BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Konsumsi terigu di Indonesia mengancam ketahanan pangan dengan tingkat konsumsi mencapai 4,3 juta ton/tahun pada tahun 2010 dengan kenaikan yang tetap setiap tahunnya (Sapariah, 2012). Menurut Franciscus Welirang, Ketua Umum Aptindo (Asosiasi Produsen Tepung Terigu Indonesia), pada tahun 2013, konsumsi terigu di Indonesia diperkirakan naik 7% menjadi 5,43 juta ton. Kenaikan tersebut dikarenakan adanya peningkatan produksi industri makanan, terutama biskuit. Menurut Diah Maulida, Deputi Bidang Kelautan dan Pertanian Kementerian Koordinator Perekonomian (2012), menyatakan bahwa Indonesia belum bisa memenuhi kebutuhan gandum dalam negeri akibat produksi gandum Indonesia masih kurang, sehingga Indonesia harus mengimpor gandum. Hal tersebut membuat Indonesia sebagai negara pengimpor gandum terbesar kedua di dunia setelah Mesir. Menurut United State Department of Agriculture (USDA), impor gandum di Indonesia meningkat menjadi 7,1 juta ton pada tahun 2012, sedangkan Indonesia mengimpor 6,7 juta ton gandum pada tahun 2011. Nilai impor gandum pada tahun 2012 mencapai lebih dari Rp 30 trilyun, bahkan lebih tinggi dari anggaran Kementrian Pertanian dari APBN senilai Rp 27 trilyun. Akibatnya devisa negara banyak terkuras karena impor gandum (Kementerian Pertanian, 2013). Menurut Aptindo (2014), terdapat 29 perusahaan tepung terigu di Indonesia, dengan total kapasitas 10,3 MT/tahun (Metrik Ton) di pulau Jawa. Pada tepung terigu mengandung protein gluten yang dapat menyebabkan alergi gluten dan intoleransi, salah satunya yaitu penderita autis. Asam amino spesifik yang menyebabkan alergi pada anak autis adalah gliadin yang merupakan asam amino penyusun gluten (Lau et al., 2013). Prevalensi autis di dunia saat ini mencapai 15-20 kasus per 10.000 anak atau berkisar 0,l5-0,20%. Jika angka kelahiran di Indonesia 6 juta per tahun maka jumlah penyandang autis di Indonesia bertambah 0,15% atau 6.900 anak per tahunnya (Mashabi, 2009). Menurut data Unesco pada tahun 2011, terdapat 35 juta orang penyandang autisme di seluruh dunia. Rata-rata 6 dari 1000 orang di dunia telah mengidap autisme. Di Amerika Serikat, autisme dimiliki oleh 11 dari 1000 orang (Radius dan Mulyadi, 2011 dalam Dhani, 2012). Sementara itu, di Indonesia, perbandingannya 8 dari setiap 1000 orang. Menurut Badan Pusat Statistik (2012), jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2011 ini adalah 237.641.326 jiwa, sehingga berdasarkan dara tersebut, jumlah penderita autis di Indonesia pada tahun 2011 sebesar 29.705. Menurut Badan Pusat Statistik Indonesia, jumlah anak autis usia 5 hingga 19 pada tahun 2014 sekitar 112 ribu jiwa (Adjeng.P dan M. Ilmi, 2014). Indonesia merupakan negara yang kaya akan sumber daya alam salah satunya dalam bidang agraris. UU No. 18 tahun 2008, mengimplikasikan mengenai kebijakan pangan yang mengarah pada sumber daya lokal dan kearifan lokal, sehingga salah satu upaya untuk menekan kebutuhan impor terigu yaitu meningkatkan potensi komoditas lokal di Indonesia berupa umbi-umbian dan leguminosa. Umbi-umbian lokal telah dikonsumsi sebagai sumber karbohidrat sejak dahulu dan terbukti sedikit memicu terjadinya penyakit degeneratif di masa lalu (Sari et al., 2013). Menurut FAO (2012) Indonesia merupakan penghasil umbiumbian terbesar keempat di dunia. Salah satu komoditas umbi-umbian lokal dari berbagai jenis umbi-umbian di Indonesia yang berpotensi dapat dikembangkan yaitu uwi. Uwi merupakan salah satu jenis umbi-umbian yang berasal dari Asia sehingga mudah ditemukan di Indonesia. Produksi uwi di dunia mencapai 51.778 ton (FAO, 2010 dalam Fu et al., 2011). Nama lain dari uwi diantaranya yaitu ubi kelapa dan huwi, Uwi berpotensi sangat besar sebagai pangan alternatif sumber karbohidrat. Tanaman ini memiliki beberapa keunggulan, yaitu (a) potensi produksinya dapat mencapai 40 ton/ha, (b) syarat tumbuh sangat luas dari permukaan laut hingga ketinggian lebih dari 1500 dpl, dan mulai dari tanah lembab (rawa) hingga lahan kering, (c) relatif toleran terhadap naungan, (d) umumnya tahan terhadap penyakit soilborn, (e) umbi relatif tahan disimpan, dan (f) memiliki kandungan antioksidan dan berkhasiat obat (Fahmi dan Antarlina, 2007). Uwi memiliki kandungan gizi seperti kandungan karbohidrat sebesar 2231%; protein 1,1-3,1%, lemak 0,16-0,6% dan serat 1,4-3,8% (Evans C. et al.,2013). Kandungan gizi uwi sangat beragam disamping kaya akan serat, uwi diperkaya dengan vitamin C sebesar 2,0-8,2% dan fosfor sebesar 28-52% (Lingga, 1986 dalam Afidin et al., 2014; Evans C. et al.,2013). Uwi termasuk keluarga Dioscorea. Komponen utama pati Dioscorea adalah amilosa yang ratarata besarnya lebih dari 25% berat kering. Sifat lain dari pati Dioscorea, banyak terkait dengan sifat fungsional dan efek hipoglisemik pada penderita diabetes. Hal ini dibuktikan dengan indeks glikemik Dioscorea yang cukup rendah yaitu sebesar 51 (Epriliati, 2000). Sementara itu, indeks glikemik pada Dioscorea alata tergolong rendah yaitu 22,4 (Sari et al., 2013). Umbi Dioscorea alata memiliki senyawa bioaktif yang bermanfaat terhadap kesehatan seperti dioscorin, diosgenin, dan polisakarida larut air (PLA). Dioscorin merupakan protein simpanan utama dalam ubi kelapa, berfungsi sebagai tripsin inhibitor, enzim penyebab peningkatan tekanan darah. Diosgenin merupakan senyawa fitokimia yang berperan dalam produksi hormon steroid, mampu mencegah kanker usus, dan menurunkan penyerapan kolesterol. Beberapa studi menunjukkan polisakarida larut air (PLA) mampu menurunkan kadar glukosa darah pada hewan coba dalam keadaan hiperglikemia. Kandungan senyawa bioaktif pada uwi menyebabkan uwi berpotensi sebagai bahan pangan fungsional (Prasetya et al., 2016). Legum atau kacang-kacangan merupakan sumber protein yang murah, juga mengandung karbohidrat, menurunkan kolesterol, berkadar serat tinggi, rendah lemak, dan tinggi konsentrasi asam lemak tak jenuh (Rockland dan Nishi, 1979 dalam Gilang et al., 2013). Tanaman koro-koroan mudah dibudidayakan dan produktivitas biji keringnya cukup tinggi sekitar 800-900 kg/ha pada lahan kering dan kurang lebih 1.700 kg/ha apabila lahan diberi pengairan (Robert, 1985 dalam Nafi’ et al., 2014). Koro glinding merupakan salah satu jenis koro-koroan yang dapat digunakan sebagai sumber protein nabati dengan kandungan karbohidrat sebesar 70,2% dan protein 14,8% (Subagio et al., 2009). Protein pada koro dapat dipertimbangkan sebagai sumber protein untuk bahan pangan, sebab keseimbangan asam aminonya yang baik serta bio-availabilitasnya tinggi sehingga dapat dijadikan sumber vitamin B1, sumber mineral, dan sumber serat pangan yang penting bagi kesehatan (Newman et al., 1987 dalam Nafi et al., 2006). Pada penelitian Johnson et al. (2013), koro glinding dapat menurunkan glukosa darah pada hewan uji tikus yang diberi alloxan. Berdasarkan Baudoin et al. (2004), makin nyata resiko hilangnya keanekaragaman genetik Phaseolus di daerah leluhurnya (Amerika Latin) serta di pusat-pusat daerah distribusinya dibudidayakan (Afrika dan bagian dari Asia). Menurut Balitkabi (2012), Indonesia mempunyai jenis tanaman koro glinding, namun permasalahannya adalah koro tersebut belum dikembangkan secara baik, bahkan cenderung hampir dilupakan sehingga perkembanganya sulit didapatkan pada saat ini. Pada umumnya koro glinding dimanfaatkan sebagai snack dan sayuran pada daerah Nusa Tenggara Timur dan Bali serta makanan tradisional pada daerah Probolinggo dengan sebutan ketan kratok yang saat ini sulit didapatkan. Di Indonesia. Uwi pada umumnya dimanfaatkan dengan cara direbus dan dikukus. Uwi memiliki daya simpan yang rendah. Salah satu cara untuk memperpanjang daya simpan uwi yaitu dengan mengolahnya menjadi tepung. Tepung komposit adalah tepung yang berasal dari beberapa jenis bahan baku yaitu umbi-umbian, kacang-kacangan, atau sereal dengan atau tanpa tepung terigu atau gandum dan digunakan sebagai bahan baku olahan pangan seperti produk bakery dan ekstrusi (Widowati, 2009 dalam Bantacut dan Saptana, 2014). Penggunaan tepung komposit memiliki beberapa keuntungan bagi negara-negara berkembang dalam hal memenuhi nutrisi protein untuk manusia, mengenalkan dan meningkatkan potenisi lokal, sehingga produksi pertanian dalam negeri akan meningkat. Tepung komposit dianggap berperan penting di negara berkembang karena dapat mengurangi impor tepung terigu dan mendorong penggunaan tanaman lokal berkembang sebagai tepung (Noorfarahzilah et al., 2014). Perkembangan tepung komposit sudah cukup banyak, bahkan hingga diaplikasikan ke dalam produk. Riset tepung komposit sampai saat ini diantaranya yaitu tepung komposit yang terdiri dari gandum, biji bayam, serta bir dari biji dan apple pomace (Awolu et al., 2016); karakteristik fisikokimia tepung komposit berbahan dasar tepung ubi jalar, pati jagung dan tepung kedelai (Ginting et al., 2015); karakterisasi dan formulasi tepung komposit kimpulkacang tunggak untuk pengembangan biskuit non terigu (Puspitasari et al., 2015); karakteristik fisikokimia tepung komposit berbahan dasar beras, ubi jalar, kentang, kedelai dan xanthan gum (Amalia et al, 2014); karakteristik tepung komposit (terigu, sorgum, jagung dan ubi jalar) yang disuplementasi rumput laut sebagai bahan baku produk kuliner (Kartiwan et al., 2009); dan sebagainya. Tepung komposit dapat dikembangkan menjadi snack (Patel et al., 2016); roti (Maktouf et al., 2016); beras analog (Adicandra dan Teti, 2016); produk mi (Ratnaningsih et al., 2010); ruckbuns, biskuit dan cake (China et al., 2016); cookies, roti, biskuit, muffin (Jisha dan Padmaja, 2011; Pasha et al., 2011 dalam Astuti et al., 2014). Penelitian tepung komposit tersebut masih kurang mengkaji potensi kandungan fungsional sehingga belum diketahui formula yang sesuai ditinjau dari karakteristik fungsionalnya. Pencampuran antara tepung leguminosa dengan umbi-umbian dapat meningkatkan kualitas produk dari nilai gizi yang terkandung. Hal ini dikarenakan leguminosa tinggi protein dengan kandungan asam amino lisin yang tinggi dan rendah akan sulfur yang terkandung dalam asam amino (Kadam et al, 2012), sedangkan golongan umbi-umbian mengandung rendah protein. Oleh karena itu, pada penelitian ini dilakukan penelitian mengenai tepung komposit dari uwi (Dioscorea alata) dan koro glinding (Phaseolus lunatus) dengan mempelajari lebih lanjut mengenai potensi fungsional. B. Rumusan Masalah 1. Bagaimana karakterististik fisik, kimia dan fungsional tepung uwi (Dioscorea alata) dan tepung koro glinding (Phaseolus lunatus)? 2. Bagaimana pengaruh variasi formula tepung komposit uwi (Dioscorea alata) dan koro glinding (Phaseolus lunatus) terhadap karakteristik fisik, kimia dan fungsional tepung komposit yang dihasilkan? 3. Bagaimana formula terbaik tepung komposit uwi (Dioscorea alata) dan koro glinding (Phaseolus lunatus) terhadap terhadap karakteristik fisik, kimia dan fungsional tepung komposit yang dihasilkan? C. Tujuan 1. Mengetahui karakteristik fisik, kimia dan fungsional tepung uwi (Dioscorea alata) dan tepung koro glinding (Phaseolus lunatus). 2. Mengetahui pengaruh variasi formula tepung komposit uwi (Dioscorea alata) dan koro glinding (Phaseolus lunatus) terhadap karakteristik fisik, kimia dan fungsional tepung komposit yang dihasilkan. 3. Mengetahui formula terbaik tepung komposit uwi (Dioscorea alata) dan koro glinding (Phaseolus lunatus) terhadap terhadap karakteristik fisik, kimia dan fungsional tepung komposit yang dihasilkan. D. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi masyarakat untuk dapat memberikan informasi kepada masyarakat terkait karakteristik tepung komposit yang dihasilkan dari uwi dan koro glinding sehingga masyarakat dapat memanfaatkan potensi varietas legum dan umbi-umbian lokal secara maksimal. Selain itu, penelitian ini juga diharapkan bermanfaat bagi IPTEK yaitu dapat menambah database mengenai karakteristik fisik, kimia dan fungsional tepung komposit berbasis tepung uwi putih (Dioscorea alata) serta tepung koro glinding (Phaseolus lunatus) yang dapat digunakan untuk acuan penelitian berikutnya.