KATA PENGANTAR Puji dan syukur saya panjatkan kehadirat Allah Swt yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga sehingga Saya dapat menyelesaikan penyusunan referat ini dengan judul “Pemfigus Vulgaris”. Referat ini saya ajukan dalam rangka melaksananakan tugas kepaniteraan klinik Penyakit Kulit dan Kelamin RSUD Bekasi. Pada kesempatan ini perkenankanlah saya menyampaikan rasa terima kasih kepada dr.Retno Sawitri, Sp.KK yang telah memberikan bimbingan dalam penulisan referat ini. Kepada kedua orang tua saya yang selalu mendukung saya, serta kepada teman-teman koass dan semua pihak yang telah turut membantu penyusunan referat ini. Diharapkan referat ini dapat memberikan informasi yang bermanfaat bagi para mahasiswa kedokteran, serta semoga dapat menambah pengetahuan dalam bidang kedokteran dan dapat menjadi bekal dalam profesi kami kelak. Saya menyadari bahwa referat ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu dengan senang hati saya menerima kritik dan saran yang membangun. Atas perhatian yang diberikan saya ucapkan terima kasih. Jakarta , November 2012 Penulis 1 DAFTAR ISI KATA PENGANTAR ...........................................................................................................1 DAFTAR ISI..........................................................................................................................2 I. PENDAHULUAN ...............................................................................................3 II. EPIDEMIOLOGI ................................................................................................ 3 III. ETIOPATOGENESIS......................................................................................... 4 IV. GEJALA KLINIS ................................................................................................5 V. DIAGNOSIS ........................................................................................................7 VI. DIAGNOSIS BANDING.....................................................................................8 VII. KOMPLIKASI .....................................................................................................11 VIII. PENATALAKSANAAN .....................................................................................11 IX. PROGNOSIS .......................................................................................................13 DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................14 2 PEMFIGUS VULGARIS I. PENDAHULUAN Istilah pemfigus dari kata pemphix (Yunani) berarti melepuh atau gelembung. Pemfigus ialah kumpulan penyakit kulit autoimun berupa bula yang timbul dalam waktu yang lama, menyerang kulit dan membrana mukosa yang secara histopatologik ditandai dengan bula interepidermal akibat proses akatolisis.(1,2) Secara garis besar Pemfigus dibagi menjadi 4 bentuk yaitu Pemfigus Vulgaris, Pemfigus Eritomatosus, Pemfigus Foliaseus dan Pemfigus Vegetans. Semua bentuk Pemfigus diatas memberikan gejala yang khas, yakni pembentukan bula yang kendur pada kulit yang umumnya terlihat normal dan mudah pecah, pada penekanan bula tersebut meluas (Nikolsky positif), akantolisis selalu positif, dan adanya antibody tipe IgG terhadap antigen interseluler di epidermis yang dapat ditemukan dalam serum, maupun terikat di epidermis.(2) Pemfigus Vulgaris (PV) merupakan bentuk tersering dijumpai (80% semua kasus Pemfigus). Penyakit ini tersebar diseluruh dunia dan dapat mengenai semua bangsa dan ras. Angka kejadian PV bervariasi 0,5-3,2 kasus per 100.000 penduduk. Penyakit ini meningkat pada pasien keturunan Ashkenazi Yahudi dan orang-orang asal Mediterania.(1-3) Penyebab pasti timbulnya penyakit ini belum diketahui, namun kemungkinan yang relevan adalah berkaitan dengan faktor genetik, lebih sering menyerang pasien yang sudah menderita penyakit autoimun lainnya (terutama Miastenia Gravis dan Timoma), serta dapat dipicu karena penggunaan penisilamin dan captopril. Kelainan pada kulit yang ditimbulkan akibat PV dapat bersifat lokal ataupun menyebar, terasa panas, sakit, dan biasanya terjadi pada daerah yang terkena tekanan dan lipatan paha, wajah, ketiak, kulit kepala, badan, dan umbilicus. Pengobatan pada PV ditujukan untuk mengurangi pembentukan autoantibodi. Penggunaan kortikosteroid dan imunosupresan telah menjadi pilihan terapi, akan tetapi morbiditas dan mortalitas akibat efek samping obat tetap harus diwaspadai.(1-4) II. EPIDEMIOLOGI PV merupakan bentuk yang tersering dijumpai (80% semua kasus). Penyakit ini tersebar diseluruh dunia dan dapat mengenai semua bangsa dan ras. Frekuensi kedua jenis kelamin sama. Umumnya mengenai umur pertengahan (dekade ke-4 dan ke-5), termasuk dapat juga mengenai 3 semua umur termasuk anak-anak. Di India penyakit ini banyak mengenai anak-anak jika dibandingkan di Negara barat. Di Negara-negara timur seperti India, Cina, Malaysia, dan Timur Tengah kasus pemfigus yang paling umum adalah Pemfigus Blistering. Ras Yahudi terutama Yahudi Ashkenazi memiliki peningkatan kerentanan terhadap PV. Di Afrika Selatan, PV ini lebih sering terjadi pada bangsa India dibanding pada bangsa berkulit hitam dan berkulit putih. PV jarang sekali terjadi pada orang barat. (1,2,5) III. ETIOPATOGENESIS Pada penyakit ini, autoantibodi yang menyerang desmoglein pada permukaan keratinosit membuktikan bahwa autoantibodi ini bersifat patogenik. Antigen PV yang dikenali sebagai desmoglein 3, merupakan desmosomal kaderin yang terlibat dalam perlekatan interseluler pada epidermis. Antibodi yang berikatan pada domain ekstraseluler region terminal amino pada desmoglein 3 ini mempunyai efek langsung terhadap fungsi kaderin. Desmoglein 3 dapat ditemukan pada desmosom dan pada membran sel keratinosit. Dapat dideteksi pada setiap deferensiasi keratinosit terutamanya pada epidermis bawah dan lebih padat pada mukosa bucal dan kulit kepala berbanding di badan. Hal ini berbeda dengan antigen Pemfigus Foliaseus, desmoglein 1, yang dapat ditemukan pada epidermis, dan lebih padat pada epidermis atas. Pengaruh dari faktor lingkungan dan cara hidup individu belum dapat dibuktikan berpengaruh terhadap PV, namun penyakit ini dapat dikaitkan dengan genetik pada kebanyakan kasus. (1,6-8) Tanda utama pada PV adalah dengan mencari autoantibodi IgG pada permukaan keratinosit. Hal ini merupakan fungsi patogenik primer dalam mengurangi perlekatan antara selsel keratinosit yang menyebabkan terbentuknya bula-bula, erosi dan ulser yang merupakan gambaran pada penyakit PV. Pada perwarnaan imunofloresensi direk dan indirek, kita dapat membedakan antara Pemfigus Paraneoplastik dari bentuk klasik suatu Pemfigus. Pada kulit perilesi, imunofloresensi direk menunjukkan penimbunan IgG dan komplemen C3 pada permukaan sel epidermal dan juga di sepanjang basal membrane zone. Berbeda dengan Pemfigus Klasik, autoantibodi hanya berikatan dengan epitel bertanduk, sama seperti yang dideteksi pada imunofloresensi indirek.(1,4,7) Autoantibodi patologik yang menyebabkan terjadinya PV adalah autoantibodi yang melawan desmoglein 1 dan desmoglein 3, yang mana hal ini yang menyebabkan terjadinya pembentukan bula. Pemeriksaan mikroskopi imunoelektron dapat menentukan lokasi antigen 4 pada desmosom untuk kedua PV dan Pemfigus Foliaseus, yang lebih sering pada perlekatan selsel pada epitel bertanduk.(1,6,7) Gambar 1: Kompensasi desmoglein; pada awal pemfigus vulgaris, antibodi hanya menyerang desmoglein 3, dan menghasilkan bulla pada lapisan mukosa dalam tanpa kompensasidari desmoglein 1. Pada pemphigus mukokutaneus, antibodi menyerang kedua desmoglein 1 dan desmoglein 3, menyebabkan bulla terhasil pada kedua membran mukosa dan kulit.(7) IV. GEJALA KLINIS PV ditandai oleh adanya bulla berdinding tipis, relatif kendur, dan mudah pecah yang timbul pada kulit atau membran mukosa normal maupun di atas dasar eritematosa. Cairan bula pada awalnya jernih tetapi kemudian dapat menjadi hemoragik bahkan seropurulen. Bula-bula ini mudah pecah, dan secara cepat akan ruptur sehingga terbentuk erosi. Erosi ini sering berukuran besar dan dapat menjadi generalisata. Kemudian erosi akan tertutup krusta yang hanya sedikit atau bahkan tidak memiliki kecenderungan untuk sembuh. Tetapi bila lesi ini sembuh sering berupa hiperpigmentasi tanpa pembentukan jaringan parut.(4,9) PV biasanya timbul pertama kali di mulut kemudian di sela paha, kulit kepala, wajah, leher, aksila, dan genital. Pada awalnya hanya dijumpai sedikit bula, tetapi kemudian akan meluas dalam beberapa minggu, atau dapat juga terbatas pada satu atau beberapa lokasi selama beberapa bulan.9 5 Tanda Nikolsky positif karena hilangnya kohesi antar sel di epidermis sehingga lapisan atas dapat dengan mudah digeser ke lateral dengan tekanan ringan. Kulit tanpa lapisan mukosa sangat jarang ditemukan pada PV. Pada suatu penelitian hanya 11% dari kasus PV.(7,9) Lesi di mulut muncul pertama kali dalam 60% kasus. Bula akan dengan mudah pecah dan mengakibatkan erosi mukosa yang terasa nyeri. Lesi ini akan meluas ke bibir dan membentuk krusta. Keterlibatan tenggorokan akan mengakibatkan timbulnya suara serak dan kesulitan menelan. Esofagus dapat terlibat dan telah dilaporkan suatu esophagitis dissecans superficialis sebagai akibatnya. Konjungtiva, mukosa nasal, vagina, penis, dan anus dapat juga terlibat.(9) Gambar 2. Pemfigus vulgaris. A. Bula flaksid B. Lesi oral(7) Gambar 3. Pemfigus vulgaris. Erosi luas akibat lepuh pada kulit(7) 6 V. DIAGNOSIS Untuk dapat mendiagnosis PV diperlukan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang lengkap. Lepuh dapat dijumpai pada berbagai penyakit sehingga dapat mempersulit dalam penegakkan diagnosis. Perlu dilakukan pemeriksaan manual dermatologi untuk membuktikan adanya Nikolsky’s sign yang menunjukkan adanya PV. Untuk mencari tanda ini, dokter akan dengan lembut menggosok daerah kulit normal di dekat daerah yang melepuh dengan kapas atau jari. Jika memiliki PV, lapisan atas kulit akan cenderung terkelupas. Tanda ini tampaknya adalah patognomonik karena hanya ditemukan pada Pemfigus dan Nekrolisis Epiderma Toksik.(9,10) Beberapa pemeriksaan penunjang lain yang dapat dilakukan antara lain: Biopsi Kulit dan Patologi Anatomi Pada pemeriksaan ini, diambil sampel kecil dari kulit yang berlepuh dan diperiksa di bawah mikroskop. Pasien yang akan dibiopsi sebaiknya pada pinggir lesi yang masih baru dan dekat dari kulit yang normal. Gambaran histopatologi utama adalah adanya akantolisis yaitu pemisahan keratinosit satu dengan yang lain.(7,9,11) A B C Gambar 4. Gambaran hitopatologi pemfigus. (A). Pemfigus vulgaris (B). Pemfigus foliaseus (C). Pemfigus paraneoplastik.(9) 7 Imunofluoresensi Imunofluoresensi langsung Sampel yang diambil dari biopsi diwarnai dengan cairan fluoresens. Pemeriksaan ini dinamakan direct immunofluorescence (DIF). DIF menunjukan deposit antibodi dan imunoreaktan lainnya secara in vivo, misalnya komplemen. DIF biasanya menunjukkan IgG yang menempel pada permukaan keratinosit yang di dalam maupun sekitar lesi.(3,7) Imunofluoresensi tidak langsung Antibodi terhadap keratinosit dideteksi melalui serum pasien. Pemeriksaan ini ditegakkan jika pemeriksaan imunofluoresensi langsung dinyatakan positif. Serum penderita mengandung autoantibodi IgG yang menempel pada epidermis dapat dideteksi dengan pemeriksaaan ini. Sekitar 80-90% hasil pemeriksaan ini dinyatakan sebagai penderita PV.(7) (A) (B) Gambar 5. Imunofluoresensi pada pemfigus. (A). Imunofluoresensi langsung. (B). Imunofluoresensi tidak langsung.(7) VI. DIAGNOSA BANDING 1. Pemfigoid Bulosa Gejala klinis pada Pemfigoid Bulosa adalah terbentuknya bula yang besar dengan tekanan meningkat pada kulit normal atau dengan basal eritematosa. Bula-bula ini sering timbul pada daerah abdomen bagian bawah, bagian paha depan atau paha atas, dan fleksor lengan atas, walaupun ia bisa timbul dimana-mana bagian tubuh. Bula yang terbentuk biasanya terisi dengan cairan bening dan bisa juga terdapat perdarahan. Kulit yang lepas apabila bula-bula itu pecah biasanya mempunyai potensi reepitelisasi, tidak seperti PV, erosi yang terjadi tidak menyebar ke perifer. Lesi pada Pemfigoid Bulosa tidak mengakibatkan pembentukan jaringan parut dan jarang sekali disertai oleh gatal.(1,4,12) 8 Pemeriksaan yang biasa dilakukan untuk menentukan Pemfigoid Bulosa adalah biopsi yang memberikan gambaran bula subepidermal tanpa nekrosis pada epidermal dengan infiltrat limfosit, histiosit dan eosinofil pada permukaan dermal.1,4,7 Gambar 6. Pemfigoid Bulosa pada dada(7) Gambar 7: Imunofluoresensi pada pemfigoid bulosa(7) 2. Dermatitis Herpetiformis Gejala klinis primer pada Dermatitis Herpetiformis adalah papul eritematous, plak yang menyerupai urtika atau yang paling biasa ditemukan adalah vesikel. Bula yang besar sangat jarang muncul pada penyakit ini. Akibat dari hilang timbulnya gejala klinis pada Dermatitis Herpetiformis bisa menyebabkan terjadinya hipopigmentasi atau hiperpigmentasi. Gejala yang 9 timbul pada pasien bisa hanya krusta dan gejala klinis primer yang lain tidak ditemukan. Gejala klinis ini biasanya timbul secara simetris pada siku, lutut, bahu dan daerah sakral. Lokasi seperti kulit kepala, muka dan garis anak rambut.(1,7,12) Pemeriksaan yang bisa dilakukan untuk menegakkan diagnosa Dermatitis Herpetiformis adalah pemeriksaan serum di mana ditemukan antibodi IgA yang berikatan dengan substansi intermiofibril pada otot polos. Terdapat juga pemeriksaan imunogenetik.(1,12) Gambar 8: Dermatitis herpatiformis(7) Gambar 9: Imunofloresensi pada dermatitis herpetiformis menunjukkan deposit IgA secara granular( 7) 10 Gambar 10: Biopsi lesi pada dermatitis herpetiformis menunjukkan penumpukan neutrofil dan eosinofil dan vesikulasi sub-epidermal(7) VII. KOMPLIKASI (3,10) 1. Infeksi sekunder , baik sistemik atau lokal pada kulit, dapat terjadi karena penggunaan imunosupresan dan adanya erosi. Penyembuhan luka pada infeksi kutaneous tertunda dan meningkatkan risiko timbulnya jaringan parut. 2. Terapi imunosupresan jangka panjang dapat mengakibatkan infeksi dan malignansi yang sekunder (misalnya, Sarkoma Kaposi), karena sistem imunitas yang terganggu. 3. Retardasi pada pertumbuhan telah dilaporkan pada anak yang memakai kortikosteroid sistemik dan imunosupresan. 4. Penekanan pada sumsum tulang telah dilaporkan pada pasien yang menerima imunosupresan. Peningkatan insiden leukemia dan limfoma dilaporkan pada pasien yang menerima imunosupresi yang berkepanjangan. 5. Gangguan respon kekebalan yang disebabkan oleh kortikosteroid dan obat imunosupresif lainnya dapat menyebabkan penyebaran infeksi yang cepat. Kortikosteroid menekan tanda-tanda klinis infeksi dan memungkinkan penyakit seperti septikemia atau TB untuk mencapai stadium lanjut sebelum diagnosis. 6. Osteoporosis dapat terjadi setelah penggunaan kortikosteroid sistemik. 7. Insufisiensi adrenal telah dilaporkan setelah penggunaan jangka panjang glukokortikoid. VIII. PENATALAKSANAAN (13-15) 1. Medikamentosa Glukokortiroid, 2-3 mg/KgBB prednison sampai penghentian pembentukan lepuhan baru dan hilangnya tanda Nikolsky. Kemudian pengurangan dengan cepat untuk sekitar setengah dosis awal sampai pasien hampir bersih, diikuti 11 dengan tappering dosis dengan sangat lambat untuk meminimalkan keefektifitasan dari dosis. Terapi imunosupresif yang bersamaan. Agen imunosupresif diberikan bersamaan untuk mengurangi efek glukokortikoid. Azathioprine, 2-3 mg/KgBB sampai pembersihan lengkap. Tapering dosis hingga 1mg/KgBB. Pemberian dengan hanya azathioprinedilanjutkan bahkan setelah penghentian pengobatan glukokortikoid dan mungkin harus dilanjutkan selama berbulan-bulan. Methotrexate, Baik secara oral (PO) atau IM dengan dosis 25–35 mg/minggu. Dosis penyesuaian dibuat seperti azathioprine. Cyclophosphamide, 100-200 mg/sehari, dengan pengurangan dosis 50–100 mg/sehari. Atau terapi cyclophosphamide "bolus" dengan 1000 mg seminggu sekali atau setiap 2 minggu di tahap awal, sebagai perbaikan IV diikuti oleh 50-100 mg/d PO. Plasmapheresis, dalam hubungannya dengan glukokortikoid dan agen imunosupresif pada pasien kurang terkontrol, pada tahap awal pengobatann untuk mengurangi titer antibodi. Plasmaphresis dengan iklosporin atau siklosposfamid dan fotoforesis ekstrakorporal terkadang juga telah diteliti dapat berguna. Gold therapy, untuk kasus-kasus ringan. Setelah pengujian awal dosis 10 mg IM, 25 sampai 50 mg gold natrium thiomalate diberikan IM , interval per minggu dengan dosis kumulatif maksimum 1 gr. Dosis tinggi imunoglobulin intravena (IVIg) (2 g/KgBB setiap 3- 4 minggu) telah dilaporkan memiliki efek sparing glukokortikoid. 2. Non Medikamentosa Pada pemberian terapi dengan dosis optimal, tetapi pasien masih merasakan gejala-gejala ringan dari penyakit ini. Maka perawatan luka yang baik adalah sangat penting karena ia dapat memicu penyembuhan bula dan erosi. Pasien disarankan mengurangi aktivitas agar resiko cedera pada kulit dan lapisan mukosa pada fase aktif penyakit ini dapat berkurang. Aktivitas-aktivitas yang patut dikurangi adalah olahraga dan 12 makan atau minum yang dapat mengiritasi rongga mulut (makanan pedas, asam, keras, dan renyah).(4) IX. PROGNOSIS (1,7) Sebelum adanya terapi glukokortikoid, PV hampir selalu berakibat fatal, dan Pemfigus Foliaseus berakibat fatal pada 60% pasien. Pemfigus Foliaseus hampir selalu berakibat fatal pada pasien usia lanjut dengan sejumlah permasalahan dalam pengobatan. Penambahan glukokortikoid sistemik dan penggunaan terapi imunosupresif telah meningkatkan prognosis pasien dengan PV. Namun demikian, PV tetap merupakan penyakit yang dikaitkan dengan morbiditas dan mortalitas yang signifikan. Infeksi sering menjadi penyebab kematian, dan dengan meningkatnya kebutuhan akan imunosupresan pada penyakit yang aktif, terapi seringkali menjadi faktor yang berperan dalam menyebabkan kematian. Dengan terapi glukokortikoid dan imunosupresan, mortalitas (baik dari penyakit maupun terapi) pasien dengan PV yang diikuti dalam 4 sampai 10 tahun adalah 10% atau kurang, dimana pada Pemfigus Foliaseus angka ini cenderung lebih kecil. Aktivitas penyakit umumnya berkurang dengan waktu dan relaps paling banyak terjadi di 2 pertama setelah diagnosis. Keadaan ini lebih buruk pada pasien yang lebih tua. 13 DAFTAR PUSTAKA 1. Wojnarowska F et al. Immunobullous disease. Burns T et al, ed. Rook’s textbook of dermatology. 7th edition. Australia: Blackwell publication; 2004;2033-91. 2. Djuanda, adhi Prof.Dr.dr.Ilmu Penyakit Kulit Dan Kelamin.Edisi Kelima.Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.Jakarta.2007;204-08. 3. Zeina B, Sakka N. Pemphigus vulgaris, (online). 2010. Available from www.emedicine.medscape.com 4. Amagai M. Pemfigus. In: Bolognia JL, Jorizzo JL, Rapini RP (eds). Dermatology. Spain: Elsevier. 2008; 5;417-29. 5. Siregar,Prof.Dr.R.S.SpKK(K).Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit,Edisi 2.Penerbit Buku Kedokteran EGC.Jakarta.2004;186-88. 6. Hertl M, ed. Autoimmune disease of the skin: pathogenesis, diagnosis, management.2nd revised edition. Austria: Springer-Verlag Wien; 2005;60-79. 7. Stanley JR. Pemfigus. In: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ (eds). Fitzpatrick's dermatology in general medicine (two vol. set). 7th ed. New York: McGraw-Hill; 2008: 459-74. 8. Hall JC, ed. Sauer's Manual of Skin Diseases. 8th edition. Lippincott Williams & Wilkins. 2000;232-36 9. James WD, Berger TG, Elston DM,eds. Andrews Disease of the Skin Clinical Symptoms. 10th ed. Philadelphia. Saunders Elsevier;2006;581-93 10. Brown,Robin Graham,Tony Burns.Dermatologi Lectures Notes.Edisi Kedelapan.Erlangga Medical Series.2002;144-46. 11. Beers, Mark H.MD.The Merck Manual.Eighteenth Edition.Volume I.Merck Research Laboratories.2006;950-52. 12. Habif TP, ed. Clinical dermatology: a color guide to diagnosis and therapy. 4th edition. Mosby.2003;547-86. 13. Wolff K et al. Fitzpatrick's color atlas and synopsis of clinical dermatology .5th edition. New York: McGraw-Hill;2007 14. Scully Crispian and Stephen J Challacombe. PEMPHIGUS VULGARIS: UPDATE ON ETIOPATHOGENESIS,ORAL MANIFESTATIONS, AND MANAGEMENT. 14 Department of Oral Medicine, Eastman Dental Institute for Oral Health Care Sciences. London. 2002. 13(5):397-408. 15. Ahmed, Razzaque et al, Treatment of Pemphigus Vulgaris with Rituximab and Intravenous Immune Globulin.The New England Journal Of Medicine. English.2006;355:1772-9. 15