TINJAUAN PUSTAKA Taksonomi dan Morfologi Rhizophora stylosa

advertisement
TINJAUAN PUSTAKA
Taksonomi dan Morfologi Rhizophora stylosa
Rhizophora stylosa memiliki nama setempat : Bakau, bako-kurap, slindur,
tongke besar, wako, bangko. Deskripsi umumnya yaitu: pohon dengan satu atau
banyak batang, tinggi hingga 10 m.
Klasifikasi R. stylosa dapat diuraikan sebagai berikut:
Kingdom
: Plantae
Divisi
: Magnoliophyta
Kelas
: Magnoliopsida
Ordo
: Malpighiales
Family
: Rhizophoraceae
Genus
: Rhizophora
Species
: Rhizophora stylosa
Kulit kayu halus, bercelah, berwarna abu-abu hingga hitam. Memiliki akar
tunjang dengan panjang hingga 3 m, dan akar udara yang tumbuh dari cabang
bawah. Daun berkulit, berbintik teratur di lapisan bawah. Gagang daun berwarna
hijau, panjang gagang 1-3,5 cm, dengan pinak daun panjang 4-6 cm. Unit dan
letak : sederhana dan berlawanan. Bentuk : elips melebar. Ujung daun meruncing,
gagang kepala bunga seperti cagak, biseksual, masing-masing menempel pada
gagang individu yang panjangnya 2,5-5 cm. Letak bunga di ketiak daun. Formasi
bunga kelompok (8-16 bunga per kelompok). Daun mahkota ada 4; putih, ada
rambut. Kelopak bunga: 4; kuning hijau, panjangnya 13-19 mm. Benang sari ada
8; dan sebuah tangkai putik, panjang 4-6 mm. Buah : Panjangnya 2,5-4 cm,
berbentuk buah pir, berwarna coklat, berisi 1 biji fertil, Hipokotil silindris,
Universitas Sumatera Utara
berbintil agak halus. Leher kotilodon kuning kehijauan ketika matang. Ukuran
hipokotil : panjang 20-35 cm (kadang sampai 50 cm) dan diameter 1,5-2,0 cm
(Noor, et al., 1999).
Ekologi R. stylosa
R. stylosa tumbuh pada habitat yang beragam di daerah pasang surut,
lumpur, pasir dan batu, menyukai pematang sungai pasang surut, tetapi juga
sebagai jenis pionir di lingkungan pesisir atau pada bagian daratan dari mangrove.
Satu jenis relung khas yang bisa ditempatinya adalah tepian mangrove pada
pulau/substrat karang. Rhizophora stylosa menghasilkan bunga dan buah
sepanjang tahun.
Penyebaran R. stylosa diantaranya di Taiwan, Malaysia,
Filipina, sepanjang Indonesia, Papua New Guinea dan Australia Tropis (di
Indonesia tercatat dari Jawa, Bali, Lombok, Sumatera, Sulawesi, Sumba,
Sumbawa, Maluku dan Irian Jaya. Kondisi salinitas sangat mempengaruhi
komposisi mangrove. Berbagai jenis mangrove mengatasi kadar salinitas dengan
cara yang berbeda-beda. Beberapa diantaranya secara selektif mampu
menghindari penyerapan garam dari media tumbuhnya, sementara beberapa jenis
yang lainnya mampu mengeluarkan garam dari kelenjar khusus pada daunnya
(Noor et al., 1999).
Daya adaptasi atau toleransi jenis tumbuhan mangrove terhadap kondisi
lingkungan yang ada mempengaruhi terjadinya zonasi pada kawasan hutan
mangrove. Permintakatan jenis tumbuhan mangrove dapat dilihat sebagai proses
suksesi dan merupakan hasil reaksi ekosistem dengan kekuatan yang datang dari
luar seperti tipe tanah, salinitas, tingginya ketergenangan air dan pasang surut.
Universitas Sumatera Utara
Pembagian zonasi kawasan mangrove yang dipengaruhi adanya perbedaan
penggenangan atau perbedaan salinitas meliputi :
1. Zona garis pantai, yaitu kawasan yang berhadapan langsung dengan laut.
Lebar zona ini sekitar 10-75 meter dari garis pantai dan biasanya ditemukan
jenis Rhizophora stylosa, R. mucronata, Avicennia marina dan Sonneratia
alba.
2. Zona tengah, merupakan kawasan yang terletak di belakang zona garis pantai
dan memiliki lumpur liat. Biasanya ditemukan jenis Rhizophora apiculata,
Avicennia officinalis, Bruguiera cylindrica, B. gymnorrhiza, B. parviflora,
B. sexangula, Ceriops tagal, Aegiceras corniculatum, Sonneratia caseolaris
dan Lumnitzera littorea.
3. Zona belakang, yaitu kawasan yang berbatasan dengan hutan darat. Jenis
tumbuhan yang biasanya muncul antara lain Achantus ebracteatus, A.
ilicifolius, Acrostichum aureum, A. speciosum. Jenis mangrove yang tumbuh
adalah Heritiera littolaris, Xylocarpus granatum, Excoecaria agalocha, Nypa
fruticans, Derris trifolia, Osbornea octodonta dan beberapa jenis tumbuhan
yang biasa berasosiasi dengan mangrove antara lain Baringtonia asiatica,
Cerbera manghas, Hibiscus tiliaceus, Ipomea pes-caprae, Melastoma
candidum, Pandanus tectorius, Pongamia pinnata, Scaevola taccada dan
Thespesia populnea (Pramudji dan Purnomo, 2003).
Pengaruh Salinitas Terhadap Pertumbuhan Tanaman
Pertumbuhan tinggi tanaman dapat didefinisikan sebagai bertambah
besarnya tanaman yang diikuti oleh peningkatan bobot kering. Beberapa ahli
mendefinisikan
pertumbuhan
tanaman
sebagai
proses
pembelahan
dan
Universitas Sumatera Utara
pemanjangan sel, ahli tanah umumnya mendefinisikan pertumbuhan sebagai
peningkatan bahan kering. Definisi ini meliputi proses deferensiasi yang besar
sumbangannya dalam penimbunan bahan kering, dalam analisis akhir,
perkembangan dan morfogenesis tanaman yang merupakan akibat dari ketiga hal
berikut: pertumbuhan karena pembelahan, pembesaran dan deferensiasi sel.
Pertumbuhan suatu pohon adalah pertambahan tumbuh dalam besar dan
pembentukan jaringan baru, pertumbuhan tersebut dapat pula diukur dari berat
seluruh tanaman (biomassa), dan juga meliputi pertumbuhan bagian atas dan
bagian bawah (Syah, 2011).
Hutan mangrove merupakan hutan yang tumbuh dan berkembang pada
daerah muara sungai atau pesisir pantai yang dipengaruhi oleh pasang surut air
laut. Oleh karena kawasan hutan mangrove secara rutin digenangi oleh pasang air
laut, maka lingkungan (tanah dan air) hutan mangrove bersifat salin. Vegetasi
yang hidup di lingkungan salin, baik lingkungan tersebut kering maupun basah
disebut dengan halopita. Berbagai kondisi lingkungan ekstrim tersebut, yakni
lingkungan salin, tanah jenuh air, radiasi matahari dan suhu tinggi akan
menyebabkan terganggunya metabolismee tumbuhan dan pada akhirnya akan
menyebabkan
rendahnya
produktivitas
atau
laju
pertumbuhan
tanaman
(Onrizal, 2005).
Salinitas air dan salinitas tanah rembesan merupakan faktor penting dalam
pertumbuhan, daya tahan, dan zonasi spesies mangrove. Tumbuhan mangrove
tumbuh subur di daerah estuaria dengan salinitas 10-30 ppt. Salinitas yang sangat
tinggi (hypersalinity) misalnya ketika salinitas air permukaan melebihi salinitas
yang umum di laut (±35 ppt) dapat berpengaruh buruk pada vegetasi mangrove,
Universitas Sumatera Utara
karena dampak dari tekanan osmotik yang negatif. Akibatnya, tajuk mangrove
semakin jauh dari tepian perairan secara umum menjadi kerdil dan berkurang
komposisi jenisnya (Syah, 2011).
Kebanyakan tumbuhan memiliki toleransi sangat rendah terhadap salinitas,
sehingga tidak mampu tumbuh di dalam atau di dekat air laut. Hal ini terjadi
karena kebanyakan jaringan makhluk hidup lebih cair daripada air laut, akibatnya
air dari dalam jaringan tumbuhan dapat keluar akibat proses osmosis, sehingga
tumbuhan kekeringan, menjadi layu, dan mati. Lingkungan yang keras ini
menyebabkan diversitas hutan mangrove cenderung lebih rendah daripada
umumnya hutan hujan tropis (Noor et al., 1999).
Lopez-Hoffman et al. (2007) menyebutkan bahwa berat kering tanaman
dan laju pertumbuhannya dipengaruhi juga oleh intensitas cahaya dan salinitas.
Rasio akar-daun menjadi lebih tinggi pada salinitas tinggi. Kemampuan hidup
semai akan lebih tinggi pada salinitas lebih rendah dan akan makin meningkat
kemampuannya dengan ketersediaan cahaya yang optimum. Pada Krauss et al.,
(2008) melaporkan bahwa pertumbuhan awal tanaman mangrove juga sangat
dipengaruhi oleh faktor global seperti temperatur dan faktor spesifik lokasi seperti
salinitas. Salinitas memainkan peranan penting pada adaptasi pertumbuhan
mangrove. Pertumbuhan semai akan memperluas distribusi mangrove dan
meningkatkan rehabilitasi mangrove. Meskipun mangrove adalah salah satu jenis
halofita, namun semainya sensitif terhadap stress garam, substrat yang bergaram
mempengaruhi banyak aspek seperti aspek pertumbuhan dan fisiologinya.
Universitas Sumatera Utara
Metabolit Sekunder
Semua makhluk hidup agar dapat melangsungkan hidup, tumbuh dan
reproduksinya perlu melakukan transformasi dan interkonversi sejumlah besar
senyawa organik. Proses transformasi dan interkonversi tersebut dilaksanakan
melalui suatu sistem terintegrasi yang terdiri atas reaksi-reaksi kimia beraturan
yang dikatalisis dan dikontrol secara ketat oleh sistem enzimatik dengan jalur
reaksi yang terlibat (disebut dengan jalur-jalur metabolisme). Senyawa-senyawa
organik yang dihasilkan dan terlibat dalam metabolismee disebut sebagai
metabolit. Beberapa metabolit penting dalam metabilisme tersebut adalah
senyawa-senyawa karbohidrat, protein, lemak dan asam nukleat. Meskipun
karakteristik makhluk hidup sangat bervariasi akan tetapi jalur jalur metabolik
yang secara umum mensintesis dan memodifikasi senyawa-senyawa karbohidrat,
protein, lemak dan sam nukleat secara esensial sama pada semua makhluk hidup,
yang secara kolektif disebut dengan metaboolisme primer dan segala senyawa
senyawa yang terlibat di dalam jalur tersebut disebut sebagai metabolit primer.
Metabolit dan metabolismee primer dibutuhkan untuk menunjang terjadinya
pertumbuhan pada setiap organism. Contoh proses metabolismee primer adalah
degradasi senyawa karbohidrat dan gula melalui jalur glikolisis dan siklus krebs,
degradasi lemak dan optimasi pembentukan energi (Sudibyo, 2002).
Berlawanan dengan jalur metabolismee primer (yang melaksanakan
sintesis, degradasi dan terjadi secara universal) terdapat jalur metabolismee lain
yang melibatkan senyawa organik spesifik dan terjadi sangat terbatas di alam.
Metabolismee tersebut disebut sebagai metabolismee sekunder dan metabolismee
yang dihasilkan disebut sebagai metabolit sekunder. Metabolit sekunder tertentu
Universitas Sumatera Utara
hanya ditemukan pada organism spesifik, atau bahkan pada galur spesifik dan
hanya diproduksi pada kondisi-kondisi tertentu. Metabolit sekunder memang tidak
dibutuhkan
untuk
pertumbuhan,
akan
tetapi
sangat
dibutuhkan
untuk
kelangsungan hidupnya, yaitu merupakan senyawa yang berguna untuk
menangkal serangan dari predator dan untuk bertahan terhadap lingkungan.
Contoh metabolit sekunder antara lain : senyawa-senyawa asam lemak, flavonoid,
triterpenoid, lignin, steroid, dll (Sudibyo, 2002).
Pengaruh Salinitas Terhadap Fisiologi
Dalam kaitannya dengan adaptasi terhadap kandungan garam, mangrove
dikelompokkan menjadi dua kelompok yakni (1) salt-excreting mangrove, seperti
jenis Avicennia, Aegiceras, dan Aegialitis, dan (2) non-secretor mangrove, seperti
jenis Rhizophora, Bruguiera, Sonneratia, dan lain-lain. Sehubungan dengan ini
Hutching dan Saenger (1987) mengemukakan tiga cara mangrove beradaptasi
terhadap garam sebagai berikut:
1) Sekresi garam (salt extrusion/salt secretion)
Flora mangrove menyerap air dengan salinitas tinggi kemudian
mengekskresikan garam dengan kelenjar garam yang terdapat pada daun.
Mekanisme ini dilakukan oleh Avicennia, Sonneratia, Aegiceras, Aegialitis,
Acanthus, Laguncularia dan Rhizophora (melalui unsur-unsur gabus pada daun).
2) Mencegah masuknya garam (salt exclusion)
Flora mangrove menyerap air tetapi mencegah masuknya garam, melalui
saringan yang terdapat pada akar. Mekanisme ini dilakukan oleh Rhizophora,
Ceriops, Sonneratia, Avicennia, Osbornia, Bruguiera, Excoecaria, Aegiceras,
Aegalitis, dan Acrostichum.
Universitas Sumatera Utara
3) Akumulasi garam (salt accumulation)
Flora mangrove seringkali menyimpan Na dan Cl pada bagian kulit kayu,
akar dan daun yang lebih tua. Daun penyimpan garam umumnya sukulen dan
pengguguran daun sukulen ini diperkirakan merupakan mekanisme mengeluarkan
kelebihan garam yang dapat menghambat pertumbuhan dan pembentukan buah.
Mekanisme adaptasi akumulasi garam ini terdapat pada Excoecaria, Lumnitzera,
Avicennia, Osbornia, Rhizophora, Sonneratia dan Xylocarpus.
Onrizal (2005) melaporkan bahwa sebagaimana halnya halofita lainnya,
jenis mangrove mengandung konsentrasi garam yang tinggi pada jaringannya.
Pada salinitas yang tinggi, ion-ion Na+ dan Cl- mendominasi komposisi ion
jaringan. Secara umum konsentrasi ion-ion anorganik yang diperlukan oleh
mangrove di dalam mengatur potensial osmotik antar sel, agar lebih rendah dari
potensi air dalam tanah. Banyaknya jumlah genangan air akan mempengaruhi
pertumbuhan mangrove dalam hal ini adaptasi fisiologis dalam menjaga
keseimbangan air, seperti perilaku stomata, tingkat osmotik, dan pengeluaran
garam.
Mekanisme fisiologi yang terjadi pada tumbuhan adalah untuk bertahan
dalam cekaman garam. Selain metabolismee bergeser untuk mengatasi tantangan
lingkungan, sel membran tanaman itu sendiri merupakan hambatan mendasar
bagi
faktor
eksternal.
Lipid
pada
membran
sel
memainkan
peranan penting dalam adaptasi terhadap salinitas yang berbeda melalui
perubahan komposisi sterol, lipid dan triterpenoid (Basyuni, at al., 2012).
Triterpenoid telah dibedakan dari fitosterol karena mereka tidak dianggap menjadi
Universitas Sumatera Utara
konstituen membran lipid walaupun memiliki struktur kimia yang mirip dan jalur
biosintesis (Oku et al, 2003).
Beberapa studi telah menunjukkan bahwa fitosterol berkontribusi untuk
mengatur permeabilitas ion dari membran sel tumbuhan meskipun menunjukkan
variasi dalam keberhasilan tergantung pada struktur kimia dari kerangka karbon
sterol (Grunwald, 1974). Penelitian yang telah dilakukan sebelumnya oleh
Basyuni et al., (2012) bahwa kandungan triterpenoid pada akar Rhizophora
stylosa lebih banyak daripada kandungan fitosterol.
Salinitas dari garis pantai menurun kearah darat, sehingga salinitas
maksimum ditemukan dari arah pinggiran menuju laut (36 ‰ salinitas, sekitar
1000 mmol / kg larutan aktif osmotik, atau kira-kira 25 bar tekanan osmotik pada
25oC). Salinitas ini berkurang kearah darat selama musim hujan sebagai akibat
curah hujan atau drainase air tawar dari tanah. Di belakang komunitas mangrove
yang mempunyai salinitas ekstrim tersebut, salinitas rendah di permukaan tanah
selama musim hujan, dan hampir garam larutan tanah jenuh selama musim
kemarau. Kasus stres salinitas dapat dideteksi melalui analisis osmolalitas
(Medina, 1999).
Universitas Sumatera Utara
Download