POLA KEPEKAAN ANTIBIOTIK BAKTERI Extended Spectrum Beta

advertisement
5
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Extended-Spectrum-Beta Laktamases-producing Escherichia coli
2.1.1 Karakteristik Escherichia coli
Escherichia coli adalah bakteri yang termasuk ke dalam famili
Enterobacteriaceae. Nama Escherichia sendiri diambil dari nama penemu genus
ini, yaitu Theodor Escherich pada tahun 1885, yang diisolasi pertama kali dari
feses. Dahulu nama bakteri ini adalah Bacterium coli (de Sousa, 2006) dan disebut
juga koliform (Brooks et al, 2007).
Escherichia coli merupakan bakteri gram negatif, berbentuk batang, dan
dapat hidup sendiri maupun berpasangan. Diameternya berkisar 0,5 mikron dan
panjangnya berkisar 1-3 mikron. Sebagian spesies Escherichia coli dapat bergerak
dengan flagella peritrik. Escherichia coli umumnya memiliki fimbria tapi tidak
memiliki spora. Escherichia coli penyebab utama infeksi saluran kemih, disebut
juga Uropathogenic Escherichia coli, memiliki faktor adherensi yang disebut P
fimbriae atau pili atau fibrillae yang berikatan dengan P antigen darah. Pili ini
memerantarai perlekatan bakteri ini dengan sel uroepitel (Basu et al, 2013).
Pembentukan pili dikode oleh gen fimH. Bakteri ini juga bersifat anaerob
fakultatif, artinya masih dapat bertahan hidup walaupun ada sedikit oksigen.
Di dalam periplasma Escherichia coli, terdapat satu lapis lapisan
peptidoglikan. Lapisan peptidoglikan ini memiliki struktur subunit yang tipikal,
tersusun dari N-acetyl muramic acid berikatan dengan peptida L-alanine, Dglutamic acid, mesodiamino pimelic acid, dan D-alanine menggunakan ikatan
amida (de Sousa, 2006).
Escherichia coli merupakan flora normal di saluran pencernaan manusia
tepatnya di lapisan mukosa usus besar. Bakteri ini mulai berkolonisasi beberapa
jam setelah bayi lahir. Bakteri ini dapat ditemukan di feses, bisa sampai 1 juta
bakteri per gram feses. Jadi, bila dalam air ditemukan Escherichia coli, itu berarti
air itu telah terkontaminasi dan tidak layak dikonsumsi lagi.
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
6
Bakteri ini dapat memanfaatkan glukonat di dalam usus besar lebih efisien
dari spesies usus besar lain sehingga bakteri ini dapat menjadi kompetitor yang
baik di dalam usus. Bakteri ini berperan penting dalam sintesis vitamin K,
konversi pigmen-pigmen empedu, asam-asam empedu dan penyerapan zat-zat
makanan. Escherichia coli termasuk ke dalam bakteri heterotrof yang
memperoleh makanan berupa zat organik dari lingkungannya karena tidak dapat
menyusun sendiri zat organik yang dibutuhkannya. Zat organik diperoleh dari sisa
organisme lain. Bakteri ini menguraikan zat organik dalam makanan menjadi zat
anorganik, yaitu CO2, H2O, energi, dan mineral. Di dalam lingkungan, bakteri
pembusuk ini berfungsi sebagai pengurai dan penyedia nutrisi bagi tumbuhan
(Dewoto, 2007).
Gambar 2.1. Gambaran mikroskopis Escherichia coli (Brooks et al, 2007)
Escherichia coli memiliki koloni yang sirkular, konveks, halus, dengan tepi
yang tegas, rata, tidak lengket, dan mengubah warna medium menjadi pink karena
fermentasi laktosa pada medium agar Mac Conkey. Pada medium agar darah,
Escherichia coli menunjukkan adanya hemolisis sedangkan pada medium
diferensial seperti agar Eosin Methylene Blue (EMB) menunjukkan adanya
morfologi koloni yang khas dengan warna pelangi yang berkilau atau yang biasa
disebut dengan gambaran metallic sheen (Brooks et al, 2007).
Escherichia coli secara khas menunjukkan hasil yang positif pada tes indol,
lisin dekarboksilase, dan methyl red test (VM). Escherichia coli menghasilkan gas
H2 dan CO2 serta asam dari fermentasi glukosa, sorbitol, manitol, larabinosa,
maltosa, dan xylosa dan merupakan bakteri fermenter laktosa yang cepat. Tes
nitrat juga menunjukkan Escherichia coli dapat mereduksi nitrat menjadi nitrit.
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
7
Sebagian besar strain Escherichia coli menunjukkan hasil yang negatif pada tes
oksidase, sitrat, urease, dan gas H2S. Lebih dari 90% isolat bakteri ini positif
terhadap ß-glukoronidase dengan menggunakan substrat 4-metilumbeliferil ßglukoronida (MUG) (de Sousa, 2006).
Escherichia coli dapat bereaksi silang dengan beberapa spesies Providensia,
Klebsiela, dan Salmonella karena memiliki beberapa antigen O. Antigen O adalah
bagian terluar dari lipopolisakarida dinding sel dan terdiri dari unit polisakarida
yang berulang. Antigen O resisten terhadap panas dan alkohol dan biasanya
terdeteksi dengan aglutinasi bakteri. Antibodi terhadap antigen O terutama adalah
IgM. Ada juga antigen K yang merupakan polisakarida yang dapat menyebabkan
perlekatan bakteri pada sel epitel sebelum invasi ke saluran kemih (Kayser et al,
2005).
Escherichia coli menghasilkan kolisin atau bakteriolisin yang produksinya
dikendalikan oleh plasmid. Bakteriosin adalah zat bakterisidal yang menyerupai
virus yang digunakan untuk melawan bakteri lain. Spesimen yang dapat
digunakan untuk pemeriksaan bakteri ini antara lain urin, darah, pus, cairan spinal,
dan sputum, tergantung dari manifestasi klinis yang ditimbulkannya (Brooks et al,
2007).
Escherichia coli mampu tumbuh pada suhu berkisar 15-48 0C dengan suhu
optimal dimana pertumbuhannya maksimal adalah pada suhu 37-42 0C. Bakteri
ini juga mampu tumbuh pada pH berkisar 5,5-8 dengan pH optimal adalah pH
netral (de Sousa, 2006).
Gambar 2.2. Pewarnaan gram Escherichia coli (Kayser et al, 2005)
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
8
Gambar 2.3. Pemecahan laktosa oleh Escherichia coli pada Endo Agar
(Kayser et al, 2005)
Gambar 2.4. Escherichia coli pada agar Mac Conkey (Brooks et al, 2007)
Gambar 2.5. Escherichia coli pada medium EMB (Brooks et al, 2007)
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
9
2.1.2 Patogenisitas Escherichia coli
Escherichia coli dapat menjadi patogen bila ia berada bukan pada habitat
aslinya. Faktor yang mempengaruhi patogenisitas dari bakteri ini di antaranya
adalah adanya faktor perlekatan atau adhesi seperti fimbria, fibrillae, protein
adhesin intimin, adhesin Afa, dan sebagainya (Basu et al, 2013). Fimbria
memiliki struktur seperti batang dengan diameter antara 5-10 nm namun tidak
sama dengan flagella. Sedangkan fibrillae memiliki bentuk yang panjang,
fleksibel, kasar seperti kawat dan tampak bergelombang, dan memiliki diameter
2-4 nm. Gen pembentuk fimbria adalah papC dan papEF (Pobiega et al, 2013).
Selain itu, bakteri ini juga menghasilkan toksin seperti hemolisin yang dikode
oleh gen hlyA, faktor nekrosis sitotoksik, dan protease autotransport yang disebut
Sat. Ada peran plasmid dalam pembentukan fimbria dan toksin sehingga
patogenisitas dari bakteri ini tidak lepas dari keberadaan plasmid. Berbicara
mengenai plasmid, walaupun sebagian dapat ditransmisikan sendiri, namun ada
beberapa gen yang dalam penyebarannya harus melalui konjugasi plasmid.
Fimbria membantu bakteri melekat pada sel epitel habitat yang baru dan
berperan dalam asendens bakteri ke traktus yang lebih jauh seperti pada kasus
infeksi saluran kemih. Bakteri yang telah berada di traktus urinarius akan
menginfeksi sel urotelium menyebabkan terjadinya reaksi inflamasi epitel yang
melapisi saluran kemih. Selain itu, toksin—toksin yang dikeluarkan oleh bakteri
ini juga akan menyebabkan kerusakan sel epitel lebih lanjut. Bakteri ini juga dapat
berkembang biak menggunakan media urin. Bila daya tahan tubuh host turun,
infeksi saluran kemih akan semakin mudah terjadi (Purnomo, 2011)
Escherichia coli yang menginfeksi saluran kemih mampu membentuk
biofilm yang tersusun dari matriks kaya polisakarida yang diselubungi oleh
uroplakin sehingga patogenisitasnya semakin meningkat. Bila infeksi saluran
kemih berat, dapat timbul bakteremia yang menginduksi penyakit Disseminated
Intravascular Coagulation (DIC) yang merupakan reaksi sistemik tubuh terhadap
endotoksin/sitokin atau lipopolisakarida dari bakteri Escherichia coli.
Penggunaan antimikroba yang tidak rasional dan tidak terarah juga menjadi
faktor pendukung patogenisitas bakteri Escherichia coli. Banyak bakteri tersebut
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
10
yang telah resisten terhadap beberapa macam obat, salah satunya adalah
antimikroba golongan beta laktam seperti penisilin, sefalosporin, dan lain
sebagainya. Kelompok bakteri Escherichia coli yang telah resisten terhadap
berbagai macam antimikroba golongan beta laktam ini disebut sebagai ExtendedSpectrum-Beta-Laktamases-producing Escherichia coli yang sesuai namanya,
merupakan kelompok bakteri yang mampu menghasilkan enzim beta laktamase
untuk menghidrolisis gugus beta laktam dari antimikroba tersebut.
2.2
Resistensi Obat
2.2.1 Mekanisme Resistensi Obat
Populasi kuman dapat menjadi resisten terhadap antibiotik dengan berbagai
mekanisme, seperti (Brooks et al, 2007):
a.
Produksi enzim yang merusak daya kerja obat tertentu.
Contohnya adalah enzim beta laktamase yang dihasilkan oleh Escherichia
coli yang dapat merusak cincin beta laktam dari antibiotik seperti penisilin.
Dalam hal ini, plasmid memegang peran penting. Plasmid juga berperan
dalam pembentukan enzim untuk traspor aktif tetrasiklin melewati
membran sel. Enzim lain yang dihasilkan oleh mikroba seperti bakteri gram
negatif yang dapat memecah obat aminoglikosida adalah adenilase,
fosforilase, dan asetilase.
b.
Perubahan permeabilitas kuman terhadap obat tertentu.
Contohnya adalah bakteri Streptokokus yang memiliki barier alami terhadap
obat golongan aminoglikosida.
c.
Perubahan tempat/lokus tertentu di dalam sel sekelompok mikroorganisme
tertentu yang menjadi target dari obat.
Contohnya adalah golongan aminoglikosida yang bekerja merusak sistem
ribosom subunit 30s dari bakteri dan oleh karena satu hal lokus ini berubah,
maka kuman akan resisten terhadap obat ini. Ada juga metilasi RNA 23s
ribosom yang mengubah reseptor eritromisin di subunit 50s ribosom
sehingga bakteri resisten terhadap obat. Lain halnya dengan Streptococcus
pneumoniae dan Enterococcus, bakteri ini menyebabkan perubahan pada
penicilline binding protein (PBP) sehingga dapat terjadi resistensi.
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
11
d.
Perubahan pada metabolic pathway yang menjadi target obat.
Contohnya adalah kuman yang resisten terhadap golongan sulfonamida,
tidak memerlukan PABA dari luar sel karena bakteri ini masih mampu
menggunakan asam folat sehingga metabolisme sel bakteri tidak terganggu
walaupun ada sulfonamida.
e.
Perubahan enzimatik sehingga kuman meskipun masih hidup dengan baik
namun kurang sensitif terhadap antimikroba.
Contohnya pada bakteri yang resisten trimetoprim, asam dihidrofolat
reduktase dihambat kurang efisien daripada pada bakteri yang sensitif
terhadap trimetoprim.
2.2.2 Etiologi Resistensi Bakteri terhadap Obat
a.
Non Genetik
Hampir semua obat antibiotik bekerja baik pada masa aktif pembelahan
kuman. Oleh karena itu, bila populasi kuman sedang tidak berada pada
masa aktif pembelahan sel, maka populasi itu relatif resisten terhadap suatu
antibiotik. Untuk beberapa generasi kuman dapat terjadi perubahan pada
struktur target obat misalnya kuman yang berbentuk sferoplas kehilangan
dinding sel sehingga bila diberikan antibiotik yang merusak dinding sel
seperti penisilin dan sefalosporin, maka akan terjadi resistensi. Ada juga
mikroorganisme yang menginfeksi pejamu di tempat kerja antimikroba
tidak aktif atau ditiadakan seperti gentamisin yang tidak efektif untuk
pengobatan demam enterik Salmonella karena bakteri ini terdapat di
intraseluler sedangkan gentamisin bekerja di ekstraseluler (Brooks et al,
2007)
b.
Genetik
Perubahan genetik dapat menyebabkan resistensi. Perubahan genetik
tersebut dapat terjadi secara kromosomal maupun ekstrakromosomal dan
perubahan genetik itu dapat dipindahkan dari satu jenis kuman kepada jenis
yang lain dengan berbagai cara (Sudarmono, 2011) .
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
12
1.
Resistensi Kromosomal
Misalnya terjadi mutasi spontan pada lokus ADN yang mengontrol
succeptibility
terhadap
obat
tertentu
seperti
pada
antibiotik
streptomisin dimana reseptornya adalah protein P12 pada ribosom
subunit 30s yang bila terjadi mutasi akan menyebabkan kuman
menjadi resisten terhadap streptomisin.
2.
Resistensi Ekstrakromosomal / Plasmid
Plasmid adalah molekul DNA yang bulat yang berada bebas dalam
sitoplasma bakteri. Plasmid adakalanya dapat bersatu ke dalam
kromosom bakteri. Plasmid mampu bereplikasi sendiri secara otonom
dan dapat dipindahkan dari satu spesies bakteri ke spesies lain.
Beberapa contoh plasmid adalah faktor R yang membawa gen-gen
untuk resistensi terhadap satu atau lebih antibiotik dan logam berat;
toksin
yang
merupakan
produk
dari
plasmid
seperti
pada
Enterotoksigenik Escherichia coli; dan faktor F yang memegang
peran penting dalam proses konjugasi bakteri. Plasmid dapat
dipindahkan ke bakteri lain dengan berbagai cara, seperti:
- Transduksi
DNA dari plasmid masuk ke bakteriofaga dan kemudian oleh
bakteriofaga, gen tersebut ditransfer ke populasi kuman lain. Biasa
terjadi pada bakteri Stafilokokus.
- Transformasi
Fragmen DNA yang bebas dapat menembus dinding sel lalu
bersatu dengan genom sel sehingga mengubah genotipnya.
- Konjugasi
Faktor F menentukan adanya sex pili. Melalui pili tersebut materi
genetik dari sel donor (yang memiliki pili) termasuk plasmid dapat
berpindah ke sel resipien. Cara ini yang berperan besar dalam
terjadinya multi drug resistance.
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
13
- Transposisi
Adalah pemindahan dari rantai DNA pendek antara satu plasmid ke
plasmid lain atau dari kromosom ke plasmid dalam sel tersebut.
3.
Resistensi Silang
Suatu kuman dapat menjadi resisten terhadap beberapa jenis
antibiotik yang memiliki mekanisme kerja yang mirip satu sama lain.
Misalnya pada obat-obat yang komposisi kimianya hampir sama
seperti pada polimiksin B dengan kolistin, eritromisin dengan
oleandomisin, dan neomisin dengan kanamisin. Namun dapat juga
terjadi resistensi silang pada dua obat yang berlainan struktur
kimianya sama sekali, misalnya pada eritromisin dengan linkomisin
(Sudarmono, 2011).
2.2.3 Faktor Resiko Resistensi Obat
Resistensi obat dapat terjadi karena penggunaan antibiotik yang tidak
rasional dan tidak tepat. Dari segi tenaga medis, banyak tenaga medis
menggunakan dosis yang tidak tepat dan sering menggunakan antibiotik yang
amat poten untuk penanganan pertama sehingga perlambatan resistensi terhadap
antibiotik tidak terjadi.
Dari segi pasien, banyak pasien yang tidak patuh terhadap cara tepat
penggunaan antibiotik, mengkonsumsi sembarang antibiotik yang dijual bebas di
apotik tanpa konsultasi terlebih dahulu kepada dokter apakah penggunaan
antibiotik tersebut tepat indikasinya (Sudarmono, 2011).
2.2.4 Metode Uji Resistensi Obat
Penentuan kerentanan patogen bakteri terhadap antibiotik dapat dilakukan
dengan salah satu dari dua metode yaitu: metode dilusi atau metode difusi.
Metode ini dapat dilakukan untuk memperkirakan potensi antibiotik dalam sampel
dan kerentanan mikroorganisme dengan menggunakan organisme uji standar yang
tepat dan sampel obat tertentu untuk perbandingan (Brooks et al, 2007).
1.
Metode Dilusi
Sejumlah zat antimikroba dimasukkan ke dalam medium bakteriologi yang
padat ataupun cair. Biasanya dilakukan pengenceran dua kali lipat zat
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
14
antibiotik. Medium akhirnya diinokulasikan dengan bakteri yang diuji dan
diinkubasi. Metode ini digunakan untuk mengetahui seberapa banyak
jumlah zat antimikroba yang diperlukan untuk menghambat pertumbuhan
atau membunuh bakteri yang sedang diuji. Salah satu uji dilusi adalah uji
dilusi kaldu mikrodilusi yang keuntungannya adalah mampu menunjukkan
jumlah obat tertentu yang diperlukan untuk menghambat atau membunuh
mikroorganisme yang diuji. Namun, uji dilusi agaknya membutuhkan waktu
yang banyak dan kegunaannya terbatas hanya pada keadaan tertentu saja.
2.
Metode Difusi
Uji difusi menggunakan cakram kertas filter yang mengandung sejumlah
tertentu obat yang ditempatkan di atas permukaan medium padat yang telah
diinokulasikan pada permukaan dengan organisme uji. Setelah diinkubasi,
diameter zona jernih inhibisi di sekitar cakram diukur sebagai ukuran
kekuatan inhibisi obat melawan organisme uji obat tertentu. Metode ini
dipengaruhi banyak faktor fisik dan kimia selain interaksi sederhana antara
obat dan organisme. Penggunaan cakram tunggal untuk masing-masing
antibiotik dengan adanya standarisasi yang tepat memungkinkan pelaporan
resistensi mikroorganisme dengan membandingkan ukuran zona inhibisi
dengan standar obat yang sama. Inhibisi di sekitar cakram yang
mengandung sejumlah antimikroba tertentu tidak menunjukkan kerentanan
terhadap konsentrasi obat yang sama per mililiter medium, darah, atau urin.
Uji kepekaan dapat dilakukan dengan metode Kirby Bauer disk diffusion
menggunakan medium Mueller Hinton Agar (Melaku et al, 2012).
2.2.5 Pembatasan Resistensi Obat
Resistensi obat dapat diminimalisasi dengan mempertahankan kadar obat
yang cukup tinggi dalam jaringan untuk menghambat populasi asli maupun mutan
yang pertama. Hal ini bisa terjadi bila pasien patuh terhadap aturan pemakaian
antibiotik. Kemudian, penggunaan dua obat sekaligus yang tidak menimbulkan
resistensi silang, masing-masing saling menghambat timbulnya mutan yang
resisten terhadap obat lain, misalnya pada pengobatan tuberkulosis yang
menggunakan paduan rifampisin dengan isoniazid. Dan yang terakhir dengan
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
15
mencegah pajanan mikroorganisme ke obat tertentu yang sangat berguna dengan
membatasi penggunaannya, terutama di rumah sakit. Untuk pemerintah, sebaiknya
diberlakukan peraturan tentang penjualan antibiotik sehingga masyarakat tidak
dapat membeli antibiotik secara bebas dan sembarangan tanpa ada indikasi yang
tepat (Brooks et al, 2007) .
2.3
Resistensi Extended-Spectrum-Beta-Laktamases-producing Escherichia
coli
Escherichia coli merupakan strain bakteri patogen yang cerdas. Bakteri ini
memiliki polifosfat kinase yang ada hubungannya dengan patogenisitas, motilitas,
dan resistensi obat lewat quorum sensing, regulasi dari replikasi error-prone, dan
pembentukan biofilm. Bakteri ini juga mendapat resistensi lewat mutasi langsung
dan sistem modulasi dan ini memberi tantangan yang besar dalam pengobatan.
Dari tahun 1993, multi drug resistance Escherichia coli memproduksi ESBLs
seperti enzim CTX-M (Saha et al, 2013). Seiring berjalannya waktu, prevalensi
ESBLs-producing multi drug resistance Escherichia coli semakin meningkat tidak
hanya di rumah sakit namun juga di populasi umum (van der Donk et al, 2012).
Strain ESBLs-producing E.coli banyak didominasi oleh CTX-M tipe 1 dan
CTX-M tipe 9 (Livermore, 2012 dalam Soraas, 2014). Selain itu ada juga SHV
tipe 5, SHV tipe 12, TEM-63, dan SHV tipe 2a (Mshana et al, 2013). Semua
enzim ini merupakan jenis beta laktamase yang dapat menghidrolisis antibiotik
golongan beta laktam. Contohnya adalah TEM yang dapat menghidrolisis
mecillinam (Soraas, 2014), blaCTX-M yang merupakan gen pengkode
cefotaximase yang dapat merusak sefotaksim, antibiotik sefalosporin generasi
ketiga (Kirchner, 2013). Escherichia coli yang resisten terhadap antibiotik
sefalosporin juga dilaporkan menghasilkan plasmid-mediated AmpC ß lactamase
(pAmpC) (Park et al, 2012). Selain itu, Escherichia coli yang resisten terhadap
amoxicillin-clavulanate menghasilkan plasmid-mediated class A ß laktamases,
pAmpC, chromosomal-mediated AmpC ß laktamases, inhibitor resistant TEM
(IRT) ß laktamase, plasmid-mediated ß laktamase OXA-1, dan enzim complex
mutant TEM (CMT) (Ortega et al, 2012). Di Inggris, yang paling banyak
ditemukan adalah CTX-M 15 yang berada di plasmid dan sangat berhubungan
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
16
dengan multi-locus sequence type (MLST) ST131 E.coli yang memiliki resistensi
terhadap berbagai antibiotik. Gen blaCTX-M berasal dari strain Kluyvera dan
disebarkan dengan menggunakan plasmid, dapat secara konjugasi maupun
transformasi bila konjugasi tidak berhasil.
E.coli juga dapat mengalami resistensi dengan cara mutasi langsung.
Contohnya adalah mutasi pada gyrase akan menyebabkan resistensi terhadap
golongan antibiotik florokuinolon.
Begitu banyak gen penghasil beta laktamase yang telah ditemukan dan
begitu mudahnya penyebaran gen resistensi tersebut melalui peran plasmid
membuat Escherichia coli dan bakteri Enterobacteriaceae lainnya sulit untuk
ditangani.
2.4
Metode
Deteksi
Extended-Spectrum-Beta-Laktamase-producing
Escherichia coli
Berdasarkan Malaysian Society of Infectious Diseases and Chemotherapy,
untuk mendeteksi ESBLs-producing E.coli dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu
uji tapis dan uji konfirmasi. Uji tapis (screening) dapat dilakukan dengan
menggunakan standard disc diffusion method dan double disc method, sedangkan
untuk uji konfirmasi (phenotypic confirmatory method) dapat dilakukan dengan
disc diffusion method dan MIC method (E-test).
1. Screening ESBLs-producing E.coli
a. Standard Disc Diffusion Method
Langkah kerja metode ini adalah sebagai berikut:
-
Siapkan biakan bakteri berumur 18-24 jam.
-
Sediakan plat agar Mueller-Hinton dengan ketebalan antara 3-5 mm.
-
Buat suspensi bakteri yang akan diuji, dan disesuaikan kekeruhannya
dengan standar 0.5 Mc Farland menggunakan nephelometer.
-
Celupkan usap kapas steril ke dalam suspensi bakteri, tekan ke dinding
tabung supaya tidak terlalu basah dan oleskan secara merata di seluruh
permukaan medium. Diamkan sebentar.
-
Letakkan cakram antibiotik: cefotaxime 30 ug, ceftazidime 30 ug,
ceftriaxone 30 ug, aztreonam 30 ug, dan cefpodoxime 10 ug secara aseptik.
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
17
-
Inkubasi lempeng agar dengan suhu 350C selama 16-18 jam.
Hasil: Adanya penurunan diameter zona hambatan menunjukkan kemungkinan
ESBLs positif.
Tabel 2.1. Kriteria Minimum Inhibitory Concentration (MIC) dan Zona
Hambatan untuk Deteksi ESBLs pada E. coli
Diameter zona Diameter zona MIC
untuk MIC
untuk
hambat strain hambat strain strain
yang strain
yang
yang peka
yang mungkin peka
mungkin
memproduksi
memproduksi
ESBLs
ESBLs
Aztreonam 30 ≥22 mm
≤27 mm
≤8 mg/L
≥2 mg/L
µg
Cefotaxime 30 ≥23 mm
≤27 mm
≤8 mg/L
≥2 mg/L
µg
Cefpodoxime
≥21 mm
≤22 mm
≤8 mg/L
≥2 mg/L
10 µg
Ceftazidime
≥18 mm
≤22 mm
≤8 mg/L
≥2 mg/L
30 µg
Ceftriaxone
≥21 mm
≤25 mm
≤8 mg/L
≥2 mg/L
30 µg
Sumber: Malaysian Society of Infectious Diseases and Chemotherapy, 2001
b. Double Disc Method
Langkah kerja metode ini adalah sebagai berikut:
-
Siapkan biakan bakteri berumur 18-24 jam.
-
Sediakan agar Mueller-Hinton dengan ketebalan antara 3-5 mm.
-
Buat suspensi bakteri yang akan diuji dan sesuaikan kekeruhannya dengan
standar 0.5 Mc.Farland menggunakan nephelometer.
-
Celupkan usap kapas steril ke dalam suspensi bakteri, tekan ke dinding
tabung supaya tidak terlalu basah dan oleskan secara merata di seluruh
permukaan medium. Diamkan sebentar.
-
Berbagai cakram yang terdiri dari antibiotik standar sefalosporin generasi
ketiga {ceftazidime 30 ug atau ceftriaxone 30 ug, aztreonam 30 ug atau
cefpodoxime 10 ug diletakkan dengan jarak 15-20 mm (jarak diukur dari
pinggir ke pinggir cakram) dari cakram amoxicillin-clavulanic acid secara
aseptik}.
-
Inkubasi lempeng agar dengan suhu 350C selama 24 jam.
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
18
Hasil : Adanya pelebaran zona hambatan antara kedua cakram menunjukkan
adanya ESBLs.
Gambar 2.6. Double Disc Method (Kuntaman, 2009)
2. Phenotypic Confirmatory Method
a. Disc Diffusion Method
Prosedur kerja metode ini sama dengan Double Disc Method. Metode ini
menggunakan ceftazidime (30ug) vs ceftazidime/clavulanic acid (30/10ug), dan
cefotaxime (30ug) vs cefotaxime/clavulanic acid (30/10ug). Indikasi adanya
antimikroba penghasil ESBLs bila terjadi peningkatan zona hambatan sebesar
≥5mm dari antibiotik yang dikombinasi dengan clavulanic acid yang
dibandingkan dengan antibiotik tunggal yang diuji.
b. MIC Method (E-Test)
Metode
ini
menggunakan
kombinasi
2
strip
E-test
misalnya
ceftazidime/ceftazidime-clavulanic acid dan cefotaxime/cefotaxime-clavulanate.
Kedua strip ini diinokulasikan pada permukaan plat agar dan diinkubasi selama
24 jam. Setiap terjadinya penurunan pengenceran ≥ 3log2 (penggandaannya)
dikatakan ESBLs positif.
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
19
Catatan: Tidak semua strain yang memproduksi ESBLs spesifik untuk
ceftazidime; strain dengan substrat lain yang spesifik mungkin tidak terdeteksi
dengan hanya menggunakan strip ceftazidime/clavulanic acid; oleh karena itu,
strip cefotaxime juga digunakan.
Gambar 2.7. Konfirmasi ESBLs-producing Escherichia coli (Kuntaman, 2009)
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
Download