AKTIVITAS QUORUM QUENCHING AHL-LAKTONASE Bacillus sp. NTT3a DAN Bacillus cereus INT1c TERHADAP Pseudomonas syringae MERYANY ANANDA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Aktivitas Quorum Quenching AHL-laktonase Bacillus sp NTT3a Dan Bacillus cereus INT1c Terhadap Pseudomonas syringae adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor Bogor, Mei 2016 Meryany Ananda NIM G351130051 RINGKASAN MERYANY ANANDA. Aktivitas Quorum Quenching AHL-laktonase Bacillus sp. NTT3a dan Bacillus cereus INT1c Terhadap Pseudomonas syringae. Dibimbing oleh IMAN RUSMANA dan ALINA AKHDIYA. Proses penghambatan Quorum Sensing (QS) dapat dilakukan melalui suatu proses yang disebut Quorum Quenching. Salah satu mekanisme QQ adalah adalah dengan cara degradasi enzimatis untuk mencegah akumulasi senyawa sinyal QS “Asil Homoserin Lakton (AHL)” sehingga gen-gen yang ekspresinya dikendalikan oleh mekanisme QS tidak dapat diekspresikan. Beberapa gen yang ekspresinya dikontrol oleh mekanisme QS diantaranya adalah gen penyandi faktor-faktor virulensi bakteri, sintesis antibiotik, dan beberapa enzim hidrolitik. AHL-laktonase merupakan salah satu enzim QQ yang menghidrolisis cincin lakton pada senyawa AHL. Penelitian ini bertujuan untuk menguji aktivitas AHLlaktonase Bacillus sp. NTT3a dan B. cereus INT1c serta menguji potensinya sebagai agens biokontrol terhadap P. syringae. Penelitian ini terdiri dari beberapa percobaan yaitu pembuatan kurva pertumbuhan kedua kultur Bacillus, penentuan aktivitas AHL-laktonase terhadap C. violaceum sebagai bioindikator, produksi dan pemekatan AHL-laktonase menggunakan pengendapan amonium sulfat, uji penghambatan swarming motility terhadap P. syringae, bioesei penghambatan patogenisitas P. syringae pada buncis, dan penghitungan populasi P. syringae pada buncis yang busuk menggunakan metode cawan hitung. Pengamatan terhadap pertumbuhan kultur kedua Bacillus tersebut menunjukkan fase lag pada periode 1 jam pertama, dilanjutkan dengan fase log pada periode 2-3 jam setelah inkubasi. Fase stasioner tercapai setelah 15 jam inkubasi. Penentuan aktivitas AHL-laktonase dilakukan dengan cara mengukur zona QQ yang terbentuk disekitar kertas cakram yang mengandung supernatan kultur atau enzim pekat. Hasil pengujian menunjukkan bahwa kedua Bacillus tersebut menghasilkan AHL-laktonase ekstrasel dan intrasel. Pemekatan enzim kasar menggunakan amonium sulfat pada persen saturasi 70% menghasilkan konsentrasi protein tertinggi. Nilai Indeks zona QQ tertinggi diperoleh dari enzim kasar pekat Bacillus sp. NTT3a yang diendapkan pada 60% saturasi amonium sulfat, sedangkan hasil pemekatan enzim kasar B. cereus INT1c tidak menyebabkan terbentuknya zona QQ. Nilai indeks QQ enzim kasar Bacillus sp. NTT3a hasil pemekatan 1.16 kali lebih tinggi dibandingkan supernatannya. Uji aktivitas enzim kasar pekat Bacillus sp. NTT3a hasil pengendapan menggunakan amonium sulfat pada 60% saturasi menghasilkan Indeks zona QQ tertinggi, sedangkan hasil pemekatan enzim kasar B. cereus INT1c tidak ada yang menghasilkan zona QQ. Nilai Index Quorum Quenching (IQQ) enzim kasar Bacillus sp. NTT3a yang telah dipekatkan meningkat 1.16 kali lebih tinggi dibandingkan dengan supernatannya. Aktivitas Quorum Quenching kedua Bacillus menghambat swarming motility P. syringae dan menurunkan pertumbuhan koloni fitopatogen ini. Swarming motility P. syringae pada cawan kontrol mencapai 12.25 mm, sedangkan pada agar cawan agar yang telah diinokulasi Bacillus sp. NTT3a dan B. cereus INT1c P. syringae berturut-turut hanya 3.0 mm dan 3.3 mm. Aplikasi kedua Bacillus tersebut juga dapat mereduksi gejala busuk pada buncis yang disebabkan oleh P. syringae. Rata-rata panjang gejala busuk pada buncis kontrol positif mencapai 6.4 cm sedangkan gejala busuk pada buncis yang telah disemprot Bacillus sp. NTT3a dan B. cereus INT1c terlebih dahulu berturut-turut hanya 4.55 dan 3.92 cm. Data populasi P. syringae menunjukkan adanya penurunan. Penurunan populasi ini diduga disebabkan leh adanya kompetisi nutrisi antara P. syringae dengan kedua Bacillus pada kondisi percobaan yang dilakukan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kedua Bacillus penghasil AHL-laktonase tersebut berpotensi untuk dikembangkan sebagai agen hayati untuk mengendalikan penyakit yang disebabkan oleh Pseudomonas syringae pada buncis. Kata kunci : AHL-laktonase, Bacillus cereus INT1c, Bacillus sp. NTT3a, Pseudomonas syringae, Quorum Quenching. SUMMARY MERYANY ANANDA. Quorum Quenching Activity of AHL-laktonase from Bacillus sp. NTT3a and Bacillus cereus INT1c Against Pseudomonas syringae. Supervised by IMAN RUSMANA dan ALINA AKHDIYA. Inhibition of Quorum Sensing (QS) process can be carried out by a mechanism known as Quorum Quenching (QQ). One of QQ mechanism is an enzymatic degradation to prevent accumulation of QS signal compounds “AcylHomoserine Lactone (AHL)” resulting the genes controlled by QS mechanism can not be expressed. The genes encoded bacterial virulence factors, antibiotic synthesis, and some hydrolytic enzymes are controlled by the QS mechanism. AHL-lactonase is one of QQ enzyme which hydrolyze the lactone ring of the AHL compound. This research was conducted to test QQ activity of AHLlactonase of Bacillus sp. NTT3a and B. cereus INT1c, as well as their potent as a biocontrol agent against Pseudomonas syringae. The experiments include observation of growth curve of both Bacillus cultures, determination of AHL-laktonase activity against C. violaceum as bioindicator, production and precipitation of AHL-lactonase using ammonium sulfate, swarming motility inhibition test of the Bacillus against P. syringae, bioassay of both Bacillus to inhibit pathogenicity of P. syringae on snap beans, and counting of P. syringae population on the bean using total plate count method. The growth of B. cereus INT1c and Bacillus sp. NTT3a had a lag phase in the incubation period of 0-1 hours, then exponential phase at 2-3 hours of incubation. The stasionary growth phase was reached after 15 hours of incubation. Determination of AHL-laktonase activity of Bacillus sp. NTT3a and B. cereus INT1c was done by measuring QQ zone formed around a paper disk containing either the supernatant culture or precipitated enzyme. The results showed that both Bacillus produced extracellular and intracellular AHL-lactonase. The highest protein concentration of precipitated enzyme was obtained using 70% ammonium sulphate. However the highest quorum quenching zone index of the precipitated enzyme of Bacillus sp. NTT3a was at 60% saturation of ammonium sulphate, whereas in B. cereus INT1c did not show any formation of the quorum quenching zone. Quorum Quenching Index of Bacillus sp. NTT3a precipitated enzyme was 1.16 times higher than that of supernatant. Bacillus sp. NTT3a and B. cereus INT1c could inhibit swarming motility of P. syringae. The results showed that the control P. syringae had swarming distance 12.25 mm while P. syringae with Bacillus sp. NTT3a and B. cereus INT1c had swarming distance 3.0 mm and 3.3 mm, respectively. Both Bacillus also could reduce soft rot disease symptoms caused by P. syringae on snap beans. The average length of soft rot disease symptoms on positive control was 6.4 cm meanwhile on the beans inoculated by Bacillus sp. NTT3a and B. cereus INT1c was 4.55 cm and 3.92 cm respectively. The data of population P. syringae on snap bean was decreased. This decreasing might be due to nutrient competition between P. syringae and the Bacillus. These results indicated that Bacillus sp. NTT3a and B. cereus INT1c had potency to be developed as biocontrol agents for the disesase caused by P. syringae on snap beans. Keywords: AHL-laktonase, Bacillus cereus INT1c, Bacillus sp. NTT3a, Pseudomonas syringae, Quorum Quenching. © Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB AKTIVITAS QUORUM QUENCHING AHL-LAKTONASE Bacillus sp. NTT3a DAN Bacillus cereus INT1c TERHADAP Pseudomonas syringae MERYANY ANANDA Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Mikrobiologi SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016 Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Ir Abdjad Asih Nawangsih, MSi PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan September 2014 sampai Desember 2015 ini ialah Aktivitas Quorum Quenching AHL-laktonase Bacillus sp. NTT3a dan Bacillus cereus INT1c Terhadap Pseudomonas syringae. Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr. Ir. Iman Rusmana, MSi sebagai ketua komisi pembimbing dan Dr. Alina Akhdiya, MSi sebagai anggota komisi pembimbing, yang telah banyak memberikan nasehat, saran, motivasi, waktu konsultasi, serta solusi dari setiap permasalahan yang dihadapi penulis selama melaksanakan penelitian dan penyusunan karya ilmiah ini. Selain itu penulis ucapkan terima kasih kepada penguji luar komisi Dr Ir Abdjad Asih Nawangsih, MSi dan Prof Dr Anja Meryandini, MS selaku Ketua Program Studi Mikrobiologi IPB, yang telah memberikan motivasi selama studi dan masukan pada saat ujian sidang tesis. Kepada DIKTI melalui Beasiswa Pendidikan Pascasarjana-Dalam Negeri (BPPDN) 2013/2014, terima kasih atas kepercayaannya untuk memberikan beasiswa kuliah selama menempuh pendidikan pascasarjana di IPB. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Putri Eka Sari, Nurul Hidayah, Susi Ratnaningtyas, Gaby Maulida Nurdin, Bang Risky Hadiwibowo dan Kak Sipri atas nasehat, bantuan serta persahabatannya selama ini. Ibu Heni dan Bapak Jaka selaku staf Laboratorium Mikrobiologi IPB, serta seluruh temanteman di Laboratorium Mikrobiologi IPB, terima kasih atas bantuannya selama penelitian. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada seluruh staf pengajar Mikrobiologi atas semua ilmu, pengalaman dan bimbingannya. Temanteman Mikrobiologi angkatan 2013 terima kasih atas kebersamaan, keceriaan, dan semangat yang diberikan. Ucapan terima kasih kepada teman-teman Asrama Mahasiswa Pascasarjana Sulawesi Tengah dan keluarga Twin House atas bantuan dan kerjasamanya. Ucapan terima kasih tak terhingga juga penulis ucapkan kepada Abdul Kadir Patta (bapak), Sahra Siran (ibu) dan adik-adikku tercinta, serta seluruh keluarga atas doa, kasih sayang, dan dukungan yang diberikan. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Bogor, Mei 2016 Meryany Ananda DAFTAR ISI DAFTAR TABEL vi DAFTAR GAMBAR vi DAFTAR LAMPIRAN vi PENDAHULUAN Latar Belakang 1 1 Perumusan Masalah 2 Tujuan Penelitian 2 Manfaat Penelitian 2 Ruang Lingkup Penelitian 2 TINJAUAN PUSTAKA Quorum Sensing (QS) 3 3 Bacillus sp. 5 Pseudomonas syringae 6 METODE Kerangka Penelitian 7 7 Waktu dan Tempat Penelitian 8 Peremajaan Isolat 8 Pembuatan Kurva Tumbuh 8 Uji Aktivitas AHL-laktonase 8 Penyiapan AHL-laktonase Intraseluler 9 Penentuan Kadar Protein 9 Pemekatan AHL-laktonase 9 Swarming Bioassay P. syringae 10 Uji Penghambatan QS P. syringae pada Buncis 10 Perhitungan Total Plate Count (TPC) sel P. syringae 10 HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Pembahasan 11 11 18 SIMPULAN DAFTAR PUSTAKA 21 22 LAMPIRAN 25 RIWAYAT HIDUP 29 DAFTAR TABEL 1 Aktivitas dan kadar protein AHL-laktonase pada Bacillus sp. NTT3a 2 Jumlah sel P. syringae berdasarkan hasil TPC 15 18 DAFTAR GAMBAR 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 Mekanisme QS pada bakteri Gram negatif dan Gram positif Molekul sinyal QS pada bakteri Gram negatif dan Gram positif Diagram alur penelitian Kurva pertumbuhan Bacillus sp. NTT3a dan B. cereus INT1c Bioassay degradasi AHL C. violaceum oleh AHL-laktonase Pengaruh saturasi amonium sulfat terhadap protein total supernatan kultur Bacillus sp. NTT3a Pengaruh saturasi amonium sulfat terhadap protein total supernatan kultur B. cereus INT1c Aktivitas AHL-laktonase protein hasil pengendapan kultur Bacillus sp. NTT3a terhadap C. violaceum Aktivitas AHL-laktonase protein hasil pengendapan kultur B. cereus INT1c terhadap C. violaceum Indeks quorum quenching enzim ekstraseluler dan intraseluler Bacillus sp. NTT3a Indeks quorum quenching enzim ekstraseluler dan intraseluler B. cereus INT1c Aktivitas relatif AHL-laktonase Bacillus sp. NTT3a hasil pemekatan Kemampuan swarming P. syringae pada media LA semisolid Penampakan morfologi swarming P. syringae pada media LA Pengaruh Bacillus sp. NTT3a dan B. cereus INT1c terhadap Penghambatan pembusukan buncis oleh P. syringae Bioassay quorum quenching P. syringae oleh Bacillus pada buncis Populasi P. syringae pada jaringan buncis yang membusuk Mekanisme degradasi AHL oleh AHL-laktonase 3 4 7 11 12 12 13 13 14 14 15 15 16 16 17 17 18 19 DAFTAR LAMPIRAN 1 Metode Pengukuran Kadar Protein 2 Kurva standar bakteri 3 Populasi P. syringae pada jaringan buncis yang membusuk 26 27 28 PENDAHULUAN Latar Belakang Quorum Quenching (QQ) adalah penghambatan atau penggagalan proses quorum sensing. Salah satu prinsip dari pengendalian bakteri patogen dengan dasar quorum sensing (QS) adalah dengan mencegah akumulasi sinyal AHL sehingga gen-gen yang terlibat pada proses virulensinya tidak dapat diekspresikan. Akumulasi sinyal AHL dapat dicegah dengan cara mendegradasi molekul sinyal tersebut (Yin et al. 2010). AHL-Laktonase merupakan enzim anti-QS yang dapat menghambat proses QS melalui proses hidrolisis enzimatis cincin lakton pada molekul AHL sehingga tidak terjadi ekspresi gen-gen penyandi patogenitas. Gen Aiia merupakan salah satu gen penyandi AHL-Laktonase dan pertama kali ditemukan pada Bacillus sp. (Dong et al. 2000). Pada penelitian sebelumnya dua bakteri Bacillus sp. NTT3a yang diisolasi oleh Fitriyah (2011) dari lahan pertanian Nusa Tenggara Timur, serta Bacillus cereus INT1c yang diisolasi oleh Afiah (2011) dari tanah pertanian di Indramayu Jawa Barat telah dideteksi memiliki aktivitas dan gen enzim AHL laktonase, aiiA. Bacillus sp. NTT3a serta Bacillus cereus INT1c diketahui memiliki aktivitas anti QS terhadap Chromobacterium violaceum yang merupakan bakteri biosensor penghasil pigmen ungu violacein yang disandikan oleh gen Vio (August et al. 2000). Aktivitas AHL-laktonase Bacillus dalam mendegradasi AHL pada C. violaceum ditunjukkan dengan terbentuknya zona quorum quenching atau zona tidak berwarna ungu disekitar paper disc. Peneilitian yang telah dilakukan sebelumnya hanya terbatas pada kemampuan AHL-laktonase yang berasal dari kultur Bacillus dalam mendegradasi AHL pada C. violaceum. Belum diketahui bagaimana aktivitas enzim AHL-laktonase yang berasal dari hasil pengendapan dan dialisis serta apakah enzim AHL-laktonase tersebut merupakan enzim ekstraseluler atau intraseluler. Pseudomonas syringae merupakan bakteri fitopatogen penyebab Brown Spot Disease (penyakit bercak coklat) dan penyakit busuk lunak pada tanaman kacang-kacangan (Dulla dan Kresileva 2010). Pada umumnya strategi penanggulangan penyakit ini masih bertumpu pada penggunaan bahan kimia (bakterisida) dan antibiotik yang akan membunuh bakteri fitopatogen ini. Namun ternyata penggunaan bahan kimia dan antibiotik memiliki dampak negatif yaitu meluasnya resistensi bakteri patogen serta menimbulkan berbagai masalah lingkungan yang berdampak buruk bagi kesehatan hewan maupun manusia. Adanya penemuan bahwa faktor virulensi bakteri ternyata diatur oleh sistem quorum sensing memberikan alternatif strategi baru untuk mengatasi patogenisitas bakteri yaitu dengan cara menghambat sistem quorum sensingnya. Faktor virulensi P. syringae yang berupa produksi EPS (Exopolysaccharide), pektinase dan motilitas juga diatur oleh mekanisme quorum sensing dengan molekul sinyal 3-oxo-hexanoyl-homoserine lactone (3-oxo-C6-HSL). Aktivitas enzim AHL-laktonase dari kedua Bacillus juga belum pernah diuji kemampuannya dalam menghambat sistem quorum sensing pada bakteri patogen tanaman P. syringae baik secara in-vitro (uji motilitas) maupun secara in-vivo 2 (pada tanaman buncis). Oleh karena itu perlu dilakukan uji untuk menguji kemampuan kedua Bacillus tersebut dalam menghambat QS bakteri fitopatogen ini. Perumusan Masalah 1. AHL-laktonase merupakan enzim yang dapat diperoleh dari bakteri Bacillus sp. NTT3a dan B. cereus INT1c. 2. P. syringae memiliki faktor virulensi yang diatur oleh sistem quorum sensing. 3. Bacillus sp. NTT3a dan B. cereus INT1c penghasil AHL-laktonase dapat menjadi agen biokontrol untuk mengendalikan P. syringae. 4. Penelitian mengenai kemampuan quorum quenching Bacillus sp. NTT3a dan B. cereus INT1c terhadap P. syringae belum banyak dilakukan. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk menguji aktivitas in-vitro AHL-laktonase Bacillus sp. NTT3a dan B. cereus INT1c sebelum dan sesudah dipekatkan serta menguji potensinya sebagai agens biokontrol terhadap P. syringae penyebab penyakit bercak cokelat (Brown Spot Disease) serta penyakit busuk lunak pada buncis. Manfaat Penelitian Informasi dan data dari hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan landasan ilmiah untuk pengembangan agen biokontrol alternatif berdasarkan pada mekanisme quorum quenching. Pengembangan hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam bidang pertanian yaitu sebagai salah satu upaya peningkatan produktivitas dan kualitas sayuran di Indonesia. Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup dalam penelitian ini meliputi mengendapkan protein AHLlaktonase serta analisis kemampuan quorum quenching terhadap P. syringae penyebab penyakit bercak cokelat pada buncis. Pengendapan AHL-laktonase meliputi produksi AHL-laktonase, pengendapan dengan amonium sulfat dan dialisis serta uji aktivitas quorum quenching. Analisis kemampuan biokontrol terhadap patogen P. syringae meliputi pengujian AHL-laktonase dari kultur sel terhadap patogen secara langsung pada buncis dan pengujian terhadap motilitas patogen. 3 TINJAUAN PUSTAKA Quorum Sensing (QS) Penelitian membuktikan bahwa perilaku sel bakteri dalam suatu populasi merupakan hasil komunikasi untuk mengkoordinasikan aktivitas masing-masing sel. Bakteri berkomunikasi melalui suatu mekanisme yang dikenal sebagai sistem quorum sensing. Sistem QS dapat mengaktifkan ekspresi gen-gen tertentu ketika populasi sel bakteri telah mencapai tingkat kepadatan yang cukup melalui sintesis molekul yang dibebaskan oleh sel bakteri sebagai sinyal komunikasi (autoinducer). Molekul sinyal tersebut juga dapat berperan sebagai feromon (William et al. 2007). Istilah QS diperkenalkan pada tahun 1994 oleh Dr. Steven Winans. Quorum berasal dari bahasa latin yang berarti jumlah populasi tertentu yang harus dicapai. Mekanisme pembentukan cahaya pada bakteri laut Vibrio fischeri tidak dapat dihasilkan secara individu. Sel-sel bakteri laut ini melakukan komunikasi satu sama lain dengan cara mengeluarkan molekul sinyal dan ketika molekul sinyal tersebut mencukupi, gen bioluminesens pada masing-masing sel akan diekspresikan bersama-sama. Bakteri tersebut mengkoloni organ bercahaya pada cumi-cumi hawai Euprymma scolopes. Pada organ tersebut, sel bakteri mengkoloni dengan tingkat kepadatan yang tinggi dan menghasilkan signal senyawa kimia yang kemudian diketahui sebagai N-acyl-homoserine lactone (AHL). Selain itu koloni bakteri tersebut juga mampu mengaktifkan ekspresi gen yang diperlukan dalam bioluminesens (Waters and Bassler 2005). Gambar 1 Mekanisme QS pada bakteri Gram positif dan Gram negatif (Waters dan Bassler 2005). Pada bakteri gram negatif tersebut, AHL yang terdeteksi dalam supernatan kultur sel bakteri dibentuk oleh enzim homolog LuxI. Ketika konsentrasi AHL 4 mencapai nilai ambang tertentu, bakteri ini mengikat reseptor intraselular yang dikenal dengan sebutan homolog LuxR. LuxR inilah yang mengatur proses transkripsi yang memiliki aktivitas merubah pengikatan ligan AHL, sehingga merubah transkripsi gen. Tidak seperti bakteri gram negatif, bakteri gram positif tidak pernah dilaporkan menghasilkan senyawa AHL. Bakteri gram positif menggunakan molekul peptida atau protein dalam sistem QS. Sinyal molekul peptida ini akan berinteraksi dengan elemen sensor/reseptor spesifik sel dalam sistem sinyal transduksi. Sistem QS digunakan untuk mengatur kehidupan bakteri Bacillus subtilis dan Strepococcus pneumoniae, konjugasi dalam Enterococcus faecalis, serta virulensi Staphylococcus aereus (Waters and Bassler 2005). QS sangat berperan dalam ekspresi gen yang mengatur segala aktivitas bakteri, seperti kelangsungan hidup bakteri di lingkungannya, virulensi bakteri, motilitas, mekanisme pengendalian hayati serta penghindaran kolonisasi oleh bakteri antagonis. Peran QS dalam proses infeksi bakteri pada inang tumbuhan telah banyak dilaporkan seperti ekspresi gen penyandi pembentukan senyawa eksopolisakarida, eksoenzim, antimikroba, biofilm, konjugasi Ti-plasmid serta motilitas. a Gambar 2 b Beberapa molekul sinyal pada bakteri Gram positif dan Gram negatif, (a) N-acyl homoserine lactone (b) peptida (Waters dan Bassler 2005). Sistem QS dapat dihambat oleh enzim pendegradasi atau penonaktifan AHL yang kemudian dikenal dengan istilah quorum quenching. Enzim penonaktif molekul sinyal AHL yang lebih dahulu diketahui adalah AHL laktonase dan AHL asilase. Namun penelitian berikutnya membuktikan adanya enzim lain yang dapat menonaktifkan AHL yaitu AHL oksido reduktase (Czajkowski dan Jafra, 2009) 5 Bacillus sp. Secara umum, kelompok Bacillus merupakan bakteri berbentuk batang (basil), dan tergolong dalam bakteri gram positif yang umumnya tumbuh pada medium yang mengandung oksigen (bersifat aerobik) sehingga dikenal pula dengan istilah aerobic sporeformers. Kebanyakan anggota genus Bacillus dapat membentuk endospora yang dibentuk secara intraseluler sebagai respon terhadap kondisi lingkungan yang kurang menguntungkan, oleh karena itu anggota genus Bacillus memiliki toleransi yang tinggi terhadap kondisi lingkungan yang berubah-ubah (Hoffmaster 2008). Beberapa anggota Bacillus memiliki S-layer yang merupakan lapisan crystalline di permukaan subunit protein atau glikoprotein. Bagian kapsul kebanyakan anggota Bacillus mengandung D atau L-glutamic acid, sedangkan beberapa lainnya memiliki kapsul yang mengandung karbohidrat. Variasi struktur dinding sel seperti pada kebanyakan bakteri gram negatif tidak ditemukan pada genus Bacillus. Dinding sel vegetatif kebanyakan anggota Bacillus terbuat dari peptidoglikan yang mengandung Meso-Diaminopimelic Acid (DAP) dengan tipe Glyserol Teichoic Acid yang sangat bervariasi antar spesies. Kebanyakan anggota genus Bacillus merupakan bakteri yang bersifat motil dan memiliki flagela tipe peritrik (Hoffmaster 2008). B. cereus merupakan salah satu anggota genus Bacillus yang pertama kali diisolasi pada tahun 1969 dari darah dan cairan pleura pasien pneumonia. B. cereus memiliki beberapa karakter morfologi diantaranya: gram positif dengan lebar sel 0.9–1.2 µm dan panjang 3–5 µm. Sel vegetatif dari B. cereus dapat tumbuh pada rentang temperatur 5–50oC dengan temperatur optimal antara 3540oC, resisten terhadap pH 4.5–9.3. B. cereus memiliki karakter yang mirip dengan Bacillus thuringiensis dan Bacillus anthracis, namun tetap dapat dibedakan berdasarkan determinasi motilitas (kebanyakan B. cereus bersifat motil) dan adanya kristal toxin (hanya dihasilkan oleh B. thuringiensis), aktivitas hemolisis (B. cereus memiliki sifat ini, sedangkan B. anthracis bersifat nonhemolitik) (Hoffmaster 2008). Pada peristiwa QS, Bacillus sp. merupakan bakteri yang mampu menghasilkan senyawa anti-QS yang merupakan salah satu alternatif pengendalian penyakit dengan cara memblok atau mengacau proses QS. Kelebihan Anti-QS dalam mengontrol infeksi bakteri yaitu tidak mempengaruhi pertumbuhan bakteri patogennya, sehingga dapat menghindari timbulnya tekanan seleksi yang sering menghasilkan generasi patogen yang lebih resisten terhadap antibiotik (White dan Finan 2009). AHL dapat dihidrolisis ikatan laktonnya oleh enzim Acyl Homoserine Lactonase (AHL-lactonase). Enzim ini disandikan oleh gen aiiA yang dimiliki oleh Bacillus (Dong et al. 2000). Pseudomonas syringae P. syringae adalah bakteri gram negatif, aerobik, berbentuk batang, dan memiliki flagela polar. Secara biokimia, bakteri ini dapat diuji dengan menggunakan uji oksidase dan arginin hidrosilase yang akan menunjukkan hasil negatif (Mani et al. 2012). Fitopatogen ini terdapat dalam setiap kubik udara (40 mikroorganisme/kubik) dan memiliki 58-60% GC (guanin-sitosin). P. 6 syringae dapat ditemukan pada tanaman, tanah, dan udara, tapi umumnya memiliki habitat pada permukaan daun berbagai tanaman sehingga termasuk bakteri filosfer dan bersifat patogenik terhadap beberapa spesies tanaman tertentu (Green 1981). Keistimewaan utama dari P. syringae adalah kemampuannya membentuk inti es (nukleasi es) yang dapat menstimulasi pembentukan es pada suhu -2 °C hingga -4°C. Pada keadaaan normal, air murni akan berbentuk cair pada suhu 0 sampai -4°C, namun kristal es dapat terbentuk pada suhu yang rendah tersebut dengan adanya inti es. Protein inti es yang dihasilkan oleh bakteri ini terletak pada membran luar dan asam amino yang menyusun protein tersebut sebagian besar bersifat hidrofilik sehingga dapat berasosiasi dengan air. Pada P. syringae, protein inti es disandikan oleh gen inaZ yang diekspresikan secara terus-menerus (konstitutif) dan gen tersebut telah berhasil diisolasi dan dikloning untuk berbagai aplikasi lain (Lindow 1983). Tanpa adanya P. syringae, tanaman dapat bertahan di musim dingin yang bersuhu di bawah 0°C, walaupun air yang berada di permukaan daun sangat dingin (disebut supercools). Adanya P. syringae akan membuat air supercools di permukaan daun menjadi inti es yang memicu pembentukan kristal es. Kristal es ini dapat merusak jaringan tanaman dan menyebabkan luka beku (frost injury atau frost damage) sehingga akan menurunkan kemampuan fotosintesis tanaman, dan pada akhirnya dapat mematikan tanaman tersebut (Cheng et al. 1989). Tanda kerusakan tanaman akibat frost damage biasanya berupa warna kuning, coklat, bahkan kehitaman pada daun. Hal ini terjadi karena jaringan tanaman secara spontan dan tiba-tiba membeku terlalu cepat dan sel mengalami dehidrasi yang diikuti penetrasi kristal es yang merusak membran sel. Kerusakan tanaman pangan akibat P. syringae umumnya terjadi pada musim panen ketika terjadi penurunan suhu di bawah 0\°C dalam waktu yang singkat seperti terjadi di malam hari (Lindow dan Connel 1984). Salah satu dampak tidak langsung dari aktivitas nukleasi es oleh P. syringae adalah matinya bakteri-bakteri lain, termasuk bakteri yang bersimbiosis mutualisme dengan tanaman dan berhabitat di permukaan daun karena kondisi ekstrem yang terjadi ketika partikel es mencair. P. syringae tetap dapat bertahan hidup karena memiliki membran dengan banyak asam aminohidrofobik sehingga tahan suhu rendah ketika es mencair. Hal ini terjadi pada kasus Florida Citrus Crop di Amerika Serikat. Tanaman yang sering terinfeksi P. syringae adalah tomat dan Arabidopsis thaliana dan penyakit yang diakibatkan disebut sebagai bintik hitam coklat daun (brown black leaf spot) (Lindemann et al. 1984). 7 METODE Kerangka Penelitian Kegiatan yang dilakukan pada penelitian ini (Gambar 3) meliputi pembuatan kurva pertumbuhan kultur Bacillus sp. NTT3a dan B. cereus INT1c, produksi dan pengendapan AHL-laktonase kedua Bacillus tersebut menggunakan ammonium sulfat, dialisis, pengujian aktivitas AHL-laktonase secara in-vitro terhadap C. violaceum dan pengaruhnya terhadap motilitas motilitas P. syringae, serta uji penghambatan pembusukan pada buncis. Peremajaan Isolat Pembuatan Kurva Tumbuh Uji Aktivitas AHL-Laktonase Penyiapan AHL-Laktonase Intraseluler Pemekatan AHL laktonase Penentuan Kadar Protein Uji Terhadap Faktor Virulen Uji Penghambatan Quorum Sensing Pada Buncis Uji Motilitas (Swarming Bioassay) Penghitungan Populasi P. syringae Gambar 3 Alur penelitian yang dilakukan 8 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan dari bulan September 2014 hingga Desember 2015 di Laboratorium Mikrobiologi Departemen Biologi, FMIPA IPB. Peremajaan Isolat Kultur Bacillus sp. NTT3a, B. cereus INT1c, P. syringae, dan Chromobacterium violaceum diremajakan dengan menggunakan teknik gores kuadran pada media LA. Media yang telah diinokulasi tersebut diinkubasi pada suhu ruang selama 24-72 jam. Pembuatan Kurva Tumbuh Inokulum Bacillus sp. NTT3a, B. cereus INT1c disiapkan dengan cara menginokulasikan secara terpisah satu lup kultur padat masing-masing bakteri yang berumur 24 jam ke dalam 50 mL media LB lalu diinkubasi di atas shaker (130 rpm) hingga mencapai OD600 : 0.6-0.8. Sebanyak 1 mL kultur inokulum diinokulasikan ke dalam 100 ml LB yang baru kemudian diinkubasi sambil digoyang di atas shaker (130 rpm) pada suhu ruang (28°C ± 1°C). Setiap 3 jam selama 36 jam dilakukan pengambilan sampel untuk diukur rapat optisnya pada panjang gelombang 600 nm. Masing-masing kurva tumbuh bakteri dibuat dari rataan data rapat optis yang diambil dari dua kultur (duplo). Uji Aktivitas AHL-Laktonase Sebanyak dua lup kultur murni Bacillus sp. NTT3a dan B. cereus INT1c diinokulasikan ke dalam 50 ml media Luria Broth (LB). Setelah diinkubasi selama 24 jam di atas shaker pada suhu ruang (28°C ± 1°C), kultur disentrifugasi selama 10 menit pada kecepatan 10000 rpm. Sebanyak 100 μL supernatan diteteskan pada paper disc steril kemudian diletakkan pada permukaan media cawan Luria Agar semi padat yang telah diinokulasi dengan kultur cair Chromobacterium violaceum (1%). Cawan tersebut kemudian diinkubasi pada suhu ruang (28°C ± 1°C) selama 24 jam (Choo et al. 2006). Pengamatan dilakukan terhadap pembentukan zona Quorum Quenching (QQ) yaitu zona tidak berwarna ungu disekitar paper disc yang mengandung supernatan kultur Bacillus. Zona tersebut terbentuk oleh adanya aktivitas degradasi AHL oleh enzim AHL-laktonase. Persentase perbandingan aktivitas degradasi AHL (aktivitas relatif) pada supernatan kultur dan enzim hasil pemekatan dihitung menggunakan rumus berikut : IQQ enzim setelah dipekatkan sebelum dipekatkan Aktivitas Relatif = IQQ enzim Keterangan : IQQ : Indeks zona quorum quenching. × 100% 9 Penyiapan AHL-laktonase Ekstraseluler Masing-masing Bacillus diinokulasikan secara terpisah ke dalam 10 ml media kaldu Luria Bertani (LB) selanjutnya diinkubasi pada suhu ruang (28°C ± 1°C) selama semalam di atas inkubator bergoyang dengan kecepatan 130 rpm. Sebanyak 0,5 mL kultur tersebut masing-masing digunakan untuk menginokulasi 50 mL kaldu LB yang baru. Kedua kultur tersebut diinkubasi selama 24 jam pada kondisi yang sama seperti inokulumnya sebelum disentrifugasi selama 5 menit pada 10000 x g pada suhu 4ºC. Pellet sel dikumpulkan kemudian dicuci dengan bufer (Phospat Saline Bufer (PBS) pH 7.4). Selanjutnya sel disentrifugasi kembali pada kecepatan 10000 x g pada suhu 4ºC. Pelet sel yang telah dicuci tersebut diresuspensi dengan PBS dingin kemudian disonikasi di dalam es. Cell lysate dipisahkan dari pecahan sel dengan cara disentrifugasi pada kecepatan 12500 x g dalam kondisi dingin (4ºC) selama 15 menit. Supernatan yang diperoleh merupakan enzim intrasel kasar (Cao et al. 2012 dan Dong et al. 2002). Pemekatan AHL-Laktonase Protein yang terdapat di dalam sampel sumber enzim (supernatan atau cairan hasil pelisisan sel) diendapkan dengan amonium sulfat pada kisaran 4080% saturasi. Penambahan amonium dilakukan pelan-pelan sambil diaduk selama 1 jam di dalam bak es. Hasil pengendapan tersebut disentrifugasi dengan kecepatan 10000 rpm selama 15 menit pada suhu 4ºC. Endapan yang terbentuk dikumpulkan kemudian dilarutkan menggunakan buffer fosfat dengan volume seminimal mungkin. Enzim kasar pekat yang diperoleh disimpan di dalam tabung sentrifuge selama semalam pada suhu 4ºC. Endapan yang diperoleh kemudian didialisis untuk menghilangkan sisa garam amonium sulfat. Dialisis dilakukan menggunakan kantong dialisis (Sigma D0405) yang memiliki membran dengan cut off 5000-10000. Dialisis dilakukan dalam buffer fosfat 0,1 M pH 7 dengan volume 100 kali volume sampel selama 12 jam. Selama dialisis dilakukan penggantian buffer tiga kali. Penentuan Kadar Protein Kadar protein ditentukan dengan teknik Standard Assay menggunakan spektrofotometer. Commasie Brilliant Blue G-250 digunakan sebagai pewarna dan ±larutan Bovine Serum Albumin (BSA) digunakan sebagai standar pengukuran protein. Larutan stok BSA dibuat sebanyak 1 mg/ml, selanjutnya dari larutan stok tersebut dibuat seri pengenceran 0, 0.1, 0.2, 0.3, 0.4, 0.5, 0.6, 0.7, 0.8 dan 0.9 ppm. Pengukuran kadar protein AHL-laktonase dilakukan dengan cara mencampurkan 50 μL sumber enzim supernatan hasil pemekatan dengan 2,5 ml larutan Commasie Brilliant Blue G-250, kemudian campuran divortex dan dibiarkan pada suhu ruang (28oC ± 1 oC) selama 10 menit. Campuran reaksi diukur absorbannya menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 595 nm (Bradford 1976). 10 Swarming Bioassay P. syringae Swarming Bioassay dilakukan dengan cara menyiapkan kultur inokulum P. syringae yang diinokulasi dari kultur padat yang berumur 24 jam kedalam 10 mL media LB selama 24 jam hingga mencapai OD600 ± 1.0. Kultur P. syringae yang telah diinkubasi selama 24 jam kemudian diinokulasikan ke dalam 50 mL media LB dan diinkubasi selama 24 jam hingga mencapai OD600 ± 1.0. Kultur Bacillus sp. NTT3a dan B. cereus INT1c disiapkan dengan cara menginokulasi dari kultur padat yang berumur 24 jam kedalam 10 mL media LB selama 24 jam hingga mencapai OD600 ± 0.8. Sebanyak 50 μL kultur P. syringae diteteskan ke paper disc steril yang diletakkan di permukaan media LA semisolid (0.6% b/v agar) yang telah diinokulasi masing-masing dengan kultur Bacillus sp. NTT3a dan B. cereus INT1c (1% v/v). Cawan tersebut diinkubasi selama 96 jam pada suhu ruang (28°C ± 1°C) untuk diamati swarming motility-nya. Kemampuan swarming motility P. syringae pada masing-masing perlakuan diukur berdasarkan diameter koloninya. Uji Penghambatan Quorum Sensing P. syringae Pada Buncis (Phaseolus vulgaris) oleh Bacillus sp. NTT3a dan B. cereus INT1c Penyiapan buncis dilakukan dengan cara mencuci buncis menggunakan akuades steril sebanyak tiga kali kemudian dikeringkan menggunakan tissue. Setelah dicuci, buncis diletakkan pada plastik mika yang telah diberi kapas yang telah dilembabkan. Perlakuan yang diujikan pada buncis yaitu : (1.) Bacillus sp. NTT3a + P. syringae, (2.) dan B. cereus INT1c + + P. syringae, (3.) Kontrol positif, (4.) dan kontrol negatif. Setiap perlakuan terdiri dari tiga buah buncis. Buncis yang telah dicuci disemprot secara terpisah dengan 3 mL kultur Bacillus sp. NTT3a dan B. cereus INT1c (107-108 CFU/mL) kemudian dibiarkan kering udara sebelum diinkubasi pada suhu ruang (28°C ± 1°C) selama 24 jam. Masingmasing buncis ditusuk 4 kali dengan jarum suntik kemudian diinokulasikan dengan 10 μL kultur P. syringae yang memiliki kerapatan 107-108 CFU/mL. Buncis yang diinokulasi kultur P. syringae tanpa disemprot dengan kultur Bacillus sp. NTT3a atau B. cereus INT1c sebagai kontrol positif, sedangkan buncis yang disemprot dengan masing-masing kultur Bacillus tanpa diinokulasi dengan kultur P. syringae sebagai kontrol negatif. Buncis-buncis tersebut dimasukkan ke dalam dalam kotak plastik mika dan diinkubasi pada suhu 26ºC ± 1 C selama72 jam. Selama inkubasi dilakukan pengamatan terhadap panjang rata-rata jaringan buncis yang busuk. Penghitungan Populasi Sel P. syringae Penghitungan populasi P. syringae dilakukan dengan teknik cawan hitung. Jaringan buncis yang busuk dipotong, digerus, kemudian masing-masing hasil gerusannya diencerkan secara serial. Hasil pengenceran tersebut disebarkan pada permukaan media media LA yang mengandung kristal violet (5 mg/ mL) dan ampicillin (1 % b/v). Koloni P. syringae yang tumbuh dihitung setelah LA cawan diinkubasi selama 24 jam pada suhu ruang (28ºC ± 1ºC). Data jumlah koloni P. 11 syringae yang tumbuh digunakan untuk menghitung populasi bakteri fitopatogen ini pada jaringan buncis yang busuk. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Kurva Pertumbuhan Bacillus sp. NTT3a dan Bacillus cereus INT1c 9,8 9,3 8,8 8,3 7,8 7,3 6,8 6,3 Log Sel Log Sel Bacillus sp. NTT3a dan B. cereus INT1c mampu tumbuh dengan baik di media LB pada suhu ruang. Kedua kultur bakteri tersebut mengalami fase lag yang pendek (0-1 jam) pada awal inkubasi. Selanjutnya kultur tersebut berada pada fase eksponensial selama 2 jam yaitu pada umur 1-3 jam inkubasi. Pertumbuhan kultur mulai melandai pada waktu inkubasi berikutnya sampai akhir waktu inkubasi (Gambar 4). 0 3 6 9 12 15 18 21 24 Waktu Inkubasi (Jam) (a) Gambar 4 10,0 9,5 9,0 8,5 8,0 7,5 7,0 6,5 0 3 6 9 12 15 18 21 24 27 30 33 36 Waktu Inkubasi (Jam) (b) Kurva Pertumbuhan (a) Bacillus sp. NTT3a dan (b) B. cereus INT1c pada media LB Produksi AHL-laktonase Pada penelitian ini, keberadaan enzim pendegradasi AHL dan aktivitas degradasinya dideteksi dari terbentuknya zona Quorum Quenching (QQ) terhadap bakteri indikator (C. violaceum) di sekitar kertas cakram yang mengandung enzim ini. C. violaceum yang tumbuh di sekitar kertas cakram kontrol negatif tampak berwarna ungu (Gambar 5) karena ekskresi pigmen ungu (violacein) yang diekspresikan oleh C. violaceum, yang diperantarai oleh senyawa N-AcylHomoserine Lactone. (HHL). Sebaliknya bakteri indikator yang tumbuh disekitar kertas cakram yang mengandung supernatan Bacillus sp. NTT3a dan B. cereus INT1c tidak berwarna ungu karena aktivitas QQ yang disebabkan oleh keberadaan enzim AHL-laktonase dalam supernatan Bacillus tersebut menyebabkan terdegradasinya seyawa homoserin lakton yang diekskresikan oleh C. violaceum (Gambar 5). 12 (b) (a) Gambar 5 Bioassay degradasi AHL C. violaceum oleh AHL laktonase (a) Bacillus sp. NTT3a dan (b) B. cereus INT1c (Ket : K = Kontrol, P = Perlakuan) Pemekatan AHL-laktonase Kadar Protein (mg/ml) Hasil pemekatan protein ekstraselular Bacillus sp. NTT3a dan B. cereus INT1c menggunakan amonium sulfat menunjukkan bahwa garam ini mampu mengendapkan protein pada semua tingkat saturasi yang digunakan (40% - 80% saturasi). Kadar protein supernatan kultur Bacillus sp. NTT3a hasil pengendapan pada persen saturasi 40, 50, 60, 70, dan 80% amonium sulfat berturut-turut adalah 0.158, 0.172, 0.162, 0.217 dan 0.179 (Gambar 6). Pemekatan tersebut meningkatkan kadar protein berturut-turut sebesar 120.88, 95.34, 262.96, 257.60, dan 235,75 kali untuk masing-masing tingkat saturasi. Sedangkan kadar protein supernatan kultur B. cereus INT1c yang diperoleh dari hasil pengendapan tersebut berturut-turut adalah 0.231, 0.242, 0.227, 0.226, dan 0.209 (Gambar 7). Peningkatan kadar protein ekstraselular B. cereus INT1c hasil pemekatan ini bertutut-turut adalah 105,62, 69.83, 212.77, 260.61, dan 186.12 kali untuk tingkat saturasi (NH4)2SO4 40, 50, 60, 70, dan 80%. Pengendapan yang dilakukan pada saturasi 70% menghasilkan kadar protein endapan tertinggi untuk kedua sampel supernatan kultur Bacillus tersebut (Gambar 6 dan 7). 0,8 0,6 0,4 0,2 0,0 40% 50% 60% 70% 80% Saturasi Amonium Sulfat Gambar 6 Pengaruh saturasi amonium sulfat terhadap protein total pada supernatan kultur Bacillus sp. NTT3a (■ : endapan, □ : supernatan) 13 Kadar Protein (mg/ml) 0,8 0,6 0,4 0,2 0,0 40% 50% 60% 70% 80% Saturasi Amonium Sulfat Gambar 7 Pengaruh saturasi amonium sulfat terhadap protein total pada supernatan kultur B. cereus INT1c (■ : endapan, □ : supernatan) Indeks Quorum Quenching Uji aktivitas AHL-laktonase yang dihasilkan oleh Bacillus sp. NTT3a menunjukkan pembentukan zona QQ terhadap C. violaceum di sekitar kertas cakram yang ditetesi supernatan kultur dan protein hasil pengendapan amonium sulfat pada 40% dan 60% saturasi. Indeks zona QQ terbesar (1.53 cm) diperoleh dari hasil pengendapan pada 60% saturasi (Gambar 8). Sebaliknya QQ terhadap C. violaceum tidak terdeteksi di sekitar kertas cakram yang mengandung protein ekstraseluler Bacillus sp. NTT3a hasil pemekatan 50%, 70%, dan 80% karena massa bakteri bioindikator yang tumbuh disekitar kertas cakram tersebut berwarna ungu. Berbeda dengan hasil pemekatan protein ekstraselular Bacillus sp. NTT3a yang sebagian menunjukkan aktivitas AHL-laktonase, semua tingkat saturasi ammonium sulfat yang dilakukan untuk memekatkan protein ekstraselular B. cereus INT1c menyebabkan hilangnya aktivitas AHL-laktonase (Gambar 9). 1,8 1,6 1,4 1,2 1,0 0,8 0,6 0,4 0,2 0,0 40% 50% 60% 70% 80% Saturasi Amonium Sulfat Gambar 8 Aktivitas AHL-laktonase protein hasil pengendapan supernatan kultur Bacillus sp. NTT3a (■ : supernatan, □ : enzim pekat) 14 Indeks Quorum Quenching 0,8 0,6 0,4 0,2 0,0 40% 50% 60% 70% 80% Saturasi Amonium Sulfat Gambar 9 Aktivitas AHL-laktonase protein hasil pengendapan supernatan kultur B. cereus INT1c (■ : supernatan, □ : enzim pekat) Indeks Quorum Quenching Selain meningkatkan kadar protein, pemekatan protein supernatan kultur Bacillus sp. NTT3a dan B. cereus INT1c juga meningkatkan aktivitas AHLlaktonase kedua supernatan kultur Bacillus tersebut. Hal ini terlihat dari nilai indeks QQ protein ekstraselular pekat yang lebih besar dibandingkan dengan indeks QQ supernatannya. Sebaliknya, pemekatan yang dilakukan terhadap protein intraselular menyebabkan penurunan aktivitas enzim AHL-laktonase yang terkandung di dalamnya. Pemekatan meningkatkan nilai IQQ protein ekstraselular Bacillus sp. NTT3a dan B. cereus INT1c berurut-turut sebesar 116.69 dan 102.02 kali (Gambar 10). Sebaliknya proses pemekatan tersebut menyebabkan penurunan nilai IQQ protein intraselular Bacillus sp. NTT3a dan B. cereus INT1c berurutturut sebesar 93.07 dan 83.03 kali (Gambar 11). 1,5 1,0 0,5 0,0 Ekstraseluler Gambar 10 Intraseluler Indeks quorum quenching enzim ekstraseluler dan intraseluler Bacillus sp. NTT3a (■ : sebelum pemekatan, □ : setelah pemekatan). Indeks Quorum Quenching 15 1,5 1,0 0,5 0,0 Ekstraseluler Gambar 11 Intraseluler Indeks quorum quenching enzim ekstraseluler dan intraseluler B. cereus INT1c (■ : sebelum pemekatan, □ : setelah pemekatan) Aktivitas AHL-laktonase Bacillus sp. NTT3a pada presipitat lebih besar dibandingkan dengan ekstrak kasar (Gambar 12). Pengendapan dengan amonium sulfat dilakukan untuk memekatkan protein AHL-laktonase. Kadar protein hasil pemekatan lebih tinggi dibandingkan dengan supernatan kultur (Tabel 1). Tabel 1 Aktivitas dan kadar protein supernatan dan enzim hasil pemekatan AHLlaktonase Bacillus sp. NTT3a Sumber AHL-laktonase Aktivitas Relatif (%) Supernatan Kultur Hasil Pemekatan Volume (ml) Indeks QQ Aktivitas Relatif (%) Kadar Protein (mg/ml) Total Protein (mg) 90 1.312 100 0.169 15.235 1.5 1.531 116.69 0.341 0.511 120 115 110 105 100 95 90 85 Ekstrak Kasar Gambar 12 Enzim Pekat Aktivitas relatif AHL-laktonase ekstraseluler Bacillus sp. NTT3a sebelum dan sesudah pemekatan 16 Uji Quorum Quenching terhadap Swarming motility Pseudomonas syringae oleh Bacillus sp. NTT3a dan Bacillus cereus INT1c Jarak swarming motility P. syringae setelah 96 jam diinokulasikan di kertas cakram yang diletakkan pada LA cawan kontrol mencapai 12.3 mm. Sedangkan jarak swarming motility bakteri ini yang diinokulasikan pada kertas cakram yang diletakkan pada LA cawan mengandung Bacillus sp. NTT3a dan Bacillus cereus INT1c memiliki jarak swarming yang lebih kecil yaitu berturut-turut 3.0 dan 3.3 mm (Gambar 13). Hasil ini mengindikasikan terjadinya proses penghambatan quorum sensing terhadap P. syringae oleh kedua kultur Bacillus sp. NTT3a dan B. cereus INT1c (Gambar 14). Jarak Swarming (mm) 15 10 PSG PSG + NTT3a 5 PSG + INT1c 0 0 24 48 72 96 Waktu Inkubasi (Jam) Gambar 13 Kemampuan swarming P. syringae pada media LA semisolid Gambar 14 Tampilan morfologi koloni P. syringae pada uji swarming motility umur 96 jam pada media LA semisolid (A) P. syringae (B) P. syringae + Bacillus sp. NTT3a (C) P. syringae + B. cereus INT1c 17 Uji Penghambatan Quorum Sensing Pseudomonas syringae Pada Buncis (Phaseolus vulgaris) oleh Bacillus sp. NTT3a dan Bacillus cereus INT1c. Rata-rata Panjang jaringan buncis yang busuk (cm) Pengamatan yang dilakukan menunjukkan buncis kontrol negatif (buncis yang hanya diinokulasi dengan Bacillus) tidak busuk setelah 72 jam diinkubasi. Buncis kontrol positif (hanya diinfeksi dengan P. syringae) menunjukkan gejala busuk yang sangat parah, sedangkan buncis yang diinokulasikan dengan Bacillus sp. NTT3a atau Bacillus cereus INT1c sebelum diinfeksi dengan P. syringae menunjukkan gejala busuk yang lebih ringan dibandingkan dengan kontrol positifnya (Gambar 16). Rata-rata panjang gejala busuk pada buncis kontrol positif adalah 6.4 cm sedangkan panjang rata-rata gejala busuk pada buncis yang diinokulasikan Bacillus sp. NTT3a dan B. cereus INT1c sebelum diinfeksi P. syringae berturut-turut adalah 4.55 dan 3.92 cm (Gambar 15). Persentase penghambatan pembusukan jaringan buncis yang diinfeksi bakteri fitopatogen ini oleh Bacillus sp. NTT3a dan B. cereus berturut-turut adalah 82.42% dan 68.01% (Tabel 2). 7 6 5 4 3 2 1 0 PSG PSG + INT PSG + NTT Gambar 15 Pengaruh Bacillus sp. NTT3a dan B. cereus INT1c terhadap penghambatan pembusukan buncis oleh P. syringae Gambar 16 Bioassay quorum quenching patogenisitas P. syringae oleh Bacillus pada buncis yang (A) diinokulasi dengan Bacillus sp. NTT3a dan P. syringae (B) diinokulasi dengan B. cereus INT1c dan P. syringae (C) diinokulasi dengan P. syringae (D) diinokulasi Bacillus sp. NTT3a (E) diinokulasi dengan B. cereus INT1c (F) diinokulasi dengan media LB 18 Jumlah sel P. syringae pada perlakuan uji penghambatan QS dihitung dengan metode Total Plate Count (TPC). Populasi sel P. syringae pada ketiga buncis perlakuan berbeda nyata (Gambar 17). Tabel 2 Persentase penghambatan pembentukan gejala busuk lunak pada buncis oleh Bacillus sp. NTT3a dan Bacillus cereus INT1c Rata-rata Panjang Rata-rata Panjang Buncis (cm) Luka (cm) Perlakuan Persentase Penghambatan (%) PSG + INT1c 16.96 5.43 68.01 PSG + NTT3a 17.07 3.00 82.42 Jumlah Sel (CFU/mL) 6,30E+08 6,00E+08 5,70E+08 5,40E+08 5,10E+08 PSG Gambar 17 PSG + INT PSG + NTT Populasi P. syringae pada jaringan buncis yang membusuk Pembahasan Aktivitas AHL-laktonase dapat diuji menggunakan bakteri indikator C. violaceum. Degradasi AHL-laktonase yang diekskresikan oleh bioindikator tersebut menyebabkan terbentuknya zona QQ berupa area tidak berwarna ungu pada kultur C. violaceum yang tumbuh pada permukaan media LA semi padat. C. violaceum merupakan bakteri Gram negatif yang dapat memproduksi pigmen ungu (violacein) melalui mekanisme QS menggunakan sinyal AHL yang memiliki 6 atom C “N-hexanoyl homoserine lactone” (HHL) (McClean et al. 1997). 19 AHL laktonase bekerja dengan cara menghidrolisis cincin lakton dari molekul AHL (Gambar 18), dan menghasilkan homoserin lakton (Wang et al. 2004). Bacillus sp. NTT3a dan B. cereus INT1c menghasilkan AHL-laktonase ekstraseluler. Enzim AHL-laktonase ekstraseluler merupakan enzim yang terikat pada membran sel. Selain dihasilkan oleh Bacillus, AHL-laktonase ekstraseluler juga dihasilkan oleh Muricauda olearia (Tang et al. 2015). Gambar 18 Mekanisme degradasi AHL oleh AHL laktonase (Czajkowski dan Jafra 2009) Enzim AHL-laktonase pada kedua Bacillus dipekatkan menggunakan amonium sulfat. Pemekatan enzim bertujuan untuk menurunkan kadar air, kandungan senyawa-senyawa lain, dan protein lain non-target sehingga meningkatkan kadar protein enzim kasarnya. Tingkat saturasi optimum untuk mengendapkan total protein supernatan kedua Bacillus tersebut tercapai pada 70% saturasi ammonium sulfat (Gambar 6 dan 7). Amonium sulfat yang dilarutkan dalam supernatan kultur Bacillus akan menyebabkan terjadinya proses salting out sehingga protein akan mengendap. Salting out terjadi akibat kompetisi antara ionion dari garam amonium dan molekul enzim dalam berinteraksi dengan molekul air. Dengan tingginya kadar ion, ion garam akan mengikat molekul air dan terjadi peningkatan muatan listrik di sekitar protein yang akan menarik mantel air dari koloid protein menyebabkan terjadi interaksi hidrofobik diantara sesama molekul protein dan menurunkan kelarutan protein, akibatnya protein tersebut akan mengendap (Scopes 1994). Hasil uji aktivitas AHL-laktonase Bacillus sp. NTT3a yang telah dipekatkan menunjukkan terbentuknya zona QQ yang terbentuk pada konsentrasi 40% dan 60% saturasi amonium sulfat (Gambar 8), sedangkan pada B. cereus INT1c menunjukkan tidak terbentuknya zona QQ pada semua konsentrasi (Gambar 9). Hasil uji aktivitas degradasi AHL mengindikasikan bahwa enzim AHL-laktonase B. cereus INT1c memiliki sifat yang sensitif terhadap ion garam amonium sulfat sehingga proses pengendapan protein ekstrasel bakteri ini tidak cocok menggunakan amonium sulfat. Sebagai alternatif, pengendapan protein dapat dilakukan dengan menggunakan aseton. Tidak terbentuknya zona QQ pada B. cereus INT1c disebabkan karena protein pada enzim hasil pemekatan mengalami denaturasi. Denaturasi protein diartikan sebagai perubahan atau modifikasi terhadap struktur sekunder, tersier atau kuartener molekul protein tanpa terjadinya pemecahan ikatan-ikatan kovalen (Scopes 1994). Beberapa faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi konformasi protein enzim antara lain adalah pH, konsentrasi garam, suhu, bahan kimia atau aspek lain 20 dari lingkungannya berubah. Denaturasi protein terjadi pada struktur tersier yang merupakan struktur tiga dimensi pada protein. Struktur tersier terbentuk dari gabungan semua asam amino dalam polipeptida yang membentuk lipatan (folding) akibat adanya ikatan hidrogen di antara gugus-gugus polar dari asam amino dalam rantai protein (Branden dan Tooze 1999). Pada struktur tersier ini terdapat empat jenis ikatan yaitu ikatan hidrogen, ikatan disulfida, interaksi hidrofobik dan jembatan garam atau ikatan ion (Petsko dan Ringe 2003). Protein yang mengalami denaturasi dapat dilihat dari perubahan struktur fisiknya, yaitu terjadi pembukaan lipatan pada bagian-bagian tertentu dari struktur tersier (unfolded). Denaturasi protein pada situs aktif atau daerah disekitar situs aktif enzim akan mengakibatkan hilangnya aktivitas enzim karena substrat tidak dapat berikatan dengan sisi aktif enzim. Kerusakan pada sisi aktif enzim dapat menurunkan volume larutan enzim (Scopes 1994). Denaturasi protein ada yang bersifat reversible yaitu struktur proteinnya dapat kembali kebentuk semula dan ada yang bersifat irreversible dimana struktur proteinnya tidak dapat kembali ke bentuk semula dalam waktu yang cepat (Dill et al. 2008). Setelah pemekatan diduga protein enzim B. cereus INT1c terdenaturasi secara permanen sehingga kehilangan kemampuan aktivitasnya dalam mendegradasi AHL. Sedangkan protein enzim Bacillus sp. NTT3a yang dipekatkan pada 60% saturasi amonium sulfat segera mengalami renaturasi dan kembali ke struktur aslinya dengan cepat sehingga aktivitasnya tidak hilang (Feldman dan Frydman 2000). Koloni P. syringae pada paper disc yang diletakkan media LA semi padat yang tidak diberi Bacillus tumbuh sejauh 12.3 mm dari tepi paper disc. Sebaliknya pertumbuhan koloni P. syringae pada paper disc yang diletakkan diatas media LA semi padat hanya tumbuh sejauh 3.3 mm dan 3.0 berturut-turut untuk Bacillus sp. NTT3a serta B. cereus INT1c (Gambar 13). Kemampuan P. syringae untuk bergerak (motilitas) secara tidak langsung diatur oleh sistem quorum sensing (Quinones et al. 2005). P. syringae menghasilkan protein ekstraseluler berupa lendir yang terdiri dari polisakarida dan biosurfaktan yang berfungsi selain sebagai faktor virulensi, juga berperan untuk swarming motilitynya (Rashid & Kornberg 2000). Produksi EPS (eksopolisakarida) pada P. syringae dikendalikan oleh mekanisme quorum sensing. Hambatan quorum sensing terhadap sintesis EPS P. syringae menurunkan motilitasnya. (Quinones et al. 2005). Penghambatan Quorum Sensing P. syringae pada buncis (P. vulgaris) menunjukkan gejala busuk yang lebih rendah pada buncis yang terlebih dahulu diinokulasi dengan Bacillus sp. NTT3a dan Bacillus cereus INT1c dibandingkan dengan buncis yang hanya diinokulasi dengan P. syringae (Gambar 16). Bakteri fitopatogen ini mampu memanfaatkan pektin pada jaringan buncis dengan cara menghidrolisis ikatan glikosidik pada polimer pektat sehingga menyebabkan busuk lunak pada buncis. Pektin merupakan penyusun dinding sel primer pada jaringan tumbuhan. Produksi enzim pektinase ekstraselular pada P. syringae dikendalikan melalui mekanisme QS yang melibatkan senyawa AHL yang berperan sebagai molekul signal. AHL-laktonase yang diekskresikan Bacillus sp. NTT3a dan B. cereus INT1c menyebabkan molekul signal tersebut terdegrdasi sehingga produksi enzim pektinase yang merupakan salah satu faktor virulensi P. syringae menjadi terhambat. 21 Pengendalian patogenisitas bakteri melalui mekanisme anti-QS tidak menyebabkan perubahan populasi patogen secara signifikan. Namun hasil penghitungan populasi P. syringae pada jaringan buncis menggunakan metode total plate count (TPC) menunjukkan penurunan populasi P. syringae pada buncis yang telah diberi Bacillus. Kemampuan Bacillus untuk berkompetisi dan mendominasi juga dapat menurunkan populasi patogen ini. Kemampuan penghambatan gejala busuk lunak oleh kedua Bacillus tersebut membuktikan bahwa Bacillus sp. NTT3a dan B. cereus INT1c berpotensi untuk dikembangkan sebagai agen biokontrol bakteri fitopatogen seperti P. syringae. SIMPULAN Bacillus sp. NTT3a dan B. cereus INT1c menghasilkan AHL-laktonase ekstraseluler. Aktivitas AHL-laktonase Bacillus sp. NTT3a relatif lebih tinggi dibandingkan dengan B. cereus INT1c. Enzim AHL-laktonase NTT3a dipresipitasikan secara optimum pada 60% saturasi amonium sulfat. Pemekatan AHL-laktonase Bacillus sp. NTT3a meningkatkan aktvitas quorum quenching enzim tersebut terhadap C. violaceum 116.69 kali. Aplikasi kedua Bacillus penghasil AHL-laktonase tersebut pada buncis dapat menurunkan gejala busuk lunak pada P. syringae. Oleh karena itu kedua Bacillus tersebut berpotensi untuk dikembangkan sebagai agen biokontrol penyakit tanaman yang disebabkan oleh P. syringae. 22 DAFTAR PUSTAKA Afiah TSN. 2011. Isolasi dan Karakterisasi Bakteri Penghasil Acyl Homoserine Lactonase (AHL-Laktonase) Asal Lahan Pertanian di Jawa [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. August PR, Grossman TH, Minor C, Draper MP, MacNeil IA, Pemberton JM, Call KM, Holt D, Osburne MS. 2000. Sequence analysis and functional characterization of the violacein biosynthetic pathway from Chromobacterium violaceum. J Mol Microbiol Biotechnol. 2:513-519. Bradford MM. 1976. A rapid and sensitive method for the quantitation of microgram quantities of protein utilizing the principle of protein-dye binding. Anal Biochem. 72:248-254. Branden CI, Tooze J. 1999. Introduction to Protein Structure. 2nd edition. New York (US): Garland. Cao Y, He S, Zhou Z, Zhang M, Mao W, Zhang H, Yao B. 2012. Orally administered thermostable N-acyl homoserine lactonase from Bacillus sp. strain AI96 attenuates Aeromonas Hydrophyla inspection in zebrafish. Appl Environ Microbiol. 78: 1899-1908. Chen F, Gao Y, Chen X, Yu Z, Li X. 2013. Quorum quenching enzymes and their application in degrading signal molecules to block quorum sensing dependent infection. Int J Mol Sci. 14(9):17477-17500. Cheng GY, Legard DE, Hunter JE, Burr TJ. 1989. Modified bean pod assay to detect strains of Pseudomonas syringae that cause bacterial brown spot on snap bean. Amer Amer Phytophal Soc. 74:419-423. Choo JH, Rukayadi Y, Hwang JK. 2006. Inhibition of bacterial qs by vanilla extract. Lett Appl Microbiol. 42:637–641. Czajkowski, R, Jafra, S. 2009. Quenching of acyl-homoserine lactone dependent quorum sensing by enzymatic disruption of signal molecules. Acta Biochimica Polonica. 56:1-16. d’Angelo-Picard C, Faure D, Penot I, Dessaux Y. 2005. Diversity of N-acyl homoserine lactone producing and degrading bacteria in soil and tobacco rhizosphere. Environ Microbiol. 7(11):1796-1808. Dill KA, Ozkan SB, Shell MS, Weiki TR. 2008. The protein folding problem. Ann Rev Biophys. 37:289-316. Dong YH, Xu JL, Li XC, Zang LH. 2000. aiiA, A novel enzyme inactivates acylhomoserine-lactone quorum-sensing signal and attenuates the virulence of Erwinia carotovora. Proc Natl Acad Sci. 97:3526-3531. Dong YH, Gusti AR, Zhang Q, Ling XJ, Zhang LH. 2002. Identification of quorum quenching N-acyl homoserine lactonases from Bacillus species. Appl Environ Microbiol. 68:1754-1759. Dulla GFJ, Krasileva K. 2010. Interference of quorum sensing in Pseudomonas syringae by bacterial epiphytes that limitmiron availability. Environ Microb. 12:1762-1774. Feldman DE, Frydman J. 2009. Protein folding invitro : the importance of molecular chaperons. Curr Opin Struct Biol. 10:26-32. Fitriyah A. 2011. Isolasi dan Karakterisasi Bakteri Penghasil AHL-Laktonase Asal Lahan Pertanian Luar Pulau Jawa [skripsi]. Bogor (ID): Fakultas Matematika dan Ilmu pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogo r. 23 Green JL. 1981. Pseudomonas syringae damage increasing in some nursery-broen shade trees. Ornamentals Northwest Archives. 5:17-21. Hoffmaster. AR.,. Novak RT, Marston CK, Gee JE, Pruckler JM, Wilkins PP. 2008. Genetic Diversity of clinical isolates of Bacillus cereus using multilocus sequence typing. BMC Microbiology. 8:191. Leadbetter JR, Greenberg EP. 2000. Metabolism of acyl-homoserine lactone quorum-sensing signals by Variovorax paradoxus. J Bacteriol. 182 (24):6921-6926. Lindemann J, Deane C, Arny, Upper DC. 1984. Epiphytic populations of Pseudomonas syringae pv syringae on snap bean and nonhost plants and the incidence of bacterial brown spot disease in relation to cropping patterns. Amer Phytopathol Soc. 74:1329-1333. Lindow SE. 1983. The role of bacterial ice nucleation in frost injury to plants. Ann Rev Phytopathol. 21:63-84. Lindow SE, Connel JH. 1984. Reduction of frost injury to almondby control of ice nucleation active bacteria. J Amer Soc Hort Sci. 109:48-53. Mani A, Hameed SS, Ramalingam S, Narayanan M. 2012. Assessment of quorum quenching activity of Bacillus species against Pseudomonas aeruginosa MTCC 2297. J Pharmacol. 6(2):118-125. McClean KH, Winson MK, Fish L, Taylor A, Chhabra SR, Camara M, Daykin M, Lamb JH, Swift S, Bycroft BW, Stewart GSAB dan Williams P. 1997. Quorum sensing and Chromobacterium violaceum: exploitation of violacein production and inhibiton for the detection of N-acylhomoserine lactones. Microbiology 143: 3703-3711. Petsko GA, Ringe D. 2003. Protein Structure and Function. Sunderlan, CT: Sinauer Associates. Quinones, B, Dulla G, Lindow SE. 2005. Quorum sensing regulates exopolysaccharide production, motility, and virulence in Pseudomonas syringae. MPMI. 18(7):682-693. Rashid, HM, Kornberg A. 2000. Inorganic polyphospate is needed for swimming, swarming, snd twitching motilities of Pseudomonas syringae. PNAS. 97(9):4885-4890. Romero M, Diggle SP, Heeb S, Camara M, Otero A. 2008. quorum quenching activity in Anabaena sp. PCC7120: identification of AiiC, a Novel AHLacylase. FEMS. 280:73–80. Sakr MM, Aboshanab KMA, Aboulwafa MM, Hassouna NAH. 2013. Characterization and complete sequence of lactonase enzyme from Bacillus weihenstephanensis isolate P65 with potential activity against acyl homoserine lactone signal molecules. Biomed Res Int. 2013:1-10. Scopes RK. 1994. Protein Purification, Principles and Practice. 3rd edition. New York (US): Springer-Verlag. Tang K, Su Y, Brackman G, Cui F, Zhang Y, Shi X, Coenye T, Zhang XH. 2015. MomL, a novel marine-derived N-acyl homoserine lactonase from Muricauda olearia. Appl Environ Microbiol. 81:774-782. Wang LH, Weng LX, Dong YH, Zhang LH. 2004. Specificity and enzyme kinetics of the quorum quenching N-acyl homoserine lactone lactonase (AHL lactonase). J Biol Chem. 279: 13645-13651. 24 Waters C, Bassler B. 2005. Quorum sensing : cell-to-cell communication in bacteria. Annu. Rev. Cell Dev. Biol. 2005. 21:319–46. White CE, Finan TM. 2009. Quorum sensing in Agrobacterium tumefaciens: chance or necessity?. J Bacteriol. 191:1123-1125. William P, Winzer K, Chan WC, and Camara M. 2007. Look who’s talking: communication and quorum sensing in bacterial world. Philosophical Transactions of The Royal Society London. B. Biological Sciences. 362: 1119-1134. Yin XT, Xu L, Fan SS, Xu LN, Li DC, Liu ZY. 2010. Isolation and characterization of an AHL-lactonase gene from Bacillus amyloliquefaciens. World J Microbial Biotechnol. 26:136 –1367. 25 LAMPIRAN 26 Lampiran 1 Metode pengukuran kadar protein (Bradford 1976) Pereaksi Standar protein (BSA) Akuades Enzim Reagenss Bradford Blanko (μl) Standar (μl) Sampel (μl) - 50 - 50 2500 2500 50 2500 Campuran dihomogenkan dengan vortex Diamkan 10-20’ Absorbansi diukur pada λ 595 nm Kurva Standar Bovine Serum Albumin (BSA) Konsentrasi Laktonase (ppm) 0 0,1 0,2 0,3 0,4 0,5 0,6 0,7 0,8 0,9 Ulangan 1 Ulangan 2 Rata-rata 0,146 0,197 0,338 0,364 0,423 0,523 0,606 0,629 0,688 0,645 0,149 0,194 0,318 0,389 0,435 0,539 0,581 0,627 0,636 0,652 0,1475 0,1955 0,328 0,3765 0,429 0,531 0,5935 0,628 0,662 0,6485 27 0,8 0,7 OD 600 nm 0,6 y = 0,607x + 0,180 R² = 0,952 0,5 0,4 0,3 0,2 0,1 0 0 0,2 0,4 0,6 0,8 Konsentrasi Laktonase (ppm) Lampiran 2 Kurva Standar Pertumbuhan Bakteri 1 y = 0,551x - 3,593 R² = 0,923 OD 600 nm 0,8 0,6 0,4 0,2 0 6,2 6,7 7,2 7,7 8,2 Log Sel Kurva Standar Bacillus sp. NTT3a 1 y = 0,645x - 3,785 R² = 0,929 OD 600 nm 0,8 0,6 0,4 0,2 0 5,5 6 6,5 Log Sel Kurva Standar B. cereus INT1c 7 1 28 Lampiran 3 Populasi P. syringae pada jaringan buncis yang membusuk Perlakuan Jumlah Sel ± SD (CFU/mL) PSG (kontrol positif) 6 × 108 ± 4.24 × 107 PSG + INT1c 5.7 × 108 ± 4.24 × 107 PSG + NTT3a 5.45 × 108 ± 6.36 × 107 29 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Palu pada tanggal 02 Juni 1991 sebagai anak pertama dari lima bersaudara dari pasangan ayah Abdul Kadir Patta dan ibu Sahra Siran. Pendidikan sarjana (S1) ditempuh di Departemen Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Tadulako, Sulawesi Tengah dan lulus pada tahun 2012. Pada tahun 2013, penulis diterima di Program Studi Mikrobiologi (MIK) pada Program Pascasarjana IPB dengan Beasiswa Pendidikan Pascasarjana-Dalam Negeri (BPP DN) DIKTI tahun 2013/2014. Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains (MSi), penulis melakukan penelitian dengan judul “Kemampuan Quorum Quenching Bacillus sp. NTT3a dan Bacillus cereus INT1c Terhadap Pseudomonas syringae”. Penelitian ini dibimbing oleh Dr. Ir. Iman Rusmana, MSi dan Dr. Alina Akhdiya, MSi. Penelitian ini telah disubmit ke jurnal internasional Saudi Journal Of Biological Sciences terindeks Scopus dengan judul “Quorum quenching Bacillus sp. NTT3a against Pseudomonas syringae”.