BAB I PENDAHULUAN I.1 LATAR BELAKANG Dalam sejarah, infeksi mycobacterium sebagian besar disebabkan oleh Mycobacterium Tuberculosis dan dampak besar sosialnyapun telah diketahui. Dewasa ini, spesies lain dari mycobacterium yang dapat menyebabkan penyakit telah teridentifikasi dan di banyak regio geografis menyebabkan beban penyakit yang lebih berat bahkan dibandingkan dengan tuberkulosis. Organisme ini dikenal dengan beberapa sebutan nama antara lain yaitu anonymous other atau than atypical tuberculosis mycobacteria, (MOTT), dan mycobacteria nontuberculous mycobacteria (Mycobacterium non tuberculosis) (Johnson dan Odell, 2014). Meskipun Mycobacterium teridentifikasi segera tuberkulosis pada Mycobacterium non menyebabkan non setelah tahun pada Koch 1882, tuberculosis penyakit tuberculosis mengidentifikasi namun baru manusia telah keberadaan disadari pada tahun dapat 1950 (Johnson dan Odell, 2014). Hal tersebut tetap tidak mengubah posisi tuberkulosis sebagai perhatian publik 1 2 utama di dunia, dengan lebih dari 9 juta kasus setiap tahunnya setiap dan penurunan tahun. insidensi Disisi tuberkulosis insidensinya lain, pada menurun, kurang dari negara 1% industri sedangkan insidensi infeksi paru-paru akibat Mycobacterium non tuberculosis cenderung meningkat (Marusic dan Jankovic, 2012). Di komunitas barat, kebanyakan laboratorium melaporkan bahwa prevalensi Mycobacterium non tuberculosis lebih besar daripada tuberkulosis (Johnson dan Odell, 2014). Data di Indonesia sendiri belum memadai(Setiadi, 2014). Alasan peningkatan insidensi infeksi Mycobacterium non tuberculosis adalah meningkatnya prevalensi infeksi HIV dan status immunocompromised dapatan, meningkatnya kesadaran bahwa organisme ini adalah patogen, pemahaman yang lebih baik tentang patologi-klinis antara host dan pathogen, metode deteksi organisme yang lebih canggih, meningkatnya penyakit yang kelangsungan tuberculosis fibrosis populasi biasa hidup (karena mengenai manula), pasien dengan kistik manula dan infeksi kondisi COPD, dan ini adalah meningkatnya Mycobacterium predisposisi meningkatnya non seperti paparan terhadap lingkungan (Marusic dan Jankovic, 2012). Mycobacterium non tuberculosis mampu menyebabkan berbagai bentuk infeksi pada tubuh manusia dan yang 3 tersering pasien adalah dengan infeksi paru-paru, penyakit paru terutama sebelumnya pada (American Thoracic Society, 2007). Marusic dan Jankovic (2012) juga menyebutkan oportunistik sistemik bahwa yang yang organisme sesekali parah, terutama kondisi imun yang buruk. kultur Mycobacterium ini adalah patogen menyebabkan pada penyakit pasien dengan Tidak semua hasil positif non tuberculosis menunjukkan infeksi. Analisis terbaru menunjukkan bahwa setidaknya separuh dari hasil positif kultur respiratori Mycobacterium non tuberculosis memenuhi kriteria klinis untuk infeksi aktif (Johnson dan Odell, 2014). Gejala tuberculosis Gejala penyakit sangat tersering paru bervariasi adalah batuk Mycobacterium dan kronis non tidak spesifik. atau berulang, sedangkan yang lainnya seperti produksi sputum, lemah, malaise, sesak napas, demam, hemoptisis dan penurunan berat badan biasanya terjadi pada penyakit paru Mycobacterium non tuberculosis yang lebih parah. Pasien yang meminta obat karena memiliki respiratori AFB (acid-fast bacilli) dilema bagi pihak kesehatan hasil tes sampel positif menjadi masyarakat. Hal ini disebabkan karena dibawah mikroskop Mycobacterium non tuberculosis dan M. Tuberculosis terlihat sama(Marusic 4 dan Jankovic, 2012). disebutkan bahwa non klinis di berbagai jurnal penyakit paru akibat Mycobacterium tuberculosis secara Bahkan adalah mirip penyakit dengan paru kronis tuberkulosis yang sehingga diagnosis dan pengobatan awalnya membingungkan. Dalam upaya Mycobacterium untuk non membakukan tuberculosis, definisi American infeksi Thoracic Society (ATS) dan Infection Disease Society of America (IDSA) bersama-sama menerbitkan pedoman pada tahun 2007. Diagnosis infeksi Mycobacterium non tuberculosis pulmonal membutuhkan keberadaan gejala klinis, kelainan radiologis, dan kultur mikrobiologi dengan mengeksklusi penyebab lain (Johnson dan Odell, 2014). Di Indonesia masalah penyakit kronik paru-paru hampir selalu dikaitkan dengan tuberkulosis dan belum ada fokus untuk berpikir ke arah infeksi Mycobacterium non tuberculosis. Sementara itu seperti yang telah disebutkan diatas bahwa gejala klinis dan hasil AFB keduanya sama sehingga dapat menyebabkan misdiagnosis. Jing atau et al., (2014) misdiagnosis menyebutkan infeksi bahwa keterlambatan Mycobacterium non tuberculosis akan memperburuk penyakit dan meningkatkan mortalitas dan beban ekonomi pasien. 5 Pada sebuah penelitian di Shandong, China, oleh Jing et al., tercatat (2012) sekitar tanpa 30.7% identifikasi infeksi spesies, Mycobacterium non tuberculosis terdiagnosis sebagai multi drug resistant tuberculosis (MDR-TB) hal ini karena resistensi natural Mycobacterium non tuberculosis terhadap obat anti- tuberkulosis. Di berbagai daerah di Indonesia kultur dan identifikasi spesies Mycobacterium bukanlah suatu kebiasaan bagi Mycobacterium seseorang sembuh suspek non tuberculosis. dengan ketika tuberkulosis suspek telah Hal maupun ini tuberkulosis diobati dengan infeksi menyebabkan sering tidak obat anti- tuberkulosis (OAT) karena sesungguhnya pasien tersebut terinfeksi Mycobacterium non tuberculosis yang bermanifestasi klinis mirip tuberkulosis. Setelah tidak ada perbaikan, selanjutnya pasien didiagnosis sebagai suspek MDR-TB dan kemudian diobati menggunakan secondline OAT sesuai rekomendasi WHO yaitu penambahan obat golongan fluorokuinolon sebagai regimennya. Salah satu obat golongan fluorokuinolon yang digunakan adalah ofloksasin. Pengobatan tuberkulosis dan Mycobacterium non tuberculosis menurut pedoman American Thoracic Society sangatlah berbeda. Regimen yang saat ini digunakan 6 untuk pengobatan tuberkulosis terdiri dari empat obat: rifampisin (RIF), isoniazid (INH), pirazinamid (PZA), dan etambutol (EMB), selama enam sampai sembilan bulan. Pengobatan infeksi paru akibat Mycobacterium non tuberculosis biasanya lebih rumit daripada pengobatan tuberkulosis. Obat, frekuensi administrasi, dan durasi terapi akan bervariasi Mycobacterium penyakit, non luas dan tergantung tuberculosiS tempat pada yang infeksi spesies menyebabkan (Marusic dan Jankovic, 2012). Berdasarkan rekomendasi American Thoracic Society (1997), terapi untuk infeksi Mycobacterium non tuberculosis tipe rapidly growing disesuaikan dengan mycobacterium yang menginfeksi dan diperlukan tes kepekaan terhadap delapan antibiotik yang disarankan. Klaritromisin adalah salah satu diantara plihan terapi untuk infeksi Mycobacterium non tuberculosis tipe rapidly growing (American Thoracic Society, 1997). Beberapa terhadap obat beberapa tuberculosis. Namun, anti tuberkulosis spesies pengobatan juga aktif Mycobacterium non dari sebagian besar spesies Mycobacterium non tuberculosis juga memerlukan pemberian antibiotik yang tidak biasanya digunakan 7 untuk mengobati tuberkulosis (Marusic dan Jankovic, 2012). Melihat penggunaan obat yang selama ini digunakan serta rekomendasi pengobatan yang tuberculosis bertujuan growing berbagai sesuai tipe untuk dari untuk rapidly penelitian sensitivitas terhadap mengenai Mycobacterium growing, membuktikan mycobacterium sumber non ini rapidly klaritromisin dan ofloksasin. Penelitian ini melihat sejauh mana potensi dari kedua antibiotik dalam menghambat pertumbuhan rapidly growing mycobacterium. I.2 RUMUSAN MASALAH Prevalensi infeksi Mycobacterium non tuberculosis semakin tinggi. Tampakan klinis dan hasil AFB infeksi Mycobacterium non tuberculosis sulit dibedakan dengan infeksi tuberkulosis sehingga sering terjadi keterlambatan atau bahkan misdiagnosis yang berakibat pada ketidaktepatan petugas kesehatan dalam memberikan regimen terapi. Pengobatan terhadap infeksi Mycobacterium non tuberculosis terutama tipe rapidly growing seharusnya berbeda dengan pengobatan terhadap infeksi M. tuberkulosis. Perumusan masalah pada 8 penelitian ini klaritromisin adalah dan Mycobacterium non menilai ofloksasin potensi antibiotik terhadap tuberculosis tipe pertumbuhan rapidly growing dengan metode macro broth dilution. I.3 KEASLIAN PENELITIAN Beberapa Mycobacterium penelitian non mengenai tuberculosis uji sensitivitas terhadap antibiotik telah dilakukan di berbagai negara termasuk dengan berbagai variasi spesies Indonesia Mycobacterium non tuberculosis dan variasi antibiotik. Berikut ini adalah penelitian yang telah dilakukan sebelumnya: Brown-Elliot Serikat, dengan Termasuk et al., judul (1992) di ‘Aktivitas Klaritromisin, Texas, Empat Melawan Amerika Makrolida, Mycobacterium fortuitum, Mycobacterium chelonae, dan organisme mirip M.chelonae’ menguji potensi eritromisin, klaritromisin, azitromisin, dan roksitromisin terhadap dua spesies rapidly gromwing mycobacterium yaitu Mycobacterium fortuitum dan Mycobacterium chelonae, dan satu organisme mirip Mycobacterium chelonae. Hasilnya adalah 100% klaritromisin strain dengan yang KHM diujikan ≤1 g/mL. sensitif terhadap Klaritromisin 10 9 hingga 50 kali lebih aktif dibandingkan dengan eritromisin dan 4 sampai 8 kali lebih aktif melawan M.chelonae dibandingkan dengan makrolida lain yang baru. Setiadi, 2014 di Yogyakarta, Indonesia, dengan judul ‘Uji Sensitivitas Mycobacterium non tuberculosis terhadap Doksisiklin dan Rifampisin Secara In Vitro’ telah melakukan uji potensi secara in vitro antara obat anti tuberkulosis satu obat pilihan mycobacterium. isolat tunggal terapi Penelitian Mycobacterium teridentifikasi dibandingkan infeksi ini non rapidly dilakukan tuberculosis spesiesnya, 100% dengan salah growing terhadap yang isolat 7 belum resisten terhadap obat anti tuberkulosis tunggal dan memberikan hasil yang cukup sensitif terhadap obat pilihan terapi infeksi rapidly growing mycobacterium. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian-penelitian di atas yaitu isolat bakteri, antibiotik yang digunakan, waktu, dan lokasi penelitian. Isolat yang digunakan pasien merupakan yang penelitian Fakultas isolat berdomisili bertempat Kedokteran di klinis di yang Yogyakarta. Laboratorium Universitas didapat Gadjah dari Lokasi Mikrobiologi Mada yang 10 dilakukan 2014. pda bulan Penelitian September ini 2014 menggunakan hingga Desember klaritromisin dan ofloksasin sebagai antibiotik yang diuji. I.4 MANFAAT PENELITIAN Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan manfaat: a. Memberikan bukti ilmiah mengenai antibiotik klaritromisin dan ofloksasin dalam menghambat pertumbuhan bakteri Mycobacterium non tuberculosis secara in vitro. b. Memberikan informasi mengenai terapi infeksi Mycobacterium non tuberculosis di Indonesia. c. Menyadarkan petugas kesehatan betapa pentingnya kultur bakteri dan untuk menegakkan terapi pada pasien uji kepekaan diagnosis suspek dan TB antibiotik menentukan maupun infeksi Mycobacterium non tuberculosis. d. Memicu penelitian lebih lanjut mengenai diagnosis dan pengobatan infeksi Mycobacterium non tuberculosis di Indonesia. 11 I.5 TUJUAN PENELITIAN a. Mengetahui non sensitivitas tuberculosis bakteri terhadap Mycobacterium klaritromisin dan ofloksasin. b. Menentukan antibiotik kadar hambat klaritromisin dan minimum ofloksasin (KHM) pada bakteri Mycobacterium non tuberculosis. c. Membandingkan potensi antibiotik klaritromisin dan ofloksasin pada bakteri Mycobacterium non tuberculosis.