View/Open - Repository | UNHAS

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah .
Bila dipelajari sejarah kehidupan manusia, mulai dari nenek
moyang manusia pertama yang mendiami bumi ini, maka tanah telah
menempati posisi yang penting dalam kehidupan manusia. Manusia
mempunyai hubungan yang sangat erat dengan tanah, karena menurut
asal mula bahwa manusia tercipta dari tanah dan pada akhirnyapun
akan kembali ke tanah. Tidak diragukan lagi bahwa tanah adalah
sesuatu yang penting dalam kehidupan manusia. Terlebih lagi bagi
Bangsa Indonesia adalah masyarakat yang bercorak agraris, maka
mereka menempatkan tanah sebagai unsur yang esensial bagi segala
aspek kehidupannya.
Setiap saat kebutuhan manusia akan tanah selalu meningkat, baik
untuk kebutuhan tempat tinggal maupun lahan untuk berusaha,
sehingga menyebabkan manusia berpacu untuk menguasai dan
memiliki tanah. Tidak hanya bagi manusia secara individu tetapi juga
bagi suatu lembaga/badan pemerintah maupun swasta apabila terkait
dengan kegiatan pembangunan fisik dan prasarana yang dibutuhkan
untuk
kepentingan
umum,
seperti
jalan,
jembatan,
sekolah,
perindustrian, gedung-gedung perkantoran, pertambangan, kehutanan,
kepariwisataan serta sarana umum lainnya. sehingga sangatlah
1
dibutuhkan land use planning atau tata guna tanah disamping
menghendaki
landreform
dan
peraturan
yang
dapat
menjamin
kepastian hukum atas tanah.
Berdasarkan Aspek Sosial Budaya dari Tanah harus dilihat dari
sudut pandang bahwa sumber hukum Agraria Indonesia adalah Hukum
Adat. Dalam pandangan masyarakat adat, tanah bukan sekedar
permukaan bumi, tetapi juga merupakan bagian menyeluruh dari
kehidupan yang tentunya dalam penggunaannya atau pemanfaatannya
seringkali
menimbulkan
permasalahan-permasalahan
diantara
masyarakat adat itu sendiri, bahkan juga antara masyarakat adat
dengan individu/lembaga non adat baik pemerintah maupun swasta.
Sengketa perdata adat mengenai tanah seringkali tidak mudah
diselesaikan, apalagi jika tidak memahami benar tradisi masyarakat
adat setempat. 1
Dewasa ini semakin banyak permasalahan mengenai tanah adat di
Indonesia, yang tidak hanya terjadi diantara masyarakat adat itu sendiri,
tetapi banyak juga yang terjadi diantara masyarakat adat dengan
lembaga pemerintah mengenai status hukum tanah adat, Salah satu
contoh permasalahan yang menjadi fokus kajian penulis adalah
permasalahan tanah didaerah Sulawesi BaratKabupaten Majene,
dimana terdapat permasalahan mengenai status hukum tanah Adat
1
Supriyadi, S.H., M.Hum, 2010, Aspek Hukum Tanah Aset Daerah, Prestsi Pustaka, Jakarta. hlm. 2.
2
Lima Tande atas tanah hak pakai Pemerintah Daerah Kab. Majene.
Tanah tersebut pada awalnya adalah tanah adat yang berasal dari
Zaman
pemerintahan
Mara’dia
Banggae
(sebutan
bagi
raja-
raja/bangsawan di wilayah Majene), yang diatasnya juga melekat hakhak adat dari masyarakat adat tersebut untuk menguasai dan
mengelola tanah tersebut. yang mana pengakuan dari masyarakat adat
bahwa tanah tersebut adalah hak ulayat masyarakat adat limat tande.
Terkait dengan Hak Ulayat dari suatu masyarakat hukum adat,
hukum tanah nasional Indonesia mengakui adanya hak ulayat.
Berdasarkan Peraturan Dasar Pokok- Pokok Agraria No. 5 tahun 1960,
dan Undang-Undang No 41 tahun 1999 tentang Kehutanan; hak ulayat
masyarakat hukum adat diakui keberadaannya. Karena itu, bila hak
ulayat tersebut akan dipergunakan oleh pihak lain, haruslah atas
persetujuan masyarakat pemilik hak ulayat tersebut akan tetapi hak
ulayat hanya diberikan jika pada kenyataannya masyarakat adat
tersebut masih ada (Pasal 3 UUPA).
Pengakuan keberadaan hak pemilikan atas tanah (hak ulayat) dan
masyarakat hukum adat mulai diperhatikan setelah dikeluarkan dan
diberlakukannya UUPA. Berdasarkan Pasal 3 UUPA disebutkan
“Dengan mengingat ketentuan-ketentuan Pasal 1 dan 2, pelaksanaan
hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat hukum adat,
sepanjang
menurut
kenyataannya
masih
ada,
sesuai
dengan
3
kepentingan nasional dan negara, berdasarkan atas persatuan bangsa
dan tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturanperaturan lain yang lebih tinggi”.
Selanjutnya kebijakan tersebut
dipertegas dengan dikeluarkannya TAP MPR No.IX Tahun 2001
tentang Pembaharuan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam.
Selain itu UUPA menghormati keberadaan hukum adat , oleh
karenanya, terdapat ‘bhineka tunggal ika’ di dalam hukum agraria
nasional, hal mana ditandai dengan adanya pluralisma hukum di dalam
hukum agraria Indonesia.
Berdasarkan Pasal 5 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria yang selanjutnya disebut
Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) menyatakan bahwa Hukum
Agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum
adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan
negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme
indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam
undang-undang ini (maksudnya : UUPA) dan dengan peraturan
perundangan lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsurunsur yang bersandar pada hukum agama.
Sebelum
pihak
Pemerintah
Daerah
(Pemerintah
Daerah)
menggunakan tanah tersebut, Pemerintah dan Masyarakat Adat Lima
Tande selaku pemegang hak atas tanah telah melakukan musyawarah,
4
yang mana pemerintah telah membentuk panitia pengadaan tanah
untuk mengeluarkan keputusan mengenai bentuk dan besarnya ganti
rugi sesuai dengan kesepakatan. Setelah adanya kesepakatan antara
instansi pemerintah dengan Masyarakat Adat Lima Tande, maka
pemerintah memberikan kompensasi kepada Masyarakat Adat Lima
Tande berupa sejumlah uang. Tanah tersebut diperuntukkan untuk
kepentingan umum, yaitu pembangunan Universitas Sulawesi Barat
(Unsulbar), pembangunan jalan dan mesjid.
Lebih lanjut Terkait dengan kewenangan pemerintah untuk
mengatur penggunaan, peruntukkan dan penyediaan tanah, maka hakhak privat termasuk hak milik atas tanah warga dapat diambil alih atau
dicabut haknya guna pemenuhan kebutuhan atas tanah yang
diperuntukkan
bagi
pelaksanaan
kegiatan
pembangunan
untuk
kepentingan umum.
Melalui berbagai Domein Verklaring (1870 sampai 1888) yang
kemudian dicabut oleh UUPA pada bagian konsideran, dinyatakan
bahwa semua tanah yang tidak dapat dibuktikan diatasnya ada hak
eigendom adalah domein negara. Oleh karena itu tanah yang tidak ada
sertifikatnya dinyatakan sebagai domein negara. Tanah yang diatasnya
ada hak adat disebut Unfrijlandsdomein, sebaliknya tanah yang
diatasnya tidak ada hak adat disebut frijlanedsdomein.
5
Pasal 28H Ayat (4) UUD 1945 merupakan komitmen negara dalam
mengakui dan menghormati hak milik perorangan, termasuk hak
warganegara atas tanah. Hak atas tanah yang berlaku di Indonesia
tidak bersifat mutlak, artinya tidak sepenuhnya dapat dipertahankan
terhadap siapapun oleh pemegang hak. Dalam kondisi tertentu dimana
kepentingan negara menghendaki, maka pemegang hak atas tanah
harus rela melepaskan haknya untuk kepentingan yang lebih besar.Jika
ditilik dari konstitusi, UUD 1945 telah menggariskan bahwa bumi air dan
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dipergunakan untuk
sebesar-besar kemakmuran rakyat.UUPA sebagai peraturan dasar juga
mengakui prinsip-prinsip ini.
Setelah adanya pemberian kompensasi kepada Masyarakat Adat
Lima Tande, maka tanah tersebut dapat digunakan oleh Pemerintah
DaerahKabupaten Majene berdasarkan sertifikat Hak Pakai No.
05/HP/BPN/2010akan tetapi masyarakat adat tersebut
sampai
sekarang masih menguasai, mengelola dan memanfaatkan tanah
tersebut. Hal ini dapat pula dibuktikan dengan masih berdirinya rumah
atau bangunan, pepohonan dan tanaman milik masyarakat adat di atas
tanah tersebut.
Tentu saja perbuatan terhadap penguasaan, pengelolaan dan
pemanfaatan tanah, khususnya tanah negara oleh Masyarakat Adat
Lima
Tande
dapat
menyebabkan
kerugian
bagi
Pemerintah
6
Daerahsetempat maupun negara yang dimana sebelumnya pemerintah
telah memberikan kompensasi kepada masyarakat adat, namun
sampai saat ini masyarakat adat masih memanfaatkan beberapa
bidang tanah tersebut sehingga beberapa bidang tanah tidak dapat
dimanfaatkan
secara
optimal
oleh
pemerintah.
Ironisnya
lagi
Masyarakat Adat Lima Tande yang menguasai lokasi tanah tersebut
juga melakukan pelarangan/perlawanan terhadap aktivitas Pemerintah
Daerah dilokasi tanah tersebut.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka rumusan
masalah yang dapat dikemukakan adalah :
1. Bagaimanakah status hukum penguasaan dan pemnfaatan
tanah hak pakai pemerintah olehMasyarakat Adat Lima Tande?
2. Bagaimana upaya Pemerintah Daerah terhadap penguasaan
dan pemanfaatan tanah hak pakai pemerintah oleh Masyarakat
Adat Lima Tande?
C. Tujuan Penelitian
Dalam penelitian ini, penulis mempunyai tujuan penelitian sebagai
berikut:
1. Untuk mengetahui pelaksanaan penguasaan dan pemanfaatan
tanah negara oleh adat lima tande.
7
2. Untuk mengetahui upaya pemerintah terhadap penguasaan
dan pemanfaatan tanah negara oelh Masyarakat Adat Lima
Tande.
D. Kegunaan Penelitian
Kegunaan dari penelitian ini adalah:
1. Kegunaan Teoritis:
Hasil dari penelitian yang dilakukan ini diharapkan dapat
memberikan sumbangan dan masukan untuk mengembangkan
ilmu hukum, yaitu tentang Tanah (Agraria).
2. Kegunaan Praktis:
Dengan
adanya
penelitian
ini
penulis
berharap
dapat
membantu memecahkan masalah yang sedang dihadapi atau
mungkin akan dihadapi oleh para pihak yang terkait baik
masyarakat adat maupun instansi Pemerintah Daerah.
8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. HUKUM ADAT
1. Pengertian hukum adat dan hukum kebiasaan.
Dilihat dari perkembangan hidup manusia, terjadinya hukum itu
mulai dari pribadi manusia yang diberi Tuhan akal fikiran dan perilaku.
Perilaku yang terus-menerus dilakukan perorangan menimbulkan
“kebiasaan pribadi”. Apabila kebiasaan pribadi itu ditiru orang lain,
maka ia akan juga menjadi kebiasaan orang itu. Kemudian apabila
seluruh anggota masyarakat melakukan perilaku kebiasaan tadi, maka
lambat laun kebiasaan itu menjadi “adat” dari masyarakat itu. Jadi adat
adalah kebiasaan masyarakat dan kelompok-kelompok masyarakat
lambat laun menjadikan adat itu sebagai adat yang seharusnya berlaku
bagi semua anggota masyarakat, sehingga menjadi “hukum adat”. Jadi
hukum adat adalah adat yang diterima dan harus dilaksanakan dalam
masyarakat bersangkutan.Untuk mempertahankan pelaksanaan hukum
adat itu agar tidak terjadi penyimpangan atau pelanggaran, maka
diantara anggota masyarakat diserahi tugas mengawasinya. Dengan
demikian lambat laun petugas-petugas adat ini menjadi kepala adat.2
2
H. Hilman Hadikusuma, 2003, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, Mandar Maju, Bandung.
hlm.1.
9
Sudah menjadi kepastian bagibangsa indonesia, bahwa hukum
adat adalah bagian tidak terpisahkan dengan keaslian alam pemikiran
bangsa Indonesia yang mendiami seluruh penjuru Nusantara. Oleh
karena itu, hukum adat sekaligus merupakan suatu sistem yang
melibatkan jiwa seluruh bangsa Indonesia.3
Adatrechtdalam bahasa Belanda kerap diterjemahkan sebagai
hukum adat. Orang yang pertama kali memakai istilah Adatrechtadalah
Snouck Hurgronje yang kemudian menjadikan adapt itu sebagai adapt
yang harusnya bagi seluruh anggota masyarakat hukum adat, sehingga
menjadi “hukum adat”.
Berikutnya dibawah ini beberapa pengertian hukum adat yang
dikemukakan para ahli dan satu pengertian dari hasil seminar “Hukum
Adat dan dan Pembinaan Hukum Nasional” yang diselenggarakan di
Yogyakarta tanggal 15-17Januari 1975 yang memberikan kejelasan
apa yang dimaksud dengan hukum adat4:
1. Menurut Cornelis Van Vollenhoven
Hukum Adat adalah aturan-aturan perilaku yang berlaku bagi orang
pribumi dan timur asing, yang disatu pihak mempunyai sanksi
3
Suryaman Mustari Pide dan Sri Susyanti, 2009,Dasar-dasar Hukum Adat, Pelita Pustaka,
Makassar, hlm. 1.
4
C. Dewi Wulnsari, 2009,Hukum Adat Indonesia Suatu Pengantar, Rafika Aditama, Bandung. hlm.
3.
10
(maka dikatakan hukum), dan di lain pihak tidak dikodifikasikan
(maka dikatakan adat).5
2. Menurut B. Ter Haar Bzn
Hukum adat adalah keseluruhan aturan yang menjelma dari
keputusan-keputusan para fungsionaris hukum (dalam arti luas)
yang memiliki kewibawaan serta pengaruh dan yang dalam
pelaksanaannya berlaku serta merta dan ditaati dengan sepenuh
hati.
3. Menurut J.H.P. Bellefroid
Hukum adat adalah peraturan hidup yang meskipun diundangkan
oleh penguasa tapi dihormati dan ditaati oleh rakyat dengan
keyakinan bahwa peraturan-peraturan tersebut berlaku.
4. Menurut Hardjito Notopuro
Hukum adat adalah hukum tak tertulis, hukum kebiasaan dengan
ciri khas yang merupakan pedoman kehidupan rakyat dalam
menyelanggarakan tata keadilan dan kesejahtraan masyarakat dan
bersifat kekeluargaan.
5. Menurut Dr. Mr. Hazairin
Adat adalah renapan kesusilaan dalam masyarakat, yaitu bahwa
kaidah-kaidah adat itu berupa kaidah-kaidah kesusilaan yang
kebenarannya
telah
mendapat
pengakuan
umum
dalam
masyarakat itu.
5
H. Hilman Hadikusuma, 2003, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia,Mandar Maju, Bandung.
hlm. 13
11
Jadi Hazairin mengikatkan antara kesusilaan dan hukum, sehingga
menurut ia dalam sistem hukum yang sempurna tidak ada tempat
nagi sesuatu yang tidak selaras atau yang bertentangan dengan
kesusilaan. Demikian halnya dengan hukum adat di mana terdapat
hubungan dan persesuaian kesusilaan. Baik dalam arti adat sopan
santun maupun dalam arti hukum, maka rakyat tidak perlu memkai
istilah hukum adat.6
6. Menurut Bushar Muhammad
Hukum adat adalah hukum yang mengatur tingkah laku manusia
Indonesia dalam hubungan satu sama lain baik yang merupakan
keseluruhan kelaziman, kebiasaan dan kesusilaan yang benarbenar
hidup
di
masyarakat
itu,
maupun
yang
merupakan
keseluruhan peraturan-peraturan yang mengenai sanksi atau
pelanggaran yang ditetapkan dalam keputusan para penguasaadat
(mereka) yang mempunyai kewajiban dan berkuasa memberi
keputusan dalam masyarakat adat itu yaitu dalam keputusan lurah,
penghulu, wali tanah, kepala adat dan hakim.
Dalam hal ini terdapat dua versi pendapat, satu pihak
menyatakan antara hukum adat dan hukum kebiasaan memiliki
perbedaan, dipihak lain menyatakan bahwa hukum adat dan hukum
6
Ibid, hal.19.
12
kebiasaan tidak memiliki perbedaan. Dua versi pendapat ini dapat
terlihat dalam uraian berikut7 :
1. Menurut R. Van Dijk
Ia tidak sependapat untuk menggunakan istilah hukum
kebiasaan
sebagai
terjemahan
dari
adatrecht
untuk
menggantikan hukum adat. Alasan dari Van Dijk adalah sebagai
berikut :
“tidaklah tepat menerjemahkan adatrechtmenjadi hukum
kebiasaan menggantikan hukum adat, oleh karena yang
dimaksud hukum kebiasaan kompleks peraturan-peraturan
hukum yang timbul karena kebiasaan, artinya karena telah
demikian lamanya orang biasa bertingkah laku menurut
suatu cara tertentu sehingga timbullah suatu peraturan
kelakuan yang diterima dan juga diinginkan oleh masyarakat.
Perbedaan antara hukum adat dengan hukum kebiasaan adalah
pada sumbernya, artinya bahwa hukum kebiasaan tidak bersumber dari
dan atau alat perlengkapan.
Perbedaan selanjutnya antara hukum adat dengan hukum
kebiasaan itu terletak pada sifatnya, artinya bahwa hukum kebiasaan
itu sepenuhnya bersifat tidak tertulis sedangkang hukum adat bersifat
tertulis.
7
C. Dewi Wulnsari, 2009, Hukum Adat Indonesia Suatu Pengantar,Rafika Aditama, Bandung. hlm.
9.
13
2. Menurut Soerjono Soekanto
Tidak terdapat perbedaan yang berarti dalam hukum adat
dengan hukum kebiasaan. Alasan dari Soerjono Soekanto
adalah sebagai beriku :
“hukum adat pada hakikatnya merupakan hukum kebiasaan,
artinya kebiasaan-kebiasaan yang mempunyai akibat hukum
(sein-sollen). Berbeda dengan kebiasaan belaka, kebiasaan
yang merupakan hukum adat adalah perbuatan-perbuatan
yang diulang dalam bentuk yang sama yang menuju pada
“rechtsvardigeordening dersamenlebing”.
Apabila pernyataan diatas ditelaah, maka perbedaan pengertian
hukum adat dengan hukum kebiasaan, atau dengan perkataan lain
hukum adat adalah sama dengan hukum kebiasaan.
Dengan mendalami hukum adat maka dapat dipahami bahwa
bangsa Indonesia tidak dapat menolak budaya hukum asing sepanjang
tidak bertentangan dengan budaya hukum indonesia itu sendiri. Begitu
pula mempelajari hukum adat maka akan diketahui hukum adat yang
mana yang ternyata tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman,
dan hukum adat yang mana mendekati keseragaman yang dapat
diberlakukan hukum nasional.
2. Masyarakat adat
Didalam literatur dan peraturan perundang-undangan terdapat
dua penyebutan istilah masyarakat adat yaitu ada yang menyebutnya
“masyarakat adat” dan ada juga yang menyebut “masyarakat hukum
adat”.
Oleh
karena
itu
istilah
tersebut
tidak
dapat
14
menafikan/menegasikan hak-hak adat yang dimiliki oleh masyarakat
yang bersangkutan.
Masyarakat hukum adat adalah komunitas (paguyuban) sosial
manusia yang merasa bersatu karena terikat oleh kesamaan leluhur
dan atau wilayah tertentu, mendiami wilayah tertentu, memiliki
kekayaan sendiri, dipimpin oleh seseorang atau beberapa orang yang
dipandang memiliki kewibawaan dan kekuasaan, dan memiliki tata nilai
sebagai pedoman hidup, serta tidak mempunyai keinginan untuk
memisahkan diri.8
Adapun Ciri Masyarakat Hukum Adat yaituHimpunan orang,
Merasa bersatu karena : keturunan, wilayah, atau kepentingan,
Mempunyai organisasi yang jelas, Mempunyai pimpinan, Mepunyai
kekayaan sendiri, tanah, bukanj tanah, berwujud dan tak berujud,
Wenang mengurus kepentingan sendiri (otonom), Merupakan subyek
hukum, dapat berbuat di luar maupun di depan sidang pengadilan.
Hukum adat di Indonesia memiliki sifat dan corak khas yang
berbeda dari hukum-hukum lainnya. Hal tersebut pertama kali
dikemukakan oleh F.D. Hollemann dalam bukunya yang berjudul “De
Commune
Trek
het
IndonesischeRechtsleven.Hollemannmengkontruksikan 4 sifat umum
8
Dominikus Rato, 2011, Hukum Adat (Suatu Pengantar Singkat Memahami Hukum Adat
Indonesia),LaksBang PRESSindo, Yogyakarta, hlm. 82.
15
dari masyarakat adat yaitu magis religius, comunal, congkrit, dan
contan.9
a. Magis religius(magisch-religieus)
Sifat Magis religiusdiartikan sabagai suatu pola fikir yang
didasarkan pada religiusitas, yakni keyakinan masyarakat tentang
adanya sesuatu yang bersifat sakral. Sebelum masyarakat hukum
adat bersentuhan dengan hukum agama, masyarakat hukum adat
mewujudkan religusitas ini dengan cara berfikiryang prelogika,
animistis, dan kepercayaan pada alam gaib yang menghuni suatu
benda.
b. Comunal (Commuun)
Masyarakat hukum adat berasumsi bahwa setiap individu, bagian
masyarakat merupakan bagian integral dari masyarakat secara
keseluruhan. Dengan demikian dapat diartikan sebagai pola
mempertahankan prinsip-prinsip kerukunan, yaitu sifat tidak saling
menonjolkan hak dan kewajiban tetapi lebih mengutamakan
kepentingan hidup bersama.
c. Congkrit
Sifat congkrit diartikan sabagi corak yang seba jelas atau nyata,
menunjukkan bahwa setiap hubungan hukum yang terjadi dalam
masyarakat tidak dilakukan secara diam-diam atau samar.
9
Suryaman Mustari Pide dan Sri Susyanti, 2009, Dasar-dasar Hukum Adat, Pelita Pustaka,
Makassar, hlm. 35.
16
d. Contan
Sifat
contan
utamanya
ini
dalam
mengandung
hal
arti
sebagai
pemenuhan
prestasi.
kesertamertaan,
Bahwa
setiap
pemenuhan prestasi selalu diiringi dengan kontra prestasasi yang
diberikan serta merta (seketika).
Selain empat corak masyarakat adat sebagaimana yang telah
dikonstruksikan oleh Hollemann Van dijk menyebutkan bahwa hukum
adat memiliki tiga corak khas, yaitu10 :
a. Hukum adat mengandung sifat yang sangat tradisional;
b. Hukum adat dapat berubah; dan
c. Kesanggupan hukum adat untuk menyesuaikan diri.
Adapun Unsur-unsur menurut ter Haar yaitu11 :
a. Ada kesatuan manusia yang teratur
b. Menetap disuatu daerah tertentu,
c. Mempunyai penguasa-penguasa, dan
d. Mempunyai kekayan berwujud dan tidak berwujud
e. Tidak seorangpun diantara para anggota itu mempunyai
pikiran atau kecenderungan untuk membubarkan ikatan yang
telah tumbuh atau meninggalkannya dalam arti melepaskan
diri dari ikatan itu untuk selama-lamanya.
Jika dilihat dari unsur-unsur diatas, masyarakat hukum adat,
bukanlah badan hukum biasa sebagaimana dikenal dalam hukum
10
Ibid, hal.41.
Bushar Muhammad, 2006, asas-asas Hukum Adat, Pradnya Paramita, Jakarta, hlm. 21.
11
17
barat, melainkan suatu badan hukum yang memiliki kewibawaan dan
kekuasaan untuk membentuk, melaksanakan, membina sekaligus
melakukan evaluasi baik terhadap perilaku anggota masyarakat
maupun terhadap isi hukum. Jika dilihat dari teori sistem hukum
Lawrence M. Friedman, maka masyarakat hukum adat adalah
dikategorikan sebagai struktur hukum akan tetapi, jika dilihat secara
yuridis, maka masyarakat hukum adat, bukan hanya sebagai struktur
yang bertugas melaksanakan hukum tetapi sekaligus sebagai sujek
hukum.
3. Dasar Perundang-undangan Berlakunya Hukum Adat
Setelah memahami pengertian “hukum adat” maka penting untuk
memahami dasar perundang-undangan (wettelijke grondslag) dari
berlakunya hukum adat itu dalam lingkungan tata tertib hukum positif
negara kita.
Sebelum berlakunya kembali UUD 1945, maka berlaku Undangundang Dasar Sementara tahun 1950. Dalam Undang-undang Dasar
Sementara itu Pasal 104 ayat (1) menyatakan bahwa “Segala
keputusan pengadilan harus berisi alasan-alasannya dan dalam
perkara hukumanmenyebut aturan-aturan undang-undang dan aturanaturan hukum adat yang dijadikan dasar hukum itu. Selanjutnya dalam
hubungan ini kutip laporan Hasil Penkajian Bidang Hukum Adat 1980,
proyek BPHN, halaman 36 sebagai berikut.
18
“ dalam pada itu pula ditafsirkan, bahwa peraturan-peraturan yang
masih berlaku terus, melainkan peraturan-peraturan cum anneziz,
termaksud didalamnya tafsiran-tafsiran yang diberikan dan
praktek-praktek pelaksanaannya dalam jurisprudensi. Hal ini
berarti, bahwa teori resepsi, penyempitan dalam pengertian
“hukum adat” dan kehadiran norma-norma hukum dalam tubuh
hukum adat., sebagaimana yang telah ditumbuhkan oleh/dalam
jurisprudensi turut memanfaatkan Aturan Peralihan Pasal II UUD
1945”.12
Yang melatarbelakangi pembentukan UUDS 1950 berbeda dari
1945. UUDS 1950 tidak dibelatarbelakangi oleh pertumbuhan dalam
rangkaian
kelanjutan
langsung
dar
gerakan
perjuangan
rakyat
Indonesia sejak puluhan tahun sebelumnya melainkan “ hasil suatu
kompromi
antara
negara-negara
bagian
dari
Republik
Negara
Indonesia Serikat dengan Republik Indonesia yang diproklamirkan
tahun 1945 itu, dibidang hukum, UUDS 1950 mempunyai kehendak
yang berbeda dari UUD 1945. Dalam UUDS 1950 menurut Koesnoe13 :
“segala sesuatu yang menyangkut persoalan hukum, lebih
diutamakan untuk debri bentuk tertulis dan merinci. Disitu faham
kodifikasi dan legisme mendapat tempat yang utama. Tidak
terlihat dalam Undang-undang Dasar Sementara tersebut
ketentuan yang menampilan kedepan segi yang berkenaan
dengan kepribadian bangsa didalam urusan hukum”.
12
Mahadi, 2003, Uraian Singkat Hukum Adat sejak RR Tahun 1854, Alumni, Bandung, hlm. 79.
Suryaman Mustari Pide, 2007, Dilema Hak Kolektif Eksistensi dan Realitas Sosialnya Pasca
UUPA, Pelita Pustaka, Jakarta. Hlm. 27.
13
19
Mengenai bagaimana halnya dengan hukum adat dalam UUDS
1950, Koesnoemerujuk pada pasal-pasal 25, 103, 104.
Ketentuan ketiga pasal tersebut, menurut Koesnoe menunjukkan
bahwa UUDS 1950 memandang hukum adat pada satu pihak sebagai
“hukum golongan”saja, tetapi dipihak lain secara samar-samardapat
pula difungsikan sebagai “ hukum yang tidak terbatas pada satu
golongan saja”. Sebagai “hukum golongan”, hukum adat akhirnya
dileburkedalam hukum yang dikodifikasikan (hukum tertulis).
Oleh
karena itu, posisi hukum aatberada dibelakang hukum yang tertulis atau
yang dikodifikasi yang didalamnya segala sesuatu dirinci segala
lengkap.
Hukum adat didalam UUDS 1950 menurut Koesno “tidak
dihubungkan dengan persoalan yang dibawa oleh sejarah gerakan
kebangsaan untuk kemerdekaan , dan tidak pula dibawa kepada suatu
tingkatan yang lebih dalam”. Yang tercermin dalam UUDS 1950 adalah
hukum adat yg diterima menurut pengertian sebelum perang yang ciricirinya sebagai berikut14:
a. Hukum kebiasaan suatu golongan penduduk warga negara
Indonesia
b. Tidak tertulis
c. Terbatas dilingkungan kuasa berlakunya atas ruang.
14
Ibid, hal.29.
20
Penerimaan hukum adat yang demikian itu menurut Koesno
mempengaruhi
perkembangan
dalam
perundangan
dan
praktik
pengadilan. Terutama faham legisme dan keharusan perumusan yang
rapi mengenai hal-hal yang termaksud dalam formil-jurudis., dalam
praktik sangat jelas pengaruhnya pada usaha petugas hukum untuk
menemukan putusan-putusan yang sesuai dengan ukuran ajaran
tersebut.demikian
pula,
sangat
besarnya
pengaruh
jiwa
yang
melatarbelakangi UUDS 1950 bagi pemikiran pembaruan tata hukum
nasioanal pada masa itu.
Hukum Adat, yang diantar masuk ke zaman RI oleh pasal II
Aturan Peralihan UUD 1945, sejak Januari 1920 telah mengalami
perkembangan, yang antara lain, terdiri dari unsur-unsur 15:
a. Teori resepsi
b. Kecenderungan menciut
c. Kecenderungan mencari/menimbulkan asas-asas
d. Unsur lain.
Mengenai Pasal 131 ayat (2) sub b IS ini, harus dikemukakan dua
hal, Pertama, ketentuan tersebut adalah suatu pasal kodifikasi
(codificatie-artikel), yaitu ketentuan tersebut memuat suatu tugas
kepada pembuat undang-undang – menurut IS : pembuat ordonansi –
untuk mengadakan suatu kodifikasi hukum privat bagi golongan hukum
Indonesia asli dan golongan hukum timur asing. Hal kedua, selama
15
Mahadi, 2003, Uraian Singkat Hukum Adat sejak RR Tahun 1854, Alumni, Bandung, hlm. 82.
21
redaksi 131 ayat (2) sub b IS ini berlaku, redaksi ini berlaku sejak
tanggal 1920. Pasal 131 IS itu ditujukan kepada pembuat undangundang dan tidak tidak ditujukan kepada hakim, yaitu memuat tugas
kepada pembuat undang-undang dan tidak memuat tugas kepada
hakim.16
B. TANAH
1. Pengertian Tanah
Tanah merupakan tempat manusia menjalankan aktivitas dan
menjalani kehidupan keseharian. Semenjak jaman dahulu, tanah kerap
menjadi objek yang menarik untuk dikaji dari waktu-kewaktu. Tidak
dipungkiri, tanah memiliki posisi strategis, baik bagi perorangan
(individu), badan, maupun negara, sehingga pada saat tertentu,
terkadang memunculkan konflik kepentingan antara satu individu,
dengan individu lainnya. Sehubungan dengan hal ini, maka perlu untuk
ditetapkan aturan yang jelas mengenai status penguasaan dan
pemanfaatannya.
Sebutan Agraria tidak selalu dipakai dalam arti yang sama. Dalam
bahasa latin agerberarti tanah atau sebidang tanah. Agrarius berarti
perladangan, persawahan, dan pertanian. Maka sebutan agraria dalam
bahasa Inggris agrarian selalu diartikan tanahdan dihubungkan dengan
usaha pertanian. Sebutan agrarian laws bahkan seringkalidigunakan
untuk menunjuk kepada perangkat peraturan-peraturan hukum yang
16
Bushar Muhammad, 2006, asas-asas Hukum Adat, Pradnya Paramita, Jakarta, hlm. 34.
22
bertujuan mengadakan pembagian tanah-tanah yang luas dalam
rangkalebih meratakan penguasaan dan pemiliknya.
Biarpun tidak dinyatakan dengan tegas, tetapi apa yang tercantum
dalam konsideran dan penjelasannya, dapatlah disimpulkan bahwa
pengertian agraria dan hukum agraria dalam UUPA dipakai dalam arti
yang sangat luas. Pengertian agraria meliputi bumi, air dan kekayaan
alam yang terkandung didalamnya. Dalam batas-batas seperti yang
ditentukan dalam Pasal 48, bahkan meliputi juga ruang angkasa. Yaitu
bumi dan air yang mengandung : tenaga dan unsur-unsur yang dapat
digunakan untuk usaha-usaha memelihara dan memperkembangkan
kesuburan bumi, air serta kekayaan alam yang terkandung didalamnya
dan hal-hal lainnya yang bersangkutan dengan itu.
Sebutan tanah dalam bahasa Indonesia dapat dipakai dalam
berbagai arti, maka dalam penggunaannyaperlu diberi batasan, agar
diketahui dalam arti apa istilah tersebut digunakan. Dalam hukum tanah
kata sebutan “tanah” dipakai dalam arti yuridis, sebagai suatu
pengertian yang telah diberi batasan resmi oleh UUPA.
Pengertian tanah diatur dalam Pasal 4 UUPA dinyatakan bahwa
atas dasar hak menguasai dari negara sebagai yang dimaksud dalam
pasal 2 ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi,
yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh
23
orang-orang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain
serta badan-badan hukum.17
Dengan demikian jelaslah, bahwa tanah dalam pengertian yuridis
adalah permukaan bumidan hak atas tanah adalah hak atas sebagian
tertentu permukaan bumi, yang berbatas, berdimensi dua dengan
ukuran panjang dan lebar.18Tanah diberikan dan dimanfaatkan oleh
orang dengan hak-hak yang disediakan oleh UUPA, adalah untuk
digunakan dan dimanfaatkan.
Penggunaan tubuh bumi harus langsung ada hubungannya
dengan gedung yang dibangun diatas tanah yang bersangkutan.
Misalnya untuk pemancangan tiang-tiang pondasiuntuk basement,
ruang parkir dan lain-lain keperluan yang langsung berhubungan
dengan pembangunan dan penggunaan gedung yang dibangun.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia(1994) tanah adalah :
a. Permukaan bumi atau lapisan bumi yang diatas sekali;
b. Keadaan bumi disuatu tempat;
c. Permukaan bumi yang diberi batas;
d. Bahan-bahan dari bumi, bumi sebagai bahan sesuatu
(pasir, cadas, napal dan sebagainya).
17
Pasal 4Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria
Supriadi , 2006, Hukum Agraria, Sinar Grafika, Jakarta. hlm. 3.
18
24
Dengan demikian yang dipunyai dengan hak atas tanah itu adalah
tanahnya, dalam arti sebagian tertentu dari permukaan bumi.Tetapi
wewenang menggunakan yang bersumber pada hak tersebut diperluas
hingga meliputi juga “sebagian tubuh bumi yang ada dibawahnya dan
air serta ruang yang ada diatasnya”.19
2. Pendaftaran Tanah
Sejak berlakunya Undang-undang No.5 Tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pertanahan disebut juga Peraturan Dasar PokokPokok Agraria, perihal pendaftaran tanah merupakan fokus proritas
perhatian bagi pemerintah untuk dilaksanakan segera. Latar belakang
besarnya perhatian pemerintah dalam hal pendaftaran tanah ini selaras
dengan makna didalam pasal 19 ayat 1 UUPA , yang menyebutkan
bahwa untuk menjamin adanya kepastian hukum dan kepastian hak
atas
tanah,
maka
oleh
pemerintah
diadakan
pendaftaran
tanah.20Dengan adanya pendaftaran tanah tersebut seseorang dapat
dengan mudah memperoleh keterangan berkenaan dengan sebidang
tanah, seperti hak apa yang dipunyai, berapa luas lokasi tanah, apakah
dibebani hak tanggungan.
Sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1 Peraturan Pemerintah
Nomor 24 tahun1997 bahwa defenisi pendaftaran tanah adalah suatu
rangkaian kegiatan yang dilakukanoleh Pemerintah secara terus
19
Ibid, hal. 18.
Suryaman Mustari Pide, 2009, Quo Vadis Pendaftaran Tanah, PUKAP, Indonesia. Hlm. 1.
20
25
menerus, berkesinambungan dan teratur, meliputi 6 (enam) hal, yaitu
pengumpulan,
pengolahan,
pembukuan
dan
penyajian
serta
pemeliharaan data fisik dan data yuridis dalam bentuk peta dan daftar
mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun,
termasuk pemberian surat tanda bukti haknya bagi bidang-bidang tanah
yang sudah ada haknya dan hak milik atas satuan rumah susun serta
hak-hak tertentu yang membebaninya.21Defenisi tersebut di atas
merupakan penyempurnaan dari ruang lingkup kegiatan pendaftaran
tanah berdasarkan Pasal 19 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 10
tahun 1961 yang hanya meliputi : pengukuran, perpetaan dan
pembukuan tanah, pendaftaran dan peralihan hak atas tanah serta
pemberian tanda bukti hak sebagai alat pembuktian yang kuat.
Prof. Boedi Harsono memberikan pengertian bahwa pendaftaran
tanah
adalah
suatu
Negara/Pemerintah
rangkian
secara
kegiatan,
yang
dilakukan
terus-menerus
dan
teratur,
oleh
berupa
pengumpulan keterangan atau data tertentu mengenai tanah-tanah
tertentu diwilayah-wilayah tertentu, pengolahan, penyimpanan dan
penyajiannya bagi kepentingan rakyat, dalam rangka memberikan
jaminan kepastian hukum dibidang pertanahan termaksud penerbitan
tanda buktinya dan pemeliharaannya.22
21
Indonesia, Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, Pasal 1 Ayat
(1)(Yogyakarta:Pustaka Yustisia), hal. 227
22
Boedi Harsono, Loc. Cit, hal 72.
26
Selain memperluas ruang lingkup pendaftaran tanah, Peraturan
Pemerintah Nomor 24 tahun 1997juga memperluas tujuan pendaftaran
tanah yang mana juga memperkenalkan prinsip-prinsip berupa asas,
minimal lima asas dalam pelaksanaannya, yaitu asas sederhana,
aman, terjangkau, mutakhir dan terbuka.
Secara garis besar, aspek hukum yang terkandung dalam
pelaksanaan pendaftaran tanah di dalamnya dapat dilihat dari cara
pendaftaran tanah, misalnya seperti pendaftaran tanah dilakukan
secara sistematik dan pendaftaran tanah secara sporadik.23Pendaftaran
tanah secara sistematis merupakan kegiatan pendaftaran tanah
untukpertama kali yang dilakukan secara serentak yang meliputi semua
obyek pendaftaran tanah yang belum didaftar dalam suatu wilayah atau
bagian
wilayah
suatu
desa/kelurahan.Pendaftaran
tanah
secara
sporadik sendiri merupakan kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama
kali mengenai satu beberapa obyek pendaftaran tanah dalam wilayah
atau bagian wilayah suatu desa/kelurahan secara individual atau
massal.
Secara
yuridis-teknis,
pendaftaran
tanah
juga
terdiri
dari
pendaftaran tanah untuk pertama kali dan pemeliharaan data
pendaftaran tanah. Pendaftaran tanah pertama kali adalah kegiatan
pendaftaran tanah yang dilakukan terhadap obyek pendaftaran tanah
yangbelum terdaftar.
23
Pasal 11 Ayat 2 Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.
27
Seperti diketahui bahwa pendaftaran tanah adalah bertujuan untuk
memperolehsuatu bentuk kepastian hukum dan kepastian hak bagi
pemegang hak-hak atas tanah. Dengan adanya pendaftaran tanah
diharapkan bahwa seseorang pemegang hak atas tanah akan merasa
aman dan tidak ada gangguan hak atas tanah yang dipunyainya atas
sebidang
tanah.
Maka
dalm
hal
ini
diperlukan
sistem-sistem
pelaksanaan pendaftaran tanah yang dipergunakan atau dianut oleh
suatu negara.
Dari beberapa sistem pendaftaran tanah itu antara lain24 :
a) Pendaftaran tanah sistem torrens
b) Pendaftaran tanah sistem negatif
c) Pendaftaran tanah dengan sistem positif
Untuk menjamin kepastian hukum dan kepastian hak atas tanah di
Indonesia, kepada pemerintah diwajibkan untuk menyelenggarakan
pendaftaran tanah diseluruh wilayah indonesia.demikian ketentuan
yang termaksud dalam Pasal 19 ayat 1 Undang-undang Nomor 5 tahun
1960 tentang UUPA merupakan dasar hukum dalam pendaftran tanah.
C. TANAH ADAT
Sebagai norma, hukum adalah setiap kesepakatan antara dua
atau lebih manusia tentang apa
yang boleh, wajib atau dilarang
24
Suryaman Mustari Pide, 2009, Quo Vadis Pendaftaran Tanah, PUKAP, Indonesia. Hlm.14.
28
dilakukan di antara mereka serta padahan yang ditimpakan secara
nyata kepada orang yang melanggarnya (punya sanksi Hukum).
Tanah adalah bagian dari permukaan bumi dengan batas-batas
tertentu. Tanah itu dapat barupa daratan, lautan, sungai, danau, bukit,
gunung. Pentingnya Tanah Dalam Hukum Adat
merupakan
kekayaan
persekutuan
hukum
yang
adat,
bersifat
Sarana
tetap,
karena Tanah
Tempat
memenuhi
berdirinya
kebutuhan
hidup
persekutuan dan warganya (tempat tinggal, sawah, ladang, tambak,
dsb.), Tempat dikebumikannya warga persekutuan yang meninggal,
Alat pemersatu persekutuan, Tempat bermukimnya roh-roh leluhur dan
pelindung persekutuan.
Tanah mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam hukum
adat karena merupakan satu-satunya benda kekayaan meskipun
mengalami keadaan sebagaimanapun akan tetap dalam keadaan
semula, malah terkadang tidak menguntungkan bila dipandang dari
segi ekonomis. Kecuali itu adalah suatu kenyataan, bahwa tanah
merupakan
tempat
tinggal
keluarga
dan
masyarakat,
tempat
pencaharian, tempat penguburan, bahwa menurut kepercayaan
mereka adalah tempat tinggal dayang-dayang pelindung persekutuan
dan leluhur persekutuandidalam hukum adat, masyarakat hukum adat
merupakan satu kesatuan dengan tanah yang didudukinya, terdapat
hubungan yang erat sekali, hubungan yang bersumber pada
pandangan yang bersifat religio-magis, hubungan ini menyebabkan
29
masyarakat hukum memperoleh hak untuk menguasai tanah tersebut,
memanfaatkannya, memungut hasil dari tumbuh-tumbuhan yang
hidup diatas tanah juga berburu terhadap binatang-binatang yang
terdapat pada tanah.
Ada dua hal yang menyebabkan tanah itu memiliki kedudukan
yang sangat penting didalam hukum adat, yaitu disebabkan25 :
a. Karena sifatnya
Yakni merupakan satu-satunya benda kekayaan yang meskipun
mengalami keadaan yang bagaimanapun juga akan tetapi tokoh
akan masih bersifat tetap dalam keadaanyabahkan kadangkadang malahan malah lebih menguntungkan.
b. Karena faktanya
Yaitu kenyataannya bahwa tanah itu adalah :
1) Merupakan tempat tinggal persekutuan (masyarakat).
2) Memberikan
penghidupan
kepada
persekutuan
(masyarakat).
3) Merupakan tempat dimana para warga
persekutuan
(masyarakat) yang meninggal dunia dikuburkan.
4) Merupakan pula tempat tinggal bagi danyang-danyang
pelindung persekutuan
(masyarakat) dan roh-roh para
leluhur persekutuan (masyarakat).
25
Tolib Setiady, 2009, Intisari Hukum Indonesia dalam Kajian Kepustakaan, Alafabeta, Bandung.
hlm. 311.
30
Di Indonesia,hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang
angkasa ialah hukum adat dimana sendi-sendi dalam hukum
tersebutberasal dari masyarakat hukum adat setempat, sepanjang tidak
betentangan
dengan
kepentingan
nasional,
dan
negara
yang
berdasarkan persatuan bangsa dan sosialisme Indonesia. Dengan
demikian
menurut
B.F.Sihombing,
hukum
tanah
adat
adalah
kepemilikan dan penguasaan sebidang tanah yang hidup dalam
masyarakat adat pada masa lampau dan masa kini serta ada yang
tidak mempunyai bukti-bukti kepemilikan secara autentik atau tertulis,
kemudian pula ada yang didasarkan atas pengakuan dan tidak tertulis.
adapuntanah adat di bagi menjadi dua, yaitu26 :
1. Hukum Tanah Adat Masa Lalu
tanah hukum adat masa lampau adalah tanah-tanah yang dimiliki
dan dikuasai oleh seseorang dan atau sekelompok masyarakat
adat yang memiliki dan menguasai serta menggarap, mengerjakan
secara tetap maupun berpindah-pindah sesuai dengan daerah,
suku dan budaya hukumya, kemudian secara turun-temurun masih
berada didaerah lokasi tersebut, dan atau mempunyai tanda-tanda
fisik berupa sawah, ladang. Hutan dan simbol-silbol berupa makam,
patung, rumah-rumah adat, dan bahasa daerah sesuai daerah yang
ada di negara republik Indonesia.
26
Supriadi , 2006, Hukum Agraria, Sinar Grafika, Jakarta. hlm. 9.
31
2. Hukum Tanah Adat Masa Kini
Ciri-ciri tanah hukum adat masa kini adalah tanah-tanah yang
dimiliki seseorang atau sekelompok masyarakat adat dan didaerah
masyarakat pedesaan maupun dikawasan perkotaan, sesuai
dengan daerah suku dan budaya hukumnya kemudian secara
turun-temurun atau telah berpindah tangan kepada orang lain dan
mempunyai bukti-bkti kepemilikan serta secara fisik dimiliki atau
dikuasai sendiri dan atau dikuasai orang/badan hukum.
Ebenezer
Acquaye
mengingatkan
bahwa,
dalam
mengkaji
masalah kepemilikan hak tanah adat akan didapatkan perbedaan
pemahaman, mengingat setiap kelompok masyarakat adat sendiri
memiliki
penafsiran
yang
berbeda
berkenaan
dengan
sistem
kepemilikan tanah ini. Meskipun demikian, secara konseptual teoritik,
beberapa atribut yang biasanya dijumpai dalam customary tenurial
systems berikut ini bisa dijadikan panduan untuk mulai memahaminya.
1. Hak kepemilikan tanah masyarakat adat pada kenyataannya
merupakan kepemilikan dalam hukum yang tidak tertulis yang
diketahui dan dilegitimasi oleh kelompok mereka, tidak ada
jaminan mutlak dari pemerintah.
2. Dalam kepemilikan tanah adat, sering ditemukan adanya unsurunsur kepercayaan, mistis, dan kepercayaan keagamaan,
32
3. Dibawah ketentuan tanah adat, hak tertinggi penguasaan tanah
biasanya dikuasai oleh kelompok sosial, seperti suku, desa,
klan, kerabat, atau keluarga.
4. Dalam prakteknya penguasaan hak atas tanah dikuasakan
kepada pemimpin kelompok yang dituakan dan bertindak atas
nama kelompok masyarakat adat yang lebih rendah posisinya.
5. Terdapatnya hak-hak khusus yang ada di dalam ketentuan
hukum adat bagi anggota kelompoknya, seperti hak khusus
untuk pemimpin kelompok, dan anggota kelompok tertentu.
6. Hak-hak individual dapat diturunkan berdasarkan dua hal, yaitu
(a) individu tersebut merupakan anggota kelompok masyarakat
adat, (b) akuisisi yang diperoleh dari kelompok masyarakat adat
dari kelompok masyarakat adat lainnya.
7. Hak individual untuk memanfaatkan tanah bisa dikembalikan
kepada kelompok yang lebih besar jika terjadi penolakkan oleh
anggota kelompok/masyarakat adat lainnya, atau sehubungan
dengan habisnya waktu hak penguasaan yang diberikan
kepada seseorang dari anggota kelompok, atau berdasarkan
adanya keputusan masyarakat adat yang baru.
8. Penegasan atas hak absolut hak atas tanah di bawah ketentuan
hukum adat tidak dapat dialihkan, dan atau perlu adanya
klarifikasi sejauh adanya bukti historis atas penguasaan tanah
33
oleh kelompok masyarakat adat tersebut, atau secara tegas
ditentukan berdasarkan ketentuan hukum yang dikodifikasikan.
D. Hak Ulayat
Bagi warga masyarakat Indonesia, hak ulayat telah lama dikenal,
walaupun dengan penanaman yang berbeda-beda.yang kemungkinan
juga peraturannya agak berbeda pada masyarakat adat yang satu
dengan yang lainnya.
Membahas mengenai hak ulayat berarti membicarakan dalam dua
makna, yaitu disatu pihak makna yang telah lama dikenal dalam
masyarakat adat dan makna yang lain yang diperkenalkan oleh
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok
Agraria.
Salah satu bentuk kekayaan material dari suatu masyarakat
hukum atau persekutuan hukum adat menurut defenisi Ter Haar dan
para ilmuan hukum adat sebagaimana telah dibahas sebelumnya.
Itulah sebabnya, sehingga hak kolektif atas tanah dari suatu
masyarakat hukumatau persekutuan hukum adat diminangkabau
disebut ulayat. Tekhnis hukum adatnya yang diperkenalkan oleh Van
Vollenhoven pada tahun 1909 adalah beschikkingsrecht. Istilah teknis
inilah yang diterjemahkan tidak secara leksikal menjadi “hak kolektif
masyarakat hukum atau persekutuan adat atas tanah”.27
27
Suryaman Mustari Pide, 2007, Dilema Hak Kolektif Eksistensi dan Realitas Sosialnya Pasca
UUPA, Pelita Pustaka, Jakarta. Hlm. 96.
34
Pertimbangan
atas
pemakaian
istilah
beschikkingsrechtmemang
merupakan
hak
ini
adalah
kolektif,
karena
bukan
hak
individual warga suatu masyarakat hukum atau persekutuan hukum.
Tidak digunkannya nomenklatur hak ulayat karena ulayat hanyalah
salah satu istilah lokal yang diadopsi dalam Pasal 3 UUPA dan
umumnya dipersepsi secara keliru oleh warga masyarakat disamping
sejumlah lainnya didaerah yang berbeda-beda.untuk sekian banyaknya
nomenklatur yang berbeda itu, Pasal 3 UUPA menambah dengan anak
kalimat “hak-hak yang serupa itu” dibelakang “hak ulayat”. Perubahan
pada pasal 3 pada hakikatnya menunjukkan banyaknya nama untuk hal
yang samadengan hak ulayat, sehingga dijadikan kelengkapan
pertimbangan untuk menggunakan nama “hak kolektif masyarakat”
tersebut, meskipun lebih menekankan pada aspek haknya yang jelas
bersifat publiekrechtelijk(menurut sistem hukum adat).
Sifat publiekrechtelijkdari hak kolektif masyarakat tersebut dapat
dipahami dari Van Vollenhoven yang menyatakan bahwa 28:
“beschikkingsrechtadalah suatu hak yang sudah sangat tua,
terdapat diseluruh indonesia yang asal mulanya bersifat
keagamaan. Hak ini dipunyaioleh suatu suku (stam) atau sebuah
gabungan desa (dorpenbond) atau sebuah desa saja (atau tidak
dipunyai oleh seorang individu).
Dengan adanya pengakuan keberadaan hak pemilikan atas tanah
(hak ulayat) dan masyarakat hukum adat mulai diperhatikan setelah
dikeluarkan dan diberlakukannya UUPA. Berdasarkan Pasal 3 UUPA
28
Ibid.hal.97.
35
disebutkan “Dengan mengingat ketentuan-ketentuan Pasal 1 dan 2,
pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat
hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, sesuai
dengan kepentingan nasional dan negara, berdasarkan atas persatuan
bangsa dan tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan
peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi”.29
Menurut Boedi Harsono, yang dimaksud dengan hak ulayat
masyarakat hukum adat adalah serangkaian wewenang dan kewajiban
suatu masyarakat hukum adat, yang berhubungan dengan tanah yang
terletak dalam lingkungan wilayahnya.30
Salah satu peraturan yang sangat jelas mengenai keberadaan
tanah ulayat adalah Peraturan Meneg Agraria/Kepala BPN No 5 tahun
1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat
Hukum
Adat.
pada Pasal 1
disebutkan:
”hak ulayat” adalah
kewenangan yang menurut hukum adat dipunyai oleh masyarakat
hukum adat tertentu atas wilayah tertentu yang merupakan lingkungan
hidup para warganya untuk mengambil manfaat dari sumber daya alam,
termasuk tanah, dalam wilayah tersebut, bagi kelangsungan hidup dan
kehidupannya, yang timbul dari hubungan secara lahiriah dan batiniah
29
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria.
Boedi Harsono – I, Op.cit.,hlm. 185
30
36
turun menurun dan tidak terputus antara masyarakat hukum adat
tersebut dengan wilayah yang bersangkutan.31
Salah satu lingkup hak ulayat adalah tanah, yang disebut tanah
ulayat. Tanah ayat menurut pasal 1 dan 2 Permen Agraria/Kepala BPN
No. 5 Tahun 1999, adalah bidang tanah yang diatasnya terdapat hak
ulayat dari masyarakat hukum adat tertentu. Hak ulayat dikelola oleh
masyarakat hukum adat, yaitu sekelompok orang yang terikat oleh
tatanan hukum karena kesamaan tempat tinggal ataupun atas dasar
keturunan (Pasal 1 angka 3 Permen Agraria/Kepala BPN No. 5 Tahun
1999).
Adapun yang menjadi objek hak ulayat meliputi:Tanah (daratan),
Air (perairan) seperti misanya kali, danau, pantai beserta perairannya,
Tumbuh-tumbuhan yang hidup secara liar (pohon buah-buahan, pohonpohon untuk kayu petukangan atau kayu bakardan lain sebagainya),
Binatang-binatang yang hidup diatas LINGKUNGAN ULAYAT (hidup
liar, bebas dalam hutan).32
Hak ulayat masyarakat hukum adat dianggap masih ada menurut
Pasal 2 Permen Agraria/Kepala BPN No. 5 Tahun 1999, jika 33:
a. Terdapat sekelompok orang yang masih terikat oleh tatanan
hukum adatnya sebagai warga bersama suatu hukum tertentu,
31
Peraturan Meneg Agraria/Kepala BPN No 5 tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian
Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat.
32
Tolib Setiady, 2009, Intisari Hukum Indonesia dalam Kajian Kepustakaan, Alafabeta, Bandung.
hlm. 316.
33
Urip Santoso, 2012, Hukum Agraria Kajian Komprehensif, Prenada Media Group, Kencana. Hlm.
82.
37
yang
mengakui
dan
menerapkan
ketentuan-ketentuan
persekutuan tersebut dalam kehidupannya sehari-hari.
b. Terdapat tanah ulayat tertentu yang menjadi lingkungan hidup
para warga persekutuan hukum tersebut dan tempatnya
mengambil keperluan hidupnya sehari-hari; dan
c. Terdapat
tatanan
hukum
adat
menegani
pengurusan,
penguasaan dan penggunaan tanah ulayat yang berlaku dan
ditaati oleh para warga persekutuan hukum tersebut.
Selain itu UUPA menghormati keberadaan hukum adat , oleh
karenanya, terdapat ‘bhineka tunggal ika’ di dalam hukum agraria
nasional, hal mana ditandai dengan adanya pluralisma hukum di dalam
hukum agraria Indonesia.
E. Tanah Negara
Tanah
dalam
pengertian
yuridis
adalah
permukaan
bumi
sedangkan hak atas tanah adalah hak atas sebagian tertentu
permukaan bumi, yang berbatas, berdimensi dua dengan ukuran
panjang dan lebar.
Menurut Roger H. Soltau. Negara adalah alat (agency) atau
wewenang
(authority)
yang
mengatatur
dan
mengandalikan
persoalan-persoalan bersama atas nama masyarakat .34
34
Supriyadi, S.H., M.Hum, 2010, Aspek Hukum Tanah Aset Daerah, Prestsi Pustaka, Jakarta. hlm.
77.
38
Dalam Pasal 1 ayat (3) menyatakan bahwa bahwa Tanah negara
atau tanah yang dikuasai langsung oleh negara adalah tanah yang
tidak dipunyai dengan sesuatu hak atas tanah.35
Istilah tanah negara yang populer saat ini berasal dari peninggalan
pemerintahan jajahan hindia belanda yang menganggap tanah milik
“pemerintah belanda”, sehingga pada waktu itu semua tanah menjadi
tanah negara. Keputusan pemerintahan jajahan hindia belanda
tersebut tertuang dalam sebuh peraturan pada masa itu, yang diberi
nama keputusan Agraria atau “ Agrarische Blesluit”.
Menurut Dirman, tanah-tanah negara dapat dibagi atas dua
bagian yaitu 36:
a. Tanah negara yang bebas (Virj Staatsdomein) artinya tanah
negarayang tidak terikat dengan hak-hak bangsa Indonesia.
b. Tanah negara yang tidak bebas, (Onvirj Staatsdoemein) artinya
tanah negara yang terikat dengan hak-hak bangsa In donesia.
Pada tahun 1953 pemerintah mengeluarkan perturan pertama
yang mengatur tanah negara, yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 8
Tahun 1953 L.N. 1953 Nomor 14 tentang penguasaan tanah-tanah
negara, dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan tanah negara yang
dikuasai penuh oleh negara, kecuali dengan penguasaan atas tanah
35
Pasal 1 Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.
Supriadi , 2006, Hukum Agraria, Sinar Grafika, Jakarta. hlm. 21.
36
39
negara dengan undang-undang atau peraturan lain pada waktu
berlakunya peraturan pemerintah ini telah diserahkan kepada suatu
kementrian, jawatan atau daerah swantara maka penguasaan tanah
negara ada pada mentri dalam negeri.
Hak menguasai negara atas tanah bersumber pada hak bangsa
Indonesia atas tanah, yang hakikatnya merupakan penugasan
pelaksanaan tugas kewenangan bangsa yang mengandung unsur
hukum publik.tugas mengelola seluruh tanah bersama tidak mungkin
dilaksanakan
oleh
seluruh
bangsa
indonesia,
maka
dalam
penyelenggaraannya , bangsa indonesia sebagai pemegang hak dan
pengembang amanat tersebut, pada tingkatan tertinggi dilaksanakan
kepada negara indonesia sebagai organisasi kekuasaan seluruh
rakyat (Pasal 2 ayat (1) UUPA).
Isi wewenang hak menguasai negara atas tanah sebagaimana
dimuat dalam Pasal 2 ayat 2 UUPA adalah37 :
1) Mengatur dan menyelanggarakan peruntukkan, penggunaan,
persediaan,
dan
pemeliharaan
tanah.
Termaksud
dalam
wewenang ini adalah :
a. Membuat suatu rencana umum mengenai , penggunaan,
persediaan, dan pemeliharaan tanah untuk berbagai keperluan
37
Urip Santoso, 2012, Hukum Agraria Kajian Komprehensif, Prenada Media Group, Kencana. Hlm.
79.
40
b. Mewajibkan
memelihara
kepada
pemegang
tanah,termaksud
hak
atas
tanah
menambah kesuburan
untuk
dan
mencegah kerusakannya (Pasal 15 UUPA).
2) Menentukan dan mengatur hubungan hukum antara orang-orang
dengan tanah. Termaksud dalam wewenang ini :
a. Menentukan hak-hak atas tanah yang bisa diberikan atas
warga negara indonesia baik sendiri-sendiri maupun bersamasam dengan orang lain, atau kepada badan hukum..
b. Menetapkan dan mengatur menegnai pembatasan jumlah
bidang dan jumlah tanah yang dapat dimiliki oleh seseorang
atau badan hukum (Pasal 16 UUPA).
3) Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara
orang-orang dan perbuatan hukum yang mengenai tanah.
Termaksud dalm wewenang ini adalah :
a. Mengatur pelaksanaan pendaftaran tanah diseluruh wilayah
republik Indonesia.
b. Mengatur pelaksanaan peralihan hak atas tanah
c. Mengatur penyelesaian sengketa-sengketa pertanahan baik
yang bersifat perdatamaupun tata usaha negara, dengan
mengutamakan
cara
musyawarah
untuk
mencapai
kesepakatan.
Tujuan hak menguasai negara atas tanah dimuat dalam Pasal 2
ayat 3 UUPA, yaitu untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat,
41
dalam arti kebahagiaan, kesejahtraan, dan kemerdekaan dalam
masyarakatdan negara hukum Indonesia yang merdeka, berdaulat adil
dan makmur.
Pelaksanaan hak menguasai negara atas tanah dapat dikuasakan
atau dilimpahkan kepada daerah-daerah swantantra (Pemerintah
Daerah) dan masyarakat hukum adat, sekedar diperlukan dan tidak
bertentangan dengan kepentingan nasional menurut kepentingankepentinag
pemerintah
(Pasal
2
ayat
4
UUPA).
Pelimpahan
pelaksanaan sebagian kewenangan negara tersebut dapat juga
diberikan kepada otorota, perusahaan negara, dan perusahaan daerah
dan
pemberian
penguasaan
tanah-tanah
tertentu
dengan
hak
pengelolaan (HPL).
F. PENGUASAAN DAN PEMANFAATAN TANAH
Pengertian “penguasaan” dan “menguasai”dapat dipakai dalam
arti fisik, juga dalam arti yuridis. Juga beraspek perdata dan beraspek
publik.38
Penguasaan yuridis dilandasi hak yang dilindungi oleh hukum
dan umumnya memberi kewenangan kepada pemegang hak untuk
menguasai secara fisik tanah yang dihaki akan tetapi juga ada juga
penguasaan yuridis yang biarpun
memberi kewenangan untuk
menguasai tanah yang dihaki secara fisik. Pada kenyataanya
38
Boedi Harsono, 2007, Hukum Agraria Indonesia sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok
Agraria, isi dan Pelaksanaannya, jld 1, Djambatan, Jakarta. hlm. 23.
42
penguasaan fisiknya dilakukan pihak lain. Misalnya kalau tanah yang
dimiliki disewakan kepada pihak lain dan penyewa menguasai secara
fisik. Atau tanah tersebut dikuasai secara fisik oleh pihak lain tanpa
hak.39 Dalam hal ini pemilik tanah berdasarkan hak penguasaan
yuridisnya, berhak untuk menuntut diserahkannya kembali tanah yang
bersangkutan secara fisik kepadanya.
Menguasai dan menggunakan tanah secara individual berarti
bahwa tanah yang bersangkutan boleh dikuasai secara perorangan.
Tidak ada keharusan menguasainya bersama-sama dengan orangorang lain secara kolektif, biarpun menguasai dan meggunakan
tanahsecara bersama dimungkinkan dan diperbolehkan.
Hal ini ditegaskan dalam Pasal 4 ayat (1)UUPA yang
menyatakan bahwa:
“ atas dasar menguasai dari negara sebagai hal yang dimaksud
dalam Pasal 2, ditentukan bermacam-macam hak diats
permukaan bumi yang disebut tanah, yang dapat diberikan
kepada dan dipunyai oleh orang-orang, “baik sendiri maupun
bersama-sama dengan orang-orang lain dan badan-badan
hukum” menunjukkan bahwa dalam konsepsi hukum tanah
nasional,
tanah-tanah
tersebut
dapat
dikuasai dan
dipergunakan secara individual dan tidak ada keharusan untuk
menguasai dan menggunakannya secara kolektif”.
Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan
bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya
dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat. UUPA menegaskan bahwa “dikuasai” oleh negara
39
Ibid, hal. 23.
43
bukanlah berarti bahwa negara bertindak sebagai pemilik tanah, akan
tetapi lebih tetap bila dirtikan sebagai organisasi kekuasaan seluruh
rakyat (bangsa), bertindak selaku penguasa.
Aturan dasar dalam konstitusi menyangkut pengelolaan sumber
daya alam tersebut termaksud dalam penegertian “dikuasai oleh
negara” tersebut kemudian dijabarkan dalam UUPA. Pasal 2 ayat (1)
UUPA ditentukan :
Atas dasar ketentuan dalam pasal 33 ayat (3) UUD dalam hal-hal
sebagai yang dimaksud dalam pasal 1, bumi, air dan ruang
angkasa,
termaksud
kekayaan
alam
yang
terkandung
didalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh negara,
sebagai organisasi seluruh rakyat Indonesia. Selanjutnya pada
ayat 2 diuraikan bahwa hak menguasai dari negara termaksud
dalam ayat 1pasal ini memberi wewenang untuk :
a. Mengatur dan menyelanggarakan peruntukan, penggunaan,
persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa
tersebut.
b. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum
antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa.
c. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum
antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang
mengenai bumi, air dan ruang angkasa.
44
Dalam penjelasan UUPA dijelaskan bhwa pengertian “dikuasai”
bukan berarti “dimiliki” akan tetapi pengertian yang memberi wewenang
kepada negara sebagai organisasi kekuasaandari bangsa Indonesia
untuk melakukan wewenang sebagaimana disebutkan dalam Pasal 2
ayat (2) tersebut.
Penyebutan Agrariadalam arti yang demikian luasnya, maka
dalam pengertian UUPA Hukum Agraria bukan hanya merupakan satu
perangkat bidang hukum. Hukum agraria merupakan suatu kelompok
berbagai bidang hukum, yang masing-masing mengatur hak-hak
penguasaan atas sumber-sumber daya alam tertentu yang termaksud
pengertian agraia. Kelompok tersebut terdiri atas 40:
a. Hukum tanah, yang mengatur hak-hak penguasaan atas
tanah,dalam arti permukaan bumi ;
b. Hukum Air, yang mengatur hak-hak penguasaan atas air;
c.
Hukum
pertambangan,
yang
mengatur
hak-hak
penguasaan atas bahan galian yang dimaksudkan dalam
UU pokok pertambangan;
d. Hukum perikanan yang mengatur hak-hak penguasaan
atas kekayaan alam yang terkandung didalam air;
e. Hukum penguasaan atas tenaga dan unsur-unsur dalam
ruang angkasa.
40
Boedi Harsono, 2007, Hukum Agraria Indonesia sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok
Agraria, isi dan Pelaksanaannya, jld 1, Djambatan, Jakarta. hlm. 8.
45
Berdasarkan Pasal 16 UUPA , sistem penguasaan tanah di
Indonesia mengakui adanya berbagai hak berikut :
1. Hak milik
Hak milik menurut pasal 20 ayat 1 UUPA adalah hak turun
temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipenuhi orang atas
tanah dengan mengingat ketentuan pasal 6. Hak milik atas
tanah dapat dipunyai oleh perseorangan warga Indonesia atau
badab-badab hukum yang ditunjuk oleh pemerintah.
2. Hak guna usaha
Hak guna usaha menurut pasal 28 ayat 1UUPA, yang
dimaksud dengan hak guna usaha adalah hak untuk
mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh negara,
Jangka waktu HGU yang pertama kali paling lama 35 tahun,
dan dapat diperpanjang paling lama 25 tahun. dalam jangka
waktu
sebagaimana
tersebut
dalam
pasal
29,
guna
perusahaan pertanian, perikanan dan peternakan. Adapun
subjek HGU menurut pasal 30 UUPA jo. Pasal 2 PP No. 40
Tahun 1996 adalah
a. Warga negara Indonesia
b. Badan Hukum yang didiriakan menurut hukum Indonesia
dan berkedudukan di Indonesia.
Bagi pemegang HGU yang tidak memenuhi sebagai subjek ,
maka dalam jangka waktu 1 tahun wajib melepaskan atau
46
mengalihkan tanahnya kepada pihak lain yang memenuhi
syarat. Kalau hal ini tidak dilakukan, maka HGU hapus karena
hukum dan tanahnya menjadi tanah negara.41
3. Hak guna bangunan
Hak guna bangunan menurut pasal 35 UUPA adalah hak
untuk mendirikan dan memiliki bangunan diatas tanah yang
dimiliki oleh pihak lain untuk jangka waktu maksimum 30
tahun dan dapat diperpanjang paling lama 20 tahun. Suatu
hak guna bangunan dapat dipindahkan kepada pihak lain.
Kepemilikan hak guna bangunan juga hanya bisa didapatkan
oleh warga negara Indonesia dan perusahaan yang didirikan
dibawah hukum Indonesia yang berdomisili di Indonesia.
4. Hak pakai
Hak pakai menurut Pasal 41 ayat 1 UUPA adalah hak untuk
menggunakan, dan/atau memungut hasil dari tanah yang
dikuasai langsung oleh negara atau tanah yang dimiliki oleh
individu lain, yang memberi wewenang dan kewajiban yang
ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat yang
berwenang memberikannya atau dalam perjanjian dengan
pemilik tanahnya, yang bukan perjanjian sewa-menyewa atau
perjanjian pengolahan tanah, segala sesutu asal tidak
bertentangan jiwa dan ketentuan UUPA. Hak pakai tidak
41
Urip Santoso,2010, Hukum Agraria & Hak-hak Atas Tanah, Kencana. Jakarta. Hlm.99.
47
menentukan secara tegas berapa lama jangka waktunya.
Adapun subjek dari hak pakai menurut Pasal 42 UUPA
adalah:
a. Warga Negara Indonesia
b. Orang asing yang berkedudukan diindonesia
c. Badan hukum yang didirkan menurut hukum Indonesia
d. Badan hukum asing yang mempunyai perwalian di
Indonesia.
5. Hak sewa untuk bangunan
Hak sewa untuk bangunan menurut pasal 44 ayat1 UUPA
adalah hak yang dimiliki seseorang atau badan hukum untuk
mendirikan dan bangunan diatas tanah hak milik orang lain
dengan membayar sejumlah uang sewa tertentu dan dalam
jangka waktu tertentu yang disepakati oleh pemilik tanah
dengan pemegang hak sewa untuk bangunan.
6. Hak untuk membuka tanah dan hak untuk memungut hasil
hutan - Hak membuka tanah dan hak memungut -hasil-hutan
hanya bisa didapatkan oleh warga negara Indonesia dan
diatur oleh Peraturan Pemerintah.
7. Hak tanggungan
hak tanggungan tercantum dalam Undang Undang Nomor 4
Tahun 1996 sehubungan dengan kepastian hak atas tanah
dan obyek yang berkaitan dengan tanah (Security Title on
48
Land and Land-Related Objects) dalam kasus hipotek UUPA
1960 juga seringkali menyebutkan hak ulayat, meski definisi
hak ini tidak terjabarkan secara jelas. Pihak yang mempunyai
hak
ulayat
adalah
masyarakat
hukum
adat
sebagai
penjelmaan dari seluruh anggotanya bukan orang atau
perorangan.
Penguasaan atas tanah tidak terlepas dari perlu adanya
Tenurial Security yang diartikan sebagai kepastian penguasaan tanah
dan segala hasil olahan di atas tanah.
Ditinjau dari sudut hukum tanah, tanah diatas mana ada
tumbuh-tumbuhannya
itu,
biarpun
memenuhi
unsur
hutan,
penguasaannya diatur oleh hukum tanah.
49
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Lokasi Penelitian
Untuk memperoleh data dan informasi yang dibutuhkan dalam
penyusunan skripsi ini, maka penulis akan melaksanakan penelitian di
Kabupaten
MajeneSulawesiBarat
,
yaitu
pada
Pemerintah
DaerahKabupaten MajeneSulawesi Barat, Masyarakat Adat dan Badan
Pertanahan Nasional (BPN). Pemilihan lokasi tersebut didasarkan pada
pertimbangan bahwa instansi atau lembaga tersebut adalah instansi
atau lembaga yang berhubungan langsung dengan penulisan skirpsi ini.
B. Jenis dan Sumber Data
1. Jenis Data
Jenis data yang digunakan di dalam penelitian ini adalah data
primer dan data sekunder. Adapun jenis data yang dimaksud,
adapun sebagai berikut :
a. Data Primer
Data yang diperoleh secara langsung dari tempat melakukan
penelitian,dan hasil yang didapat melalui wawancara dengan
pihak-pihak terkait dengan permasalahan tersebut.
b. Data Sekunder
Data yang diperoleh melalui dari buku, tulisan atau makalahmakalah, dan dokumen-dokumen serta bahan lain yang
50
berhubungan dengan masalah yang penulis angkat dalam
penulisan tugas akhir.
2. Sumber Data
Data yang diperoleh bersumber dari :
a. Penelitian lapangan (Field Research)
Yaitu penelitian yang dilakukan secara langsung terhadap objek
penelitian yaitu pihak dari Pemerintah DaerahKabupaten
Majene, Badan Pertanahan Nasional dan Masyarakat Adat
Lima TandeKabupaten MajeneSulawesi Barat.
b. Penelitian kepustakaan (Library Research)
Yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara mengumpulkan
data dari berbagai sumber dan mempelajari buku-buku dan
literatur lainnya yang berhubungan dengan masalah yang
penulis angkat
untuk memperoleh dasar teoritis dalam
penulisan tugas akhir.
C. Teknik Pengumpulan Data
Dalam melakukan penelitian, baik penelitian lapangan maupun
penelitian literatur, diperoleh teknik pengumpulan data sebagai
berikut:
1. Teknik Wawancara (interview)
Yaitu mengumpulkan data secara langsung melalui tanya jawab
berdasarkan daftar pertanyaan yang telah disiapkan dan melakukan
wawancara tidak terstruktur untuk memperoleh data dan informasi
51
yang diperlukan melalui Pemerintah DaerahKabupaten Majene,
Badan Pertanahan Nasional (BPN) dan Masyarakat Adat Lima Tande.
2. Teknik Dokumentasi (Archivel Method)
Yaitu suatu teknik pengumpulan data dengan mempergunakan
dokumen-dokumen, catatan-catatan, laporan-laporan, dan bahanbahan yang relevan dengan permasalahan yang dibahas.
D. Analisis Data
Data yang diperoleh dari penelitian akan diolah, kemudian
dianalisis secara kualitatif. Data dari hasil analisis tersebut akan
disajikan dalam bentuk penyajian secara deskriptif.
52
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian
1. Keadaan Alam dan Lingkungannya
Kabupaten Majene merupakan salah satu dari 5 Kabupaten dalam
wilayah Sulawesi Barat yang beribukota di kecamatan Banggae dan,
terletak dipesisir pantai barat Sulawesi Barat. memanjang dari selatan
ke utara dari Kabupaten Mamuju sebagai pusat Ibokota Provinsi
Sulawesi Barat, Letak Kabupaten Majene kurang lebih 120 km, dan 392
km kearah selatan terletak kota Makassar yakni ibu kota provinsi
Sulawesi Selatan. Secara keseluruhan luas Kabupaten Majene 947,84
km2 yang awalnya tediri dari 4 kecamatan yakni Banggae, Sendana,
Pamboang, dan Malunda yang meliputi 35 Desa/Kelurahan. Kemudian
pada akhir tahun 2006 kecamatan Banggae dimekarkan menjadi 2
yakni Banggae dan Banggae Timur, Sendana dimekarkan menjadi 3
yakni Sendana, Tammero’do dan Tubo Sendana dan kecamatan
Malunda dimekarkan menjadi 2 yakni Malunda dan Ulumanda. Ibukota
Kabupaten Majene terletak dikecamatan Banggae dan Banggae Timur
dengan luas perkotaan 5.519 km2, berada diposisi selatan Kabupaten
Majene, dengan jarak tempuh 3sampai 4 jam dan ibukota Sulawesi
Barat, Mamuju.
Secara geografis Kabupaten Majene terletak pada posisi 20 28’ 45”
sampai dengan 30 38’ 15” lintang selatan dan 1180 45’ 00” bujur timur,
53
dengan berbatasan disebelah utara Kabupaten mamuju, sebelah timur
Kabupaten Polewali Mandar,sebelah selatan teluk Mandar dan sebelah
barat adalah selat makassar. Klasifikasi kemiringan tanah secara
keseluruhan relatif miring, dengan presentasi wilayahyang mengalami
erosi besar 3,41% dari luas wilayah Kabupaten, denngan jumlah hari
hujan 208 hari.
GAMBAR. 1.1
PETA MAJENESULAWESI BARAT
54
Tabel 1.1
Data Desa dan Kelurahan se Kabupaten Majene
NO.
1.
KECAMATAN
Banggae Timur
DESA/KELURAHAN
1. Kelurahan Labuang
2. Kelurahan Banga
3. Kelurahan Tande
4. Kelurahan Bautung
5. Kelurahan baruga Dhua
2.
Banggae
1. Kelurahan Banggae
2. Kelurahan Tatoli
3. Kelurahan Pangali-ali
4. Kelurahan Baru
3.
Pamboang
1. Kelurahan Lalampanua
2. Kelurahan Sirindu
3. Desa Bonde
4. Desa Bababulo
5. Desa Sambang
6. Desa Betteng
7. Adolang
4.
Sendana
1. Kelurahan Messo Dhua
2. Kelurahan Mosso
3. Desa Pundau
4. Desa Sendana
55
5. Desa Tallu Banua
6. Desa Puttada
5.
Tammerodo’ Sendana
1. Desa Tammerado
2. Desa Midang
3. Seppong
4. Desa Tallambalao
6.
Tubo Sendana
1. Desa Onang
2. Desa Tubo
3. Desa Onang Utara
4. Desa Tubo Selatan
7.
Ulumandu
1. Desa Ulumandu
2. Desa Kabiraan
3. Desa Tandeallo
4. Desa Sambabo
8.
Malunda
1. Kelurahan Malunda
2. Desa Lembang
3. Desa Makatta
4. Desa Lembong
5. Desa Bambangan
6. Desa Maliaja
Sumber Data : Kantor Pemerintahan Daerah Kabupaten Majene
Meskipun letaknya dipesisir pantai, namun secara umum tanahnya
berbukit-bukit. Berdasarkan klasifikasi ketinggian diatas permukaan
56
laut, yang terluas adalah daerah dengan ketinggian antara 100-500 M
yaitu 36,285 Ha (38,25%). Menyusul ketinggian 500-1000 M (36,65%),
0-25 m (8,9%) diatas 1000m (8,79%), dan 25-100 m (8,44%).
Hasil bumi Kabupaten Majene berupa pangan, sayuran, buahbuahan dan komoditi perdagangan. Tanaman Pangan meliputi padi,
jagung, ubi kayu, dan kacang-kacangan. Sayuran berups kol, tomst,
csbe, terung, ketimun dan kacang panjang. Buah-buahan meliputi
mangga, jeruk, nangka dan durian. Sedangkan komoditi yang
perdagangan berupa kelapa, kopi, kakao, cengkeh, lada, jambu mete,
kemiri dan vanila.
Sesuai dengan letaknya yang dekat dengan pantai serta lahan
yang ada, mata pencaharian yang paling banyak masyarakat lakukan
dikabupten Majene adalah nelayan, selebihnya bekerja sebagai
pedagang, petani, tukang, pegawai negri maupun swasta.
2. Struktur Sosial Masyarakat
Seperti halnya daerah lain, dulu di Kabupten Majene juga dikenal
struktur sosial masyarakat adat penduduk kabupate Majene yang juga
dikenal dengan sebutan orang mandar, struktur masyarakatnya terdiri
dari :
1. Todiang Laiyana (keturunan bangsawan)
2. Tau Maradeka (bukan golongan budak)
3. Batua (budak)
57
Golongan bangsawan (todiang laiyana) pada umumnya terdiri atas
kaum kerabat raja, yang dibedakan menjadi bangsawan raja dan
bangsawan adat. bangsawan Raja disapa “Daeng” dan bangsawan
adat disapa “Puang”. Pada saat ini sapaan semacam ini sudah jarang
digunakan terutama oleh generasi muda dan masyarakat urban.
Golongan Tau Maradeka merupakan golongan dengan populasi
terbesar dalam masyarakat mandar dan terdiri dari kelompok topia dan
tosamar. Kelompok Topia Adalah golongan Tau Maradeka yang
mempunyai hubungan keluarga dengan todiangn laiyana, meskipun
saat ini hubungan keluarga tersebut sudah mulai terputus. Sedangkan
golongan tosamar adalh golongan tau maradeka yang tidak ada
hubungan keluarga dan golongan bangsawaan. Kelompok ini umumnya
berasal dari otang kebanyakan , karena syarat tertentu bisa
mendapatkan status tersebut.
Golongan ketiga, batua statusnya tidak persis sama dengan apa
yang selma ini kita gambarkan sebgai budak. Pada umumnya orang
mendapat status ini karena melanggar hukum adat baik yang tertulis
maupun yang tidak tertulis, atau karena kolan dalam perang. Walupun
demikian didalam masyarakat pada masa lampau juga dikenal jual-beli
batua, dan pada saat sekarang ini sama sekali tidak dikenali lagi batua.
58
B. Status Hukum Penguasaan dan Pemanfaatan Tanah Hak Pakai
Pemerintah Oleh Masyarakat Adat Lima Tande.
Pada zaman pemerintahan Mara’dia Banggae, struktur kerajaan
pada saat itu antara lain, terdiri dari seorang raja digelar “Mara’dia”
Banggae dibantu oleh beberapa “Pabbicara” serta “Pappuangan”
selaku aparat Pemerintahan Kerajaan. Perangkat Pemerintahan
Kerajaan yang dibantu oleh “Pabbicara” dan “Pappuangan”, melekat
hak-hak adat antara lain, untuk “Raja” sendiri dikenal dengan istilah
“Sappietammmatanna Mara’dia” dan perangkat dibawah Mara’dia
dikenal dengan istilah “Palluppui Oroang”.
Pengertian istilah hukum Adat Palluppui Oroang berarti bahwa
siapa-siapa
yang
menjabat
sebagai
raja,
Pabbicara
maupun
Pappuangan mempunyai hak penuh dengan menikmati hasil sebidang
tanah yang telah ditetapkan sebagai tanah “Palluppui Oroang” atau
dikenal dengan istilah Tanah Jabatan atau “Akkinanreng” ataupun
“Tanah Bengkok” yang sebagian pula dipergunakan untuk keperluan
pribadi pejabat yang bersangkutan dan sebagian hasil lainnya
digunakan
untuk
kepentingan
“Sappietammmatanna
Mara’dia”
pemerintahan.
menurut
Sedangkan
hukum
adat
istilah
artinya
sepanjang batas penglihatan Mara’dia, maka sepanjang penglihatan itu
pula menjadi haknya. Disini jelas bahwa hak-hak adat raja lebih tinggi
dari pada hak adat perangkat bawahannya, seperti Pabbicara maupun
Pappuangan.
59
Khusus pada wilayah kekuasaan “Pabbicara” banggae ada
beberapa “pappuangan” antara lain :
a. Pappuangan Saleppa
b. Pappuangan Salabose
c. Pappuangan Tande
d. Pappuangan Baruga
Setelah Proklamasi Kmerdekaan RI, tanggal
maka
sesuai
dengan
undang-undang
1945,
17 Agustus 1945
termaksud
aturan
pelaksanaannya, pemerintahan yang tadinya berstatus kerajaankerajaan menjadi suatu negara kesatuan yaitu negara Republik
Indonesia dan dengan secara yuridis formil semua kerajaan termaksud
perangkat
bawahannyaberada
dibawah
kekuasaan
Pemerintah
Republik Indonesia, disini jelas bahwa mulai dari raja , Pabbicara dan
Pappuangan dihapuskan kekuasaannya selaku pejabat kerajaan
termaksud
hak-hak
adatnya
dan
beralih
kepada
kekuasaan
pemerintahan Republik Indonesia yang sah.
Pada zaman pemerintahan RI, maka berdasarkan Undang-undang
dibentuklah pemerintahan Swapraja yang perangkat bawahannya
adalah Distrik dan desa/kampung. Khusus untuk Distrik Banggae,
mencakup pappuangan saleppa, tande salebose, dan baruga yang
beralih statusnya menjadi perangkat pemerintahan swapraja dan
dengan sendirinya secara yuridid formil semua hak adat maupun tanah
60
adat dihapuskan berdasarkan Undang-undang dan beralih menjadi hakhak pemerintahan swapraja.
Berdasarkan Undang-undang No. 29 tahun 1959, maka semua
pemerintahan swapraja termaksud perangkatnya dihapuskan dilebur
menjadi bagian Kabupaten daerah Tk.II. secara yuidis formil, semua
peninggalan
pemerintahan
swapraja
termaksud
pemerintahan
kekuasaan serta benda-benda tidak bergerak mejadi hak RI. Dalam hal
ini Pemerintah Daerah Tk.II dan status tanah yang dikuasai EX
Swapraja beralih status menjadi tanah Pemerintah RI atau Tanah
Negara.
Dalam Pasal 1 ayat (3) menyatakan bahwa bahwa Tanah negara
atau tanah yang dikuasai langsung oleh negara adalah tanah yang
tidak dipunyai dengan sesuatu hak atas tanah.42
Pada tahun 1953 pemerintah mengeluarkan peraturan pertama
yang mengatur tanah negara, yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 8
Tahun 1953 L.N. 1953 Nomor 14 tentang penguasaan tanah-tanah
negara, dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan tanah negara yang
dikuasai penuh oleh negara, kecuali dengan penguasaan atas tanah
negara dengan undang-undang atau peraturan lain pada waktu
berlakunya peraturan pemerintah ini telah diserahkan kepada suatu
42
Pasal 1 Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.
61
kementrian, jawatan atau daerah swantara maka penguasaan tanah
negara ada pada mentri dalam negeri.
Dalam hal pembuktian terhadap status tanah hak pakai pemerintah
oleh Masyarakat Adat Lima Tande yaituMasyarakat Adat belum dapat
membuktikan dan memperlihatkan bukti secara otentik kepada
Pemerintah Daerah mengenai objek yang sekarang dalam penguasaan
yang dimanfaatkan oleh Masyarakat Adat Lima Tande.
Adapun yang dimaksud dengan Adat Lima Tande adalah karena
adanya Lima Pemangku Adat (Po’ Ambi) di tande yaitu Pappuangan
Pa’Uluan
Penamula,
Pappuangan
Buttu,
Pappuangan
Limboro,
Pappuangan Ayulita, dan Pappuangan su’bi. Merupakan aplikasi
pemantapan
kelembagaan/
kehadatan
yang
diharapkan
dapat
bekerjasama degan Pemerintah Derah untuk Pembangunan peranan
nilai Budaya sebagai motor didalam masyarakat yang berfunsi:
 Penata Sikap dan perilaku
 Pembentuk Identitas
 Pembanguanan Kualitas
Mengesahkan kriteria calon Pemangku Adat Pappuangan dan
Tomabuweng sebagai berikut ;
1. Turunan lurus dari pappuangan Pa’ Uluan Penamula dan
Tomabuweng Ayulita yang memiliki integritas yang tinggi, komitmen
moral Agama dan kepribadian yang baik serta loyal terhadap
62
keluarga besar Pa’Uluan Penamula khususnya dan Tande pada
Umumnya
2. Memiliki wawasan yang sangat luas dan pengetahuan memadai
tentang masalah-masalah sosial, ekonomi, adat istiadat, politik dan
hukum yang sedang berkembang yang dapat dibuktikan dengan
presentasi perhatian dan kepeduliannya kepada masyarakat.
3. Memiliki
komiten
untuk
menjaga
persatuan
dan
kesatuan
Masyarakat Tanse dengan semangat kekeluargaan.
4. Mampu,
sanggup
dan
bersedia
melobi
pemerintah
dalam
memperjuangkan pembangunan Kelurahan Tande khususnya dan
Majene pada umumnya.
GAMBAR. 1.2
63
Upacara Adat Pelantikan ( Mappesokkoi) Pappuangan Pauluang
Panamula dan Tomawuweng Ayulita Kelurahan Tande.
Berdasarkan
Pemerintahan
wawancara yang dilakukan penulis kepada pihak
DaerahSulawesi
Pemerintahan,
dapat
diperoleh
Barat
khususnya
informasi
Sub
yang
Bagian
menyatakan
bahwaadapun status hukum tanah Lima tande yaitu Masyarakat Adat
Lima Tande tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat dalam hal
pembuktian surat/sertifikat, status tanah dalam objek permasalahan
karena Masyarakat Adat Lima Tandeyang sebelumnya menerima
kompensasi
tidak
dapat
membantu
Pemerintah
Daerah
dalam
penyelesaian mengenai tanah tersebut karena diduga ada pihak lain
yang memiliki kekuatan atas tanah tersebut berupa sertifikat/surat
namun tidak memiliki kekuatan yang mengikat dan tidak dapat
dibuktikan secara otentik.
64
Hal itu sejalan dengan pernyataan yang dituturkan oleh Kepala
Badan Pertanahan Nasional bahwa Sejak pembentukan Provinsi
Sulawesi Barat status tanah di wilayah kab.Majene sudah menjadi
tanah Negara.adapun pengakuan tanah hak ulayat tersebut, harus
ada Perda dari pemerintah KabupatenMajene dan harus memenuhi
kriteria
yang membahas mengenai hak ulayat yang diakui oleh
masyarakat adat itu sendiri. BPN juga berasumsi bahwa dalam PP 24
Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah yang menjelaskan bahwa
adanya penguasaan
atas tanah sampai 20 tahun tapi tidak
mempunyai hak kepemilikan atas tanah tersebut43
Pada tahun 2010 Badan Pertanahan Nasional ( BPN) menerbitkan
sertifikat No. 05/HP/BPN/2010 mengenai hak pakai Pemerintah Daerah
atas tanah negara. Hak pakai Pemerintah Daerah diperuntukan untuk
kepentingan umum seperti pembangunan jalan umum, masjid dan
fasilitas kampus di MajeneSulawesi Barat. Dalam hal tanah hak pakai
untuk Universitas Sulawesi Barat(Unsulbar) sudah jelas karena pihak
BPN sudah menertibkan sartifikat.
Hak pakai menurut Pasal 41 ayat 1 UUPA adalah hak untuk
menggunakan, dan/atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai
langsung oleh negara atau tanah yang dimiliki oleh individu lain, yang
memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan
43
Wawancara kepada Kepala Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Majene. Tanggal 27
September 2012
65
pemberiannya oleh pejabat yang berwenang memberikannya atau
dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya, yang bukan perjanjian
sewa-menyewa atau perjanjian pengolahan tanah, segala sesutu asal
tidak bertentangan jiwa dan ketentuan UUPA. Adapun subjek dari hak
pakai menurut Pasal 42 UUPA adalah44:
e. Warga Negara Indonesia
f. Orang asing yang berkedudukan diindonesia
g. Badan hukum yang didirkan menurut hukum Indonesia
h. Badan hukum asing yang mempunyai perwalian di
Indonesia.
Hak pakai tidak menentukan secara tegas berapa lama jangka
waktunya, pasal ini hanya menentukan bahwa hak pakai dapat
diberikan selama jangka waktu tertentu atau selama tanahnya
dipergunakan untuk keperluan yang tertentu . dalam PP No. 40 Tahun
1996, jangka waktu hak pakai diatur pada pasal 45 sampai dengan
pasal 49. Hak pakai ini berbeda-beda sesuai dengan asal tanahnnya,
yaitu 45:
1. Hak Pakai atas Tanah Negara
Hak pakai ini berjangka waktu untuk pertama kali paling lama 25
Tahun, dapat diperpanjang untuk jangka waktu paling lama 20
44
Urip Santoso,2010, Hukum Agraria & Hak-hak Atas Tanah, Kencana. Jakarta. Hlm.115.
Ibid, hal.117.
45
66
tahun, dan dapat diperbaharui untuk jangka waktu paling lama 25
tahun.
Khususnya hak pakai yang dipunyai Departemen, Lembaga
Pemerintah Non-Departemen, Pemerintah Daerah, Badan-badan
Keagamaan dan Sosial, Perwakilan Negara Asing, dan Perwakilan
badan Internasional diberikan untuk jangka waktu yang tidak
ditentukan
selama
tanahnya
dipergunakan
untuk
keperluan
tertentu.
Berkaitan dengan subjek hak pakai atas tanah negara ini,
A.P. perlindungan menyatakan bahwa ada hak pakai yang bersifat
publikrechtelijk, yang tanpa rihgt of dispossal ( artinya yang tidak
boleh dijual ataupun dijadikan jaminan utang), yaitu hak pakai yang
diberikan untuk instansi-instansi pemerintah seperti sekolah,
perguruan tinggi negri , kantor pemerintah dan sebagainya, dan hak
pakai yang diberikan untuk perwakilan asing, yaitu hak pakai yang
diberikan untuk waktu yang tidak terbatas dan selama pelaksanaan
tugasnya, ataupun hak pakai yangb diberikan untuk usaha-usaha
sosial dan keagamaan juga diberikan untuk jangka waktu yang
tidak tertentu dan selama melaksanakan tugasnya.
Permohonan perpanjangan jangka waktu atau pembaharuan
hak pakai diajukan selambat-lambatnya dua tahun sebelum
berakhirnya jangka waktu Hak pakai tersebut. Perpanjangan jangka
67
waktu atau pembaharuan Hak Pakai dicabut dalam Buku Tanah
pada Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota setempat.
Syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh Pemegang hak
Pakai untuk Perpanjangan Jangka waktu atau Pembaharuan Hak
Pakai, yaitu :
a. Tanahnya masih dipergunakan dengan baik sesuai
dengan keadaan sifat, dan tujuan pemberian hak
tersebut.
b. Syarat-syarat pemberian hak tersebut dipenuhi dengan
baik oleh pemegang hak,
c. Pemegang
hak
masih
memenuhi
syarat
sebagai
pemegang Hak Pakai.
2. Hak Pakai atas Tanah Hak Pengelolaan
Hak pakai ini berjangka waktu untuk pertama kali paling lama 25
Tahun, dapat diperpanjang untuk jangka waktu paling lama 20
tahun, dan dapat diperbaharui untuk jangka waktu paling lama 25
tahun.
Perpanjangan jangka waktu atau pembaharuan Hak Pakai
ini dapat dilakukan atas usul pemegang hak pengelolaan.
3. Hak Pakai atas Tanah Hak Milik
Hak pakai ini berjangka waktu untuk pertama kali paling lama 25
Tahun dan tidak dapat diperpanjang.namun atas kesepakatan
antara pemilik tanah dengan pemegang Hak Pakai dapat
68
diperbaharui dengan pemegang hak pakai baru dengan akta yang
dibuat oleh PPAT dan wajib didaftrkan kepada kantor pertanahan
Kabupaten/kota stempatuntuk dicatat dalam buku tanah.
Berdasarkan Pasal 55 PP No. 40 Tahun 1996, faktor –faktor
penyebab hapusnya Hak Pakai, yaitu:
a) Berkahirnya jangka waktu sebagaimana ditetapkan dalam
keputusan pemberian atau perpanjangan atau dalam perjanjian
pemberianyya.
b) Dibatalkan
oleh
pejabar
berwenang,
pemegang
hak
pengelolaan atau pemilik tanahsebelum jangka waktunya
berakhir, kartena:
1. Tidak dipenuhinya kewajiban-kewajiban pemegang Hak
Pakai dan atau dilanggarnya ketentuan-ketentuan dalam
Hak Pakai.
2. Tidak dipenuhinya syarat-syarat atau kewajiban-kewajiban
yang tertuang dalam pembrian Hak Pakai antara pemegang
hak
pakai
dengan
pemilik
tanah
atau
perjanjian
pengguanaan hak pengelolaan.atau
3. Putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan
hukum tetap.
c) Dilepaskan secara sukarela oleh pemegang haknya sebelum
jangka waktu berakhir,
d) Hak pakainya dicabut
69
e) Diterlantarkan
C. Upaya Pemerintah DaerahTerhadap Penguasaan dan Pemanfaatan
Tanah Hak Pakai Pemerintah oleh Masyarakat Adat Lima Tande
Penguasaan dan pemanfaatan tanah oleh Masyarakat Adat Lima
Tande terhadap tanah hak pakai yang dimiliki oleh Pemerintah dalam
hal ini adalah Pemerintah Daerah Majene mengalami masalah yang
belum ada penyelesainnya hingga sekarang. Hal tersebut terjadi
dikarenakan Masyarakat Adat masih merasa kalau tanah yang
dijadikan permasalahan masih dimiliki oleh msyarakat adat lima tande
karena yang selama ini yang mengelola tanah tersebut adalah
Masyarakat Adat Lima Tande. Sedangkan menurut Pemerintah
DaerahKabupaten Majene kalautanah yang diklaim sebagai tanah
Masyarakat Adat Lima Tande tersebut adalah tanah negara yang sudah
menjadi hak pakai Pemerintah DaerahKabupaten Majenewalaupun
tanah tersebut tidak pernah dikelola sama pemerintah. Tetapi saat
pemerintah akan melakukan pengelolaan atas tanah tersebut untuk
kepentingan umum, terdapat sekelompok masyarakat yang masih
mengelola dan menguasai tanah tersebut.
Upaya-upaya dalam menyelesaikan masalah tersebut di atas
dengan cara Pemerintah Daerah sudah melakukan pertemuan terbuka
bersama Masyarakat Adat Lima Tande untuk membicarakan mengenai
status
tanahyang
menjadi
objek
permasalahan.Pemerintah
70
Daerahmembentuk tim 9 dalam menganalisis dan menangani kasus
tanah hak ulayat yang diakui oleh Masyarakat Adat Lima Tande
sebagai hak ulayatnnya. Masyarakat Adat Lima Tande menganggap
bahwa tanah tesebut adalah bagian dari penguasaannya dan memiliki
hak sepenuhnya.
Pasca pertemuan tersebut disepakati bahwa Masyarakat Adat Lima
Tande melakukan pelepasan hak ulayat kepada Pemerintah Daerah
karena dianggap bahwa pemerintah ingin memanfaatkan tanah
tersebut untuk kepentingan umum dan Pemerintah Daerah sendiri
memberikan kompensasi sebagai bentuk ganti rugi pengelolaan dan
pemanfaatan tanah oleh Masyarakat Adat Lima Tande. Pemerintah
Daerah sudah memberikan kompenssasi kepada Masyarakat Adat
Lima Tande sebesar 500 juta sebagi bentuk ganti rugi tanah tersebut.
Tanah
yang telah dikelola oleh Masyarakat Adat Lima Tande
merupakan bekas tanah negara yang selama ini dikusai, dikelola dan
dimanfaatkan oleh masyarakat tersebut. Dana tersebut diberikan
sebagai dana abadi untuk dikembangkan dan dimanfaatkan oleh
Masyarakat Adat Lima Tande. dan dana tersebut difungsionalkan untuk
kepentingan masyarakat adat.
71
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian maka dapat disimpulkan sebagai
berikut berikut :
1. Bahwa status hukum tanah yang diklaim oleh masyarakat aat
lima tande adalah merupakan tanah negara yang berstatus hak
pakai oleh Pemerintah DaerahKabupaten Majene. Hal tersebut
dikarenakan sejak pembentukannya, tanah tersebut sudah
menjadi tanah negara dan BPN sendiri sudah menerbitkan
sertifikat Hak Pakai olehPemerintah DaerahKabupaten Majene.
2. Upaya hukum yang diambil Pemerintah Daerah adalah dengan
melakukan pertemuan terbuka bersama Masyarakat Adat Lima
Tande untuk membicarakan mengenai status tanah yang
menjadi
objek
permasalahan.Pasca
pertemuan
tersebut
Pemerintah Daerah memberikan kompensasi sebagai bentuk
ganti rugi pengelolaan
dan
pemanfaatan
tanah
kepada
Masyarakat Adat Lima Tande. Pemerintah Daerah memberikan
kompenssasi kepada Masyarakat Adat Lima Tande sebesar Rp.
500 juta sebagi bentuk ganti rugi tanah tersebut.
72
B. Saran
1. Pemerintah Daerah Majene seharusnya mengambil sikap dan
keputusan secara tegas dalam hal objek tanah yang menjadi hak
pakai pemerintah,yang dalam hal tersebut masyarakat adat
mengklaim tanah tersebut adalah hak ulayatnya.
2. Pemerintah Daerah seharusnya memberikan kepastian hukum
terhadap objek tanah yang diklaim oleh masyarakat adat agar
pelaksanaaan rehabilitasi dapat berjalan dengan lancar dan
pemerintah daerah harus konsistensi terhadap nilai yang telah
disepakati oleh masyarakat adat tersebut agar tidak ada lagi
permasalahan mengenai objek tanah.
73
Download