BOKS - II Menyambut Free Trade Zone (FTZ) Batam Setelah penantian panjang, akhirnya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menandatangani Peraturan Pemerintah (PP) No. 46 Tahun 2007 yang mengatur penerapan Free Trade Zone (FTZ) Batam Senin (20/8). PP tersebut dikeluarkan secara bersamaan dengan PP yang mengatur tentang kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas di Bintan dan Karimun. FTZ sejatinya merupakan kebijaksanaan pengembangan industri melalui berbagai kemudahan fiskal. Melalui kebijaksanaan makro-spasial dengan memberikan berbagai fasilitas di bidang ekonomi di tingkat lokal ini diharapkan faktor-faktor keunggulan komparatif daerah dapat dioptimalkan sehingga dapat mempercepat pembangunan dan pertumbuhan ekonomi di daerah. Pertumbuhan Ekonomi dan Pengembangan UMKM Dengan adanya penerapan FTZ pertumbuhan ekonomi Kota Batam diprediksi akan mencapai angka dua digit. Hal tersebut seakan membuat kita bernostalgia pada cerita sukses Batam (1994-1997). Pada periode tersebut pertumbuhan ekonomi Kota Batam tumbuh antara 16,59 (1994) sampai dengan 14,76 (1997). Indikasi menuju pencapaian pertumbuhan ekonomi tersebut setidaknya dapat dilihat dari investasi yang masuk ke Kota Batam. Menjelang penetapan FTZ, tepatnya tanggal 2 Agustus lalu, terjadi penandatanganan kesepakatan investasi oleh 20 perusahaan yang disaksikan oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla. Terdapat enam proyek yang akan dikerjakan oleh investor dengan nilai US$668,3 juta. Bidang usaha yang digarap oleh para investor juga beragam, mulai dari logistik, industri pipa besi, industri pendukung migas, peralatan listrik, manufaktur elektronik, galangan kapal, hingga kawasan wisata. Kebijakan baru ini juga diharapkan dapat meminimalisir angka pengangguran yang sampai dengan tahun 2006 tercatat 35.768 jiwa. Penyerapan tenaga kerja yang pada tahun 2006 tercatat sebesar 515.585 pekerja diharapkan dapat lebih ditingkatkan lagi dengan adanya aliran investasi yang akan membuka lapangan kerja baru di Kota Batam. Meskipun investasi yang masuk ke Kota Batam sebagian besar berbasis ekspor dan memproses barang modal impor namun dalam skala tertentu tetap membutuhkan dukungan dari Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM). Berdasarkan data dari Pemerintah Kota Batam pada tahun 2005 UKM di Batam tercatat sejumlah 10,020 buah atau hanya bertambah 210 buah dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Adanya penerapan FTZ di Batam diharapkan dapat membuka peluang dan potensi untuk mendorong perkembangan UKM di Kota Batam. Barang-barang modal maupun konsumsi yang mendukung industri dapat disuplai oleh UMKM seperti penyediaan catering, pengadaan stationary, jasa reparasi, perawatan dan pergantian alat-alat produksi, pakaian serta kebutuhan lainnya. Ledakan Penduduk dan Penyelundupan Ada beberapa hal yang perlu mendapatkan perhatian dalam rangka penerapan FTZ di Batam. Salah satunya adalah kenaikan jumlah penduduk, khususnya tenaga kerja pendatang dari luar Kota Batam. Sampai dengan Desember 2006 jumlah penduduk Kota Batam tercatat sebesar 713.960 ribu jiwa. Kenaikan pertumbuhan ekonomi dengan adanya penerapan FTZ diprediksi akan diikuti dengan pertumbuhan jumlah penduduk yang sangat tinggi. Pertumbuhan penduduk yang selama ini antara 6-7 % per tahun bisa menyentuh angka 11 % s/d 12,5 % per tahun mulai tahun 2008 mendatang. Kenaikan jumlah penduduk yang tinggi tersebut akan menimbulkan persoalan demografis dan sosial antara lain penyediaan infrastruktur sosial dan sarana publik seperti perumahan, sekolah, sarana kesehatan, dan ketersediaan transportasi. Untuk itu Pemerintah Kota Batam harus mengantisipasi dengan menyediakan sarana publik dengan jumlah yang proporsional. Selain itu, masalah sosial demografis juga harus segera diantisipasi sejak dini untuk mencegah gejolak sosial yang pada satu titik dapat menimbulkan dampak yang kontraproduktif bagi penerapan FTZ. Dari sisi akses, Pulau Batam yang mempunyai luas 415 km2 memiliki begitu banyak pelabuhan. Dengan empat pelabuhan ferry internasional, tiga pelabuhan samudra, tiga pelabuhan lokal antar pulau, dan 78 pelabuhan khusus dan kemungkinan 97 pelabuhan illegal yang dikenal ”pelabuhan tikus” menjadikan Kota Batam sebagai daerah yang sangat terbuka. Sebagai kota pantai dan kota perbatasan sekaligus, Batam menghadapi permasalahan penyeludupan dan transaksi ekonomi non-registrasi yang cukup kompleks. Diferensiasi mata uang (misalnya dollar Singapura dan Rupiah) yang diikuti permintaan tinggi terhadap barangbarang konsumsi merupakan salah satu faktor yang mendorong terjadinya penyelundupan. Hal tersebut diperkuat dengan kedekatan jarak, akses yang lancar dan harga yang murah membuat potensi penyelundupan semakin tinggi di Kota Batam. Faktor kelemahan birokrasi juga dapat membuat Kota Batam menjadi kota yang semakin rentan terhadap penyelundupan. Kedekatan geografis Kota Batam dengan Singapura ikut mempengaruhi peningkatan transaksi ekonomi non-registrasi di Kota Batam. Jika ditarik dari aspek historis, Singapura memang telah lama menjadi pelabuhan bebas semenjak zaman kesultanan Melayu sebagai ”colonial free entreport”. Hal tersebut mau tidak mau mempengaruhi model ekonomi satelit di Kota Batam. Perputaran roda ekonomi Singapura berimbas sampai ke Kota Batam baik dalam transaksi legal maupun ilegal.