BAB II LANDASAN TEORI

advertisement
 8
BAB II
LANDASAN TEORI
Pada bab ini diuraikan teori-teori yang dapat menjadi dasar dan mendukung
penelitian ilmiah ini. Teori yang dibahas juga mencakup teori mengenai analisis
strategi; manajemen strategi; pemasaran; segmentasi, penentuan target, dan
penempatan posisi; baur pemasaran; customer relationship management (manajemen
hubungan pelanggan); serta merek.
2. 1. Analisis Strategi
Pada dasarnya, strategi merupakan sebuah kata yang dapat digunakan untuk
mendeskripsikan setiap keputusan atau tindakan yang diambil saat ini sebagai upaya
untuk mencapai target yang telah ditetapkan. Mengacu pada Walker, Mullins, dan
Larreche (2008, 8), strategi merupakan sebuah pola dasar dari tujuan saat ini dan
yang sedang direncanakan, pemberdayaan sumber daya, dan interaksi dari sebuah
perusahaan dengan pasar, kompetitor, dan faktor lingkungan lainnya. Strategi yang
dibuat dengan baik terdiri dari lima komponen yaitu ruang lingkup, tujuan,
pengalokasian sumber daya, identifikasi atas keunggulan bersaing, dan sinergi.
Anthony dan Govindarajan (2007, 56) mengungkapkan bahwa meskipun ada banyak
definisi strategi yang berbeda-beda, namun ada kesepakatan umum bahwa strategi
9
mendeskripsikan arah umum yang hendak dicapai perusahaan sesuai rencana awal
untuk memperoleh tujuannya.
Menurut Jacobides (2010, 77), membuat strategi bukanlah hal yang mudah.
Karakteristik lingkungan bisnis saat ini dapat dikatakan sebagai situasi yang belum
pernah terjadi sebelumnya, tidak dapat diberhentikan begitu saja, dan rupanya tidak
dapat ditinggalkan begitu saja. Pada dasarnya, sifat dari sebuah industri terus
mengalami perubahan dengan sangat cepat dan perusahaan melihat perubahan dari
pesaingnya, penyedia barangnya, dan juga pelanggannya pada tingkat kecepatan yang
sangat tinggi.
Pada saat strategi akan dibuat, manajemen perusahaan harus dapat melakukan
analisis terhadap industri sesuai dengan perkembangan yang terjadi. Kemudian,
dilakukan penilaian atas kelebihan dan kekurangan dari kompetitor perusahaan.
Berdasarkan pengetahuan mengenai analisis industri dan analisis persaingan yang
dimiliki, selanjutnya manajemen perusahaan akan menciptakan strategi posisi yang
berbeda dari pesaingnya, dimana perusahaan dapat memiliki kinerja yang lebih baik
dari pesaingnya tersebut dengan menciptakan keunggulan bersaing.
2.1.1 Analisis PESTEL
Peningkatan turbulensi yang terjadi di pasar dan industri secara global
mendorong perusahaan untuk membuat pemeriksaan eksternal, karena telah
menjadi bagian yang vital dari proses strategi manajemen (David, 2003, 113).
Tujuan diadakannya pemeriksaan eksternal adalah untuk membuat daftar
kesempatan terbatas yang dapat memberi keuntungan bagi perusahaan dan
juga ancaman yang harus dihindari sehingga perusahaan dapat memberi
10
tanggapan dengan menciptakan strategi untuk memperoleh keuntungan dari
kesempatan eksternal ataupun mengurangi dampak dari ancaman yang
mungkin terjadi.
Secara rinci, Walker, Mullins, dan Larreche (2008, 86-92)
menjelaskan
bahwa
pemeriksaan
eksternal
dapat
dilakukan
dengan
menganalisa enam buah faktor eksternal yaitu faktor demografi, faktor sosial
budaya, faktor ekonomi, faktor teknologi, faktor regulasi, dan faktor
lingkungan. Faktor demografi yang dapat memberi pengaruh besar pada
pemasar adalah umur dari populasi, dampak AIDS pada populasi, tingkat
pertumbuhan populasi, peningkatan imigrasi, dan penurunan tingkat
pernikahan. Sedangkan dari segi sosial budaya, tren yang terjadi mengarah
pada hal yang berhubungan dengan nilai, sikap, dan perilaku individu pada
sebuah lingkungan masyarakat, seperti etika bisnis dan kesehatan.
Faktor ekonomi merupakan faktor yang sulit untuk dipengaruhi,
seperti perubahan pendapatan individu, perubahan tingkat suku bunga,
perubahan pengeluaran pemerintah atas hasil kebijakan fiskal pemerintah, dan
pengeluaran konsumen. Pada komponen tren secara makro, tren politik dan
legal, khususnya yang menghasilkan regulasi atau deregulasi dapat
memberikan dampak yang kuat pada pasar. Inovasi dari teknologi dapat
menciptakan
sebuah
pasar
baru,
seperti
perkembangan
teknologi
telekomunikasi dan komputer mendorong pertumbuhan yang sangat pesat
pada industri telekomunikasi, komputer, dan hiburan. Sedangkan untuk faktor
11
lingkungan, kesempatan bisnis sedang mengarah pada produk yang ramah
lingkungan.
2.1.2 Analisis SWOT (Strength, Weaknesses, Opportunities, Threats)
Analisis SWOT, salah satu alat yang sangat menguntungkan dan
esensial bagi setiap bisnis, apapun jenis dan ukurannya, didefiniskan sebagai
penilaian sistematis dan terperinci mengenai seluruh faktor internal dan
eksternal yang dapat mempengaruhi sebuah bisnis, pada sebuah titik waktu
tertentu. Hal ini memberikan arti bahwa faktor yang diidentifikasi oleh
analisis SWOT dapat terus berubah setiap waktu (Healy, 2008, 23). Solomon,
Marshall, dan Stuart (2008, 44) berpendapat bahwa analisis SWOT
memampukan sebuah perusahaan untuk membangun strategi yang dapat
mendukung perusahaan melakukan yang terbaik dalam memanfaatkan
kesempatan untuk pertumbuhan dan pada saat yang sama menghindari
ancaman dari eksternal yang dapat membahayakan penjualan dan keuntungan
perusahaan.
Kekuatan merupakan faktor atau kompetensi, yang dapat membantu
menciptakan
kesempatan,
berkontribusi
untuk
mencapai
tujuan
dan
mengurangi pengaruh dari ancaman atau menghilangkan semuanya (Healy,
2008, 23). Sumber dari kekuatan adalah sesuatu yang dapat dikerjakan dengan
baik oleh perusahaan atau sebuah atribut yang dapat meningkatkan persaingan
dalam pasar, seperti keahlian atau kemampuan yang penting dalam bersaing,
asset fisik yang bernilai, asset sumber daya manusia dan modal intelektual
yang bernilai, asset perusahaan yang bernilai, asset lain yang tidak berwujud
12
dan memiliki nilai, sebuah pencapaian atau atribut yang menempatkan
perusahaan pada sebuah posisi yang unggul dalam pasar, dan aliansi
persaingan yang bernilai (Thomson, Strickland, dan Gamble, 2010, 106).
Kelemahan merupakan faktor yang dapat mengurangi kemampuan
untuk mencapai kesempatan, mengurangi kemampuan untuk memperoleh
tujuan, atau memperbesar kemungkinan munculnya ancaman (Healy, 2008,
24). Thomson, Strickland, dan
Gamble (2010, 111) menyatakan bahwa
sumber dari kelemahan adalah sesuatu yang dijalankan dengan kurang baik
oleh perusahaan atau sebuah kondisi yang menempatkan perusahaan pada
posisi yang tidak baik di pasar, seperti keahlian dan modal intelektual yang
tidak baik; kekurangan asset fisik, organisasi, dan juga yang tidak berwujud
yang penting untuk bersaing; kemampuan bersaingan yang tidak baik pada
area kunci.
Thomson, Strickland, dan Gamble (2010, 111) berpendapat bahwa
kesempatan dalam sebuah pasar merupakan faktor besar dalam membentuk
strategi perusahaan, karena manajer tidak dapat menentukan strategi yang
tepat pada situasi perusahaan tanpa mengidentifikasi kesempatan pasar dan
menilai tingkat pertumbuhan dan potensi laba terlebih dahulu. Kesempatan
merupakan faktor yang dapat membantu mengurangi biaya atau menambah
besar pengawasan atas input, membantu meningkatkan proses melalui
teknologi yang lebih baik atau meningkatkan konsumen melalui pasar baru,
meningkatkan jumlah atau variasi dari hasil yaitu jumlah penjualan (Healy,
2008, 25).
13
Berbagai faktor dalam lingkungan eksternal perusahaan dapat menjadi
ancaman bagi keuntungan, kemampuan bersaing, dan prospek pertumbuhan,
seperti kehadiran teknologi yang lebih murah atau lebih baik, produk baru
atau yang telah diperbaiki oleh pesaing diperkenalkan ke pasar, masuknya
pesaing asing dengan biaya yang lebih murah ke dalam pasar perusahaan,
regulasi baru yang lebih memberatkan perusahaan dibanding pesaingnya,
rentan terhadap peningkatan tingkat bunga, potensi terjadinya hostile
takeover, perubahan demografi yang tidak diharapkan, perubahan dalam
tingkat pertukaran asing yang merugikan, pergolakan politik pada negara
asing dimana perusahaan memiliki fasilitas di negara tersebut (Thomson,
Strickland, dan Gambel, 2010, 113).
2.1.3 Five Competitive Forces
Pada dasarnya, strategi dibuat agar perusahaan dapat bertahan dan
mengikuti persaingan yang ada dalam sebuah industri. Sering kali persaingan
yang dievaluasi terlalu sempit, yaitu hanya dari rival, namun persaingan juga
dapat dilihat dari empat sisi lain yaitu konsumen, penyedia barang,
perusahaan baru, dan barang substitusi. Persaingan yang diperluas dapat
menentukan struktur industri dan membentuk interaksi persaingan dalam
industri tersebut (Porter, 2008, 79).
Pada saat perusahaan dapat mengerti kekuatan persaingan dan
mengetahui faktor-faktor yang menjadi penyebabnya, maka dapat mengerti
sumber keuntungan industri saat ini dan juga memberikan sebuah kerangka
untuk mengantisipasi dan mempengaruhi persaingan. Perusahaan juga harus
14
mengerti struktur industri karena penting untuk menentukan posisi dalam
persaingan (Porter, 2008, 80). Lebih lanjut, Anthony dan Govindarajan (2007,
68) menyatakan bahwa melalui observasi analisa indutri, diketahui bahwa
semakin kuat lima kekuatan persaingan, maka semakin rendah keuntungan
yang dapat diperoleh dalam industri, strategi kunci unit bisnis dalam sebuah
industri berbeda dengan industri lain sesuai kekuatan dari lima kekuatan
persaingan, dan pemahaman yang mendalam mengenai industri dapat
membantu perusahaan menyusun strategi yang efektif.
Threat of
New
Entrant
Bargaining
Power of
Suppliers
Rivalry
among
Competitor
Bargaining
Power of
Buyers
Threat of
Substitute
Product or
Services
Gambar 2.1 Five Competitive Forces
Sumber: Porter (2008, 80)
2.1.3.1 Threats of New Entrants (Ancaman dari pendatang baru)
Pada dasarnya, pendatang baru dalam sebuah industri
membawa kapasitas baru dan keinginan untuk memperbesar pangsa
pasar dengan memberikan tekanan pada harga, biaya, dan tingkat
15
investasi yang dibutuhkan untuk dapat bersaing. Pendatang baru
memberikan ancaman pada keuntungan yang tersedia dalam industri,
sehingga bila terdapat ancaman dalam tingkat yang tinggi, maka
perusahaan yang sudah berada pada industri tersebut harus dapat
menurunkan harga atau meningkatkan investasi untuk menghilangkan
pesaing baru.
Faktor utama yang mempengaruhi tingkat ancaman adalah
barriers to entry (hambatan untuk memasuki sebuah industri) yang
ditentukan oleh skala ekonomis dari sisi penyedia barang, skala
manfaat dari sisi permintaan, biaya yang diperlukan oleh konsumen
untuk beralih ke produk lain, modal yang dibutuhkan, keuntungan
perusahaan yang sudah ada dalam industri dari segi ukuran, akses
yang tidak sama ke jalur distribusi, dan kebijakan pemerintah (Porter,
2008, 80).
2.1.3.2 The Power of Supplier (Kekuatan penyedia barang)
Kekuatan penyedia barang dapat memberikan keuntungan
melalui penetapan harga yang lebih tinggi, pembatasan kualitas jasa,
atau pengalihan biaya ke pihak lain yang terdapat dalam industri.
Kelompok penyedia barang memiliki kekuatan apabila lebih
terkonsentrasi daripada industri, tidak terlalu tergantung pada industri
untuk pendapatannya, ada biaya untuk beralih antar penyedia barang,
16
produk yang ditawarkan berbeda, dan tidak ada substitusi untuk
produk yang ditawarkan (Porter, 2008, 82).
2.1.3.3 The Power of Buyer (Kekuatan Pembeli)
Kekuatan konsumen dapat memberikan keuntungan melalui
penetapan harga yang lebih rendah dan permintaan untuk kualitas
barang dan jasa yang lebih baik. Pembeli memiliki kekuatan bila dapat
melakukan negosiasi, terlebih bila mereka berada dalam industri
dengan tingkat sensitifitas harga yang tinggi dan dapat memberi
tekanan untuk memperoleh penurunan harga. Sebuah kelompok
pembeli memiliki kekuatan untuk melakukan negosiasi apabila ada
sedikit pembeli atau pembelian yang dilakukan oleh masing-masing
pembeli tergolong dalam jumlah yang sangat banyak, produk industri
tidak berbeda, dan biaya untuk beralih ke vendor lain tergolong kecil
(Porter, 2008, 83).
2.1.3.4 Threat of Substitute (Ancaman dari barang substitusi)
Substitusi memberikan fungsi yang sama dalam bentuk yang
berbeda dan ketika ancaman akan adanya substitusi tinggi, maka
keuntungan industri akan mengalami penurunan, karena akan memberi
batas pada penetapan harga. Apabila industri tidak dapat membedakan
diri dalam kinerja produk, pemasaran, atau hal lainnya, maka industri
akan mengalami penurunan laba atau keuntungan. Ancaman dari
17
substitusi produk tergolong tinggi apabila menawarkan harga yang
menarik bagi konsumen bila dibandingkan dengan produk sebelumnya
dan biaya yang harus dikeluarkan oleh konsumen untuk beralih ke
produk substitusi tergolong rendah (Porter, 2008, 84).
2.1.3.5 Rivalry among Competitor (Persaingan diantara kompetitor)
Persaingan diantara kompetitor dapat terjadi dalam berbagai
bentuk seperti diskon harga, pengenalan produk baru, kampanye iklan,
dan peningkatan pelayanan. Persaingan yang tinggi dapat membatasi
keuntungan yang bisa dihasilkan dari industri tersebut. Tingkat
intensitas persaingan dapat ditentukan dari banyak kompetitor dan
masing-masing memiliki kekuatan yang sama, pertumbuhan industri
rendah, hambatan untuk keluar dari industri tergolong tinggi, dan
pesaing memiliki komitmen yang tinggi untuk terus berada dalam
industri (Porter, 2008, 85).
2.2 Manajemen Strategi
Strategi perusahaan adalah rencana tindakan dari manajemen untuk
menjalankan bisnis dan mengelola operasi, yang mencakup pergerakan sesuai
persaingan dan pendekatan bisnis yang digunakan oleh pihak manajemen untuk
mengembangkan bisnis, menarik perhatian dan menyenangkan konsumen, bersaing
18
dengan sukses, menjalankan operasi dan memperoleh tingkat kinerja perusahaan yang
sudah ditargetkan (Thomson, Strickland, dan Gamble, 2010, 6). Menurut Anthony
dan Govindarajan (2007, 56), setiap perusahan yang terorganisir dengan baik
memiliki satu atau lebih strategi meskipun tidak dinyatakan secara eksplisit.
Perusahaan membuat strateginya dengan mencocokan kompetensi inti yang dimiliki
dengan kesempatan yang tersedia pada industri. Strategi dapat ditemukan pada dua
tingkat perusahaan, corporate level strategy (strategi untuk perusahaan secara
keseluruhan) dan business unit strategy (strategi untuk unit bisnis dalam perusahaan).
2.2.1 Strategi pada tingkat perusahaan
Strategi pada tingkat perusahaan mengenai upaya perusahaan untuk
menjadi benar di antara gabungan berbagai bisnis, mencakup dimana
perusahaan akan bersaing dan bagaimana persaingan pada industri tersebut
(Anthony dan Govindarajan, 2007, 58). Walker, Mullins, dan Larreche (2008,
10) memaparkan bahwa pada tingkat perusahaan, keputusan mengenai
lingkup perusahaan dan pemberdayaan sumber daya di antara divisi atau
bisnis adalah fokus utama dari strategi perusahaan. Upaya yang dilakukan
untuk membangun dan mempertahankan kompetensi perusahaan yang
membedakan dari perusahaan lain pada tingkat perusahaan fokus pada
mendapatkan sumber daya manusia, keuangan dan teknologi yang superior,
merancang struktur organisasi yang efektif, dan mencari sinergi antar berbagai
bisnis perusahaan.
19
2.2.2 Strategi pada tingkat unit bisnis
Menurut Thomson, Strickland, dan Gamble (2010, 39), strategi unit
bisnis difokuskan pada tindakan dan pendekatan yang digunakan untuk dapat
menghasilkan kesuksesan kinerja dari sebuah bagian bisnis. Selain
berkonsentrasi pada strategi unit bisnis, manajer yang bertanggung jawab juga
memiliki dua buah strategi lain yang berhubungan yaitu melihat strategi dari
bagian yang berada di bawahnya untuk memastikan dan menyesuaikan
dengan keseluruhan strategi bisnis dan juga memperoleh persetujuan strategi
bisnis dari pihak yang berada di bagian dewan komisaris.
Walker, Mullins, dan Larreche (2008, 10) berpendapat bahwa pada
tingkat unit bisnis, strategi difokuskan pada bagaimana unit bisnis bersaing
dalam industri dengan isu utama adalah mengenai keunggulan bersaing yang
dapat dipertahankan. Pendapat tersebut diperkuat oleh Anthony dan
Govindarajan (2007, 66) yang menyatakan bahwa setiap unit bisnis harus
memiliki keunggulan bersaing untuk mencapai misinya. Berdasarkan hal
tersebut, muncul tiga pertanyaan yang dianggap memiliki hubungan dalam
membangun keunggulan bersaingan unit bisnis, yaitu mengenai struktur
industri dari unit bisnis, cara unit bisnis memanfaatkan struktur industri
tersebut, dan dasar yang akan dijadikan sebagai keunggulan bersaing dari unit
bisnis.
20
2.2.2.1 Generic Competitive Advantage Strategy
Porter (1980, dalam Gurau 2007) menjelaskan bahwa ada tiga
buah strategi yang dapat dijadikan dasar keunggulan bersaing sebuah
perusahaan dalam menghadapi persaingan, yaitu cost leadership,
differentiation, dan focus. Cost leadership adalah strategi dimana
perusahaan dapat memproduksi dengan biaya yang lebih rendah
daripada pesaing lainnya yang berdampak pada kemampuan lebih
yang dimiliki perusahaan untuk mengawasi laba dan pangsa pasar
karena perusahaan mampu menetapkan harga yang lebih menarik bagi
konsumen dibanding pesaing lainnya. Perusahaan memiliki target
konsumen yang memiliki kebutuhan dasar yang sederhana dengan
kualitas barang dan jasa yang tidak terlalu tinggi.
Menciptakan
differentiation
adalah
kunci
dari
strategi
pemasaran dan perusahaan melakukan berbagai upaya termasuk
sumber daya manusia dan keuangan untuk dapat menghasilkan barang
atau jasa yang berbeda bagi konsumen (Soberman, 2003, 130).
Differentiation dapat dicapai dengan dasar keahlian atau kompetensi
yang dimiliki perusahaan yang menjadi keunggulan bersaing bila
dibandingkan dengan kompetitor, seperti kualitas barang dan jasa yang
baik atau membentuk proposi pasar yang unik. Dengan pendekatan ini,
perusahaan dapat menetapkan harga premium, sehingga dapat
memperoleh
laba
yang
lebih
besar
dengan
harapan
dapat
meningkatkan kesetiaan konsumen sehingga secara tidak langsung
21
membentuk halangan bagi pesaing lain yang ingin masuk ke dalam
pasar (Porter, 1980, dalam Gurau 2007).
Focus merupakan strategi perusahaan yang menekankan upaya
pada satu atau lebih segmen pasar yang kecil, sehingga perusahaan
mampu membangun pengetahuan yang lebih dalam mengenai segmen
yang ada, dan juga menciptakan halangan untuk masuk dengan
reputasi yang dimiliki. Perusahaan juga harus dapat memiliki keahlian
spesialisasi yang tinggi dalam memenuhi kepuasan konsumen dalam
pasar ini karena memiliki kebutuhan dan keinginan yang spesifik
(Porter, 1980, dalam Gurau 2007).
2.2.2.2 Growth Strategies
Sering kali, gabungan penjualan dan laba dari unit bisnis
perusahaan dan produk di pasar tidak memenuhi tujuan pertumbuhan
dan keuntungan jangka panjang perusahaan. Terdapat perbedaan
antara apa yang diharapkan perusahaan apabila situasi saat ini tetap
dibiarkan berlanjut dan apa yang sebenarnya diharapkan terjadi. Oleh
karena itu, perusahaan harus mengambil keputusan mengenai sebuah
strategi untuk mengembangkan perusahaan dan menghasilkan
pertumbuhan pada masa mendatang (Walker, Mullins, dan Larreche,
2008, 41).
Ada empat strategi yang dapat diterapkan oleh perusahaan.
Pertama, market penetration (penetrasi pasar) yang bertujuan untuk
22
meningkatkan pangsa pasar untuk produk atau jasa yang sudah ada
saat ini pada pasar saat ini melalui upaya pemasaran yang lebih besar.
Penetrasi pasar mencakup meningkatkan jumlah penjual perorangan,
meningkatkan
pengeluaran
untuk
iklan,
menawarkan
promosi
penjualan yang lebih luas, dan meningkatkan upaya untuk publikasi
(David, 2003, 165). Walker, Mullins, dan Larreche (2008, 42)
menyatakan
bahwa
meskipun
perusahaan
sudah
memperoleh
pendapatan dari produk yang sudah ada di pasar saat ini, peningkatan
pertumbuhan dapat terjadi dengan membuat konsumen saat ini
menjadi lebih setia dan lebih fokus pada pembelian mereka,
menggunakan barang dan jasa dalam jumlah yang lebih banyak, lebih
sering, atau menggunakannya dengan cara yang baru.
Kedua, market development (pengembangan pasar), strategi
memasarkan produk yang sudah ada, dengan modifikasi kepada
konsumen di area pemasaran yang berhubungan dengan menambah
jalur distribusi atau merubah konten iklan dan promosi (Pearce and
Robinson, 2007, 206). Menurut Walker, Mullins, dan Larreche (2008,
42), penjualan produk yang sudah ada ke segmen atau negara baru
dapat berupa penciptaan program pemasaran yang ditujukan pada
pihak yang bukan merupakan pengguna atau yang menggunakan
produk pada saat tertentu saja. David (2003, 166) mengutarakan
bahwa strategi ini dapat menjadi strategi yang efektif untuk diterapkan
pada saat ada jalur distribusi baru yang dapat diandalkan, tidak mahal,
23
dan memiliki kualitas yang baik; pada saat perusahaan sukses dengan
apa yang diterapkan dan memiliki sumber daya yang dibutuhkan; pada
saat perusahaan memiliki kelebihan kapasitas produksi, dan pada saat
dasar industri perusahaan mulai menjadi global.
Ketiga,
product
development
(pengembangan
produk),
perusahaan atau unit dapat membuat produk baru untuk pasar yang
sudah ada atau membangun produk baru untuk pasar yang baru
(Wheelen dan Hunger, 2006, 190). Strategi ini meliputi modifikasi
dari produk yang sudah ada yang dapat dipasarkan kepada konsumen
saat ini dan sering kali diadopsi ke daur hidup produk saat ini atau
untuk memperoleh keuntungan dari reputasi atau merek favorit. Ide
dari strategi ini adalah untuk menarik konsumen yang sudah memiliki
kepuasan kepada produk baru sebagai hasil dari pengalaman positif
dengan perusahaan (Pearce and Robinson, 2007, 208). Tujuan utama
dari kebanyakan pengembangan pasar dan produk adalah untuk
mengamankan pertumbuhan jumlah dan laba pada masa depan, karena
semakin cepat perkembangan teknologi dan semakin ketatnya
persaingan global (Walker, Jr., Mullins, and Larreche, 2008, 180).
Terakhir, diversification (diversifikasi). David (2003, 167)
membagi strategi diversifikasi menjadi tiga jenis yaitu concentric
(menambah barang atau jasa yang baru dan berhubungan), horizontal
(menambah barang atau jasa yang baru namun tidak berhubungan
untuk konsumen saat ini), dan conglomerate (menambah barang atau
24
jasa yang baru namun tidak berhubungan). Walker, Mullins, dan
Larreche (2008, 43) menjelaskan bahwa strategi ini memiliki tingkat
risiko yang lebih besar daipada strategi lainnya karena sering kali
mencakup pembelajaran atas sistem operasi yang baru dan harus
berhubungan dengan kelompok konsumen yang tidak dikenal
sebelumnya.
2. 3. Pemasaran
Kotler dan Keller (2009, 45) mendefinisikan pemasaran sebagai sebuah fungsi
organisasi dan satu set proses untuk menciptakan, mengkomunikasikan, dan
menyampaikan nilai kepada konsumen dan untuk menjaga hubungan dengan
konsumen untuk dapat memperoleh manfaat bagi perusahaan dan pihak lain yang
berkaitan dengan perusahaan. Pemasaran merupakan sebuah fungsi organisasi dan
sebuah
proses
gabungan
dalam
menciptakan,
mengkomunikasikan,
dan
menyampaikan nilai kepada konsumen dan untuk menjaga hubungan dengan
konsumen yang pada akhirnya dapat memberikan keuntungan bagi perusahaan dan
seluruh pihak yang terkait dengan perusahaan tersebut (American Marketing
Association, dalam McDaniel et al. 2007, 4).
Quester, McQuiggan, Perreault, McCarthy (2004, 7) menyatakan bahwa
pemasaran terdapat dalam tingkat makro dan mikro, sehingga pemasaran memiliki
dua buah definisi, yaitu sebagai penciptaan dan penyampaian standar kehidupan dan
25
pemasaran memiliki arti yang lebih luas daripada pengiklanan dan penjualan. Dalam
bentuk makro, pemasaran berhubungan dengan keseluruhan sistem produksidistribusi sedangkan pada tingkat mikro, pemasaran berhubungan dengan konsumen
dan perusahaan yang melayani mereka. Definisi tersebut menekankan pada
pentingnya keuntungan dari pertukaran yang dapat memenuhi tujuan dari pihak yang
membeli dan pihak yang menjual ide, barang, dan jasa, baik individu maupun
perusahaan (Kerin, Berkowitz, Hartley, dan Rudelius, 2003, 9).
Solomon, Marshall, dan Stuart (2009, 31) mengungkapkan bahwa ide dasar
dari definisi pemasaran yang rumit adalah memberikan nilai kepada setiap pihak yang
terkena dampak dari sebuah transaksi. Bagian yang penting dari pemasaran adalah
memenuhi kebutuhan yang berbeda dari seluruh pihak yang terkait dengan
perusahaan. Kegiatan pemasaran memiliki peran yang sangat besar dalam
menciptakan kegunaan, yang merupakan keseluruhan manfaat yang diperoleh ketika
pembeli menggunakan barang atau jasa. Pusat dari kegiatan pemasaran, baik kegiatan
yang besar atau kecil, adalah hubungan pertukaran, dimana pembeli mendapatkan
sebuah objek, pelayanan, atau ide yang memuaskan kebutuhannya dan penjual
memperoleh sesuatu yang sesuai dengan nilai tersebut.
2.4
Segmentasi, Penetapan target, dan Penempatan posisi
Kotler dan Keller (2009, 247) menyatakan bahwa pada dasarnya perusahaan
tidak dapat berhubungan dengan seluruh konsumen pada pasar yang besar, luas, dan
26
berbeda-beda. Akan tetapi, perusahaan dapat membagi pasar tersebut menjadi
kelompok konsumen atau segmen dengan perbedaan keinginan dan kebutuhan. Lebih
lanjut dijelaskan bahwa perusahaan harus dapat mengidentifikasi segmen pasar yang
dapat dilayani dengan efektif dan keputusan tersebut membutuhkan pemahaman yang
dalam tentang perilaku konsumen dan pemikiran strategi yang efektif.
Perusahaan selalu menghadapi risiko, seperti segmen pasar yang tidak lagi
sesuai untuk dimasuki perusahaan ataupun ada pesaing yang menyerbu ke dalam
pasar tersebut (Kotler dan Keller, 2009, 268). Jain dan Ramdas (2005, 362)
berargumentasi bahwa untuk dapat bersaing secara efektif pada lingkungan yang
terus berubah dengan cepat, adalah hal yang penting apabila perusahaan dapat
mengurangi waktu dan biaya dengan melakukan penempatan posisi berulang kali,
namun membuat sebuah pendekatan proaktif dalam memposisikan produk.
2.4.1 Segmentasi
Segmen merupakan target pasar memungkinkan untuk dimasuki oleh
perusahaan sehingga perusahaan dapat bersaing dalam pasar tersebut.
Segmentasi menawarkan sebuah perusahaan sebuah kesempatan untuk
mennghasilkan produk yang lebih baik dan sesuai dengan nilai yang menjadi
syarat bagi pembeli. Sehingga segmentasi pasar merupakan proses dalam
menempatkan pembeli dalam pasar sebuah produk menjadi kelompok yang
lebih kecil dimana anggota dalam setiap segmen dapat menunjukkan
tanggapan yang sama atas strategi penempatan posisi dari sebuah produk.
27
Kesamaan dari pembeli dapat dilihat dari jumlah dan frekuensi pembelian,
kesetiaan terhadap sebuah barang, bagaimana produk tersebut digunakan, dan
berbagai pengukuran lainnya (Cravens and Piercy, 2006, 99-100). Menurut
Hooley, Piercy, and Nicoulaud (2008, 206) segmentasi pasar merupakan
mengidentifikasi dasar yang paling produktif untuk membagi sebuah pasar,
mengenali konsumen dalam segmen yang berbeda dan membangun
penjelasan atas segmen tersebut.
Segmentasi pasar memiliki peran kunci dalam strategi pemasaran dari
hampir seluruh organisasi yang sukses dan merupakan alat pemasaran yang
kuat karena beberapa alasan. Alasan penting lainnya adalah hampir seluruh
pasar mencakup kelompok orang atau
kelompok dengan kebutuhan dan
keinginan yang berbeda. Segmentasi pasar membantu pemasar untuk
mengidentifikasi kebutuhan dan keinginan konsumen tersebut. Selain itu,
karena segmen pasar berbeda dalam segi ukuran dan potensi, segmentasi
membantu pengambil keputusan untuk lebih akurat mengetahui tujuan
pemasaran dan mengalokasikan sumber daya dengan lebih baik. Pada
akhirnya, diharapkan kinerja perusahaan dapat dievaluasi dengan lebih baik
McDaniel, Lamb, Hair (2007, 187). Segmentasi pasar meningkatkan orientasi
terhadap konsumen dengan menjaga bisnis memiliki hubungan yang dekat
dengan konsumen sehingga dapat menghasilkan program pemasaran yang
sesuai dengan kebutuhan konsumen (Alber, 2003; Beane dan Dennis, 1987;
Freytag dan Clarke, 2001; dalam Dibb dan Simkin 2009, 376).
28
Menurut Kotler dan Keller (2009, 253), ada empat dasar yang sering
kali digunakan dalam menentukan segmen pada pasar konsumen. Pertama,
geographic segmentation (segmentasi geografis) yang merupakan pembagian
pasar menjadi beberapa unit geografis yang berbeda seperti negara, negara
bagian, regional, kota, dan lain-lain. Kedua, demographic segmentation
(segmentasi demografis) yang merupakan pembagian pasar menjadi
kelompok-kelompok yang didasarkan pada variabel seperti umur, ukuran
keluarga, jenis kelamin, pendapatan, pekerjaan, pendidikan, agama, ras,
generasi, kebangsaan, dan kelas sosial. Variabel dalam segmentasi demografis
sangat popular dengan pemasar karena sering kali dikaitkan dengan kebutuhan
dan keinginan konsumen. Ketiga, psychographic segmentation (segmentasi
psikografis) yang merupakan pembagian menjadi kelompok-kelompok yang
berbeda dengan dasar kepribadian, gaya hidup, atau nilai yang dimiliki.
Keempat, behavioral segmentation (segmentasi keperilakuan) pembagian
pembeli menjadi kelompok-kelompok yang didasarkan pada pengetahuan,
sikap terhadap produk, penggunaan atas produk, dan respon terhadap produk.
2.4.2. Penetapan Target
Target pasar merupakan sebuah kelompok yang terdiri atas orang atau
organisasi, dimana sebuah organisasi merancang, menjalankan, dan
mempertahankan baur pemasaran untuk dapat memenuhi kebutuhan dari
kelompok tersebut, serta juga menghasilkan pertukaran yang memuaskan bagi
29
kedua pihak (McDaniel, Lamb, dan Hair, 2007, 200). Craven dan Piercy
(2006, 100) mengemukakan pendapat bahwa penetapan target pemasaran
mencakup evaluasi dan pemilihan satu atau lebih segmen yang nilai
persyaratannya sesuai dengan kemampuan perusahaan atau organisasi.
Perusahaan tertarik hanya dengan sebagian orang atau organisasi dalam pasar
produk, tergantung dengan bagaimana penetapan target atas pasar tersebut.
Ada tiga strategi umum untuk memilih target pasar. Pertama,
undifferentiated targeting strategy (strategi penetapan pasar yang tidak
dibedakan) yang merupakan pendekatan pemasaran yang melihat pasar
sebagai sebuah pasar besar tanpa pembagian segmen sehingga menggunakan
sebuah baur pemasaran. Kedua, concentrated targeting strategy (strategi
penetapan target sesuai konsentrasi), strategi yang digunakan untuk memilih
sebuah segmen dari pasar sebagai upaya menetapkan target pemasaran.
Ketiga, multisegment targeting strategy (strategi penetapan target untuk
banyak segmen), sebuah strategi yang memilih dua atau lebih segmen pasar
yang sudah terbentuk dan membangun sebuah baur pemasaran baru
(McDaniel, Lamb, Hair, 2007, 201-203).
2.4.3. Penempatan posisi
Penempatan posisi merupakan tanggapan dan sikap konsumen
terhadap merek yang ada di pasar. Ada sebuah penjelasan yang jelas bahwa
penempatan posisi terbentuk dari bagaimana manajer pemasaran ingin target
pasarnya melihat baur pemasaran sehingga dapat membantu manajer mengerti
30
bagaimana
konsumen
menerima
produk
yang
dipasarkan
(Quester,
McQuiggan, Perreault, McCarthy, 2004, 167). Thomadsen (2007, 792)
berpendapat bahwa pada saat melakukan penempatan posisi, manajer
pemasaran harus mengetahui bagaimana pengaruh dari perbedaan produk
terhadap persaingan. Hal ini didukung oleh Hooley, Piercy, and Nicoulaud,
(2008, 206) yang menyatakan bahwa prinsip yang esensial dari penempatan
posisi sesuai persaingan adalah bagaimana konsumen dalam pemasaran yang
berbeda dapat menerima perusahaan, produk, maupun merek yang bersaing.
Konsep dalam menempatkan posisi merupakan keinginan manajemen
untuk memposisikan produk terhadap konsumen dalam target pasar dan
menjadi makna umum yang dimengerti oleh konsumen, dengan relevansi
terhadap kebutuhan dan keinginan konsumen. Konsep dalam menempatkan
posisi yang dapat berupa functional (produk yang dapat membantu
menuntaskan masalah yang dialami konsumen), symbolic (kebutuhan internal
pembeli untuk peran dalam sebuah posisi, keanggotaan sebuah kelompok,
atau identifikasi ego), experiential (menyediakan kesenangan, variasi atau
stimulasi kognitif), harus dapat dihubungkan dengan kebutuhan dan keinginan
konsumen (Craven and Pierce, 179).
31
2.5. Baur Pemasaran
Pemasaran harus dapat dimengerti tidak dalam konteks sebatas melakukan
penjualan, namun memuaskan kebutuhan konsumen (Armstrong dan Kotler, 2007, 5).
Solomon, Marshall, dan Stuart (2009, 51) menjelaskan bahwa pada saat pemasar
harus menentukan jalan yang terbaik untuk memasarkan barang atau jasa sesuai
dengan pertimbangan dan kebutuhan pelanggan, pemasar membutuhkan banyak alat
untuk melakukan analisa. Alat analisa strategi yang diperlukan oleh pemasar adalah
marketing mix (baur pemasaran), yang terdiri dari alat yang digunakan oleh
perusahaan untuk menciptakan respon yang diharapkan dari pelanggan.
Konsep baur pemasaran merupakan ide dasar dari pemasaran dan ilmu
pemasaran membutuhkan klasifikasi yang kuat untuk baur pemasaran, tidak hanya
untuk menstimulasi integrasi dan purification dari ilmu tersebut, tapi juga untuk
pengukuran yang berarti mengenai upaya dan dampak dari baur pemasaran tersebut
(Waterchoot dan Bulte, 1992). Elemen dari baur pemasaran ini dikenal dengan 4P,
yaitu product (produk), price (harga), place (tempat), dan promotion (promosi).
2.5.1 Produk
Armstrong dan Kotler (2007, 199-202) menjelaskan bahwa produk
merupakan segala sesuatu yang dapat ditawarkan ke sebuah pasar untuk
perhatian, pembelian, penggunaan, atau konsumsi yang dapat memuaskan
sebuah keinginan atau kebutuhan. Produk tidak hanya sekedar barang yang
32
dapat dikenali oleh panca indera (dilihat, didengar, dirasakan, diraba, ataupun
dibaui), namun mencakup objek secara fisik, jasa, acara, orang, tempat,
organisasi, ide, ataupun gabungan dari hal tersebut. Produk terbagi dalam dua
kelas, didasarkan pada jenis konsumen yang menggunakannya, yaitu
consumer products (produk konsumen) dan industrial product (produk
industri). Produk konsumen terdiri dari convenience products yaitu barang
dan jasa yang sering kali dibeli oleh pelanggan secara berkala, dengan upaya
dan perbandingan yang minimum, shopping products yaitu barang dan jasa
yang tidak dibeli pelanggan secara berkala, dan pelanggan melakukan
perbandingan pada kualitas, harga, gaya, dan kesesuaian, specialty products
yaitu barang dan jasa dengan karakterisitik yang unik atau identifikasi merek
untuk sebuah kelompok pembeli yang memiliki keinginan untuk membuat
upaya khusus dalam melakukan pembelian, dan unsought products yaitu
produk yang tidak diketahui oleh pelanggan atau diketahui namun tidak
dipikirkan oleh konsumen untuk membelinya.
Pada saat perusahaan membuat strategi untuk produk, harus disadari
bahwa pada kenyataannya, produk memiliki siklus hidup, yang terdiri dari
introduction (pengenalan), growth (pertumbuhan), maturity (dewasa atau
matang), dan decline (penurunan). Konsep siklus hidup dari sebuah produk ini
harus diketahui karena dapat memberi nilai tambah dalam menciptakan
strategi pemasaran (Peter dan Donnely, 2007, 88).
Solomon, Marshall, dan Stuart (2009, 300) menjelaskan bahwa pada
tingkat pengenalan, upaya yang dilakukan adalah agar pembeli mencoba
33
produk baru, penjualan mulai mengalami peningkatan namun dalam tingkat
yang rendah sehingga perusahaan belum dapat memperoleh keuntungan. Pada
tingkat pertumbuhan, penjualan meningkat secara tajam, keuntungan
perusahaan pun meningkat bahkan bisa mencapai tingkat tertinggi. Pada
tingkat kedewasa, penjualan mencapai tingkat tertinggi dan kemudian mulai
menurun secara perlahan, keuntungan perusahaan menipis dan perusahaan
mulai mencari pengguna baru. Pada tahap penurunan, penjualan dan
keuntungan perusahaan akan terus mengalami penurunan dan perusahaan bisa
menurunkan harga.
2.5.2 Harga
Kotler, et al. (2009, 422) menyatakan bahwa harga merupakan elemen
dari baur pemasaran yang menghasilkan pendapatan dan juga menimbulkan
biaya. Melalui harga, terjalin komunikasi antara perusahaan dan pasar
mengenai nilai yang terkandung dari produk atau jasa yang dihasilkan
sehingga perusahaan dapat memposisikan produk atau jasa tersebut kepada
konsumen. Secara tradisional, harga merupakan faktor yang paling
menentukan keputusan pembeli, namun meskipun pada saat sekarang ini ada
faktor lain yang berperan penting, harga tetap menjadi salah satu elemen
penting yang menentukan pangsa pasar dan keuntungan perusahaan,
khususnya di Asia.
Dalam menentukan harga dari sebuah produk, ada beberapa langkah
yang harus dilakukan yaitu menentukan tujuan dari harga yang dapat terdiri
34
dari tiga kategori yaitu orientasi terhadap keuntungan, orientasi terhadap
penjualan, dan status quo; kemudian memperkirakan permintaan, biaya, dan
keuntungan. Selanjutnya, menentukan strategi dalam menentukan harga untuk
membantu menentukan harga dasar. Strategi tersebut dapat terdiri dari price
skimming (kebijakan penentuan harga dimana perusahaan menekankan pada
harga yang tinggi saat memperkenalkan produk ke pasar), penetration pricing
(kebijakan penentuan harga dimana perusahaan menetapkan harga yang
cenderung rendah untuk dapat meraih mass market, dan status quo pricing
(harga ditetapkan sesuai dengan harga yang ditetapkan oleh pesaing).
Langkah terakhir adalah melakukan taktik untuk fine-tuning harga dasar
sehingga perusahaan dapat menyesuaikan dengan persaingan yang terjadi di
pasar, perubahan regulasi pemerintah, mengambil keuntungan dari situasi
permintaan yang unik, atau memenuhi tujuan promosi dan penempatan posisi
produk (Lamb, Hair, dan McDaniel, 2005, 504).
2.5.3 Tempat
Tempat menunjukan ketersediaan produk kepada pelanggan pada
waktu dan lokasi yang diharapkan. Tempat memiliki hubungan dengan supply
chain, keseluruhan perusahaan yang bekerja bersama untuk mendapatkan
produk dari produsen kepada konsumen (Solomon, Marshall, dan Stuart,
2009, 52) Lebih lanjut dijelaskan bahwa distribusi merupakan batas akhir
untuk kesuksesan pemasaran. Saat ini, banyak konsumen yang tidak percaya
bahwa produk yang baru dan sudah diperbaiki merupakan produk yang benar-
35
benar baru dan sudah diperbaiki. Sering kali, peritel pun mencoba
memperbesar pangsa pasar melalui strategi harga yang agresif. Iklan dan
bentuk promosi lainnya sudah tidak terlalu memberi dampak karena begitu
banyak dan tidak berbeda dengan pesaing. Oleh karena itu, pemasar
mengetahui bahwa tempat mungkin satu-satunya elemen dalam 4P yang dapat
digunakan untuk mendapatkan keunggulan bersaing, khususnya sejak banyak
konsumen yang mengharapkan instant gratification dengan cara mendapatkan
apa yang memang diinginkan (Solomon, Marshall, dan Stuart, 2009, 486).
Strategi pemasar dalam mendistribusikan produk dapat mempengaruhi
konsumen pada beberapa hal. Pertama, produk yang diletakan pada tempat
yang nyaman untuk dibeli meningkatkan kesempatan untuk dapat ditemukan
dan dibeli oleh konsumen. Kedua, produk yang dijual pada tempat yang
ekslusif dapat dianggap konsumen sebagai produk yang memiliki kualitas
tinggi. Ketiga, menawarkan produk dengan metode tanpa toko, seperti melalui
internet atau katalog, dapat menciptakan persepsi konsumen bahwa produk
tersebut inofatif, ekslusif, atau ditujukan pada target pasar yang spesifik (Peter
dan Donnely, 2007, 45).
2.5.4 Promosi
Promosi merupakan sebuah konsep yang menunjukan kombinasi dan
jenis komunikasi yang dilakukan perusahaan baik secara perorangan maupun
non-perorangan pada periode tertentu. Ada lima elemen dari promosi, empat
diantaranya adalah bentuk komunikasi non-perorangan yaitu advertising,
36
sales promotion, public relations, and direct marketing, sedangkan yang
terakhir adalah personal selling (penjualan langsung) yang merupakan bentuk
komunikasi perorangan. Elemen promosi yang akan dibahas lebih dalam
adalah mengenai penjualan langsung, karena obyek penelitian yang digunakan
pada kasus ini menerapkan konsep penjualan langsung dalam upaya
memasarkan produk.
2.5.4.1 Penjualan langsung
Kotler dan Keller (2009, 484) mengemukakan bahwa
meskipun 97% dari keseluruhan barang dan jasa dijual melalui toko,
namun nonstore retailing telah tumbuh jauh lebih cepat daripada store
retailing. Salah satu kategori dari nonstore retailing adalah penjualan
langsung. Penjualan langsung merupakan metode pemasaran yang
memiliki tingkat pertumbuhan yang signifikan pada penjualan dan
patut diperhitungkan karena melibatkan banyak penjualan perorangan
(Brodie, Stanworth, dan Watruba, 2002, 67).
Peterson dan Watruba (1996, dalam Brodie, Stanworth, dan
Watruba, 2002, 67) mendefinisikan penjualan langsung sebagai
penjualan tatap muka di luar lokasi ritel yang tetap. Young and
Albaum (2003, 253) mengemukakan bahwa penjualan langsung
mencakup penjualan antara satu penjual dan satu pembeli yang terjadi
di rumah atau tempat kerja penjual maupun pembeli, gereja, atau
lokasi lainnya.
37
Ingram dan LaForge (1992, dalam O’Harra, 1993) menjelaskan
bahwa penjualan langsung merupakan proses interpersonal, yang
berorientasi pada pelanggan yang dirancang untuk memenuhi
kebutuhan pelanggan dan perusahaan pada jangka panjang. Menurut
O’Harra (1993, 68) Ada beberapa program penjualan langsung yang
dapat dilakukan oleh perusahaan untuk memenuhi kebutuhan
pelanggan, yaitu telemarketing, face-to-face encounters (pertemuan
tatap muka), dan trade show (pameran).
Lebih lanjut, O’Harra (1993, 68) menyatakan bahwa ada tiga
dimensi dari proses penjualan langsung, yaitu aktivitas sebelum
penjualan yang mencakup menentukan kualifikasi calon konsumen,
aktivitas saat terjadi penjualan dimana terdapat kebutuhan untuk
menggabungkan pendapatan dan hasil puncak yang diperoleh saat
penutupan penjualan, dan aktivitas setelah penjualan yang fokus pada
permintaan servis dan permintaan yang diulangi.
Dalam banyak situasi, penjualan langsung merupakan jalan
terbaik untuk melakukan komunikasi dengan konsumen yang sudah
menjadi pelanggan perusahaan maupun yang menjadi target potensial
bagi perusahaan. Penjual perorangan yang efektif tidak hanya menjual
barang kepada konsumen, namun membantu konsumen dalam
melakukan pembelian dengan mengerti kebutuhan konsumen dan
menjelaskan keunggulan dan kelemahan dari produk yang ditawarkan,
yang akan menghasilkan kepuasan konsumen dan hubungan jangka
38
panjang yang baik (Quester, McQuiggan, Perreault, McCarthy, 2004,
517).
Mengacu pada penelitian Joshi dan Randall (2001, dalam
Jaramillo dan Grisaffe, 2009, 169), dalam lingkungan penjualan
langsung, orientasi terhadap pelanggan memiliki pengaruh positif pada
kinerja penjual perorangan, karena cenderung akan mengabaikan
taktik penjualan yang merugikan pelanggan dan membangun sebuah
hubungan yang mengarah pada peningkatan kepuasan konsumen
dalam jangka panjang.
Hal ini didukung oleh Rackham dan de Vicentis (1999, dalam
Pelham, 2009, 22) yang memiliki argumen bahwa penjualan yang
dilakukan saat ini harus dapat menghasilkan nilai bagi konsumen,
tidak hanya dikomunikasikan, karena semakin banyak pelanggan yang
mencari produk berdasarkan kustomisasi dan kemampuan untuk
menyelesaikan masalah. Pentingnya sales-force yang berorientasi pada
perilaku konsumen telah diuji dalam berbagai penelitian (Franke &
Park, 2006; Pettijohn, Pettijohn, dan Taylor, 2007; Predmore dan
Bonnice, 1994; Ramsey dan Sohi, 1997; dan Williams, 1998) yang
menunjukkan pengaruh positif salesperson adaptive selling, customer
orientation, listening behaviors dalam menciptakan hubungan
konsumen yang efektif (Pelham, 2009, 22).
Ada tiga hubungan tradisional penjualan langsung seperti yang
terdapat pada gambar 2.2. Pada struktur penjualan langsung dibawah,
39
perusahaan penjualan langsung menyediakan perlengkapan penjualan
produk dan pelatihan mengenai penjualan kepada penjual perorangan
yang merupakan perwakilan dari perusahaan yang akan menjual
barang kepada konsumen melalui demonstrasi produk secara langsung
(Ferrell, Gonzales-Padron, Ferrell, 2010, 158).
Perusahaan Penjualan Langsung
Pelatihan produk dan penjualan, Laporan
penjualan, motivas, dan proses permintaan
Merek
Pelanggan
Perwakilan Penjualan Langsung
Gambar 2.2 Hubungan Tradisional pada Penjualan Langsung
Sumber: Ferrell, Gonzales-Padron, Ferrell (2010, 158)
Dalam perusahaan penjualan langsung, terdapat dua jenis
struktur organisasi yang dikenal dengan single level dan multi level
(Bordie, Stanworth, dan Watruba, 2002, 67). Sparks dan Schenk
(2006, 161) mendeskripsikan pemasaran multi tingkat sebagai jaringan
dari anggota penyalur yang memperoleh penghasilan melalui
penjualan produk dan perekrutan anggota. Anggota mengoperasikan
jaringan distribusi dengan cara membeli persediaan berupa barang
yang memiliki merek dari perusahaan dan kemudian menjual kembali
barang
tersebut
kepada
konsumen.
Sebagai
insentif
untuk
40
meningkatkan pertumbuhan perusahaan, anggota memperoleh komisi
atas penjualan barang yang dilakukan oleh member baru yang direkrut
oleh anggota tersebut.
2.6
Manajemen Hubungan Pelanggan
Baran, Galka, Strunk (2008, 6) menyatakan bahwa manajemen hubungan
pelanggan merupakan automasi dari proses bisnis yang terintegrasi secara horizontal
mencakup bagian yang berhubungan dengan penjualan dari pelanggan (manajemen
hubungan, konfigurasi produk), pemasaran (manajemen kampanye), dan pelayanan
pelanggan melalui beberapa jalur yang terhubung (telepon, e-mail, web, dan interaksi
langsung).
Manajemen
hubungan
pelanggan
didefinisikan
sebagai
praktek
menganalisa dan menggunakan data pemasaran dan peningkatan teknologi
komunikasi untuk menentukan praktik perusahaan dan metode yang dapat
memaksimalkan nilai dari setiap individu pelanggan kepada perusahaan. Sedangkan
dari sudut pandang strategi bisnis, manajemen hubungan pelanggan adalah proses
strategis dalam memilih pelanggan yang dapat dilayani oleh perusahaan untuk
memperoleh laba dan membentuk interaksi antara perusahaan dan pelanggan (Kumar
dan Reinartz, 2006, 5).
Zeithaml, Bitner, dan Gremler (2009, 176) mengungkapkan bahwa
manajemen hubungan merupakan filosofi dalam menjalankan bisnis, sebuah orientasi
strategis, yang fokus pada menjaga dan meningkatkan hubungan dengan pelanggan
41
saat ini sehingga dapat terjalin hubungan yang akan terus berjalan dengan sebuah
perusahaan daripada beralih secara terus menerus ke penyedia barang lainnya untuk
mencari nilai yang terbaik. Lebih lanjut, dijelaskan bahwa fokus pemasaran yang
awalnya tertuju pada transaksi antara penyedia barang dan pembeli memiliki potensi
untuk berevolusi menjadi hubungan antara perusahaan dan pelanggan, dimana pada
awalnya pelanggan adalah orang yang tidak dikenal, yang dikenal, teman, dan rekan.
Oleh karena itu, melalui manajemen hubungan pelanggan ini diharapkan perusahaan
dapat memperoleh, memuaskan, mempertahankan, dan memperbesar nilai pelanggan.
Tujuan dari setiap strategi manajemen hubungan pelanggan adalah untuk
mengembangkan hubungan yang menguntungkan dengan pelanggan, dan banyak
perusahaan yang melakukannya dengan menghilangkan biaya hubungan tersebut atau
meningkatkan pendapatan yang diperoleh dari hubungan dengan pelanggan. Sehingga
tujuan inti dari manajemen hubungan pelanggan adalah keuntungan pelanggan
(Buttle, 2004, 56). Lovelock dan Wirtz (2007, 381) menjelaskan tujuan dari
manajemen hubungan pelanggan dari dua sudut pandang. Melalui sudut pandang
pelanggan, sistem manajemen hubungan pelanggan yang berjalan dengan baik dapat
menggabungkan
customer
interface
yang
memberikan
customization
dan
personalization. Sedangkan melalui sudut pandang perusahaan, sistem manajemen
hubungan pelanggan membuat perusahaan dapat lebih baik dalam memahami
konsumen, membagi segmen konsumen, target promosi dan penjualan silang, bahkan
mengimplementasikan sistem yang dapat memberi tanda kepada pelanggan apabila
berada dalam bahaya karena kegagalan produk.
2.7
42
Merek
Proses pemasaran merek merupakan inti dari komunikasi pemasaran dan
kesuksesan dari sebuah merek tergantung pada bagaimana pemilik merek tersebut
mengkomunikasikannya kepada publik. Merek merupakan produk dari sebuah
perusahaan yang digunakan untuk membedakan perusahaan dari pesaingnya dengan
mengkaitkan barang dan jasa tersebut kepada nilai dan asosiasi lain yang dapat
dikenali dan memiliki nilai positif bagi pelanggan (Egan, 2007, 79). Melalui definisi
ini, cara untuk menciptakan merek adalah dengan memilih sebuah nama, logo,
simbol, desain kemasan, atau karakteristik lain yang dapat mengidentifikasi produk
dan membedakannya dari produk lain (Keller 2008, 2).
Mengacu pada Solomon, Marshall, dan Stuart (2008, 289), ada sepuluh
karakteristik yang dapat membuat merek menjadi sukses. Pertama, manfaat yang
diberikan merek melebihi keinginan konsumen. Kedua, merek tetap relevan. Ketiga,
strategi menentukan harga didasarkan pada persepsi konsumen terhadap nilai. Merek
memiliki posisi yang baik, merek yang konsisten, dan merek yang memiliki portfolio
dan hirarki yang masuk akal menjadi karakteristik keempat, kelima, dan keenam.
Selanjutnya, karakteristik ketujuh adalah melalui merek dapat terkoordinir kegiatan
untuk membangun ekuitas. Kedelapan, manajer merek mengerti arti merek bagi
konsumen. Merek memberikan dukungan yang dapat bertahan pada jangka panjang
dan perusahaan dapat mengawasi sumber dari ekuitas merek menjadi karaktersitik
yang kesembilan dan kesepuluh.
43
Lebih lanjut, Solomon, Marshall, dan Stuart (2008, 287) menjelaskan bahwa
merek sangat penting karena merek yang baik dapat membangun koneksi emosi
dengan konsumen, merek yang kuat tidak hanya memenuhi kebutuhan konsumen
secara rasional, namun menciptakan reaksi emosi. Delgado-Ballester dan MunueraAleman (2005) menyatakan bahwa membangun merek yang kuat merupakan tujuan
dari sebagian besar perusahaan karena dapat memberikan banyak keuntungan bagi
perusahaan, seperti mengurangi persaingan dalam tindakan pemasaran, margin yang
lebih besar, kerja sama yang lebih kuat, serta kesempatan dan dukungan untuk
melakukan brand extension. Melalui merek, ada tiga tujuan yang dapat dicapai yaitu
identifikasi produk, pengulangan penjualan, dan penjualan produk baru (Lamb, Hair,
dan Daniel 2005, 273). Oleh karena itu, membangun dan mengelola ekuitas merek
dengan benar sangat penting bagi kebanyakan perusahaan (Liaogang, Gao, dan Liu,
2007, 77).
2.7.1. Brand Management (Manajemen Merek)
Mengacu pada Berthon, Ewing, dan Napoli (2008, 29), manajemen merek
adalah proses menciptakan, mengkoordinasikan, dan mengawasi interaksi
yang terjadi antara perusahaan dan pihak lain yang terkait dengan perusahaan,
seolah-olah terdapat konsistensi antara visi sebuah perusahaan dan
kepercayaan dari pihak lain yang terkait dengan perusahaan mengenai sebuah
merek. Pebisnis dan investor mengenali merek sebagai asset perusahaan yang
memiliki nilai paling tinggi. Merek memberikan konsumen sebuah identitas,
menstimulasi pikiran, dan memperkaya pengalaman hidup mereka (Roll,
44
2006). Lebih lanjut, Kwun (2010, 183) menjelaskan bahwa dalam
memperkenalkan sebuah merek, tingkat kegagalan yang dapat terjadi cukup
tinggi dan juga dibutuhkan investasi yang besar, sehingga banyak perusahaan
yang fokus pada nama merek saat memasuki sebuah pasar dan bertumbuh
dengan sukses.
Boyle (2007, 126) mengemukakan bahwa manajemen merek dapat
ditingkatkan melalui keterlibatan di berbagai kegiatan seperti menciptakan
sebuah produk baru, mengeksplorasi alternatif bentuk komunikasi pemasaran,
membangun hubungan yang baik dengan konsumen, dan meyakinkan ekuitas
antara harga merek dengan nilai konsumen. Perusahaan harus menekankan
fokus yang lebih besar terhadap upaya mereka dalam menciptakan sebuah
brand image yang memiliki kelas tersendiri dalam sebuah pasar. Hal ini
didasarkan pada seiring bertumbuhnya merek dan perusahaan, penekanan
manajerial harus berubah untuk membuat sebuah merek yang dapat dikenang,
meyakinkan bahwa asosiasi merek yang positif dapat selalu diingat oleh
konsumen dan meningkatkan hubungan antara brand image dan produk lain
dalam portfolio perusahaan. Oleh karena itu, upaya pemasaran seharusnya
lebih ditekankan secara langsung terhadap membangun dan menjaga brand
image yang positif dalam pikirian pihak lain yang memiliki hubungan dengan
perusahaan (Berthon er al., 2008, 30).
45
2.7.2. Brand Image
Mengacu pada Aaker (1996) yang mendefinisikan brand image
sebagai persepsi yang diterima konsumen dan pihak lain mengenai sebuah
merek dan Keller (1998) yang mengembangkannya menjadi persepsi
mengenai sebuah merek yang direfleksikan melalui asosiasi merek yang
terdapat pada memori konsumen, maka Smith (2004, 458) mengakui brand
image sebagai sebuah model yang dibangun secara multidimensi dan
memiliki konsep yang lebih luas daripada asosiasi merek dan asosiasi tersebut
dipindahkan dari merek ke dalam memori konsumen. Asosiasi tersebut terbagi
menjadi atribut fungsi dari sebuah merek atau atribut simbol dari merek
(Burman, Schaefer, dan Maloney, 2008, 158).
Silva dan Alwi (2008, 120) menjelaskan bahwa brand image
perusahaan yang sangat positif tidak hanya membuat perusahaan memiliki
keunggulan bersaing, namun juga mendorong terjadinya pembelian berulang.
Brand image menjadi salah satu faktor yang sangat menentukan perilaku
konsumen dalam melakukan pembelian. Dikarenakan pentingnya brand
image bagi perilaku dari berbagai kelompok, maka perlu diperhatikan faktorfaktor yang mempengaruhi brand image yang dibagi menjadi tiga kelompok
yaitu faktor penentu yang berasal dari identitas sebuah merek yang secara
langsung berpengaruh terhadap manajemen merek, faktor penentu dari setiap
individu seperti motivasi dan pengalaman yang dimiliki mengenai sebuah
merek, dan faktor eksternal yang mempengaruhi brand image dari luar
perusahaan yang tidak dapat dipengaruhi secara langsung oleh manajemen
46
merek seperti image atas industri (Burman, Schaefer, dan Maloney, 2008,
158).
2.7.3. Brand Equity (Ekuitas Merek)
Shiffman dan Kanuk (2007, 224) menyatakan bahwa ekuitas merek
merupakan nilai yang terkandung dalam nama merek yang terkenal, dimana
nilai tersebut berakar dari persepsi konsumen mengenai keunggulan merek,
penilaian sosial yang dimiliki konsumen apabila menggunakan merek, serta
kepercayaan dan identifikasi konsumen atas merek. Sedangkan Duncan (2005,
93) berpendapat bahwa ekuitas merek merupakan nilai tidak nyata dari sebuah
perusahaan diluar nilai fisik perusahaan tersebut. Menurut Aaker (1991, dalam
Chattopadhyay, Shivani, dan Krishnan, 2010, 68) ekuitas merek adalah
konsep
multi dimensi yang terdiri dari brand loyalty, brand awareness,
perceived quality, brand association, other proprietary brand assets.
Mengacu pada Peter dan Olson (2005, 137), ekuitas merek fokus pada
nilai dari merek untuk pemasar dan konsumen. Dari sudut pandang pemasar,
ekuitas merek dapat menghasilkan keuntungan yang lebih besar, arus kas yang
lebih banyak, dan pangsa pasar yang lebih besar. Sedangkan dari sudut
pandang konsumen, ekuitas merek mencakup evaluasi yang baik mengenai
merek yang didasarkan pada arti dan kepercayaan yang dapat diterima oleh
memori. Hal tersebut dapat menciptakan hubungan konsumen dan merek yang
kuat dan baik yang menjadi modal yang penting bagi perusahaan. Keuntungan
terbesar yang dapat dihasilkan dari ekuitas merek adalah dapat mempengaruhi
47
pemilihan keputusan konsumen (Erdem, et al., 1999, dalam Chattopadhyay,
Shivani, dan Krishnan, 2010, 68).
Lebih lanjut, Peter dan Olson (2005, 138) menjelaskan bahwa untuk
menghasilkan ekuitas merek, dapat diperoleh melalui tiga cara. Cara yang
pertama adalah membangun ekuitas merek dengan meyakinkan bahwa pada
dasarnya merek menghasilkan konsekuensi yang positif dan secara konsisten
mengiklankan konsekuensi yang penting tersebut. Cara kedua adalah
meminjam ekuitas merek dengan memperluas nama merek yang positif ke
produk lain. Cara ketiga adalah membeli ekuitas merek dengan membeli
merek yang sudah memiliki ekuitas.
Download