Mtb

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Mycobacterium tuberculosis
Mycobacterium
tuberculosis
(Mtb)
merupakan
jenis
bakteri
yang
menyebabkan penyakit TB. Mtb pertama kali ditemukan oleh Robert Koch pada
tahun 1882. Bakteri Mtb termasuk ke dalam genus Mycobacterium dengan bentuk
sel basiler. Karakteristik dari bakteri dalam genus tersebut adalah struktur dinding
sel yang kaya akan kandungan lipid sehingga membentuk barrier yang hidrofobik
dan memiliki permeabilitas rendah serta menyediakan proteksi terhadap agen
antimikroba (Chan et al., 2006). Struktur dinding sel tersebut menyebabkan
sulitnya pewarnaan terhadap bakteri dalam genus tersebut. Namun ketika dapat
terwarnai akan dapat mempertahankan hasil pewarnaan pada kondisi asam
mineral encer sehingga pewarnaan Mycobacterium dikenal sebagai pewarnaan
basil tahan asam (BTA). Kultur bakter Mtb biasanya dilakukan pada media
Lowenstein-Jensen (LJ) dengan suhu optimum 37oC dan pH 6,8 selama masa
inkubasi hingga 6 minggu. Waktu multiplikasi bakteri ini sangat lambat, yaitu
berkisar 14-16 jam. Mtb akan mati pada pemanasan 60oC selama 15-20 menit
(Vasanthakumari, 2007).
2.2 Multidrug Resistant Tuberculosis (MDR-TB)
MDR-TB adalah penyakit tuberkulosis yang disebabkan oleh strain
Mycobacterium tuberculosis yang resisten sekurang-kurangnya terhadap RIF dan
7
8
INH (WHO, 2012). Pada tahun 2012, WHO mencanangkan program post-2015
global TB strategy sebagai tinjak lanjut atas tercapainya program Millenium
Development Goals (MDGs) 2015 dalam hal pengendalian Tuberkulosis (TB).
Tujuan program tersebut adalah untuk menghentikan epidemi TB secara global
pada tahun 2035. Peningkatan kasus resistensi obat antituberkulosis; OAT
merupakan ancaman utama terhadap keberhasilan program pengendalian TB
(WHO, 2015).
RIF dan INH termasuk ke dalam obat lini pertama atau primer pada infeksi
Mtb. Pengobatan MDR-TB dilakukan dengan OAT lini kedua. Pengobatan ini
lebih lama, lebih mahal dan regimen terapinya lebih rumit. Pasien MDR-TB
membutuhkan waktu beberapa bulan lebih lama, bahkan mungkin mencapai 2
hingga 3 tahun untuk menjadi kultur negatif dibandingkan dengan pasien TB
tanpa MDR (Dipiro et al., 2008). Beberapa efek yang potensial terjadi pada
pengobatan MDR TB yaitu pasien mendapatkan pengobatan yang tidak adekuat
dalam waktu lama, peningkatan resiko kegagalan pengobatan atau kematian,
seleksi terhadap strain yang resisten terhadap OAT, pasien tetap terinfeksi, dan
meningkatkan penyebaran penyakit (Tessema, et al., 2012).
Kejadian resistensi OAT dapat terjadi karena ketidaksesuaian regimen dosis
terapi, ketidaktaatan pasien, dan ketersediaan OAT yang rendah sehingga
pengobatan TB menjadi tidak adekuat. Secara molekuler, diketahui bahwa
mekanisme resistensi terjadi karena adanya mutasi pada gen pengkode target OAT
atau protein tertentu yang berperan dalam aktivasi OAT dalam tubuh. Beberapa
penelitian telah dilakukan untuk mengetahui mutasi pada gen-gen yang berperan
9
dalam mekanisme resistensi OAT terutama pada kasus MDR-TB. Beberapa
mutasi gen yang berperan terhadap kejadian resistensi OAT pada MDR-TB
ditunjukkan pada Tabel 2.1.
Tabel 2.1 Mutasi gen yang berperan terhadap resistensi OAT (Zhang dan Yew,
2009; Da Silva dan Palomino, 2011)
Gen yang
Mekanisme
Frekuensi
OAT
Mengalami
Produk Gen
Kerja Obat
Mutasi
Mutasi
INH
Inhibisi
katG
Katalase persksidase
50-95%
biosintesis asam inhA
Anoyl-ACP reduktase
8-43%
mikolat
Alkil hidroksi-
-
ahpC
peroksidase reduktase
RIF
Inhibisi sintesis
RNA
kasA
-
-
ndh
-
-
rpoB
Subunit β dari RNA 95%
polimerase
2.3 Resistensi RIF
RIF merupakan agen bakterisidal yang bekerja dengan cara berinteraksi
dengan RNA polimerase DNA-dependent untuk menghambat transkripsi dan
pemanjangan rantai RNA. Dari empat subunit RNA polimerase, subunit yang
mengkode gen rpoB merupakan yang paling penting karena dengan terjadinya
mutasi genetik pada unit ini, RIF tidak dapat berikatan dengan enzim RNA
polimerase dan menyebabkan resistensi bakteri M. tuberculosis terhadap RIF
(Raoot dan Dev, 2012).
Daerah yang paling sering mengalami mutasi dan menyebabkan resistensi
terhadap RIF disebut sebagai RRDR. Segmen tersebut mencakup kodon 507
10
hingga 533. Mutasi pada segmen ini didominasi oleh perubahan nukleotida
tunggal yang menghasilkan substitusi asam amino tunggal, walaupun delesi dan
insersi juga terjadi dalam frekuensi yang rendah (Raoot dan Dev, 2012). Frekuensi
mutasi pada gen rpoB bervariasi pada berbagai daerah geografis. Selain itu, titik
mutasi juga mempengaruhi tingkat resistensi Mtb terhadap RIF ketika data mutasi
dicocokan dengan hasil DST (Wang et al., 2013). Frekuensi mutasi beberapa
kodon pada daerah RRDR dapat dilihat pada Tabel 2.2 berikut.
Tabel 2.2 Frekuensi mutasi pada kodon di daerah RRDR
No.
Kodon
1
2
3
4
5
6
7
8
9
533
531
526
522
516
513
511
510
Lainnya
Frekuensi Mutasia
0
3,7
12,1
0
3,1
0
0
0
0
–
–
–
–
–
–
–
–
–
7,7 %
66,6 %
29,7%
5,3 %
18,2%
11,1%
9,4%
47,7%b
18,8%
Keterangan :
a = Chen et al., 2010
b = Saeed et al., 2009; Bestanabad et al., 2011; Agdamag et al., 2003
Missense mutations pada kodon 526 hingga 531 telah dilaporkan memiliki
peran krusial pada tingginya angka kejadian resistensi terhadap RIF. Mutasi pada
kodon 513, 526, dan 531 berkaitan dengan tingkat resistensi yang tinggi pada RIF
sedangkan mutasi pada kodon 516 dikaitkan dengan tingat resistensi yang rendah
pada RIF. Hal tersebut dikarenakan isolat yang mengalami mutasi pada kodon 516
menunjukkan nilai MIC yang lebih rendah secara signifikan dibandingkan isolat
11
yang mengalami mutasi pada kodon 513, 526, dan 531 (del-Valle et al., 2001).
Hasil penelitian Bodmer et al. (1995) menunjukkan bahwa isolat M. tuberculosis
yang mengalami mutasi pada kodon 513, 526, dan 531 memiliki nilai MIC
rifampisin, rifabutin, dan rifapentin yang tinggi (> 8 mg/L) bila dibandingkan
dengan isolat wildtype. Sementara itu, hasil penelitian Ma et al. (2006) dan Wang
et al. (2013) menunjukkan bahwa mutasi pada kodon 533 tidak menujukkan
korelasi dengan kejadian resistensi RIF.
Penelitian yang dilakukan terhadap isolat MDR-TB di Bali menunjukan
adanya mutasi gen rpoB pada kodon 418, 510, 516, 526, dan 531 (Pradnyaniti,
2013; Rusyanthini, 2013; Wijaya, 2013). Jenis mutasi yang ditemukan pada isolat
MDR-TB tersebut adalah mutasi titik yang menyebabkan perubahan asam amino
(missense mutation). Selain pada daerah RRDR, beberapa mutasi di luar daerah
RRDR juga dikaitkan dengan kejadian resistensi RIF. Namun, frekuensi
terjadinya mutasi sangat kecil. Siu et al. (2011) telah mengidentifikasi dua mutasi
yang jarang terjadi di luar daerah RRDR yaitu pada kodon 146 (V146F) dan
kodon 572 (I572F). Mutasi pada kodon 572 juga diidentifikasi oleh del-Valle et
al. (2001).
2.4 Mutasi Gen
Mutasi didefinisikan sebagai perubahan urutan basa nukleotida pada untaian
molekul DNA sebagai akibat dari penggantian, penambahan, atau pengurangan
pasang basa pada molekul DNA. Mutasi dapat disebabkan oleh adanya paparan
mutagen yang menyebabkan kerusakan pada molekul DNA atau kesalahan pada
12
saat proses replikasi DNA. Apabila mutasi terjadi pada untaian DNA yang
berperan dalam proses sintesis protein maka mutasi tersebut dapat menyebabkan
terbentuknya protein yang memiliki sekuen asam amino abnormal (Chatterjea dan
Shinde, 2012; Lieberman dan Marks, 2013). Secara garis besar, mutasi dibedakan
menjadi 2 jenis yaitu mutasi titik (point mutation) dan frameshift mutation.
2.4.1 Point mutation
Mutasi titik (point mutation) melibatkan perubahan pada nukleotida
tunggal sehingga sering disebut sebagai substitusi nukelotida. Mutasi titik
dibedakan menjadi 2 jenis berdasarkan perubahan jenis basa nukelotida yang
terjadi, yaitu transisi dan tranversi. Transisi merupakan subtitusi basa nukleotida
purin menjadi purin (A→G atau G→A) atau pirimidin menjadi pirimidin (C→T
atau T→C). Sedangkan transversi adalah subtitusi basa nuklotida purin mennjadi
primidin atau sebaliknya (Chatterjea dan Shinde, 2012; Young, 2010).
Berdasarkan efeknya terhadap asam amino atau protein yang dihasilkan, subtitusi
basa nukleotida tunggal dapat menyebabkan 3 jenis mutasi yaitu sebagai berikut.
a. Silent mutation adalah adanya substitusi basa nukelotida dalam suatu kodon
pada jenis mutasi ini tidak menyebakan adanya perubahan asam amino yang
dikode kodon tersebut. Misalnya pada asam amino valin yang dikode oleh
empat kodon yang berbeda, yaitu GUU, GUA, GUC, dan GUG. Adanya
substitusi pada basa nukleotida ketiga dari tiap kodon tersebut tidak akan
menyebabkan perubahan asam amino (Young, 2012).
b. Missense
mutation
adalah
adanya
substitusi
basa
nukleotida
yang
menyebabkan perubahan sekuen asam amino sehingga dapat menyebabkan
13
perubahan struktur protein dan mungkin juga menyebabkan perubahan fungsi
protein. Missense mutation yang menyebabkan perubahan sekuen asam amino
tanpa merubah fungsi protein yang dihasilkan disebut missense mutation
konservatif. Sedangkan missense mutation non-konservatif menyebabkan
terjadinya perubahan fungsi protein (Young, 2012; Richards dan Hawley,
2011). Contoh missense mutation adalah mutasi pada kodon CAC (histidin)
menjadi CUC (leusin) yang ditunjukkan pada Gambar 2.1.
Gambar 2.1 Contoh missense mutation (Richards dan Hawley, 2011)
Gambar 2.2 Contoh nonsense mutation (Richards dan Hawley, 2011)
14
c. Nonsense mutation adalah subtitusi pada basa nukleotida dalam suatu kodon
yang menyebabkan terbentuknya kodon stop (UAG, UGA, atau UAA).
Nonsense mutation menyebabkan terjadinya terminasi lebih awal pada proses
translasi sehingga protein yang dihasilkan terpotong dengan sekuen asam
amino yang tidak lengkap (truncated protein) dan bersifat inaktif. Apabila
nonsense mutation terjadi pada daerah awal reading frame dari gen, maka
protein mungkin sama sekali tidak dihasilkan (Richards dan Hawley, 2011).
Contoh nonsense mutation ditunjukkan pada Gambar 2.2.
(a)
(b)
Gambar 2.3 Contoh frameshift mutation akibat (a) delesi dan (b) insersi
(Chatterjea dan Shinde, 2012)
2.4.2 Frameshift mutation
Frameshfit mutation melibatkan adanya proses insersi (penambahan) atau
delesi (pengurangan) dari urutan basa nukelotida sehingga terjadi perubahan
15
reading frame. Perubahan reading frame akan menyebabkan terbentuknya sekuen
asam amino yang berbeda dari sekuen asam amino yang seharusnya dihasilkan,
sehingga terbentuk protein baru yang lebih panjang atau lebih pendek dari protein
yang seharusnya dihasilkan (Chatterjea dan Shinde, 2012; Richards dan Hawley,
2011). Contoh perubahan reading frame pada frameshift mutation ditunjukkan
pada Gambar 2.3.
2.5 Enzim Restriksi
Enzim restriksi merupakan enzim yang berperan dalam pemotongan untai
double helix DNA secara spesifik pada urutan basa nukleotida tertentu. Enzim
restriksi yang tersedia saat ini umumnya diperoleh dari bakteri dan archae (Khan,
2012). Enzim restriksi akan berikatan pada urutan nukleotida spesifik atau yang
dikenal dengan situs pemotongan spesifik (situs restriksi) pada DNA target yang
selanjutnya akan memotong DNA pada daerah tersebut. Enzim restriksi
berinteraksi dengan DNA melalui ikatan hidrogen multiple (umumnya 10-15) dan
beberapa ikatan van der Waals. Situs pengenalan spesifik enzim restriksi
umumnya terdiri dari empat hingga enam urutan basa nukleotida dan urutan
tersebut dapat membentuk pola palindrom. Pola palindrom merupakan urutan basa
nukleotida yang sama dari arah yang berlawanan (Clark dan Pazdernik, 2015;
Walker dan Rapley, 2005).
Sebagian besar enzim restriksi bekerja optimum pada pH 7,4. Beberapa
enzim memerlukan buffer dengan pH tertentu bergantung pada pH optimal enzim
dan persyaratan kekuatan ionik yang dibutuhkan untuk restriksi. Komponen utama
16
buffer untuk reaksi enzim restriksi adalah natrium klorida (NaCl) dan magnesium
(Mg2+). Magnesium dalam buffer reaksi enzim restriksi mutlak diperlukan karena
ion magnesium diperlukan sebagai kofaktor enzim untuk dapat berfungsi saat
restriksi DNA substrat. Pada beberapa enzim juga diperlukan dithitheritol (DTT)
yang akan menstabilkan enzim dan mencegah inaktivasi enzim selama proses
digesti (Brown, 2016). Setiap produsen enzim restriksi umumnya telah
menentukan kondisi optimal digesti masing-masing enzim restriksi sehingga
dalam pembelian enzim restriksi akan disertai dengan larutan buffer yang sesuai
untuk aktivitas enzim tersebut dan informasi aktivitas enzim pada buffer yang
disediakan. Larutan buffer tersebut biasanya tersedia dalam konsentrasi 10X yang
kemudian dapat diencerkan menjadi larutan buffer 1X untuk digunakan pada
digesti enzim restriksi (Karcher, 1995).
Gambar 2.4 Mekanisme pemotongan DNA oleh enzim restriksi (Pingoud dan
Jelstch, 2001)
17
Mekanisme pemotongan oleh enzim restriksi dapat dilihat pada Gambar 2.4.
Secara umum, proses pemotongan DNA oleh enzim restriksi diawali dengan
interaksi nonspesifik antara enzim restriksi dengan DNA khususnya pada gugus
fosfat. Selanjutnya, enzim restriksi bergerak sepanjang untai DNA melalui difusi
linier hingga situs pengenalan spesifik ditemukan. Pada saat enzim restriksi
menemukan situs pengenalan spesifik, molekul air akan dilepas dan terbentuk
ikatan hidrogen antara enzim restriksi dengan basa nukleotida pada situs
pengenalan. Setelah kompleks spesifik DNA-enzim restriksi terbentuk, masingmasing DNA dan enzim restriksi akan mengalami perubahan konformasi untuk
aktivasi reaksi katalisis. Kemudian, enzim restriksi dengan bantuan Mg2+ akan
memotong ikatan fosfodiester (reaksi katalisis) pada tiap untai DNA. Pemotongan
ikatan fosfodiester tersebut akan menyebabkan terpotongnya untai DNA sesuai
dengan posisi pemotongan (Williams, 2003; Pingoud dan Jeltsch, 2001).
Tabel 2.3 Perbedaan tipe enzim restriksi (Stenesh, 1998)
Enzim restriksi
Tipe I
Situs pemotongan
Tipe II
Tipe III
1-10 kpb dari situs
Dalam situs
24-26 pb dari situs
pengenalan
pengenalan
pengenalan
Subunit
Multisubunit
Subunit tunggal
Multisubunit
Kebutuhan ATP
Ya
Tidak
Tidak
Berdasarkan daerah pemotongan, jumlah subunit, dan kebutuhan ATP pada
proses restriksi maka enzim restriksi dibagi menjadi tiga tipe yang ditnjukkan
pada Tabel 2.3. Dari ketiga tipe tersebut, enzim restriksi tipe II merupakan enzim
18
restriksi yang paling sering dimanfaatkan dalam bidang biologi molekuler. Hal
tersebut dikarenakan situs pemotongan enzim restriksi tipe II berada dalam situs
pengenalannya, sehingga pemotongan DNA menjadi sangat spesifik pada sekuen
tertentu (Stenesh, 1998). Selain itu, enzim restriksi tipe II umumnya memiliki
situs pengenalan yang palindrom (Clark dan Pazdernik, 2015).
Gambar 2.5 Pemotongan enzim restriksi tipe II pada untai DNA (Clark dan
Pazdernik, 2015)
Enzim restriksi tipe II dapat memotong untai DNA dengan dengan
menghasilkan dua tipe fragmen, yaitu blunt end dan sticky end. Pada mekanisme
pemotongan blunt end, enzim tersebut memotong DNA tepat pada posisi yang
sama sehingga menghasilkan dua fragmen DNA dengan ujung untai ganda.
Sedangkan pada mekanisme pemotongan sticky end, enzim tersebut memotong
pada urutan yang sama dari situs pengenalan namun pada posisi yang tidak sama
tepat sehingga akan menghasilkan dua fragmen DNA dengan ujung untai tunggal
pendek (Clark dan Pazdernik, 2015). Mekanisme pemotongan tersebut dapat
dilihat pada Gambar 2.5.
19
2.6 Pemilihan Enzim Restriksi
Berbagai jenis enzim restriksi telah berhasil diidentifikasi dari organisme
prokariot dan beberapa diantaranya telah dimanfaatkan dalam penelitian biologi
molekuler. Setiap enzim restriksi memiliki karakterisitk tersendiri, sehingga
dalam pemanfaatannya perlu diperhatikan berapa kriteria pemilihan enzim
restriksi. Menurut Gerstein (2001), beberapa kriteria yang perlu dipertimbangkan
dalam pemilihan enzim retriksi adalah titik pemotongan yang dikehendaki pada
DNA, star activity, sensitivitas terhadap metilasi, dan kemampuan enzim restriksi
memotong jenis sampel DNA yang digunakan.
Titik pemotongan yang dikehendaki pada DNA merupakan pertimbangan
utama dalam pemilihan enzim restriksi karena setiap enzim restriksi memiliki
situs restriksi yang spesifik. Jumlah situs restriksi pada sampel DNA juga perlu
dipertimbangkan karena situs restriksi yang terlalu banyak dapat menyebaban
proses restriksi berlangsung lebih lama dan terjadi partial digestion (Gerstein,
2001). Berdasarkan titik pemotongan yang dikehendaki, maka ukuran fragmen
yang dihasilkan juga harus diperhatikan. Ukuran fragmen yang dihasilkan akan
menjadi pertimbangan dalam pemilihan metode yang digunakan pada analisis
fragmen restriksi. Umumnya, metode analisis fragmen yang digunakan adalah
elektroforesis. Pada elektroforesis, konsentrasi dan jenis gel yang digunakan
sangat menentukan resolusi pemisahan DNA untuk analisis fragmen restriksi
(Brown, 2016).
Star activity merupakan kemampuan enzim restriksi untuk dapat memotong
urutan DNA yang mirip dengan situs restriksinya pada kondisi tertentu (kondisi
20
reaksi tidak optimal). Star activity dapat disebabkan oleh pH buffer yang tinggi,
waktu inkubasi yang lama, konsentrasi enzim yang tinggi, konentrasi gliserol
yang tinggi, dan adanya pelarut organik. Pada enzim EcoRI pada kondisi pH
buffer yang tinggi diketahui dapat memotong pada urutan N▼AATTC, walaupun
situs restriksinya pada kondisi spesifik adalah G▼AATTC (Gerstein, 2001).
Menurut Wei et al. (2008), star activity diinyatakan dengan nilai fidelity index
(FI) yaitu rasio jumlah tertinggi enzim yang tidak menimbulkan star activity
terhadap jumlah minimum enzim yang diperlukan untuk mendigesti DNA secara
keseluruhan (complete digestion). Semakin tinggi nilai FI suatu enzim, maka
potensi adanya star activity akan semakin besar. Untuk mencgeah terjadinya star
activity, maka kondisi kondisi reaksi restriksi harus diatur dengan buffer yang
sesuai agar tercapai kondisi optimal.
2.7 PCR
Polymerase Chain Reaction (PCR) adalah suatu teknik amplifikasi segmen
nukleotida spesifik secara in vitro. Teknik PCR merupakan teknik yang sensitif,
selektif, dan cepat dalam amplifikasi segmen nukleotida yang diinginkan. PCR
didasarkan pada proses enzimatik oleh DNA polimerase pada replikasi DNA.
Pada Replikasi DNA terjadi reaksi polimerisasi nukleotida menggunakan untaian
DNA sebagai cetakan (template) dengan bantuan enzim DNA polimerase serta
diperlukan suatu primer yang akan menginisiasi polimerisasi rantai nukleotida.
PCR melibatkan siklus reaksi polimerisasi yang berulang untuk menghasilkan
21
salinan segmen nukleotida dengan kuantitas tinggi walaupun jumlah sampel
nukleotida yang digunakan sangat kecil (Stephenson, 2010; Gupta, 2008).
PCR pertama kali dikembangkan oleh Karry Mullis dan koleganya pada
tahun 1985. Pada awalnya amplifikasi sekuen DNA dengan PCR dilakukan
menggunakan primer oligonukleotida spesifik dan enzim DNA polimerase
bakteri. Pada perkembangannya, diketahui bahwa penggunaan DNA polimerase
termostabil
dapat
meningkatkan
efektivitas
amplifikasi
hingga
mampu
menghasilkan salinan DNA target lebih dari 107 kali lipat walaupun sekuen target
hanya tersedia satu dari 100.000 untai DNA pada reaksi. Dengan berbagai
perbaikan teknik dan variasi penggunaan PCR, saat ini PCR telah dimanfaatkan
dalam berbagai hal seperti deteksi penyakit infeksi, studi mekanisme inflamasi,
analisis mutasi, dan deteksi tumor (Cagle dan Allen, 2009).
Proses PCR dibagi menjadi tiga tahap dasar, yaitu: (1) denaturasi; (2)
penempelan primer oligonukleotida pada sekuen target (annealing); dan (3)
pemanjangan primer-sekuen target dengan bantuan DNA polimerase (extension).
Tahapan dasar PCR tersebut akan terulang sejalan dengan pengulangan siklus
PCR. Ketiga tahapan dasar PCR tersebut dapat dilihat pada Gambar 2.6.
Pada tahap denaturasi, double-stranded DNA (dsDNA) didenaturasi menjadi
single-stranded DNA (ssDNA). Faktor utama yang mempengaruhi tahapan ini
adalah melting temperature atau suhu yang diperlukan dari untai double helix
DNA untuk dapat terdenaturasi menjadi ssDNA. Melting temperature ditentukan
berdasakan komposisi nukleotida terutama komposisi guanin-sitosin (GC). Hal
tersebut dikarenakan komposisi GC memiliki ikatan hidrogen yang lebih kuat
22
sehingga memerlukan energi yang lebih besar untuk terdisosiasi dibandingkan
ikatan hidrogen pada adenin-timin. Denaturasi awal umumnya dilakukan pada
suhu 94oC selama 6 hingga 8 menit. Pada siklus berikutnya umumnya proses
denaturasi diperpendek menjadi 1 hingga 2 menit (Bartlett et al., 2015).
Gambar 2.6 Tiga tahapan utama dalam PCR (Bartlett et al., 2015)
Ketika DNA sampel telah terdenaturasi menjadi ssDNA, akan proses
annealing terjadi yaitu primer oligonukleotida menempel pada sekuen target
secara spesifik. Suhu annealing biasanya ditentukan melalui optimasi. Tahap
annealing biasanya berlangsung selama 1 hingga 2 menit. Setelah primer
menempel pada sekuen target, maka akan terjadi polimerisasi (pemanjangan)
23
untai DNA komplementer sehingga dihasilkan salinan sekuen DNA target atau
yang disebut sebagai amplikon. Proses polimerisasi tersebut merupakan tahapan
ekstensi. Tahapan tersebut ditentukan oleh dua faktor utama, yaitu suhu dan
panjang ekstensi. Faktor suhu berkaitan dengan aktivitas optimum DNA
polimerase dan panjang ekstensi ditentukan berdasarkan aktivitas DNA
polimerase dan panjang sekuen target. Secara umum, tahap ekstensi dilakukan
pada suhu 72oC dengan waktu 1 menit per kilo pasang basa (kpb) nukleotida.
Waktu ekstensi bersifat spesifik untuk tiap reaksi dan ditentukan melalui optimasi.
Dengan adanya pengulangan siklus PCR, maka jumlah amplikon yang akan
dihasilkan dari satu molekul DNA target dinyatakan dengan 2x, yang mana x
menyatakan jumlah siklus PCR yang dilakukan (Bartlett et al., 2015).
Untuk melaksanakan proses PCR, diperlukan beberapa komponen reaksi.
Komponen- komponen yang diperlukan pada proses PCR adalah templat DNA;
sepasang primer, yaitu suatu oligonukleotida pendek yang mempunyai urutan
nukleotida yang komplementer dengan urutan nukleotida DNA templat; dNTPs
(Deoxynucleotide triphosphates); buffer PCR; magnesium klorida (MgCl2) dan
enzim DNA polimerase (Handoyo dan Rudiretna, 2001).
2.8 PCR-RFLP
PCR-RFLP merupakan salah satu varian teknik analisis PCR yang
didasarkan pada mekanisme pemotongan DNA secara spesifik oleh enzim
restriksi endonuklease. Suatu enzim restriksi endonuklease memiliki situs
pemotongan yang spesifik. Adanya polimorfisme pada untaian DNA akan
24
menyebabkan perubahan pada situs pengenalan enzim restriksi, sehingga ketika
DNA yang mengalami polimorfisme didigesti dengan enzim restriksi tertentu
akan menghasilkan fragmen DNA yang berbeda dibandingkan fragmen DNA
normal (Leonard, 2007). Analisis produk PCR dengan enzim restriksi dapat
dilakukan untuk identifikasi adanya polimorfisme DNA antarindividu dan untuk
deteksi mutasi pada amplikon (Walker dan Rapley, 2005).
Apabila terjadi mutasi pada DNA dan mutasi tersebut menyebabkan adanya
perubahan situs pengenalan enzim restriksi, maka deteksi mutasi dapat dilakukan
dengan metode ini menggunakan enzim restriksi yang sesuai. Perubahan situs
pengenalan enzim restriksi karena adanya mutasi dapat berupa inaktivasi atau
penambahan situs pengenalan, yang berpengaruh terhadap jumlah dan panjang
fragmen DNA yang terbentuk ketika dilakukan digesti dengan enzim restriksi
(Buckingham, 2012). Pada prinsipnya, sekuen target dalam analisis PCR-RFLP
akan diamplifikasi terlebih dahulu dengan PCR. Produk PCR kemudian didigesti
dengan enzim restriksi tertentu dan fragmen hasil digesti dipisahkan serta
divisualisasikan dengan elektroforesis (Walker dan Rapley, 2005).
Analisis RFLP pada hasil PCR akan menghasilkan pola pita DNA tertentu
ketika dilakukan pemisahan dengan elektroforesis (Filippis dan McKee, 2013).
Pada Gambar 2.7, dapat dilihat bahwa dengan adanya mutasi akan menyebabkan
inaktivasi situs restriksi karena terjadi perubahan urutan basa nukleotida. Gen
normal yang dipotong oleh enzim restriksi akan menghasilkan dua buah fragmen
yang pada elektroforesis akan terlihat adanya dua pita, sedangkan gen yang
25
mengalami mutasi tidak terpotong oleh enzim restriksi dan pada elektroforesis
akan terlihat hanya satu pita saja seperti yang terlihat pada Gambar 2.8.
Gambar 2.7 Mutasi gen yang menyebabkan inaktivasi situs pengenalan enzim
restriksi (Burns et al., 2007)
Molecular
weight
standard
Normal
gene
Mutant
gene
Molecular
weight
standard
Gambar 2.8 Contoh elektroforegram hasil pemotongan produk PCR dengan
enzim restriksi spesifik (Fratamico et al., 2005)
PCR-RFLP memiliki beberapa kelebihan, yaitu jumlah sampel DNA yang
diperlukan sedikit, tidak memerlukan peralatan khusus karena hasil analisis dapat
26
divisualisasikan dengan gel agarosa, dan analisis dapat dilakukan secara cepat.
Sehingga, metode tersebut dapat dilakukan dengan sederhana untuk analisis rutin
di laboratorium tanpa memerlukan biaya yang tinggi (Leonard, 2007; Walker dan
Rapley, 2005; Filippis dan McKee, 2013). Metode ini juga memiliki beberapa
kelemahan. Yang pertama, elektroforesis konvensional memiliki keterbatasan
pada pemisahan fragmen DNA yang berukuran sekitar 0,2k pb hingga 20k pb.
Sehingga, besar fragmen restriksi harus berada pada rentang tersebut untuk dapat
teramati pada elektroforesis. Kedua, enzim restriksi yang digunakan umumnya
memotong pada beberapa titik dari fragmen DNA yang dianalisis sehingga
menghasilkan beberapa pita pada hasil elektroforesis. Hal tersebut akan
menyulitkan interpretasi terutama bila hasil pemotongan oleh enzim restriksi
menghasilkan fragmen restriksi dengan ukuran yang tidak mampu dipisahkan
pada elektroforesis dan adanya perbedaan pola restriksi antar isolat (Filippis dan
McKee, 2013).
2.9 Elektroforesis
Elektroforesis merupakan teknik pemisahan suatu molekul dalam suatu
campuran di bawah pengaruh medan listrik. Molekul terlarut dalam medan listrik
bergerak atau bermigrasi dengan kecepatan yang ditentukan oleh rasio muatan dan
massa. Sebagai contoh, jika dua molekul mempunyai massa dan bentuk yang
sama, molekul dengan muatan lebih besar akan bergerak lebih cepat ke elektrode
(Bhowmik dan Bose, 2011). Teknik ini dapat digunakan dengan memanfaatkan
muatan listrik yang ada pada makromolekul, misalnya DNA yang bermuatan
27
negatif. Jika molekul yang bermuatan negatif dilewatkan melalui suatu medium,
misalnya gel agarosa, kemudian dialiri arus listrik dari satu kutub ke kutub yang
berlawanan muatannya, maka molekul tersebut akan bergerak dari kutub negatif le
kutub positif. Selain bergantung pada rasio muatan terhadap massa molekul,
kecepatan gerak molekul tersebut juga dipengaruhi oleh bentuk molekul, tegangan
listrik (voltase) yang digunakan dan sifat medium (Yuwono, 2010; Wink, 2006).
Teknik elektroforesis dapat digunakan untuk analisis DNA, RNA, dan
protein. Elektroforesis DNA dilakukan misalnya untuk menganalisis fragmen
DNA hasil pemotongan dengan enzim restriksi dan menganalisis produk PCR
(Bhowmik dan Bose, 2011). Elektroforesis dengan medium gel agarosa atau
poliakrilamid merupakan metode standar untuk pemisahan, identifikasi, dan
pemurnian fragmen DNA. Agarosa merupakan polisakarida yang diperoleh dari
alga merah. Gel agarosa mempunyai daya pemisahan (resolusi) lebih rendah jika
dibandingkan dengan gel poliakrilamid, tetapi mempunyai rentang pemisahan
lebih besar. DNA dengan ukuran 100 pb hingga 10 kpb dapat dipisahkan dengan
gel agarosa pada berbagai konsentrasi agarosa (Pelt-Verkuill et al., 2008).
Molekul DNA untai ganda linier, yang diletakkan pada salah satu ujung gel,
bergerak melalui matriks gel pada kecepatan yang berbanding terbalik terhadap
log jumlah pasang basa. Molekul yang lebih besar bergerak lebih lambat karena
terjadi gesekan yang lebih besar. Hal ini disebabkan karena DNA harus melewati
pori-pori gel, sehingga kurang efisien lajunya diaripada molekul yang lebih kecil
(Sudjadi, 2008).
28
Fragmen DNA linier dengan panjang tertentu bermigrasi dengan kecepatan
yang berbeda pada gel yang mengandung konsentrasi agarosa berbeda pada gel
yang mengandung konsentrasi agarosa berbeda (Sudjadi, 2008). Umumnya
konsentrasi agarosa yang digunakan berkisar 0,7% hingga 2%. Semakin tinggi
konsentrasi agarosa, resolusi pemisahan fragmen DNA dengan ukuran kecil akan
semakin baik. Agarosa dengan konsentrasi 2% akan menunjukkan resolusi
pemisahan yang baik terhadap DNA dengan ukuran 0,2 pb hingga 1 kpb
(Bhowmik dan Bose, 2011). Dengan menggunakan konsentrasi gel agarosa yang
bebeda, dimungkinkan untuk dapat memisahkan molekul DNA dengan berbagai
ukuran. Rentang pemisahan beberapa konsentrasi gel agarosa dapat dilihat pada
Tabel 2.4. Konsentrasi agarosa diatas 2% mungkin digunakan untuk pemisahan
fragmen DNA dengan ukuran lebih kecil dari 100 pb, namun pada konsentrasi
tersebut umumnya agarosa akan sulit untuk larut, dituang, serta memadat karena
tingginya viskositas agarosa (Pelt-Verkuil et al., 2008; Bhowmik dan Bose, 2011).
Tabel 2.4 Rentang pemisahan pada gel agarosa (Sudjadi, 2008)
% agarosa dalam gel
0,3
0,6
0,7
0,9
1,2
1,5
2,0
Efisiensi pemisahan molekul DNA
linier (kb)
5-60
1-20
0,8-10
0,5-7
0,4-6
0,2-3
0,1-2
Download