BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN 2.1 Kajian Pustaka Kajian pustaka yang dimaksud dalam bab ini adalah penelahaan terhadap pustaka atau teks yang berkaitan dengan lokus dan fokus penelitian yang dilakukan oleh orang lain maupun oleh peneliti sendiri. Kajian pustaka tersebut berupa hasil-hasil penelitian, jurnal, makalah, dan buku-buku yang berkaitan dengan permasalahan pergulatan pengelolaan daya tarik wisata warisan budaya Tanah Lot di Desa Beraban. Penelitian di Tanah Lot telah dilakukan oleh beberapa peneliti, seperti penelitian tesis peneliti sendiri yang berjudul “Pengelolaan Pariwisata Berbasis Masyarakat: Studi Objek Wisata Tanah Lot di Desa Beraban, Kecamatan Kediri, Kabupaten Tabanan” (Laksmi, 2003). Pada tesis tersebut, diungkapkan bentuk, fungsi, dan makna pengelolaan pariwisata berbasis masyarakat di Tanah Lot. Pertama, bentuk pengelolaan pariwisata berbasis masyarakat yang melibatkan tiga unsur, yaitu Pemerintah Kabupaten Tabanan, CV Aryjasa Wisata, dan Desa Pakraman Beraban memberikan posisi-posisi penting kepada desa pakraman dalam struktur organisasi badan pengelola, yaitu sebagai ketua I, sekretaris, pembantu bendahara, dan sebagai penanggung jawab bidang operasional. Kedua, pengelolaan tersebut berfungsi meningkatkan partisipasi desa pakraman dalam proses pengelolaan meliputi perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan. Ketiga, pengelolaan tersebut memberikan makna bagi peningkatan kemampuan desa 18 pakraman dalam pembangunan pariwisata, kemampuan melakukan aktivitas pengelolaan objek wisata, kemampuan di bidang manajerial pariwisata secara profesional, dan makna dalam pembangunan desa pakraman meliputi makna kesejahteraan, hubungan sosial, dan pelestarian budaya. Penelitian yang telah dilakukan memiliki persamaan dan perbedaan dengan penelitian saat ini. Persamaannya adalah pada penetapan lokasi penelitian yang sama, yaitu di Tanah Lot. Perbedaannya dapat dilihat pada hakikat tiga ciri keilmuan yaitu ontologi, epistemologi, dan aksiologi. Dari segi ontologi (apa yang dikaji), penelitian terdahulu berfokus pada pengelolaan objek wisata berbasis masyarakat yang melibatkan tiga komponen, yaitu Pemerintah Kabupaten Tabanan, CV Aryjasa Wisata, dan Desa Pakraman Beraban. Sistem pengelolaan tersebut dimulai 1 Juli 2000 sampai dengan 1 April 2011. Penelitian saat ini berfokus pada pergulatan pengelolaan daya tarik wisata warisan budaya Tanah Lot yang melibatkan Pemerintah Kabupaten Tabanan, CV Aryjasa Wisata, Desa Pakaman Beraban, dan Desa Pakraman se-Kecamatan Kediri. Pegulatan pengelolaan ini mulai terjadi menjelang masa kontrak perjanjian berakhir, yaitu 1 April 2011. Dari segi epistemologi (bagaimana cara memperolehnya), penelitian terdahulu menggunakan teori-teori modernism, yaitu teori struktural fungsional, teori tindakan, teori pengelolaan sumber bertumpu pada komunitas, dan interaksi simbolik dengan pendekatan kajian budaya yang mengacu pada bentuk, fungsi, dan makna. Penelitian saat ini menggunakan teori-teori postmodernisme, yaitu teori praktik, teori kekuasaan dan pengetahuan, dan teori tindakan komunikatif dengan pendekatan kajian budaya yang bersifat interdisiplin. 19 Dari segi aksiologi (nilai, untuk apa pengetahuan tersebut), penelitian terdahulu bersifat deskriptif untuk mengetahui dan memahami bentuk, fungsi, dan makna pengelolaan pariwisata berbasis masyarakat bagi Desa Pakraman Beraban. Penelitian saat ini bersifat emansipatoris, yakni dimaksudkan sebagai upaya untuk mengetahui ketidakadilan yang direpresentasikan melalui pergulatan pengelolaan daya tarik wisata warisan budaya Tanah Lot untuk menjadi lebih adil. Hal tersebut sejalan dengan pandangan Lubis (2006: 51-52), ilmu pengetahuan sebagai emansipatoris (emancipatory knowledge) adalah ilmu pengetahuan yang menekankan pentingnya peran ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai alat untuk proses humanisasi. Dengan demikian, ilmu pengetahuan tidak hanya bersifat deskriptif, tetapi terkait pula dengan kepentingan manusia (human interest) untuk meningkatkan harkat dan martabatnya. Lubis (2006: xi) juga menegaskan bahwa ilmu pengetahuan tidak hanya untuk ilmu, tetapi dapat digunakan untuk memperbaiki kondisi sosial budaya yang tidak adil dan tidak manusiawi agar menjadi lebih adil dan manusiawi. Pada penelitian terdahulu sama sekali tidak dijelaskan pergulatan pengelolaan warisan budaya Tanah Lot, baik yang meliputi dinamika maupun ideologi yang melatarinya. Berdasarkan tiga ciri keilmuwan di atas, penelitian saat ini dapat dilihat sebagai permasalahan baru. Kebaruan dalam penelitian ini adalah penelitian terhadap pergulatan pengelolaan yang terjadi di Tanah Lot tahun 2011 dan belum pernah diteliti. Selain itu dala penelitian ini menggunakan teori berbeda dan pendekatan kajian budaya dengan paradigma yang berbeda. Hal tersebut sejalan sengan pandangan Ratna (2010: 15-16), kebaruan merupakan salah satu ciri penting dalam menentukan objek penelitian. Artinya, kebaruan objek dianggap 20 sebagai faktor utama lahirnya temuan baru. Dengan adanya perkembangan penelitian dari masa ke masa, kebaruan dicapai dengan menemukan aspek-aspek lain yang belum pernah dibicarakan. Setiap penelitian merupakan sub-genre, demikian seterusnya sehingga penelitian tidak pernah berakhir. Penelitian kawasan tertentu dilanjutkan dengan bagian lain dari kawasan yang bersangkutan. Cara lain adalah menggunakan teori dan metode yang berbeda sehingga diharapkan dihasilkan temuan yang berbeda. Penelitian terdahulu tentu sangat penting dijadikan pijakan pada penelitian saat ini terutama untuk memahami dinamika pergulatan pengelolaan daya tarik wisata warisan budaya Tanah Lot. Penelitian tesis I Made Sujana (2009) yang berjudul “Persepsi Wisatawan dan Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kunjungan Wisatawan ke Daya Tarik Wisata Tanah Lot Tabanan Bali” menjelaskan bahwa persepsi wisatawan terhadap objek wisata Tanah Lot secara umum adalah baik. Ada empat faktor dominan yang berperan pada kunjungan wisatawan, yaitu nilai sejarah, keunikan pura, promosi, dan pemandangan sunset. Penelitian yang telah dilakukan memiliki kesamaan lokasi dengan penelitian saat ini, tetapi penekanannya berbeda. Penelitian terdahulu menekankan pada persepsi dan faktor-faktor yang mendorong wisatawan berkunjung ke Tanah Lot dengan fokus penelitian pada wisatawan. Penelitian saat ini melihat pergulatan pengelolaan daya tarik wisata warisan budaya Tanah Lot dengan fokus penelitian pada masyarakat. Penelitian Sujana dapat dijadikan referensi untuk menambah wawasan tentang Tanah Lot. Ni Putu Pujani (2000) dalam tesisnya yang berjudul “Pekerja Anak pada Sektor Informal Penjual Post Card di Objek Wisata Tanah Lot Tabanan Bali (Studi tentang Pemaknaan Kerja Perspektif Budaya Kewiraswastaan)” 21 mengemukakan bahwa pengembangan Tanah Lot dalam kepariwisataan telah menjadi ajang bisnis bagi pelaku ekonomi serta menjadi tumpuan ekonomi bagi masyarakat Beraban dan sekitarnya khususnya dalam kegiatan ekonomi marginal bagi anak-anak sebagai penjual postcard. Faktor-faktor yang mendorong anakanak sebagai penjual postcard di Tanah Lot adalah faktor internal berupa faktor lingkungan, keluarga, dan tumbuhnya sifat-sifat kewiraswastaan; dan faktor eksternal berupa orientasi nilai budaya masyarakat terhadap etos kerja, tidak membutuhkan pendidikan khusus dan modal besar. Penelitian ini sama-sama dilakukan di Tanah Lot, tetapi fokusnya berbeda. Penelitian terdahulu berfokus pada marginalisasi ekonomi pada pekerja anak berbeda dengan penelitian saat ini yang melihat pergulatan pengelolaan daya tarik wisata warisan budaya Tanah Lot. Penelitian Pujani dapat dijadikan bahan untuk menambah pemahaman untuk melihat marginalisasi masyarakat di Tanah Lot. Penelitian tesis Kusuma Dewi (2012) yang berjudul “Partisipasi dan Pemberdayaan Masyarakat Desa Beraban dalam Pengelolaan secara Berkelanjutan Daya Tarik Wisata Tanah Lot” menjelaskan bentuk-bentuk pemberdayaan masyarakat Desa Pakraman Beraban dalam pengelolaan Tanah Lot meliputi pemberdayaan ekonomi, pemberdayaan psikologis, pemberdayaan sosial, dan pemberdayaan politik. Pemberdayaan memberikan manfaat bagi masyarakat dengan terbukanya kesempatan dan lapangan kerja dalam bidang pariwisata. Di samping itu, bagi Tanah Lot telah terwujud rasa memiliki dari masyarakat untuk menjaga kelestarian dan keberlanjutan Tanah Lot. Penelitian tersebut memiliki persamaan lokasi dengan penelitian saat ini, tetapi fokusnya berbeda. Penelitian terdahulu menekankan pada partisipasi Desa Pakraman Beraban dalam 22 pengelolaan Tanah Lot, sedangkan penelitian saat ini menekankan pergulatan pengelolaan daya tarik wisata warisan budaya Tanah Lot yang menjelaskan dinamika dan ideologi pergulatan. Penelitian tersebut dapat digunakan sebagai acuan untuk menambah wawasan tentang peran desa pakraman dalam konteks pergulatan pengelolaan Tanah Lot. Penelitian di Desa Beraban juga dilakukan I Gede Mudana (2005) berupa disertasi berjudul “Pembangunan Bali Nirwana Resort di Kawasan Tanah Lot: Hegemoni dan Perlawanan di Desa Adat Beraban Tabanan”. Pada disertasi tersebut dinyatakan bahwa pembangunan BNR berlangsung di atas landasan ketidakadilan hubungan antara masyarakat dan pemerintah khas orde baru yang berujung pada hegemoni dan perlawanan. Pemerintah orde baru memaksakan ideologi modernitas pembangunan ekonomi kapitalisnya kepada masyarakat lewat pembangunan industri pariwisata berbentuk kawasan wisata Tanah Lot. Perlawanan masyarakat bermakna ketidakberhasilan perjuangan menghadapi hegemoni pemerintah dalam pembangunan BNR, terutama kegagalan upaya masyarakat sipil berjuang di hadapan negara. Dengan kegagalan tersebut pembangunan BNR secara ekonomi, ekologi, dan budaya tidak memberikan makna yang berarti kepada masyarakat. Namun, pada masa reformasi (1998) mulai ada bentuk-bentuk kerja sama yang saling menguntungkan antara masyarakat dan BNR. Penelitian Mudana dan penelitian ini dari segi wilayah sama di Desa Beraban, tetapi dari segi objek dan fokusnya berbeda. Penelitian terdahulu mengambil objek BNR yang menekankan perlawanan masyarakat terhadap pembangunan BNR. Penelitian saat ini mengambil objek Tanah Lot yang menekankan pada pergulatan pengelolaan daya tarik wisata warisan budaya Tanah 23 Lot. Penelitian Mudana dapat dijadikan acuan untuk membuka wawasan keilmuan tentang hegemoni pemerintah dan perlawanan masyarakat Beraban untuk memperjuangkan hak-haknya. Penelitian tesis I Made Suantina (1998) yang berjudul “Implementasi Program Privatisasi dalam Mencapai Keberhasilan Pembangunan Pariwisata di Kabupaten Daerah Tingkat II Tabanan” menyimpulkan bahwa alasan utama program privatisasi adalah karena lemahnya sumber daya manusia yang dimiliki pemerintah berkaitan dengan pariwisata, rendahnya tingkat kompetisi pihak swasta untuk menjadi pengelola objek wisata, dan rendahnya nilai kontrak yang disepakati. Implementasi program cukup berhasil karena semua kesepakatan terpenuhi, ada kecenderungan pemerintah mempertahankan dan melanjutkan program privatisasi demikian pula sebaliknya, pembangunan pariwisata cukup berhasil meningkatkan jumlah wisatawan, terpeliharanya objek wisata, dan adanya kepuasan, kenyamanan, serta keamanan wisatawan di lokasi objek wisata. Implementasi program privatisasi telah membantu mencapai keberhasilan pembangunan pariwisata di Kabupaten Tabanan. Penelitian tersebut jelas berbeda dengan penelitian saat ini. Namun, dapat dijadikan referensi untuk melihat kebijakan pemerintah Kabupaten Tabanan dalam hubungannya dengan sistem pengelolaan daya tarik wisata warisan budaya Tanah Lot. Palguna (2001) dalam tesisnya berjudul “Dinamika Masyarakat Desa Menuju Civil Society (Studi Kasus Pengelolaan Objek Wisata Alas Kedaton di Desa Kukuh, Kecamatan Marga, Kabupaten Tabanan)” menjelaskan tindakan Pemerintah Kabupaten Tabanan dalam pengelolaan Objek Wisata Alas Kedaton mengandung dua proses yang bersifat kontradiktif. Di satu sisi, berorientasi 24 sebagai fasilitator yang memberikan kesempatan kepada warga Desa Kukuh untuk memperoleh akses terhadap sumber daya pembangunan yang dimiliki pemerintah sehingga masyarakat dapat berpartisipasi dalam pengelolaan Alas Kedaton. Di sisi lain, dengan bantuan tersebut pemerintah menuntut adanya keterlibatannya dalam pengelolaan Alas Kedaton yang secara tidak langsung merupakan bentuk intervensi. Kebijakan pemerintah mendapat respons dari masyarakat, yakni menerima keterlibatan pemerintah yang menguntungkan dan menolak keinginan pemerintah yang merugikan. Penelitian Palguna jelas menunjukkan perbedaan dengan penelitian ini, baik dari lokasi maupun fokus penelitian. Namun, dapat dijadikan acuan untuk memahami cara-cara pemerintah melakukan intervensi dan respons masyarakat dalam melakukan perlawanan terhadap kebijakan pemerintah. Penelitian disertasi I Ketut Setiawan (2011) yang berjudul “Komodifikasi Pusaka Budaya Pura Tirta Empul dalam Konteks Pariwisata Global” menjelaskan faktor-faktor yang mendorong komodifikasi Pura Tirta Empul, yaitu faktor internal yang muncul dari konstruksi budaya lokal, seperti pola pikir baru masyarakat serta kreativitas dan inovasi untuk memperindah pura. Sebaliknya, faktor eksternal berupa arus budaya global, budaya kapitalisme yang berperan dalam menentukan eksistensi pura, seperti perkembangan pariwisata, industri budaya, peran media massa, dan hegemoni pemerintah daerah. Komodifikasi Pura Tirta Empul telah memberikan dampak terhadap aspek ekonomi berupa peningkatan kesejahteraan masyarakat. Dampak sosial budaya cenderung kurang menguntungkan karena telah terjadi komersialisasi tempat suci yang mengakibatkan bergesernya nilai-nilai religius. Komodifikasi Pura Tirta Empul dalam konteks pariwisata memiliki makna religius, pelestarian budaya, identitas 25 budaya, dan kesejahteraan. Penelitian tersebut menunjukkan perbedaan, baik dari segi lokus maupun fokusnya, tetapi dapat dijadikan referensi untuk menambah wawasan tentang pemanfaatan warisan budaya (pusaka budaya) dalam konteks pariwisata. Penelitian I Wayan Ardika (1993) yang berjudul “Dampak Pariwisata terhadap Situs Peninggalan Arkeologi di Bali” menjelaskan bahwa kegiatan pariwisata budaya di Bali telah menimbulkan dampak positif dan negatif. Dampak positif adalah meningkatnya kepedulian masyarakat dan pemerintah terhadap situs dan peninggalan arkeologi yang diwujudkan dalam berbagai tindakan, seperti pemugaran dan konservasi, kebersihan lingkungan, dan menjaga keamanan situs. Dampak negatif adalah rusaknya situs yang disebabkan oleh frekuensi kunjungan wisatawan yang semakin meningkat, pencurian, polusi akibat kendaraan pengunjung. Ardika dalam bukunya yang berjudul Pusaka Budaya dan Pariwisata (2007: 12) juga menyatakan sehubungan dengan dampak negatif, untuk pembangunan tempat parkir, kios, toko, kesenian, restoran, dan fasilitas penunjang kegiatan pariwisata di sekitar situs perlu dipertimbangkan sehingga tidak mengganggu kelestarian tinggalan arkeologi yang memiliki daya tarik bagi wisatawan. Soediman pada artikelnya yang berjudul “Peranan Arkeologi dalam Pembangunan Nasional” dalam buku Analisis Kebudayaan (1983--1984: 20) menyatakan hal yang memprihatinkan adalah kurangnya pengertian dan penghargaan masyarakat terhadap nilai-nilai warisan budaya sebagai sesuatu yang perlu dilestarikan. Dikatakan demikian karena sering didengar adanya pencemaran, pengotoran, perusakan terhadap peninggalan purbakala serta 26 lingkungan dan situs budaya yang pelakunya adalah orang-orang Indonesia. Peneliti sendiri dalam buku berjudul Cagar Budaya Bali Menggali Kearifan Lokal dan Model Pelestariannya (Laksmi, 2011) juga menyampaikan pelestarian cagar budaya Bali saat ini masih meninggalkan berbagai persoalan. Adapun persoalan yang dimaksud, seperti (1) belum semua cagar budaya Bali mendapat perlakuan pelestarian oleh BP3 karena jumlahnya relatif banyak dan dana yang tersedia terbatas, (2) perbaikan/pemugaran cagar budaya oleh pemerintah/ masyarakat sering mengganti bahan secara total sehingga mengurangi nilai kekunoan, (3) perlindungan oleh masyarakat sering menunjukkan fanatisme berlebihan sehingga sulit mendapat informasi, dan (4) masih kurangnya perhatian dan penghargaan masyarakat terhadap nilai-nilai cagar budaya sebagai sesuatu yang penting dilestarikan. Mardika dkk. (2010) dalam buku berjudul Pusaka Budaya Representasi Ragam Pusaka dan Tantangan Konservasi di Kota Denpasar menjelaskan langkah inventori, konservasi, dan transformasi pusaka budaya dalam optimalisasi sinerginitas nilai ekonomi, ekologi, dan kultural di Kota Denpasar dihadapkan pada beragam hambatan. Hambatan-hambatan yang dimaksud, yaitu (1) konflik nilai antara nilai kultural vs nilai komersial, (2) multitafsir dalam pelestarian yang sering tidak searah antara komunitas (pemilik, pengemong), birokrasi, dan akademisi, (3) gaya hidup urban yang cenderung pragmatis dan materialistik, (4) umur pusaka budaya yang umumnya sudah tua, (5) ancaman bencana, seperti bencana alam, pencurian, konflik, dan kanibalisme, dan (6) terbatasnya dana konservasi. 27 Edi Sedyawati dalam artikel berjudul “Bali Dipandang dari Luar” dalam buku Keindonesiaan dalam Budaya, Dialog Budaya: Nasional dan Etnik Peranan Industri Budaya dan Media Massa Warisan Budaya dan Pelestarian Dinamis (2008: 284) menjelaskan perkembangan sosial politik saat ini yang dapat membuat persoalan menjadi lebih rumit adalah otonomi daerah. Balidwipa-mandala yang merupakan kesatuan sosial budaya masyarakat Bali saat ini seakan-akan terancam tercabik-cabik oleh kepentingan kabupaten demi kabupaten. Sumber daya diperebutkan dan tidak lagi diintegrasikan untuk penggunaan bersama dalam suasana gotong royong yang damai. Mungkin juga di tingkat desa muncul arogansi desa adat seolah-olah persatuan dan kebersamaan itu menjadi tidak penting lagi. Berdasarkan beberapa penelitian dan kajian yang telah dilakukan, baik dilihat dari segi lokasi maupun topiknya, diketahui bahwa belum ada yang meneliti pergulatan pengelolaan daya tarik wisata warisan budaya Tanah Lot. Penelitian-penelitian yang telah dilakukan hampir semua menjelaskan pengelolaan daya tarik wisata memberikan dampak positif dan negatif terhadap kehidupan sosial, budaya, dan ekonomi bagi masyarakat secara parsial. Namun, belum ada yang mengemukakan pergulatan pengelolaan daya tarik wisata warisan budaya dalam konteks interdisipliner. Pustaka-pustaka yang telah dipaparkan di atas, penting sekali dijadikan acuan untuk melihat ancaman yang dihadapi daya tarik wisata warisan budaya secara internal dan eksternal. 2.2 Konsep Dalam penelitian ini ada beberapa konsep yang dikemukakan berhubungan dengan “Pergulatan Pengelolaan Daya Tarik Wisata Warisan Budaya Tanah Lot”. Konsep-konsep tersebut adalah seperti berikut. 28 2.2.1 Pergulatan Pengelolaan Daya Tarik Wisata Berbicara tentang pergulatan sama halnya dengan berbicara tentang kebudayaan dari perspektif kajian budaya. kebudayaan adalah lingkungan aktual untuk berbagai praktik, representasi, bahasa, dan adat istiadat masyarakat tertentu. Kebudayaan juga terkait dengan pertanyaan tentang makna sosial yang dimiliki bersama (Barker, 2004: 8). Barker juga menegaskan, bahwa ide budaya dipahami sebagai “peta makna” dan makna yang dibagikan atau makna yang dipertandingkan. Keterlibatan dan perhatian khusus yang ditunjukkan kajian budaya dalam melihat dan mengeksplorasi tema budaya memberikan tekanan pada persinggungan antara kekuasaan dan makna (Barker, 2014: 167). Demikian pula anggapan Storey bahwa budaya dalam cultural strudies bersifat politis, yaitu sebagai ranah konflik dan pergumulan (Storey, 2006: 3). Dengan demikian, dalam konteks penelitian ini pergulatan merupakan ranah konflik dan pergumulan sebagaimana perspektif cultural trudies. Konsep pergulatan pengelolaan daya tarik wisata terdiri atas konsep pergulatan, pengelolaan, dan daya tarik wisata. Kata pergulatan berasal dari kata dasar “gulat” berarti olahraga jenis bela diri yang bertanding dengan saling membanting dan menindih (Yasyin, 1995: 110). Kata gulat mendapat awalan “per” dan akhiran “an” menjadi pergulatan artinya perkelahian, persabungan, perjuangan, pergumulan, dan pertarungan (http://www.artikata.com). Secara operasional, pergulatan dalam penelitian ini dapat diartikan sebagai representasi ketidakpuasan masyarakat Beraban terhadap sistem pengelolaan daya tarik wisata warisan budaya Tanah Lot, praktik dalam memperebutkan modal, upaya dalam mempertahankan ideologi, dan peta makna yang melahirkan masyarakat komunikatif. 29 Berdasarkan pengertian di depan dapat dipahami bahwa pergulatan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah pergumulan atau pertarungan masyarakat Desa Beraban, Pemerintah Kabupaten Tabanan, dan CV Aryjasa Wisata dalam memperebutkan akses pengelolaan daya tarik wisata warisan budaya Tanah Lot. Pergulatan pengelolaan daya tarik wisata warisan budaya Tanah Lot sejalan dengan pandangan Barker (2004: 411), bahwa pertarungan muncul dari hubungan kekuasaan dan subordinasi dalam bentuk penentangan dan negosiasi terhadap tatanan yang melakukan infiltrasi atau campur tangan. Pengelolaan adalah (1) proses, cara, perbuatan mengelola; (2) proses melakukan kegiatan tertentu dengan menggerakkan tenaga orang lain; (3) proses yang membantu merumuskan kebijakan dan tujuan organisasi, (4) proses yang memberikan pengawasan kepada semua hal yang terlibat di dalam pelaksanaan kebijakan dan pencapaian tujuan (Depdikbud, 1990: 411). Di dalam UU RI Nomor 11 Tahun 2010, disebutkan pengelolaan adalah upaya terpadu yang dilakukan melalui kebijakan pengaturan, perencanaan, dan pengawasan. Dalam penelitian ini pengelolaan yang dimaksud adalah proses yang dilakukan untuk menggerakkan para pihak dalam mengelola daya tarik wisata warisan budaya Tanah Lot di Desa Beraban, Kecamatan Kediri, Kabupaten Tabanan. Tahapan pelaksanaan pengelolaannya meliputi perencanaan, perumusan kebijakan dalam organisasi atau lembaga badan pengelola, pelaksanaan program kerja, pengawasan, dan pembagian hasil pengelolaan sesuai dengan kesepakatan antara pemerintah dan masyarakat Beraban. Konsep daya tarik wisata dapat dicermati dalam UU RI Nomor 10 Tahun 2009, yaitu segala sesuatu yang memiliki keunikan, keindahan dan nilai yang 30 berupa keanekaragaman kekayaan alam, budaya dan hasil buatan manusia yang menjadi sasaran atau tujuan kunjungan wisata. Di dalam UU tersebut juga dijelaskan bahwa daya tarik wisata merupakan bagian dari komponen sistem kepariwisataan sebagai unsur utama yang mendorong minat seseorang untuk berkunjung ke suatu wilayah di mana daya tarik wisata itu berada. Kepariwisataan itu sendiri merupakan keseluruhan kegiatan yang terkait dengan pariwisata dan bersifat multidimensi serta multidisiplin yang muncul sebagai wujud kebutuhan setiap orang dan negara serta interaksi antara wisatawan dan masyarakat setempat, sesama wisatawan, pemerintah, pemerintah daerah, dan pengusaha. Sementara, pariwisata adalah berbagai macam kegiatan wisata dan didukung berbagai fasilitas serta layanan yang disediakan oleh masyarakat, pengusaha, pemerintah, dan pemerintah daerah. Daya tarik wisata oleh Inskeep (1991) disebut atraksi wisata (tourism attraction) adalah keseluruhan potensi alam, budaya, dan elemen khusus pada suatu wilayah yang menjadi unsur utama penarik kunjungan wisatawan. Terkait dengan potensi tersebut, Inskeep membagi daya tarik wisata ke dalam tiga kategori (Ardhana dkk, 2012: 16-20). Pertama, daya tarik wisata alam (natural attractions) yang berdasar pada keadaan dan keunikan lingkungan alam, seperti bentang alam dan bentukan alam yang khas, pantai dan sumber daya kelautan, flora dan fauna; dan hutan/taman nasional/kawasan konservasi. Kedua, daya tarik wisata budaya (cultural attractions) yang berdasarkan kegiatan manusia meliputi situs arkeologi, sejarah, dan budaya; adat dan tradisi serta kehidupan khas masyarakat; seni dan kerajinan; museum dan fasilitas budaya; dan festival budaya. Ketiga, daya tarik wisata khusus atau spesifik (special types of 31 attractions) yang diciptakan secara artifisial (artificially created) meliputi taman bertema dan taman hiburan, area perbelanjaan dan fasilitas mice, even-even khusus, serta kawasan rekreasi dan olahraga Daya tarik wisata dalam penelitian ini adalah perpaduan keunikan warisan budaya dan nilai yang terkandung di dalamnya, keindahan alam, dan hasil kayra manusia yang artifisial sebagai daya tarik khusus yang menjadi tujuan kunjungan wisata. Daya tarik wisata tersebut meliputi (1) daya tarik wisata khusus berupa pasar seni seperti art shop dan pedagang, hotel dan restoran, tempat pertunjukan Surya Mandala, taman rekreasi, (2) daya tarik wisata warisan budaya berupa pura beserta tinggalan arkeologi dan nilai-nilai yang diekspresikan secara konkrit seperti nilai kosmologi dan rwa bineda; dan (3) warisan alam berupa fauna (ular suci), air suci, sunset terrace dan keindahan alam seperti tebing batu karang untuk menikmati keindahan laut dan sunset. Berdasarkan konsep-konsep di atas, dapat dipahami bahwa pergulatan pengelolaan daya tarik wisata yang dimaksud dalam penelitian ini adalah pergumulan atau pertarungan masyarakat Beraban, Pemerintah Kabupaten Tabanan, dan CV Aryjasa Wisata. Pertarungan tersebut merupakan upaya untuk memperebutkan aset pengelolaan daya tarik wisata di Tanah Lot melalui kebijakan pengaturan, perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan pembagian hasil pengelolaannya. 2.2.2 Warisan Budaya Tanah Lot Warisan budaya (cultural heritage) merupakan konsep yang digunakan oleh United Nations Education Scientific and Cultural Organization (UNESCO) 32 dalam “Convention Concerning the Protection of the World Cultural and Natural Heritage” yang disahkan di Paris pada 16 November 1972. Di dalam konvensi dan rekomendasi UNESCO (Putra, 2010:128-129), dinyatakan konsep warisan budaya dan warisan alam seperti berikut. “Pasal 1, warisan budaya (cultural heritage) mencakup (1) monumenmonumen, seperti karya arsitektur, karya lukisan dan pahatan monumental, struktur yang bernilai arkeologi, prasasti, gua sebagai tempat tinggal dan kombinasi ciri-cirinya, yang mempunyai nilai universal dari segi sejarah, seni, dan ilmu; (2) bangunan mencakup kelompok bangunan yang berdiri sendiri atau satu sama lain merupakan satu kesatuan, baik karena arsitekturnya, kesamaan ciri (homogenitasnya), dan sifat atau landskapnya, yang mempunyai nilai universal dari segi sejarah, seni, dan ilmu; (3) situs, seperti karya manusia atau perpaduan karya manusia dan alam, dan kawasan termasuk situs arkeologi yang memiliki nilai universal dari segi sejarah, estetika, etnologi, atau antropologi”. “Pasal 2, warisan alam (natural heritage) mencakup (1) segala sesuatu yang memiliki ciri-ciri alamiah yang terdiri dari fisik dan susunan biologis atau kelompok dari susunan demikian itu, yang memiliki nilai universal, baik dari segi keindahan maupun sudut pandang ilmu pengetahuan; (2) susunan geografis dan fisiografis dan merupakan kawasan yang menunjukkan adanya habitat dari spesies atau binatang atau tumbuhtumbuhan yang terancam yang memiliki nilai universal dari sudut pandang ilmu pengetahuan dan konservasi; (3) situs alamiah atau kawasan alamiah yang memiliki nilai universal dari segi ilmu pengetahuan, konservasi, dan keindahan alam”. Berdasarkan konsep di atas, diketahui bahwa pengertian warisan budaya menurut UNESCO mencakup karya-karya manusia, serta perpaduan karya-karya manusia dan alam yang memiliki nilai universal dari segi sejarah, estetika, etnologi, atau antropologi. Di samping itu, juga dikenal warisan alam mencakup kawasan alamiah yang memiliki nilai universal dari segi ilmu pengetahuan, konservasi, dan keindahan alam. Di Indonesia, istilah warisan budaya pertama kali dituangkan di dalam “Monumenten Ordonantie Stb. Nomor 238 Tahun 1931” dengan sebutan 33 “monumen”. Pada pasal 1 Monumenten Ordonantie (Tjandrasasmita, 1991: 95) dijelaskan bahwa yang dianggap monument adalah sebagai berikut. “(a) Bagian benda atau kelompok benda yang bergerak maupun yang tidak bergerak, yang dibuat oleh tangan manusia, yang pokoknya mempunyai masa langgam sedikit-dikitnya 50 tahun dan dianggap mempunyai nilai penting bagi prasejarah, sejarah, atau kesenian; (b) benda-benda yang dianggap mempunyai nilai penting dipandang dari sudut paleoantropologi, (c) tanah-tanah yang mempunyai petunjuk yang kuat dasarnya bahwa di dalam terdapat benda-benda pada a dan b, segala sesuatu bilamana bendabenda tersebut, baik tetap maupun sementara, telah dicantumkan dalam daftar monumen pusat yang disusun dan dikelola atas usaha Kepala Dinas Purbakala”. Istilah warisan budaya juga dikenal dengan sebutan “kebudayaan lama dan asli” yang secara implisit dapat dicermati pada penjelasan UUD 1945 pasal 32. “Kebudayaan bangsa adalah kebudayaan yang timbul sebagai buah usaha budi daya rakyat Indonesia seluruhnya. Kebudayaan lama dan asli yang terdapat sebagai puncak-puncak kebudayaan di daerah di seluruh Indonesia , terhitung sebagai kebudayaan bangsa. Usaha kebudayaan harus menuju ke arah kemajuan adab, budaya, dan persatuan, dengan tidak menolak bahan-bahan baru dari kebudayaan asing yang dapat memperkembangkan atau memperkaya kebudayaan bangsa sendiri, serta mempertinggi derajat kemanusiaan bangsa Indonesia”. Pengertian Warisan budaya juga dikenal dengan sebutan benda cagar budaya seperti disebutkan di dalam UU Nomor 05 Tahun 1992 pada pasal 1. “Benda cagar budaya adalah (a) benda buatan manusia, bergerak atau tidak bergerak yang berupa kesatuan atau kelompok, atau bagian-bagiannya atau sisa-sisanya, yang berumur sekurang-kurangnya 50 tahun, atau mewakili masa gaya yang khas dan mewakili masa gaya sekurang-kurangnya 50 tahun, serta dianggap mempunyai nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan. (b) benda alam yang dianggap mempunyai nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan. Sebaliknya, istilah cagar budaya juga disebut warisan budaya seperti dinyatakan dalam UU RI Nomor 11 Tahun 2010 pasal 1. “(1) Cagar budaya adalah warisan budaya bersifat kebendaan berupa benda cagar budaya, bangunan cagar budaya, struktur cagar budaya, situs cagar budaya, dan kawasan cagar budaya di darat dan/atau di air yang 34 perlu dilestarikan keberadaannya karena memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama dan/atau kebudayaan melalui proses penetapan; (2) benda cagar budaya adalah benda alam dan/atau benda buatan manusia, baik bergerak maupun tidak bergerak, berupa kesatuan atau kelompok atau bagian-bagiannya atau sisa-sisanya yang memiliki hubungan erat dengan kebudayaan dan sejarah perkembangan manusia; (3) bangunan cagar budaya adalah susunan binaan yang terbuat dari benda alam atau benda buatan manusia untuk memenuhi kebutuhan ruang berdinding dan/atau tidak berdinding dan beratap; (4) struktur cagar budaya adalah susunan binaan yang terbuat dari benda alam dan/atau benda buatan manusia untuk memenuhi kebutuhan ruang kegiatan yang menyatu dengan alam, sarana, dan prasarana untuk menampung kebutuhan manusia; (5) situs cagar budaya adalah lokasi yang berada di darat dan/atau di air yang mengandung benda cagar budaya, bangunan cagar budaya, dan/atau struktur cagar budaya sebagai hasil kegiatan manusia atau bukti kejadian pada masa lalu; (6) kawasan cagar budaya adalah suatu ruang geografis yang memiliki dua situs cagar budaya atau lebih yang letaknya berdekatan dan/atau memperlihatkan ciri tata ruang yang khas. Pada UU tersebut pasal 5 juga disebutkan kriteria cagar budaya. “Benda, bangunan, struktur, situs dan kawasan dapat diusulkan sebagai benda cagar budaya apabila memenuhi kriteria (1) berusia 50 tahun atau lebih, (2) mewakili masa gaya paling singkat berusia lima puluh tahun, (3) memiliki arti khusus bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan, dan (4) memiliki nilai budaya bagi penguatan keperibadian bangsa”. Istilah warisan budaya juga dipadankan dengan sebutan pusaka (Ernawi, 2010: 2). Berdasarkan Piagam Pelestarian Pusaka Indonesia tahun 2003, diketahui bahwa pusaka terdiri atas (1) pusaka alam, yaitu bentukan alam yang istimewa; (2) pusaka budaya adalah hasil cipta, rasa, karsa, dan karya yang istimewa dari ratusan suku bangsa di tanah air Indonesia, secara sendiri-sendiri, sebagai kesatuan bangsa Indonesia dan dalam interaksinya dengan budaya lain sepanjang sejarah keberadaannya mencakup pusaka berwujud (tangible) dan pusaka tidak berwujud (intangible); (3) pusaka saujana adalah gabungan pusaka alam dan pusaka budaya dalam kesatuan ruang dan waktu. Istilah lain yang digunakan 35 untuk menyebut warisan budaya adalah pusaka budaya (Ardika, 2007; Setiawan, 2011; Mardika, 2010). Konsep-konsep di atas menunjukkan cakupan warisan budaya sangat luas dan untuk memudahkan pengkajian Sedyawati (2008: 279-280) memilah warisan budaya ke dalam dua golongan, yaitu warisan budaya berupa benda konkret (tangible) dan takbenda (intangible). Warisan budaya tangible adalah benda warisan budaya yang dapat dipegang, terdiri atas benda “bergerak” dan benda “tidak bergerak”. Benda “bergerak” berupa benda yang dapat dipindah-pindahkan dari satu tempat ke tempat lain seperti koleksi museum. Benda “tidak bergerak” berupa benda yang tidak dapat dipindah-pindahkan dari satu tempat ke tempat lain seperti bangunan. Warisan budaya intangible adalah warisan budaya yang tidak dapat dipegang atau diraba terdiri atas karya manusia bersifat abstrak dan konkret. Warisan budaya intangible abstrak hanya ada dalam pikiran atau kesadaran manusia berupa keseluruhan sistem gagasan, seperti nilai-nilai, norma dan hukum, konsep-konsep baik yang terkait dengan kehidupan manusia maupun alam semesta. Warisan budaya intangible konkret adalah segala ekspresi budaya yang terjadi melalui tindakan nyata, tetapi selalu berlalu dan hilang dalam waktu, seperti musik, tari, rangkaian tindakan dalam upacara, dan permainan tradisional. Secara emik istilah warisan budaya di Indonesia memiliki sebutan yang berbeda-beda seperti monumen, tinggalan arkeologi, benda cagar budaya, cagar budaya, pusaka, dan pusaka budaya. Demikian pula cakupan konsepnya beragam seperti cagar budaya (warisan budaya) menurut UU RI Nomor 11 Tahun 2010 diartikan sebagai warisan budaya bersifat kebendaan; Sedyawati menggolongkan warisan budaya bersifat tangible dan intangible; Ernawi menyebutkan pusaka 36 (warisan budaya) meliputi pusaka alam, pusaka budaya, dan pusaka saujana. Sedangkan, UNESCO menyatakan warisan budaya selain berupa karya-karya manusia juga berupa karya manusia berpadu dengan alam. Secara empiris warisan budaya Tanah Lot tidak saja berupa benda (tangible) tetapi juga berupa warisan budaya takbenda (intangible) berpadu dengan warisan alam. Selain itu, masyarakat lokal lebih mengenal istilah warisan budaya daripada istilah lain sehingga lebih mudah untuk mengomunikasikan dengan masyarakat. Istilah warisan budaya juga digunakan di tingkat internasional termasuk Indonesia dalam mendaftarkan warisan budaya menjadi warisan budaya dunia. Oleh sebab itu, secara etik dalam penelitian ini digunakan istilah warisan budaya. Warisan budaya dalam penelitian ini dapat dipahami sebagai hasil karya manusia masa lampau meliputi warisan budaya tangible berupa pura-pura di kawasan Tanah Lot, intangible berupa nilai kosmologi dan rwa bineda, berpadu dengan warisan alam berupa ular suci, air suci, dan keindahan alam yang terdapat di Tanah Lot Desa Beraban, Kecamatan Kediri, Kabupaten Tabanan. Warisan tersebut memiliki umur sekurang-kurangnya lima puluh tahun, memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama dan/atau kebudayaan, dan merupakan modal budaya sebagai daya tarik wisata. 2.2.3 Ideologi Istilah ideologi pertama kali digunakan filsuf Prancis Destutt de Tracy pada tahun 1796 untuk menjelaskan ilmu baru yang dirancang mengenai analisis sistematik tentang ide dan sensasi, makna turunannya, kombinasinya, dan akibat 37 yang ditimbulkannya. Ilmu tentang ide oleh de Tracy disebut “ideologi” (Thomson, 2006: 51). Ideologi memiliki pengertian yang sangat kompleks. Hal ini dapat dilihat dari berbagai sudut pandang ideologi yang disampaikan para pemikir, seperti Althusser, Marx, Michel Foucault, Pierre Bourdieu, dan Eagleton. Menurut Althusser (2010: xvi-xxv), ideologi adalah profoundly unconscious sebagai halhal yang secara mendalam tidak disadari. Ideologi adalah segala yang sudah tertanam dalam diri individu sepanjang hidupnya; suatu produk sejarah yang seolah-olah menjelma secara alamiah. Bagi Althusser, setiap orang berperan menyebarkan ideologi dan menjadikan masyarakat ideologis. Menurutnya, ideologi merupakan reaksi terhadap satu dominasi. Setiap penindasan akan menghasilkan suatu usaha pada pihak tertindas untuk melepaskan diri. Ketika pihak tertindas berhasil bebas dan berkuasa, ideologi mereka bisa saja digunakan untuk menindas pihak lain yang lebih lemah dan demikian seterusnya. Menurut Marx, ideologi adalah kesadaran palsu, yakni kesadaran tentang dunia yang dimiliki oleh individu itu palsu. Artinya, apa yang dipikirkan tentang dunia tidak sesuai dengan kenyataan dunia yang sebenarnya (Takwin, 2010: 5763). Michel Foucault menyatakan ideologi sebagai hasil hubungan kekuasaan di mana saja. Hubungan kuasa muncul bukan hanya pada tataran negara, melainkan juga dalam kehidupan sehari-hari. Setiap hubungan selalu merupakan usaha saling menguasai dan saling menekan. Hubungan kuasa ini oleh Foucault disebut “discourse” sepadan dengan “diskursus” atau “wacana” yang digunakan sebagai pengganti ideologi (Takwin, 2010: 109-110; Foucault, 2007: xxxvii). Bourdieu mengajukan pengertian ideologi dengan sebutan doxa, yaitu tatanan sosial dalam 38 diri individu yang stabil dan terikat pada tradisi serta terdapat kekuasaan yang sepenuhnya ternaturalisasi dan tidak dipertanyakan. Dalam paktiknya doxa tampil lewat pengetahuan yang diterima begitu saja sesuai dengan habitus dan field individu tanpa dipikir terlebih dahulu (Takwin, 2010: 114-115) Beberapa pengertian ideologi juga disampaikan oleh Eagleton (1991: 1). “(1) proses produksi makna-makna, tanda-tanda, dan nilai-nilai dalam kehidupan sosial; (2) sekumpulan karakteristik ide atau pikiran dari sebuah kelompok atau kelas tertentu; (3) ide-ide yang membantu melegitimasi kekuatan politik yang dominan; (4) ide-ide palsu yang membantu melegitimasi kekuatan politik yang dominan; (5) distorsi komunikasi yang sistematik; (6) sesuatu yang menempatkan subjek dalam posisi tertentu; (7) bentuk pikiran yang dimotivasi oleh interes sosial; (8) pemikiran tentang identitas; (9) ilusi sosial yang niscaya; (10) perpaduan diskursus dengan kekuasaan; (11) media tempat aktor-aktor sosial yang sadar memahami dunia; (12) serangkaian kepercayaan yang menjadi orientasi bagi tindakan; (13) ketidakjelasan antara realitas linguistik dengan realitas fenomenal; (14) akhir pemaknaan dalam proses semiotik, (15) medium yang sangat penting bagi individu untuk menjalani hubungan-hubungan mereka dalam struktur sosial, dan (16) proses terjadinya “pengubahan” kehidupan sosial menjadi realitas alamiah”. Mengacu pada beberapa pengertian di atas, ideologi dalam penelitian ini dapat dipahami sebagai sekumpulan ide, gagasan, dan pemikiran yang dijadikan pedoman oleh para pihak untuk bertindak. Dalam implementasinya, terjadi pula pertarungan antarideologi yang saling mempengaruhi satu sama lain dan melatari pergulatan pengelolaan daya tarik wisata warisan budaya Tanah Lot. Ideologi yang lebih kuat akan mendominasi ideologi yang lain yang menimbulkan reaksi terhadap dominasi tersebut. Demikian dalam konteks pergulatan pengelolaan daya tarik wisata warisan budaya Tanah Lot, tampak ideologi kapitalisme, pariwisata, dan tri hita karana berjalan bersamaan namun didominasi oleh ideologi kapitalisme. 39 2.3 Landasan Teori Landasan teori yang digunakan dalam penelitian adalah teori-teori kritis postmodernisme meliputi teori praktik, diskursus kekuasaan dan pengetahuan, dan teori tindakan komunikatif. Teori-teori tersebut digunakan secara eklektik atau bersamaan dan saling melengkapi satu sama lain untuk menganalisis permasalahan pergulatan pengelolaan daya tarik wisata warisan budaya Tanah Lot yang bersifat kompleks dan interdisiplin. 2.3.1 Teori Praktik Teori praktik yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori Pierre-Felix Bourdieu, seorang pemikir Prancis terkemuka yang lahir di Desa Denguin Distrik Pyrenees-Atlantiques barat daya Prancis, 1 Agustus 1930 dan meninggal di rumah sakit Saint-Antoine Paris, 23 Januari 2002. Karya-karya Bourdieu memiliki cakupan bahasan yang luas mulai dari etnografi hingga seni, sastra, bahasa, dan kultural. Dalam teori praktik, Bourdieu merumuskan bahwa praktik adalah gabungan habitus, modal, dan ranah (Harker dkk., 2009). Menurut Bourdieu, praktik merupakan suatu produk dari relasi antara habitus sebagai produk sejarah dan ranah yang juga merupakan produk sejarah (Harker dkk., 2009: xx). Karakteristik yang terdapat dalam praktik adalah praktik terdapat dalam ruang dan waktu di mana waktu dikonstruksi secara sosial dan gerakan individu atau kelompok dalam ruang sosial otomatis gerakan dalam waktu. Praktik juga diatur dan digerakkan secara tidak sadar atau tidak sepenuhnya sadar (Mutahir, 2011: 57-58). Dalam hal ini, kebanyakan agen atau aktor menerima dunia sosial apa adanya tanpa memikirkan kembali apa yang dilakukan. 40 Habitus bagi Bourdieu, adalah suatu sistem disposisi yang berlangsung lama dan berubah-ubah yang berfungi sebagai basis generatif bagi praktik-praktik yang terstruktur dan terpadu secara objektif. Habitus dapat dikatakan sebagai ketidaksadaran cultural, yakni pengaruh sejarah yang secara tidak sadar dianggap alamiah (Harker dkk., 2009: xvii-xviii). Habitus kadangkala digambarkan sebagai “logika permainan” (feel for the game) sebuah “rasa praktis” yang mendorong agen bertindak dan bereaksi dalam situasi-situasi spesifik dengan suatu cara yang tidak selalu bisa dikalukulasikan sebelumnya dan ukan sekadar kepatuhan sadar pada aturan-aturan. Habitus lebih mirip seperangkat disposisi yang melahirkan praktik dan persepsi (Bourdieu, 2010: xvi). Modal merupakan sebuah konsentrasi kekuatan, suatu kekuatan spesifik yang beroperasi di dalam ranah (Harker dkk., 2009: xx). Bagi Bourdieu, modal merupakan energi sosial yang hanya ada dan membuahkan hasil dalam ranah perjuangan di mana modal memproduksi dan diproduksi. Menurut Bourdieu, jenis modal yang menjadi pertaruhan dalam arena adalah modal ekonomi, modal sosial, modal budaya, dan modal simbolis. Modal ekonomi berupa alat-alat produksi, seperti mesin, tanah, tenaga kerja termasuk materi seperti pendapatan dan bendabenda, serta uang. Modal sosial termanifestasi melalui hubungan-hubungan yang merupakan sumber daya yang berguna dalam penentuan dan reproduksi kedudukan-kedudukan sosial. Modal budaya adalah keseluruhan kualifikasi intelektual, baik yang diproduksi secara formal maupun warisan keluarga, seperti pengetahuan, kode-kode budaya, cara berbicara, kemampuan menulis, pembawaan, tata krama, dan cara bergaul yang berperan di dalam penentuan dan reproduksi kedudukan-kedudukan sosial. Modal simbolis adalah kekuasaan yang 41 memungkinkan untuk mendapatkan setara dengan apa yang diperoleh melalui kekuasaan fisik dan ekonomi sebagai akibat khusus suatu mobilisasi, seperti rumah di daerah perumahan yang mahal dan kantor di pusat perdagangan (Mutahir, 2011: 68-69). Ranah menurut Bourdieu, merupakan arena kekuatan yang di dalamnya terdapat upaya perjuangan untuk mendapatkan sumber daya (modal) dan demi memperoleh akses tertentu yang dekat dengan hirarki kekuasaan. Ranah merupakan arena pertarungan di mana mereka yang menempatinya dapat memertahankan atau mengubah konfigurasi kekuasaan yang ada (Mutahir, 2011: 67, 70). Ranah bagi Bourdieu juga diartikan sebagai jaringan relasi antarposisi objektif dalam suatu tatanan sosial yang hadir terpisah dari kesadaran dan kehendak individual (Harker dkk., 2009: xvii). Di setiap ranah atau arena, kepentingan tertentu dipertaruhkan, bahkan kepentingan-kepentingan itu diingkari pelakunya (Bourdieu, 2010: xxi). Teori praktik dalam penelitian ini dikaitkan dengan praktik pergulatan pengelolaan daya tarik wisata warisan budaya Tanah Lot. Praktik sebagai gabungan habitus, modal, dan ranah sangat relevan digunakan dalam penelitian ini karena habitus merupakan agen dalam permainan modal yang digunakan oleh pihak penguasa terhadap pihak yang dikuasai dan difasilitasi oleh ranah atau arena di mana pertarungan itu terjadi. Dalam konteks penelitian ini, teori praktik dapat dilihat dalam dua hal. Pertama, dalam praktik pergulatan pengelolaan daya tarik wisata warisan budaya Tanah Lot terjadi pergulatan antara Pemerintah Kabupaten Tabanan, CV Aryjasa Wisata, dan masyarakat Beraban mencakup pergulatan sistem pengelolaan, pembagian retribusi, kedudukan manajer operasional, 42 kepemilikan warisan budaya, dan kekuasaan. Kedua, terjadinya pergulatan dilatari oleh ideologi para pihak yang diimplementasikan pada pengelolaan daya tarik wisata Tanah lot. Sebagaimana teori praktik Bourdieu, kedua hal tersebut merupakan aktivitas para aktor untuk memperebutkan modal. 2.3.2 Teori Diskursus Kekuasaan dan Pengetahuan Teori diskursus kekuasaan dan pengetahuan yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori dari Michel Foucault, yang lahir di Poitiers Prancis, 15 Oktober 1926 dan meninggal 25 Juni 1984 (Foucault, 2002: 5-6). Foucault adalah salah seorang yang berpengaruh terhadap pengembangan teori sosial postmodern. Dalam karyanya The Archaeology of Knowledge and the Discourse of Language Foucault menaruh perhatian pada penyelidikan peristiwa-peristiwa diskursif, pernyataan-pernyataan yang dibicarakan dan yang dituliskan (Ritzer, 2010: 67). Bagi Foucault, diskursus menyatukan bahasa dan praktik serta mengacu kepada produksi pengetahuan melalui bahasa yang memberikan makna kepada objek material dan praktik sosial. Diskursus mengkonstruksi, mendefinisikan, dan menghasilkan objek pengetahuan dengan cara yang dapat dipahami sambil mengesampingkan bentuk penalaran lain sebagai sesuatu yang tidak dapat dipahami (Barker, 2004:81). Foucault juga menegaskan bahwa diskursus adalah cara menghasilkan pengetahuan, beserta praktik sosial yang menyertainya, bentuk subjektivitas yang terbentuk darinya, relasi kekuasaan yang ada di balik pengetahuan dan praktik sosial tersebut, serta saling keterkaitan di antara semua aspek ini (Foucault, 2002: 9). 43 Foucault menggambarkan lima tahap proses untuk menganalisis ranah peristiwa diskursif. Kelima tahap tersebut, yaitu (1) memahami pernyataan menurut kejadian yang sangat khas, (2) menentukan kondisi keberadaannya, (3) menentukan sekurang-kurangnya limitnya, (4) membuat korelasinya dengan pernyataan lain yang mungkin terkait dengannya, dan (5) menunjukkan apa bentuk lain pernyataan yang ia keluarkan (Ritzer, 2010: 69). Selain mengembangkan pemikirannya pada pendekatan arkeologi, Foucault juga mengembangkan kajiannya ke arah genealogi (silsilah) kekuasaan. Dalam esai terkenalnya Nietzsche, Genealogy, History Foucault menyatakan setiap helai sejarah terdiri atas hubungan perang, pertempuran, dan perjuangan yang mengerahkan kekuatan paksaan terhadap satu sama lain. Ia berpendapat bahwa keberhasilan sejarah merupakan milik mereka yang mampu merebut aturannya (Edkins-Williams, 2010: 211). Genealogi Foucault memfokuskan asal usul perkembangan rezim-rezim kekuasaan/ilmu pengetahuan (Ritzer, 2010: 78). Bagi Foucault pengetahuan selalu berkaitan dengan kekuasaan. Keduanya saling menguatkan satu sama lain, misalnya berbekal pengetahuan psikolog seseorang mempunyai kekuasaan untuk menghakimi kondisi mental orang lain (Foucault, 2002: 23). Pengetahuan terbentuk di dalam praktik kekuasaan dan membangun perkembangan, perbaikan, dan profilerasi teknik baru kekuasaan (Barker, 2004: 83). Foucault mengatakan bahwa pola hubungan kekuasaan tidak berasal dari penguasa atau negara, kekuasaan tidak dapat dikonseptualisasikan sebagai milik individu atau kelas, dan kekuasaan bukanlah komoditas yang dapat diperoleh atau diraih. Kekuasaan bersifat jaringan (Sarup, 2011: 112) menyebar luas ke mana- 44 mana (Foucault, 2007: xxxvii). Foucault melihat fakta bahwa pelaksanaan kekuasaan itu sendiri menciptakan dan melahirkan objek pengetahuan yang baru. Sebaliknya, pengetahuan menciptakan pengaruh-pengaruh kekuasaan. Tanpa pengetahuan kekuasaan tidak mungkin dijalankan pengetahuan tidak mungkin tidak melahirkan kekuasaan (Sarup, 2011: 113). Bagi Foucault, antara pengetahuan dan kebenaran, pengetahuan dan fakta selalu ada hubungan yang sistematik. Oleh sebab itu, perbincangan tentang epistemologi atau ilmu pengetahuan menjadi sesuatu yang tidak pernah selesai (Foucault, 2002: 17). Dengan kekuasaan dan pengetahuan, kelas-kelas berkuasa akan melakukan hegemoni terhadap kaum-kaum yang lemah. Hal tersebut sejalan dengan teori hegemoni yang dikemukakan oleh Antonio Gramsci, seorang pemikir kritis yang lahir 22 Januari 1891 di Ales Sardinia dan meninggal di Roma 27 April 1937. Gramsci dikenal melalui buku dengan judul Selection from the Prison Notebooks, yang merupakan terjemahan kumpulan catatan harian yang ditulis dalam penjara antara tahun 1929 dan 1935. Pemikiran Gramsci yang mula-mula dituliskan di penjara adalah tentang peran intelektual dengan konsep organic intellectual. Pemikiran tersebut saat itu dan selanjutnya memberikan inspirasi tentang pemihakan dan peran kaum intelektual dalam transformasi sosial. Kemudian, beberapa pemikiran konsepsional lainnya mulai dikembangkan, seperti hegemony, negara, dan civil society yang dianggap sebagai pemikiran brilian sampai saat ini (Simon, 2004: vii-xii). Pemikiran Gramsci tentang hegemoni dalam kaitannya dengan pemikirannya tentang civil society banyak menjadi acuan bagi pemikiran alternatif penguatan civil society yang menjadi wacana dominan dalam perdebatan demokratisasi saat 45 ini. Analisis Gramsci tentang civil society merupakan bagian dari analisisnya terhadap struktur dan sistem negara dalam kapitalisme dan melanggengkannya melalui proses hegemoni. Bagi Gramsci, proses hegemoni terjadi apabila cara hidup, cara berpikir dan cara pandang masyarakat terutama kaum proletar telah meniru dan menerima cara berpikir dan gaya hidup kelompok elite yang mendominasi dan mengeksploitasi mereka. Dengan kata lain, ideologi dari golongan yang mendominasi telah diambil alih secara sukarela oleh yang didominasi (Simon, 2004: xviii-xix). Menurut Gramcsi, hegemoni adalah situasi blok historis dari suatu kelas yang berkuasa menjalankan otoritas sosial dan kepemimpinan atas kelas-kelas subordinat melalui kombinasi antara kekuatan dan konsensus (Barker, 2004: 42). Gramsci menegaskan, bahwa praktik hegemoni di arena klasik rezim parlementer dicirikan dengan kombinasi kekuatan dan konsensus yang secara timbal balik saling mengisi tanpa adanya kekuatan yang secara berlebihan memaksakan konsensus. Usaha tersebut adalah untuk memastikan bahwa kekuatan akan tampak hadir berdasarkan konsensus mayoritas yang diekspresikan oleh apa yang disebut dengan organ opini publik, koran, dan asosiasi (Barker, 2004: 62). Hegemoni adalah jenis hubungan kekuatan sosial khusus yang kelompok-kelompok dominannya mengamankan posisi mereka atas hak-hak istimewa dengan cara sebagian besar melalui cara-cara konsensus. Artinya, kelompok dominan memaksakan persetujuan dari kelompok-kelompok yang didominasi dengan cara mengartikulasikan suatu visi politik, suatu ideologi yang mengklaim bisa berbicara untuk semua dan yang bergaung dengan keyakinan yang secara luas dipegang dalam budaya politik populer (Edkins-Williams, 2010: 234). 46 Dalam konteks teori kritis, hegemoni menurut Hartley menekankan pada kelas dominan pada periode historis tertentu untuk menjalankan kepemimpinan sosial budaya dan memelihara kekuasaan mereka terhadap kelas subordinat. Aspek krusial ide hegemoni tidak karena beroperasi memaksa orang melawan keinginan mereka, tetapi ia bekerja dengan memenangkan kesepakatan (consent) yang bisa dimengerti pada kenyataannya sebagai sesuatu yang masuk akal (Hartley, 2010: 130). Dalam hal ini, di mana ada hegemoni di situ pula ada kekuasaan sebagaimana dikemukakan oleh Foucault, bahwa pola hubungan kekuasaan tidak hanya berasal dari penguasa atau negara, tetapi bersifat jaringan. Foucault juga melihat fakta bahwa pelaksanaan kekuasaan melahirkan objek pengetahuan yang baru. Sebaliknya pengetahuan menciptakan pengaruh-pengaruh kekuasaan (Saruf, 2011: 12-13). Dalam penelitian ini pemikiran hegemoni dapat dipahami adanya hegemoni melalui kebijakan pemerintah yang mendapat perlawanan dari masyarakat. Namun demikian, berbagai upaya konsensus terus dilakukan sehingga menghasilkan kesepakatan yang pada dasarnya tetap dimenangkan oleh pemerintah. Hegemoni pemerintah terhadap masyarakat tidak terlepas dari pemikiran Foucault dalam teori diskursus kekuasaan dan pengetahuan. Teori diskursus kekuasaan dan pengetahuan digunakan untuk menganalisis diskursus atau pernyataan-pernyataan pergulatan pengelolaan daya tarik wisata warisan budaya Tanah Lot yang disampaikan oleh pemerintah dan masyarakat melalui dialog dan media massa. Diskursus yang berkembang, baik di pemerintah maupun masyarakat, membentuk pengetahuan baru tentang pergulatan pengelolaan warisan budaya Tanah Lot yang dapat berpengaruh terhadap 47 kekuasaan pemerintah sebagai penentu kebijakan dan kekuasaan masyarakat sebagai pemilik warisan budaya. Teori diskursus kekuasaan dan pengetahuan sangat sesuai digunakan untuk memahami ideologi dan makna yang terkandung di balik pergulatan pengelolaan daya tarik wisata warisan budaya Tanah Lot. 2.3.3 Teori Tindakan Komunikatif Teori tindakan komunikatif dikemukakan oleh Jurgen Habermas seorang filsuf kontemporer dan pembaru teori kritis generasi kedua Mazhab Frangfurk yang lahir di Dusseldorf Jerman pada 10 Juni 1929 (Edkins-Williams, 2010: 247). Pemikiran Habermas yang paling dikenal adalah sebuah konsep ruang publik yang dilandasi teori dan praktik “tindakan komunikatif” atau diberikan label teori kritis, yaitu teori yang memihak praksis emansipatoris masyarakat. Bagi Habermas, tugas teori tindakan komunikasi (kritis) di tengah-tengah filsafat dan ilmu-ilmu sosial adalah mengambil tindakan kritis, baik terhadap ilmu-ilmu sosial dewasa ini maupun keadaan sosial yang dilukiskan. Ia kritis terhadap masyarakat maju sejauh mereka tidak sepenuhnya memanfaatkan kemampuan belajar kebudayaan yang tersedia bagi mereka itu, tetapi membenamkan diri ke dalam sebuah pertumbuhan kompleksitas yang tidak terkendali. Ia juga kritis terhadap pendekatan ilmiah yang tidak mampu menjelaskan paradoks rasionalisasi kemasyarakatan karena pendekatan itu membuat sistem sosial yang kompleks sebagai objek mereka hanya dari salah satu sudut pandang abstrak, tanpa memperhitungkan asal usul historis bidang objek mereka (Hardiman, 2009:11). Habermas dengan paham emansipatorisnya juga memperlihatkan bahwa tujuan teori kritis membantu masyarakat mencapai otonomi dan kedewasaan. 48 Otonomi kolektif semacam itu berhubungan dengan pencapaian konsensus bebas dominasi. Habermas mengandaikan bahwa konsensus dapat dicapai dalam masyarakat yang cerdas (reflektif) yang berhasil melakukan komunikasi yang memuaskan. Dalam komunikasi para partisipan membuat lawan bicaranya memahami maksudnya dengan berusaha mencapai apa yang disebut Habermas “klaim-klaim kesahihan” (validity claims), yakni kebenaran, ketepatan, kejujuran, dan komprehensibilitas. Klaim-klaim inilah yang dipandang rasional dan akan diterima tanpa paksaan sebagai hasil konsensus. (Hardiman, 2009:17-18). Menurut Habermas dalam tindakan komunikatif, pihak-pihak yang berbicara beranggapan bahwa mereka memaknai hal yang sama dengan ekspresi tertentu, apa yang dikatakan bisa dipahami pendengar, proposisi mereka adalah benar, masingmasing bersikap tulus dan siap menjalankan kewajiban demi pencapaian konsensus, dan mereka datang untuk memahami satu sama lain melalui proses dialog di mana mereka saling mendengarkan. Tindakan komunikatif ini bisa dimungkinkan karena lawan bicara memiliki lifeword berupa asumsi latar belakang yang sama, suatu cakrawala berupa kepercayaan bersama dan tidak dipermasalahkan dalam konteks solidaritas sosial (Edkins-Williams, 2010: 248-249). Dalam penelitian ini teori tindakan komunikatif Habermas digunakan untuk memahami pergulatan pengelolaan daya tarik wisata warisan budaya Tanah Lot melalui tindakan interaktif yang dilakukan oleh pemerintah, CV Aryjasa Wisata, dan masyarakat. Tindakan itu dilakukan secara cerdas oleh para pihak, dengan duduk bersama dan berdialog sehingga menghasilkan suatu kesepakatan bersama. 49 2.4 Model Penelitian ini dapat digambarkan dalam Gambar 2.1 berikut. CV Aryjasa Wisata Pemerintah Kabupaten Tabanan Masyarakat Beraban Pengelolaan daya tarik wisata warisan budaya Tanah Lot Pergulatan pengelolaan daya tarik wisata warisan budaya Tanah Lot Dinamika pergulatan pengelolaan daya tarik wisata warisan budaya Tanah Lot di Desa Beraban, Kecamatan Kediri, Tabanan Ideologi yang melatari pergulatan pengelolaan daya tarik wisata warisan budaya Tanah Lot di Desa Beraban, Kecamatan Kediri, Tabanan Makna pergulatan pengelolaan daya rarik wisata warisan budaya Tanah Lot di Desa Beraban, Kecamatan Kediri, Tabanan Teori praktik, Kekuasaan dan Pengetahuan, Tindakan Komunikatif, Temuan penelitian Gambar 2.1 Model Penelitian Keterangan : Hubungan dipengaruhi Hubungan saling memengaruhi dalam pergulatan 50 Model penelitian pada gambar di atas mengimplementasikan kerangka berpikir pada hubungan saling memengaruhi (interaktif) antara Pemerintah Kabupaten Tabanan (penguasa), CV Aryjasa Wisata (pengusaha), dan masyarakat Beraban (Desa Pakraman Beraban) dalam pengelolaan daya tarik wisata warisan budaya Tanah Lot. Pengelolaan daya tarik wisata warisan budaya Tanah Lot oleh Pemerintah Kabupaten Tabanan, CV Aryjasa Wisata, dan Desa Pakraman Beraban yang dilakukan sejak tahun 2000 telah menimbulkan ketidakpuasan masyarakat Beraban. Pada tahun 2011, masyarakat menginginkan pengelolaan daya tarik wisata warisan budaya Tanah Lot hanya antara pemerintah dan desa pakraman atau tanpa melibatkan CV Aryjasa Wisata. Akibatnya, pengelolaan daya tarik wisata warisan budaya Tanah Lot menjadi ajang pergulatan antara Pemerintah Kabupaten Tabanan, CV Aryjasa Wisata, dan Desa Pakraman Beraban. Pergulatan pengelolaan daya tarik wisata Tanah Lot menunjukkan dinamika yang sangat kompleks tidak hanya menyangkut sistem pengelolaan, tetapi juga menyangkut pembagian retribusi, kedudukan manajer operasional, kepemilikan warisan budaya, dan kekuasaan. Pergulatan pengelolaan daya tarik wisata warisan budaya Tanah Lot juga tidak lepas dari ideologi yang melatarinya. Para pihak yang terlibat dalam pergulatan berupaya untuk mempertahankan ideologinya masing-masing. Namun demikian, pergulatan pengelolaan daya tarik wisata warisan budaya Tanah Lot dapat diselesaikan melalui dialog interaktif para pihak untuk mencapai kesepakatan sehingga pergulatan memberikan makna bagi kehidupan bersama. Berkenaan dengan hal tersebut, ada tiga permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini, yaitu (1) dinamika pergulatan pengelolaan daya tarik wisata warisan budaya Tanah Lot, (2) ideologi yang melatari pergulatan pengelolaan daya tarik 51 wisata warisan budaya Tanah Lot, dan (3) makna pergulatan pengelolaan daya tarik wisata warisan budaya Tanah Lot. Permasalahan penelitian ini dibahas dengan menggunakan teori-teori postmodern berupa teori praktik, teori diskursus kekuasaan dan pengetahuan, dan teori tindakan komunikatif. Hasil penelitian yang diperoleh dari permasalahan yang dibahas dirumuskan sebagai temuan penelitian. Temuan penelitian ini dapat memberikan manfaat bagi pemerintah, pengusaha, dan masyarakat.