Gagasan Dasar Mengenai Etika dan Negara

advertisement
Gagasan Dasar Mengenai Etika dan Negara Menurut Plato
(Sebuah pengenalan awal filsafat politik klasik)
Oleh : Muhammad Fadil
Abstract
To study politics and states in recent time mostly follows to what also happens
empirically and has comprehensive topics such as democratization and civil society.
However, to understand politic and growing state could not be separated from its
philosophical views such as how people are just or unjust. Classical studies about state
and politic offered by Plato, in spite of its great differences to modern theories, have its
contribution to political studies,especially its moral and ethic to the statesman.
Keyword: Justice-Injustice, Moral Politics, Statesman
I. Pendahuluan
Ide-ide mengenai terbentuknya dan berkembangnya sebuah negara tentu bukan sebuah tema yang
menarik apabila dibandingkan dengan kajian politik kontemporer. Saat ini kajian filsafat dan politik
lebih mendalami pada terbentuknya masyarakat madani (civil society), demokratisasi, pelaksanaan
rule of law, clean government dan good governance, dan sebagainya. Kajian tersebut pada dasarnya
sebagai sebuah kontinuitas dari perjalanan sebuah negara dan pemerintahan. Kajian tersebut akan
terus berkembang dan bahkan akan menemukan cara (pattern) baru dalam memahami sebuah realitas
politik dan masyarakat.
Mengajak kembali setiap individu untuk memahami hakikat sebuah negara ialah sebuah
ajakan awal untuk mendalami filsafat politik. Tidak seperti ilmu politik (political science),
filsafat politik memang kurang dianggap aplikatif dan kurang bisa menjadi konsumsi dalam
pembicaraan populer. Filsafat politik lebih bisa disebut sebagai ajakan untuk memahami
hakikat segala sesuatu mengenai negara, masyarakat, dan hubungan antara keduanya. Frasa
“memahami hakikat” memang telah menjadi domain filsafat, tetapi juga tidak bisa dihindari
dari pikiran manusia itu sendiri. Filsafat memang terkesan menjadi sebuah permainan
intelektual atau kajian-kajian khusus di universitas saja, tetapi pertanyaan-pertanyaan yang
timbul pada dasarnya tidak lepas bagaimana manusia melihat permasalahannya (Edward
Craig, 2002). Menggunakan filsafat dalam memahami politik mencoba mengajak individu
untuk memahami fundamen politik, yaitu bagaimana memahami politik yang paling
mendasar dalam kehidupan manusia dan hubungannya dengan negara.
Pada bagian ini akan coba dijelaskan bagaimana hakikat sebuah ‘negara’, bagaimana
seharusnya suatu ‘negara’, dan bagaimana ‘negara’ yang baik dan hal mendasar lainnya mengenai
manusia dan ‘negara’. Pertanyaan-pertanyaan tersebut merupakan pertanyaan filosofis daripada
sebuah pertanyaan historis. Bagaimanapun, aspek historis memang tidak bisa ditinggalkan dalam
memahami sebuah negara sebagai sebuah contoh masa lampau.
167
II. Beberapa Konsep Penting Mengenai Pemerintahan
Para filosof yang fokus terhadap politikpada umumnya memberikan perhatian pada manusia
pertama kali, seperti apa fungsi akal manusia terhadap kehidupannya, apa tujuan manusia, dan apa
yang harus dilakukan oleh manusia dalam hidupnya. Hal itu dilakukan karena pada kajian berikutnya
juga tidak bisa dilepaskan dalam memahami negara. Socrates merupakan figur filosof Yunani klasik
yang dikenal dalam usahanya mencari kebijaksanaan bahkan dengan resiko hukuman. Tradisi
pemikiran tersebut berkembang pada masa Plato dalam berbagai tema yang lebih kompleks.
Pembahasan kompleks tersebut telah menyentuh aspek lain seperti tentang manusia dan negara.
Dalam pemikiran filsafat Plato, ada garis yang menghubungkan persamaan di antara
pemikiran mereka, yaitu bahwa sebuah negara tidak bisa dilepaskan dari individu yang mempunyai
kualitas moral baik. Hal ini bisa dilihat bagaimana perhatiannya terhadap keadilan, kebijaksanaan, dan
nilai moral lainnya tidak bisa dilepaskan dalam pembahasan mereka mengenai kehidupan manusia
dalam politik. Hal ini memang sebuah kontinuitas dari pemikiran filsafat Socrates yang penekanan
filsafat moralnya sangat besar. Price mengatakan “Plato followed his teacher Socrates into ethics by
way of a question that remained central in Greek thought”. (Taylor, 1997). Hal yang sama juga
dilakukan oleh Aristoteles. Pemikiran tersebut memperlihatkan sebuah keterkaitan antara manusia dan
etika. Bagian ini akan menjelaskan bagaimana hubungan antara manusia dan moral hingga
terbentuknya sebuah ‘negara’ merupakan sebuah bagian yang tersatukan.
Keadilan
Plato merupakan filosof Yunani pada zamannya yang menunjukkan bagaimana filsafat mulai
tersusun berdasarkan tema dan figur tertentu di dalam karyanya. Ia menempatkan Socrates sebagai
figur penting untuk menyampaikan narasi pemikiran filsafat. (Taylor, 1997). Filsafat moral Socrates
merupakan titik pembuka – dari maraknya pemikiran Sofis – dalam menjelaskan etika secara rasional
dan mendalam. Beberapa karyanya saling berkaitan dalam menjelaskan moral, metafisik, dan
keadilan. Namun, karyanya yang paling banyak memuat tentang individu dan ‘negara’ ialah Republik.
Plato, dalam Republik, memulai tulisannya dengan menjelaskan makna keadilan (justice) dalam
sebuah dialog yang dilakukan oleh Socrates. Dalam bagian pertama (Book I) Republik dijelaskan apa
dan bagaimana suatu keadilan. Konsep mengenai keadilan tersebut akan mengarah pada sosok
pemerintahan dan pemimpin yang baik di bahas dalam Republik.
Argumen mendasar dalam Republik ialah bahwa ‘pemimpin’ (ruler) harus memperhatikan
aspek moral dan membangun sebuah harmoni antara individu dan negara (state). Perhatiannya
terhadap ‘negara ideal’ tersebut sangat berlandaskan pada etika dalam pelaksanaannya. Hal ini
setidaknya dapat dilaksanakan oleh raja (king) yang mempunyai kemampuan sebagaimana yang
filosof miliki. Pendapat Plato tersebut memperlihatkan bahwa raja adalah filosof dan sebaliknya
filosof juga seorang raja. Hal ini ditambahkan oleh Price: “When Socrates remarks that philosopherkings will practice ruling ‘not as something fine but as something necessary”. Price, A.W. (1997).
Salah satu konsep penting mengenai keadilan menurut Plato ialah hubungannya dengan
kebaikan (good). Dalam dialog antara Socrates dan Glaucon dijelaskan bahwa ada ‘kebaikankebaikan’ yang diinginkan oleh individu seperti kebaikan berupa kesenangan (dan kenikmatan) untuk
168
dirinya selama tidak merugikan (harmless). Selain itu juga kebaikan-kebaikan yang dapat diperoleh
melalui pengetahuan, penglihatan. Terakhir, kebaikan berupa ‘balasan’ yang diterima hasil usaha
seseorang walaupun ia mungkin tidak menjalaninya dengan suatu kesenangan. Dengan kata lain,
terdapat beberapa jenis ‘kebaikan’ menurut Glaucon. Beberapa macam ‘kebaikan’ oleh Glaucon
dibagi dalam bentuk tiga kelas. Ia bertanya kepada Socrates bagaimana menempatkan keadilan pada
kelas-kelas tersebut.
Sebagai balasan Socrates menjawab bahwa keadilan dapat pada kelas “among those goods
which he who would be happy desires both for their own sake and for the sake of their results”.
Glaucon – membalas kepada Socrates – menganggap bahwa aturan-aturan keadilan tumbuh
berdasarkan situasi sosial dan bukan atas persyaratan dan kesepakatan tertentu yang dibuat demi
kepentingan tertentu. Ia menginginkan bahwa keadilan harus ada demi dirinya sendiri (for its own
sake). Sebagai tambahan, Socrates menjawab bahwa keadilan hanya dapat terjadi pada masyarakat
yang terorganisir karena ada tujuan-tujuan untuk mempertahankan anggota-anggota di dalam
kelompoknya.
Penjaga Keadilan
Keadilan tersebut dapat terjaga dan tumbuh dalam masyarakat apabila pemimpinnya
merupakan filosof (king-philosopher). Apabila persyaratan tersebut tidak ada, ketidakadilan akan
lebih memungkinkan untuk terjadi daripada keadilan itu sendiri. Hal ini dapat dilakukan dengan
menciptakan sebuah aturan (rule) agar keadilan dapat terjaga. Apabila keadilan tidak ada, maka akan
banyak individu-individu yang dirugikan. Sebuah aturan dengan demikian harus ada untuk menjaga
kestabilan sosial di dalamnya. Ide aturan-aturan tersebut pada dasarnya merupakan sebuah konsep
awal untuk mengenalkan ide tentang kontrak-sosial yang lazim pada pemikiran filsafat modern.
Pemikiran Plato tentang landasan filosofis tentang pemerintahan tetap berlanjut pada dialog
antara Glaucon, Adeimantus, dan Socrates. Menurut Socrates, alam (nature) mempunyai kualitas
keindahan, kekayaan, kekuatan, dan sebagainya yang baik bagi manusia, tetapi semua itu punya
potensi untuk dirusakkan (corrupted). Hal ini dapat terjadi apabila sesuatu tidak ditempatkan pada
proporsinya. Socrates mengumpamakan ini dengan tumbuhan yang tidak mendapatkan nutrisi dan
tanahnya sesuai dengan proporsinya maka akan menjadikannya lebih sulit tumbuh dengan baik dalam
lingkungan yang sesuai (suitable environment). Menurut Socrates adalah hal yang masuk akal bahwa
kondisi alam yang terbaik pun, apabila berada dalam kondisi yang tidak baik dan tidak tepat, akan
berakibat lebih buruk (Plato, 1981). Hal ini merupakan landasan pemikiran untuk menjelaskan bahwa
negara yang baik haruslah dipimpin dan dikelola oleh orang yang secara moralitas baik. Mengangkat
pemimpin dalam sebuah negara yang ideal tidak sekedar mencari pemimpin semata.
Dalam dialognya bersama Adeimantus, Socrates menjelaskan bahwa negara yang sempurna
tidak akan terwujud kecuali bila terkumpulnya para filosof (yang benar-benar mempunyai
kemampuan) hingga negara bisa patuh kepada para filosof tersebut. Socrates menjelaskan bahwa
filosof yang sebenarnya ialah filosof yang tidak bermasalah (corrupted). Para filosof lah yang mampu
dan dapat mengerti petunjuk dari para dewa sehingga memiliki pengetahuan yang tidak dimiliki oleh
mayoritas individu. (Palto, 1981). Negara yang tidak dikelola oleh seorang filosof ialah seperti halnya
seorang ‘pemahat’ yang kurang mempunyai kemampuan (unskillful) dalam membuat karyanya.
169
....quick intelligence, memory, sagacity, cleverness, and similar qualities, do not often
grow together, and that persons who possess them and are at the same time highspirited and magnanimous are not so constituted by nature as to live orderly and in a
peaceful and settled manner; they are driven any way by their impulses, and all solid
principle goes out of them (Plato, 1981).
Plato menganggap bahwa individu yang berpendapat bahwa terjadinya negara bersifat alami
dan dibangun atas keinginan-keinginan pribadi ialah lebih banyak dan dapat diterima secara rasio.
Namun, hal tersebut akan lebih sulit untuk menjadikannya negara ideal. Filosof – sebagai individu
yang mampu – mempunyai kemampuan-kemampuan seperti kecerdasan dan kebijaksanaan yang tidak
tumbuh secara alami semata. Pemerintahan yang dibangun dengan kehendak tersebut harus memiliki
perwira-perwira yang baik (guardian) dan mereka lah yang menjaga negara dalam kesehariannya
dengan gaji periodik.
Bentuk Bentuk Pemerintahan dan Ketidakadilannya.
Plato membagi beberapa bentuk pemerintahan yang tiap-tiapnya dapat memberikan gambaran
tentan sifat dari para penguasanya. Ia memberikan beberapa contoh negara yang dapat
menggambarkan sifat-sifat ketidakadilan (dilakukan oleh penguasa) yang berbeda. Melalui Socrates,
ia memberikan contoh empat jenis pemerintahan yaitu:
a. Timokrasi. Plato, melalui Socrates, memberikan contoh tersebut pada bentuk timokrasi.
Timokrasi ialah sebuah kondisi sistem yang berada di antara bentuk aristokrasi dan oligarki.
Sistem ini menggambarkan konflik yang tercipta akibat ketidakstabilan kondisi, kemudian
mengarah kepada sebuah sistem yang menghendaki kompromi diantara orang-orang yang
menguasai kekayaan (materi) dan mereka yang dianggap kaya tetapi kurang penguasaan materi
produksi. Dalam kondisi ini, terciptalah sebuah sistem swasta yang berlaku pada masyarakat.
b. Oligarki. Negara: orang-orang kaya di dalamnya mempunyai modal kekuatan. Sebagian
kelompok mulai lebih sibuk mengumpulkan uang dan kekayaan mulai mulai menjadi standar
kehormatan di dalam masyarakat. Socrates menganggap bahwa hal ini berbenturan dengan
kebaikan (wealth versus virtue) dan pada akhirnya penghormatan terhadap kebaikan akan
semakin berkurang. Pada sistem ini, sistem pemerintahan sudah tidak menempatkan filosof
sebagai pengatur sistem, tetapi kepada pengaruh kekayaan dan kekuasaan. Kelompok masyarakat
yang kaya tersebut akan diangkat sebagai pengelola kota dan mereka yang akan membuat
peraturan. Mereka yang miskin dan tidak memiliki kekayaan diatur oleh para oligarkis.
c. Demokrasi. Sistem ini muncul ketika kelompok-kelompok yang lemah mulai mendominasi.
Kelompok-kelompok miskin berusaha untuk menaikan derajat mereka. Persamaan derajat
diberlakukan kepada setiap kelompok manusia. Kebebasan (freedom) menjadi milik individu dan
hak-hak mereka diperhatikan. Namun, bentuk demokrasi yang dimaksud Socrates tersebut juga
minim akan aturan-aturan yang mengikat. Dalam demokrasi tersebut, aturan-aturan tidak
diperlukan dan setiap individu juga bisa menolak aturan tersebut.
d. Tirani. Dalam penjelasannya, Socrates menggambarkan bentuk tirani yang muncul dari demokrasi
yang telah ia jelaskan. Masing-masing individu yang sangat mementingkan dirinya mulai kurang
menghargai aturan-aturan. Masing-masing individu tidak ingin dikuasai. Kebebasan yang begitu
besar menjadikan masing-masing kelompok menjadi saling curiga dan berusaha untuk
memperbudak lainnya. Masing-masing kelompok yang berada dalam kondisi tersebut menjadi
lebih waspada sehingga mereka akan coba untuk mengalahkan yang lainnya daripada mereka
yang dikalahkan. Pada bagian tersebut sifat tirani muncul di masing-masing kelompok.
170
Dari penjelasan tersebut terlihat bagaimana sifat kekuasaan yang dimiliki manusia. Keinginan
dalam membangun sebuah kota yang berlandaskan pada kebaikan harus menghadapai bentuk
ketidakadilan yang ada pada diri manusia. Kebijaksanaan tergantikan oleh kemauan untuk mencapai
sesuatu melalui kekuatan (seperti kekuatan militer). Lebih lanjut Socrates mengatakan “who are by
nature fitted for war rather than peace.”
Etika dan Politik
Negara baik, menurut Socrates, seharusnya memberikan tempat bagi orang-orang yang luhur
secara intelektual dan moral (yaitu, filosof) sehingga terjaga keadilan di dalamnya. Namun, ada
beberapa ketidakadilan yang terjadi akibat dari menjalankan pemerintahan. Menurut Plato, bentuk
pemerintahan seperti itu bisa digambarkan dalam bentuk jiwa seseorang (soul). Dari empat bentuk
negara, Plato sesungguhnya memberi perhatian yang besar pada aspek moral yang menjalankan
negara dibandingkan sekedar sebuah sistem. Masing-masing bentuk pemerintahan menggambarkan
bagaimana bentuk orang berkuasa secara moral.
Kebijaksanaan yang dijunjung tinggi merupakan bentuk pemerintahan yang ideal sementara
pemerintahan yang buruk ketika nafsu dan tirani dominan. Bentuk ketidakadilan akan tampak pada
keempat bentuk pemerintahan tersebut. Pemerintah tirani, menurut Socrates, ialah sebuah gambaran
dari jiwa yang yang miskin dan tak pernah terpuaskan. Perumpamaan yang diberikan untuk
menggambarkan sifat tirani ialah dengan memberi contoh orang mabuk. Orang mabuk hilang
kesadaran sehingga tidak mampu berpikir untuk menempatkan sesuatu yang sesuai pada tempatnya
karena ia akan mengatur semaunya. Sistem seperti itu akan lebih senang menciptakan peperangan dan
mengacaukan kehidupan pemerintahannya sendiri seperti munculnya kriminal dan korupsi yang
terjadi di dalamnya.
Dengan penjelasan di atas, Socrates kembali menegaskan pentingnya moralitas dalam gagasan
bernegara. Sudah menjadi kaidah tak terpisahkan ketika Socrates dan Plato menunjukkan kebaikan
manusia sebagai kondisimoral yang terbaik dari manusia. Gambaran pemerintahan diberikan
sebagaimana perumpamaan dalam membangun keluarga dan memberikan contoh bagaimana keluarga
yang baik menggambarkan pemimpin dan rakyat yang baik, begitu juga sebaliknya.
Perumpamaan mengenai manusia yang tercermin pada cara kepemimpinannya memang
ditegaskan pada buku berikutnya oleh Socrates dalam dialognya, seperti pada komentarnya pada
Glaucon sebagai berikut:
Then if the man is like the State, I said, must not the same rule prevail? His soul is full of
meanness and vulgarity— the best elements in him are enslaved; and there is a small
ruling part, which is also the worst and maddest.
Kecendrungan individu yang bersifat tirani akan memberikan konsekuensi tindakannya yang
tirani pula. Ia akan menyukai bentuk perbudakan kepada orang lain. Hal seperti ini tidak diinginkan
dalam ide etika politik Socrates dan Plato. Plato memberikan beberapa istilah seperti penderitaan
(pain) dan kesenangan (pleasure). Manusia selalu mencari kesenangan, tetapi kesenangan tersebut
tidak selalu baik bagi manusia dan bisa memberikan penderitaan.
171
And when the whole soul follows the philosophical principle, and there is no division,
the several parts are just, and do each of them their own business, and enjoy severally the
best and truest pleasures of which they are capable.
Socrates menjelaskan bahwa individu yang mengikuti prinsip-prinsip filosofis akan
memberikan mereka bentuk kesenangan yang sebenarnya. Mengikuti prinsip-prinsip filosofis ialah
dengan memberdayakan akal (reason) yang harus diutamakan manusia dibandingkan mengikuti
keinginan nafsu pribadi semata. Dengan demikian akan terlihat kepribadian yang berbeda di antara
seorang raja (yang berfilosof) dan seorang tiran.
Pendekatan Pemikiran Politik
Pemikiran politik Plato merupakan sebuah pemikiran klasik perihal manusia menjalankan
kehidupan antara memimpin dan dipimpin. Tidak seperti pemikiran politik dan pemerintahan modern
yang telah mencapai konsep-konsep kompleks yang menyangkut hal teknis dalam mengelola
masyarakat, Plato melalui Socrates justru memperlihatkan apakah pemimpin tersebut telah
menciptakan keadilan atau ketidakadilan.
Pemikiran Plato mungkin kurang menarik dibandingkan teori-teori modern. Masyarakat di
dunia saat ini telah menjalani berbagai bentuk pemerintahan dan negara yang berbeda satu sama lain.
Masing-masing menerapkan konsep seperti apakah yang terbaik bagi masyarakatnya. Namun, konsep
etika politik manusia yang dijelaskan secara luas dalam dialog Socrates akan tetap menarik untuk di
dalami sampai saat ini. Bukan pada bagaimana membangun negara ideal, tetapi pada negarawan itu
sendiri.
Konsep etika bernegara menurut Plato dan Socrates secara sederhana telah digambarkan
dalam uraian di atas. Digambarkan dengan penuh perumpamaan bahwa negara ideal (perfect state)
seharusnya dipimpin oleh individu yang berjiwa filosof (king-philosopher) karena mereka dapat
membentuk negara yang diberkahi oleh para dewa. Dengan demikian, hanya filosof yang dapat
melakukan hal tersebut. Penekanan dalam pemikiran Plato-Socrates tersebut ialah bahwa sifat
manusia juga bisa menggambarkan sifat negara. (Plato, 1981).
Ide tentang negarawan ideal, sebagaimana dijelaskan Socrates, dalam konteks negara modern
ialah tentu konsep yang kurang sesuai saat ini. Pemerintahan yang dipimpin oleh seorang raja yang
baik dengan para perwira di dalamnya yang baik pula bisa menjadi sesuatu yang mustahil dalam
konteks demokrasi modern. Leo Strauss mengatakan ‘it is no sufficient for everyone to obey and to
listen to the Divine message of the City of Righteousness, the Faithfull City. Pada kondisi modern,
menurutnya sulit untuk menghadirkan sebuah negara dan pemimpinnya yang berlandaskan moralitas
seperti yang dijelaskan. Konsep pemerintahan seperti keinginan Socarates tentu mustahil untuk
ditemukan.
Namun, bukan berarti pemikiran filosof klasik seperti Plato tidak berarti dalam konteks
modern. Leo dengan memberikan contoh dampak negatif dari negara modern memang ingin
mengajak masyarakat modern untuk melihat kembali pemikiran klasik yang boleh jadi bermanfaat
untuk mereka. (Leo Strauss, 1964).
172
Dengan membaca kajian Plato, sesungguhnya ada beberapa dialog Socrates yang dapat diambil
untuk menggambarkan manusia dan kepemimpinan. Ciri dari pemikiran Plato ialah bahwa sifat
individu dan sifat negara memang tidak dapat dilepaskan. Ia memberikan moral sebagai contoh yang
memperlihatkan hubungan antara individu dengan negara.
Daftar Pustaka
Craig, Edward. (2002). Philosophy:Very Short Introduction. New York: Oxford University Press.
Plato. (1981). Republic (3rd) (Trans, Benjamin Jowett). http://classics.mit.edu/Plato/republic.html
Price, A.W. (1997). “Plato: Ethics and Politics”. C.C. W. Taylor (Ed). Routledge History of
Philosophy (Vol I): From the Beginning to Plato. London: Routledge.
Strauss, Leo. (1964). The City and Man. London&Chicago: The University of Chicago Press.
173
Download