BAB II KAJIAN TEORI A. PARTISIPASI POLITIK 1. Partisipasi Politik

advertisement
BAB II
KAJIAN TEORI
A. PARTISIPASI POLITIK
1. Partisipasi Politik
a. Pengertian partisipasi politik
Partisipasi menjadi salah satu prinsip mendasar dari good
government, sehingga banyak kalangan menempatkan partisipasi
sebagai strategi awal dalam mengawali reformasi 1998.
Partisipasi berasal dari bahasa latin yaitu pars yang artinya
bagian dan capere yang artinya mengambil peranan dalam aktivitas
atau kegiatan politik negara. Apabila digabungkan berarti “mengambil
bagian”. Dalam bahasa inggris, partisipate atau participation berarti
mengambil bagian atau peranan. Jadi partisipasi berarti mengambil
peranan dalam aktivitas atau kegiatan politik negara (Suharno,
2004:102-103).
Partisipasi politik adalah salah satu aspek penting suatu
demokrasi. Partisipasi politik merupakan ciri khas dari modernisasi
politik. Adanya keputusan politik yang dibuat dan dilaksanakan oleh
pemerintah menyangkut dan mempengaruhi kehidupan warga negara,
maka warga negara berhak ikut serta menentukan isi keputusan
politik. Oleh karena itu yang dimaksud dengan partisipasi politik
17
18
menurut Hutington dan Nelson yang dikutip oleh Cholisin (2007: 151)
adalah kegiatan warga Negara yang bertindak sebagai pribadi-pribadi
yang dimaksud untuk mempengaruhi pembuatan keputusan oleh
pemerintah.
Selanjutnya Ramlan Surbakti sebagaimana yang dikutip oleh
Cholisin (2007:150) memberikan definisi singkat mengenai partisipasi
politik sebagai bentuk keikutsertaan warga negara biasa dalam
menentukan segala keputusan yang menyangkut atau mempengaruhi
hidupnya.
Menurut
menyatakan
Miriam
bahwa
Budiarjo,
partisipasi
(dalam
politik
Cholisin
secara
2007:150)
umum
dapat
didefinisikan sebagai kegiatan seseorang atau sekelompok orang
untuk ikut secara aktif dalam kehidupan politik, yaitu dengan jalan
memilih pemimpin Negara dan langsung atau tidak langsung
mempengaruhi kebijakan publik (public policy). Kegiatan ini
mencakup tindakan seperti memberikan suara dalam pemilihan umum,
mengahadiri rapat umum, menjadi anggota suatu partai atau kelompok
kepentingan, mengadakan hubungan (contacting) dengan pejabat
pemerintah atau anggota perlemen, dan sebagainya.
Oleh
sebab
itu,
di
negara-negara
demokrasi
pada
umumnyadianggap bahwa partisipasi masyarakatnya lebih banyak,
maka akan lebih baik. Dalam implementasinya tingginya tingkat
19
partisipasi menunjukkan bahwa warga negara mengikuti dan
memahami masalah politik dan ingin melibatkan diri dalam kegiatankegiatan itu. Sebaliknya, tingkat partisipasi yang rendah pada
umumnya dianggap sebagai tanda yang kurang baik, karena dapat
ditafsirkan bahwa banyak warga tidak menaruh perhatian terhadap
masalah kenegaraan (Miriam Budiardjo, 2008: 369).
Ahli yang lain juga menyebutkan pengertian partisipasi politik:
1) Keith Fauls
Keith Fauls (1999:133) memberikan definisi partisipasi politik
sebagai keterlibatan secara aktif (the active engagement) dari
individu
atau
kelompok
ke
dalam
proses
pemerintahan.
Keterlibatan ini mencakup keterlibatan dalam proses pengambilan
keputusan maupun berlaku oposisi terhadap pemerintah.
2) Herbert McClosky dalam International Encyclopedia of the
Social Sciences
Herbert McClosky (1972: 252) memberikan definisi partisipasi
politik sebagai kegiatan-kegiatan sukarela dari warga masyarakat
melalui mana mereka mengambil bagian dalam proses pemilihan
penguasa, dan secara langsung atau tidak langsung, dalam proses
pembentukan kebijakan umum.
20
3) Samuel P. Huntington dan Joan M. Nelson dalam No Easy
Choice: Political Participation in Developing Countries
Huntington dan Nelson (1997: 3) partisipasi politik sebagai
Kegiatan warga negara yang bertindak sebagai pribadi-pribadi,
yang dimaksud sebagai pembuatan keputusan oleh pemerintah.
Partisipasi bisa bersifat individual atau kolektif, terorganisir atau
spontan, mantap atau secara damai atau kekerasan, legal atau
illegal, efektif atau tidak efektif.
Dari pendapat yang dikemukankan oleh para ahli di atas dapat
ditarik kesimpulan bahwa partisipasi politik adalah hal-hal yang
berkaitan dengan kegiatan seseorang atau sekelompok orang dalam
hal penentuan atau pengambilan kebijakan pemerintah baik itu dalam
hal pemilihan pemimpin ataupun penentuan sikap terhadap kebijakan
publik yang dibuat oleh pemerintah untuk di jalankan, yang dilakukan
secara langsung atau tidak langsung dengan cara konvensional
ataupun dengan cara non konvensional atau bahkan dengan kekerasan
(violence)
b. Faktor-faktor Partisipasi Politik
Partisipasi politik merupakan suatu aktivitas tentu dipengaruhi
oleh
beberapa
faktor.
Menurut
Ramlan
Surbakti
(1992:140)
menyebutkan dua variable penting yang mempengaruhi tinggi
rendahnya tingkat partisipasi politik seseorang. Pertama, aspek
kesadaran politik terhadap pemerintah (sistem politik). Yang dimaksud
21
dalam kesadaran politik adalah kesadaran hak dan kewajiban warga
negara. Misalnya hak politik, hak ekonomi, hak perlindungan hukum,
kewajiban ekonomi, kewajiban sosial dll. Kedua, menyangkut
bagaimana penilaian serta apresiasi terhadap kebijakan pemerintah dan
pelaksanaan pemerintahnya.
Selain itu ada faktor yang berdiri sendiri (bukan variable
independen). Artinya bahwa rendah kedua faktor itu dipengaruhi oleh
faktor-faktor lain, seperti status sosial, afiliasi politik orang tua, dan
pengalaman beroganisasi. Yang dimaksud status sosial yaitu kedudukan
seseorang berdasarkan keturunan, pendidikan, pekerjaan, dan lain-lain.
Selanjutnya status ekonomi yaitu kedudukan seseorang dalam lapisan
masyarakat,
berdasarkan
pemilikan
kekayaan.
Seseorang
yang
mempunyai status sosial dan ekonomi tinggi diperkirakan tidak hanya
mempunyai pengetahuan politik, akan tetapi memiliki minat serta
perhatian pada politik dan kepercayaan terhadap pemerintah (Ramlan
Surbakti, 2006:144-145).
Selanjutnya menurut Myron Weimer partisipasi politik di
pengaruhi oleh beberapa hal, seperti yang dikutip oleh Mohtar Mas’oed
dan Collin MacAndrews (2011:56-57)
1) Modernisasi
Modernisasi
komensialisme
disegala
bidang
pertanian,
akan
industrial,
berimplikasi
pada
meningkatkan
arus
urbanisasi, peningkatan kemampuan baca tulis, perbaikan
22
pendidikan dan pengembangan media massa atau media
komunikasi secara luas.
2) Terjadi perubahan struktur kelas sosial
Terjadinya perubahan kelas struktur kelas baru itu sebagai
akibat dari terbentuknya kelas menengah dan pekerja baru yang
meluas era industralisasi dan modernisasi.
3) Pengaruh kaum intelektual dan meningkatnya komunikasi
massa modern
Ide-ide baru seperti nasionalisme, liberalisme, membangkitkan
tuntuntan-tuntutan untuk berpartisipasi dalam pengambilan
suara.
4) Adanya konflik diantara pemimpin-pemimpin politik
Pemimpin politik yang bersaing merebutkan kekuasaan sering
kali untuk mencapai kemenangannya dilakukan dengan cara
mencari dukungan massa.
5) Keterlibatan pemerintah yang semakin luas dalam unsur
ekonomi,sosial dan budaya
Meluasnya ruang lingkup aktivis pemerintah ini seringkali
merangsang timbulnya tuntutan-tuntutan organisasi untuk ikut
serta dalam mempengaruhi pembuatan keputusan politik.
23
Sementara itu menurut Milbrath yang dikutip oleh Michael Rush
dan Althof (1989:168) memberikan alasan bervariasi mengenai
partisipasi seseorang, yaitu:
Pertama, berknaan dengan penerimaan perangsang politik.
Milbrath menyatakan bahwa keterbukaan dan kepekaan seseorang
terhadap perangsang politik melalui kontak-kontak pribadi, organisasi
dan
melalui
media
massa
akan
memberikan
pengaruh
bagi
keikutseertaan seseorang dalam kegiatan politik.
Kedua, berkenaan dengan karekteristik sosial seseorang. Dapat
disebutkan bahwa status ekonomi, karekter suku, usia jenis kelain dan
keyakinan (agama). Karakter seseorang berdasarkan faktor-faktor
tersebut memiliki pengaruh yang relatif cukup besar terhadap partisipasi
politik.
Ketiga, yaitu menyingkat sifat dan sistem partai tempat individu
itu hidup. Seseorang yang hidup dalam negara yang demokratis, partaipartai
politiknya
cenderung
mencari
dukungan
massa
dan
memperjuangkan kepentingan massa, sehingga massa cenderung
berpartisipasi dalam politik.
Keempat, yaitu adanya perbedaan regional. Perbedaan ini
merupakan aspek lingkungan yang berpengaruh terhadap perbedaaan
watak dan tingkah laku individu. Dengan perbedaan regional itu pula
yang mendorong perbedaan perilaku politik dan partisipasi politik.
24
Partisipasi pemilih pemula dalam pilbup langsung memang erat
kaitanya dengan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Banyak
pertimbangan dalam menggunakan hak pilihnya. Bisa melihat dari sisi
visi misi kandidat yang bagus meskipun tidak ada jaminan setelah
kandidat terpilih. Selain itu berupa acuan yang digunakan untuk
memilih adalah mereka kandidat yang memberikan uang, dan kandidat
yang diusung oleh partai yang dianggap pemilih pemula sesuai dengan
kriterianya.
Pada perilaku pemilih yang rasional pemilih akan menentukan
pilihannya berdasarkan isu politik dan kandidat yang diajukan serta
kebijakan yang dinilai menguntungkan baginya yang akan ia peroleh
apabila kandidat pilihannya terpilih. Pemilih yang rasional tidak hanya
pasif dalam berpartisipasi tetapi aktif serta memiliki kehendak bebas.
c. Tipologi Partisipasi Politik
A. Rahman H.I (2007: 288) menyatakan bahwa secara umum
tipologi partisipasi sebagai kegiatan dibedakan menjadi:
1) partisipasi aktif, yaitu partisipasi yang berorientasi pada
proses input dan output.
2) partisipasi pasif, yaitu partisipasi yang berorientasi hanya
pada output, dalam arti hanya menaati peraturan pemerintah,
menerima
pemerintah.
dan
melaksanakan
saja
setiap
keputusan
25
3) golongan putih (golput) atau kelompok apatis, karena
menggapsistem politik yang ada menyimpang dari yang
dicita-citakan.
Milbrath dan Goel yang dikutip oleh Cholisin (2007: 152)
membedakan partisipasi politik menjadi beberapa kategori yakni :
1) Partisipasi politik apatis
orang yang tidak berpartisipasi dan menarik diri dari proses
politik.
2) Partisipasi politik spector
orang yang setidak-tidaknya pernah ikut memilih dalam
pemilihan umum.
3) Partisipasi politik gladiator
mereka yang secara aktif terlibat dalam proses politik, yakni
komunikator, spesialis mengadakan kontak tatap muka,
aktivis partai dan pekerja kampanye dan aktivis masyarakat.
4) Partisipasi politik pengritik
Orang-orang yang berpartisipasi dalam bentuk yang tidak
konvensional.
Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa orientasi partisipasi
politik aktif terletak pada input dan output politik. Sedangkan partsipasi
26
pasif terletak pada outputnya saja. Selain itu juga ada anggapan
masyarakat dari sistem politik yang ada dinilai menyimpang dari apa
yang dicita-citakan sehingga lebih menjurus kedalam partisipasi politik
yang apatis.
Pemberian suara dalam pilbup merupakan salah satu wujud
partisipasi dalam politik yang terbiasa. Kegiatan ini walaupun hanya
pemberian suara, namun juga menyangkut semboyan yang diberikan
dalam kampanye, bekerja dalam membantu pemilihan, membantu
tempat pemungutan suara dan lain-lain.
Sedangkan Olsen yang dikutip Oleh A. Rahman H.I (2007: 289)
memandang partisipasi sebagai dimensi utama startifikasi sosial.Ia
membagi partisipasi menjadi enam lapisan, yaitu pemimpin politik,
aktivitas
politik,
komunikator
(orang
yang
menerima
dan
menyampaikan ide-ide, sikap dan informasi lainnya kepada orang lain),
warga masyarakat, kelompok marginal (orang yang sangat sedikit
melakukan kontak dengan sistem politik) dan kelompok yang
terisolasin(orang yang jarang melakukan partisipasi politik).
Partisipasi politik juga dapat dikategorikan berdasarkan jumlah
pelaku yaitu individual dan kolektif.individual yakni seseorang yang
menulis
surat
berisi
tuntutan
atau
keluhan
kepada
pemerintah.Sedangkan yang dimaksud partisipasi kolektif ialah
27
kegiatan warganegara secara serentak untuk mempengaruhi penguasa
seperti kegiatan dalam proses pemilihan umum.
Partisipasi kolektif dibedakan menjadi dua yakni partisipasi
kolektif yang konvensional yang seperti melakukan kegiatan dalam
proses
pemilihan
nonkonvensional
umum
(agresif)
dan
partisipasi
seperti
politik
pemogokan
kolektif
yang
tidak
sah,melakukan hura-hura, menguasai bangunan umum. Partisipasi
politik kolektif agresif dapat dibedakan menjadi dua yaitu aksi agresif
yang kuat dan aksi agresif yang lemah. Suatu aksi agresif dikatakan
kuat dilihat dari tiga ukuran yaitu bersifat anti rezim (melanggar
peraturan mengenai aturan partisipasi politik normal), mengganggu
fungsi pemerintahan dan harus merupakan kegiatan kelompok yang
dilakukan oleh monoelit. Sedangkan, partisipasi politik kolektif agresif
yang lemah adalah yang tidak memenuhi ketiga syarat tersebut diatas.
Di negara-negara berkembang partisipasi politik cenderung
digerakan
secara
pembangunan.
meluas
Orang-orang
dan
yang
diarahkan
melakukan
untuk
kepentingan
demonstrasi
atau
memberikan suara dengan jalan tersebut tampaknya merupakan wujud
nyata dari partisipasi politik yang mudah serta mengudang perhataian
dari berbagai kalangan.
28
d. Bentuk Partisipasi Politik
Paige dalam Cholisin (2007:153) merujuk pada tinggi rendahnya
kesadaran politik dan kepercayaan pemerintah (sistem politik menjadi
empat tipe yaitu partisipasi aktif, partisipasi pasif tertekan (apatis),
partisipasi militan radikal , dan partisipasi pasif.
Partisipasi aktif, yaitu apabila seseorang memiliki kesadaran
politik dan kepercayaan kepada pemerintah tinggi. Sebaliknya jika
kesadaran politik dan kepercayaan kepada pemerintah rendah maka
partisipasi politiknya cenderung pasif-tertekan (apatis). Partisipasi
militan radikal terjadi apabila kesadaran politik tinggi tetapi
kepercayaan kepada pemerintah sangat rendah. Dan apabila kesadaran
politik sangat rendah tetapi kepercayaan terhadap pemerintah sangat
tinggi maka partisipasi ini disebut tidak aktif (pasif).
Berbagai bentuk-bentuk partisipasi politik yang terjadi di
berbagai Negara dapat dibedakan dalam kegiatan politik yang
berbentuk konvensional dan nonkonvensional termasuk yang mungkin
legal (petisi) maupun ilegal (cara kekerasan atau revolusi). Bentukbentuk dan frekuensi partisipasi politik dapat dipakai sebagai ukuran
untuk menilai stabilitas sistem politik, integritas kehidupan politik,
kepuasan atau ketidak puasan warga negara.
Bentuk-bentuk partisipasi politik yang dikemukakan oleh Almond
yang dikutip oleh Mohtar Mas’oed (2011:57-58) yang terbagai dalam
29
dua bentuk yaitu partisipasi politik konvensional dan partisipasi politik
non
konvensional.
Adapun
rincian
bentuk
partisipasi
politik
konvensional dan non konvensional.
1) Partisipasi politik konvensional
a) Pemberian suara atau voting
b) Diskusi politik
c) Kegiatan kampanye
d) Membentuk dan bergabung dalam kelompok kepentingan
e) Komunikasi individual dengan pejabat politik atau
administratif
2) Partisipasi politik nonkonvensional
a) Pengajuan petisi
b) Berdemonstrasi
c) Konfrontasi
d) Mogok
e) Tindak kekerasan politik terhadap harta benda :
pengrusakan, pemboman, pembakaran
f) Tindakan
kekerasan
politik
terhadap
manusia:
penculikan, pembunuhan, perang gerilya, revolusi.
Kemudian David F. Roft dan Frank yang dikutip oleh A Rahman
H.I (2007: 286) bentuk partisipasi warga Negara berdasarkan
intensitasnya. Intensitas terendah adalah sebagai pengamat, intensitas
menengah yaitu sebagai partisipan, dan intensitas tertinggi sebagai
30
partisipan. Apabila intensitas kegiatan masyarakat dalam kegiatan
politik dijenjangkan maka akan membentuk piramida partisipasi politik.
Gambar 1: Piramida partsipasi politik
Sumber : A Rahman HI 2007
Kelompok paling bahwah pada gambar piramida partisipasi
politik yaitu kelompok yang sama sekali tidak terlibat dan tidak
melakukan kegiatan politik. Oleh Roth dan Wilson ( A Rahman H.I,
2007:287) disebut sebagai kelompok apolitis. Kelompok yang berada di
atas apolitis yaitu kelompok pengamat, kelompok ini biasanya
menghadiri rapat umum parpol, membicarakan politik, mengikuti
perkembanagan lewat media, memberikan suara dalam pemilu.
Kemudian satu tingkat di atas kelompok pengamat yaitu kelompok
partisipan. Pada kelompok ini aktivitas yang sering dilakukan seperti
menjadi petugas kampanye, anggota aktif partai, dan kelompok
31
kepentingan dalam proyek sosial. Kemudian kelompok yang paling atas
di tingkat piramida adalah kelompok aktivis. Warga yang tergabung
dalam kelompok ini tergolong sedikit jumlahnya, mereka merupakan
pejabat partai sepenuh waktu, pemimpin partai atau pemimpin
kepentingan.
Adapun bentuk partisipasi yang dilakukan oleh pemuda yakni
berupa demonstrasi, pemogokan dan kegiatan protes. Cara yang
biasanya dilakukan oleh pemilih pemula untuk turut dalam partisipasi
pilbup yaitu bergabung dengan salah satu parpol didaerahnya mengikuti
kegiatan kampanye, serta menghadiri diskusi politik didaerahnya.
Ciri utama yang dimiliki pemilih pemula yaitu latar belakang
tingkat partisipasi pemilih adalah pendidikan dan jenis kelamin. Setiap
komunitas masyarakat memiliki latar belakang yang berbeda-beda. Hal
tersebut akan mempunyai pengaruh terhadap tingkat partisipasi politik
dalam Pilbup. Serta menjadi bagian partisipasi dalam dinamika kegiatan
politik.
2. Perilaku Memilih
Perilaku memilih adalah serangkaian kegiatan membuat keputusan
yaitu memilih atau tidak memilih (Cholisin
2004:126). Sedangkan
menurut Prihatmoko (2008:46) perilaku memilih adalah keikutsertaan
warga dalam pemilu sebagi rangkaian pembuatan keputusan.
32
a. Perilaku Politik
Menurut Ramlan Surbakti, (1992:131) seecara umum perilaku
politik dirumuskan sebagai kegiatan yang berkenaan dengan proses
pembuatan dan keputusan publik.
Sedangkan menurut Sudijono
Sastroadmodjo (1993:3) perilaku politik adalah suatu kegiatan rakyat
dimana masayarakat ada dalam suaru proses meraih, mempertahankan
dan mengembangkan kekuasaan. Perilaku politik berkaitan dengan
tujuan masyarakat, kebijakan mencapai tujuan, dan sistem kekuasaan
yang memungkinkan adanya suatu otoritas untuk mengatur suatu
kehidupan bermasyarakat.
Ada tiga analisis untuk melakukan kajian terhadap perilaku politik
yaitu individu aktor politik, agresi politik dan tipologi kepribadian
politik. Yang dimaksud individu aktor politik meliputi aktor politik
(pemimpin), aktivis politik dan individu warga negara biasa. Sedangkan
agresi meliputi individu aktor secara kolektif seperti birokrasi, partai
politik, kelompok kepentingan dan lembaga bangsa. Adapun yang
dikaji dalam tipologi kepribadian politik yaitu tipe kepribadian otoriter,
machialvelis dan demokrat.
Dari hasil pendekatan diatas, maka tercipta sebuah model tentang
faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku politik individu aktor politik
sebagai berikut:
33
1) Lingkungan sosial politik tak langsung seperti sistem politik,
sistem ekonomi, sistem budaya dan sistem media massa.
2) Lingkungan sosial politik langsung yang mempengaruhi dan
membentuk kepribadian aktor seperti keluarga, agama, sekolah
dan kelompok pergaulan.
3) Struktur kepribadaian yang tercermin dalam sikap individu.
4) Lingkungan sosial politik langsung seperti situasi yaitu yang
memepengaruhi
aktor
secara
langsung,
ketika
hendak
melakukan suatu kegiatan, seperti situasi keluarga, situasi
ruang, kehadiran orang lain, suasana kelompok, dan anacaman
dalam segala bentuknya (Ramlan Surbakti, 1992: 133)
b. Pendekatan dalam perilaku memilih
Perilaku politik warga negara seringkali dikaitkan dengan
kegiatan mereka dalam memilih wakilnya maupun pemimpinnya
dalam pemilihan umum yang diadakan oleh negara yang demokratis.
Cholisin (2007: 154) ada lima pendekatan dalam perilaku
memilih yakni struktural, sosiologis, ekologis, psikologis sosial dan
pilihan rasional.
1) Menurut pendekatan struktural adalah kegiatan memilih dilihat
sebagai produk dari konteks struktur yang lebih luas, seperti
struktur sosial, sistem partai, sistem pemilihan umum,
permasalahan dan program yang ditonjolkan partai.
2) Sedangkan pendekatan sosiologis cenderung menempatkan
kegiatan memilih dalam kaitan dengan konteks sosial. Maknanya
pilihan seseorang dalam pemilihan umum dipengaruhi oleh latar
34
belakang demografi dan sosial ekonomi, jenis kelamin, tempat
tinggal, pekerjaan, pendidikan, kelas, pendapatan dan agama.
3) Pendekatan ekologis hanya relevan apabila dalam suatu daerah
pemilihan terdapat perbedaan karekteristik pemilih berdasarkan
unit teritorial, seperti desa, kelurahan, kecamatan, dan kabupaten.
4) Pendekatan psikologi sosial, salah satu penjelasan dari sisi
psokologi sosial untuk menjelaskan perilaku memilih dalam
pemilihan umum adalah konsep identifikasi partai. Konsep ini
merujuk pada persepsi pemilih atas partai yang ada atau
keterikatan emosional pemilih terhadap partai tertentu.
5) Pendekatan pilihan rasional melihat kegiatan memilih sebagai
produk kalkulasi untung rugi. Yang dipertimbangkan tidak hanya
ongkos memilih dan kemungkinan suaranya dapat mempengaruhi
hasil yang dihararapakan, tetapi juga perbedaan dari alternatif
berupa pilihan yang ada. Pertimbangan ini digunakan pemilih dan
kandidat yang hendak mencalonkan diri untuk terpilih sebagai
wakil rakyat atau pejabat pemerintah.
Selain itu ada penelitian terdahulu mengenai pendekatan perilaku
memilih sebagai berikut:
1) Bambang Kuncoro 1998, (Tesis) melakukan penelitian di Desa
Sunyalangu
Kabupaten
Banyumas
menemukan
bahwa
karakteristik sosiologis, subkultur aliran dan identifikasi partai
cukup relevan untuk menjelaskan perubahan perilaku memilih
warga Desa Sunyalangu dalam menentukan OPP (Organisasi
Peserta Pemilu). Masyarakat Desa Sunyalangu mempunyai
kecenderungan memilih OPP lebih besar karena ajakan tetangga
daripada program yang ditawarkan OPP. Faktor alasan
sosiologis
masyarakat.
berpengaruh
besar
dalam
perilaku
memilih
35
2) J. Kristiadi (2004:30) menjelaskan bahwa tingkat pendidikan,
profesi, struktur usia, dan tempat tinggal (desa-kota) tidak
mempengaruhi perilaku memilih.
3) Udin Hamin, 2004, (Tesis) yang melakukan penelitian perilaku
memilih etnis di Kota Tidore Kepulauan menjelaskan bahwa
rasionalitas, pertimbangan program partai, identifikasi partai,
budaya dan lingkungan sosial berpengaruh kuat terhadap
perilaku memilih kepala daerah pada masyarakat.
4) Darussalam Darussalam, 2004, (Tesis) menemukan bahwa
faktor psikologis sangat besar peranannya untuk menjelaskan
perilaku memilih di Indonesia. Sedangkan faktor sosiologis dan
faktor rasional tidak terlihat dampaknya terhadap perilaku
memilih di Indonesia.Berdasarkan penelitian-penelitian yang
pernah dilakukan oleh ilmuwan-ilmuwan politik di atas,
penelitian perilaku memilih tidak hanya memfokuskan pada
salah satu pendekatan saja malainkan mengkaji berbagai
pendekatan yang ada baik pendekatan sosiologis, psikologis,
dan rasional. Nampaknya, berbagai pendekatan dalam perilaku
memilih ini dapat saling melengkapi baik dalam hal penjelasan
Selanjutnya dalam memilih model juga dapat dilihat orientasi
“policy-problem-solving” dan oreientasi ideology. Yang dimana
keduanya akan menghasilkan rendah dan tinggi suatu intensitas.
Konfigurasi kedua faktor tersebut dapat dilihat dari gambar berikut:
36
Tabel 3 Konfigurasi Pemilih
Orientasi
Tinggi
Pemilih rasional
Pemilih kritis
Rendah
Pemilih skeptis
Pemilih
policy-problemsoving
tradisonal
Sumber : Firmanzah (2008:119)
Pertama pemilih rasional adalah mereka yang memiliki ciri khas
tidak begitu memintingkan ideologi kepada kandidat dengan lebih
mementingkan kemampuan calon kandidat dalam program kerjanya.
Kedua, para pemilih kritis merupakan paduan dari tingginya orientasi
dan kemampuan kandidat dalam masalah daerahnya, tingginya
orientasi mereka terhadap ideologi. Pemilih inilah yang menjadikan
nilai ideologis sebagai pijakan untuk kepada siapa akan menentukan
pilihannya selanjutnya akan mengkritisi kebijakan pemerintah setelah
menjabat.
Ketiga, pemilih tradisonal memiliki ideologi yang sangat tinggi
dan tidak terlalau melihat kebijakan kandidat sebagai sesuatu yang
dipertimbangkan dalam mengambil pilihannya. Pemilih tradisonal
adalah pemilih yang bias dimobilisasi dalam periode kampanye
(Rohrscheneider, 2002:367).
yang tinggi.
Ciri khas pemilih ini adalah loyalias
37
Dan yang keempat, adalah pemilih skeptis yang dimana tidak
memiliki ideologi cukup tinggi dengan sebuah kandidat dan tidak
menjadikan sebuah kebijakan menjadi sesuatu yang penting. Dari
golongan pemilih skeptis akan memunculkan golongan putih (golput)
dari bentuk keengganan dalam memberikan suaranya (Firmanzah,
2008:121-123).
c. Teori Behavioralisme
Teori ini menitikberatkan perhatian pada tindakan politik
individu yang menonjolkan sejauh mana peranan pengetahuan politik
sehingga terpengaruh pada perilaku politiknya (Nasiwan, 2010:33).
Kaum behavioralis berusaha menjelaskan tingkah laku manusia dalam
kegiatan politik.Teori Sistem Umum dipercaya juga sebagai akar dari
kemunculan Teori Behavioralis, Teori ini mengatakan bahwa motivasi
utama tindakan atau perilaku politik manusia adalah hasrat untuk
melipatgandakan kemanfaatan akan sesuatu yang bernilai (Nasiwan
,2010:34 ).
David Easton dalam Nasiwan (2010:37) mengungkapkan
mengenai model psikologi, dimana model ini berusaha memahamkan
tentang tingkah laku yang menekan proses belajar dengan variable
seperti :
1) Situasi stimulan yang membangkitkan tindakan di dalam
lingkungan (menggabungkan diri dengan partai politik, sebagai
bentuk upaya memperoleh akses kekuasaan).
38
2) Timbul semacam dorongan sehingga melakukan sebuah upaya
guna memperoleh respon yang memuaskan.
3) Variabel individu semacam keturunan, usia, jenis kelamin,
kondisi visiologi yang menentukan cara orang memahami suatu
kesempatan yang tersedia (contoh:berupa tindakan politik
seperti dukungan saat memilih, bergabung dengan parpol,
pressure group atau pergerakan).
Tingkahlaku psikologis menerjemahkan bahwa dalam tingkah
laku politik manusia bersama kepentingan, tujuan dan motivasi
mengakibatkan proses belajar, pemahaman, kognisi, dan simbolis.
Tahap sosialisasi selanjutnya adalah kedewasaan yang tercermin
dari citra diri, harga diri seseorang sehingga berkepribadian yang
positif sehingga individu dewasa yang menjadi semakin kuat dalam
ideologinya sehingga cenderung berperilaku melindungi diri dengan
hanya
bergaul
bersama
orang-orang
sepaham,
sekelompok,
sepergerakan, atau bahkan ada pula yang melenceng sama sekali dari
ideology semula. David E. Apter dalam Nasiwan (2010:39)
menyatakan beberapa model-model sosialisasi, sebagai berikut:
1. Model akumulasi, semakin seorang individu dapat memahami
berbagai pengetahuan dan ilmu tentang apa yang dianut
(konteks politik), semakin bertambahlah harapan individu
tersebut terhadap peran politik.
2. Model alih antarpribadi, memproyeksikan kekuasaan yang
terdapat pada orang yang dinilai memiliki kesepadanan dalam
pemaknaan kekuasaan tersebut, walau tidak dapat dikatakan
sama sedikitpun terlebih sebanding, misal seorang anak
memahami kekuasaan seorang presiden yang dilihatnya di
televisi sebagai kekuasaan yang sepadan dengan keberkuasaan
ayahnya.
3. Model identifikasi, Pengambilan sikap yang seragam dengan
figur penting dan lebih tua. Contoh seorang anak memiliki
39
kecenderungan turut memilih dan mendukung partai politik
yang menjadi pilihan orang tuanya.
4. Model perkembangan kognitif. Pemahaman konseptual sebagai
proses berfikir anak untuk memperluas cakrawala berfikir dan
meningkatkan tingkat kognisi anak mengenai kepemahaman
akan jaringan isu-isu dan politik, agar tidak terjadi proses
indoktrinasi semata.
Berikut ini bagan tingkah laku Greenstein yang dapat dengan
mudah membantu memahami bagaimana suatu proses dieksiskannya
suatu tingkah laku politik:
Tabel 4 Tingkah Laku Politik Greenstein
Struktur-Struktur Kepribadian+ Keyakinan Politik + Tindakan Politik
Individu+ Struktur dan proses politik secara holistik= Tingkah Laku
Sumber: Nasiwan 2010
Dari sinilah David Apter mencoba menjelaskan bahwa teori
behavioral
berusaha
menjelaskan
bagaimana
menciptakan,
menyesuaikan, dan mempelajari tingkah laku yang berkaitan dengan
tindakan politik seseorang.
d. Teori pilihan rasional
Dikemukanan oleh James S. Coleman (dalam George Ritzer,
2007:394) teori rasional tampak jelas dalam gagasan dasarnya bahwa
tidakan seseorang mengarah jelas pada tujuan dan tujuan itu ditentukan
oleh nilai atau pilihan. Ada dua unsur utama dalam teori Coleman,
40
yaitu aktor dan sumberdaya. Sumberdaya adalah sesuatu yang menarik
perhatian dan yang dapat dikontrol oleh aktor.
Teori rasional memusatkan pada aktor. Menurut George Ritzer
(2007:394) aktor dipandang sebagai manusia yang memiliki tujuan
atau maksud. Artinya aktor mempunyai tujuan pada upaya untuk
mencapai tujuan, selain itu aktor juga mempunyai nilai dan pilihan.
Teori ini tidak memandang apa yang menjadi pilihan atau apa yang
menjadi pilihan sumber aktor. Hal yang penting adalah aktor
melakukan tindakan yang sesuai tujuan.
Menurut Cholisin (2007-155) pilihan rasional adalah kegiatan
memilih sebagai produk kalkulasi untung rugi. Yang dipertimbangkan
tidak hanya “ongkos” memilih dan kemungkinan suaranya dapat
mempengaruhi hasil yang diharapkan, tetapi juga perbedaan alternatif
berupa pilihan yang ada.
Apabila teori rasional ini dikaitkan dengan pemilih pemula, maka
pemilih pemula sebagai aktor dalam pilbup mempunyai tujuan tertentu
dengan tidak berpartisipasi (golput). Tujuannya bermacam-macam
bersikap masa bodoh, lebih mementingkan kepentingan pribadi,
sebagai reaksi protes terhadap pemerintah atau calon kandidat tidak
sesuai dengan pilihannya.
41
B. PEMILIHAN KEPALA DAERAH (PILKADA)
1. Arti, Asas dan Tujuan pemilihan kepala daerah langsung
a. Arti pilkada langsung
Di era orde baru sebelum bergulirnya reformasi dalam UUD 1945
sebelum diamandemen pada pasal 1 ayat (2) menyatakan bahwa
“Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan sepenuhnya oleh
MPR” namun setelah era reformasi, UUD 1945 diamandemen sehingga
pada pasal 1 ayat (2) ini menjadi “Kedaulatan berada ditangan rakyat dan
dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”. Hal ini mengandung
makna bahwa kedaulatan tidak lagi sepenuhnya berada ditangan MPR
tetapi kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut
Undang-Undang Dasar.
Sebagai konsekuensi dari perubahan tersebut maka kepala daerah,
baik ditingkat provinsi maupun kabupaten/kota dipilih secara langsung
oleh rakyat melalui
pemilihan umum kepala daerah sehingga
pemerintahan yang terbentuk merupakan cerminan dari kehendak rakyat
dan kedaulatan rakyat.
Pemilihan umum kepala daerah secara langsung merupakan sarana
demokrasi bagi rakyat untuk menyalurkan aspirasinya dalam menentukan
wakil-wakilnya di daerah, pilkada juga merupakan sarana untuk ikut
serta berpartisipasi dalam kegiatan politik. Seperti halnya negara
Indonesia yang merupakan negara demokrasi yang mengalami perubahan
signifikan pasca runtuhnya orde baru.
42
Kehidupan berdemokrasi menjadi lebih baik, rakyat dapat dengan
bebas menyalurkan pendapatnya dan ikut berpartisipasi dalam kegiatan
politik yang pada masa orde baru sangat dibatasi. Kelahiran pemilihan
umum kepala daerah secara langsung merupakan salah satu kemajuan
dari proses demokrasi di Indonesia. Melalui pemilihan kepala daerah
secara langsung berarti mengembalikan hak-hak dasar masyarakat di
daerah untuk menentukan kepala daerah maupun wakil kepala daerah
yang mereka kehendaki.
Pemilihan umum kepala daerah secara langsung juga merupakan
salah satu bentuk penghormatan terhadap kedaulatan rakyat, karena
melalui pemilihan kepala daerah langsung ini menandakan terbukanya
ruang yang cukup agar rakyat bebas memilih pemimpinnya.
Pengertian Pemilihan umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala
Daerah adalah Pemilihan Umum untuk memilih kepala daerah dan wakil
kepala daerah secara langsung dalam Negara Kesatuan Republik
Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945. Pengertian tersebut dinyatakan pada
Pasal 1 Ayat 4 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang
Penyelenggara Pemilihan Umum.
Dengan adanya pilkada secara langsung merupakan salah satu
langkah maju dalam mewujudkan demokrasi dilevel lokal. Tip O’Neill,
dalam suatu kesempatan, menyatakan bahwa ‘all Politics is local’ yang
dapat dimaknai sebagai demokrasi ditingkat nasional akan tumbuh
43
berkembang, dengan mapan dan dewasa apabila pada tingkat lokal nilainilai demokrasi berakar dengan baik terlebih dahulu. Maksudnya,
demokrasi ditingkat nasional akan bergerak ke arah yang lebih baik
apabila tatanan, instrumen, dan konfigurasi kearifan serta kesantunan
politik lokal lebih dulu terbentuk (Leo Agustino, 2009: 17). Ini artinya
kebangkitan demokrasi politik di Indonesia (secara ideal dan aktual)
diawali dengan pilkada secara langsung, asumsinya; sebagai upaya
membangun pondasi demokrasi di Indonesia (penguatan demokrasi di
ranah lokal).
b. Asas-Asas dalam Pelaksanaan Pemilihan Umum Kepala Daerah
Asas adalah suatu pangkal tolak ukur pikiran untuk suatu kasus
atau suatu jalan dan sarana untuk menciptakan hubungan atau kondisi
yang kita hendaki. Asas pilkada berarti pangkal tolak pikiran untuk
melaksanakan pilkada. Suatu pilkada yang demokratis dapat tercapai jika
berjalannya asas-asas yang medasari pilkada tersebut.
Pada dasarnya asas yang dipakai dalam pilkada langsung sama
dengan asas dalam pemilu, khususnya pemilu 2004. Pemilu 2004 yang
disebut KPU sebagai penyelenggara pemilu 2004 banyak mengusung hal
baru guna rekuitmen politik agar kualitas wakil rakyat semakin baik.
(mohammad Najib dalam Suparman Marzuki, dkk, 2005:pengantar ix).
Asas pilkada langsung telah diatur dalam pasal 56 ayat 1 UU No.32
Tahun 2004, yang menyebutkan “Kepala Daerah dan Wakil Kepala
Daerah dipilih dalam satu pasangan calon yang dilaksanakan secara
44
demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan
adil”. Hal ini telah ditegaskan kembali dalam pasal 4 ayat (3) PP No.6
Tahun 2005.
Prinsip-prinsip pilkada sama seperti prinsip umum pemilu yang di
uraikan sebagai berikut:
1) Langsung
Rakyat sebagai pemilih mempunyai hak untuk memberikan
suaranya secara langsung sesuai dengan kehendak hati nurani
tanpa perantara.
2) Umum
Pada dasarnya semua warga negara yang memenuhi persyaratan
yang sesuai dengan undang-undang ini berhak mengikuti
Pemilu. Pemilihan yang bersifat umum mengangandung makna
menjamin kesempatan yang berlaku menyeluruh bagi semua
warga negara tanpa diskriminasi berdasarkan suku, agama, ras,
golongan , jenis kelamin, kedaerahan, pekerjaan, dan status
sosial.
3) Bebas
Setiap warga negara berhak memilih bebas menentukan
pilihannya tanpa tekanan dan paksaan dari siapapu. Di dalam
melakasanakan
haknya,
setiap
warga
negara
diajamin
45
keamanannya, sehingga dapat memilih sesuai dengan kehendak
hati nurani.
4) Rahasia
Dalam memberikan suaranya, pemilih dijamin bahwa pilihannya
tidak akan diketahui oleh pihak mana pun dan dengan jalan
apapun. Pemilih memberikan suaranya pada suarat suara dengan
tidak dapat diketahui oleh orang lain kepada siapapun suaranya
diberikan.
5) Jujur
Dalam penyelenggaraan pemilu, setiap pemilih dan peserta
pemilu, aparat pemerintah, peserta pemilu, pengawas pemilu,
pemantau pemilu, pemilih serta semua pihak yang terkait harus
bersikap jujur sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
6) Adil
Dalam penyelenggaraan pemilu, setiap pemilih dan peserta
pemilu mendapat perlakuan yang sama, serta bebas dari
kecurangan pihak mana pun (Hestu Cipto Handoyo, 2003:217219)
Penggunaan asas luber dan jurdil sebagai asas pemilihan umum
kepala daerah dan wakil kepala daerah merupakan konsekuensi logis dari
pelaksanaan pemilihan umum kepala daerah secara demokratis. Sehingga
jika terjadi penyimpangan dalam pelaksanaannya, maka hal tersebut
46
merupakan pelanggaran dan harus dikenakan sanksi sesuai dengan
ketentuan yang berlaku.
c. Tujuan Diadakannya Pemilihan Umum Kepada Daerah
Salah satu tujuan dari dilakukannya pemilihan umum kepala daerah
secara langsung adalah mewujudkan otonomi daerah yang sejak tahun
1999 memang carut marut, terutama dalam kaitannya dengan pemilihan
kepala daerah.
Ini merupakan proses demokrasi yang menunjukan
orientasinya yang jelas, yaitu penempatan posisi dan kepentingan rakyat
diatas berbagai kekuatan elite politik. Elite yang selama ini dinilai
terlampau mendominasi dan bahkan terkesan menhegemoni (Ahmad
Nadir, 2005:1)
Pilkada
langsung
sesungguhnya
merupakan
respon
kritik
konstruktif atas pelaksanaan mekanisme demokrasi tak langsung yang
sering disebut dengan demokrasi perwakilan. Artinya bahwa rakyat tidak
secara langsung mengartikulasi berbagai kepentingannya kepada agenda
kebijakan publik, melainkan mewakilkannya pada sejumlah kecil orang
tertentu. Ide pilkada langsung dinilai sebagai wujud demokrasi langsung
(Ahmad Nadir 2005:15-17).
Pilkada langsung bertujuan untuk memilih kepala daerah dan wakil
kepala daerah secara langsung sebagai solusi dari demokrasi perwkilan
yang selama ini telah berjalan cukup lama. Rakyat disuatu daerah dapat
memilih sendiri pemimpinnya dengan berdasarkan asas yang berlaku.
Pemimpin tersebut diharapkan dapat menyalurkan aspirasi rakyat dan
47
benar-benar menjadi pemimpin yang mengerti agenda otonomi daerah
sehingga dapat berjalan sebagaimana mestinya yang diharapkan rakyat.
d. Kelebihan dan Kelemahan Dilaksanakannya Pilkada
Pemilihan umum kepala daerah secara langsung menyangkut
berbagai aspek yang menentukan keberhasilan pemilihan kepala daerah
yaitu aspek kesiapan masyarakat pemilih, keterampilan petugas lapangan,
pendanaan dan peraturan pemilihan. Pemilihan umum kepala daerah
secara langsung yang demokratik, dengan memberi peluang kepada para
calon kepala daerah untuk berkompetisi secara jujur dan adil. Pemilihan
umum kepala daerah secara langsung harus bebas dari segala bentuk
kecurangan yang melibatkan penyelenggara pemilihan, mulai dari proses
pencalonan, kampanye, sampai dengan pemungutan dan penghitungan
suara.
Pemilihan umum kepala daerah secara langsung berupaya
menghasilkan kepala daerah yang lebih baik, lebih berkualitas, dan
memiliki akseptabilitas politik yang tinggi serta derajat legitimasi yang
kuat, karena kepala daerah yang terpilih mendapat langsung dari rakyat.
Penerimaan yang cukup luas dari masyarakat terhadap kepala daerah
terpilih sesuai dengan prinsip mayoritas perlu agar kontroversi yang
terjadi dalam pemilihan umum kepala daerah secara langsung dapat
dihindari. Pada gilirannya pemiihan umum kepala daerah secara langsung
akan menghasilkan pemerintahan daerah yang lebih efektif dan efisien,
48
karena legitimasi eksekutif menjadi cukup kuat, tidak gampang digoyang
oleh legislatif.
Dengan adanya pilkada secara langsung, setidaknya akan
menghasilkan lima manfaat penting (Joko J. Prihatmoko, 2005: 131-133),
yaitu sebagai berikut:
1) Sebagai solusi terbaik atas segala kelemahan proses maupun
hasil pemiihan kepala daerah secara tidak langsung lewat dewan
perwakilan rakyat daerah sebagaimana diatur dalam UndangUndang Otonomi Daerah No.32 Tahun 2004. Pemilihan kepala
daerah menjadi kebutuhan mendesak guna menutupi segala
kelemahan dalam pemilihan kepala daerah pada masa lalu.
Pemiihan kepala daerah bermanfaat untuk memperdalam dan
memperkuat
pemerintahan,
demokrasi
maupun
lokal,
baik
lingkungan
pada
lingkungan
kemasyarakatan
(civil
society).
2) Pemilihan kepala daerah akan menjadi penyeimbang arogansi
lembaga dewan perwakilan rakyat daerah yang selama ini
sering kali mengklaim dirinya sebagai satu-satunya institusi
pemegang mandat rakyat yang refresentatif. Dewan pemilihan
kepala daerah akan memposisikan kepala daerah juga sebagai
pemegang langsung mandat rakyat, yaitu untuk memerintah
(eksekutif).
49
3) Pemilihan
kepala
daerah
akan
menghasilkan
kepala
pemerintahan daerah yang memiliki legitimasi dan justifikasi
yang kuat dimata rakyat. Kepala daerah hasil pemilihan kepala
daerah
memiliki
akuntabilitas publik langsung kepada
masyarakat daerah selaku konstituennya, bukan seperti yang
selama ini berlangsung yaitu kepala dewan perwakilan rakyat
daerah. Dengan begitu, manuver politik para anggota dewan
akan berkurang, termasuk segala perilaku bad politics-nya.
4) Pemilihan kepala daerah berpotensi menghasilkan kepala
daerah yang lebih bermutu, karena pemiihan langsung
berpeluang mendorong majunya calon da menangnya calon
kepala daerah yang kredibel dan akseptabel dimata masyarakat
daerah, memuatkan derajat legitimasi dan posisi politik kepala
daerah sebagai konsekuensi dari sistem pemilihan secara
langsung oleh masyarakat.
5) Pemilihan
kepala
daerah
berpotensi
menghasilkan
pemerintahan suatu daerah yang lebih stabil, produktif, dan
efektif. Tidak gampang digoyang oleh ulah politisi lokal,
terhindar dari campur tangan berlebihan atau intervensi
pemerintahan pusat, tidak mudah dilanda krisis kepercayaan
publik yang berpeluang melayani masyarakat secara lebih baik.
Dalam pelaksanaan pilkada langsung selain ada kelebihan tentu
terdapat
kelemahannya.
Kelemahan
tersebut
ditemukan
dalam
50
pelaksanaanya dilapangan. Dalam pilkada, banyak sekali ditemukan
penyelewengan-penyelewengan
atau
kecurangan.
Kecurangan-
kecurangan yang sering dilakukan oleh para bakal calon dalam pilkada
adalah seperti berikut (S.H. Sarundajang, 2005: 187-188):
1) Money politik. Adanya money politik ini, selalu saja menyertai
dalam
setiap
pelaksanaan
pilkada.Dengan
memanfaatkan
masalah ekonomi masyarakat yang cenderung masih rendah,
maka dengan mudah mereka dapat diperalat dengan mudah.
Money politik dilakukan supaya rakyat memilih calon yang
sudah memberinya uang. Pada kenyataannya dengan uang
memang dapat membeli segalanya. Selain itu, dengan masih
rendahnya tingkat pendidikan seseorang maka dengan mudah
orang itu dapat diperalat dan diatur dengan mudah hanya karena
uang.Jadi sangat rasional sekali jika untuk menjadi calon kepala
daerah harus mempunyai uang yang banyak.
2) Adanya Intimidasi. Intimidasi ini juga sangat bahaya. Sebagai
contoh yaitu pegawai pemerintah melakukan intimidasi terhadap
warga masyarakat agar mencoblos salah satu calon. Hal ini
sangat menyeleweng dari aturan pelaksanaan pemilu.
3) Pendahuluan start kampanye. Tindakan ini paling sering terjadi.
Padahal sudah sangat jelas aturan-aturan yang berlaku dalam
pemilu tersebut. Berbagai cara dilakukan seperti pemasangan
baliho, spanduk, selebaran. Sering juga untuk bakal calon yang
51
merupakan kepala daerah saat itu melakukan kunjungan
keberbagai daerah. Kunjungan ini intensitasnya sangat tinggi
ketika mendekati pemilu. Ini sangat berlawanan yaitu ketika
sedang memimpin dulu. Selain itu media TV lokal sering
digunakan sebagi media kampanye. Bakal calon menyampaikan
visi misinya dalam acara tersebut padahal jadwal pelaksanaan
kampanye belum dimulai.
4) Kampanye negatif. Kampanye negatif ini dapat timbul karena
kurangnya sosialisasi bakal calon kepada masyarakat. Hal ini
dikarenakan sebagian masyarakat masih kurang terhadap
pentingnya informasi. Jadi mereka hanya “manut” dengan orang
yang di sekitar mereka yang menjadi panutannya. Kampanye
negatif ini dapat mengarah pada munculnya fitnah yang dapat
merusak integritas daerah tersebut.
2. Sistem Pilkada
a. Jenis-jenis Sistem Pilkada
Sistem Pilkada dapat dibedakan dalam dua jenis, yakni pilkada
langsung dan tidak langsung. Faktor utama yang membedakan kedua
metode tersebut adalah bagaimana partisipasi politik. tepatnya adalah
penggunaan suara yang berbeda.
Joko J. Prihatmoko (2005: 212) pilkada yang memberikan ruang
bagi rakyat untuk memberikan hak pilih aktif, yakni hak untuk memilih
52
dan dipilih dapat disebut dengan tak langsung. Seperti sistem penegakan
dan penunjukan oleh pemerintah pusat atau sistem perwakilan,
kedaulatan atau suara rakyat diserahkan kepada pejabat pusat. Sebaliknya
pilkada langsung selalu memberikan ruang bagi hak pilih aktif. seluruh
warga asal memenuhi syarat dapat menjadi pemilih dan mencalonkan diri
sebagai kepala daerah. Karena iotulah pilkada langsung sering disebut
implementasi demokrasi partisipan sedangkan pilkada tak langsung
adalah implementasi demokrasi elitis.
Joko J. Prihatmoko (2005: 210) yang membedakan pilkada
langsung dan pilkada tak langsung adalah dengan melihat tahap-tahap
kegiatan yang digunakan. dalam pilkada tak langsung rakyat dalam tahap
kegiatan sangat terbatas atau bahkan tidak sama sekali. rakyat
ditempatkan sebagai penonton proses pilkada yang hanya melibatkan
elite. dalam pilkada langsung, keterlibatan rakyat dalam tahapan-tahapan
kegiatan yang sangat jeas terlihat dan terbuka lebar. Rakyat merupakan
pemilih, penyelengggara, pemantau, bahkan pengawas. Oleh sebab itu
dalam pilkada langsung, selalu ada tahap kegiatan langsung, selalu ada
tahaapan kegiatan, pendaftaran pemilih, kampanye, pemungutan, dan
perhitungan suara.
Pilkada diselenggarakan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU)
Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota yang diawasi oleh Panitia Pengawas
Pemilihan Umum (panwaslu) Provinsi dan Panwaslu Kabupaten/kota.
53
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 peserta
pilkada adalah pasangan calon yang diusulkan oleh partai politik atau
gabungan partai politik. Ketentuan ini diubah dengan Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2008 yang menyatakan bahwa peserta pilkada juga
dapat berasal dari pasangan calon perseorangan yang didukung oleh
sejumlah orang.
Seorang bupati sejajar dengan wali kota, yakni kepala daerah untuk
daerah kota. Pada dasarnya bupati memiliki tugas dan wewenang
memimpin
penyelenggaraan
daerah
berdasarkan
kebijakan
yang
ditetapkan oleh DPRD kabupaten. Bupati dipilih dalam satu pasangan
secara langsung oleh rakyat dikabupaten setempat. Bupati merupakan
jabatan politis, karena diusulkan oleh partai politik dan bukan pegawai
negeri sipil.
Dalam pemilihan kepala daerah langsung rakyat memilih
pemimpin daerah melalui mekanisme yang telah ditentukan. Sistem
pemilihan yaitu mekanisme untuk menentukan pasangan calon yang akan
menjadi kepala daerah. Sistem pemilihan akan menjadi tolak ukur
kualitas pilkada yang dilaksanakan. Selain itu juga merupakan ketentuan
tata cara untuk menetapkan calon terpilih.
Dalam sistem pilkada langsung terdapat beberapa jenis sistem
pemilihan yang berbeda. Masing-masing sistem memiliki kelebihan dan
54
kekurangan yang harus disesuaikan dengan keadaan masyarakat dimana
akan berlangsungnya pilkada.
Menurut Joko J. Prihatmoko (2005: 115-120), terdapat 5 jenis
sistem pemilihan dalam pilkada langsung, yaitu:
1) First Past the Post System
First Past the Post system dikenal sebagai sistem yang
sederhana dan efisien. Calon kepala daerah yang memperoleh
suara terbanyak otomatis memenangkan pilkada dan
menduduki kursi kepala daerah. Sistem ini juga dikenal dengan
sistem
mayoritas
sederhana
(simple
majority).
Konsekuensinya, calon kepala daerah dapat memenangkan
pilkada walaupun hanya meraih kurang dari separoh jumlah
pemilih sehingga legitimasinya sering dipersoalkan.
2) Prefential Voting System atau Approval Voting System
Prefential voting system atau approval voting system
merupakan sistem dimana pemilih memberikan peringkat
pertama, kedua, ketiga dan seterusnya terhadap calon-calon
kepala daerah yang ada saat pemilihan. Seorang calon kepala
daerah akan otomatis menjadi kepala daerah jika perolehan
suaranya mencapai tingkat pertama yang terbesar. Sistem ini
juga dikenal sebagai sistem yang mengakomodasi sistem
mayoritas sederhana (simple majority), namun dapat
membingungkan proses perhitungan suara sehingga
perhitungan suara mungkin harus dilakukan secara terpusat.
3) Two Round System atau Run-off System
cara kerja Two round system ini adalah dengan dilakukan
pemilihan putaran dua (run-off) dengan catatan jika tidak ada
calon yang memperoleh suara mayoritas mutlak, yaitu lebih
dari 50% dari keseluruhan sura dalam pemilihan putaran
pertama. Dua pasanagn calon yang memiliki suara terbanyak
harus melalui pemilihan putaran kedua beberapa waktu setelah
pemilihan putaran pertama.
4) Electoral College System
Sistem ini bekerja dengan cara setiap daerah pemilih diberi
alokasi atau bobot suara Dewan Pemilih (electoral college)
sesuai dengan jumlah penduduk. Setelah pilkada keseluruhan
55
suara yang diperoleh dalam pilkada yang diperoleh setiap calon
dalam daerah pemilihan dihitung. Pemenang disetiap daerah
pemilihan berhak memperoleh keseluruhan suara dewan
pemilih di daerah pemilihan yang bersangkutan. Calaon yang
memeperoleh suara dewan pemilih terbesar akan dimenangkan
pilkada langsung.
5) Sistem (Pemilihan Presiden) Nigeria
Seorang kepala daerah dinyatakan sebagai pemenang pilkada
apabila calon bersangkutan dapat memperoleh suara mayoritas
sederhana (suara terbanyak diantara suara mayoritas yang ada)
dari daerah pemilihan. Sistem ini diterapkan untuk menjamin
bahwa kepala daerah terpilih memiliki dukungan dari mayoritas
penduduk yang tersebar di berbagai daerah pemilihan.
Sistem pilkada langsung memuat tata cara dalam proses pemilihan
kepala darah. Sistem pilkada langsung memiliki sub sistem. Di Indonesia
sub-sistem ini dilaksanakan oleh KPUD sebagai pelaksana teknis daei
pelaksanaan pilkada langsung. KPUD sekaligus melaksanakan fungsi
sub-sistem pilkada langsung terdiri dari:
1) Electoral regulation, yaitu segala ketentuan atau atauran
mengenai pilkada langsng yang berlaku, bersifat mengikat dan
menjadi pedoman bagi penyelenggara, calon, dan pemilih
dalam peran dan fungsi masing-masing. Dalam sub ini KPUD
erwenang membuat berbagai peraturan dan keputusan
mengenai pelaksanaan pilkada sesuai dengan UU No. 32 Tahun
2004 dan PP No. 6 Tahun 2005.
2) electoral process, yaitu seluruh kegitan yang terkait secara
langsung dengan pilkada yang merujuk pada ketentuan yang
berlaku yaitu ketentuan perundang-undangan baik yang bersifat
legal maupun teknikal. Dalam sub-sistem ini KPUD
berkewajiaban menangani persoalan teknis, administrasi dan
logistik.
3) Electoral law enforcement, yaitu penegakan hukum terhadap
aturan-aturan pilkada baik politisi, administratif, atau pidana.
Dalam sub-sistem ini KPUD berwenang melakukan tindakantindakan hukum yang berfungsi memaksimalkan pelaksanaan
tahanan pilkada (Joko J.Prihatmoko, 2005:187).
56
b. Ketentuan dan Implikasi Sistem Pemilihan Kepala Daerah
Sistem pilkada yang diatur dalam UU No.32 tahun 2004 tentang
pemerintahan daerah tiadak memuat secara jelas karakteristik sistem
pemilihannya. Sistem pemilihan yang diikuti oleh sistem pilkada di
Indonesia adalah campuran antara two round, sistem pemilihan presiden
Nigeria, dan sistem first past the post. Sesuai dengan pasal 107 ayat (1)
yang berbunyi: “Pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah
yang memperoleh suara lebih dari 50% (lima puluh persen) jumlah suara
ditetapkan sebagai calon terpilih”. Pasal ini sesuai dengan sistem two
round.
Namun dalam pasal 107 ayat (2) disebutkan : “Apabila ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak terpenuhi, pasangan calon
kepala daerah dan wakil kepala daerah yang memperoleh suara lebih dari
25% (dua puluh lima persen) cari jumlah suara sah pasangan calon yang
perolehan suaranya terbesar dinyatakan sebagai pasangan calon terpilih”.
C. PEMILIH PEMULA
1. Pemilih pemula
Menurut Pahmi Sy (2010:54) pemilih adalah warga negara Indonesia
yang telah genap berusia 17 tahun atau lebih atau sudah/pernah kawin.
Pemilihpemula terdiri dari dua kata, yakni pemilih dan pemula. Pemilih
adalah orang yang memilih. Sedangkan pemula adalah orang yang mulai
atau mula-mula melakukan sesuatu (KBBI online). Pemilih pemula
57
merupakan pemilih yang berusia antara 17-21 tahun atau baru pertama kali
ikut dalam pemilu (Maesur zaky, 2009: 14).
Menurut pasal 1 ayat (2) UU No.10 Tahun 2008, Pemilih adalah
warga Negara Indonesia yang telah genap berumur 17 (tujuh belas) atau
lebih sudah/pernah kawin. Kemudian pasal 19 ayat (1 dan 2) UU No.10
Tahun 2008 merangkan bahwa pemilih yang mempunyai hak memilih
adalah warga Negara Indonesia yang didaftar oleh penyelenggara Pemilu
dalam daftar pemilih dan pada hari pemungutan suara pemilih genap
berumur 17 (tujuh belas) tahun atau lebih atau sudah/pernah kawin.
Pengetahuan mereka dengan pemilih lainnya tidak jauh berbeda hanya saja
antusiasme dan preferensi.
2. Ciri-ciri pemilih pemula
Pemilih pemula secara umum mereka para pelajar, mahasiswi serta
pekerja yang berusia muda. Dalam pesta demokrasi pemilih pemula selama
ini menjadi sebuah objek kegiatan politik. Yaitu mereka yang memerlukan
bimbingan kearah pertumbuhan potensi dan kemampuan tingkat yang
optimal agar dapat berperan baik dalm bidang kegiatan politik. Perlu adanya
pendidikan politk agar pemilih pemula berkembang menjadi warga Negara
yang baik, yang menghayati nilai-nilai luhur dari bangsanyadan sadar akan
kewajibannya dalam kerangka nilai-nilai yang membingkainya.
58
Ciri-ciri pemilh pemula sebagai berikut :
a. Warga Negara Indonesia dari pemungutan suara sudah berusia
17 tahun atau lebih atau sudah kawin/pernah kawin.
b. Baru mengikuti pemilu, memberikan hak pilihnya pertama kali
sejak peilu yang diselenggarakan di Indonesia dengan rentang
usia 17-21 tahun.
c. Mempunyai hak memilih dalam penylenggaraan pilkada 2013.
3. Pembelajaran politik pada pemilih pemula
Menurut Sekertariat Jendral KPU (2010) pentingnya peran pemilih
pemula karena 20% mereka merupakan bagian dari pemilih. Dengan
demikian jumlah pemilih pemula sangatlah besar, dan diharapkan dapat
menggunakan hak pilihnya dengan baik. Jangan sampai tidak terdaftar
dalam DPT atau kesalahan dalam menggunakan hak pilihnya.
Lahirnya dari kelompok ini secara langsung akan memunculkan
dampak pencitraan. Untuk pengamanan proses regenarisai kader politik
kedepan, walaupun memerlukan biaya yang tidak sedikit. Namun apabila
tidak mendapatkan dukungan dari kelompok ini, maka cukup merugikan
bagi para parpol atau kandidat yang ingin mendulang tinggi hasil dukungan.
Pemilih pemula kerap menampilkan sisi yang unik, sering kali
memunculkan kejutan dan
akan menjanjikan secara kuantitas. Pemilih
pemula dengan antusiasme tinggi akan relatif rasional haus akan perubahan
yang positif.
59
Pemilih pemula ditempatkan pada swing voters apabila memiliki
antusiastinggi namun keputusan belum bulat (www.indonesiamemilih.com
diakses 14 Maret 2013). Partisipasi mereka belum memiliki ideologis
tertentu dan didorong oleh dinamika lingkungan politik lokal.Pemilih
pemula mudah dipengaruhi oleh lingkungan keluarga, kerabat dan teman.
Selain itu juga media massa juga ikut berpengaruh seperti berita, spanduk,
poster, dll.
Bagi pemilih pemula yang masih sekolah adapun sosialisasi politik
iadapatkan melalui mata pelajaran PKn. PKn sebagai pendidikan politik
terutama dilakukan lewat sekolah merupakan bagaian dari sosialisasi politik.
Menurut Greenstein yang dikutip oleh Cholisin (2000:63), sosialisasi
politik diartikan sebagai keseluruhan belajar politik baik formal maupun
informal disengaja maupun tidak disengaja (Political socialization is all
poltical learning formal informal deliberate and unplanned).
PKn sebagai pendidikan politik berarti menyangkut belajar dan
mengajar tentang politik dan tentang aktor politik. Dalam hal tertentu
pendidikan politik sangat memprihatikan tentang distribusi kekuasaan untuk
memajukan rakyat (Renshon,1977:191). Dan PKn sebagai pendidikan
politik menurut James Coleman, akan menekankan bagaimana mewujudkan
warga Negara yang baik dalam arti mampu berpartisipasi dalam kehidupan
Politikya atau kehidupan nasionalnya (we call civic training that part of
political life of bis or ber nation) (Prewit & Dawson 1977:141).
60
Dengan demikian tampak jelas bahwa PKn merupakan sosialisasi
politik yang formal dan direncanakan (pendidikan politik) untuk mekankan
pada kemampuan berpartisipasi warga negara dalam kehidupan politik
nasionalnya. Adapun teori belajar politik yaitu:
a. Teori sistem
Teori sistem dalam ilmu politik dikenalkan oleh Easton kemudian
Easton dengan kolengnya Jack Dennis mengaplikasikannya pada studi
sosialisasi politik. Sosialisasi politik dianggap memainkan peran
utama dalam menjaga kestabilan politik memunginkan sistem politik
yang sama berlaku terus menerus sehingga tercapai dan berada pada
suasana mapan dan mantap. Sosialisasi politik memungkinkan
terjadinya apa yang disebut Almond, (1960), sebagai “system
maintenance” (kemampuan bertahan suatu sistem politik secara terus
menerus meskipun samba mengalami perubahan-perubahan) (Prewitt
& Dawson, 1977:17-23, Alfian 1982:8).
Pola belajar politik atau sosialisasi politik menurut teori sistem di
arahkan untuk memelihara dan mengembangkan sistem politik ideal
yang hendak dibangun adalah sistem politik demokrasi Pancasila,
maka arah sosialisasi politik pada sistem ini.
b. Teori hegemonik
Teori hegemonik berarti akan mengarahkan sosialisasi politik pada
dukungan sistem politik nasional. Oleh karena itu apa saja
pengembangan teori hegemonik dapat mengarahkan pada sosialisasi
politik yang akan meahirkan sikap untuk membenci atau memusuhi
pemerintah kalau ini dilakukan oleh kelompok oposan. Apa yang
diuraikan sejalan dengan prinsip teori hagemoni yang memang
merupakan proses sosialisasi politik yang mentransmisikan ideology
politik dari kelompok yang dominan kepada kelompok yang di
dominasi dalam masyarakat ( Prewitt Dawsom, 19977:24).
c. Teori Psikodinamik
Menurut teori ini pengalaman pada masa awal (kanak-kanak)
meninggalkan kesan yang sagat mendalamterhadap pembentukan
kepribadian seorang anak dan setelah mereka dewasa akan merespon
terhadap berbagai peristiwa dan rangsangan di tentukan oleh
kebutuhan-kebutuhan pada masa awal.dari perspektif ini, maka
kebutuhan-kebutuhan itu akan diadopsi anak ke dalam pandangan
61
dunia politik, terutama yang akan memberikan kepuasan terhadap
kebutuhan pribadinya.
d. Teori Belajar Sosial
Teori belajar sosial ini, merupakan kebalikan dari teori psikodinamik.
Teori ini menekan pada faktor eksternal sebagai penentu orientasi
politik seseorang. Faktor eksternal yaitu penerimaan stimulus atau
penguatan yang berasal dari lingkungan. Pesan-pesan yang diterima
oleh individu dari lingkungan merupakan faktor yang krusial dalam
menentukan pandangan yang akan diadopsi oleh seseorang.
e. Teori Perkembangan Kognitif
Teori perembangan kognitif berada diantara teori psikodinamik dan
teori belajar sosial, yaitu menekankan pada interaksi antara
lingkungan dan perkembangan kapasitas individu berfikir. Menurut
teori ini kemampuan respond an pemahaman individu tentang sesuatu
dalam lingkungannya, sangat ditentukan oleh kapsitas berfikirnya.
Kualitas pemikiran anak cenderung sederhana dan lebih memahami
sesuatu secara abstrak, sedangkan pada remaja dan orang dewasa
sudag mulai berkembang kemampuaan berfikir yang lebih komplek
dan rinci. Dengan demikian kualitas pemikiran merupakan faktor yang
menentukan perbedaan dalam pandangan dan sikap politik seseorang.
Sosialisasi politik dapat dinyatakan sebagai proses mewariskan,
memelihara, bahkan mengubah budaya politik suatu bangsa. Bagi bangsa
Indonesia budaya politik yang hendak diwariskan adalah budaya politik
partisipan yang sesuai dengan nilai-nilai budaya politik Pancasila dan UUD
1945. Sosialisasi politik yang dilakukan pun sebaiknya yang mendukung
pengembangan budaya demokrasi. Oleh karena itu sosialisasi politik yang
tepat adalah mengacu pada teori system dan teori belajar sosial. Sedangkan
teori psikodinamik dan teori perkembangan kognitif digunakan untuk
melengkapinya.
62
Sosialisasi politik dilakukan melalui berbagai bermacam-macam sarana.
Menurut Mohtar Ma’oed & Collin MacAndrews (2011: 46-49) sarana-sarana
sosialisasi politik melalui:
1) Keluarga. Pengaruh keluarga ini adalah dalam hal pembentukan sikap
terhadap wewenang kekuasaan (authority).
2) Sekolah. Sekolah memberikan pengetahuan kepada kaum muda
tentang dunia politik dan peranan mereka di dalamnya. Sekolah juga
merupakan saluran pewarisan nilai dan sikap-sikap masyarakatnya.
3) Kelompok pergaulan. Kelompok pergaulanini mensosialisasikan
anggota-anggotanya dengan cara mendorong atau mendesak mereka
menyesuaikan diri terhadap sikap-sikap atau tingkah laku di kelompok
itu.
4) Pekerjaan. Individu-individu mengidentifikasikan diri dengan suatu
kelompok tetentu seperti serikat buruh, dan menggunakan serikat itu
sebagai acauan dalam kehidupan politik.
5) Media massa. Disamping memberiakan informasi tentang peristiwaperistiwa politik, media massa juga menyampaikan langsung maupun
tidak langsung nilai-nilai utama yang dianut oleh masyarakat.
6) Kontak-kontak politik langsung. Tidak peduli betapa positif
pandangan terhadap sistem politik yang ditanam oleh keluarga
maupun sekolah, tetapi bila seseorang telah diabaikan oleh partainya,
ditipu oleh polisi, kelaparan tanpa ditolong, dan dipaksa untuk wajib
militer, pandangannya terhadap politik sangat mungkin berubah.
Pkn sebagai pendidikan politik merupakan salah satu bentuk sosialisasi
politik yang dilaksanakan melalui sekolah. Dengan pelajaran Pkn peserta
didik diajarkan mengenai hak kewajiban warga negara, sistem politik, budaya
politik, otonomi daerah, partai politik dan lain sebagainya. Yang pada
gilirannya peserta didik diharapkan dapat berpartisipasi aktif dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara secara bertanggungjawab.
63
Kemudian menurut Suhartono (2009:6) pemilih pemula mempunyai
kebudayaan yang santai, bebas, dan cenderung pada hal-hal informal mencari
kesenangan. Oleh sebab itu semua hal yang tidak menyenangkan baginya
akan dihindari.
Download