PROSIDING SEMINAR NASIONAL REKAYASA KIMIA DAN PROSES 2004 ISSN : 1411 - 4216 PENGARUH WAKTU DAN JENIS WADAH PEMASAKAN TERHADAP KOMPONEN MAKANAN DALAM GUDEG Yohanes Sudaryanto, Lydia Felycia, Henny R, Yuliana Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknik Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya Jl. Kalijudan no.37 – Surabaya 60114 Telp./Fax (031)3891264/3891267 e-mail : [email protected] Abstrak Gudeg merupakan makanan tradisionil Indonesia, khususnya Yogyakarta. Gudeg dimasak menggunakan wadah kuali atau panci. Penggunaan kedua jenis wadah ini memberikan kualitas perpindahan panas yang berbeda, sehingga berakibat pada kualitas gudeg hasil pemasakan. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh waktu dan jenis wadah pemasakan terhadap perubahan kadar protein, gula reduksi dan serat dalam pembuatan sayur gori yang merupakan komponen utama gudeg. Penelitian dilakukan dengan memasak gori dan air serta bumbu di dalam kuali dan panci. Pada waktu pemasakan 6, 7 dan 8 jam dilakukan pengambilan sampel untuk dilakukan analisis kadar protein, gula reduksi dan seratnya. Dari hasil penelitian diperoleh kesimpulan bahwa dengan 2 jenis wadah pemasakan, maka semakin lama waktu pemasakan, kadar protein dalam sayur gori semakin menurun, sedangkan kadar gula reduksinya semakin meningka. Sedangkan untuk kadar serat, pada 6 jam pertama akan mengalami kenaikan, kemudian cenderung konstan. Kata kunci : perpindahan panas; gudeg; protein; gula reduksi; serat Pendahuluan Gudeg merupakan makanan tradisionil Indonesia, khususnya Yogyakarta. Selama berabad-abad makanan ini telah dikenal oleh masyarakat setempat sehingga menjadi makanan khas daerah tersebut. Ada 2 macam jenis gudeg, yaitu gudeg basah dan gudeg kering. Yang membedakan kedua jenis makanan gudeg ini adalah kandungan kuahnya. Dalam gudeg basah terdapat banyak kuah, sedangkan dalam gudeg kering tidak dijumpai adanya kuah. Seiring dengan perkembangan waktu, makanan ini semakin dikenal masyarakat luas yang berasal dari berbagai daerah, maka kemudian cita rasa gudeg disesuaikan dengan selera masing-masing daerah. Demikian pula sistem pemasakannya juga berkembang dengan peralatan-peralatan modern. Meskipun demikian di daerah asalnya, yaitu Yogyakarta, ditemukan bahwa masyarakat masih memegang prinsipprinsip memasak gudeg secara tradisonal, baik komposisi bahan baku, jenis wadah yang digunakan maupun proses pemasakannya. Masakan gudeg terdiri dari sayur gori yang berasal dari nangka muda dan lauk pelengkap yang berupa sambal goreng, ayam, telur dan tahu. Sayur gori adalah nangka muda yang direbus bersama dengan bumbu. Waktu perebusan ini bervariasi untuk setiap pembuat gudeg, tergantung pada hasil yang diinginkan. Disamping berorientasi pada hasil yang diinginkan, Sediaoetama (1993) menjelaskan bahwa pemasakan suatu makanan diusahakan agar dapat meningkatkan efek positif serta menekan efek negatif. Penelitian ini mempelajari pengaruh waktu dan jenis tempat pemasakan terhadap perubahan kandungan komponen di dalam gudeg, meliputi kadar protein, gula reduksi dan serat. Pemasakan gudeg dilakukan dengan pemanasan menggunakan kompor listrik. Panas akan ditransfer secara konveksi maupun konduksi dari sumber panas menuju ke dalam sayur gori. Besarnya panas yang ditransfer tergantung pada jenis bahan wadah pemasakan. Wadah yang memiliki koduktifitas panas yang lebih tinggi akan memberikan jumlah panas yang lebih besar (Holman, 1995). Akibatnya sayur gori yang dimasak dalam wadah yang konduktifitas panasnya tinggi akan lebih cepat mengalami kenaikan suhu. Bahan dan Metode Penelitian JURUSAN TEKNIK KIMIA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG D-8-1 Nangka muda atau gori yang digunakan dalam penelitian ini diambil dari satu pohon di daerah Tandes, Surabaya. Sedangkan bumbu-bumbu dibeli di Pasar Keputran, Surabaya. Wadah yang digunakan ada 2 jenis, yaitu kuali dan panci aluminium yang berukuran 3,5 liter. Setelah gori dikupas kulitnya, kemudian dipotong-potong + 2x2 cm dan dimasak menggunakan kuali dan panci. Untuk setiap pemasakan diperlukan 500 gram gori, 2 liter air, serta bumbu yang sudah dihancurkan yang terdiri dari 30 gram kemiri, 25 gram bawang merah, 100 gram gula merah, 2 gram daun salam, 5 gram lengkuas, 1 gram ketumbar dan 10 gram garam dapur. Pada setiap waktu pemasakan 6, 7 dan 8 jam dilakukan pengambilan sampel untuk dianalisis kadar protein, gula reduksi dan seratnya. Hasil dan Pembahasan A. Pengaruh jenis wadah dan waktu pemasakan terhadap kadar protein Kadar protein,% 0.8000 0.6000 kuali 0.4000 panci 0.2000 0.0000 0 2 4 6 8 Waktu pemasakan, jam Gambar 1. Hubungan antara Waktu Pemasakan dengan Kadar Protein Dari Gambar 1 terlihat bahwa semakin lama waktu pemasakan, kadar protein semakin turun Hal ini disebabkan karena pada suhu tinggi terjadi kerusakan protein/denaturasi. Akibatnya, semakin lama waktu pemanasan, akan semakin banyak protein yang rusak. Disamping itu terlihat bahwa untuk setiap waktu pemasakan yang sama, kadar protein sayur gori yang dimasak dengan panci lebih rendah daripada yang dimasak dengan kuali. Hal ini disebabkan karena bahan panci memiliki konduktifitas panas yang lebih besar daripada bahan kuali, sehingga panas yang ditransfer dari sumber panas/kompor listrik lebih besar. Akibatnya untuk waktu pemasakan yang sama, suhu yang dapat dicapai pada pemasakan dengan panci lebih tinggi daripada dengan kuali. Suhu yang lebih tinggi menyebabkan kerusakan protein yang lebih besar. Sehingga kadar protein sayur gori yang dimasak dengan panci lebih rendah daripada yang dimasak dengan kuali. B. Pengaruh jenis wadah dan waktu pemasakan terhadap kadar gula reduksi JURUSAN TEKNIK KIMIA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG D-8-2 Kadar gula reduksi,% 1.2500 1.0000 0.7500 0.5000 0.2500 0.0000 kuali panci 0 2 4 6 8 10 Waktu pemasakan, jam Gambar 2. Hubungan antara Waktu Pemasakan dengan Kadar Gula Reduksi Dari Gambar 2 terlihat bahwa kadar gula reduksi akan mengalami peningkatan selama pemasakan. Hal ini mungkin disebabkan karena selama pemasakan terjadi hidrolisa kandungan pati di dalam gori sehingga meningkatkan kadar gula reduksi. Perubahan kadar gula dalam sayur gori yang dimasak menggunakan panci lebih besar daripada yang menggunakan kuali. Hal ini juga disebabkan karena transfer panas pada panci lebih baik sehingga pemecahan pati menjadi gula akan lebih besar. Selain itu transfer panas yang lebih baik juga menyebabkan terjadinya penguapan air yang lebih besar. Kedua hal itulah yang menyebabkan kadar gula reduksi sayur gori hasil pemasakan menggunakan panci lebih tinggi. C. Pengaruh jenis wadah dan waktu pemasakan terhadap kadar serat Kadar serat,% 3.0000 2.5000 2.0000 kuali 1.5000 panci 1.0000 0.5000 0.0000 0 2 4 6 8 10 Waktu pemasakan, jam Gambar 3. Hubungan antara Waktu Pemasakan dengan Kadar Serat Dari Gambar 3 terlihat bahwa selama waktu pemasakan 6 jam pertama kadar serat menurun. Hal ini kemungkinan disebabkan karena pada saat tersebut terjadi pemecahan selulose menjadi rantai-rantai monosakarida. Hal ini berlangsung sampai dengan waktu pemanasan 6 jam. Setelah itu pemecahan selulose ini tidak terjadi lagi, sehingga kadar serat relative konstan. Dalam pemasakan tersebut terlihat bahwa perubahan kadar serat dalam sayur gori yang dimasak dengan kuali dan panci besarnya tidak jauh berbeda. Hal ini disebabkan karena serat kurang peka terhadap suhu. Maka ketika diberikan perlakuan yang sama, yaitu pemanasan terus menerus selama waktu rentang tertentu, akan diperoleh kadar serat yang tidak jauh berbeda. Kesimpulan JURUSAN TEKNIK KIMIA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG D-8-3 1. 2. 3. Semakin lama waktu pemasakan, kadar protein dalam sayur gori yang dimasak menggunakan kuali maupun panci semakin menurun. Penurunan kadar protein dalam gudeg yang dimasak menggunakan panci lebih besar daripada yang dimasak menggunakan kuali. Semakin lama waktu pemanasan, kadar gula reduksi dalam gudeg yang dimasak menggunakan kuali maupun panci semakin meningkat. Peningkatan kadar gula dalam gudeg yang dimasak menggunakan panci lebih besar daripada yang dimasak menggunakan kuali. Pada awal pemasakan hingga waktu 6 jam, kadar serat dalam gudeg yang dimasak menggunakan kuali maupun panci menurun, dan pada pemanasan berikutnya cenderung konstan. Perubahan kadar serat yang dimasak menggunakan kuali maupun panci tidak memiliki perbedaan yang berarti. Daftar Pustaka Sediaoetama A., (1993), “Ilmu Gizi”, Dian Rakyat, Jakarta Holman, J.P. dan Jasifi, E., (1995), “Perpindahan Kalor”, Edisi 6, Mc Graw Hill- Erlangga, Jakarta Winarno, F.G., (1991), “Kimia Pangan dan Gizi”, PT Gramedia Pustaka, Jakarta Sudarmadji, Haryono dan Sutardi, (1984), “Prosedur Analisa untuk Bahan Makanan dan Pertanian”, Edisi 3, Liberty, Yogyakarta JURUSAN TEKNIK KIMIA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG D-8-4 JURUSAN TEKNIK KIMIA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG D-8-5