Meredam Dampak Kemerosotan Ekonomi UKI / Kompas Images Senin, 14 April 2008 | 00:56 WIB Hingga semester kedua 2007, krisis finansial di Amerika Serikat belum menunjukkan dampak berarti. Namun, setelah semakin banyak perusahaan keuangan besar raksasa dunia ”babak belur” karena kerugian besar dalam transaksi subprime mortgage, yang kemudian menular ke berbagai instrumen keuangan lainnya, barulah kian disadari bahwa krisis keuangan kali ini sangat dalam. Bahkan, sementara kalangan menilai krisis keuangan dewasa ini adalah yang terburuk sejak Perang Dunia II berakhir. Betapa parah dampak krisis keuangan bagi perekonomian AS, hal itu tecermin dari minutes meeting Federal Reserve, 18 Maret 2008, ”... Penentu kebijakan The Fed menilai harga-harga yang berjatuhan di dalam negeri dan kekalutan pasar keuangan dapat mengarah kepada kecenderungan menurun yang jauh lebih hebat dan berlarut-larut daripada yang diperkirakan pada saat ini” (The Wall Street Journal, 9 April 2008). Tak ada lagi keraguan bahwa perekonomian AS telah memasuki resesi. Pada triwulan I-2008 perekonomian AS hampir bisa dipastikan mengalami kontraksi, atau pertumbuhan negatif, dan akan berlanjut pada triwulan kedua. Proyeksi pertumbuhan ekonomi AS 2008 mengalami koreksi paling tajam. Persis setahun lalu, perekonomian AS tahun 2008 diproyeksikan tumbuh 2,8 persen, tetapi April tahun ini sudah terpangkas menjadi hanya 0,5 persen. Mengingat sumbangan AS dalam perekonomian dunia masih dominan, yakni 25,5 persen pada tahun 2007, sudah barang tentu kemerosotan ekonomi di negara adidaya ini akan berimbas pada perekonomian dunia. Pada Januari, Dana Moneter Internasional (IMF) memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi dunia 2008 dari 4,8 persen menjadi 4,1 persen. Pada bulan April, IMF kembali mengoreksi menjadi hanya 3,7 persen. Tak satu negara pun yang tak mengalami koreksi ke bawah dalam hal pertumbuhan ekonomi. Apakah Indonesia cukup tangguh melawan arus global yang sedang menunjukkan kemerosotan pertumbuhan? Pemerintah dan DPR memang menurunkan target pertumbuhan ekonomi 2008, dari 6,8 persen menjadi 6,4 persen. Sekalipun demikian, angka itu tetap saja lebih tinggi daripada tahun lalu sebesar 6,3 persen. Artinya, pemerintah dan DPR masih berharap perekonomian Indonesia tahun 2008 lebih ekspansif ketimbang 2007. IMF memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun ini hanya 6,1 persen. Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia (ADB), dalam publikasinya, yang dikeluarkan bulan ini, sama-sama mematok 6,0 persen. Pertanda kinerja perekonomian Indonesia melemah sudah terlihat. Pada triwulan terakhir 2007 pertumbuhan ekonomi year-on-year turun menjadi 6,3 persen dari 6,5 persen pada triwulan sebelumnya. Yang paling menunjukkan kemerosotan ialah sektor eksternal. Ekspor barang dan jasa selama beberapa tahun terakhir merupakan penyumbang kedua terbesar bagi pertumbuhan ekonomi setelah konsumsi privat. Pertumbuhan riil ekspor barang dan jasa selama 20042005 naik rata-rata 15 persen. Namun, selama dua tahun terakhir turun tajam, 9,4 persen tahun 2006 dan 8,0 persen tahun 2007. Sebaliknya, impor barang dan jasa tahun 2007 naik sehingga surplus perdagangan barang dan jasa (current account) menyusut. Jika 2006-2007, surplus current account terhadap produk domestik bruto (PDB) rata-rata 2,6 persen, pada 2008 diperkirakan turun menjadi 1,7 persen, dan 0,9 persen tahun 2009. Sementara itu, pertumbuhan nilai (nominal) ekspor barang Indonesia pun menurun, dari 17,7 persen tahun 2006 menjadi 13,1 persen pada 2007. Kecenderungan yang sama terjadi pada ekspor nonmigas, turun dari 19,2 persen pada 2006 menjadi 15,3 persen pada tahun 2007. Kenaikan harga-harga komoditas primer sangat membantu kinerja nilai ekspor Indonesia sehingga masih tumbuh dua digit. Namun, jika kita keluarkan faktor kenaikan harga, secara riil berdasarkan volume, pertumbuhan ekspor 2007 hanya 7,6 persen. Angka ini merosot jika dibandingkan dengan tahun 2005 sebesar 13,4 persen dan tahun 2006 sebesar 10,7 persen. Sekalipun demikian, kinerja ekspor Indonesia tahun 2007 masih sedikit lebih baik ketimbang pertumbuhan perdagangan dunia sebesar 6,8 persen. Dengan kecenderungan pertumbuhan ekonomi yang melambat, volume perdagangan dunia pun akan melemah. Tahun ini pertumbuhan perdagangan dunia diproyeksikan turun menjadi 5,6 persen. Akibatnya, pertumbuhan nilai maupun volume ekspor Indonesia pun akan terpangkas. Dihadapkan pada perkembangan pasar keuangan dunia yang bergejolak, kita tak boleh mengandalkan pada arus masuk investasi portofolio. Pengamanan ekspor menjadi sangat vital. Kita patut bersyukur selama dua bulan terakhir (Januari-Februari) 2008, pertumbuhan nilai ekspor total migas dan nonmigas menggembirakan, yakni 31 persen. Ekspor migas naik 54 persen dan ekspor nonmigas 26 persen. Penyumbang terbesar komoditas primer nonmigas ialah minyak sawit dan karet karena kenaikan harganya. Tak kalah penting ialah kemampuan kita mendiversifikasikan tujuan ekspor. Jepang dan AS memang masih menjadi tujuan utama ekspor Indonesia, tetapi kecenderungannya menurun. Pangsa pasar ekspor nonmigas ke AS menurun dalam tiga tahun terakhir. Kedua negara ini yang paling mengalami kemerosotan pertumbuhan. Sebaliknya, kita mampu meningkatkan pangsa ekspor nonmigas ke negara-negara yang paling tinggi pertumbuhan ekonominya. Ekspor ke China mencapai 7 persen dari keseluruhan ekspor nonmigas, padahal tahun 2000 masih sekitar 3 persen. Serupa halnya dengan India, yang dalam tujuh tahun terakhir meningkat dua kali lipat, dari sekitar 2 persen menjadi 4 persen dari ekspor nonmigas total. Tahun 2007, India dan China penyumbang terbesar peningkatan ekspor nonmigas Indonesia. Jika kita mampu menjaga perkembangan ekspor yang sudah cukup baik ini, serta mengamankan pasar dalam negeri dari serbuan ”membabi buta” barang-barang impor, niscaya sektor eksternal kita akan bertambah kuat. Dengan demikian, titik berat perhatian bisa lebih dicurahkan untuk meningkatkan kualitas pertumbuhan yang cenderung centang perenang, sebagaimana ditunjukkan oleh kesenjangan luar biasa antara pertumbuhan sektor jasa modern di kota-kota besar dan pertumbuhan pertanian dan industri manufaktur. Jangan sebaliknya, kita lebih mengandalkan pada sektor finansial, yang nyata-nyata terbukti artifisial dan rentan terhadap gejolak eksternal