BAB II TINJAUAN PUSTAKA II.1. Tinjauan (State of the Art Review) terdahulu O’ Farrel et all. (2007) melakukan penelitian di 22 wilayah survei yang berada di wilayah Tobbago. Dari hasil survei dan observasi pada phase I menunjukkan bahwa pemutihan sangat bervariasi untuk berbagai spesies terumbu karang. Jenis karang yang sangat rentan terhadap stress akibat kenaikan suhu permukaan laut adalah spesies Agaricia agaricites(‘leaf’) dan Siderastrea radians (‘rough starlet’) yang menunjukkan 93% mengalami pemutihan untuk daerah yang diobservasi sedangkan spesies Madracis mirabilis (‘yellow pencil’) dan Acropora palmata (‘elkhorn’) hanya berkisar 3%. Selain itu, terjadinya kerentanan untuk tiap spesies ini diakibatkan oleh terjadinya proses aklimatisasi di wilayah kajian, yang sudah dapat beradaptasi terhadap suhu lokal. Bruno et all. (2007), melakukan observasi di wilayah GBR dengan 48 areal survei terumbu karang yang tersebar di wilayah timur Australia. Penelitian ini menunjukkan bukti yang sangat kuat antara stress akibat kenaikan suhu muka laut dengan coral cover terumbu karang. Tetapi untuk beberapa daerah bahwa white syndrom tidak hanya disebabkan oleh thermal stress tetapi juga keterbatasa nutrient yang ada di perairan tersebut. Data suhu yang digunakan adalah Patfinder ver 5, AVHRR yang dikeluarkan oleh NOAA. Selanjutnya, Done et all. (2003) meninjau hubungan antara perubahan iklim, pemutihan karang, dan resultan mortalitas yang terjadi di Queensland dan Australia. Dari hasil penelitiannya, pemutihan terumbu karang terjadi pada tahun 1998 dan 2002. Kematian juga terjadi disebagian wilayah GBR. Penelitian ini juga mengkombinasikan model yang dilakukan oleh IPCC untuk memprediksikan kerusakan terumbu karang dimasa yang akan datang sedangkan level kerusakan terumbu karang yang terjadi di wilayah ini berada pada level 2 dan 3. II-1 Strong et all. (2002), melakukan penelitian pada musim panas tahun 2001 di wilayah pulau Ryukyu, Jepang dengan fokus anomali temperatur memperlihatkan bahwa data yang diperoleh dari NOAA dapat menggambarkan wilayah-wilayah yang mengalami pemutihan. Penelitian ini dengan menggunakan data AVHRR yang dikeluarkan oleh NOAA dengan kualitas 50 x 50 km grid resolution. Hasil penelitian dengan membandingkan data satelit dengan data insitu tidak berbeda jauh sehingga data satelit dalam grid 50 x 50 km dapat diberlakukan sebgai standar untuk mengetahui adanya pemutihan di berbagai wilayah. Penelitian ini dapat menjelaskan magnitude, recovery terumbu karang walaupun dengan resolusi yang rendah, demikian juga halnya dengan pemutihan yang terjadi di shallow water. Bruno et all. (2001), menggunakan Degree Heating Weeks yang dikeluarkan oleh NOAA/NESDIS 50 km DHWmaps. Observasi ini menunjukkan bahwa ENSO yang terjadi bersamaan dengan kenaikan suhu perairan telah menyebabkan pemutihan di wilayah Palau tetapi tidak bergantung pada cover area melainkan ketahanan pada tiap spesies. Kajian terumbu karang yang mengalami pemutihan menunjukkan hampir 48% dari 946 koloni mengalami pemutihan dan 15% mengalami awal pemutihan tetapi untuk sebagian spesies seperti Goniopora spp. dan Mentiopora spp. lebih sedikit mengalami bleaching dimana spesies mempunyai ketahanan tersendiri terhadap stress. II.2. Terumbu Karang, Pemutihan Karang, dan Keragaman. Terumbu karang dapat hidup pada kondisi tertentu dan jika temperatur terlalu tinggi atau terlalu rendah akan mengakibatkan terganggunya proses-proses metabolismenya. Demikian juga suhu yang ekstrem dan berlangsung lama akan mengakibatkan dampak negatif bagi ekosistem karang (NOAA, 2006). Dalam Laporan Status of Coral Reefs of The World:2000 mengemukakan bahwa 27% terumbu karang didunia telah hilang akibat kegiatan yang dilakukan manusia, demikian juga akibat perubahan ilkim (Wilkinson, 2000). Pada tahun II-2 1998 , yang disebut sebagai tahun terpanas telah mengakibatkan 16% kerusakan pada terumbu karang. Pada saat sekarang diprediksikan sebesar 32% terumbu karang sedang menuju kerusakan yang hebat akibat suhu yang ekstrem tersebut. Pada tahun 2010 diperkirakan akan terjadi kerusakan karang di dunia sebesar 40% dan jika keadaan sekarang tetap berlangsung maka 58% terumbu karang akan hilang. Menurut Data PEW-Center pada Tabel II.1. dapat dilihat Fluktuasi parameter pemicu (trigger) dari pemutihan karang. Tabel II.1. Laporan IPCC tentang observasi dan prediksi parameter Global Climate Change. Observasi dan Proyeksi Perubahan Iklim Global Variabel Observasi 1880 CO2 (ppm) Proyeksi 2000 2050 2100 280 367 463-623 478-1099 Temperatur (0C) - 0.8-0.8 0.8-2.6 1.4-5.8 Muka Laut (m) - 0.07-0.15 0.05-0.32 0.09-0.88 Sumber : IPCC, 2001 dalam Buddemeier et all., 2004 ket: - = Data tidak ada Pemutihan karang dilaporkan telah terjadi di lebih 60 negara and kepulauan yang berada di Laut Pasifik Pacific, Lautan India, Laut Merah, Teluk Persia, dan Kepulauan Karibia. Sebelum tahun 1998 pemutihan karang hanya berlangsung hingga kedalaman 15 meter, tetapi perubahan iklim secara global pada tahun 1998 mengakibatkan efeknya hingga kedalaman 50 meter. Pada daerah ini, baik soft ataupun hard coral mengalami pemutihan (Wilkinson et all., 2000). Pada Gambar II.1. dapat dilihat perbandingan antara karang yang tidak mengalami pemutihan, bleaching, dan yang mengalami kematian. Karang sehat umumnya berwarna coklat dan kehjiauan, namun pada beberapa spesies warna itu berbeda tergantung pada pigmen yang dimiliki oleh masing-masing spesies. Pada gambar dapat dilihat perbedaan antara karang yang mengalami pemutihan dimana zooxanhtellae melepaskan diri dari inang (karang) akibat stress lingkungan. Sebagai penghasil energi (90 %) bagi karang, lepasnya zooxanhtellae II-3 menyebabkan karang juga ikut mati apabila stress yang dihadapi berlangsung lama. Gambar II.1. Pemutihan karang atau yang lebih dikenal dengan coral bleaching. (Sumber photo: Murphy dalam MRI, 2007). Keterangan : 1. Karang sehat 2. Awal pemutihan 3. Pemutihan total Pemutihan karang akibat perubahan iklim sudah berlangsung lama. Revolusi industri di Eropa yang pada awalnya untuk mengembangkan perekonomian suatu negara menyebabkan pemakaian batubara tidak terkendali. Hal ini mengakibatkan atmosfer sebagai “selimut” dimana panas yang dipantulkan oleh bumi tidak kembali ke angkasa. Menurut data dari GRMNP terdapat lokasi-lokasi yang menggambarkan perkembangan pemutihan karang di dunia seperti yang tampak dari Gambar II.2. Untuk Indonesia sendiri sebagai salah satu kerusakan itu sudah meluas hampir untuk setiap daerah yang memiliki ekosistem karang. Perbandingan ini didapat pada tahun 1998 dan pada tahun 2006 dimana semakin banyaknya wilayah yang mengalami kerusakan karang dan pada umumnya dalam tingkat sangat mengkhawatirkan (severe bleaching). Indonesia sebagai negara II-4 yang memiliki luas terumbu karang terbesar di dunia lambat laun akan kehilangan potensi terbesar dari sektor kelautan. Gambar II.2. Lokasi terumbu karang dan fluktuasi kerusakan dari tahun hingga 1998 hingga 2006. (Sumber: Marshall, et all., 2006). Dengan menggunakan model dari IPCC, Indonesia akan mengalami kenaikan dari temperatur rata-rata dari 0.1 sampai 0.3º C per dekade. Kenaikan suhu ini akan berdampak pada iklim yang mempengaruhi manusia dan lingkungan sekitarnya, seperti kenaikan permukaan air laut dan kenaikan intensitas dan frekuensi dari hujan, badai tropis, serta kekeringan. Dari kenaikan permukaan air laut dari 8-30 cm, sebagai negara kepulauan, 2000 pulau-pulau Indonesia diramalkan akan tenggelam atau hilang. Kehilangan pulau-pulau tersebut merupakan ancaman dari batas dan keamanan negara. Seperti yang dilaporkan oleh WGII (Working Group II-Kelompok Kerja II), kenaikan permukaan air laut akan mengakibatkan 30 juta orang yang hidup di ekosistem pantai mengungsi dan Indonesia akan mengalami kerugian yang sangat besar (Ardiansyah, 2007). II-5 II.3. Temperatur Peningkatan temperatur 10–20 C dalam waktu lima minggu akan mengakibatkan pemutihan karang atau penurunan temperatur hingga 30 C juga mengakibatkan stress pada ekosistem terumbu karang. Dalam laporan-laporan penelitian disebutkan bahwa kebanyakan kerusakan terumbu karang berkisar pada akhir musim panas. Pemutihan karang juga disebutkan terjadi dengan kondisi angin dengan kecepatan rendah, langit cerah (tanpa awan), laut yang tenang, dan turbiditas rendah. Kenaikan suhu muka laut disebabkan terutama oleh efek rumah kaca dan penipisan lapisan ozon. Anomali suhu laut telah diteliti antara tahun 1986-1988, dimana hipotesisnya kerusakan terumbu karang disebabkan oleh pemanasan global (Buchheim, 1988). Pada Gambar II.3. diperlihatkan dengan DHW map untuk daerah timur pada tahun 1998 diketahui bahwa anomali suhu dalam 12 minggu dapat menggambarkan daerah-daerah yang mengalami stress akibat perubahan temperatur yang berada diatas rata-rata. DHW ini sendiri berfungsi untuk memetakan wilayah-wilayah yang terkena dampak dari perubahan iklim, sehingga dengan demikian dapat diketahui kondisi terumbu karang yang rusak dan jumlah terumbu karang yang mengalami kematian. Gambar II.3. NOAA Degree Heating Weeks untuk daerah timur belahan bumi (Sumber : NOAA, 2001 dalam Marshall, et all., 2006). II-6 Menurut NMRGOV (2007), bahwa terumbu karang dapat hidup pada kisaran suhu antara 250 hingga 290 C. Coral bleaching jauh sebelum terjadi revolusi industri adalah hal yang sebenarnya biasa pada coral reef, namun pada saat sekarang ini kuantitas pemutihannya sangat tidak normal dan terjadi hampir di seluruh daerah permukaan bumi. Selanjutnya, pada Gambar II.4. dapat dilihat bagaimana anomali muka laut yang dikorelasikan dari waktu ke waktu dimana terjadi peningkatan yang signifikan hingga pada saat ini. Secara visual juga dapat dilihat (kanan) anomali temperatur pada tahun 2005 yang menunjukkan wilayah-wilayah dengan anomali yang tinggi sedangkan dari tahun 1880 hingga 2000 terjadi kenaikan anomali temperatur secara global. Gambar II.4. Grafik anomali muka laut mulai dari tahun 1880 hingga 2000. Gambar kanan adalah SST pada tahun 2005 (Sumber : Hansen et all., 2005) Pada gambar diatas dapat dilihat bahwa muka laut dari tahun 1880 hingga tahun 2000 mengalami kenaikan yang sangat berarti. Hasil akhir prediksi pemutihan terumbu karang yang diakibatkan oleh kenaikan temperatur terdapat pada gambar II.4.. Menurut Coral Reef Watch kenaikan suhu 10 C dalam waktu lebih dari empat minggu akan mengakibatkan stress pada eksosistem karang sedangkan kenaikan hingga 20 C dalam waktu 3 minggu sudah akan mengakibatkan pemutihan pada karang . Studi kasus ini dilakukan di Karang Penghalang Besar II-7 Australia yang sudah dapat memprediksi tingkat stress yang dialami oleh terumbu karang apabila dikorelasikan dengan kenaikan suhu perairan. Pada Gambar II.5. dapat dilihat kesimpulan yang didapat dari hasil komparasi lamanya pemanasan dengan kerusakan terumbu karang di wilayah Australia. Grafik ini hanya sesuai dengan terumbu karang di wilayah Australia dikarenakan kondisi perairan yang berbeda untuk tiap wilayahnya. Gambar II.5. Hubungan antara kenaikan temperatur dengan pemutihan terumbu karang dalam skala waktu mingguan. (Sumber : Coral Reef Watch dalam Marshall et all., 2006). II.4. Kenaikan Muka laut Terumbu karang tumbuh mengikuti perubahan muka laut. Pengukuran terhadap kenaikan muka laut telah dilakukan dan terjadi peningkatan 10-25 cm dalam kurun waktu 100 tahun dan akan meningkat hingga 95 cm pada abad selanjutnya (Pittock, 1998 dalam Hoegh-Guldberg, 2004). Kenaikan Muka laut sehubungan dengan Perubahan Iklim Global diakibatkan oleh: 1. Pemanasan Muka Laut, 2. Mencairnya Es di kutub, 3. Rekayasa lingkungan oleh manusia (Pembuatan DAM). Jika pemanasan global masih berlangsung maka kenaikan muka laut akan bertambah dari 0.5 hingga 2 meter (CSIRO, 2004 dalam Hoegh-Guldberg, 2004). II-8 Permodelan yang dilakukan dengan GFDL (2004) menyebutkan bahwa dengan peningkatan 2 dan 4 kali karbondioksida di atmosfer akan menghasilkan grafik di bawah ini. Prediksi ini tidak termasuk dalam pencairan es karena jika pencairan es diikutsertakan maka peningkatan karbon akan semakin besar (Gambar II.6). Selanjutnya Susandi (2004), menyatakan bahwa pengikatan karbon oleh laut berdasarkan prediksi dari suhu dan emisi karbon akan semakin meningkat pada tahun 2100. Hal tersebut akan menyebabkan dua kondisi penting yaitu: peningkatan temperatur dan kenaikan tinggi muka air laut. Naiknya permukaan air laut mengakibatkan hilangnya pulau-pulau kecil dan sebagian daratan di dunia. Sebagai contoh untuk Negara-negara tertentu seperti Tuvalu, Kiribati, dan Maltives yang menempati pulau setinggi 2-3 meter Gambar II.6. Model peningkatan muka laut dengan kenaikan karbondioksida 2 kali dan 4 kali lebih besar dihubungkan dengan waktu ( Sumber : IPCC, 1995 dalam GFDL, 2004). Peningkatan suhu menyebabkan kenaikan muka laut. Hal ini disebabkan oleh mencairnya es pada bagian kutub bumi baik bagian Selatan maupun bagian Utara. Pada Gambar II.7. dapat dilihat kenaikan muka laut hingga tahun 2000 yang mengalami peningkatan. Pengukuran ini berdasarkan satelit altimetri dimana korelasinya diakibatkan oleh pencairan es di kutub yang menambah massa air. Jika tinggi muka air laut meningkat dapat dibayangkan daerah pesisir akan berubah dari daratan menjadi lautan. II-9 Gambar II.7. (kiri)Prediksi ketebalan es di kutub pada tahun 2050. (Sumber: Gammon, 2007). (kanan)Kenaikan muka laut meningkat 0.2 cm/year, berdasarkan pengukuran sea level dari 23 long tide gauge records . satelit altimetry dari TOPEX/Poseidon menunjukkan kenaikan 3 mm/thn. (Sumber : Gomitz et all. dalam UNEP, 2006). Ketika Muka Laut bertambah maka nearshore bottom profile akan berubah menyesuaikan diri untuk mencapai equilibirium. Dalam hal kenaikan muka laut, daerah berkembang yang daratannya rendah akan mendapat akibat yang besar dari kenaikan muka laut sehubungan dengan berkurangnya daratan (Bird, 1993 dalam Douglas et all., 2004). Menurut Woodworth (2007), Perubahan kenaikan muka laut pada saat ini berdasarkan observasi di beberapa tempat dapat dilihat pada Gambar II.8. dimana salah satu penyebabnya adalah mencairnya es di kutub. Dari gambar terlihat bahwa hingga saat ini total panjang glasier yang ada di berbagai tempat mengalami penurunan. Pada grafik tersebut dapat dilihat bahwa disemua tempat, glasier mengalami penurunan yang sangat berarti dari tahun ke tahun dan hasil dari penurunan jumlah es di kutub telah menyebabkan kenaikan permukaan laut sebesar 2 mm per tahun secara global. II-10 Gambar II.8. (kiri) sumber kenaikan muka laut dan, (kanan) total jumlah panjang glasier yang ada di berbagai tempat.(Sumber: Woodworth, 2007) II-11