HUBUNGAN ANTARA POLA ASUH ORANG TUA OTORITER DENGAN AGRESIVITAS REMAJA. Oleh Ni Wayan Suastini Guru pembimbing SMP Negeri 2 Denpasar Abstract. The purpose of this research is to know whether or not there is a correlation between the pattern of authoritative nursing parent and adult aggressivity. The research problem is formulated as follows: Is there a correlation between the pattern of authoritative nursing parent and adult aggressivity? The research subjects are the state-owned Junior High School students across Denpasar city. The number of respondents is 150 students taken by means of Stratified Area Proportional Random Sampling. The research instrument needed to collect data is the pattern of authoritative nursing parent scale, which is set up by researcher-himself, on the basis of nursing parent theory adapted from Winata and Cock. The other instrument, Aggressivity scale, is set up on the basis of aggressivity theory adopted from Hartuti and Sarwono. The research data is analyzed by means of both a Product moment correlation formula and ANOVA. The research result shows that there is a positive and significant correlation between the pattern of authoritative nursing parent and adult aggressivity. Secondly, there is a significant difference between the aggressivity of male and female adult. Third, there is no a significant difference between the male and female adult toward the pattern of authoritative nursing parent. Key Words: Pattern of authoritative nursing parent, Adult aggressivity Pendahuluan Indonesia sebagai negara yang sedang berkembang, pada millenium ketiga ini mengalami persaingan yang luar biasa dalam bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi, ilmu pengetahuan dan teknologi, industri, serta berbagai dimensi lainnya, baik pembangunan fisik maupun mental spiritual. Apalagi tantangan dan persaingan antar bangsa semakin nyata dalam era globalisasi, menuntut sumberdaya manusia yang berkualitas, menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) serta iman dan taqwa (imtaq). Semakin berkembangnya sarana transformasi dan komunikasi misalnya, semakin meningkatnya pendapatan masyarakat, dan semakin berkembangnya sarana pemenuhan kebutuhan hidup, secara signifikan telah membawa hidup manusia pada keadaan yang lebih mudah dan menyenangkan . Seirama dengan perkembangan zaman yang bergerak cepat, maka keadaan ekonomi, sosial, serta politikpun ikut berubah. Oleh karena itu dituntut adanya pemerataan di segala bidang kehidupan. Tanpa adanya pemerataan serta kesiapan jiwa yang memadai, akan timbul ketimpangan-ketimpangan yang dapat menjurus pada tindakan kebrutalan atau kekerasan. Seperti tindakan pembakaran kantor kecamatan, pengrusakan gedung, pembakaran toko, serta penghancuran mobil (Wicaksono,1997). Perilaku agresif terjadi di seluruh dunia dan segmen masyarakat. Media cetak maupun elektronik hampir setiap hari memberitakan mengenai peristiwa pembunuhan, perampokan, pencurian dan perkosaan yang terjadi di suatu tempat (Khumas, dkk., 1997). 97 98 JP3 Vol 1 N0 1, Maret 2011 Memasuki abad ke 21 ini berbagai pemberitaan di media masa (cetak dan elektronik) sering menyajikan peristiwa-peristiwa tindak kekerasan atau agresivitas yang melibatkan orang banyak. Misalnya, kerusuhan dan tawuran masa yang melibatkan sejumlah pelajar antar sekolah, pendukung antar partai, pengikut antar golongan atau agama, penduduk antar kampung atau antar desa, dan antara penduduk asli dengan pendatang (Suharnan, 2000). Perilaku agresif seperti perkosaan, pencurian dan pembunuhan sadis dilaporkan banyak dilakukan oleh pemuda atau pelajar yang masih muda usianya. Sebagai contoh kasus, misalnya di Jawa Tengah, tepatnya di Sragen, 8 Siswa SMP dan SD menodai seorang gadis (Tempo, 13 Nopember 1993). Kemudian, seorang anak berusia 11 tahun di Banjarmasin mencuri uang dan emas untuk berfoya-foya (Tempo, Desember 1991). Kasus lainnya terjadi di Bambu Apus, Jakarta Timur, pada tanggal 9 Oktober 1995. Seorang ibu berusia 31 tahun dan tiga anaknya (8 dan 2 tahun) tewas terbunuh dengan luka-luka bacokan yang mengerikan (Sarwono, 1999). Kasus-kasus tersebut menunjukkan bahwa tindakan kriminal yang dulunya hanya dilakukan oleh orang dewasa, pada saat ini cenderung pula dilakukan oleh anak-anak. Tindak kenakalan dan kriminalitas yang dilakukan oleh para remaja khususnya, dan setiap orang pada umumnya, dimungkinkan karena adanya dorongan agresif pada diri mereka. Sekalipun demikian, tidak semua dorongan agresif itu terwujud dalam perilaku kenakalan atau tindakan kriminal. Ada bentuk agresivitas yang berupa tindakan kepahlawanan serta ada pula yang berupa kritik-kritik sosial, sindiran, rasa dendam dan rasa benci yang tidak berkelanjutan dengan perilaku kenakalan dan kriminalitas (Djalali,1988). Agresivitas merupakan suatu motif yang hadir dalam kehidupan setiap individu, sekalipun intensitas, kualitas dan manifestasinya mungkin berbeda antara inidvidu yang satu dengan individu yang lainnya. Tinggi rendahnya tingkat agresivitas pada sebagian remaja, sebagian besar terletak pada pendidikan dan pengasuhan. Tanggung jawab pertama dalam menciptakan calon-calon manusia yang tangguh terletak pada keluarga. Pengasuhan dan pendidikan anak dalam keluarga merupakan institusi pertama dalam proses perkembangan dan pendidikan anak dan remaja. Jadi peran pola asuh orang tua terhadap anak-anaknya sangat menentukan bagaimana perkembangan mereka kelak dikemudian hari. Beberapa orang tua tampaknya kurang memahami hak asasi anak yang menjadi tanggung jawabnya. Bahkan masih banyak lagi orang tua yang tidak mengerti atau tidak mau mengerti bahwa dirinya sangat berperan sebagai panutan dalam proses pembentukan kepribadian seorang anak dan sekaligus sebagai pendorong untuk memotivasi anak berprestasi di sekolah. Pola asuh orang tua dalam keluarga berpengaruh terhadap terciptanya ketangguhan dan tahan uji terhadap segala macam cobaan yang dapat menjerumuskan anak dalam perbuatan yang tidak terpuji yang dapat membuat kerusuhan dan agresivitas masa. Banyak faktor yang mempengaruhi perilaku agresif seseorang. Mengenai faktor-faktor apa saja yang berpengaruh pada timbulnya perilaku agresif remaja tentu sangat beragam dan kompleks. Namun pada penelitian ini, faktor utama yang ingin diteliti adalah kemungkinan adanya hubungan antara pola asuh otoriter orang tua pada agresivitas remaja. Dorongan atau motif agresif seperti yang telah diungkap di atas, merupakan salah satu faktor seperti halnya faktor-faktor yang lain yang ada dalam kepribadian manusia. Tumbuh kembangnya faktor tersebut melalui interaksi antara faktor bawaan dengan faktor lingkungan. Salah satu aspek dari faktor lingkungan yang sangat berpengaruh terhadap perkembangan individu ialah lingkungan keluarga, dalam hal ini adalah khususnya orang tua. Diduga pola asuh orang tua akan berpengaruh juga terhadap perilaku anak. Semakin otoriter orang tua, maka perilaku agresif remaja semakin besar pula. Dengan demikian yang menjadi permasalahan di sini adalah, “Apakah ada hubungan antara pola asuh otoriter orang tua dengan agresivitas remaja?” Hubungan Antara Pola Asuh... 99 Dengan demikian, tujuan penelitian yang hendak diungkap dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui atau menemukan hubungan antara pola asuh otoriter orang tua dengan agresivitas remaja. Kajian Pustaka Dipandang dari segi jenis kelamin, antara laki-laki dan perempuan ternyata terdapat perbedaan dalam hal agresivitas. Menurut Albin (1991), biasanya laki-laki lebih bebas dalam mewujudkan keagresifan mereka, sedangkan perempuan dituntut untuk selalu bersikap manis dan sopan. Hal ini dipengaruhi dari cara pendidikan pada anak laki-laki dan perempuan. Pada anak laki-laki sengaja diberi kesempatan untuk mengungkap perilaku agresif, sedangkan pada anak perempuan, tidak diperkenankan bertingkah laku agresif sekalipun mereka merasa marah. Namun semua itu juga tidak terlepas dari pengaruh budaya yang berlaku pada suatu tempat. Menurut Kartono (1990), kecenderungan agresi tampak menonjol pada laki-laki daripada perempuan walaupun sebenarnya kaum perempuan juga memiliki kecenderungan agresi, namun perempuan lebih mampu mengendalikan diri karena dikontrol oleh nilai-nilai kewanitaannya, norma-norma keluarga dan kebudayaan dalam masyarakat. Budaya dapat menyebabkan adanya perbedaan cara dalam mengungkap agresivitas. Misalnya, perempuan dituntut untuk selalu bertingkah laku sopan, sedangkan laki-laki diharapkan tampak lebih agresif. Hal ini dapat diketahui bahwa kenakalan remaja yang terjadi, banyak disebabkan oleh remaja laki-laki. Sarwono (1999), berpendapat bahwa perilaku agresif itu banyak ragamnya. Yang lebih membuat rumit adalah bahwa satu perilaku yang sama (misalnya, menginjak kaki) dapat dianggap tidak agresif (jika terjadi di bus yang penuh sesak), tetapi dapat juga dianggap agresif (jika terjadi di bus yang lenggang). Dengan demikian, peran kognisi sangat besar menentukan apakah suatu perbuatan dianggap agresif (jika diberi atribusi internal) atau tidak agresif (dalam hal atribusi eksternal). Dengan atribusi internal yang dimaksud adalah adanya niat, intensi, motif, atau kesengajaan atau menyakiti orang lain. Dalam atribusi eksternal, perbuatan dilakukan karena desakan situasi, tidak ada pilihan lain, atau tidak disengaja. Dengan demikian yang dimaksud dengan perbuatan agresif adalah perilaku fisik atau lisan yang disengaja dengan maksud untuk menyakiti atau merugikan orang lain. Dalam penelitian ini, perilaku agresif didefinisikan sebagai perilaku kekerasan secara fisik maupun verbal yang dilakukan secara terbuka (overt) yang melukai orang lain secara fisik atau psikis dan orang yang dikenai tersebut tidak menginginkan serta berusaha untuk menghindarinya. Agresi memiliki banyak bentuk, dan kekerasan fisik hanyalah salah satunya. Kadang-kadang serangan ini berupa ancaman-ancaman verbal dan tuduhan-tuduhan atau bentuk-bentuk gangguan lain, misalnya sindiran-sindiran seksual (Breakwell, 1998). Secara umum agresi dapat dilakukan dengan dua bentuk yaitu bentuk penyiksaan fisik dan penyiksaan verbal. Penyiksaan fisik misalnya menendang, memukul, mencakar, mendorong. Sedang penyiksaan verbal dilakukan dengan menggunjing, mengolok-olok, menyindir yang digunakan untuk mempermalukan individu lain atau untuk mencapai tujuan tertentu. Dalam lingkungan keluarga, seringkali anak memandang orang tua sebagai model yang layak untuk ditiru, misalnya sebagai model dalam melakukan peranan sebagai anggota masyarakat (Kartono,1985). Tradisi, sikap hidup dan falsafah hidup keluarga memiliki peranan yang besar dalam memodifikasi bentuk tingkah laku setiap anggota keluarga. Intinya, tingkah laku orang tua mudah sekali menular pada anak-anaknya. Hal ini dikarenakan adanya proses conditioning, sehingga sikap tersebut mengkondisikan pola tingkah laku dan sikap hidup para anggota keluarga. Hal ini sesuai dengan pendapat Pohan (1986), bahwa perbuatan kejam anak- 100 JP3 Vol 1 N0 1, Maret 2011 anak terjadi karena anak sudah terbiasa melihat atau menonton perbuatan-perbuatan kejam yang dilakukan orang tuanya. Peran orang tua sebagai model (Hartuti, 2000), bagi anakanaknya dapat dilakukan dengan memberi contoh, mendorong, menunjukkan kepada anak bagaimana seharusnya anak-anak bertindak dan apa yang sebaiknya dilakukan anak. Jika orang tua agresif kepada anaknya, itu berarti ia menyediakan model terhadap anak untuk meniru perilaku agresif. Sebaliknya, jika orang tua membesarkan dengan kasih sayang berarti ia menyediakan model terhadap anak untuk mengasihi dan menyayangi orang-orang disekitarnya. Orang tua sebagai pemimpin dalam keluarga, cara-cara mereka bertingkah laku sangat mempengaruhi suasana interaksi dalam keluarga, yang lebih lanjut akan menjadi pola dalam mengasuh anak, diantaranya, sikap otoriter, sikap demokratis, dan sikap terlalu melindungi atau memanjakan/ permisif (Natawidjaja, 1979). Dalam dunia pendidikan, khususnya yang menyangkut hubungan antara orang tua dengan anak, atau pola layanan orang tua terhadap anaknya menurut Baumrind (dalam Djalali, 1988), menggunakan istilah otoriter, demokratis dan permisif, sehubungan dengan pembicaraan mengenai pola orang tua dalam mendisiplinkan anak. Sedangkan Gunarsa (1985), menggunakan istilah cara otoriter, cara bebas, dan demokratis dalam hubungan orang tua menanamkan disiplin pada anak. Orang tua model otoriter cenderung menuntut anaknya patuh terhadap segala aturan, tanpa ingin tahu alasan-alasan anak saat dia melenceng dari aturan keluarga. Disiplin yang kaku meski niatnya untuk kebaikan anak (Winata, 2001). Sikap seperti ini bukanlah membuat anak menjadi taat bahkan sebaliknya anak akan melawan secara terang-terangan, atau purapura taat, ataupun anak menjadi pasif, kurang inisiatif, bersikap menunggu (perintah), kemampuan untuk merencanakan sesuatu atau mengambil keputusan sendiri tidak ada, anak mudah cemas dan putus asa. Menurut Kantor dan Lehr (dalam Hastuti, 2000), pola asuh orang tua diistilahkan dengan sistem interaksi orang tua dengan anak yang tertutup adalah cara orang tua yang mengontrol perilaku anak secara berlebihan. Orang tua menuntut agar anak memiliki daya tahan, patuh kewenangan, dan disiplin keras. Orang tua banyak memberi batasan dan aturan kepada anak dan mengontrolmya secara keras, kurang memberi kesempatan kepada anak untuk mengambil keputusan, kurang memperhatikan kesejahteraan anak, sering menggunakan penguatan negatif atau hukum, sering menggunakan hukuman fisik, sedikit sekali menggunakan alasan ketika menghukum anak. Anak yang berada dalam suasana keluarga dengan pola asuh orang tua yang otoriter, segala aktivitasnya selalu ditentukan dan di atur orang tua, tidak memiliki kesempatan untuk mengemukakan pendapat atau berbuat sesuai dengan keinginannya, sehingga anak merasa kebutuhan-kebutuhannya tidak terpenuhi dan anak akan merasa tertekan. Orang tua yang mempunyai sikap otoriter pada umumnya bercirikan orang tua menentukan apa yang perlu diperbuat oleh anak, tanpa memberikan penjelasan tentang alasannya, apabila anak melanggar ketentuan yang telah digariskannya oleh orang tua, anak tidak diberikan kesempatan untuk memberikan alasan atau penjelasan sebelum hukuman diterima, pada umumnya hukuman berwujud hukuman badan, orang tua jarang atau tidak memberikan hadiah, baik yang berwujud kata-kata maupun bentuk lain apabila anak berbuat sesuai dengan harapan orang tua (Walgito, 2000). Hal semacam itu akan menyebabkan anak menjadi kurang inisiatif, mudah gugup, ragu-ragu, suka membangkang, suka menantang kewibawaan orang, dan malah juga mungkin bisa penakut dan terlalu penurut (Hartuti, 2000). Sedangkan menurut Radke (dalam Djalali,1988), anak yang hidup dalam keluarga otoriter, emosinya tidak stabil, penyesuaian dirinya terhambat, kurang pertimbangan dan kurang bijaksana, sehingga kurang disenangi di dalam pergaulan. Gunarsa (1985), mengungkapkan bahwa dengan cara otoriter, ditambah Hubungan Antara Pola Asuh... 101 dengan sikap keras, menghukum, mengancam akan menjadikan anak patuh dihadapan orang tua, akan tetapi dibelakangnya ia akan memperlihatkan reaksi-reaksi misalnya menentang atau melawan karena anak merasa dipaksa. Reaksi menentang dan melawan bisa ditampilkan dalam perilaku-perilaku yang melanggar norma-norma dan yang menimbulkan persoalan dan kesulitan baik pada dirinya sendiri maupun lingkungan rumah, sekolah dan pergaulannya. Sehubungan dengan hukuman sebagai suatu ciri dari orang tua otoriter, utamanya hukuman fisik, ditegaskan pula oleh Stewart dan Koch (dalam Djalali, 1988) bahwa hal itu akan menyebabkan anak mempunyai sifat pemarah dan akan menimbulkan dorongan agresif. Perilaku orang tua yang otoriter yang diwujudkan berupa sering menghukum anak, terutama hukuman fisik tersebut akan dipersepsi anak sebagai perilaku agresif, dan perilaku orang tua tersebut mungkin akan menjadi model yang dapat mempengaruhi agresivitas anak. Pada pola asuh orang tua yang otoriter ini dimungkinkan akan berbanding lurus dengan perkembangan agresivitas anak. Semakin otoriter pola asuh orang tua, maka agresivitas anak akan semakin tinggi. Dari uraian-uraian di atas, dapat dinyatakan bahwa pola asuh orang tua otoriter, akan menyebabkan anak mengalami hambatan dalam perkembangan dan akan menyebabkan kelainan perilaku bagi anak. Dalam hal ini anak tidak menjadi matang sesuai dengan tingkat perkembangannya, anak tidak mempunyai inisiatif, selalu bergantung, pemalu, suka menyendiri, dan kaku dalam pergaulan. Pada sisi lain anak akan menjadi orang yang diliputi perasaan tidak puas, mudah curiga, suka marah, suka menentang orang tua, menjadi agresif, dan mungkin pula menjadi nakal. Orang tua dengan pola asuh demokratis, cenderung menempatkan dirinya pada posisi yang sama antara dia dan anak-anaknya dalam hak dan kewajiban yang sama dalam keluarga. Anak selalu diajak ikut berpartisipasi memecahkan masalah-masalah yang dihadapi oleh keluarga, terutama yang berkaitan dengan persoalan anak itu sendiri. Antara anak dan orang tua saling terbuka, saling menerima dan saling memberi. Pola asuh orang tua yang demokratis sangat perduli dengan perkembangan anak, dan secara bertahap berusaha mengantar anak agar dapat hidup secara mandiri. Dalam keluarga yang menterapkan pola asuh demokratis ini, terjadi hubungan timbal balik antara orang tua dan anak. Orang tua yang menggunakan pola asuh permisif, cenderung memberikan kebebasan yang penuh pada anak-anaknya untuk berbuat apa saja, tanpa adanya kontrol atau hukuman. Pola asuh orang tua yang permisif mungkin disebabkan karena mereka terlampau cemas dengan anak-anaknya, karena itu orang tua mengasuh anak-anaknya dengan sangat berhati-hati dan senantiasa menjaga agar anaknya terhindar dari bahaya. Pola asuh orang tua yang bersikap melindungi anak yang berlebih-lebihan dan cenderung mengerjakan apa saja untuk anakanaknya. Anak pada keluarga permisif ini sedikit sekali dituntut suatu kewajiban dan tanggung jawab, tetapi mempunyai hak yang sama dengan orang tua. Pola asuh orang tua yang permisif cenderung pada mengabaikan anak. Pola asuh ini sangat banyak memberikan kebebasan pada anak. Anak akan berkembang menurut kemampuannya sendiri dan dengan caranya sendiri. Dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa pola asuh permisif orang tua ini, orang tua memberikan kebebasan pada anak untuk berbuat sekehendaknya, dengan tidak dituntut kewajiban dan tanggung jawab. Orang tua selalu menerima, membenarkan atau bisa jadi tidak peduli terhadap kelakukan anak, sehingga dengan demikian orang tua tidak pernah menghukum anak. Orang tua tidak pernah mengadakan kontrol terhadap perilaku anak, tidak pernah membimbing dan mengarahkan anak dalam mempersiapkan masa depannya, dan hanya berperan untuk menyediakan sarana sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan anak. Bahkan komunikasi interpersonal dalam pola asuh orang tua permisif jarang terjadi. 102 JP3 Vol 1 N0 1, Maret 2011 Anak yang berada dalam suasana keluarga dengan pola asuh orang tua yang otoriter, segala aktivitasnya selalu ditentukan dan di atur orang tua, tidak memiliki kesempatan untuk mengemukakan pendapat atau berbuat sesuai dengan keinginannya, sehingga anak merasa kebutuhan-kebuthannya tidak terpenuhi dan anak akan merasa tertekan. Orang tua yang mempunyai sikap otoriter pada umumnya bercirikan : orang tua menentukan apa yang perlu diperbuat oleh anak, tanpa memberikan penjelasan tentanga alasannya, apabila anak melanggar ketentuan yang telah digariskannya oleh orang tua, anak tidak diberikan kesempatan untuk memberikan alasan atau penjelasan sebelum hukuman diterima, pada umumnya hukuman berwujud hukuman badan, orang tua jarang atau tidak memberikan hadiah, baik yang berwujud kata-kata maupun bentuk lain apabila anak berbuat sesuai dengan harapan orang tua. Hal semacam itu akan menyebab-kan anak menjadi kurang inisiatif, mudah gugup, ragu-ragu, suka membangkang, suka menantang kewibawaan orang, dan malah juga mungkin bisa penakut dan terlalu penurut. Sedangkan anak yang hidup dalam keluarga otoriter, emosinya tidak stabil, penyesuaian dirinya terhambat, kurang pertimbangan dan kurang bijaksana, sehingga kurang disenangi di dalam pergaulan.. Sehubungan dengan hukuman sebagai suatu ciri dari orang tua otoriter, utamanya hukuman fisik, hal itu akan menyebabkan anak mempunyai sifat pemarah dan akan menimbulkan dorongan agresif. Dari uraian-uraian di atas, dapat dinyatakan bahwa pola asuh orang tua otoriter, akan menyebabkan anak mengalami hambatan dalam perkembangan dan akan menyebabkan kelalaian perilaku bagi anak. Dalam hal ini anak tidak menjadi matang sesuai dengan tingkat perkembangannya, anak tidak mempunyai inisiatif, selalu bergantung, pemalu, suka menyendiri, dan kaku dalam pergaulan. Pada sisi lain anak akan menjadi orang yang diliputi perasaan tidak puas, mudah curiga, suka marah, suka menentang orang tua, menjadi agresif, dan mungkin pula menjadi nakal. Berdasarkan tinjauan pustaka dan dasar teori yang sudah dikemukakan secara jelas mengenai hubungan antara pola asuh orang tua otoriter dengan agresivitas remaja. Atas dasar teori-teori tersebut, maka pada penelitian ini hipotesis yang diajukan adalah “terdapat hubungan yang positif antara pola asuh orang tua otoriter dengan agresivitas remaja.” Metode Penelitian Subjek penelitian ini adalah siswa SMP Negeri se Kota Denpasar sejumlah 150 siswa yang diambil dengan teknik stratified area proporsional random Sampling. Pengambilan sampel memakai teknik ini diawali dengan menentukan area atau daerah yang adalam dalam kancah penelitian yaitu SMP yang ada di kota, luar kota (desa), dan pinggiran kota. Berikutnya menentukan strata atau lapisan yang ada dalam kancah penelitian, yaitu siswa kelas VII, VIII, dan kelas IX. Selanjutnya setiap daerah diambil satu sekolah, dan setiap strata dari masing-masing sekolah diambil satu kelas. Alat Pengumpul Data Data dikumpulkan melalui skala pola asuh otoriter orang tua, dan skala agresivitas. Keduanya menggunakan model skala Likert dengan empat alternatif jawaban. Uji validitas menggunakan teknik korelasi product moment yang dilanjutkan korelasi Part-Whole, sedangkan uji reliabilitasnya menggunakan analisis varians dari Hoyt. Skala pola asuh otoriter orang tua yang dipakai dalam penelitian ini terdiri dari 38 item, disusun berdasarkan teori pola asuh dari Winata (2001); Stewart dan Kock (Djalali, 1988), yang membagi komponen pola asuh otoriter terdiri atas: memaksakan kehendak, kontrol tingkah laku yang ketat, menghukum anak, dan mengatur segala kegiatan. Koefesien validitas bergerak antara 0,412 sampai dengan 0,529. Sedangkan koefesien reliabilitas 0,850. Hubungan Antara Pola Asuh... 103 Skala agresivitas dalam penelitian ini terdiri dari 67 item, disusun berdasar teori agresivitas dari Hartuti (2000) dan Sarwono (1999), yang membagi komponen agresivitas terdiri atas: agresi secara fisik, verbal, dan pada benda. Koefesien validitas bergerak antara 0,177 sampai dengan 0,575. Sedangkan koefesien reliabilitasnya sebesar 0,938. Teknik Analisis Data Analisa data untuk hipotesa pertama menggunakan teknik korelasi product moment, sedangkan hipotes kedua dan ketiga menggunakan teknik anava Hasil Dan Pembahasan Hasil Penelitian Hubungan Antara Pola Asuh Orang tua dengan Agresivitas Hasil komputasi dengan teknik product moment menggunakan jasa komputer program SPS edisi Hadi dan Pamardiningsih (2000), terhadap hipotesis penelitian didapatkan nilai r sebesar 0,579 dengan nilai p = 0,000 (p < 0,010) yang berarti ada korelasi yang positif yang sangat signifikan. Hal ini berarti hipotesis penelitian yang berbunyi, “Ada hubungan positif antara pola asuh otoriter orang tua dengan agresivitas pada remaja”, diterima, dengan kata lain, hasil analisis dengan teknik korelasi product moment terbukti bahwa terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara pola asuh otoriter orang tua dengan agresivitas pada remaja. Sumbangan efektif variabel pola asuh otoriter tua terhadap agresivitas remaja 33,5%. Artinya, variabel tersebut pada penelitian ini masih ada 66,5% variabel lain yang mempengaruhi agresivitas remaja. Beberapa variabel lain yang mungkin berpengaruh terhadap agresivitas remaja, di antaranya adalah termasuk faktor lingkungan tempat tinggal, status sosial ekonomi keluarga, tingkat pendidikan orang tua, dan pergaulan dengan teman sebaya. Perbedaan Jenis Kelamin dalam hal Agresivitas Hasil komputasi dengan teknik analisis varians (Anava) satu jalur menggunakan jasa komputer program SPS edisi Hadi dan Pamardiningsih (2000), pada variabel agresivitas ditinjau dari perbedaan jenis kelamin diketemukan F = 1,945 dengan p = 0,162 atau (p > 0,050) yang berarti tidak ada signifikan. Hal ini berarti tidak ada perbedaan yang signifikan antara laki-laki dan perempuan dalam hal agresivitas. Perbedaan jenis kelamin dalam hal Pola Asuh Otoriter Orang tua Hasil komputasi dengan teknik analisis varinas (Anava) satu jalur, menggunakan jasa komputer program SPS edisi Hadi dan Pamardiningsih (2000), pada pola asuh otoriter orang tua dipandang dari perbedaan jenis kelamin didapatkan nilai F = 1,570 dengan p = 0,210 atau (p > 0,050) yang berarti tidak signifikan. Hal ini berarti tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan pada pola asuh otoriter orang tua. Perbandingan rerata hipotesis dan rerata empiris Hasil perhitungan terhadap perbedaan rerata hipotesis dengan rerata empiris didapatkan hasil sebagai berikut : Pertama perbandingan rerata empiris dengan rerata hipotesis pada variabel agresivitas didapatkan rerata empiris sebesar 163.993, sedangkan rerata hipotesis sebesar 201, atau rerata empiris lebih kecil dibandingkan dengan rerata hipotesis. Artinya, kecenderungan agresivitas pada kelompok subjek penelitian relatif rendah. Kedua, perbandingan rerata empiris dengan rerata hipotesis pada variabel pola asuh otoriter 104 JP3 Vol 1 N0 1, Maret 2011 didapatkan rerata empiris 81.580, sedangkan rerata hipotesisnya sebesar 95 atau rerata empiris lebih kecil dibandingkan dengan rerata hipotesis. Hal tersebut menunjukkan bahwa pola asuh otoriter orang tua relatif rendah. Pembahasan Hasil analisis data menunjukkan bahwa hipotesis yang menyatakan bahwa ada hubungan yang positif antara pola asuh otoriter orang tua dengan agresivitas remaja terbukti signifikan. Korelasi positif antara variabel independen terhadap variabel dependen searah. Artinya, kenaikan skor pola asuh otoriter orang tua akan diikuti oleh skor agresivitas remaja, dengan kata lain, semakin otoriter pola asuh orang tua, maka remaja cenderung semakin agresif. Sebaliknya, semakin pola orang tua tidak otoriter, remaja semakin tidak agresif. Adanya hubungan yang signifikan antara pola asuh otoriter orang tua dengan agresivitas remaja seperti telah dikemukakan di atas, berarti bahwa pola asuh otoriter orang tua dapat memprediksi tingkat agresivitas remaja. Hasil penelitian ini mendukung teori Yusuf (1982), bahwa anak asuh yang diatur secara otoriter menyebabkan mereka melakukan perlawanan baik secara pasif maupun secara aktif. Anak yang menurut secara pasif terhadap otoritas orang tua, dia secara sadar menyerah terhadap otoritas orang tua, mereka berani melawan hanya sekali-kali dalam bentuk yang ekstrim. Namun pada hakekatnya anak patuh pada orang tua selagi berpapasan, tetapi dalam hatinya selalu ada suatu rasa enak, kecewa, dan frustrasi, ataupun menentang. Artinya, anak yang diatur dengan pola asuh otoriter menyebabkan mereka menjadi individu yang patuh secara terpaksa , dan pada dirinya ada pertentangan yang tertekan. Akibatnya, bila ada kesempatan hal-hal yang ditekannya tersebut akan muncul dalam bentuk perilaku agresif. Hasil penelitian Penner dan Eron (dalam Martani dan Adiyanti, 1992), menunjukkan bahwa orang tua yang sering menghukum, bersikap menolak atau memberikan perhatian yang kurang pada anaknya, akan menyebabkan kebutuhan anak tidak terpenuhi dan bisa menimbulkan frustrasi sehingga timbul tingkah laku agresif. Anak yang diatur secara otoriter pada dirinya ada potensi kecenderungan berperilaku agresi. Pola asuh orang tua yang otoriter, juga dapat memunculkan perlawanan anak secara aktif. Anak secara terang-terangan menantang pendapat orang tua, melawan dan bersikap kurang sopan, keras kepala, dan tidak mau menurut perintah. Hasil penelitian ini juga didukung oleh hasil penelitian yang dilakukan oleh Lewin dan Muller (dalam Gerungan, 1983), yang menemukan bahwa: anak-anak dari orang tua otoriter banyak yang menunjukkan ciri-ciri pasif (sikap menunggu) dan menyerahkan segalagalanya terhadap pemimpin, dan didukung oleh Watson (1974), yang menemukan bahwa disamping pasif itu terdapat pula ciri-ciri agresivitas, kecemasan, dan mudah putus asa, lebih lanjut Frenkel dan Brunswik (1978) dalam penelitiannya menemukan bahwa kerapkali anakanak dari orang tua yang bersikap otoriter dan senantiasa menuntut ketaatan mutlak tanpa penjelasan, menampakkan sekumpulan ciri-ciri seperti sikap penolakan terhadap orang-orang yang lemah (minoritas), ikatan kepada orang-orang yang kuat (mayoritas), menjiplak norma dan tingkah laku mayoritas, sombong, dan mudah berprasangka sosial, khususnya terhadap golongan minoritas. Hasil penelitian ini sejalan pula dengan teori belajar dari Bandura (dalam Rakhmat, 1986), perlakuan orang tua yang agresif baik verbal, fisik maupun benda terhadap dapat menjadi model bagi individu dalam bersikap dan berperilaku. Semua hal yang dilihat dan dialami anak dari orang tuanya, baik secara sadar maupun tidak akan ditiru anak-anaknya. Cara meniru (modelling) anak dari perilaku orang tua menghasilkan tiga jenis respons yang berbeda, yaitu pertama menghasilkan perilaku baru atau unik (modelling effect), kedua menghambat atau memperlancar respon yang telah telah diperoleh sebelumnya (inhibitory or Hubungan Antara Pola Asuh... 105 disinhibitory effect), dan ketiga pemicu atau pencetus respon yang sebelumnya agak terbengkalai dalam persediaan respons anak (response facilitation effect) (Hartuti, 2000). Oleh karena itu sampai remajapun anak-anak yang dididik dan diasuh secara otoriter oleh orang tua akan cenderung untuk berperilaku yang agresif pula. Hal itu sejalan pula dengan pendapat Pohan (1986), yang menyatakan bahwa perbuatan kejam pada diri anak-anak dikarenakan mereka sudah terbiasa melihat atau menonton perbuatan kejam yang dilakukan oleh orang tuanya. Hasil tambahan pada penelitian ini didapatkan bahwa tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan dalam hal agresivitas. Hasil penelitian ini sangat menarik untuk dikaji lebih lanjut, karena hasil penelitian terdahulu menemukan hal yang sebaliknya seperti hasil penelitian Wimbarti (dalam Kumas, dkk., 1996), yang menemukan adanya perbedaan fantasi agresi antara anak laki-laki dan perempuan, dan juga hasil penelitian Khumas, dkk. (1996), yang menunjukkan adanya perbedaan perilaku agresif antara anak laki-laki dengan perempuan. Menurut Albin (1991), biasanya laki-laki lebih bebas mewujudkan keagresifan mereka, sedangkan perempuan dituntut untuk selalu bersikap manut dan sopan. Hal ini dipengaruhi dari cara pendidikan pada anak laki-laki dan perempuan. Pada anak laki-laki sengaja diberi kesempatan untuk mengungkap perilaku agresif, sedangkan pada anak perempuan, tidak diperkenankan bertingkah laku agresif sekalipun mereka merasa marah. Namun demikian, salah satu penyebab tidak adanya perbedaan agresivitas antara laki-laki dengan perempuan, mungkin karena skala agresivitas yang diberikan kepada mereka bukan hanya mengungkap perilaku agresif yang sudah overt, melainkan juga yang covert, atau yang masih berbentuk potensi agresif dan kecenderungan berperilaku agresifnya. Jika dilihat dari potensi berperilaku agresif, maka jenis kelamin laki-laki maupun perempuan mempunyai potensi untuk berperilaku agresif yang hampir sama. Hal ini sejalan dengan pendapat Kartono (1990), yang menyatakan kecenderungan agresi tampak menonjol pada laki-laki daripada perempuan, walaupun sebenarnya perempuan juga memiliki agresi, namun perempuan lebih mampu mengendalikan diri karena dikontrol oleh nilai-nilai kewanitaannya, norma-norma keluarga dan kebudayaan masyarakat. Agresi adalah “naluri untuk mempertahankan hidup.” Karena bersifat naluriah, maka setiap saat sifat itu bisa muncul, lebih-lebih dalam situasi hidup yang mengancam eksistensi kehidupan seseorang (Psikologika, 1997). Perilaku agresif merupakan dorongan alami yang wajar pada diri manusia, baik laki-laki maupun perempuan, dan perlu penyaluran untuk mencegah timbulnya kecenderungan permusuhan (Lorenz dalam Gunarsa, 1985). Hasil tambahan penelitian lainnya, diketemukan juga bahwa tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan dalam hal pola asuh otoriter orang tua. Hasil ini menunjukkan bahwa baik remaja laki-laki maupun perempuan mempunyai kesamaan dalam pola asuh otoriter orang tua. Hasil perhitungan rerata empiris terhadap variabel pola asuh otoriter orang tua lebih kecil bila dibandingkan dengan rerata hipotesisnya menunjukkan bahwa menurut pandangan remaja, orang tua dalam berinteraksi dengan mereka tidak otoriter, atau dapat dikatakan sudah demokratis. Hal ini memungkinan disebabkan remaja sekarang sudah berani dan bebas berbicara hal-hal yang mungkin bertentangan dengan pendapat orang tua. Keputusan masa depan anak misalnya menyangkut mengenai studi sambungan, pemilihan teman bergaul dan penggunaan waktu luang anak, tidak semata- mata ditentukan oleh orang tua, tetapi terjadi dialog interpersonal antara anak dan orang tua yang bersifat lebih terbuka. Di samping itu, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa laki-laki dan perempuan mempunyai pengalaman yang sama dalam melihat suatu hal, khususnya yang berkaitan dengan pola asuh otoriter orang tua. 106 JP3 Vol 1 N0 1, Maret 2011 Kesimpulan Dan Saran Kesimpulan Berdasarkan hasil-hasil dari penelitian ini, penulis dapat mengambil kesimpulkan sebagai berikut: 1. Pola asuh otoriter orang yang meliputi aspek-aspek: memaksakan kehendak, kontrol tingkah laku yang ketat, menghukum anak, dan mengatur segala kegiatan anak berkorelasi secara positif dan signifikan dengan agresivitas remaja. Ini berarti bahwa pola asuh otoriter orang tua dapat memprediksi tingkat agresivitas remaja. Semakin otoriter pola asuh orang tua, akan diikuti dengan semakin tingginya tingkat agresivitas remaja bersangkutan. Atau dengan kata lain dapat diartikan semakin otoriter pola asuh orang tua, akan semakin besar kecenderungan remaja untuk berperilaku agresif. 2 Tidak ada perbedaan yang signifikan antara remaja laki-laki dengan perempuan dalam hal agresivitas. 3 Tidak ada perbedaan yang signifikan antara remaja laki-laki dengan remaja perempuan dalam hal pola asuh otoriter orang tua. 4 Dari hasil perbandingan rerata hipotesis dan rerata empiris antara pola asuh otoriter orang tua dan agresivitas remaja di kota Denpasar relatif rendah. Saran-saran Setelah melihat hasil penelitian seperti yang telah diuraikan di muka, maka diajukan saran-saran sebagai berikut: Bagi orang tua. Hasil penelitian ini diharapkan menjadi informasi bagi orang tua, khususnya mereka yang mempunyai anak remaja, diharapkan memanfaatkan informasi dari penelitian ini sebagai bahan pertimbangan dalam mendidik dan membimbing putra-putrinya untuk mengendalikan diri agar tidak bertindak otoriter, bahkan jika memungkinkan lebih dapat memfokuskan pada pola asuh yang demokratis. Dengan demikian diharapkan orang tua dapat mencegah putra-putrinya untuk berperilaku agresif. Bagi para guru. Berdasarkan hasil penelitian ini diharapkan guru juga mampu untuk mengembangkan pola pendidikan di sekolah yang demokratis, dan menjauhkan pola yang otoriter. Dengan demikian diharapkan para remaja yang sedang duduk di bangku SMP terbiasa untuk belajar hidup secara demokratis. Pada akhirnya dengan bimbingan para gurunya mereka mampu menekan sekuat-kuatnya dorongan-dorongan untuk berprilaku agresif. Di samping itu, guru hendaknya menggunakan informasi dari hasil penelitian sebagai bahan acuan dalam membimbing siswa-siswinya, terutama dalam rangka mengurangi perilaku agresif mereka, seperti pengrusakan fasilitas sekolah dan perkelahian antar pelajar. Bagi remaja. Data empiris menunjukkan bahwa skor rata-rata pola asuh otoriter orang tua dan agresivitas remaja di kota Denpasar adalah relatif rendah, data ini sungguh amat menggembirakan. Dihadapan para remaja orang tua mereka berperilaku tidak otoriter, dan mereka juga tidak berperilaku agresif. Persepsi yang bernada positif ini hendaknya terus dikembangkan, dengan demikian diharapkan mereka juga mampu mengendalikan diri dari perilaku agresif yang merugikan dirinya sendiri, orang tua, dan lingkungannya. Bagi peneliti selanjutnya. Penelitian yang dilakukan dengan tema pola asuh otoriter orang tua dalam kaitannya dengan agresivitas remaja, dalam kenyataan lingkupnya masih terasa sangat terbatas. Penelitian semacam ini mungkin akan lebih baik jika mampu merinci aspek-aspek Hubungan Antara Pola Asuh... 107 agresivitas, dan membandingkan secara lebih rinci. Dapat juga dengan memperkuat pola-pola asuh semacam pola asuh demokratis dan permisif, atau menambahkan dengan variabel lain semacam persepsi penerimaan orang tua, harga diri, konsep diri dan semacamnya sebagai variabel dependen. Juga dapat menambahkan perilaku delinkuen, kreativitas, motivasi dan motif berprestasi, coping strees, kecemasan berkomunikasi sebagai variabel tergantungnya. Selain itu, penelitian tidak memperhatikan IQ, EQ, status sosial ekonomi, dan mengontrol strata kelas pararel, usia, lokasi sekolah (desa, kota, dan pinggiran) melalui random sampling, untuk itu peneliti selanjutnya yang berminat terhadap tema yang sama dengan penelitian diharapkan tema mempertimbangkan faktor-faktor tersebu dan mengikusertakan variabelvariabel lainnya dalam pembahasan penelitian guna memperoleh informasi yang lebih lengkap. DAFTAR PUSTAKA Arikunto, Suharsimi,1999. Manajemen Penelitian, Jakarta: Rineka Cipta Azwar, Saifuddin, 1999. Penyusunan Skala Psikologi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar Breakwell, Glynis M., 1998, Coping with Aggressive Behavior (Mengatasi Perilaku Agresif), Yogyakarta: Kanisius Djalali, M. As’ad, 1988. Hubungan Antara Persepsi Terhadap Pola Kepemimpinan Orang Tua dengan Agresivitas Remaja di SMTA Se Kecamatan Kota Jombang, Jawa Timur, Tesis, Yogyakarta: Fakultas Pasca Sarjana, UGM Gerungan, W. A., 1983. Psikologi Sosial: Suatu Ringkasan, Jakarta: Eresco. Handayani, Leyla, Dwi Sarwendah dan Ratna Elyawati, 2000. Hubungan Antara Intensitas Kekerasan Fisik dan Verbal yang Diterima Anak dari Orang Tua dengan Kecenderungan Agresif Anak, Surabaya: Jurnal Psikologi Fenomena Fakultas Psikologi, UNTAG Surabaya, Vol. V, No. 5, Peb. 2000, hal. 32 – 47 Hadi, Sutrisno, 2000. Manual SPS Paket Midi, Yogyakarta: Universitas Gajah Mada Hartuti, Pudji, 2000. Mengembangkan Kepribadian dan Mengubah Perilaku Anak agar Siap Menghadapi Tantangan Global, Malang: Citra Malang Hilgard, Ernest R., Richard C. Atkinson & Rita L. Atkinson, 1975. Introduction to Psychology, New York: Harcourt Brace Jovanovich, Inc. Hurlock, E. B., 1978. Development Psychology, London: McGraw-Hill, Kogakusha Khumas, Asniar, TH. Dicky Hastjarjo & Supra Wimbarti, 1997. Peran Fantasi Agresi Terhadap Perilaku Agresif Anak-anak, Yogyakarta: Jurnal Psikologi, Fak. Psikologi UGM, No. 1, 21-29 Lee, C., 1989. Pertumbuhan dan Perkembangan Anak, Jakarta: Arcan Luthans, Freds, 1995. Organizational Behavior, Singapore: McGraw-Hill Book Co. Mansyur, M. C., 1981. Sosiologi Masyarakat Kota dan Desa, Surabaya: Usaha Nasional Martani, Wisjnu & M. G. Adiyanti, 1992. Pengaruh Film Televisi Terhadap Tingkah laku Agresif Anak, Yogyakarta: Jurnal Psikologi, Fak. Psikologi UGM, 1992 No. 1, 1-4 Monks, F. J., Knoers, A. M. P., & Siti Rahayu Haditono, 1985. Psikologi Perkembangan: Pengantar dalam Berbagai Bagiannya, Yogyakarta: Gadjah Mada Univeristy Press 108 JP3 Vol 1 N0 1, Maret 2011 Morgan, C. T., 1987. Introduction to Psychology, Tokyo: McGraw-Hill Kogakusha Ltd. Mulyono, Y. Bambang, 1984. Pendekatan Analisis Penanggulangannya, Yogyakarta: Kanisius Kenakalan Remaja dan Nuryoto, Sartini, 1993. Kemandirian Remaja Ditinjau Dari Tahap Perkembangan, Jenis Kelamin dan Peran Jenis, Yogyakarta: Jurnal Psikologi, Fak. Psikologi UGM, 1993 No. 22, 48-58 Pohan, Imran, 1986. Masalah Anak dan Anak Bermasalah, Jakarta: Intermedia Rahayu, Yusti Probowati, 1996. Agresivitas: Kajian Genetika dan Lingkungan, Surabaya: Anima, Vol. XIII- No. 52, Juli-September 1998 Santhoso, Fauzan Heru, 1995. Minat Terhadap Film Kekerasan di Televisi Terhadap Kecenderungan Perilaku Agresif Remaja, Yogyakarta: Jurnal Psikologi, Fakultas Psikologi UGM, 1995, No. 2, 36-48 Sarwono, Sarlito Wirawan, 1999. Psikologi Sosial: Individu dan Teori-teori Psikologi Sosial, Jakarta: Balai Pustaka Shochib, Moh., 1998. Pola Asuh Orang tua: Dalam Membantu Anak Mengembangkan Disiplin Diri, Jakarta: Rineka Cipta Singarimbun, Masri & Sofian Efendi, 1999. Metode Penelitian Survai, Jakarta: LP3S Soetjipto, Helly Prajitno, 1989. Hubungan Antara Jumlah Anak Dalam Keluarga, Persepsi Pola Asuh Orang tua, dan Kemandirian Pada Siswa Kelas I SMA Negeri yang Mempunyai Ibu Bekerja dan Tidak Bekerja di Kodya Yogyakarta, Yogyakarta: Jurnal Psikologi, Fakultas Psikologi UGM, 1989, No. 1, 45-52 Soesilowindradini, 1990. Psikologi Perkembangan (Masa Remaja), Surabaya: Usaha Nasional Suharman, 2000. Kekerasan Sosial Dalam Perspektif Psikologi: Kekerasan Sosial Mengapa terjadi dan bagimana menanggulanginya, Makalah, Jombang: Psikologi Undar Sulistiyani, Nurul, Faturochman dan Moh. As’ad, 1993. Agresivitas Warga Pemukiman Padat dan Bising di Kodamadya Bandung, Yogyakarta: Jurnal Psikologi, Fakultas Psikologi UGM, 1993, No. 2, 11-19 Suryabrata, Sumadi, 2000. Pengembangan Alat Ukur Psikologis, Yogyakarta: Andi Offset Walgito, Bimo, 2000. Peran Orang tua Dalam Pembentuk Kepercayaan Diri: Suatu Pendekatan Psikologi Humanistik, dalam Peran Psikologi di Indonesia, 69-118, Yogyakarta: Yayasan Pembina Fakultas Psikologi UGM Wimbarti, Supra, 1997. Child-Rearing Practices and Temperament of Children: Are They Really Determinant of Children’s Aggression?, Yogyakarta: Psikologika, No. 2 Tahun II, Januari 1997