BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah yang saat ini kerap timbul di bidang keamanan pangan adalah penggunaan bahan tambahan berbahaya untuk makanan. Salah satu bahan berbahaya yang banyak digunakan adalah formalin. Formalin kerap disalahgunakan menjadi bahan pengawet untuk bahan makanan yang mudah rusak seperti daging, ayam, ikan, tahu, dan sebagainya. Pemerintah sendiri melarang digunakannya formalin sebagai bahan tambahan pangan (BTP) seperti tercantum dalam Permenkes Nomor : 033 tahun 2012 tentang Bahan Tambahan Pangan. Ikan adalah salah satu bahan makanan yang mudah rusak. Untuk mencegah kerusakan ikan, pedagang sering menyiasatinya dengan menggunakan pengawet. Namun, seringkali pengawet yang dipergunakan adalah pengawet berbahaya seperti formalin. Penggunaan formalin dengan dosis rendah tidak menimbulkan bau khas formalin sehingga konsumen sulit membedakan bahan pangan yang berformalin dengan yang tidak (Anwar & Khomsan, 2009). Penggunaan formalin sangat berbahaya bagi kesehatan. Formalin bersifat akumulatif dalam tubuh. Konsumsi secara terus-menerus dalam dosis rendah akan menimbulkan dampak yang baru terlihat dalam jangka panjang (Anwar & Khomsan, 2009). Paparan jangka panjang terhadap formalin diketahui berkaitan dengan peningkatan risiko terjadinya kanker pada hidung, sinus, dan paru-paru. Karsinogenisitas formalin meliputi perlekatan pada DNA, genotoksisitas, dan perubahan sitotoksik (Lilyea,2012). 1 Berdasarkan data yang diperoleh dari Dinas Kelautan dan Perikanan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), pada tahun 2013 masih banyak temuan ikan berformalin di pasar-pasar di DIY. Berdasarkan hasil pengambilan sampel di beberapa pasar tradisional di DIY, jenis ikan yang paling banyak ditemukan mengandung formalin adalah ikan bandeng (delapan temuan), ikan kembung (enam temuan), dan ikan tengiri (empat temuan). Data tersebut membuktikan bahwa saat ini penggunaan pengawet berbahaya seperti formalin masih banyak dilakukan. Formalin tergolong murah dan praktis sehingga banyak digunakan untuk mengawetkan makanan. Padahal, efek formalin terhadap kesehatan sangat berbahaya. Oleh karena itu, saat ini diperlukan alternatif pengawet yang murah, mudah didapat, dan tidak berbahaya. Pengawetan makanan dapat dilakukan dengan beberapa metode, dintaranya melalui penanganan pasca panen; pengawetan dengan pengontrolan air, struktur, dan atmosfer seperti pengeringan, dehidrasi, enkapsulasi, dsb; pengawetan menggunakan panas dan energi seperti pembekuan, pemasakan, iradiasi, dsb; pengawetan secara tidak langsung dengan peningkatan kualitas dan keamanan seperti HACCP dan GMP; serta pengawetan menggunakan bahan kimia dan mikrobia seperti penggunaan antioksidan, zat antimikrobia, dan fermentasi (Rahman, 2007). Indonesia memiliki potensi tanaman yang luar biasa. Salah satu kemampuan yang dimiliki tanaman-tanaman tersebut adalah daya antimikrobia. Daya antimikrobia yang ada pada tanaman dapat dimanfaatkan dalam pengawetan makanan. Setidaknya ada 20 jenis tanaman atau ekstraknya yang efektif melawan organisme yang meracuni makanan, termasuk jamur mycotoxigenic (Jay et al., 2005). 2 Penelitian pengawetan makanan menggunakan bahan lain sudah banyak dilakukan. Contoh penelitian tersebut antara pengawetan menggunakan ekstrak bawang putih (Allium sativum L.) sebagai antibakteri untuk ikan bandeng (Chanos chanos F.) yang dilakukan oleh Syifa et al. (2013). Dalam penelitian ini ekstrak bawang putih dengan konsentrasi 10% efektif menghambat pertumbuhan bakteri dan waktu penyimpanan maksimal 24 jam. Penelitian Khairanita et al. (2013) dengan menggunakan ekstrak biji kapas menunjukkan bahwa penggunaan biji kapas dapat memberikan efek yang setara dengan penggunaan formalin. Penelitian menggunakan ekstrak bawang putih untuk pengawetan ikan kembung (Rastrelliger kanagurta) yang dilakukan oleh Putro et al. (2008) menunjukkan penggunaan bawang putih dapat menghambat bakteri, memperpanjang daya simpan, dan meningkatkan nilai organoleptik ikan. Penelitian menggunakan asam sunti yang dilakukan oleh Rahayu (2012) menunjukkan asam sunti dapat menurunkan jumlah bakteri secara signifikan. Penggunaan ekstrak daun sirih yang dilakukan oleh Yanti (2000) menunjukkan kombinasi penyimpanan dingin dan perendaman ekstrak dapat mengurangi total bakteri keseluruhan dan bakteri Pseudomonas. Penelitian-penelitian tersebut menunjukkan bahwa bahan-bahan alami memiliki potensi untuk digunakan dalam pengawetan bahan makanan, terutama ikan segar yang selama ini sering diawetkan menggunakan bahan berbahaya. Pemanfaatan bahan-bahan alami tersebut didasarkan pada daya antimikrobia yang dimiliki. Salah satu tanaman yang telah diketahui memiliki daya antimikrobia namun belum dimanfaatkan dalam pengawetan makanan adalah tanaman kersen (Muntingia calabura L.). Tanaman kersen telah banyak diketahui manfaatnya dalam menghambat berbagai jenis bakteri. Berdasarkan 3 penelitian yang dilakukan oleh Sibi et al. (2012) menunjukkan bahwa ekstrak metanol dan ekstrak aqueous berbagai bagian tanaman kersen (daun, buah, dan kulit batang) mampu menghambat pertumbuhan berbagai bakteri patogen, diantaranya Micrococcus luteus, Pseudomonas aeruginosa, Bacillus cereus, dan jamur Fusarium sp dan Penicillium sp. Penelitian yang dilakukan oleh Arum et al. (2012) juga membuktikan bahwa ekstrak daun kersen memiliki daya hambat terhadap bakteri Escherichia coli, Pseudomonas aeruginosa, Bacillus subtilis, dan Staphylococcus aureus. Penelitian mengenai daya antimikrobia daun kersen secara in vitro telah banyak dilakukan. Diantaranya seperti penelitian tentang aktivitas antibakteri dari berbagai ekstrak daun kersen secara in vitro yang dilakukan oleh Zakaria et al. (2006), penelitian yang dilakukan Noorhamdani et al. (2010) mengenai antibakteri ekstrak daun kersen terhadap Methicillin-resistant Staphylococcus aureus, dan penelitian Arum et al. (2012) tentang isolasi dan uji daya antimikrobia ekstrak daun kersen. Daya antimikrobia daun kersen memiliki potensi besar untuk digunakan pada makanan mengingat tanaman kersen sangat banyak tumbuh di Indonesia. Namun selama ini belum ada penelitian mengenai daya antimikrobia ekstrak daun kersen untuk digunakan pada makanan. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh penggunaan ekstrak daun kersen terhadap jumlah bakteri, mutu fisik, dan karakteristik sensoris ikan bandeng segar. 4 B. Perumusan Masalah 1. Apakah perendaman dengan ekstrak daun kersen dapat mempengaruhi jumlah bakteri pada ikan bandeng? 2. Apakah perendaman dengan ekstrak daun kersen dapat mempengaruhi mutu fisik ikan bandeng? 3. Apakah penggunaan ekstrak daun kersen dapat mempengaruhi karakteristik sensoris ikan bandeng C. Tujuan Penelitian Tujuan Umum: untuk mengetahui pengaruh perendaman ekstrak daun kersen (Muntingia calabura L.) terhadap jumlah bakteri, mutu fisik, dan karakteristik sensoris ikan bandeng segar (Chanos chanos F.) Tujuan khusus: 1. Mengetahui pengaruh perendaman ekstrak daun kersen terhadap jumlah bakteri ikan bandeng segar 2. Mengetahui pengaruh perendaman ekstrak daun kersen terhadap mutu fisik ikan bandeng segar 3. Mengetahui pengaruh perendaman ekstrak daun kersen terhadap karakteristik sensoris ikan bandeng D. Manfaat Penelitian 1. Bagi Peneliti: penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dan pengetahuan mengenai potensi daya antimikrobia ekstrak daun kersen untuk digunakan dalam makanan. 5 2. Bagi Institusi: diharapkan dapat menambah khazanah keilmuan dan sebagai dasar penelitian lanjutan bagi mahasiswa atau peneliti lain. 3. Bagi Masyarakat: diharapkan dapat menjadi dasar ilmiah penggunaan daun kersen untuk menjaga kualitas ikan segar. E. Keaslian Penelitian Beberapa penelitian mengenai penggunaan bahan alami dan pengaruhnya terhadap jumlah bakteri dan kualitas bahan makanan antara lain sebagai berikut : 1. Rahayu (2012) dalam skripsinya meneliti tentang “Uji Coba Asam Sunti sebagai Bahan Pengawet Ikan Bandeng (Chanos chanos)”. Berdasarkan penelitian ini, suspensi asam sunti diketahui dapat menurunkan jumlah bakteri secara signifikan. Semakin tinggi konsentrasi asam sunti yang digunakan maka semakin rendah kandungan bakteri pada ikan bandeng. Terdapat beberapa kesamaan dengan penelitian ini, antara lain variabel terikat (jumlah bakteri) dan jenis ikan yang digunakan sebagai sampel (ikan bandeng). Perbedaan dengan penelitian ini yaitu jenis bahan yang digunakan sebagai pengawet. Penelitian ini menggunakan asam sunti, sedangkan penelitian yang akan dilakukan menggunakan ekstrak daun kersen (Muntingia calabura L.). 2. Purwani et al. (2008) meneliti tentang “Pengembangan Model Pengawet Alami dari Ekstrak Lengkuas (Languas galanga), Kunyit (Curcuma domestica), dan Jahe (Zingiber officinale) sebagai Pengganti Formalin pada Daging Segar”. Hasil penelitian ini yaitu jenis pengawet yang optimal adalah jahe, sedangkan konsentrasi optimal pada daging yaitu 6 35% untuk kunyit dan jahe dan 80% untuk laos. Perbedaan dengan penelitian ini yaitu sampel yang digunakan adalah isolat mikrobia, sedangkan penelitian yang akan digunakan menggunakan ikan bandeng segar. Selain itu variabel yang diamati yaitu daya hambat ekstrak lengkuas, kunyit, dan jahe terhadap pertumbuhan isolat bakteri, sedangkan penelitian yang akan dilakukan meneliti pengaruh perendaman ekstrak daun kersen terhadap jumlah bakteri, mutu fisik, dan karakteristik sensoris ikan bandeng segar. 3. Yanti (2000), dalam tesisnya meneliti tentang “Ekstraksi Sirih (Piper betle L.) dengan Beberapa Pelarut dan Pemanfaatannya untuk Pengawetan Ikan”. Hasil dari penelitian ini yaitu perendaman dengan ekstrak sirih selama penyimpanan dingin (4⁰C) sangat efektif mengurangi jumlah total bakteri keseluruhan dan jumlah bakteri Pseudomonas. Pada perendaman dalam ekstrak sirih selama 30 menit, jumlah Pseudomonas dan total bakteri dapat dihambat pertumbuhannya dan umur simpan ikan dapat diperpanjang selama 3 hari. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang akan dilakukan antara lain penelitian ini menggunakan ekstrak daun sirih, sedangkan penelitian yang akan dilakukan menggunakan ekstrak daun kersen. Penelitian ini mengamati pengaruh jenis pelarut terhadap daya hambat ekstrak daun sirih dan perbedaan perlakuan perendaman terhadap jumlah total bakteri dan total pseudomonas, sedangkan penelitian yang akan dilakukan meneliti pengaruh perendaman ekstrak daun kersen dengan konsentrasi tertentu terhadap jumlah bakteri, mutu fisik, dan karakteristik sensoris ikan bandeng segar. 7 4. Syifa et al. (2013) meneliti tentang “Uji Efektivitas Ekstrak Bawang Putih (Allium sativum Linn.) sebagai Antibakteri pada Ikan Bandeng (Chanos chanos Forsk.) Segar”. Berdasarkan penelitian ini, penggunaan ekstrak bawang putih diketahui efektif menghambat pertumbuhan bakteri yang diisolasi dari daging ikan bandeng. Ikan bandeng yang disimpan dalam suhu ruang setelah direndam dengan berbagai konsentrasi ekstrak bawang putih dapat bertahan hingga 24 jam. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang akan dilakukan yaitu jenis ekstrak yang digunakan, serta variabel yang diamati. Penelitian ini menggunakan ekstrak bawang putih, sedangkan penelitian yang akan dilakukan menggunakan ekstrak daun kersen. Variabel bebas dalam penelitian ini yaitu lama penyimpanan dan konsentrasi ekstrak, sedangkan pada penelitian yang akan dilakukan, variabel bebas yaitu konsentrasi ekstrak daun kersen. Variabel terikat dalam penelitian ini yaitu jumlah koloni bakteri dan waktu simpan maksimal, sedangkan dalam penelitian yang akan dilakukan yaitu jumlah total bakteri, mutu fisik, dan karakteristik sensoris ikan bandeng. 5. Khairanita et al. (2013) meneliti tentang “Eksplorasi Rafinosa Biji Kapas sebagai Pengganti Formalin dalam Pengawetan Ikan”. Persamaan antara penelitian ini dengan penelitian yang akan dilakukan variabel terikat yang diamati yaitu TPC. Perbedaan antara penelitian ini dengan penelitian yang akan dilakukan yaitu jenis ekstrak yang digunakan, variabel bebas, dan salah satu variabel terikat. Variabel bebas dalam penelitian ini yaitu perbandingan konsentrasi ekstrak biji kapas dan formalin, sedangkan pada penelitian yang akan dilakukan variabel bebasnya yaitu 8 perendaman ekstrak daun kersen dengan rasio tertentu. Penelitian ini mengamati pH dan sifat organoleptik sedangkan dalam penelitian yang akan dilakukan tidak dilakukan pengamatan pH, namun dilakukan uji sensoris secara deskriptif dan penilaian mutu fisik. 9