kritis ke ujung bambu. 2. Menentukan jarak ujung yang aman pada sistem sambungan bambu menggunakan baut diameter 8, 10 dan 12 mm. 1.4 Batasan Masalah Adapun batasan masalah dalam penelitian ini sebagai berikut : 1. Bambu yang digunakan adalah bambu utuh dari jenis Wulung (Gigantochloa atroviolacea). 2. Bambu yang digunakan adalah batang bambu bagian tengah. 3. Jarak baut dari ujung digunakan bambu tanpa ruas. 4. Pengencangan baut tidak diperhitungkan. 5. Baut yang digunakan adalah baut diameter 8, 10, 12 mm. 6. Sambungan bambu hanya dengan 1 buah baut dan tanpa pengisi dalam bambu. 7. Sambungan yang diamati yaitu sambungan tarik sejajar serat. 8. Pembebanan yang digunakan yaitu pembebanan statik. 2 1.5 Manfaat Penelitian Manfaat yang didapat dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh diameter baut terhadap jarak dari ujung sambungan bambu tanpa node, sehingga diperoleh jarak kritis ke ujung bambu yang dapat digunakan sebagai pedoman dalam perancangan sambungan bambu. 1.6 Keaslian Penelitian Dalam penelitian Morisco dam Mardjono (1996) digunakan sambungan bambu dengan alat sambung baut dan pelat buhul baja dengan bahan pengisi kayu atau mortar. Masdar, et al. (2014), melakukan penelitian untuk menentukan jarak kritis baut ke ujung bambu untuk sambungan bambu hanya menggunakan diameter 12,2 mm dan menggunakan 3 variasi jarak baut ke ujung bambu. Dengan dasar penelitian tersebut, penelitian yang dilakukan penulis mengenai pengaruh diameter baut pada jarak baut ke ujung batang pada sambungan rangka bambu, merupakan penelitian baru dan asli. 3