BAB II KAJIAN TEORI A. PARTISIPASI POLITIK 1. Partisipasi Politik a. Pengertian partisipasi politik Partisipasi menjadi salah satu prinsip mendasar dari good government, sehingga banyak kalangan menempatkan partisipasi sebagai strategi awal dalam mengawali reformasi 1998. Partisipasi berasal dari bahasa latin yaitu pars yang artinya bagian dan capere yang artinya mengambil peranan dalam aktivitas atau kegiatan politik negara. Apabila digabungkan berarti “mengambil bagian”. Dalam bahasa inggris, partisipate atau participation berarti mengambil bagian atau peranan. Jadi partisipasi berarti mengambil peranan dalam aktivitas atau kegiatan politik negara (Suharno, 2004:102-103). Partisipasi politik adalah salah satu aspek penting suatu demokrasi. Partisipasi politik merupakan ciri khas dari modernisasi politik. Adanya keputusan politik yang dibuat dan dilaksanakan oleh pemerintah menyangkut dan mempengaruhi kehidupan warga negara, maka warga negara berhak ikut serta menentukan isi keputusan politik. Oleh karena itu yang dimaksud dengan partisipasi politik 17 18 menurut Hutington dan Nelson yang dikutip oleh Cholisin (2007: 151) adalah kegiatan warga Negara yang bertindak sebagai pribadi-pribadi yang dimaksud untuk mempengaruhi pembuatan keputusan oleh pemerintah. Selanjutnya Ramlan Surbakti sebagaimana yang dikutip oleh Cholisin (2007:150) memberikan definisi singkat mengenai partisipasi politik sebagai bentuk keikutsertaan warga negara biasa dalam menentukan segala keputusan yang menyangkut atau mempengaruhi hidupnya. Menurut menyatakan Miriam bahwa Budiarjo, partisipasi (dalam politik Cholisin secara 2007:150) umum dapat didefinisikan sebagai kegiatan seseorang atau sekelompok orang untuk ikut secara aktif dalam kehidupan politik, yaitu dengan jalan memilih pemimpin Negara dan langsung atau tidak langsung mempengaruhi kebijakan publik (public policy). Kegiatan ini mencakup tindakan seperti memberikan suara dalam pemilihan umum, mengahadiri rapat umum, menjadi anggota suatu partai atau kelompok kepentingan, mengadakan hubungan (contacting) dengan pejabat pemerintah atau anggota perlemen, dan sebagainya. Oleh sebab itu, di negara-negara demokrasi pada umumnyadianggap bahwa partisipasi masyarakatnya lebih banyak, maka akan lebih baik. Dalam implementasinya tingginya tingkat 19 partisipasi menunjukkan bahwa warga negara mengikuti dan memahami masalah politik dan ingin melibatkan diri dalam kegiatankegiatan itu. Sebaliknya, tingkat partisipasi yang rendah pada umumnya dianggap sebagai tanda yang kurang baik, karena dapat ditafsirkan bahwa banyak warga tidak menaruh perhatian terhadap masalah kenegaraan (Miriam Budiardjo, 2008: 369). Ahli yang lain juga menyebutkan pengertian partisipasi politik: 1) Keith Fauls Keith Fauls (1999:133) memberikan definisi partisipasi politik sebagai keterlibatan secara aktif (the active engagement) dari individu atau kelompok ke dalam proses pemerintahan. Keterlibatan ini mencakup keterlibatan dalam proses pengambilan keputusan maupun berlaku oposisi terhadap pemerintah. 2) Herbert McClosky dalam International Encyclopedia of the Social Sciences Herbert McClosky (1972: 252) memberikan definisi partisipasi politik sebagai kegiatan-kegiatan sukarela dari warga masyarakat melalui mana mereka mengambil bagian dalam proses pemilihan penguasa, dan secara langsung atau tidak langsung, dalam proses pembentukan kebijakan umum. 20 3) Samuel P. Huntington dan Joan M. Nelson dalam No Easy Choice: Political Participation in Developing Countries Huntington dan Nelson (1997: 3) partisipasi politik sebagai Kegiatan warga negara yang bertindak sebagai pribadi-pribadi, yang dimaksud sebagai pembuatan keputusan oleh pemerintah. Partisipasi bisa bersifat individual atau kolektif, terorganisir atau spontan, mantap atau secara damai atau kekerasan, legal atau illegal, efektif atau tidak efektif. Dari pendapat yang dikemukankan oleh para ahli di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa partisipasi politik adalah hal-hal yang berkaitan dengan kegiatan seseorang atau sekelompok orang dalam hal penentuan atau pengambilan kebijakan pemerintah baik itu dalam hal pemilihan pemimpin ataupun penentuan sikap terhadap kebijakan publik yang dibuat oleh pemerintah untuk di jalankan, yang dilakukan secara langsung atau tidak langsung dengan cara konvensional ataupun dengan cara non konvensional atau bahkan dengan kekerasan (violence) b. Faktor-faktor Partisipasi Politik Partisipasi politik merupakan suatu aktivitas tentu dipengaruhi oleh beberapa faktor. Menurut Ramlan Surbakti (1992:140) menyebutkan dua variable penting yang mempengaruhi tinggi rendahnya tingkat partisipasi politik seseorang. Pertama, aspek kesadaran politik terhadap pemerintah (sistem politik). Yang dimaksud 21 dalam kesadaran politik adalah kesadaran hak dan kewajiban warga negara. Misalnya hak politik, hak ekonomi, hak perlindungan hukum, kewajiban ekonomi, kewajiban sosial dll. Kedua, menyangkut bagaimana penilaian serta apresiasi terhadap kebijakan pemerintah dan pelaksanaan pemerintahnya. Selain itu ada faktor yang berdiri sendiri (bukan variable independen). Artinya bahwa rendah kedua faktor itu dipengaruhi oleh faktor-faktor lain, seperti status sosial, afiliasi politik orang tua, dan pengalaman beroganisasi. Yang dimaksud status sosial yaitu kedudukan seseorang berdasarkan keturunan, pendidikan, pekerjaan, dan lain-lain. Selanjutnya status ekonomi yaitu kedudukan seseorang dalam lapisan masyarakat, berdasarkan pemilikan kekayaan. Seseorang yang mempunyai status sosial dan ekonomi tinggi diperkirakan tidak hanya mempunyai pengetahuan politik, akan tetapi memiliki minat serta perhatian pada politik dan kepercayaan terhadap pemerintah (Ramlan Surbakti, 2006:144-145). Selanjutnya menurut Myron Weimer partisipasi politik di pengaruhi oleh beberapa hal, seperti yang dikutip oleh Mohtar Mas’oed dan Collin MacAndrews (2011:56-57) 1) Modernisasi Modernisasi komensialisme disegala bidang pertanian, akan industrial, berimplikasi pada meningkatkan arus urbanisasi, peningkatan kemampuan baca tulis, perbaikan 22 pendidikan dan pengembangan media massa atau media komunikasi secara luas. 2) Terjadi perubahan struktur kelas sosial Terjadinya perubahan kelas struktur kelas baru itu sebagai akibat dari terbentuknya kelas menengah dan pekerja baru yang meluas era industralisasi dan modernisasi. 3) Pengaruh kaum intelektual dan meningkatnya komunikasi massa modern Ide-ide baru seperti nasionalisme, liberalisme, membangkitkan tuntuntan-tuntutan untuk berpartisipasi dalam pengambilan suara. 4) Adanya konflik diantara pemimpin-pemimpin politik Pemimpin politik yang bersaing merebutkan kekuasaan sering kali untuk mencapai kemenangannya dilakukan dengan cara mencari dukungan massa. 5) Keterlibatan pemerintah yang semakin luas dalam unsur ekonomi,sosial dan budaya Meluasnya ruang lingkup aktivis pemerintah ini seringkali merangsang timbulnya tuntutan-tuntutan organisasi untuk ikut serta dalam mempengaruhi pembuatan keputusan politik. 23 Sementara itu menurut Milbrath yang dikutip oleh Michael Rush dan Althof (1989:168) memberikan alasan bervariasi mengenai partisipasi seseorang, yaitu: Pertama, berknaan dengan penerimaan perangsang politik. Milbrath menyatakan bahwa keterbukaan dan kepekaan seseorang terhadap perangsang politik melalui kontak-kontak pribadi, organisasi dan melalui media massa akan memberikan pengaruh bagi keikutseertaan seseorang dalam kegiatan politik. Kedua, berkenaan dengan karekteristik sosial seseorang. Dapat disebutkan bahwa status ekonomi, karekter suku, usia jenis kelain dan keyakinan (agama). Karakter seseorang berdasarkan faktor-faktor tersebut memiliki pengaruh yang relatif cukup besar terhadap partisipasi politik. Ketiga, yaitu menyingkat sifat dan sistem partai tempat individu itu hidup. Seseorang yang hidup dalam negara yang demokratis, partaipartai politiknya cenderung mencari dukungan massa dan memperjuangkan kepentingan massa, sehingga massa cenderung berpartisipasi dalam politik. Keempat, yaitu adanya perbedaan regional. Perbedaan ini merupakan aspek lingkungan yang berpengaruh terhadap perbedaaan watak dan tingkah laku individu. Dengan perbedaan regional itu pula yang mendorong perbedaan perilaku politik dan partisipasi politik. 24 Partisipasi pemilih pemula dalam pilbup langsung memang erat kaitanya dengan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Banyak pertimbangan dalam menggunakan hak pilihnya. Bisa melihat dari sisi visi misi kandidat yang bagus meskipun tidak ada jaminan setelah kandidat terpilih. Selain itu berupa acuan yang digunakan untuk memilih adalah mereka kandidat yang memberikan uang, dan kandidat yang diusung oleh partai yang dianggap pemilih pemula sesuai dengan kriterianya. Pada perilaku pemilih yang rasional pemilih akan menentukan pilihannya berdasarkan isu politik dan kandidat yang diajukan serta kebijakan yang dinilai menguntungkan baginya yang akan ia peroleh apabila kandidat pilihannya terpilih. Pemilih yang rasional tidak hanya pasif dalam berpartisipasi tetapi aktif serta memiliki kehendak bebas. c. Tipologi Partisipasi Politik A. Rahman H.I (2007: 288) menyatakan bahwa secara umum tipologi partisipasi sebagai kegiatan dibedakan menjadi: 1) partisipasi aktif, yaitu partisipasi yang berorientasi pada proses input dan output. 2) partisipasi pasif, yaitu partisipasi yang berorientasi hanya pada output, dalam arti hanya menaati peraturan pemerintah, menerima pemerintah. dan melaksanakan saja setiap keputusan 25 3) golongan putih (golput) atau kelompok apatis, karena menggapsistem politik yang ada menyimpang dari yang dicita-citakan. Milbrath dan Goel yang dikutip oleh Cholisin (2007: 152) membedakan partisipasi politik menjadi beberapa kategori yakni : 1) Partisipasi politik apatis orang yang tidak berpartisipasi dan menarik diri dari proses politik. 2) Partisipasi politik spector orang yang setidak-tidaknya pernah ikut memilih dalam pemilihan umum. 3) Partisipasi politik gladiator mereka yang secara aktif terlibat dalam proses politik, yakni komunikator, spesialis mengadakan kontak tatap muka, aktivis partai dan pekerja kampanye dan aktivis masyarakat. 4) Partisipasi politik pengritik Orang-orang yang berpartisipasi dalam bentuk yang tidak konvensional. Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa orientasi partisipasi politik aktif terletak pada input dan output politik. Sedangkan partsipasi 26 pasif terletak pada outputnya saja. Selain itu juga ada anggapan masyarakat dari sistem politik yang ada dinilai menyimpang dari apa yang dicita-citakan sehingga lebih menjurus kedalam partisipasi politik yang apatis. Pemberian suara dalam pilbup merupakan salah satu wujud partisipasi dalam politik yang terbiasa. Kegiatan ini walaupun hanya pemberian suara, namun juga menyangkut semboyan yang diberikan dalam kampanye, bekerja dalam membantu pemilihan, membantu tempat pemungutan suara dan lain-lain. Sedangkan Olsen yang dikutip Oleh A. Rahman H.I (2007: 289) memandang partisipasi sebagai dimensi utama startifikasi sosial.Ia membagi partisipasi menjadi enam lapisan, yaitu pemimpin politik, aktivitas politik, komunikator (orang yang menerima dan menyampaikan ide-ide, sikap dan informasi lainnya kepada orang lain), warga masyarakat, kelompok marginal (orang yang sangat sedikit melakukan kontak dengan sistem politik) dan kelompok yang terisolasin(orang yang jarang melakukan partisipasi politik). Partisipasi politik juga dapat dikategorikan berdasarkan jumlah pelaku yaitu individual dan kolektif.individual yakni seseorang yang menulis surat berisi tuntutan atau keluhan kepada pemerintah.Sedangkan yang dimaksud partisipasi kolektif ialah 27 kegiatan warganegara secara serentak untuk mempengaruhi penguasa seperti kegiatan dalam proses pemilihan umum. Partisipasi kolektif dibedakan menjadi dua yakni partisipasi kolektif yang konvensional yang seperti melakukan kegiatan dalam proses pemilihan nonkonvensional umum (agresif) dan partisipasi seperti politik pemogokan kolektif yang tidak sah,melakukan hura-hura, menguasai bangunan umum. Partisipasi politik kolektif agresif dapat dibedakan menjadi dua yaitu aksi agresif yang kuat dan aksi agresif yang lemah. Suatu aksi agresif dikatakan kuat dilihat dari tiga ukuran yaitu bersifat anti rezim (melanggar peraturan mengenai aturan partisipasi politik normal), mengganggu fungsi pemerintahan dan harus merupakan kegiatan kelompok yang dilakukan oleh monoelit. Sedangkan, partisipasi politik kolektif agresif yang lemah adalah yang tidak memenuhi ketiga syarat tersebut diatas. Di negara-negara berkembang partisipasi politik cenderung digerakan secara pembangunan. meluas Orang-orang dan yang diarahkan melakukan untuk kepentingan demonstrasi atau memberikan suara dengan jalan tersebut tampaknya merupakan wujud nyata dari partisipasi politik yang mudah serta mengudang perhataian dari berbagai kalangan. 28 d. Bentuk Partisipasi Politik Paige dalam Cholisin (2007:153) merujuk pada tinggi rendahnya kesadaran politik dan kepercayaan pemerintah (sistem politik menjadi empat tipe yaitu partisipasi aktif, partisipasi pasif tertekan (apatis), partisipasi militan radikal , dan partisipasi pasif. Partisipasi aktif, yaitu apabila seseorang memiliki kesadaran politik dan kepercayaan kepada pemerintah tinggi. Sebaliknya jika kesadaran politik dan kepercayaan kepada pemerintah rendah maka partisipasi politiknya cenderung pasif-tertekan (apatis). Partisipasi militan radikal terjadi apabila kesadaran politik tinggi tetapi kepercayaan kepada pemerintah sangat rendah. Dan apabila kesadaran politik sangat rendah tetapi kepercayaan terhadap pemerintah sangat tinggi maka partisipasi ini disebut tidak aktif (pasif). Berbagai bentuk-bentuk partisipasi politik yang terjadi di berbagai Negara dapat dibedakan dalam kegiatan politik yang berbentuk konvensional dan nonkonvensional termasuk yang mungkin legal (petisi) maupun ilegal (cara kekerasan atau revolusi). Bentukbentuk dan frekuensi partisipasi politik dapat dipakai sebagai ukuran untuk menilai stabilitas sistem politik, integritas kehidupan politik, kepuasan atau ketidak puasan warga negara. Bentuk-bentuk partisipasi politik yang dikemukakan oleh Almond yang dikutip oleh Mohtar Mas’oed (2011:57-58) yang terbagai dalam 29 dua bentuk yaitu partisipasi politik konvensional dan partisipasi politik non konvensional. Adapun rincian bentuk partisipasi politik konvensional dan non konvensional. 1) Partisipasi politik konvensional a) Pemberian suara atau voting b) Diskusi politik c) Kegiatan kampanye d) Membentuk dan bergabung dalam kelompok kepentingan e) Komunikasi individual dengan pejabat politik atau administratif 2) Partisipasi politik nonkonvensional a) Pengajuan petisi b) Berdemonstrasi c) Konfrontasi d) Mogok e) Tindak kekerasan politik terhadap harta benda : pengrusakan, pemboman, pembakaran f) Tindakan kekerasan politik terhadap manusia: penculikan, pembunuhan, perang gerilya, revolusi. Kemudian David F. Roft dan Frank yang dikutip oleh A Rahman H.I (2007: 286) bentuk partisipasi warga Negara berdasarkan intensitasnya. Intensitas terendah adalah sebagai pengamat, intensitas menengah yaitu sebagai partisipan, dan intensitas tertinggi sebagai 30 partisipan. Apabila intensitas kegiatan masyarakat dalam kegiatan politik dijenjangkan maka akan membentuk piramida partisipasi politik. Gambar 1: Piramida partsipasi politik Sumber : A Rahman HI 2007 Kelompok paling bahwah pada gambar piramida partisipasi politik yaitu kelompok yang sama sekali tidak terlibat dan tidak melakukan kegiatan politik. Oleh Roth dan Wilson ( A Rahman H.I, 2007:287) disebut sebagai kelompok apolitis. Kelompok yang berada di atas apolitis yaitu kelompok pengamat, kelompok ini biasanya menghadiri rapat umum parpol, membicarakan politik, mengikuti perkembanagan lewat media, memberikan suara dalam pemilu. Kemudian satu tingkat di atas kelompok pengamat yaitu kelompok partisipan. Pada kelompok ini aktivitas yang sering dilakukan seperti menjadi petugas kampanye, anggota aktif partai, dan kelompok 31 kepentingan dalam proyek sosial. Kemudian kelompok yang paling atas di tingkat piramida adalah kelompok aktivis. Warga yang tergabung dalam kelompok ini tergolong sedikit jumlahnya, mereka merupakan pejabat partai sepenuh waktu, pemimpin partai atau pemimpin kepentingan. Adapun bentuk partisipasi yang dilakukan oleh pemuda yakni berupa demonstrasi, pemogokan dan kegiatan protes. Cara yang biasanya dilakukan oleh pemilih pemula untuk turut dalam partisipasi pilbup yaitu bergabung dengan salah satu parpol didaerahnya mengikuti kegiatan kampanye, serta menghadiri diskusi politik didaerahnya. Ciri utama yang dimiliki pemilih pemula yaitu latar belakang tingkat partisipasi pemilih adalah pendidikan dan jenis kelamin. Setiap komunitas masyarakat memiliki latar belakang yang berbeda-beda. Hal tersebut akan mempunyai pengaruh terhadap tingkat partisipasi politik dalam Pilbup. Serta menjadi bagian partisipasi dalam dinamika kegiatan politik. 2. Perilaku Memilih Perilaku memilih adalah serangkaian kegiatan membuat keputusan yaitu memilih atau tidak memilih (Cholisin 2004:126). Sedangkan menurut Prihatmoko (2008:46) perilaku memilih adalah keikutsertaan warga dalam pemilu sebagi rangkaian pembuatan keputusan. 32 a. Perilaku Politik Menurut Ramlan Surbakti, (1992:131) seecara umum perilaku politik dirumuskan sebagai kegiatan yang berkenaan dengan proses pembuatan dan keputusan publik. Sedangkan menurut Sudijono Sastroadmodjo (1993:3) perilaku politik adalah suatu kegiatan rakyat dimana masayarakat ada dalam suaru proses meraih, mempertahankan dan mengembangkan kekuasaan. Perilaku politik berkaitan dengan tujuan masyarakat, kebijakan mencapai tujuan, dan sistem kekuasaan yang memungkinkan adanya suatu otoritas untuk mengatur suatu kehidupan bermasyarakat. Ada tiga analisis untuk melakukan kajian terhadap perilaku politik yaitu individu aktor politik, agresi politik dan tipologi kepribadian politik. Yang dimaksud individu aktor politik meliputi aktor politik (pemimpin), aktivis politik dan individu warga negara biasa. Sedangkan agresi meliputi individu aktor secara kolektif seperti birokrasi, partai politik, kelompok kepentingan dan lembaga bangsa. Adapun yang dikaji dalam tipologi kepribadian politik yaitu tipe kepribadian otoriter, machialvelis dan demokrat. Dari hasil pendekatan diatas, maka tercipta sebuah model tentang faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku politik individu aktor politik sebagai berikut: 33 1) Lingkungan sosial politik tak langsung seperti sistem politik, sistem ekonomi, sistem budaya dan sistem media massa. 2) Lingkungan sosial politik langsung yang mempengaruhi dan membentuk kepribadian aktor seperti keluarga, agama, sekolah dan kelompok pergaulan. 3) Struktur kepribadaian yang tercermin dalam sikap individu. 4) Lingkungan sosial politik langsung seperti situasi yaitu yang memepengaruhi aktor secara langsung, ketika hendak melakukan suatu kegiatan, seperti situasi keluarga, situasi ruang, kehadiran orang lain, suasana kelompok, dan anacaman dalam segala bentuknya (Ramlan Surbakti, 1992: 133) b. Pendekatan dalam perilaku memilih Perilaku politik warga negara seringkali dikaitkan dengan kegiatan mereka dalam memilih wakilnya maupun pemimpinnya dalam pemilihan umum yang diadakan oleh negara yang demokratis. Cholisin (2007: 154) ada lima pendekatan dalam perilaku memilih yakni struktural, sosiologis, ekologis, psikologis sosial dan pilihan rasional. 1) Menurut pendekatan struktural adalah kegiatan memilih dilihat sebagai produk dari konteks struktur yang lebih luas, seperti struktur sosial, sistem partai, sistem pemilihan umum, permasalahan dan program yang ditonjolkan partai. 2) Sedangkan pendekatan sosiologis cenderung menempatkan kegiatan memilih dalam kaitan dengan konteks sosial. Maknanya pilihan seseorang dalam pemilihan umum dipengaruhi oleh latar 34 belakang demografi dan sosial ekonomi, jenis kelamin, tempat tinggal, pekerjaan, pendidikan, kelas, pendapatan dan agama. 3) Pendekatan ekologis hanya relevan apabila dalam suatu daerah pemilihan terdapat perbedaan karekteristik pemilih berdasarkan unit teritorial, seperti desa, kelurahan, kecamatan, dan kabupaten. 4) Pendekatan psikologi sosial, salah satu penjelasan dari sisi psokologi sosial untuk menjelaskan perilaku memilih dalam pemilihan umum adalah konsep identifikasi partai. Konsep ini merujuk pada persepsi pemilih atas partai yang ada atau keterikatan emosional pemilih terhadap partai tertentu. 5) Pendekatan pilihan rasional melihat kegiatan memilih sebagai produk kalkulasi untung rugi. Yang dipertimbangkan tidak hanya ongkos memilih dan kemungkinan suaranya dapat mempengaruhi hasil yang dihararapakan, tetapi juga perbedaan dari alternatif berupa pilihan yang ada. Pertimbangan ini digunakan pemilih dan kandidat yang hendak mencalonkan diri untuk terpilih sebagai wakil rakyat atau pejabat pemerintah. Selain itu ada penelitian terdahulu mengenai pendekatan perilaku memilih sebagai berikut: 1) Bambang Kuncoro 1998, (Tesis) melakukan penelitian di Desa Sunyalangu Kabupaten Banyumas menemukan bahwa karakteristik sosiologis, subkultur aliran dan identifikasi partai cukup relevan untuk menjelaskan perubahan perilaku memilih warga Desa Sunyalangu dalam menentukan OPP (Organisasi Peserta Pemilu). Masyarakat Desa Sunyalangu mempunyai kecenderungan memilih OPP lebih besar karena ajakan tetangga daripada program yang ditawarkan OPP. Faktor alasan sosiologis masyarakat. berpengaruh besar dalam perilaku memilih 35 2) J. Kristiadi (2004:30) menjelaskan bahwa tingkat pendidikan, profesi, struktur usia, dan tempat tinggal (desa-kota) tidak mempengaruhi perilaku memilih. 3) Udin Hamin, 2004, (Tesis) yang melakukan penelitian perilaku memilih etnis di Kota Tidore Kepulauan menjelaskan bahwa rasionalitas, pertimbangan program partai, identifikasi partai, budaya dan lingkungan sosial berpengaruh kuat terhadap perilaku memilih kepala daerah pada masyarakat. 4) Darussalam Darussalam, 2004, (Tesis) menemukan bahwa faktor psikologis sangat besar peranannya untuk menjelaskan perilaku memilih di Indonesia. Sedangkan faktor sosiologis dan faktor rasional tidak terlihat dampaknya terhadap perilaku memilih di Indonesia.Berdasarkan penelitian-penelitian yang pernah dilakukan oleh ilmuwan-ilmuwan politik di atas, penelitian perilaku memilih tidak hanya memfokuskan pada salah satu pendekatan saja malainkan mengkaji berbagai pendekatan yang ada baik pendekatan sosiologis, psikologis, dan rasional. Nampaknya, berbagai pendekatan dalam perilaku memilih ini dapat saling melengkapi baik dalam hal penjelasan Selanjutnya dalam memilih model juga dapat dilihat orientasi “policy-problem-solving” dan oreientasi ideology. Yang dimana keduanya akan menghasilkan rendah dan tinggi suatu intensitas. Konfigurasi kedua faktor tersebut dapat dilihat dari gambar berikut: 36 Tabel 3 Konfigurasi Pemilih Orientasi Tinggi Pemilih rasional Pemilih kritis Rendah Pemilih skeptis Pemilih policy-problemsoving tradisonal Sumber : Firmanzah (2008:119) Pertama pemilih rasional adalah mereka yang memiliki ciri khas tidak begitu memintingkan ideologi kepada kandidat dengan lebih mementingkan kemampuan calon kandidat dalam program kerjanya. Kedua, para pemilih kritis merupakan paduan dari tingginya orientasi dan kemampuan kandidat dalam masalah daerahnya, tingginya orientasi mereka terhadap ideologi. Pemilih inilah yang menjadikan nilai ideologis sebagai pijakan untuk kepada siapa akan menentukan pilihannya selanjutnya akan mengkritisi kebijakan pemerintah setelah menjabat. Ketiga, pemilih tradisonal memiliki ideologi yang sangat tinggi dan tidak terlalau melihat kebijakan kandidat sebagai sesuatu yang dipertimbangkan dalam mengambil pilihannya. Pemilih tradisonal adalah pemilih yang bias dimobilisasi dalam periode kampanye (Rohrscheneider, 2002:367). yang tinggi. Ciri khas pemilih ini adalah loyalias 37 Dan yang keempat, adalah pemilih skeptis yang dimana tidak memiliki ideologi cukup tinggi dengan sebuah kandidat dan tidak menjadikan sebuah kebijakan menjadi sesuatu yang penting. Dari golongan pemilih skeptis akan memunculkan golongan putih (golput) dari bentuk keengganan dalam memberikan suaranya (Firmanzah, 2008:121-123). c. Teori Behavioralisme Teori ini menitikberatkan perhatian pada tindakan politik individu yang menonjolkan sejauh mana peranan pengetahuan politik sehingga terpengaruh pada perilaku politiknya (Nasiwan, 2010:33). Kaum behavioralis berusaha menjelaskan tingkah laku manusia dalam kegiatan politik.Teori Sistem Umum dipercaya juga sebagai akar dari kemunculan Teori Behavioralis, Teori ini mengatakan bahwa motivasi utama tindakan atau perilaku politik manusia adalah hasrat untuk melipatgandakan kemanfaatan akan sesuatu yang bernilai (Nasiwan ,2010:34 ). David Easton dalam Nasiwan (2010:37) mengungkapkan mengenai model psikologi, dimana model ini berusaha memahamkan tentang tingkah laku yang menekan proses belajar dengan variable seperti : 1) Situasi stimulan yang membangkitkan tindakan di dalam lingkungan (menggabungkan diri dengan partai politik, sebagai bentuk upaya memperoleh akses kekuasaan). 38 2) Timbul semacam dorongan sehingga melakukan sebuah upaya guna memperoleh respon yang memuaskan. 3) Variabel individu semacam keturunan, usia, jenis kelamin, kondisi visiologi yang menentukan cara orang memahami suatu kesempatan yang tersedia (contoh:berupa tindakan politik seperti dukungan saat memilih, bergabung dengan parpol, pressure group atau pergerakan). Tingkahlaku psikologis menerjemahkan bahwa dalam tingkah laku politik manusia bersama kepentingan, tujuan dan motivasi mengakibatkan proses belajar, pemahaman, kognisi, dan simbolis. Tahap sosialisasi selanjutnya adalah kedewasaan yang tercermin dari citra diri, harga diri seseorang sehingga berkepribadian yang positif sehingga individu dewasa yang menjadi semakin kuat dalam ideologinya sehingga cenderung berperilaku melindungi diri dengan hanya bergaul bersama orang-orang sepaham, sekelompok, sepergerakan, atau bahkan ada pula yang melenceng sama sekali dari ideology semula. David E. Apter dalam Nasiwan (2010:39) menyatakan beberapa model-model sosialisasi, sebagai berikut: 1. Model akumulasi, semakin seorang individu dapat memahami berbagai pengetahuan dan ilmu tentang apa yang dianut (konteks politik), semakin bertambahlah harapan individu tersebut terhadap peran politik. 2. Model alih antarpribadi, memproyeksikan kekuasaan yang terdapat pada orang yang dinilai memiliki kesepadanan dalam pemaknaan kekuasaan tersebut, walau tidak dapat dikatakan sama sedikitpun terlebih sebanding, misal seorang anak memahami kekuasaan seorang presiden yang dilihatnya di televisi sebagai kekuasaan yang sepadan dengan keberkuasaan ayahnya. 3. Model identifikasi, Pengambilan sikap yang seragam dengan figur penting dan lebih tua. Contoh seorang anak memiliki 39 kecenderungan turut memilih dan mendukung partai politik yang menjadi pilihan orang tuanya. 4. Model perkembangan kognitif. Pemahaman konseptual sebagai proses berfikir anak untuk memperluas cakrawala berfikir dan meningkatkan tingkat kognisi anak mengenai kepemahaman akan jaringan isu-isu dan politik, agar tidak terjadi proses indoktrinasi semata. Berikut ini bagan tingkah laku Greenstein yang dapat dengan mudah membantu memahami bagaimana suatu proses dieksiskannya suatu tingkah laku politik: Tabel 4 Tingkah Laku Politik Greenstein Struktur-Struktur Kepribadian+ Keyakinan Politik + Tindakan Politik Individu+ Struktur dan proses politik secara holistik= Tingkah Laku Sumber: Nasiwan 2010 Dari sinilah David Apter mencoba menjelaskan bahwa teori behavioral berusaha menjelaskan bagaimana menciptakan, menyesuaikan, dan mempelajari tingkah laku yang berkaitan dengan tindakan politik seseorang. d. Teori pilihan rasional Dikemukanan oleh James S. Coleman (dalam George Ritzer, 2007:394) teori rasional tampak jelas dalam gagasan dasarnya bahwa tidakan seseorang mengarah jelas pada tujuan dan tujuan itu ditentukan oleh nilai atau pilihan. Ada dua unsur utama dalam teori Coleman, 40 yaitu aktor dan sumberdaya. Sumberdaya adalah sesuatu yang menarik perhatian dan yang dapat dikontrol oleh aktor. Teori rasional memusatkan pada aktor. Menurut George Ritzer (2007:394) aktor dipandang sebagai manusia yang memiliki tujuan atau maksud. Artinya aktor mempunyai tujuan pada upaya untuk mencapai tujuan, selain itu aktor juga mempunyai nilai dan pilihan. Teori ini tidak memandang apa yang menjadi pilihan atau apa yang menjadi pilihan sumber aktor. Hal yang penting adalah aktor melakukan tindakan yang sesuai tujuan. Menurut Cholisin (2007-155) pilihan rasional adalah kegiatan memilih sebagai produk kalkulasi untung rugi. Yang dipertimbangkan tidak hanya “ongkos” memilih dan kemungkinan suaranya dapat mempengaruhi hasil yang diharapkan, tetapi juga perbedaan alternatif berupa pilihan yang ada. Apabila teori rasional ini dikaitkan dengan pemilih pemula, maka pemilih pemula sebagai aktor dalam pilbup mempunyai tujuan tertentu dengan tidak berpartisipasi (golput). Tujuannya bermacam-macam bersikap masa bodoh, lebih mementingkan kepentingan pribadi, sebagai reaksi protes terhadap pemerintah atau calon kandidat tidak sesuai dengan pilihannya. 41 B. PEMILIHAN KEPALA DAERAH (PILKADA) 1. Arti, Asas dan Tujuan pemilihan kepala daerah langsung a. Arti pilkada langsung Di era orde baru sebelum bergulirnya reformasi dalam UUD 1945 sebelum diamandemen pada pasal 1 ayat (2) menyatakan bahwa “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan sepenuhnya oleh MPR” namun setelah era reformasi, UUD 1945 diamandemen sehingga pada pasal 1 ayat (2) ini menjadi “Kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”. Hal ini mengandung makna bahwa kedaulatan tidak lagi sepenuhnya berada ditangan MPR tetapi kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Sebagai konsekuensi dari perubahan tersebut maka kepala daerah, baik ditingkat provinsi maupun kabupaten/kota dipilih secara langsung oleh rakyat melalui pemilihan umum kepala daerah sehingga pemerintahan yang terbentuk merupakan cerminan dari kehendak rakyat dan kedaulatan rakyat. Pemilihan umum kepala daerah secara langsung merupakan sarana demokrasi bagi rakyat untuk menyalurkan aspirasinya dalam menentukan wakil-wakilnya di daerah, pilkada juga merupakan sarana untuk ikut serta berpartisipasi dalam kegiatan politik. Seperti halnya negara Indonesia yang merupakan negara demokrasi yang mengalami perubahan signifikan pasca runtuhnya orde baru. 42 Kehidupan berdemokrasi menjadi lebih baik, rakyat dapat dengan bebas menyalurkan pendapatnya dan ikut berpartisipasi dalam kegiatan politik yang pada masa orde baru sangat dibatasi. Kelahiran pemilihan umum kepala daerah secara langsung merupakan salah satu kemajuan dari proses demokrasi di Indonesia. Melalui pemilihan kepala daerah secara langsung berarti mengembalikan hak-hak dasar masyarakat di daerah untuk menentukan kepala daerah maupun wakil kepala daerah yang mereka kehendaki. Pemilihan umum kepala daerah secara langsung juga merupakan salah satu bentuk penghormatan terhadap kedaulatan rakyat, karena melalui pemilihan kepala daerah langsung ini menandakan terbukanya ruang yang cukup agar rakyat bebas memilih pemimpinnya. Pengertian Pemilihan umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah adalah Pemilihan Umum untuk memilih kepala daerah dan wakil kepala daerah secara langsung dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pengertian tersebut dinyatakan pada Pasal 1 Ayat 4 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum. Dengan adanya pilkada secara langsung merupakan salah satu langkah maju dalam mewujudkan demokrasi dilevel lokal. Tip O’Neill, dalam suatu kesempatan, menyatakan bahwa ‘all Politics is local’ yang dapat dimaknai sebagai demokrasi ditingkat nasional akan tumbuh 43 berkembang, dengan mapan dan dewasa apabila pada tingkat lokal nilainilai demokrasi berakar dengan baik terlebih dahulu. Maksudnya, demokrasi ditingkat nasional akan bergerak ke arah yang lebih baik apabila tatanan, instrumen, dan konfigurasi kearifan serta kesantunan politik lokal lebih dulu terbentuk (Leo Agustino, 2009: 17). Ini artinya kebangkitan demokrasi politik di Indonesia (secara ideal dan aktual) diawali dengan pilkada secara langsung, asumsinya; sebagai upaya membangun pondasi demokrasi di Indonesia (penguatan demokrasi di ranah lokal). b. Asas-Asas dalam Pelaksanaan Pemilihan Umum Kepala Daerah Asas adalah suatu pangkal tolak ukur pikiran untuk suatu kasus atau suatu jalan dan sarana untuk menciptakan hubungan atau kondisi yang kita hendaki. Asas pilkada berarti pangkal tolak pikiran untuk melaksanakan pilkada. Suatu pilkada yang demokratis dapat tercapai jika berjalannya asas-asas yang medasari pilkada tersebut. Pada dasarnya asas yang dipakai dalam pilkada langsung sama dengan asas dalam pemilu, khususnya pemilu 2004. Pemilu 2004 yang disebut KPU sebagai penyelenggara pemilu 2004 banyak mengusung hal baru guna rekuitmen politik agar kualitas wakil rakyat semakin baik. (mohammad Najib dalam Suparman Marzuki, dkk, 2005:pengantar ix). Asas pilkada langsung telah diatur dalam pasal 56 ayat 1 UU No.32 Tahun 2004, yang menyebutkan “Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dipilih dalam satu pasangan calon yang dilaksanakan secara 44 demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil”. Hal ini telah ditegaskan kembali dalam pasal 4 ayat (3) PP No.6 Tahun 2005. Prinsip-prinsip pilkada sama seperti prinsip umum pemilu yang di uraikan sebagai berikut: 1) Langsung Rakyat sebagai pemilih mempunyai hak untuk memberikan suaranya secara langsung sesuai dengan kehendak hati nurani tanpa perantara. 2) Umum Pada dasarnya semua warga negara yang memenuhi persyaratan yang sesuai dengan undang-undang ini berhak mengikuti Pemilu. Pemilihan yang bersifat umum mengangandung makna menjamin kesempatan yang berlaku menyeluruh bagi semua warga negara tanpa diskriminasi berdasarkan suku, agama, ras, golongan , jenis kelamin, kedaerahan, pekerjaan, dan status sosial. 3) Bebas Setiap warga negara berhak memilih bebas menentukan pilihannya tanpa tekanan dan paksaan dari siapapu. Di dalam melakasanakan haknya, setiap warga negara diajamin 45 keamanannya, sehingga dapat memilih sesuai dengan kehendak hati nurani. 4) Rahasia Dalam memberikan suaranya, pemilih dijamin bahwa pilihannya tidak akan diketahui oleh pihak mana pun dan dengan jalan apapun. Pemilih memberikan suaranya pada suarat suara dengan tidak dapat diketahui oleh orang lain kepada siapapun suaranya diberikan. 5) Jujur Dalam penyelenggaraan pemilu, setiap pemilih dan peserta pemilu, aparat pemerintah, peserta pemilu, pengawas pemilu, pemantau pemilu, pemilih serta semua pihak yang terkait harus bersikap jujur sesuai dengan peraturan perundang-undangan. 6) Adil Dalam penyelenggaraan pemilu, setiap pemilih dan peserta pemilu mendapat perlakuan yang sama, serta bebas dari kecurangan pihak mana pun (Hestu Cipto Handoyo, 2003:217219) Penggunaan asas luber dan jurdil sebagai asas pemilihan umum kepala daerah dan wakil kepala daerah merupakan konsekuensi logis dari pelaksanaan pemilihan umum kepala daerah secara demokratis. Sehingga jika terjadi penyimpangan dalam pelaksanaannya, maka hal tersebut 46 merupakan pelanggaran dan harus dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan yang berlaku. c. Tujuan Diadakannya Pemilihan Umum Kepada Daerah Salah satu tujuan dari dilakukannya pemilihan umum kepala daerah secara langsung adalah mewujudkan otonomi daerah yang sejak tahun 1999 memang carut marut, terutama dalam kaitannya dengan pemilihan kepala daerah. Ini merupakan proses demokrasi yang menunjukan orientasinya yang jelas, yaitu penempatan posisi dan kepentingan rakyat diatas berbagai kekuatan elite politik. Elite yang selama ini dinilai terlampau mendominasi dan bahkan terkesan menhegemoni (Ahmad Nadir, 2005:1) Pilkada langsung sesungguhnya merupakan respon kritik konstruktif atas pelaksanaan mekanisme demokrasi tak langsung yang sering disebut dengan demokrasi perwakilan. Artinya bahwa rakyat tidak secara langsung mengartikulasi berbagai kepentingannya kepada agenda kebijakan publik, melainkan mewakilkannya pada sejumlah kecil orang tertentu. Ide pilkada langsung dinilai sebagai wujud demokrasi langsung (Ahmad Nadir 2005:15-17). Pilkada langsung bertujuan untuk memilih kepala daerah dan wakil kepala daerah secara langsung sebagai solusi dari demokrasi perwkilan yang selama ini telah berjalan cukup lama. Rakyat disuatu daerah dapat memilih sendiri pemimpinnya dengan berdasarkan asas yang berlaku. Pemimpin tersebut diharapkan dapat menyalurkan aspirasi rakyat dan 47 benar-benar menjadi pemimpin yang mengerti agenda otonomi daerah sehingga dapat berjalan sebagaimana mestinya yang diharapkan rakyat. d. Kelebihan dan Kelemahan Dilaksanakannya Pilkada Pemilihan umum kepala daerah secara langsung menyangkut berbagai aspek yang menentukan keberhasilan pemilihan kepala daerah yaitu aspek kesiapan masyarakat pemilih, keterampilan petugas lapangan, pendanaan dan peraturan pemilihan. Pemilihan umum kepala daerah secara langsung yang demokratik, dengan memberi peluang kepada para calon kepala daerah untuk berkompetisi secara jujur dan adil. Pemilihan umum kepala daerah secara langsung harus bebas dari segala bentuk kecurangan yang melibatkan penyelenggara pemilihan, mulai dari proses pencalonan, kampanye, sampai dengan pemungutan dan penghitungan suara. Pemilihan umum kepala daerah secara langsung berupaya menghasilkan kepala daerah yang lebih baik, lebih berkualitas, dan memiliki akseptabilitas politik yang tinggi serta derajat legitimasi yang kuat, karena kepala daerah yang terpilih mendapat langsung dari rakyat. Penerimaan yang cukup luas dari masyarakat terhadap kepala daerah terpilih sesuai dengan prinsip mayoritas perlu agar kontroversi yang terjadi dalam pemilihan umum kepala daerah secara langsung dapat dihindari. Pada gilirannya pemiihan umum kepala daerah secara langsung akan menghasilkan pemerintahan daerah yang lebih efektif dan efisien, 48 karena legitimasi eksekutif menjadi cukup kuat, tidak gampang digoyang oleh legislatif. Dengan adanya pilkada secara langsung, setidaknya akan menghasilkan lima manfaat penting (Joko J. Prihatmoko, 2005: 131-133), yaitu sebagai berikut: 1) Sebagai solusi terbaik atas segala kelemahan proses maupun hasil pemiihan kepala daerah secara tidak langsung lewat dewan perwakilan rakyat daerah sebagaimana diatur dalam UndangUndang Otonomi Daerah No.32 Tahun 2004. Pemilihan kepala daerah menjadi kebutuhan mendesak guna menutupi segala kelemahan dalam pemilihan kepala daerah pada masa lalu. Pemiihan kepala daerah bermanfaat untuk memperdalam dan memperkuat pemerintahan, demokrasi maupun lokal, baik lingkungan pada lingkungan kemasyarakatan (civil society). 2) Pemilihan kepala daerah akan menjadi penyeimbang arogansi lembaga dewan perwakilan rakyat daerah yang selama ini sering kali mengklaim dirinya sebagai satu-satunya institusi pemegang mandat rakyat yang refresentatif. Dewan pemilihan kepala daerah akan memposisikan kepala daerah juga sebagai pemegang langsung mandat rakyat, yaitu untuk memerintah (eksekutif). 49 3) Pemilihan kepala daerah akan menghasilkan kepala pemerintahan daerah yang memiliki legitimasi dan justifikasi yang kuat dimata rakyat. Kepala daerah hasil pemilihan kepala daerah memiliki akuntabilitas publik langsung kepada masyarakat daerah selaku konstituennya, bukan seperti yang selama ini berlangsung yaitu kepala dewan perwakilan rakyat daerah. Dengan begitu, manuver politik para anggota dewan akan berkurang, termasuk segala perilaku bad politics-nya. 4) Pemilihan kepala daerah berpotensi menghasilkan kepala daerah yang lebih bermutu, karena pemiihan langsung berpeluang mendorong majunya calon da menangnya calon kepala daerah yang kredibel dan akseptabel dimata masyarakat daerah, memuatkan derajat legitimasi dan posisi politik kepala daerah sebagai konsekuensi dari sistem pemilihan secara langsung oleh masyarakat. 5) Pemilihan kepala daerah berpotensi menghasilkan pemerintahan suatu daerah yang lebih stabil, produktif, dan efektif. Tidak gampang digoyang oleh ulah politisi lokal, terhindar dari campur tangan berlebihan atau intervensi pemerintahan pusat, tidak mudah dilanda krisis kepercayaan publik yang berpeluang melayani masyarakat secara lebih baik. Dalam pelaksanaan pilkada langsung selain ada kelebihan tentu terdapat kelemahannya. Kelemahan tersebut ditemukan dalam 50 pelaksanaanya dilapangan. Dalam pilkada, banyak sekali ditemukan penyelewengan-penyelewengan atau kecurangan. Kecurangan- kecurangan yang sering dilakukan oleh para bakal calon dalam pilkada adalah seperti berikut (S.H. Sarundajang, 2005: 187-188): 1) Money politik. Adanya money politik ini, selalu saja menyertai dalam setiap pelaksanaan pilkada.Dengan memanfaatkan masalah ekonomi masyarakat yang cenderung masih rendah, maka dengan mudah mereka dapat diperalat dengan mudah. Money politik dilakukan supaya rakyat memilih calon yang sudah memberinya uang. Pada kenyataannya dengan uang memang dapat membeli segalanya. Selain itu, dengan masih rendahnya tingkat pendidikan seseorang maka dengan mudah orang itu dapat diperalat dan diatur dengan mudah hanya karena uang.Jadi sangat rasional sekali jika untuk menjadi calon kepala daerah harus mempunyai uang yang banyak. 2) Adanya Intimidasi. Intimidasi ini juga sangat bahaya. Sebagai contoh yaitu pegawai pemerintah melakukan intimidasi terhadap warga masyarakat agar mencoblos salah satu calon. Hal ini sangat menyeleweng dari aturan pelaksanaan pemilu. 3) Pendahuluan start kampanye. Tindakan ini paling sering terjadi. Padahal sudah sangat jelas aturan-aturan yang berlaku dalam pemilu tersebut. Berbagai cara dilakukan seperti pemasangan baliho, spanduk, selebaran. Sering juga untuk bakal calon yang 51 merupakan kepala daerah saat itu melakukan kunjungan keberbagai daerah. Kunjungan ini intensitasnya sangat tinggi ketika mendekati pemilu. Ini sangat berlawanan yaitu ketika sedang memimpin dulu. Selain itu media TV lokal sering digunakan sebagi media kampanye. Bakal calon menyampaikan visi misinya dalam acara tersebut padahal jadwal pelaksanaan kampanye belum dimulai. 4) Kampanye negatif. Kampanye negatif ini dapat timbul karena kurangnya sosialisasi bakal calon kepada masyarakat. Hal ini dikarenakan sebagian masyarakat masih kurang terhadap pentingnya informasi. Jadi mereka hanya “manut” dengan orang yang di sekitar mereka yang menjadi panutannya. Kampanye negatif ini dapat mengarah pada munculnya fitnah yang dapat merusak integritas daerah tersebut. 2. Sistem Pilkada a. Jenis-jenis Sistem Pilkada Sistem Pilkada dapat dibedakan dalam dua jenis, yakni pilkada langsung dan tidak langsung. Faktor utama yang membedakan kedua metode tersebut adalah bagaimana partisipasi politik. tepatnya adalah penggunaan suara yang berbeda. Joko J. Prihatmoko (2005: 212) pilkada yang memberikan ruang bagi rakyat untuk memberikan hak pilih aktif, yakni hak untuk memilih 52 dan dipilih dapat disebut dengan tak langsung. Seperti sistem penegakan dan penunjukan oleh pemerintah pusat atau sistem perwakilan, kedaulatan atau suara rakyat diserahkan kepada pejabat pusat. Sebaliknya pilkada langsung selalu memberikan ruang bagi hak pilih aktif. seluruh warga asal memenuhi syarat dapat menjadi pemilih dan mencalonkan diri sebagai kepala daerah. Karena iotulah pilkada langsung sering disebut implementasi demokrasi partisipan sedangkan pilkada tak langsung adalah implementasi demokrasi elitis. Joko J. Prihatmoko (2005: 210) yang membedakan pilkada langsung dan pilkada tak langsung adalah dengan melihat tahap-tahap kegiatan yang digunakan. dalam pilkada tak langsung rakyat dalam tahap kegiatan sangat terbatas atau bahkan tidak sama sekali. rakyat ditempatkan sebagai penonton proses pilkada yang hanya melibatkan elite. dalam pilkada langsung, keterlibatan rakyat dalam tahapan-tahapan kegiatan yang sangat jeas terlihat dan terbuka lebar. Rakyat merupakan pemilih, penyelengggara, pemantau, bahkan pengawas. Oleh sebab itu dalam pilkada langsung, selalu ada tahap kegiatan langsung, selalu ada tahaapan kegiatan, pendaftaran pemilih, kampanye, pemungutan, dan perhitungan suara. Pilkada diselenggarakan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota yang diawasi oleh Panitia Pengawas Pemilihan Umum (panwaslu) Provinsi dan Panwaslu Kabupaten/kota. 53 Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 peserta pilkada adalah pasangan calon yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik. Ketentuan ini diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 yang menyatakan bahwa peserta pilkada juga dapat berasal dari pasangan calon perseorangan yang didukung oleh sejumlah orang. Seorang bupati sejajar dengan wali kota, yakni kepala daerah untuk daerah kota. Pada dasarnya bupati memiliki tugas dan wewenang memimpin penyelenggaraan daerah berdasarkan kebijakan yang ditetapkan oleh DPRD kabupaten. Bupati dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat dikabupaten setempat. Bupati merupakan jabatan politis, karena diusulkan oleh partai politik dan bukan pegawai negeri sipil. Dalam pemilihan kepala daerah langsung rakyat memilih pemimpin daerah melalui mekanisme yang telah ditentukan. Sistem pemilihan yaitu mekanisme untuk menentukan pasangan calon yang akan menjadi kepala daerah. Sistem pemilihan akan menjadi tolak ukur kualitas pilkada yang dilaksanakan. Selain itu juga merupakan ketentuan tata cara untuk menetapkan calon terpilih. Dalam sistem pilkada langsung terdapat beberapa jenis sistem pemilihan yang berbeda. Masing-masing sistem memiliki kelebihan dan 54 kekurangan yang harus disesuaikan dengan keadaan masyarakat dimana akan berlangsungnya pilkada. Menurut Joko J. Prihatmoko (2005: 115-120), terdapat 5 jenis sistem pemilihan dalam pilkada langsung, yaitu: 1) First Past the Post System First Past the Post system dikenal sebagai sistem yang sederhana dan efisien. Calon kepala daerah yang memperoleh suara terbanyak otomatis memenangkan pilkada dan menduduki kursi kepala daerah. Sistem ini juga dikenal dengan sistem mayoritas sederhana (simple majority). Konsekuensinya, calon kepala daerah dapat memenangkan pilkada walaupun hanya meraih kurang dari separoh jumlah pemilih sehingga legitimasinya sering dipersoalkan. 2) Prefential Voting System atau Approval Voting System Prefential voting system atau approval voting system merupakan sistem dimana pemilih memberikan peringkat pertama, kedua, ketiga dan seterusnya terhadap calon-calon kepala daerah yang ada saat pemilihan. Seorang calon kepala daerah akan otomatis menjadi kepala daerah jika perolehan suaranya mencapai tingkat pertama yang terbesar. Sistem ini juga dikenal sebagai sistem yang mengakomodasi sistem mayoritas sederhana (simple majority), namun dapat membingungkan proses perhitungan suara sehingga perhitungan suara mungkin harus dilakukan secara terpusat. 3) Two Round System atau Run-off System cara kerja Two round system ini adalah dengan dilakukan pemilihan putaran dua (run-off) dengan catatan jika tidak ada calon yang memperoleh suara mayoritas mutlak, yaitu lebih dari 50% dari keseluruhan sura dalam pemilihan putaran pertama. Dua pasanagn calon yang memiliki suara terbanyak harus melalui pemilihan putaran kedua beberapa waktu setelah pemilihan putaran pertama. 4) Electoral College System Sistem ini bekerja dengan cara setiap daerah pemilih diberi alokasi atau bobot suara Dewan Pemilih (electoral college) sesuai dengan jumlah penduduk. Setelah pilkada keseluruhan 55 suara yang diperoleh dalam pilkada yang diperoleh setiap calon dalam daerah pemilihan dihitung. Pemenang disetiap daerah pemilihan berhak memperoleh keseluruhan suara dewan pemilih di daerah pemilihan yang bersangkutan. Calaon yang memeperoleh suara dewan pemilih terbesar akan dimenangkan pilkada langsung. 5) Sistem (Pemilihan Presiden) Nigeria Seorang kepala daerah dinyatakan sebagai pemenang pilkada apabila calon bersangkutan dapat memperoleh suara mayoritas sederhana (suara terbanyak diantara suara mayoritas yang ada) dari daerah pemilihan. Sistem ini diterapkan untuk menjamin bahwa kepala daerah terpilih memiliki dukungan dari mayoritas penduduk yang tersebar di berbagai daerah pemilihan. Sistem pilkada langsung memuat tata cara dalam proses pemilihan kepala darah. Sistem pilkada langsung memiliki sub sistem. Di Indonesia sub-sistem ini dilaksanakan oleh KPUD sebagai pelaksana teknis daei pelaksanaan pilkada langsung. KPUD sekaligus melaksanakan fungsi sub-sistem pilkada langsung terdiri dari: 1) Electoral regulation, yaitu segala ketentuan atau atauran mengenai pilkada langsng yang berlaku, bersifat mengikat dan menjadi pedoman bagi penyelenggara, calon, dan pemilih dalam peran dan fungsi masing-masing. Dalam sub ini KPUD erwenang membuat berbagai peraturan dan keputusan mengenai pelaksanaan pilkada sesuai dengan UU No. 32 Tahun 2004 dan PP No. 6 Tahun 2005. 2) electoral process, yaitu seluruh kegitan yang terkait secara langsung dengan pilkada yang merujuk pada ketentuan yang berlaku yaitu ketentuan perundang-undangan baik yang bersifat legal maupun teknikal. Dalam sub-sistem ini KPUD berkewajiaban menangani persoalan teknis, administrasi dan logistik. 3) Electoral law enforcement, yaitu penegakan hukum terhadap aturan-aturan pilkada baik politisi, administratif, atau pidana. Dalam sub-sistem ini KPUD berwenang melakukan tindakantindakan hukum yang berfungsi memaksimalkan pelaksanaan tahanan pilkada (Joko J.Prihatmoko, 2005:187). 56 b. Ketentuan dan Implikasi Sistem Pemilihan Kepala Daerah Sistem pilkada yang diatur dalam UU No.32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah tiadak memuat secara jelas karakteristik sistem pemilihannya. Sistem pemilihan yang diikuti oleh sistem pilkada di Indonesia adalah campuran antara two round, sistem pemilihan presiden Nigeria, dan sistem first past the post. Sesuai dengan pasal 107 ayat (1) yang berbunyi: “Pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah yang memperoleh suara lebih dari 50% (lima puluh persen) jumlah suara ditetapkan sebagai calon terpilih”. Pasal ini sesuai dengan sistem two round. Namun dalam pasal 107 ayat (2) disebutkan : “Apabila ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak terpenuhi, pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah yang memperoleh suara lebih dari 25% (dua puluh lima persen) cari jumlah suara sah pasangan calon yang perolehan suaranya terbesar dinyatakan sebagai pasangan calon terpilih”. C. PEMILIH PEMULA 1. Pemilih pemula Menurut Pahmi Sy (2010:54) pemilih adalah warga negara Indonesia yang telah genap berusia 17 tahun atau lebih atau sudah/pernah kawin. Pemilihpemula terdiri dari dua kata, yakni pemilih dan pemula. Pemilih adalah orang yang memilih. Sedangkan pemula adalah orang yang mulai atau mula-mula melakukan sesuatu (KBBI online). Pemilih pemula 57 merupakan pemilih yang berusia antara 17-21 tahun atau baru pertama kali ikut dalam pemilu (Maesur zaky, 2009: 14). Menurut pasal 1 ayat (2) UU No.10 Tahun 2008, Pemilih adalah warga Negara Indonesia yang telah genap berumur 17 (tujuh belas) atau lebih sudah/pernah kawin. Kemudian pasal 19 ayat (1 dan 2) UU No.10 Tahun 2008 merangkan bahwa pemilih yang mempunyai hak memilih adalah warga Negara Indonesia yang didaftar oleh penyelenggara Pemilu dalam daftar pemilih dan pada hari pemungutan suara pemilih genap berumur 17 (tujuh belas) tahun atau lebih atau sudah/pernah kawin. Pengetahuan mereka dengan pemilih lainnya tidak jauh berbeda hanya saja antusiasme dan preferensi. 2. Ciri-ciri pemilih pemula Pemilih pemula secara umum mereka para pelajar, mahasiswi serta pekerja yang berusia muda. Dalam pesta demokrasi pemilih pemula selama ini menjadi sebuah objek kegiatan politik. Yaitu mereka yang memerlukan bimbingan kearah pertumbuhan potensi dan kemampuan tingkat yang optimal agar dapat berperan baik dalm bidang kegiatan politik. Perlu adanya pendidikan politk agar pemilih pemula berkembang menjadi warga Negara yang baik, yang menghayati nilai-nilai luhur dari bangsanyadan sadar akan kewajibannya dalam kerangka nilai-nilai yang membingkainya. 58 Ciri-ciri pemilh pemula sebagai berikut : a. Warga Negara Indonesia dari pemungutan suara sudah berusia 17 tahun atau lebih atau sudah kawin/pernah kawin. b. Baru mengikuti pemilu, memberikan hak pilihnya pertama kali sejak peilu yang diselenggarakan di Indonesia dengan rentang usia 17-21 tahun. c. Mempunyai hak memilih dalam penylenggaraan pilkada 2013. 3. Pembelajaran politik pada pemilih pemula Menurut Sekertariat Jendral KPU (2010) pentingnya peran pemilih pemula karena 20% mereka merupakan bagian dari pemilih. Dengan demikian jumlah pemilih pemula sangatlah besar, dan diharapkan dapat menggunakan hak pilihnya dengan baik. Jangan sampai tidak terdaftar dalam DPT atau kesalahan dalam menggunakan hak pilihnya. Lahirnya dari kelompok ini secara langsung akan memunculkan dampak pencitraan. Untuk pengamanan proses regenarisai kader politik kedepan, walaupun memerlukan biaya yang tidak sedikit. Namun apabila tidak mendapatkan dukungan dari kelompok ini, maka cukup merugikan bagi para parpol atau kandidat yang ingin mendulang tinggi hasil dukungan. Pemilih pemula kerap menampilkan sisi yang unik, sering kali memunculkan kejutan dan akan menjanjikan secara kuantitas. Pemilih pemula dengan antusiasme tinggi akan relatif rasional haus akan perubahan yang positif. 59 Pemilih pemula ditempatkan pada swing voters apabila memiliki antusiastinggi namun keputusan belum bulat (www.indonesiamemilih.com diakses 14 Maret 2013). Partisipasi mereka belum memiliki ideologis tertentu dan didorong oleh dinamika lingkungan politik lokal.Pemilih pemula mudah dipengaruhi oleh lingkungan keluarga, kerabat dan teman. Selain itu juga media massa juga ikut berpengaruh seperti berita, spanduk, poster, dll. Bagi pemilih pemula yang masih sekolah adapun sosialisasi politik iadapatkan melalui mata pelajaran PKn. PKn sebagai pendidikan politik terutama dilakukan lewat sekolah merupakan bagaian dari sosialisasi politik. Menurut Greenstein yang dikutip oleh Cholisin (2000:63), sosialisasi politik diartikan sebagai keseluruhan belajar politik baik formal maupun informal disengaja maupun tidak disengaja (Political socialization is all poltical learning formal informal deliberate and unplanned). PKn sebagai pendidikan politik berarti menyangkut belajar dan mengajar tentang politik dan tentang aktor politik. Dalam hal tertentu pendidikan politik sangat memprihatikan tentang distribusi kekuasaan untuk memajukan rakyat (Renshon,1977:191). Dan PKn sebagai pendidikan politik menurut James Coleman, akan menekankan bagaimana mewujudkan warga Negara yang baik dalam arti mampu berpartisipasi dalam kehidupan Politikya atau kehidupan nasionalnya (we call civic training that part of political life of bis or ber nation) (Prewit & Dawson 1977:141). 60 Dengan demikian tampak jelas bahwa PKn merupakan sosialisasi politik yang formal dan direncanakan (pendidikan politik) untuk mekankan pada kemampuan berpartisipasi warga negara dalam kehidupan politik nasionalnya. Adapun teori belajar politik yaitu: a. Teori sistem Teori sistem dalam ilmu politik dikenalkan oleh Easton kemudian Easton dengan kolengnya Jack Dennis mengaplikasikannya pada studi sosialisasi politik. Sosialisasi politik dianggap memainkan peran utama dalam menjaga kestabilan politik memunginkan sistem politik yang sama berlaku terus menerus sehingga tercapai dan berada pada suasana mapan dan mantap. Sosialisasi politik memungkinkan terjadinya apa yang disebut Almond, (1960), sebagai “system maintenance” (kemampuan bertahan suatu sistem politik secara terus menerus meskipun samba mengalami perubahan-perubahan) (Prewitt & Dawson, 1977:17-23, Alfian 1982:8). Pola belajar politik atau sosialisasi politik menurut teori sistem di arahkan untuk memelihara dan mengembangkan sistem politik ideal yang hendak dibangun adalah sistem politik demokrasi Pancasila, maka arah sosialisasi politik pada sistem ini. b. Teori hegemonik Teori hegemonik berarti akan mengarahkan sosialisasi politik pada dukungan sistem politik nasional. Oleh karena itu apa saja pengembangan teori hegemonik dapat mengarahkan pada sosialisasi politik yang akan meahirkan sikap untuk membenci atau memusuhi pemerintah kalau ini dilakukan oleh kelompok oposan. Apa yang diuraikan sejalan dengan prinsip teori hagemoni yang memang merupakan proses sosialisasi politik yang mentransmisikan ideology politik dari kelompok yang dominan kepada kelompok yang di dominasi dalam masyarakat ( Prewitt Dawsom, 19977:24). c. Teori Psikodinamik Menurut teori ini pengalaman pada masa awal (kanak-kanak) meninggalkan kesan yang sagat mendalamterhadap pembentukan kepribadian seorang anak dan setelah mereka dewasa akan merespon terhadap berbagai peristiwa dan rangsangan di tentukan oleh kebutuhan-kebutuhan pada masa awal.dari perspektif ini, maka kebutuhan-kebutuhan itu akan diadopsi anak ke dalam pandangan 61 dunia politik, terutama yang akan memberikan kepuasan terhadap kebutuhan pribadinya. d. Teori Belajar Sosial Teori belajar sosial ini, merupakan kebalikan dari teori psikodinamik. Teori ini menekan pada faktor eksternal sebagai penentu orientasi politik seseorang. Faktor eksternal yaitu penerimaan stimulus atau penguatan yang berasal dari lingkungan. Pesan-pesan yang diterima oleh individu dari lingkungan merupakan faktor yang krusial dalam menentukan pandangan yang akan diadopsi oleh seseorang. e. Teori Perkembangan Kognitif Teori perembangan kognitif berada diantara teori psikodinamik dan teori belajar sosial, yaitu menekankan pada interaksi antara lingkungan dan perkembangan kapasitas individu berfikir. Menurut teori ini kemampuan respond an pemahaman individu tentang sesuatu dalam lingkungannya, sangat ditentukan oleh kapsitas berfikirnya. Kualitas pemikiran anak cenderung sederhana dan lebih memahami sesuatu secara abstrak, sedangkan pada remaja dan orang dewasa sudag mulai berkembang kemampuaan berfikir yang lebih komplek dan rinci. Dengan demikian kualitas pemikiran merupakan faktor yang menentukan perbedaan dalam pandangan dan sikap politik seseorang. Sosialisasi politik dapat dinyatakan sebagai proses mewariskan, memelihara, bahkan mengubah budaya politik suatu bangsa. Bagi bangsa Indonesia budaya politik yang hendak diwariskan adalah budaya politik partisipan yang sesuai dengan nilai-nilai budaya politik Pancasila dan UUD 1945. Sosialisasi politik yang dilakukan pun sebaiknya yang mendukung pengembangan budaya demokrasi. Oleh karena itu sosialisasi politik yang tepat adalah mengacu pada teori system dan teori belajar sosial. Sedangkan teori psikodinamik dan teori perkembangan kognitif digunakan untuk melengkapinya. 62 Sosialisasi politik dilakukan melalui berbagai bermacam-macam sarana. Menurut Mohtar Ma’oed & Collin MacAndrews (2011: 46-49) sarana-sarana sosialisasi politik melalui: 1) Keluarga. Pengaruh keluarga ini adalah dalam hal pembentukan sikap terhadap wewenang kekuasaan (authority). 2) Sekolah. Sekolah memberikan pengetahuan kepada kaum muda tentang dunia politik dan peranan mereka di dalamnya. Sekolah juga merupakan saluran pewarisan nilai dan sikap-sikap masyarakatnya. 3) Kelompok pergaulan. Kelompok pergaulanini mensosialisasikan anggota-anggotanya dengan cara mendorong atau mendesak mereka menyesuaikan diri terhadap sikap-sikap atau tingkah laku di kelompok itu. 4) Pekerjaan. Individu-individu mengidentifikasikan diri dengan suatu kelompok tetentu seperti serikat buruh, dan menggunakan serikat itu sebagai acauan dalam kehidupan politik. 5) Media massa. Disamping memberiakan informasi tentang peristiwaperistiwa politik, media massa juga menyampaikan langsung maupun tidak langsung nilai-nilai utama yang dianut oleh masyarakat. 6) Kontak-kontak politik langsung. Tidak peduli betapa positif pandangan terhadap sistem politik yang ditanam oleh keluarga maupun sekolah, tetapi bila seseorang telah diabaikan oleh partainya, ditipu oleh polisi, kelaparan tanpa ditolong, dan dipaksa untuk wajib militer, pandangannya terhadap politik sangat mungkin berubah. Pkn sebagai pendidikan politik merupakan salah satu bentuk sosialisasi politik yang dilaksanakan melalui sekolah. Dengan pelajaran Pkn peserta didik diajarkan mengenai hak kewajiban warga negara, sistem politik, budaya politik, otonomi daerah, partai politik dan lain sebagainya. Yang pada gilirannya peserta didik diharapkan dapat berpartisipasi aktif dalam kehidupan berbangsa dan bernegara secara bertanggungjawab. 63 Kemudian menurut Suhartono (2009:6) pemilih pemula mempunyai kebudayaan yang santai, bebas, dan cenderung pada hal-hal informal mencari kesenangan. Oleh sebab itu semua hal yang tidak menyenangkan baginya akan dihindari.