BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah . Bila dipelajari sejarah kehidupan manusia, mulai dari nenek moyang manusia pertama yang mendiami bumi ini, maka tanah telah menempati posisi yang penting dalam kehidupan manusia. Manusia mempunyai hubungan yang sangat erat dengan tanah, karena menurut asal mula bahwa manusia tercipta dari tanah dan pada akhirnyapun akan kembali ke tanah. Tidak diragukan lagi bahwa tanah adalah sesuatu yang penting dalam kehidupan manusia. Terlebih lagi bagi Bangsa Indonesia adalah masyarakat yang bercorak agraris, maka mereka menempatkan tanah sebagai unsur yang esensial bagi segala aspek kehidupannya. Setiap saat kebutuhan manusia akan tanah selalu meningkat, baik untuk kebutuhan tempat tinggal maupun lahan untuk berusaha, sehingga menyebabkan manusia berpacu untuk menguasai dan memiliki tanah. Tidak hanya bagi manusia secara individu tetapi juga bagi suatu lembaga/badan pemerintah maupun swasta apabila terkait dengan kegiatan pembangunan fisik dan prasarana yang dibutuhkan untuk kepentingan umum, seperti jalan, jembatan, sekolah, perindustrian, gedung-gedung perkantoran, pertambangan, kehutanan, kepariwisataan serta sarana umum lainnya. sehingga sangatlah 1 dibutuhkan land use planning atau tata guna tanah disamping menghendaki landreform dan peraturan yang dapat menjamin kepastian hukum atas tanah. Berdasarkan Aspek Sosial Budaya dari Tanah harus dilihat dari sudut pandang bahwa sumber hukum Agraria Indonesia adalah Hukum Adat. Dalam pandangan masyarakat adat, tanah bukan sekedar permukaan bumi, tetapi juga merupakan bagian menyeluruh dari kehidupan yang tentunya dalam penggunaannya atau pemanfaatannya seringkali menimbulkan permasalahan-permasalahan diantara masyarakat adat itu sendiri, bahkan juga antara masyarakat adat dengan individu/lembaga non adat baik pemerintah maupun swasta. Sengketa perdata adat mengenai tanah seringkali tidak mudah diselesaikan, apalagi jika tidak memahami benar tradisi masyarakat adat setempat. 1 Dewasa ini semakin banyak permasalahan mengenai tanah adat di Indonesia, yang tidak hanya terjadi diantara masyarakat adat itu sendiri, tetapi banyak juga yang terjadi diantara masyarakat adat dengan lembaga pemerintah mengenai status hukum tanah adat, Salah satu contoh permasalahan yang menjadi fokus kajian penulis adalah permasalahan tanah didaerah Sulawesi BaratKabupaten Majene, dimana terdapat permasalahan mengenai status hukum tanah Adat 1 Supriyadi, S.H., M.Hum, 2010, Aspek Hukum Tanah Aset Daerah, Prestsi Pustaka, Jakarta. hlm. 2. 2 Lima Tande atas tanah hak pakai Pemerintah Daerah Kab. Majene. Tanah tersebut pada awalnya adalah tanah adat yang berasal dari Zaman pemerintahan Mara’dia Banggae (sebutan bagi raja- raja/bangsawan di wilayah Majene), yang diatasnya juga melekat hakhak adat dari masyarakat adat tersebut untuk menguasai dan mengelola tanah tersebut. yang mana pengakuan dari masyarakat adat bahwa tanah tersebut adalah hak ulayat masyarakat adat limat tande. Terkait dengan Hak Ulayat dari suatu masyarakat hukum adat, hukum tanah nasional Indonesia mengakui adanya hak ulayat. Berdasarkan Peraturan Dasar Pokok- Pokok Agraria No. 5 tahun 1960, dan Undang-Undang No 41 tahun 1999 tentang Kehutanan; hak ulayat masyarakat hukum adat diakui keberadaannya. Karena itu, bila hak ulayat tersebut akan dipergunakan oleh pihak lain, haruslah atas persetujuan masyarakat pemilik hak ulayat tersebut akan tetapi hak ulayat hanya diberikan jika pada kenyataannya masyarakat adat tersebut masih ada (Pasal 3 UUPA). Pengakuan keberadaan hak pemilikan atas tanah (hak ulayat) dan masyarakat hukum adat mulai diperhatikan setelah dikeluarkan dan diberlakukannya UUPA. Berdasarkan Pasal 3 UUPA disebutkan “Dengan mengingat ketentuan-ketentuan Pasal 1 dan 2, pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, sesuai dengan 3 kepentingan nasional dan negara, berdasarkan atas persatuan bangsa dan tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturanperaturan lain yang lebih tinggi”. Selanjutnya kebijakan tersebut dipertegas dengan dikeluarkannya TAP MPR No.IX Tahun 2001 tentang Pembaharuan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam. Selain itu UUPA menghormati keberadaan hukum adat , oleh karenanya, terdapat ‘bhineka tunggal ika’ di dalam hukum agraria nasional, hal mana ditandai dengan adanya pluralisma hukum di dalam hukum agraria Indonesia. Berdasarkan Pasal 5 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria yang selanjutnya disebut Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) menyatakan bahwa Hukum Agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam undang-undang ini (maksudnya : UUPA) dan dengan peraturan perundangan lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsurunsur yang bersandar pada hukum agama. Sebelum pihak Pemerintah Daerah (Pemerintah Daerah) menggunakan tanah tersebut, Pemerintah dan Masyarakat Adat Lima Tande selaku pemegang hak atas tanah telah melakukan musyawarah, 4 yang mana pemerintah telah membentuk panitia pengadaan tanah untuk mengeluarkan keputusan mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi sesuai dengan kesepakatan. Setelah adanya kesepakatan antara instansi pemerintah dengan Masyarakat Adat Lima Tande, maka pemerintah memberikan kompensasi kepada Masyarakat Adat Lima Tande berupa sejumlah uang. Tanah tersebut diperuntukkan untuk kepentingan umum, yaitu pembangunan Universitas Sulawesi Barat (Unsulbar), pembangunan jalan dan mesjid. Lebih lanjut Terkait dengan kewenangan pemerintah untuk mengatur penggunaan, peruntukkan dan penyediaan tanah, maka hakhak privat termasuk hak milik atas tanah warga dapat diambil alih atau dicabut haknya guna pemenuhan kebutuhan atas tanah yang diperuntukkan bagi pelaksanaan kegiatan pembangunan untuk kepentingan umum. Melalui berbagai Domein Verklaring (1870 sampai 1888) yang kemudian dicabut oleh UUPA pada bagian konsideran, dinyatakan bahwa semua tanah yang tidak dapat dibuktikan diatasnya ada hak eigendom adalah domein negara. Oleh karena itu tanah yang tidak ada sertifikatnya dinyatakan sebagai domein negara. Tanah yang diatasnya ada hak adat disebut Unfrijlandsdomein, sebaliknya tanah yang diatasnya tidak ada hak adat disebut frijlanedsdomein. 5 Pasal 28H Ayat (4) UUD 1945 merupakan komitmen negara dalam mengakui dan menghormati hak milik perorangan, termasuk hak warganegara atas tanah. Hak atas tanah yang berlaku di Indonesia tidak bersifat mutlak, artinya tidak sepenuhnya dapat dipertahankan terhadap siapapun oleh pemegang hak. Dalam kondisi tertentu dimana kepentingan negara menghendaki, maka pemegang hak atas tanah harus rela melepaskan haknya untuk kepentingan yang lebih besar.Jika ditilik dari konstitusi, UUD 1945 telah menggariskan bahwa bumi air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.UUPA sebagai peraturan dasar juga mengakui prinsip-prinsip ini. Setelah adanya pemberian kompensasi kepada Masyarakat Adat Lima Tande, maka tanah tersebut dapat digunakan oleh Pemerintah DaerahKabupaten Majene berdasarkan sertifikat Hak Pakai No. 05/HP/BPN/2010akan tetapi masyarakat adat tersebut sampai sekarang masih menguasai, mengelola dan memanfaatkan tanah tersebut. Hal ini dapat pula dibuktikan dengan masih berdirinya rumah atau bangunan, pepohonan dan tanaman milik masyarakat adat di atas tanah tersebut. Tentu saja perbuatan terhadap penguasaan, pengelolaan dan pemanfaatan tanah, khususnya tanah negara oleh Masyarakat Adat Lima Tande dapat menyebabkan kerugian bagi Pemerintah 6 Daerahsetempat maupun negara yang dimana sebelumnya pemerintah telah memberikan kompensasi kepada masyarakat adat, namun sampai saat ini masyarakat adat masih memanfaatkan beberapa bidang tanah tersebut sehingga beberapa bidang tanah tidak dapat dimanfaatkan secara optimal oleh pemerintah. Ironisnya lagi Masyarakat Adat Lima Tande yang menguasai lokasi tanah tersebut juga melakukan pelarangan/perlawanan terhadap aktivitas Pemerintah Daerah dilokasi tanah tersebut. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka rumusan masalah yang dapat dikemukakan adalah : 1. Bagaimanakah status hukum penguasaan dan pemnfaatan tanah hak pakai pemerintah olehMasyarakat Adat Lima Tande? 2. Bagaimana upaya Pemerintah Daerah terhadap penguasaan dan pemanfaatan tanah hak pakai pemerintah oleh Masyarakat Adat Lima Tande? C. Tujuan Penelitian Dalam penelitian ini, penulis mempunyai tujuan penelitian sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui pelaksanaan penguasaan dan pemanfaatan tanah negara oleh adat lima tande. 7 2. Untuk mengetahui upaya pemerintah terhadap penguasaan dan pemanfaatan tanah negara oelh Masyarakat Adat Lima Tande. D. Kegunaan Penelitian Kegunaan dari penelitian ini adalah: 1. Kegunaan Teoritis: Hasil dari penelitian yang dilakukan ini diharapkan dapat memberikan sumbangan dan masukan untuk mengembangkan ilmu hukum, yaitu tentang Tanah (Agraria). 2. Kegunaan Praktis: Dengan adanya penelitian ini penulis berharap dapat membantu memecahkan masalah yang sedang dihadapi atau mungkin akan dihadapi oleh para pihak yang terkait baik masyarakat adat maupun instansi Pemerintah Daerah. 8 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. HUKUM ADAT 1. Pengertian hukum adat dan hukum kebiasaan. Dilihat dari perkembangan hidup manusia, terjadinya hukum itu mulai dari pribadi manusia yang diberi Tuhan akal fikiran dan perilaku. Perilaku yang terus-menerus dilakukan perorangan menimbulkan “kebiasaan pribadi”. Apabila kebiasaan pribadi itu ditiru orang lain, maka ia akan juga menjadi kebiasaan orang itu. Kemudian apabila seluruh anggota masyarakat melakukan perilaku kebiasaan tadi, maka lambat laun kebiasaan itu menjadi “adat” dari masyarakat itu. Jadi adat adalah kebiasaan masyarakat dan kelompok-kelompok masyarakat lambat laun menjadikan adat itu sebagai adat yang seharusnya berlaku bagi semua anggota masyarakat, sehingga menjadi “hukum adat”. Jadi hukum adat adalah adat yang diterima dan harus dilaksanakan dalam masyarakat bersangkutan.Untuk mempertahankan pelaksanaan hukum adat itu agar tidak terjadi penyimpangan atau pelanggaran, maka diantara anggota masyarakat diserahi tugas mengawasinya. Dengan demikian lambat laun petugas-petugas adat ini menjadi kepala adat.2 2 H. Hilman Hadikusuma, 2003, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, Mandar Maju, Bandung. hlm.1. 9 Sudah menjadi kepastian bagibangsa indonesia, bahwa hukum adat adalah bagian tidak terpisahkan dengan keaslian alam pemikiran bangsa Indonesia yang mendiami seluruh penjuru Nusantara. Oleh karena itu, hukum adat sekaligus merupakan suatu sistem yang melibatkan jiwa seluruh bangsa Indonesia.3 Adatrechtdalam bahasa Belanda kerap diterjemahkan sebagai hukum adat. Orang yang pertama kali memakai istilah Adatrechtadalah Snouck Hurgronje yang kemudian menjadikan adapt itu sebagai adapt yang harusnya bagi seluruh anggota masyarakat hukum adat, sehingga menjadi “hukum adat”. Berikutnya dibawah ini beberapa pengertian hukum adat yang dikemukakan para ahli dan satu pengertian dari hasil seminar “Hukum Adat dan dan Pembinaan Hukum Nasional” yang diselenggarakan di Yogyakarta tanggal 15-17Januari 1975 yang memberikan kejelasan apa yang dimaksud dengan hukum adat4: 1. Menurut Cornelis Van Vollenhoven Hukum Adat adalah aturan-aturan perilaku yang berlaku bagi orang pribumi dan timur asing, yang disatu pihak mempunyai sanksi 3 Suryaman Mustari Pide dan Sri Susyanti, 2009,Dasar-dasar Hukum Adat, Pelita Pustaka, Makassar, hlm. 1. 4 C. Dewi Wulnsari, 2009,Hukum Adat Indonesia Suatu Pengantar, Rafika Aditama, Bandung. hlm. 3. 10 (maka dikatakan hukum), dan di lain pihak tidak dikodifikasikan (maka dikatakan adat).5 2. Menurut B. Ter Haar Bzn Hukum adat adalah keseluruhan aturan yang menjelma dari keputusan-keputusan para fungsionaris hukum (dalam arti luas) yang memiliki kewibawaan serta pengaruh dan yang dalam pelaksanaannya berlaku serta merta dan ditaati dengan sepenuh hati. 3. Menurut J.H.P. Bellefroid Hukum adat adalah peraturan hidup yang meskipun diundangkan oleh penguasa tapi dihormati dan ditaati oleh rakyat dengan keyakinan bahwa peraturan-peraturan tersebut berlaku. 4. Menurut Hardjito Notopuro Hukum adat adalah hukum tak tertulis, hukum kebiasaan dengan ciri khas yang merupakan pedoman kehidupan rakyat dalam menyelanggarakan tata keadilan dan kesejahtraan masyarakat dan bersifat kekeluargaan. 5. Menurut Dr. Mr. Hazairin Adat adalah renapan kesusilaan dalam masyarakat, yaitu bahwa kaidah-kaidah adat itu berupa kaidah-kaidah kesusilaan yang kebenarannya telah mendapat pengakuan umum dalam masyarakat itu. 5 H. Hilman Hadikusuma, 2003, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia,Mandar Maju, Bandung. hlm. 13 11 Jadi Hazairin mengikatkan antara kesusilaan dan hukum, sehingga menurut ia dalam sistem hukum yang sempurna tidak ada tempat nagi sesuatu yang tidak selaras atau yang bertentangan dengan kesusilaan. Demikian halnya dengan hukum adat di mana terdapat hubungan dan persesuaian kesusilaan. Baik dalam arti adat sopan santun maupun dalam arti hukum, maka rakyat tidak perlu memkai istilah hukum adat.6 6. Menurut Bushar Muhammad Hukum adat adalah hukum yang mengatur tingkah laku manusia Indonesia dalam hubungan satu sama lain baik yang merupakan keseluruhan kelaziman, kebiasaan dan kesusilaan yang benarbenar hidup di masyarakat itu, maupun yang merupakan keseluruhan peraturan-peraturan yang mengenai sanksi atau pelanggaran yang ditetapkan dalam keputusan para penguasaadat (mereka) yang mempunyai kewajiban dan berkuasa memberi keputusan dalam masyarakat adat itu yaitu dalam keputusan lurah, penghulu, wali tanah, kepala adat dan hakim. Dalam hal ini terdapat dua versi pendapat, satu pihak menyatakan antara hukum adat dan hukum kebiasaan memiliki perbedaan, dipihak lain menyatakan bahwa hukum adat dan hukum 6 Ibid, hal.19. 12 kebiasaan tidak memiliki perbedaan. Dua versi pendapat ini dapat terlihat dalam uraian berikut7 : 1. Menurut R. Van Dijk Ia tidak sependapat untuk menggunakan istilah hukum kebiasaan sebagai terjemahan dari adatrecht untuk menggantikan hukum adat. Alasan dari Van Dijk adalah sebagai berikut : “tidaklah tepat menerjemahkan adatrechtmenjadi hukum kebiasaan menggantikan hukum adat, oleh karena yang dimaksud hukum kebiasaan kompleks peraturan-peraturan hukum yang timbul karena kebiasaan, artinya karena telah demikian lamanya orang biasa bertingkah laku menurut suatu cara tertentu sehingga timbullah suatu peraturan kelakuan yang diterima dan juga diinginkan oleh masyarakat. Perbedaan antara hukum adat dengan hukum kebiasaan adalah pada sumbernya, artinya bahwa hukum kebiasaan tidak bersumber dari dan atau alat perlengkapan. Perbedaan selanjutnya antara hukum adat dengan hukum kebiasaan itu terletak pada sifatnya, artinya bahwa hukum kebiasaan itu sepenuhnya bersifat tidak tertulis sedangkang hukum adat bersifat tertulis. 7 C. Dewi Wulnsari, 2009, Hukum Adat Indonesia Suatu Pengantar,Rafika Aditama, Bandung. hlm. 9. 13 2. Menurut Soerjono Soekanto Tidak terdapat perbedaan yang berarti dalam hukum adat dengan hukum kebiasaan. Alasan dari Soerjono Soekanto adalah sebagai beriku : “hukum adat pada hakikatnya merupakan hukum kebiasaan, artinya kebiasaan-kebiasaan yang mempunyai akibat hukum (sein-sollen). Berbeda dengan kebiasaan belaka, kebiasaan yang merupakan hukum adat adalah perbuatan-perbuatan yang diulang dalam bentuk yang sama yang menuju pada “rechtsvardigeordening dersamenlebing”. Apabila pernyataan diatas ditelaah, maka perbedaan pengertian hukum adat dengan hukum kebiasaan, atau dengan perkataan lain hukum adat adalah sama dengan hukum kebiasaan. Dengan mendalami hukum adat maka dapat dipahami bahwa bangsa Indonesia tidak dapat menolak budaya hukum asing sepanjang tidak bertentangan dengan budaya hukum indonesia itu sendiri. Begitu pula mempelajari hukum adat maka akan diketahui hukum adat yang mana yang ternyata tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman, dan hukum adat yang mana mendekati keseragaman yang dapat diberlakukan hukum nasional. 2. Masyarakat adat Didalam literatur dan peraturan perundang-undangan terdapat dua penyebutan istilah masyarakat adat yaitu ada yang menyebutnya “masyarakat adat” dan ada juga yang menyebut “masyarakat hukum adat”. Oleh karena itu istilah tersebut tidak dapat 14 menafikan/menegasikan hak-hak adat yang dimiliki oleh masyarakat yang bersangkutan. Masyarakat hukum adat adalah komunitas (paguyuban) sosial manusia yang merasa bersatu karena terikat oleh kesamaan leluhur dan atau wilayah tertentu, mendiami wilayah tertentu, memiliki kekayaan sendiri, dipimpin oleh seseorang atau beberapa orang yang dipandang memiliki kewibawaan dan kekuasaan, dan memiliki tata nilai sebagai pedoman hidup, serta tidak mempunyai keinginan untuk memisahkan diri.8 Adapun Ciri Masyarakat Hukum Adat yaituHimpunan orang, Merasa bersatu karena : keturunan, wilayah, atau kepentingan, Mempunyai organisasi yang jelas, Mempunyai pimpinan, Mepunyai kekayaan sendiri, tanah, bukanj tanah, berwujud dan tak berujud, Wenang mengurus kepentingan sendiri (otonom), Merupakan subyek hukum, dapat berbuat di luar maupun di depan sidang pengadilan. Hukum adat di Indonesia memiliki sifat dan corak khas yang berbeda dari hukum-hukum lainnya. Hal tersebut pertama kali dikemukakan oleh F.D. Hollemann dalam bukunya yang berjudul “De Commune Trek het IndonesischeRechtsleven.Hollemannmengkontruksikan 4 sifat umum 8 Dominikus Rato, 2011, Hukum Adat (Suatu Pengantar Singkat Memahami Hukum Adat Indonesia),LaksBang PRESSindo, Yogyakarta, hlm. 82. 15 dari masyarakat adat yaitu magis religius, comunal, congkrit, dan contan.9 a. Magis religius(magisch-religieus) Sifat Magis religiusdiartikan sabagai suatu pola fikir yang didasarkan pada religiusitas, yakni keyakinan masyarakat tentang adanya sesuatu yang bersifat sakral. Sebelum masyarakat hukum adat bersentuhan dengan hukum agama, masyarakat hukum adat mewujudkan religusitas ini dengan cara berfikiryang prelogika, animistis, dan kepercayaan pada alam gaib yang menghuni suatu benda. b. Comunal (Commuun) Masyarakat hukum adat berasumsi bahwa setiap individu, bagian masyarakat merupakan bagian integral dari masyarakat secara keseluruhan. Dengan demikian dapat diartikan sebagai pola mempertahankan prinsip-prinsip kerukunan, yaitu sifat tidak saling menonjolkan hak dan kewajiban tetapi lebih mengutamakan kepentingan hidup bersama. c. Congkrit Sifat congkrit diartikan sabagi corak yang seba jelas atau nyata, menunjukkan bahwa setiap hubungan hukum yang terjadi dalam masyarakat tidak dilakukan secara diam-diam atau samar. 9 Suryaman Mustari Pide dan Sri Susyanti, 2009, Dasar-dasar Hukum Adat, Pelita Pustaka, Makassar, hlm. 35. 16 d. Contan Sifat contan utamanya ini dalam mengandung hal arti sebagai pemenuhan prestasi. kesertamertaan, Bahwa setiap pemenuhan prestasi selalu diiringi dengan kontra prestasasi yang diberikan serta merta (seketika). Selain empat corak masyarakat adat sebagaimana yang telah dikonstruksikan oleh Hollemann Van dijk menyebutkan bahwa hukum adat memiliki tiga corak khas, yaitu10 : a. Hukum adat mengandung sifat yang sangat tradisional; b. Hukum adat dapat berubah; dan c. Kesanggupan hukum adat untuk menyesuaikan diri. Adapun Unsur-unsur menurut ter Haar yaitu11 : a. Ada kesatuan manusia yang teratur b. Menetap disuatu daerah tertentu, c. Mempunyai penguasa-penguasa, dan d. Mempunyai kekayan berwujud dan tidak berwujud e. Tidak seorangpun diantara para anggota itu mempunyai pikiran atau kecenderungan untuk membubarkan ikatan yang telah tumbuh atau meninggalkannya dalam arti melepaskan diri dari ikatan itu untuk selama-lamanya. Jika dilihat dari unsur-unsur diatas, masyarakat hukum adat, bukanlah badan hukum biasa sebagaimana dikenal dalam hukum 10 Ibid, hal.41. Bushar Muhammad, 2006, asas-asas Hukum Adat, Pradnya Paramita, Jakarta, hlm. 21. 11 17 barat, melainkan suatu badan hukum yang memiliki kewibawaan dan kekuasaan untuk membentuk, melaksanakan, membina sekaligus melakukan evaluasi baik terhadap perilaku anggota masyarakat maupun terhadap isi hukum. Jika dilihat dari teori sistem hukum Lawrence M. Friedman, maka masyarakat hukum adat adalah dikategorikan sebagai struktur hukum akan tetapi, jika dilihat secara yuridis, maka masyarakat hukum adat, bukan hanya sebagai struktur yang bertugas melaksanakan hukum tetapi sekaligus sebagai sujek hukum. 3. Dasar Perundang-undangan Berlakunya Hukum Adat Setelah memahami pengertian “hukum adat” maka penting untuk memahami dasar perundang-undangan (wettelijke grondslag) dari berlakunya hukum adat itu dalam lingkungan tata tertib hukum positif negara kita. Sebelum berlakunya kembali UUD 1945, maka berlaku Undangundang Dasar Sementara tahun 1950. Dalam Undang-undang Dasar Sementara itu Pasal 104 ayat (1) menyatakan bahwa “Segala keputusan pengadilan harus berisi alasan-alasannya dan dalam perkara hukumanmenyebut aturan-aturan undang-undang dan aturanaturan hukum adat yang dijadikan dasar hukum itu. Selanjutnya dalam hubungan ini kutip laporan Hasil Penkajian Bidang Hukum Adat 1980, proyek BPHN, halaman 36 sebagai berikut. 18 “ dalam pada itu pula ditafsirkan, bahwa peraturan-peraturan yang masih berlaku terus, melainkan peraturan-peraturan cum anneziz, termaksud didalamnya tafsiran-tafsiran yang diberikan dan praktek-praktek pelaksanaannya dalam jurisprudensi. Hal ini berarti, bahwa teori resepsi, penyempitan dalam pengertian “hukum adat” dan kehadiran norma-norma hukum dalam tubuh hukum adat., sebagaimana yang telah ditumbuhkan oleh/dalam jurisprudensi turut memanfaatkan Aturan Peralihan Pasal II UUD 1945”.12 Yang melatarbelakangi pembentukan UUDS 1950 berbeda dari 1945. UUDS 1950 tidak dibelatarbelakangi oleh pertumbuhan dalam rangkaian kelanjutan langsung dar gerakan perjuangan rakyat Indonesia sejak puluhan tahun sebelumnya melainkan “ hasil suatu kompromi antara negara-negara bagian dari Republik Negara Indonesia Serikat dengan Republik Indonesia yang diproklamirkan tahun 1945 itu, dibidang hukum, UUDS 1950 mempunyai kehendak yang berbeda dari UUD 1945. Dalam UUDS 1950 menurut Koesnoe13 : “segala sesuatu yang menyangkut persoalan hukum, lebih diutamakan untuk debri bentuk tertulis dan merinci. Disitu faham kodifikasi dan legisme mendapat tempat yang utama. Tidak terlihat dalam Undang-undang Dasar Sementara tersebut ketentuan yang menampilan kedepan segi yang berkenaan dengan kepribadian bangsa didalam urusan hukum”. 12 Mahadi, 2003, Uraian Singkat Hukum Adat sejak RR Tahun 1854, Alumni, Bandung, hlm. 79. Suryaman Mustari Pide, 2007, Dilema Hak Kolektif Eksistensi dan Realitas Sosialnya Pasca UUPA, Pelita Pustaka, Jakarta. Hlm. 27. 13 19 Mengenai bagaimana halnya dengan hukum adat dalam UUDS 1950, Koesnoemerujuk pada pasal-pasal 25, 103, 104. Ketentuan ketiga pasal tersebut, menurut Koesnoe menunjukkan bahwa UUDS 1950 memandang hukum adat pada satu pihak sebagai “hukum golongan”saja, tetapi dipihak lain secara samar-samardapat pula difungsikan sebagai “ hukum yang tidak terbatas pada satu golongan saja”. Sebagai “hukum golongan”, hukum adat akhirnya dileburkedalam hukum yang dikodifikasikan (hukum tertulis). Oleh karena itu, posisi hukum aatberada dibelakang hukum yang tertulis atau yang dikodifikasi yang didalamnya segala sesuatu dirinci segala lengkap. Hukum adat didalam UUDS 1950 menurut Koesno “tidak dihubungkan dengan persoalan yang dibawa oleh sejarah gerakan kebangsaan untuk kemerdekaan , dan tidak pula dibawa kepada suatu tingkatan yang lebih dalam”. Yang tercermin dalam UUDS 1950 adalah hukum adat yg diterima menurut pengertian sebelum perang yang ciricirinya sebagai berikut14: a. Hukum kebiasaan suatu golongan penduduk warga negara Indonesia b. Tidak tertulis c. Terbatas dilingkungan kuasa berlakunya atas ruang. 14 Ibid, hal.29. 20 Penerimaan hukum adat yang demikian itu menurut Koesno mempengaruhi perkembangan dalam perundangan dan praktik pengadilan. Terutama faham legisme dan keharusan perumusan yang rapi mengenai hal-hal yang termaksud dalam formil-jurudis., dalam praktik sangat jelas pengaruhnya pada usaha petugas hukum untuk menemukan putusan-putusan yang sesuai dengan ukuran ajaran tersebut.demikian pula, sangat besarnya pengaruh jiwa yang melatarbelakangi UUDS 1950 bagi pemikiran pembaruan tata hukum nasioanal pada masa itu. Hukum Adat, yang diantar masuk ke zaman RI oleh pasal II Aturan Peralihan UUD 1945, sejak Januari 1920 telah mengalami perkembangan, yang antara lain, terdiri dari unsur-unsur 15: a. Teori resepsi b. Kecenderungan menciut c. Kecenderungan mencari/menimbulkan asas-asas d. Unsur lain. Mengenai Pasal 131 ayat (2) sub b IS ini, harus dikemukakan dua hal, Pertama, ketentuan tersebut adalah suatu pasal kodifikasi (codificatie-artikel), yaitu ketentuan tersebut memuat suatu tugas kepada pembuat undang-undang – menurut IS : pembuat ordonansi – untuk mengadakan suatu kodifikasi hukum privat bagi golongan hukum Indonesia asli dan golongan hukum timur asing. Hal kedua, selama 15 Mahadi, 2003, Uraian Singkat Hukum Adat sejak RR Tahun 1854, Alumni, Bandung, hlm. 82. 21 redaksi 131 ayat (2) sub b IS ini berlaku, redaksi ini berlaku sejak tanggal 1920. Pasal 131 IS itu ditujukan kepada pembuat undangundang dan tidak tidak ditujukan kepada hakim, yaitu memuat tugas kepada pembuat undang-undang dan tidak memuat tugas kepada hakim.16 B. TANAH 1. Pengertian Tanah Tanah merupakan tempat manusia menjalankan aktivitas dan menjalani kehidupan keseharian. Semenjak jaman dahulu, tanah kerap menjadi objek yang menarik untuk dikaji dari waktu-kewaktu. Tidak dipungkiri, tanah memiliki posisi strategis, baik bagi perorangan (individu), badan, maupun negara, sehingga pada saat tertentu, terkadang memunculkan konflik kepentingan antara satu individu, dengan individu lainnya. Sehubungan dengan hal ini, maka perlu untuk ditetapkan aturan yang jelas mengenai status penguasaan dan pemanfaatannya. Sebutan Agraria tidak selalu dipakai dalam arti yang sama. Dalam bahasa latin agerberarti tanah atau sebidang tanah. Agrarius berarti perladangan, persawahan, dan pertanian. Maka sebutan agraria dalam bahasa Inggris agrarian selalu diartikan tanahdan dihubungkan dengan usaha pertanian. Sebutan agrarian laws bahkan seringkalidigunakan untuk menunjuk kepada perangkat peraturan-peraturan hukum yang 16 Bushar Muhammad, 2006, asas-asas Hukum Adat, Pradnya Paramita, Jakarta, hlm. 34. 22 bertujuan mengadakan pembagian tanah-tanah yang luas dalam rangkalebih meratakan penguasaan dan pemiliknya. Biarpun tidak dinyatakan dengan tegas, tetapi apa yang tercantum dalam konsideran dan penjelasannya, dapatlah disimpulkan bahwa pengertian agraria dan hukum agraria dalam UUPA dipakai dalam arti yang sangat luas. Pengertian agraria meliputi bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya. Dalam batas-batas seperti yang ditentukan dalam Pasal 48, bahkan meliputi juga ruang angkasa. Yaitu bumi dan air yang mengandung : tenaga dan unsur-unsur yang dapat digunakan untuk usaha-usaha memelihara dan memperkembangkan kesuburan bumi, air serta kekayaan alam yang terkandung didalamnya dan hal-hal lainnya yang bersangkutan dengan itu. Sebutan tanah dalam bahasa Indonesia dapat dipakai dalam berbagai arti, maka dalam penggunaannyaperlu diberi batasan, agar diketahui dalam arti apa istilah tersebut digunakan. Dalam hukum tanah kata sebutan “tanah” dipakai dalam arti yuridis, sebagai suatu pengertian yang telah diberi batasan resmi oleh UUPA. Pengertian tanah diatur dalam Pasal 4 UUPA dinyatakan bahwa atas dasar hak menguasai dari negara sebagai yang dimaksud dalam pasal 2 ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh 23 orang-orang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain serta badan-badan hukum.17 Dengan demikian jelaslah, bahwa tanah dalam pengertian yuridis adalah permukaan bumidan hak atas tanah adalah hak atas sebagian tertentu permukaan bumi, yang berbatas, berdimensi dua dengan ukuran panjang dan lebar.18Tanah diberikan dan dimanfaatkan oleh orang dengan hak-hak yang disediakan oleh UUPA, adalah untuk digunakan dan dimanfaatkan. Penggunaan tubuh bumi harus langsung ada hubungannya dengan gedung yang dibangun diatas tanah yang bersangkutan. Misalnya untuk pemancangan tiang-tiang pondasiuntuk basement, ruang parkir dan lain-lain keperluan yang langsung berhubungan dengan pembangunan dan penggunaan gedung yang dibangun. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia(1994) tanah adalah : a. Permukaan bumi atau lapisan bumi yang diatas sekali; b. Keadaan bumi disuatu tempat; c. Permukaan bumi yang diberi batas; d. Bahan-bahan dari bumi, bumi sebagai bahan sesuatu (pasir, cadas, napal dan sebagainya). 17 Pasal 4Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria Supriadi , 2006, Hukum Agraria, Sinar Grafika, Jakarta. hlm. 3. 18 24 Dengan demikian yang dipunyai dengan hak atas tanah itu adalah tanahnya, dalam arti sebagian tertentu dari permukaan bumi.Tetapi wewenang menggunakan yang bersumber pada hak tersebut diperluas hingga meliputi juga “sebagian tubuh bumi yang ada dibawahnya dan air serta ruang yang ada diatasnya”.19 2. Pendaftaran Tanah Sejak berlakunya Undang-undang No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pertanahan disebut juga Peraturan Dasar PokokPokok Agraria, perihal pendaftaran tanah merupakan fokus proritas perhatian bagi pemerintah untuk dilaksanakan segera. Latar belakang besarnya perhatian pemerintah dalam hal pendaftaran tanah ini selaras dengan makna didalam pasal 19 ayat 1 UUPA , yang menyebutkan bahwa untuk menjamin adanya kepastian hukum dan kepastian hak atas tanah, maka oleh pemerintah diadakan pendaftaran tanah.20Dengan adanya pendaftaran tanah tersebut seseorang dapat dengan mudah memperoleh keterangan berkenaan dengan sebidang tanah, seperti hak apa yang dipunyai, berapa luas lokasi tanah, apakah dibebani hak tanggungan. Sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun1997 bahwa defenisi pendaftaran tanah adalah suatu rangkaian kegiatan yang dilakukanoleh Pemerintah secara terus 19 Ibid, hal. 18. Suryaman Mustari Pide, 2009, Quo Vadis Pendaftaran Tanah, PUKAP, Indonesia. Hlm. 1. 20 25 menerus, berkesinambungan dan teratur, meliputi 6 (enam) hal, yaitu pengumpulan, pengolahan, pembukuan dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis dalam bentuk peta dan daftar mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun, termasuk pemberian surat tanda bukti haknya bagi bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya dan hak milik atas satuan rumah susun serta hak-hak tertentu yang membebaninya.21Defenisi tersebut di atas merupakan penyempurnaan dari ruang lingkup kegiatan pendaftaran tanah berdasarkan Pasal 19 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 10 tahun 1961 yang hanya meliputi : pengukuran, perpetaan dan pembukuan tanah, pendaftaran dan peralihan hak atas tanah serta pemberian tanda bukti hak sebagai alat pembuktian yang kuat. Prof. Boedi Harsono memberikan pengertian bahwa pendaftaran tanah adalah suatu Negara/Pemerintah rangkian secara kegiatan, yang dilakukan terus-menerus dan teratur, oleh berupa pengumpulan keterangan atau data tertentu mengenai tanah-tanah tertentu diwilayah-wilayah tertentu, pengolahan, penyimpanan dan penyajiannya bagi kepentingan rakyat, dalam rangka memberikan jaminan kepastian hukum dibidang pertanahan termaksud penerbitan tanda buktinya dan pemeliharaannya.22 21 Indonesia, Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, Pasal 1 Ayat (1)(Yogyakarta:Pustaka Yustisia), hal. 227 22 Boedi Harsono, Loc. Cit, hal 72. 26 Selain memperluas ruang lingkup pendaftaran tanah, Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997juga memperluas tujuan pendaftaran tanah yang mana juga memperkenalkan prinsip-prinsip berupa asas, minimal lima asas dalam pelaksanaannya, yaitu asas sederhana, aman, terjangkau, mutakhir dan terbuka. Secara garis besar, aspek hukum yang terkandung dalam pelaksanaan pendaftaran tanah di dalamnya dapat dilihat dari cara pendaftaran tanah, misalnya seperti pendaftaran tanah dilakukan secara sistematik dan pendaftaran tanah secara sporadik.23Pendaftaran tanah secara sistematis merupakan kegiatan pendaftaran tanah untukpertama kali yang dilakukan secara serentak yang meliputi semua obyek pendaftaran tanah yang belum didaftar dalam suatu wilayah atau bagian wilayah suatu desa/kelurahan.Pendaftaran tanah secara sporadik sendiri merupakan kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali mengenai satu beberapa obyek pendaftaran tanah dalam wilayah atau bagian wilayah suatu desa/kelurahan secara individual atau massal. Secara yuridis-teknis, pendaftaran tanah juga terdiri dari pendaftaran tanah untuk pertama kali dan pemeliharaan data pendaftaran tanah. Pendaftaran tanah pertama kali adalah kegiatan pendaftaran tanah yang dilakukan terhadap obyek pendaftaran tanah yangbelum terdaftar. 23 Pasal 11 Ayat 2 Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. 27 Seperti diketahui bahwa pendaftaran tanah adalah bertujuan untuk memperolehsuatu bentuk kepastian hukum dan kepastian hak bagi pemegang hak-hak atas tanah. Dengan adanya pendaftaran tanah diharapkan bahwa seseorang pemegang hak atas tanah akan merasa aman dan tidak ada gangguan hak atas tanah yang dipunyainya atas sebidang tanah. Maka dalm hal ini diperlukan sistem-sistem pelaksanaan pendaftaran tanah yang dipergunakan atau dianut oleh suatu negara. Dari beberapa sistem pendaftaran tanah itu antara lain24 : a) Pendaftaran tanah sistem torrens b) Pendaftaran tanah sistem negatif c) Pendaftaran tanah dengan sistem positif Untuk menjamin kepastian hukum dan kepastian hak atas tanah di Indonesia, kepada pemerintah diwajibkan untuk menyelenggarakan pendaftaran tanah diseluruh wilayah indonesia.demikian ketentuan yang termaksud dalam Pasal 19 ayat 1 Undang-undang Nomor 5 tahun 1960 tentang UUPA merupakan dasar hukum dalam pendaftran tanah. C. TANAH ADAT Sebagai norma, hukum adalah setiap kesepakatan antara dua atau lebih manusia tentang apa yang boleh, wajib atau dilarang 24 Suryaman Mustari Pide, 2009, Quo Vadis Pendaftaran Tanah, PUKAP, Indonesia. Hlm.14. 28 dilakukan di antara mereka serta padahan yang ditimpakan secara nyata kepada orang yang melanggarnya (punya sanksi Hukum). Tanah adalah bagian dari permukaan bumi dengan batas-batas tertentu. Tanah itu dapat barupa daratan, lautan, sungai, danau, bukit, gunung. Pentingnya Tanah Dalam Hukum Adat merupakan kekayaan persekutuan hukum yang adat, bersifat Sarana tetap, karena Tanah Tempat memenuhi berdirinya kebutuhan hidup persekutuan dan warganya (tempat tinggal, sawah, ladang, tambak, dsb.), Tempat dikebumikannya warga persekutuan yang meninggal, Alat pemersatu persekutuan, Tempat bermukimnya roh-roh leluhur dan pelindung persekutuan. Tanah mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam hukum adat karena merupakan satu-satunya benda kekayaan meskipun mengalami keadaan sebagaimanapun akan tetap dalam keadaan semula, malah terkadang tidak menguntungkan bila dipandang dari segi ekonomis. Kecuali itu adalah suatu kenyataan, bahwa tanah merupakan tempat tinggal keluarga dan masyarakat, tempat pencaharian, tempat penguburan, bahwa menurut kepercayaan mereka adalah tempat tinggal dayang-dayang pelindung persekutuan dan leluhur persekutuandidalam hukum adat, masyarakat hukum adat merupakan satu kesatuan dengan tanah yang didudukinya, terdapat hubungan yang erat sekali, hubungan yang bersumber pada pandangan yang bersifat religio-magis, hubungan ini menyebabkan 29 masyarakat hukum memperoleh hak untuk menguasai tanah tersebut, memanfaatkannya, memungut hasil dari tumbuh-tumbuhan yang hidup diatas tanah juga berburu terhadap binatang-binatang yang terdapat pada tanah. Ada dua hal yang menyebabkan tanah itu memiliki kedudukan yang sangat penting didalam hukum adat, yaitu disebabkan25 : a. Karena sifatnya Yakni merupakan satu-satunya benda kekayaan yang meskipun mengalami keadaan yang bagaimanapun juga akan tetapi tokoh akan masih bersifat tetap dalam keadaanyabahkan kadangkadang malahan malah lebih menguntungkan. b. Karena faktanya Yaitu kenyataannya bahwa tanah itu adalah : 1) Merupakan tempat tinggal persekutuan (masyarakat). 2) Memberikan penghidupan kepada persekutuan (masyarakat). 3) Merupakan tempat dimana para warga persekutuan (masyarakat) yang meninggal dunia dikuburkan. 4) Merupakan pula tempat tinggal bagi danyang-danyang pelindung persekutuan (masyarakat) dan roh-roh para leluhur persekutuan (masyarakat). 25 Tolib Setiady, 2009, Intisari Hukum Indonesia dalam Kajian Kepustakaan, Alafabeta, Bandung. hlm. 311. 30 Di Indonesia,hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat dimana sendi-sendi dalam hukum tersebutberasal dari masyarakat hukum adat setempat, sepanjang tidak betentangan dengan kepentingan nasional, dan negara yang berdasarkan persatuan bangsa dan sosialisme Indonesia. Dengan demikian menurut B.F.Sihombing, hukum tanah adat adalah kepemilikan dan penguasaan sebidang tanah yang hidup dalam masyarakat adat pada masa lampau dan masa kini serta ada yang tidak mempunyai bukti-bukti kepemilikan secara autentik atau tertulis, kemudian pula ada yang didasarkan atas pengakuan dan tidak tertulis. adapuntanah adat di bagi menjadi dua, yaitu26 : 1. Hukum Tanah Adat Masa Lalu tanah hukum adat masa lampau adalah tanah-tanah yang dimiliki dan dikuasai oleh seseorang dan atau sekelompok masyarakat adat yang memiliki dan menguasai serta menggarap, mengerjakan secara tetap maupun berpindah-pindah sesuai dengan daerah, suku dan budaya hukumya, kemudian secara turun-temurun masih berada didaerah lokasi tersebut, dan atau mempunyai tanda-tanda fisik berupa sawah, ladang. Hutan dan simbol-silbol berupa makam, patung, rumah-rumah adat, dan bahasa daerah sesuai daerah yang ada di negara republik Indonesia. 26 Supriadi , 2006, Hukum Agraria, Sinar Grafika, Jakarta. hlm. 9. 31 2. Hukum Tanah Adat Masa Kini Ciri-ciri tanah hukum adat masa kini adalah tanah-tanah yang dimiliki seseorang atau sekelompok masyarakat adat dan didaerah masyarakat pedesaan maupun dikawasan perkotaan, sesuai dengan daerah suku dan budaya hukumnya kemudian secara turun-temurun atau telah berpindah tangan kepada orang lain dan mempunyai bukti-bkti kepemilikan serta secara fisik dimiliki atau dikuasai sendiri dan atau dikuasai orang/badan hukum. Ebenezer Acquaye mengingatkan bahwa, dalam mengkaji masalah kepemilikan hak tanah adat akan didapatkan perbedaan pemahaman, mengingat setiap kelompok masyarakat adat sendiri memiliki penafsiran yang berbeda berkenaan dengan sistem kepemilikan tanah ini. Meskipun demikian, secara konseptual teoritik, beberapa atribut yang biasanya dijumpai dalam customary tenurial systems berikut ini bisa dijadikan panduan untuk mulai memahaminya. 1. Hak kepemilikan tanah masyarakat adat pada kenyataannya merupakan kepemilikan dalam hukum yang tidak tertulis yang diketahui dan dilegitimasi oleh kelompok mereka, tidak ada jaminan mutlak dari pemerintah. 2. Dalam kepemilikan tanah adat, sering ditemukan adanya unsurunsur kepercayaan, mistis, dan kepercayaan keagamaan, 32 3. Dibawah ketentuan tanah adat, hak tertinggi penguasaan tanah biasanya dikuasai oleh kelompok sosial, seperti suku, desa, klan, kerabat, atau keluarga. 4. Dalam prakteknya penguasaan hak atas tanah dikuasakan kepada pemimpin kelompok yang dituakan dan bertindak atas nama kelompok masyarakat adat yang lebih rendah posisinya. 5. Terdapatnya hak-hak khusus yang ada di dalam ketentuan hukum adat bagi anggota kelompoknya, seperti hak khusus untuk pemimpin kelompok, dan anggota kelompok tertentu. 6. Hak-hak individual dapat diturunkan berdasarkan dua hal, yaitu (a) individu tersebut merupakan anggota kelompok masyarakat adat, (b) akuisisi yang diperoleh dari kelompok masyarakat adat dari kelompok masyarakat adat lainnya. 7. Hak individual untuk memanfaatkan tanah bisa dikembalikan kepada kelompok yang lebih besar jika terjadi penolakkan oleh anggota kelompok/masyarakat adat lainnya, atau sehubungan dengan habisnya waktu hak penguasaan yang diberikan kepada seseorang dari anggota kelompok, atau berdasarkan adanya keputusan masyarakat adat yang baru. 8. Penegasan atas hak absolut hak atas tanah di bawah ketentuan hukum adat tidak dapat dialihkan, dan atau perlu adanya klarifikasi sejauh adanya bukti historis atas penguasaan tanah 33 oleh kelompok masyarakat adat tersebut, atau secara tegas ditentukan berdasarkan ketentuan hukum yang dikodifikasikan. D. Hak Ulayat Bagi warga masyarakat Indonesia, hak ulayat telah lama dikenal, walaupun dengan penanaman yang berbeda-beda.yang kemungkinan juga peraturannya agak berbeda pada masyarakat adat yang satu dengan yang lainnya. Membahas mengenai hak ulayat berarti membicarakan dalam dua makna, yaitu disatu pihak makna yang telah lama dikenal dalam masyarakat adat dan makna yang lain yang diperkenalkan oleh Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria. Salah satu bentuk kekayaan material dari suatu masyarakat hukum atau persekutuan hukum adat menurut defenisi Ter Haar dan para ilmuan hukum adat sebagaimana telah dibahas sebelumnya. Itulah sebabnya, sehingga hak kolektif atas tanah dari suatu masyarakat hukumatau persekutuan hukum adat diminangkabau disebut ulayat. Tekhnis hukum adatnya yang diperkenalkan oleh Van Vollenhoven pada tahun 1909 adalah beschikkingsrecht. Istilah teknis inilah yang diterjemahkan tidak secara leksikal menjadi “hak kolektif masyarakat hukum atau persekutuan adat atas tanah”.27 27 Suryaman Mustari Pide, 2007, Dilema Hak Kolektif Eksistensi dan Realitas Sosialnya Pasca UUPA, Pelita Pustaka, Jakarta. Hlm. 96. 34 Pertimbangan atas pemakaian istilah beschikkingsrechtmemang merupakan hak ini adalah kolektif, karena bukan hak individual warga suatu masyarakat hukum atau persekutuan hukum. Tidak digunkannya nomenklatur hak ulayat karena ulayat hanyalah salah satu istilah lokal yang diadopsi dalam Pasal 3 UUPA dan umumnya dipersepsi secara keliru oleh warga masyarakat disamping sejumlah lainnya didaerah yang berbeda-beda.untuk sekian banyaknya nomenklatur yang berbeda itu, Pasal 3 UUPA menambah dengan anak kalimat “hak-hak yang serupa itu” dibelakang “hak ulayat”. Perubahan pada pasal 3 pada hakikatnya menunjukkan banyaknya nama untuk hal yang samadengan hak ulayat, sehingga dijadikan kelengkapan pertimbangan untuk menggunakan nama “hak kolektif masyarakat” tersebut, meskipun lebih menekankan pada aspek haknya yang jelas bersifat publiekrechtelijk(menurut sistem hukum adat). Sifat publiekrechtelijkdari hak kolektif masyarakat tersebut dapat dipahami dari Van Vollenhoven yang menyatakan bahwa 28: “beschikkingsrechtadalah suatu hak yang sudah sangat tua, terdapat diseluruh indonesia yang asal mulanya bersifat keagamaan. Hak ini dipunyaioleh suatu suku (stam) atau sebuah gabungan desa (dorpenbond) atau sebuah desa saja (atau tidak dipunyai oleh seorang individu). Dengan adanya pengakuan keberadaan hak pemilikan atas tanah (hak ulayat) dan masyarakat hukum adat mulai diperhatikan setelah dikeluarkan dan diberlakukannya UUPA. Berdasarkan Pasal 3 UUPA 28 Ibid.hal.97. 35 disebutkan “Dengan mengingat ketentuan-ketentuan Pasal 1 dan 2, pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, sesuai dengan kepentingan nasional dan negara, berdasarkan atas persatuan bangsa dan tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi”.29 Menurut Boedi Harsono, yang dimaksud dengan hak ulayat masyarakat hukum adat adalah serangkaian wewenang dan kewajiban suatu masyarakat hukum adat, yang berhubungan dengan tanah yang terletak dalam lingkungan wilayahnya.30 Salah satu peraturan yang sangat jelas mengenai keberadaan tanah ulayat adalah Peraturan Meneg Agraria/Kepala BPN No 5 tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat. pada Pasal 1 disebutkan: ”hak ulayat” adalah kewenangan yang menurut hukum adat dipunyai oleh masyarakat hukum adat tertentu atas wilayah tertentu yang merupakan lingkungan hidup para warganya untuk mengambil manfaat dari sumber daya alam, termasuk tanah, dalam wilayah tersebut, bagi kelangsungan hidup dan kehidupannya, yang timbul dari hubungan secara lahiriah dan batiniah 29 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria. Boedi Harsono – I, Op.cit.,hlm. 185 30 36 turun menurun dan tidak terputus antara masyarakat hukum adat tersebut dengan wilayah yang bersangkutan.31 Salah satu lingkup hak ulayat adalah tanah, yang disebut tanah ulayat. Tanah ayat menurut pasal 1 dan 2 Permen Agraria/Kepala BPN No. 5 Tahun 1999, adalah bidang tanah yang diatasnya terdapat hak ulayat dari masyarakat hukum adat tertentu. Hak ulayat dikelola oleh masyarakat hukum adat, yaitu sekelompok orang yang terikat oleh tatanan hukum karena kesamaan tempat tinggal ataupun atas dasar keturunan (Pasal 1 angka 3 Permen Agraria/Kepala BPN No. 5 Tahun 1999). Adapun yang menjadi objek hak ulayat meliputi:Tanah (daratan), Air (perairan) seperti misanya kali, danau, pantai beserta perairannya, Tumbuh-tumbuhan yang hidup secara liar (pohon buah-buahan, pohonpohon untuk kayu petukangan atau kayu bakardan lain sebagainya), Binatang-binatang yang hidup diatas LINGKUNGAN ULAYAT (hidup liar, bebas dalam hutan).32 Hak ulayat masyarakat hukum adat dianggap masih ada menurut Pasal 2 Permen Agraria/Kepala BPN No. 5 Tahun 1999, jika 33: a. Terdapat sekelompok orang yang masih terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu hukum tertentu, 31 Peraturan Meneg Agraria/Kepala BPN No 5 tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat. 32 Tolib Setiady, 2009, Intisari Hukum Indonesia dalam Kajian Kepustakaan, Alafabeta, Bandung. hlm. 316. 33 Urip Santoso, 2012, Hukum Agraria Kajian Komprehensif, Prenada Media Group, Kencana. Hlm. 82. 37 yang mengakui dan menerapkan ketentuan-ketentuan persekutuan tersebut dalam kehidupannya sehari-hari. b. Terdapat tanah ulayat tertentu yang menjadi lingkungan hidup para warga persekutuan hukum tersebut dan tempatnya mengambil keperluan hidupnya sehari-hari; dan c. Terdapat tatanan hukum adat menegani pengurusan, penguasaan dan penggunaan tanah ulayat yang berlaku dan ditaati oleh para warga persekutuan hukum tersebut. Selain itu UUPA menghormati keberadaan hukum adat , oleh karenanya, terdapat ‘bhineka tunggal ika’ di dalam hukum agraria nasional, hal mana ditandai dengan adanya pluralisma hukum di dalam hukum agraria Indonesia. E. Tanah Negara Tanah dalam pengertian yuridis adalah permukaan bumi sedangkan hak atas tanah adalah hak atas sebagian tertentu permukaan bumi, yang berbatas, berdimensi dua dengan ukuran panjang dan lebar. Menurut Roger H. Soltau. Negara adalah alat (agency) atau wewenang (authority) yang mengatatur dan mengandalikan persoalan-persoalan bersama atas nama masyarakat .34 34 Supriyadi, S.H., M.Hum, 2010, Aspek Hukum Tanah Aset Daerah, Prestsi Pustaka, Jakarta. hlm. 77. 38 Dalam Pasal 1 ayat (3) menyatakan bahwa bahwa Tanah negara atau tanah yang dikuasai langsung oleh negara adalah tanah yang tidak dipunyai dengan sesuatu hak atas tanah.35 Istilah tanah negara yang populer saat ini berasal dari peninggalan pemerintahan jajahan hindia belanda yang menganggap tanah milik “pemerintah belanda”, sehingga pada waktu itu semua tanah menjadi tanah negara. Keputusan pemerintahan jajahan hindia belanda tersebut tertuang dalam sebuh peraturan pada masa itu, yang diberi nama keputusan Agraria atau “ Agrarische Blesluit”. Menurut Dirman, tanah-tanah negara dapat dibagi atas dua bagian yaitu 36: a. Tanah negara yang bebas (Virj Staatsdomein) artinya tanah negarayang tidak terikat dengan hak-hak bangsa Indonesia. b. Tanah negara yang tidak bebas, (Onvirj Staatsdoemein) artinya tanah negara yang terikat dengan hak-hak bangsa In donesia. Pada tahun 1953 pemerintah mengeluarkan perturan pertama yang mengatur tanah negara, yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1953 L.N. 1953 Nomor 14 tentang penguasaan tanah-tanah negara, dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan tanah negara yang dikuasai penuh oleh negara, kecuali dengan penguasaan atas tanah 35 Pasal 1 Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Supriadi , 2006, Hukum Agraria, Sinar Grafika, Jakarta. hlm. 21. 36 39 negara dengan undang-undang atau peraturan lain pada waktu berlakunya peraturan pemerintah ini telah diserahkan kepada suatu kementrian, jawatan atau daerah swantara maka penguasaan tanah negara ada pada mentri dalam negeri. Hak menguasai negara atas tanah bersumber pada hak bangsa Indonesia atas tanah, yang hakikatnya merupakan penugasan pelaksanaan tugas kewenangan bangsa yang mengandung unsur hukum publik.tugas mengelola seluruh tanah bersama tidak mungkin dilaksanakan oleh seluruh bangsa indonesia, maka dalam penyelenggaraannya , bangsa indonesia sebagai pemegang hak dan pengembang amanat tersebut, pada tingkatan tertinggi dilaksanakan kepada negara indonesia sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat (Pasal 2 ayat (1) UUPA). Isi wewenang hak menguasai negara atas tanah sebagaimana dimuat dalam Pasal 2 ayat 2 UUPA adalah37 : 1) Mengatur dan menyelanggarakan peruntukkan, penggunaan, persediaan, dan pemeliharaan tanah. Termaksud dalam wewenang ini adalah : a. Membuat suatu rencana umum mengenai , penggunaan, persediaan, dan pemeliharaan tanah untuk berbagai keperluan 37 Urip Santoso, 2012, Hukum Agraria Kajian Komprehensif, Prenada Media Group, Kencana. Hlm. 79. 40 b. Mewajibkan memelihara kepada pemegang tanah,termaksud hak atas tanah menambah kesuburan untuk dan mencegah kerusakannya (Pasal 15 UUPA). 2) Menentukan dan mengatur hubungan hukum antara orang-orang dengan tanah. Termaksud dalam wewenang ini : a. Menentukan hak-hak atas tanah yang bisa diberikan atas warga negara indonesia baik sendiri-sendiri maupun bersamasam dengan orang lain, atau kepada badan hukum.. b. Menetapkan dan mengatur menegnai pembatasan jumlah bidang dan jumlah tanah yang dapat dimiliki oleh seseorang atau badan hukum (Pasal 16 UUPA). 3) Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan hukum yang mengenai tanah. Termaksud dalm wewenang ini adalah : a. Mengatur pelaksanaan pendaftaran tanah diseluruh wilayah republik Indonesia. b. Mengatur pelaksanaan peralihan hak atas tanah c. Mengatur penyelesaian sengketa-sengketa pertanahan baik yang bersifat perdatamaupun tata usaha negara, dengan mengutamakan cara musyawarah untuk mencapai kesepakatan. Tujuan hak menguasai negara atas tanah dimuat dalam Pasal 2 ayat 3 UUPA, yaitu untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat, 41 dalam arti kebahagiaan, kesejahtraan, dan kemerdekaan dalam masyarakatdan negara hukum Indonesia yang merdeka, berdaulat adil dan makmur. Pelaksanaan hak menguasai negara atas tanah dapat dikuasakan atau dilimpahkan kepada daerah-daerah swantantra (Pemerintah Daerah) dan masyarakat hukum adat, sekedar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional menurut kepentingankepentinag pemerintah (Pasal 2 ayat 4 UUPA). Pelimpahan pelaksanaan sebagian kewenangan negara tersebut dapat juga diberikan kepada otorota, perusahaan negara, dan perusahaan daerah dan pemberian penguasaan tanah-tanah tertentu dengan hak pengelolaan (HPL). F. PENGUASAAN DAN PEMANFAATAN TANAH Pengertian “penguasaan” dan “menguasai”dapat dipakai dalam arti fisik, juga dalam arti yuridis. Juga beraspek perdata dan beraspek publik.38 Penguasaan yuridis dilandasi hak yang dilindungi oleh hukum dan umumnya memberi kewenangan kepada pemegang hak untuk menguasai secara fisik tanah yang dihaki akan tetapi juga ada juga penguasaan yuridis yang biarpun memberi kewenangan untuk menguasai tanah yang dihaki secara fisik. Pada kenyataanya 38 Boedi Harsono, 2007, Hukum Agraria Indonesia sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, isi dan Pelaksanaannya, jld 1, Djambatan, Jakarta. hlm. 23. 42 penguasaan fisiknya dilakukan pihak lain. Misalnya kalau tanah yang dimiliki disewakan kepada pihak lain dan penyewa menguasai secara fisik. Atau tanah tersebut dikuasai secara fisik oleh pihak lain tanpa hak.39 Dalam hal ini pemilik tanah berdasarkan hak penguasaan yuridisnya, berhak untuk menuntut diserahkannya kembali tanah yang bersangkutan secara fisik kepadanya. Menguasai dan menggunakan tanah secara individual berarti bahwa tanah yang bersangkutan boleh dikuasai secara perorangan. Tidak ada keharusan menguasainya bersama-sama dengan orangorang lain secara kolektif, biarpun menguasai dan meggunakan tanahsecara bersama dimungkinkan dan diperbolehkan. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 4 ayat (1)UUPA yang menyatakan bahwa: “ atas dasar menguasai dari negara sebagai hal yang dimaksud dalam Pasal 2, ditentukan bermacam-macam hak diats permukaan bumi yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang, “baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang-orang lain dan badan-badan hukum” menunjukkan bahwa dalam konsepsi hukum tanah nasional, tanah-tanah tersebut dapat dikuasai dan dipergunakan secara individual dan tidak ada keharusan untuk menguasai dan menggunakannya secara kolektif”. Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. UUPA menegaskan bahwa “dikuasai” oleh negara 39 Ibid, hal. 23. 43 bukanlah berarti bahwa negara bertindak sebagai pemilik tanah, akan tetapi lebih tetap bila dirtikan sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat (bangsa), bertindak selaku penguasa. Aturan dasar dalam konstitusi menyangkut pengelolaan sumber daya alam tersebut termaksud dalam penegertian “dikuasai oleh negara” tersebut kemudian dijabarkan dalam UUPA. Pasal 2 ayat (1) UUPA ditentukan : Atas dasar ketentuan dalam pasal 33 ayat (3) UUD dalam hal-hal sebagai yang dimaksud dalam pasal 1, bumi, air dan ruang angkasa, termaksud kekayaan alam yang terkandung didalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh negara, sebagai organisasi seluruh rakyat Indonesia. Selanjutnya pada ayat 2 diuraikan bahwa hak menguasai dari negara termaksud dalam ayat 1pasal ini memberi wewenang untuk : a. Mengatur dan menyelanggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut. b. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa. c. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa. 44 Dalam penjelasan UUPA dijelaskan bhwa pengertian “dikuasai” bukan berarti “dimiliki” akan tetapi pengertian yang memberi wewenang kepada negara sebagai organisasi kekuasaandari bangsa Indonesia untuk melakukan wewenang sebagaimana disebutkan dalam Pasal 2 ayat (2) tersebut. Penyebutan Agrariadalam arti yang demikian luasnya, maka dalam pengertian UUPA Hukum Agraria bukan hanya merupakan satu perangkat bidang hukum. Hukum agraria merupakan suatu kelompok berbagai bidang hukum, yang masing-masing mengatur hak-hak penguasaan atas sumber-sumber daya alam tertentu yang termaksud pengertian agraia. Kelompok tersebut terdiri atas 40: a. Hukum tanah, yang mengatur hak-hak penguasaan atas tanah,dalam arti permukaan bumi ; b. Hukum Air, yang mengatur hak-hak penguasaan atas air; c. Hukum pertambangan, yang mengatur hak-hak penguasaan atas bahan galian yang dimaksudkan dalam UU pokok pertambangan; d. Hukum perikanan yang mengatur hak-hak penguasaan atas kekayaan alam yang terkandung didalam air; e. Hukum penguasaan atas tenaga dan unsur-unsur dalam ruang angkasa. 40 Boedi Harsono, 2007, Hukum Agraria Indonesia sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, isi dan Pelaksanaannya, jld 1, Djambatan, Jakarta. hlm. 8. 45 Berdasarkan Pasal 16 UUPA , sistem penguasaan tanah di Indonesia mengakui adanya berbagai hak berikut : 1. Hak milik Hak milik menurut pasal 20 ayat 1 UUPA adalah hak turun temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipenuhi orang atas tanah dengan mengingat ketentuan pasal 6. Hak milik atas tanah dapat dipunyai oleh perseorangan warga Indonesia atau badab-badab hukum yang ditunjuk oleh pemerintah. 2. Hak guna usaha Hak guna usaha menurut pasal 28 ayat 1UUPA, yang dimaksud dengan hak guna usaha adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh negara, Jangka waktu HGU yang pertama kali paling lama 35 tahun, dan dapat diperpanjang paling lama 25 tahun. dalam jangka waktu sebagaimana tersebut dalam pasal 29, guna perusahaan pertanian, perikanan dan peternakan. Adapun subjek HGU menurut pasal 30 UUPA jo. Pasal 2 PP No. 40 Tahun 1996 adalah a. Warga negara Indonesia b. Badan Hukum yang didiriakan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia. Bagi pemegang HGU yang tidak memenuhi sebagai subjek , maka dalam jangka waktu 1 tahun wajib melepaskan atau 46 mengalihkan tanahnya kepada pihak lain yang memenuhi syarat. Kalau hal ini tidak dilakukan, maka HGU hapus karena hukum dan tanahnya menjadi tanah negara.41 3. Hak guna bangunan Hak guna bangunan menurut pasal 35 UUPA adalah hak untuk mendirikan dan memiliki bangunan diatas tanah yang dimiliki oleh pihak lain untuk jangka waktu maksimum 30 tahun dan dapat diperpanjang paling lama 20 tahun. Suatu hak guna bangunan dapat dipindahkan kepada pihak lain. Kepemilikan hak guna bangunan juga hanya bisa didapatkan oleh warga negara Indonesia dan perusahaan yang didirikan dibawah hukum Indonesia yang berdomisili di Indonesia. 4. Hak pakai Hak pakai menurut Pasal 41 ayat 1 UUPA adalah hak untuk menggunakan, dan/atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh negara atau tanah yang dimiliki oleh individu lain, yang memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang memberikannya atau dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya, yang bukan perjanjian sewa-menyewa atau perjanjian pengolahan tanah, segala sesutu asal tidak bertentangan jiwa dan ketentuan UUPA. Hak pakai tidak 41 Urip Santoso,2010, Hukum Agraria & Hak-hak Atas Tanah, Kencana. Jakarta. Hlm.99. 47 menentukan secara tegas berapa lama jangka waktunya. Adapun subjek dari hak pakai menurut Pasal 42 UUPA adalah: a. Warga Negara Indonesia b. Orang asing yang berkedudukan diindonesia c. Badan hukum yang didirkan menurut hukum Indonesia d. Badan hukum asing yang mempunyai perwalian di Indonesia. 5. Hak sewa untuk bangunan Hak sewa untuk bangunan menurut pasal 44 ayat1 UUPA adalah hak yang dimiliki seseorang atau badan hukum untuk mendirikan dan bangunan diatas tanah hak milik orang lain dengan membayar sejumlah uang sewa tertentu dan dalam jangka waktu tertentu yang disepakati oleh pemilik tanah dengan pemegang hak sewa untuk bangunan. 6. Hak untuk membuka tanah dan hak untuk memungut hasil hutan - Hak membuka tanah dan hak memungut -hasil-hutan hanya bisa didapatkan oleh warga negara Indonesia dan diatur oleh Peraturan Pemerintah. 7. Hak tanggungan hak tanggungan tercantum dalam Undang Undang Nomor 4 Tahun 1996 sehubungan dengan kepastian hak atas tanah dan obyek yang berkaitan dengan tanah (Security Title on 48 Land and Land-Related Objects) dalam kasus hipotek UUPA 1960 juga seringkali menyebutkan hak ulayat, meski definisi hak ini tidak terjabarkan secara jelas. Pihak yang mempunyai hak ulayat adalah masyarakat hukum adat sebagai penjelmaan dari seluruh anggotanya bukan orang atau perorangan. Penguasaan atas tanah tidak terlepas dari perlu adanya Tenurial Security yang diartikan sebagai kepastian penguasaan tanah dan segala hasil olahan di atas tanah. Ditinjau dari sudut hukum tanah, tanah diatas mana ada tumbuh-tumbuhannya itu, biarpun memenuhi unsur hutan, penguasaannya diatur oleh hukum tanah. 49 BAB III METODE PENELITIAN A. Lokasi Penelitian Untuk memperoleh data dan informasi yang dibutuhkan dalam penyusunan skripsi ini, maka penulis akan melaksanakan penelitian di Kabupaten MajeneSulawesiBarat , yaitu pada Pemerintah DaerahKabupaten MajeneSulawesi Barat, Masyarakat Adat dan Badan Pertanahan Nasional (BPN). Pemilihan lokasi tersebut didasarkan pada pertimbangan bahwa instansi atau lembaga tersebut adalah instansi atau lembaga yang berhubungan langsung dengan penulisan skirpsi ini. B. Jenis dan Sumber Data 1. Jenis Data Jenis data yang digunakan di dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Adapun jenis data yang dimaksud, adapun sebagai berikut : a. Data Primer Data yang diperoleh secara langsung dari tempat melakukan penelitian,dan hasil yang didapat melalui wawancara dengan pihak-pihak terkait dengan permasalahan tersebut. b. Data Sekunder Data yang diperoleh melalui dari buku, tulisan atau makalahmakalah, dan dokumen-dokumen serta bahan lain yang 50 berhubungan dengan masalah yang penulis angkat dalam penulisan tugas akhir. 2. Sumber Data Data yang diperoleh bersumber dari : a. Penelitian lapangan (Field Research) Yaitu penelitian yang dilakukan secara langsung terhadap objek penelitian yaitu pihak dari Pemerintah DaerahKabupaten Majene, Badan Pertanahan Nasional dan Masyarakat Adat Lima TandeKabupaten MajeneSulawesi Barat. b. Penelitian kepustakaan (Library Research) Yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara mengumpulkan data dari berbagai sumber dan mempelajari buku-buku dan literatur lainnya yang berhubungan dengan masalah yang penulis angkat untuk memperoleh dasar teoritis dalam penulisan tugas akhir. C. Teknik Pengumpulan Data Dalam melakukan penelitian, baik penelitian lapangan maupun penelitian literatur, diperoleh teknik pengumpulan data sebagai berikut: 1. Teknik Wawancara (interview) Yaitu mengumpulkan data secara langsung melalui tanya jawab berdasarkan daftar pertanyaan yang telah disiapkan dan melakukan wawancara tidak terstruktur untuk memperoleh data dan informasi 51 yang diperlukan melalui Pemerintah DaerahKabupaten Majene, Badan Pertanahan Nasional (BPN) dan Masyarakat Adat Lima Tande. 2. Teknik Dokumentasi (Archivel Method) Yaitu suatu teknik pengumpulan data dengan mempergunakan dokumen-dokumen, catatan-catatan, laporan-laporan, dan bahanbahan yang relevan dengan permasalahan yang dibahas. D. Analisis Data Data yang diperoleh dari penelitian akan diolah, kemudian dianalisis secara kualitatif. Data dari hasil analisis tersebut akan disajikan dalam bentuk penyajian secara deskriptif. 52 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian 1. Keadaan Alam dan Lingkungannya Kabupaten Majene merupakan salah satu dari 5 Kabupaten dalam wilayah Sulawesi Barat yang beribukota di kecamatan Banggae dan, terletak dipesisir pantai barat Sulawesi Barat. memanjang dari selatan ke utara dari Kabupaten Mamuju sebagai pusat Ibokota Provinsi Sulawesi Barat, Letak Kabupaten Majene kurang lebih 120 km, dan 392 km kearah selatan terletak kota Makassar yakni ibu kota provinsi Sulawesi Selatan. Secara keseluruhan luas Kabupaten Majene 947,84 km2 yang awalnya tediri dari 4 kecamatan yakni Banggae, Sendana, Pamboang, dan Malunda yang meliputi 35 Desa/Kelurahan. Kemudian pada akhir tahun 2006 kecamatan Banggae dimekarkan menjadi 2 yakni Banggae dan Banggae Timur, Sendana dimekarkan menjadi 3 yakni Sendana, Tammero’do dan Tubo Sendana dan kecamatan Malunda dimekarkan menjadi 2 yakni Malunda dan Ulumanda. Ibukota Kabupaten Majene terletak dikecamatan Banggae dan Banggae Timur dengan luas perkotaan 5.519 km2, berada diposisi selatan Kabupaten Majene, dengan jarak tempuh 3sampai 4 jam dan ibukota Sulawesi Barat, Mamuju. Secara geografis Kabupaten Majene terletak pada posisi 20 28’ 45” sampai dengan 30 38’ 15” lintang selatan dan 1180 45’ 00” bujur timur, 53 dengan berbatasan disebelah utara Kabupaten mamuju, sebelah timur Kabupaten Polewali Mandar,sebelah selatan teluk Mandar dan sebelah barat adalah selat makassar. Klasifikasi kemiringan tanah secara keseluruhan relatif miring, dengan presentasi wilayahyang mengalami erosi besar 3,41% dari luas wilayah Kabupaten, denngan jumlah hari hujan 208 hari. GAMBAR. 1.1 PETA MAJENESULAWESI BARAT 54 Tabel 1.1 Data Desa dan Kelurahan se Kabupaten Majene NO. 1. KECAMATAN Banggae Timur DESA/KELURAHAN 1. Kelurahan Labuang 2. Kelurahan Banga 3. Kelurahan Tande 4. Kelurahan Bautung 5. Kelurahan baruga Dhua 2. Banggae 1. Kelurahan Banggae 2. Kelurahan Tatoli 3. Kelurahan Pangali-ali 4. Kelurahan Baru 3. Pamboang 1. Kelurahan Lalampanua 2. Kelurahan Sirindu 3. Desa Bonde 4. Desa Bababulo 5. Desa Sambang 6. Desa Betteng 7. Adolang 4. Sendana 1. Kelurahan Messo Dhua 2. Kelurahan Mosso 3. Desa Pundau 4. Desa Sendana 55 5. Desa Tallu Banua 6. Desa Puttada 5. Tammerodo’ Sendana 1. Desa Tammerado 2. Desa Midang 3. Seppong 4. Desa Tallambalao 6. Tubo Sendana 1. Desa Onang 2. Desa Tubo 3. Desa Onang Utara 4. Desa Tubo Selatan 7. Ulumandu 1. Desa Ulumandu 2. Desa Kabiraan 3. Desa Tandeallo 4. Desa Sambabo 8. Malunda 1. Kelurahan Malunda 2. Desa Lembang 3. Desa Makatta 4. Desa Lembong 5. Desa Bambangan 6. Desa Maliaja Sumber Data : Kantor Pemerintahan Daerah Kabupaten Majene Meskipun letaknya dipesisir pantai, namun secara umum tanahnya berbukit-bukit. Berdasarkan klasifikasi ketinggian diatas permukaan 56 laut, yang terluas adalah daerah dengan ketinggian antara 100-500 M yaitu 36,285 Ha (38,25%). Menyusul ketinggian 500-1000 M (36,65%), 0-25 m (8,9%) diatas 1000m (8,79%), dan 25-100 m (8,44%). Hasil bumi Kabupaten Majene berupa pangan, sayuran, buahbuahan dan komoditi perdagangan. Tanaman Pangan meliputi padi, jagung, ubi kayu, dan kacang-kacangan. Sayuran berups kol, tomst, csbe, terung, ketimun dan kacang panjang. Buah-buahan meliputi mangga, jeruk, nangka dan durian. Sedangkan komoditi yang perdagangan berupa kelapa, kopi, kakao, cengkeh, lada, jambu mete, kemiri dan vanila. Sesuai dengan letaknya yang dekat dengan pantai serta lahan yang ada, mata pencaharian yang paling banyak masyarakat lakukan dikabupten Majene adalah nelayan, selebihnya bekerja sebagai pedagang, petani, tukang, pegawai negri maupun swasta. 2. Struktur Sosial Masyarakat Seperti halnya daerah lain, dulu di Kabupten Majene juga dikenal struktur sosial masyarakat adat penduduk kabupate Majene yang juga dikenal dengan sebutan orang mandar, struktur masyarakatnya terdiri dari : 1. Todiang Laiyana (keturunan bangsawan) 2. Tau Maradeka (bukan golongan budak) 3. Batua (budak) 57 Golongan bangsawan (todiang laiyana) pada umumnya terdiri atas kaum kerabat raja, yang dibedakan menjadi bangsawan raja dan bangsawan adat. bangsawan Raja disapa “Daeng” dan bangsawan adat disapa “Puang”. Pada saat ini sapaan semacam ini sudah jarang digunakan terutama oleh generasi muda dan masyarakat urban. Golongan Tau Maradeka merupakan golongan dengan populasi terbesar dalam masyarakat mandar dan terdiri dari kelompok topia dan tosamar. Kelompok Topia Adalah golongan Tau Maradeka yang mempunyai hubungan keluarga dengan todiangn laiyana, meskipun saat ini hubungan keluarga tersebut sudah mulai terputus. Sedangkan golongan tosamar adalh golongan tau maradeka yang tidak ada hubungan keluarga dan golongan bangsawaan. Kelompok ini umumnya berasal dari otang kebanyakan , karena syarat tertentu bisa mendapatkan status tersebut. Golongan ketiga, batua statusnya tidak persis sama dengan apa yang selma ini kita gambarkan sebgai budak. Pada umumnya orang mendapat status ini karena melanggar hukum adat baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis, atau karena kolan dalam perang. Walupun demikian didalam masyarakat pada masa lampau juga dikenal jual-beli batua, dan pada saat sekarang ini sama sekali tidak dikenali lagi batua. 58 B. Status Hukum Penguasaan dan Pemanfaatan Tanah Hak Pakai Pemerintah Oleh Masyarakat Adat Lima Tande. Pada zaman pemerintahan Mara’dia Banggae, struktur kerajaan pada saat itu antara lain, terdiri dari seorang raja digelar “Mara’dia” Banggae dibantu oleh beberapa “Pabbicara” serta “Pappuangan” selaku aparat Pemerintahan Kerajaan. Perangkat Pemerintahan Kerajaan yang dibantu oleh “Pabbicara” dan “Pappuangan”, melekat hak-hak adat antara lain, untuk “Raja” sendiri dikenal dengan istilah “Sappietammmatanna Mara’dia” dan perangkat dibawah Mara’dia dikenal dengan istilah “Palluppui Oroang”. Pengertian istilah hukum Adat Palluppui Oroang berarti bahwa siapa-siapa yang menjabat sebagai raja, Pabbicara maupun Pappuangan mempunyai hak penuh dengan menikmati hasil sebidang tanah yang telah ditetapkan sebagai tanah “Palluppui Oroang” atau dikenal dengan istilah Tanah Jabatan atau “Akkinanreng” ataupun “Tanah Bengkok” yang sebagian pula dipergunakan untuk keperluan pribadi pejabat yang bersangkutan dan sebagian hasil lainnya digunakan untuk kepentingan “Sappietammmatanna Mara’dia” pemerintahan. menurut Sedangkan hukum adat istilah artinya sepanjang batas penglihatan Mara’dia, maka sepanjang penglihatan itu pula menjadi haknya. Disini jelas bahwa hak-hak adat raja lebih tinggi dari pada hak adat perangkat bawahannya, seperti Pabbicara maupun Pappuangan. 59 Khusus pada wilayah kekuasaan “Pabbicara” banggae ada beberapa “pappuangan” antara lain : a. Pappuangan Saleppa b. Pappuangan Salabose c. Pappuangan Tande d. Pappuangan Baruga Setelah Proklamasi Kmerdekaan RI, tanggal maka sesuai dengan undang-undang 1945, 17 Agustus 1945 termaksud aturan pelaksanaannya, pemerintahan yang tadinya berstatus kerajaankerajaan menjadi suatu negara kesatuan yaitu negara Republik Indonesia dan dengan secara yuridis formil semua kerajaan termaksud perangkat bawahannyaberada dibawah kekuasaan Pemerintah Republik Indonesia, disini jelas bahwa mulai dari raja , Pabbicara dan Pappuangan dihapuskan kekuasaannya selaku pejabat kerajaan termaksud hak-hak adatnya dan beralih kepada kekuasaan pemerintahan Republik Indonesia yang sah. Pada zaman pemerintahan RI, maka berdasarkan Undang-undang dibentuklah pemerintahan Swapraja yang perangkat bawahannya adalah Distrik dan desa/kampung. Khusus untuk Distrik Banggae, mencakup pappuangan saleppa, tande salebose, dan baruga yang beralih statusnya menjadi perangkat pemerintahan swapraja dan dengan sendirinya secara yuridid formil semua hak adat maupun tanah 60 adat dihapuskan berdasarkan Undang-undang dan beralih menjadi hakhak pemerintahan swapraja. Berdasarkan Undang-undang No. 29 tahun 1959, maka semua pemerintahan swapraja termaksud perangkatnya dihapuskan dilebur menjadi bagian Kabupaten daerah Tk.II. secara yuidis formil, semua peninggalan pemerintahan swapraja termaksud pemerintahan kekuasaan serta benda-benda tidak bergerak mejadi hak RI. Dalam hal ini Pemerintah Daerah Tk.II dan status tanah yang dikuasai EX Swapraja beralih status menjadi tanah Pemerintah RI atau Tanah Negara. Dalam Pasal 1 ayat (3) menyatakan bahwa bahwa Tanah negara atau tanah yang dikuasai langsung oleh negara adalah tanah yang tidak dipunyai dengan sesuatu hak atas tanah.42 Pada tahun 1953 pemerintah mengeluarkan peraturan pertama yang mengatur tanah negara, yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1953 L.N. 1953 Nomor 14 tentang penguasaan tanah-tanah negara, dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan tanah negara yang dikuasai penuh oleh negara, kecuali dengan penguasaan atas tanah negara dengan undang-undang atau peraturan lain pada waktu berlakunya peraturan pemerintah ini telah diserahkan kepada suatu 42 Pasal 1 Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. 61 kementrian, jawatan atau daerah swantara maka penguasaan tanah negara ada pada mentri dalam negeri. Dalam hal pembuktian terhadap status tanah hak pakai pemerintah oleh Masyarakat Adat Lima Tande yaituMasyarakat Adat belum dapat membuktikan dan memperlihatkan bukti secara otentik kepada Pemerintah Daerah mengenai objek yang sekarang dalam penguasaan yang dimanfaatkan oleh Masyarakat Adat Lima Tande. Adapun yang dimaksud dengan Adat Lima Tande adalah karena adanya Lima Pemangku Adat (Po’ Ambi) di tande yaitu Pappuangan Pa’Uluan Penamula, Pappuangan Buttu, Pappuangan Limboro, Pappuangan Ayulita, dan Pappuangan su’bi. Merupakan aplikasi pemantapan kelembagaan/ kehadatan yang diharapkan dapat bekerjasama degan Pemerintah Derah untuk Pembangunan peranan nilai Budaya sebagai motor didalam masyarakat yang berfunsi: Penata Sikap dan perilaku Pembentuk Identitas Pembanguanan Kualitas Mengesahkan kriteria calon Pemangku Adat Pappuangan dan Tomabuweng sebagai berikut ; 1. Turunan lurus dari pappuangan Pa’ Uluan Penamula dan Tomabuweng Ayulita yang memiliki integritas yang tinggi, komitmen moral Agama dan kepribadian yang baik serta loyal terhadap 62 keluarga besar Pa’Uluan Penamula khususnya dan Tande pada Umumnya 2. Memiliki wawasan yang sangat luas dan pengetahuan memadai tentang masalah-masalah sosial, ekonomi, adat istiadat, politik dan hukum yang sedang berkembang yang dapat dibuktikan dengan presentasi perhatian dan kepeduliannya kepada masyarakat. 3. Memiliki komiten untuk menjaga persatuan dan kesatuan Masyarakat Tanse dengan semangat kekeluargaan. 4. Mampu, sanggup dan bersedia melobi pemerintah dalam memperjuangkan pembangunan Kelurahan Tande khususnya dan Majene pada umumnya. GAMBAR. 1.2 63 Upacara Adat Pelantikan ( Mappesokkoi) Pappuangan Pauluang Panamula dan Tomawuweng Ayulita Kelurahan Tande. Berdasarkan Pemerintahan wawancara yang dilakukan penulis kepada pihak DaerahSulawesi Pemerintahan, dapat diperoleh Barat khususnya informasi Sub yang Bagian menyatakan bahwaadapun status hukum tanah Lima tande yaitu Masyarakat Adat Lima Tande tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat dalam hal pembuktian surat/sertifikat, status tanah dalam objek permasalahan karena Masyarakat Adat Lima Tandeyang sebelumnya menerima kompensasi tidak dapat membantu Pemerintah Daerah dalam penyelesaian mengenai tanah tersebut karena diduga ada pihak lain yang memiliki kekuatan atas tanah tersebut berupa sertifikat/surat namun tidak memiliki kekuatan yang mengikat dan tidak dapat dibuktikan secara otentik. 64 Hal itu sejalan dengan pernyataan yang dituturkan oleh Kepala Badan Pertanahan Nasional bahwa Sejak pembentukan Provinsi Sulawesi Barat status tanah di wilayah kab.Majene sudah menjadi tanah Negara.adapun pengakuan tanah hak ulayat tersebut, harus ada Perda dari pemerintah KabupatenMajene dan harus memenuhi kriteria yang membahas mengenai hak ulayat yang diakui oleh masyarakat adat itu sendiri. BPN juga berasumsi bahwa dalam PP 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah yang menjelaskan bahwa adanya penguasaan atas tanah sampai 20 tahun tapi tidak mempunyai hak kepemilikan atas tanah tersebut43 Pada tahun 2010 Badan Pertanahan Nasional ( BPN) menerbitkan sertifikat No. 05/HP/BPN/2010 mengenai hak pakai Pemerintah Daerah atas tanah negara. Hak pakai Pemerintah Daerah diperuntukan untuk kepentingan umum seperti pembangunan jalan umum, masjid dan fasilitas kampus di MajeneSulawesi Barat. Dalam hal tanah hak pakai untuk Universitas Sulawesi Barat(Unsulbar) sudah jelas karena pihak BPN sudah menertibkan sartifikat. Hak pakai menurut Pasal 41 ayat 1 UUPA adalah hak untuk menggunakan, dan/atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh negara atau tanah yang dimiliki oleh individu lain, yang memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan 43 Wawancara kepada Kepala Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Majene. Tanggal 27 September 2012 65 pemberiannya oleh pejabat yang berwenang memberikannya atau dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya, yang bukan perjanjian sewa-menyewa atau perjanjian pengolahan tanah, segala sesutu asal tidak bertentangan jiwa dan ketentuan UUPA. Adapun subjek dari hak pakai menurut Pasal 42 UUPA adalah44: e. Warga Negara Indonesia f. Orang asing yang berkedudukan diindonesia g. Badan hukum yang didirkan menurut hukum Indonesia h. Badan hukum asing yang mempunyai perwalian di Indonesia. Hak pakai tidak menentukan secara tegas berapa lama jangka waktunya, pasal ini hanya menentukan bahwa hak pakai dapat diberikan selama jangka waktu tertentu atau selama tanahnya dipergunakan untuk keperluan yang tertentu . dalam PP No. 40 Tahun 1996, jangka waktu hak pakai diatur pada pasal 45 sampai dengan pasal 49. Hak pakai ini berbeda-beda sesuai dengan asal tanahnnya, yaitu 45: 1. Hak Pakai atas Tanah Negara Hak pakai ini berjangka waktu untuk pertama kali paling lama 25 Tahun, dapat diperpanjang untuk jangka waktu paling lama 20 44 Urip Santoso,2010, Hukum Agraria & Hak-hak Atas Tanah, Kencana. Jakarta. Hlm.115. Ibid, hal.117. 45 66 tahun, dan dapat diperbaharui untuk jangka waktu paling lama 25 tahun. Khususnya hak pakai yang dipunyai Departemen, Lembaga Pemerintah Non-Departemen, Pemerintah Daerah, Badan-badan Keagamaan dan Sosial, Perwakilan Negara Asing, dan Perwakilan badan Internasional diberikan untuk jangka waktu yang tidak ditentukan selama tanahnya dipergunakan untuk keperluan tertentu. Berkaitan dengan subjek hak pakai atas tanah negara ini, A.P. perlindungan menyatakan bahwa ada hak pakai yang bersifat publikrechtelijk, yang tanpa rihgt of dispossal ( artinya yang tidak boleh dijual ataupun dijadikan jaminan utang), yaitu hak pakai yang diberikan untuk instansi-instansi pemerintah seperti sekolah, perguruan tinggi negri , kantor pemerintah dan sebagainya, dan hak pakai yang diberikan untuk perwakilan asing, yaitu hak pakai yang diberikan untuk waktu yang tidak terbatas dan selama pelaksanaan tugasnya, ataupun hak pakai yangb diberikan untuk usaha-usaha sosial dan keagamaan juga diberikan untuk jangka waktu yang tidak tertentu dan selama melaksanakan tugasnya. Permohonan perpanjangan jangka waktu atau pembaharuan hak pakai diajukan selambat-lambatnya dua tahun sebelum berakhirnya jangka waktu Hak pakai tersebut. Perpanjangan jangka 67 waktu atau pembaharuan Hak Pakai dicabut dalam Buku Tanah pada Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota setempat. Syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh Pemegang hak Pakai untuk Perpanjangan Jangka waktu atau Pembaharuan Hak Pakai, yaitu : a. Tanahnya masih dipergunakan dengan baik sesuai dengan keadaan sifat, dan tujuan pemberian hak tersebut. b. Syarat-syarat pemberian hak tersebut dipenuhi dengan baik oleh pemegang hak, c. Pemegang hak masih memenuhi syarat sebagai pemegang Hak Pakai. 2. Hak Pakai atas Tanah Hak Pengelolaan Hak pakai ini berjangka waktu untuk pertama kali paling lama 25 Tahun, dapat diperpanjang untuk jangka waktu paling lama 20 tahun, dan dapat diperbaharui untuk jangka waktu paling lama 25 tahun. Perpanjangan jangka waktu atau pembaharuan Hak Pakai ini dapat dilakukan atas usul pemegang hak pengelolaan. 3. Hak Pakai atas Tanah Hak Milik Hak pakai ini berjangka waktu untuk pertama kali paling lama 25 Tahun dan tidak dapat diperpanjang.namun atas kesepakatan antara pemilik tanah dengan pemegang Hak Pakai dapat 68 diperbaharui dengan pemegang hak pakai baru dengan akta yang dibuat oleh PPAT dan wajib didaftrkan kepada kantor pertanahan Kabupaten/kota stempatuntuk dicatat dalam buku tanah. Berdasarkan Pasal 55 PP No. 40 Tahun 1996, faktor –faktor penyebab hapusnya Hak Pakai, yaitu: a) Berkahirnya jangka waktu sebagaimana ditetapkan dalam keputusan pemberian atau perpanjangan atau dalam perjanjian pemberianyya. b) Dibatalkan oleh pejabar berwenang, pemegang hak pengelolaan atau pemilik tanahsebelum jangka waktunya berakhir, kartena: 1. Tidak dipenuhinya kewajiban-kewajiban pemegang Hak Pakai dan atau dilanggarnya ketentuan-ketentuan dalam Hak Pakai. 2. Tidak dipenuhinya syarat-syarat atau kewajiban-kewajiban yang tertuang dalam pembrian Hak Pakai antara pemegang hak pakai dengan pemilik tanah atau perjanjian pengguanaan hak pengelolaan.atau 3. Putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. c) Dilepaskan secara sukarela oleh pemegang haknya sebelum jangka waktu berakhir, d) Hak pakainya dicabut 69 e) Diterlantarkan C. Upaya Pemerintah DaerahTerhadap Penguasaan dan Pemanfaatan Tanah Hak Pakai Pemerintah oleh Masyarakat Adat Lima Tande Penguasaan dan pemanfaatan tanah oleh Masyarakat Adat Lima Tande terhadap tanah hak pakai yang dimiliki oleh Pemerintah dalam hal ini adalah Pemerintah Daerah Majene mengalami masalah yang belum ada penyelesainnya hingga sekarang. Hal tersebut terjadi dikarenakan Masyarakat Adat masih merasa kalau tanah yang dijadikan permasalahan masih dimiliki oleh msyarakat adat lima tande karena yang selama ini yang mengelola tanah tersebut adalah Masyarakat Adat Lima Tande. Sedangkan menurut Pemerintah DaerahKabupaten Majene kalautanah yang diklaim sebagai tanah Masyarakat Adat Lima Tande tersebut adalah tanah negara yang sudah menjadi hak pakai Pemerintah DaerahKabupaten Majenewalaupun tanah tersebut tidak pernah dikelola sama pemerintah. Tetapi saat pemerintah akan melakukan pengelolaan atas tanah tersebut untuk kepentingan umum, terdapat sekelompok masyarakat yang masih mengelola dan menguasai tanah tersebut. Upaya-upaya dalam menyelesaikan masalah tersebut di atas dengan cara Pemerintah Daerah sudah melakukan pertemuan terbuka bersama Masyarakat Adat Lima Tande untuk membicarakan mengenai status tanahyang menjadi objek permasalahan.Pemerintah 70 Daerahmembentuk tim 9 dalam menganalisis dan menangani kasus tanah hak ulayat yang diakui oleh Masyarakat Adat Lima Tande sebagai hak ulayatnnya. Masyarakat Adat Lima Tande menganggap bahwa tanah tesebut adalah bagian dari penguasaannya dan memiliki hak sepenuhnya. Pasca pertemuan tersebut disepakati bahwa Masyarakat Adat Lima Tande melakukan pelepasan hak ulayat kepada Pemerintah Daerah karena dianggap bahwa pemerintah ingin memanfaatkan tanah tersebut untuk kepentingan umum dan Pemerintah Daerah sendiri memberikan kompensasi sebagai bentuk ganti rugi pengelolaan dan pemanfaatan tanah oleh Masyarakat Adat Lima Tande. Pemerintah Daerah sudah memberikan kompenssasi kepada Masyarakat Adat Lima Tande sebesar 500 juta sebagi bentuk ganti rugi tanah tersebut. Tanah yang telah dikelola oleh Masyarakat Adat Lima Tande merupakan bekas tanah negara yang selama ini dikusai, dikelola dan dimanfaatkan oleh masyarakat tersebut. Dana tersebut diberikan sebagai dana abadi untuk dikembangkan dan dimanfaatkan oleh Masyarakat Adat Lima Tande. dan dana tersebut difungsionalkan untuk kepentingan masyarakat adat. 71 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian maka dapat disimpulkan sebagai berikut berikut : 1. Bahwa status hukum tanah yang diklaim oleh masyarakat aat lima tande adalah merupakan tanah negara yang berstatus hak pakai oleh Pemerintah DaerahKabupaten Majene. Hal tersebut dikarenakan sejak pembentukannya, tanah tersebut sudah menjadi tanah negara dan BPN sendiri sudah menerbitkan sertifikat Hak Pakai olehPemerintah DaerahKabupaten Majene. 2. Upaya hukum yang diambil Pemerintah Daerah adalah dengan melakukan pertemuan terbuka bersama Masyarakat Adat Lima Tande untuk membicarakan mengenai status tanah yang menjadi objek permasalahan.Pasca pertemuan tersebut Pemerintah Daerah memberikan kompensasi sebagai bentuk ganti rugi pengelolaan dan pemanfaatan tanah kepada Masyarakat Adat Lima Tande. Pemerintah Daerah memberikan kompenssasi kepada Masyarakat Adat Lima Tande sebesar Rp. 500 juta sebagi bentuk ganti rugi tanah tersebut. 72 B. Saran 1. Pemerintah Daerah Majene seharusnya mengambil sikap dan keputusan secara tegas dalam hal objek tanah yang menjadi hak pakai pemerintah,yang dalam hal tersebut masyarakat adat mengklaim tanah tersebut adalah hak ulayatnya. 2. Pemerintah Daerah seharusnya memberikan kepastian hukum terhadap objek tanah yang diklaim oleh masyarakat adat agar pelaksanaaan rehabilitasi dapat berjalan dengan lancar dan pemerintah daerah harus konsistensi terhadap nilai yang telah disepakati oleh masyarakat adat tersebut agar tidak ada lagi permasalahan mengenai objek tanah. 73