4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) Sesuai ketentuan UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan Pasal 23, disebutkan bahwa pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan hutan bertujuan untuk memperoleh manfaat yang optimal bagi kesejahteraan seluruh masyarakat secara berkeadilan dengan tetap menjaga kelestariannya. Dalam pedoman ini pemanfaatan HHBK adalah pemanfaatan HHBK melalui pemberdayaan masyarakat dilakukan dengan menerapkan prinsip kelestarian dan tetap memperhatikan fungsi hutan. Pemanfaatan HHBK dalam pemberdayaan masyarakat dilakukan dengan tetap memperhatikan fungsi hutan dan aspek kelestarian hutan. Beberapa jenis HHBK mempunyai nilai ekonomi yang tinggi, antara lain: rotan, madu, kemiri, gaharu, ulat sutera, gondorukem dan lain-lain. Jenis-jenis tersebut memiliki prospek pasar baik di dalam maupun di luar negeri. 2.2 Rotan Semua jenis bahan berkayu yang dipakai sehari-hari adalah produk dari tanaman yang termasuk subdivisi Gymnospermae dan Angiospermae. Dari subdivisi gymnospermae yang banyak menghasilkan kayu berasal dari kelas Coniferales (kayu konifer/softwood), sedangkan dari sub-divisi Angiospermae terbagi menjadi dua kelas, yaitu Monocotyledoneae dan Dicotyledoneae. Dari kelas dicotyledon dihasilkan kayu daun lebar (hardwood). Adapun rotan berasal dari subdivisi Angiospermae, kelas Monocotyledoneae, ordo Arecales, family palmae (Arecaceae) (Uhl dan Dransfield 1987 dalam Rachman dan Jasni 2008). Rotan tergolong tumbuhan hutan dari anggota kelompok tumbuhan Palmae (Arecaceae) yang memanjat (liana). Indonesia sebagai negara tropis memiliki potensi sumberdaya rotan tertinggi. Sebanyak 516 jenis rotan yang sudah tercatat dan diketahui diseluruh Asia Tenggara dan sebanyak ± 306 jenis telah teridentifikasi dan menyebar di Indonesia. Rotan telah dipungut, dipakai, diolah dan diperdagangkan oleh penduduk Indonesia yang tinggal disekitar hutan untuk memenuhi permintaan rotan lokal dan internasional (Januminro 2000). Hingga 5 saat ini rotan dikenal hanya bentuk produk berupa batang dengan ragam jenis dan sebagian besar memiliki peruntukan sebagai bahan baku industri tikar, berbagai jenis barang kerajinan serta perlengkapan rumah tangga dan berbagai produk mebeler (furnitur). Produk komoditas rotan yang akhir-akhir ini menjadi perhatian dunia adalah produk turunan dari buah rotan jernang yang dapat menghasilkan produk berupa resin. Produk resin yang sejak masa penjajahan Belanda telah diketahui adalah resin jernang yang lebih dikenal dengan nama “darah naga“ dan dalam perdagangan internasional dikenal sebagai “dragon’s blood “ (Arifin 2007). 2.2.1 Rotan penghasil jernang Jernang merupakan hasil ekstraksi buah beberapa jenis rotan dari kelompok Daemonorops. Jernang adalah suatu padatan yang mengkilat, bening atau kusam, rapuh, meleleh bila dipanaskan dan mudah terbakar dengan mengeluarkan asap (Sumadiwangsa 2000 dalam Winarni et al. 2005). Diakui bahwa potensi resin jernang tergolong semakin menurun disebabkan oleh pola produksi yang tidak lestari. Masyarakat Suku Kubu di Sumatera dan Suku Dayak di Kalimantan telah lama memanfaatkan resin jernang sebagai bahan pewarna pakaian. Namun, karena tidak disertai upaya penanaman kembali, serta pemanenan yang dilakukan dengan cara memotong batang sehingga dapat mengakibatkan kelestarian produksi tidak terjamin. Saat ini, masyarakat sudah mulai kesulitan memperoleh jernang di hutan alam (Arifin 2007). Dragon’s blood merupakan resin yang dihasilkan dari genus Daemonorops yang terdapat pada daging dan permukaan kulit buah rotan jernang dewasa. Berikut beberapa jenis Daemonorops penghasil jernang (Purwanto et al. 2005): a. D. acehensis Rustiami Merupakan jenis endemik di Aceh Utara. Tergolong jenis rotan berukuran kecil, batang bisa mencapai 5 m, diameter batang tanpa pelepah 10 mm, diameter batang dengan pelepah 25 mm, panjang ruas batang mencapai 50 mm. Buahnya bulat berukuran 2,2x1,8 cm2 dan kulit buahnya menghasilkan jernang berwarna merah kecokelatan. b. D. brachystacliys Furt. Penyebaran jenis ini meliputi daerah Kelantan, Kedah, Perak, Selangor, Sumatera Utara dan Jambi. Diameter batang tanpa pelepah 4 cm, diameter 6 batang dengan pelepah 6 cm dan panjang batang ± 1 m. Buahnya berukuran 2,5x2 cm2. Kulit buahnya menghasilkan jernang berwarna merah kecokelatan. c. D. didymophyllus Becc. Daerah penyebarannya meliputi Kalimantan, Sumatera, Semenanjung Malaysia dan Thailand Selatan. Buahnya hanya sedikit menghasilkan jernang. Jenis rotan ini bisa tumbuh dari pantai hingga ketinggian 1000 mdpl. Karakteristik morfologi dari jenis rotan ini adalah tumbuh merumpun, batangnya berukuran sedang berdiameter sampai 12 mm tanpa pelepah daun dan 30 mm dengan pelepah daun dengan ruas batang berukuran 10 sampai dengan 12 cm2. Warna batangnya kusam kecokelat-cokelatan dan bagian dalam berwarna cokelat muda. Mutu batangnya tergolong rendah sehingga masyarakat menggunakannya sebagai bahan pembuatan peralatan rumah tangga seperti keranjang. Buahnya dapat dimakan digunakan sebagai obat sakit diare. d. D. draco (Willd.) Blume Daerah penyebaran jenis ini adalah Sumatera dan Kalimantan. Jenis rotan ini tumbuh merumpun di kawasan lembah dan banyak ditemukan di kawasan sekitar limpahan air Sungai. Panjang batang bisa mencapai 15 m dan panjang ruasnya 15 sampai dengan 35 cm2. Diameter batang tanpa pelepah 8 sampai dengan 14 mm, diameter batang dengan pelepah 30 mm. Warna batang cokelat kekuningan dan mengkilat. Jenis ini penghasil jernang terbanyak dibandingkan jenis lainnya. Pada umumnya buah yang dipanen untuk menghasilkan jernang terbanyak yaitu buah yang menjelang masak. Apabila buah terlalu masak maka resin yang diperoleh sedikit dan batangnya digunakan untuk membuat peralatan rumah tangga. Mutu rotannya termasuk mutu rendah. e. D. dracuncula Ridl. Merupakan jenis endemik Siberut, Kepulauan Mentawai Sumatera Barat. Jenis ini merupakan jenis rotan yang tumbuhnya soliter, batang berukuran kecil berdiameter 30 mm dengan pelepah daun dan 20 mm tanpa pelepah daun. panjang batang hanya sekitar 2 m. Buah berukuran 2,2x0,9 cm2 dan kulit buahnya menghasilkan jernang berwarna merah kecoklatan tua. Buahnya dapat dimakan dan rasanya agak sepat. 7 f. D. dransfieldii Rustiami Daerah penyebarannya meliputi daerah Sumatera Barat dan Batang Palupuh Bukit Tinggi. Jenis ini dikategorikan sebagai rotan berbatang kecil dengan panjang dapat mencapai 6 m. Diameter 25 mm dengan pelepah daun dan 15 mm tanpa pelepah daun. Buahnya berukuran 2,5x1 cm2 dan kulit buahnya menghasilkan jernang berwarna merah kecokelatan. Buahnya dapat dimakan dan rasanya agak manis serta batangnya dapat digunakan sebagai tali. g. D. maculata J. Dransf. Jenis ini merupakan endemik di Kalimantan dan Brunei. Jenis ini tumbuh soliter dan batang bisa mencapai 5 m. Diameter 20 mm dengan pelepah daun dan 12 mm tanpa pelepah daun. Buah menghasilkan jernang berwarna merah tua dan merupakan jenis rotan penghasil jernang cukup banyak. h. D. micracantha (Griff.) Becc. Penyebarannya meliputi wilayah Semenanjung Malaysia, Serawak, Kalimantan Timur dan Kalimantan Barat. Jenis ini tumbuh memanjat, soliter dan banyak ditemukan di hutan dataran rendah dekat Sungai atau dekat kawasan tergenang pada ketinggian 0 sampai dengan 500 mdpl. Panjang batang bisa mencapai 20 m, diameter 11 sampai dengan 20 mm dengan pelepah daun dan 6 sampai dengan 11 mm tanpa pelepah daun. Buah berukuran 1,5x1,5 cm2. Jernang yang dihasilkan memiliki mutu terbaik dengan warna merah tua yang mengkilap. Selain sebagai rotan penghasil jernang, batangnya mempunyai mutu cukup baik dan digunakan untuk bahan kerajinan rumah tangga seperti tikar, kursi dan tali. i. D. rubra Blume Daerah penyebarannya di Sumatera dan Jawa. Jenis ini tumbuh merumpun dengan ketinggian mencapai 10 m. Diameter 40 mm dengan pelepah daun dan 15 mm tanpa pelepah daun. Buahnya berukuran 2x2 cm2. Buah menghasilkan jernang cukup banyak. j. D. siberutensis Rustiami Masyarakat Palembang menyebutnya sebagai rotan bugkus, Suku Kubu menyebutnya rotan kelemunting. Jenis ini termasuk rotan kecil dan tumbuh 8 merumpun dengan panjang batang bisa mencapai 5 m. Diameter 17 mm dengan pelepah daun dan 9 mm tanpa pelepah daun. Buahnya berukuran 2x1,2 cm2 dapat dimakan dan rasanya agak manis dan sepat. Kulit buah dapat menghasilkan jernang berwarna merah kecokelatan. Batangnya tidak bisa digunakan sebagai bahan tali karena mudah putus. k. D. sekundurensis Rustiami & Zumaidar Penyebarannya di Sumatera Utara dan Aceh. Tumbuh di kawasan lereng perbukitan dan hutan-hutan terganggu pada ketinggian 800 mdpl. Jenis rotan ini dikategorikan sebagai rotan kecil dengan panjang batang mencapai 2 m. Diameter 9 mm dengan pelepah daun dan 5 mm tanpa pelepah daun. Buahnya berukuran 1,5x1 cm2 dan menghasilkan jernang berwarna merah kecokelatan. 2.2.2 Ciri dan sifat morfologi rotan (Daemonorops draco (Willd.) Blume) a. Akar rotan Menurut Januminro (2000), akar rotan merupakan bagian tanaman yang sangat penting karena memiliki beberapa fungsi yaitu memperkuat tanaman berdiri secara keseluruhan, menyerap air dan zat-zat makanan yang tersedia dari dalam tanah dan mengangkut air dan zat makanan yang sudah terserap kebagian tubuh lainnya. Seperti halnya tanaman lain dari suku Palmae (Arecaceae), akar rotan memiliki sifat yaitu sistem perakaran serabut dan akar rotan berwarna keputih-putihan atau kekuning-kuningan. b. Batang rotan Batang rotan jenis Daemonorops draco (Willd.) Blume bisa mencapai 15 m. Jenis ini tumbuh berumpun (Kalima 1991). Pada beberapa jenis tampak adanya tonjolan dan lekukan pada sisi yang berlawanan sepanjang ruas. Tonjolan dan lekukan ini tampak lebih jelas pada buku yang berasal dari jejak daun yaitu ikatan pembuluh yang menuju ke daun (Rachman dan Jasni 2008). c. Daun Menurut Kalima (1991), pangkal tandan daun berlutut jelas, sepanjang tandan daun terdapat duri-duri panjang tersusun mengelompok, makin ke ujung dahan duri berukuran pendek. Kedudukan sirip daun berselang-seling. Panjang sirip daun mencapai 44 cm, lebar 2,5 cm dan jumlah sirip daun mencapai 50 9 pasang. Jarak pangkal tandan sampai sirip daun pertama 55 cm dan panjang daun sampai 3 m. d. Bunga Bunga rotan terbungkus oleh seludang. Jika seludang terbuka, maka bunga jantan siap membuahi, sedangkan bunga betina mulai masak pada hari ke-13 sampai hari ke-27 setelah seludangnya pecah. Ukuran bunga rotan relatif kecil, hanya beberapa jenis saja yang ukurannya mencapai 1 cm atau lebih. Warna bunga rotan bervariasi yaitu kecokelatan, kehijauan, atau krem. Masa berbunga sampai buah masak selama 7 sampai 13 bulan. Berdasarkan pengalaman, buah rotan akan masak berkisar bulan Agustus (Januminro 2000). e. Buah rotan jernang Buah rotan jernang terdiri atas kulit luar berupa sisik (pericarp) yang berbentuk trapesium dan tersusun secara vertikal dari toksis buah. Ukuran sisik bervariasi, tergantung pada ukuran buah masing-masing, makin besar ukuran buah maka makin besar pula ukuran sisiknya. Bentuk permukaan buah rotan jernang halus (laevis) atau kasar berbulu (glaberous), sedangkan bentuk buah rotan jernang pada umumnya bulat, lonjong, atau bulat telur. Kulit buah rotan jernang yang sudah matang berwarna cokelat, cokelat merah dan kemerahmerahan yang terdapat produk turunan buah berupa resin berwarna merah dan dalam perdagangan internasional dikenal sebagai produk darah naga atau “dragon’s blood”. Bagian bawah kulit buah terdapat sejenis selaput tipis berwarna putih membungkus daging buah, setelah buah terdapat biji rotan (Gambar 1). Resin jernang yang berada diluar kulit Kulit buah rotan Daging buah Biji Gambar 1 Penampang buah rotan jernang (Arifin 2007). Biji buah rotan jernang memiliki permukaan rata dan halus atau kasar berlekuk dangkal. Setiap biji rotan memiliki 1 sampai dengan 3 embrio yang tertutup oleh lapisan selaput keras sebagai pelindung embrio. Jenis buah rotan 10 jernang dari marga Daemonorops, dibawah permukaan kulit buahnya mengandung banyak resin (Januminro 2000). f. Alat perambat (Assesory) Tanaman rotan dilengkapi sejenis alat perambat yang dikenal dengan nama sulur panjat. Sulur panjat ini tumbuh dari ruas batang dan panjangnya bervariasi antara 3 sampai 5 cm, tergantung pada jenis dan varietasnya. Sepanjang sulur dengan jarak tertentu ditumbuhi duri-duri pendek yang kuat. Fungsi sulur panjat ini, selain melapisi batang agar tumbuh kuat adalah sebagai alat perambat atau pengikat disekitar tempat tumbuh rotan (Januminro 2000). 2.2.3 Fisiologi perkembangan tumbuh Berdasarkan pengamatan Sumarna (2009), jernang ditemukan di Taman Nasional (TN) Bukit 12 Jambi pada kondisi topografi relatif datar dan bergelombang. Jenis tanah podsolik merah kuning dengan ketinggian tempat tumbuh 150 sampai dengan 200 mdpl. Secara ekologis, parameter suhu udara 22,3 sampai 32°C dengan kelembaban nisbi 81% dan intensitas cahaya 56,3%. Potensi populasi jenis rotan jernang (Daemonorops draco (Willd.) Blume) rata-rata berjumlah 3 rumpun dengan jumlah anakan 6 batang. 2.3 Teknik Pemanenan Buah Rotan Jernang Menurut Januminro (2000), selain menghasilkan batang, rotan dari marga Daemonorops juga menghasilkan resin dari buahnya. Pemungutan buah rotan jernang dilakukan sekitar bulan Agustus dan Oktober, karena pada bulan-bulan tersebut buah rotan jernang siap untuk dipanen. Panen buah rotan jernang dilakukan 2 kali dalam setahun. Adapun tata cara pemungutan buah rotan jernang adalah sebagai berikut: 1. Buah yang dipanen adalah buah yang sudah tua tapi belum masak, karena buah yang sudah masak resin jernangnya sudah mencair dan jatuh ke tanah. 2. Buah yang dipanen dipotong tandannya dengan pisau atau dengan alat pemotong lainnya. 3. Buah dipisahkan dari tandannya dan dimasukkan ke dalam tempat yang telah disiapkan. 4. Buah rotan jernang siap ditumbuk. 11 Menurut Sumarna (1995), dalam proses pengumpulan buah rotan jernang hal yang penting adalah mengetahui aspek kondisi kemasakan buah optimal yaitu berwarna merah kecokelatan. Buah yang menghasilkan jernang lebih banyak adalah buah yang tua namun belum terlalu masak. Buah dikumpulkan dengan cara dipanjat melalui pohon inang di dekatnya. Buah yang rontok atau masih dalam tandan dikumpulkan dan dimasukkan ke dalam keranjang, diusahakan tidak berjamur. Menurut Winarni et al. (2005), pemanenan buah yang dilakukan oleh suku Anak Dalam (Jambi) adalah dengan cara memanjat pohon yang berada di dekat jernang tumbuh. Tandan buah diambil dengan bantuan galah. Buah yang dipungut adalah buah yang sudah tua dan belum masak. Hal ini disebabkan karena buah yang sudah tua banyak mengandung jernang dibandingkan dengan buah yang masih muda. 2.4 Pengolahan Buah Rotan Jernang Menurut Kalima (1991), sampai saat ini pengolahan buah rotan jernang dilakukan secara tradisional dengan hanya menggunakan peralatan yang sangat sederhana. Cara pengolahan yang dilakukan di tingkat desa masih terbatas pada pengolahan awal yaitu mempersiapkan jernang sebelum dipasarkan. Pengolahan buah rotan jernang yang dilakukan masyarakat yaitu melalui penumbukan. Dari proses tersebut akan diperoleh serbuk jernang berwarna merah. Menurut Januminro (2000), cara menumbuk buah rotan jernang dapat mempengaruhi mutu jernang yang dihasilkan. Jika kulit buah tercampur dengan jernang maka mutu jernang yang dihasilkan akan menurun. 2.5 Mutu Jernang Menurut Winarni et al. (2005), mutu terbaik berbentuk silindris panjang 30 sampai dengan 35 cm dengan tebal 2 sampai dengan 2,5 cm dan berbentuk bulat telur. Mutu nomor dua berbentuk lempeng, sedangkan mutu nomor tiga berbentuk lembaran kertas. Mutu yang baik harus jernih dan bila ditumbuk akan diperoleh serbuk berwarna merah tembaga yang larut dalam spirtus dengan warna terang. 12 Bila dilarutkan dalam alkohol akan diperoleh 9% residu yang terdiri dari serat dan pasir. Mutu rendah menghasilkan 20% residu. Tabel 1 Spesifikasi persyaratan mutu jernang No 1 2 3 4 5 6 Jenis uji Satuan Kadar resin (b/b) Kadar air (b/b) Kadar kotoran (b/b) Kadar abu (b/b) Titik leleh Warna % % % % °C - Mutu super Min. 80 Maks.6 Maks.14 Maks.4 Min.80 Merah tua Persyaratan Mutu A Min.60 Maks.8 Maks.39 Maks.8 Min.80 Merah muda Mutu B Min.25 Maks.10 Maks.50 Maks.20 Merah pudar Sumber : SNI jernang (2010) 2.6 Pemanfaatan Jernang Beberapa pemanfaatan jernang yang dilakukan oleh masyarakat adalah sebagai berikut (Purwanto et al. 2005): a. Bahan pewarna Jernang digunakan sebagai bahan pewarna yang memberikan warna merah kecokelatan. Misalnya pewarna industri batik, berbagai jenis kerajinan tangan seperti anyaman daun pandan, rotan dan bahan lainnya. Selain itu, jernang digunakan sebagai pewarna tubuh (ornamental body), pada umumnya digunakan sebagai pewarna merah pada bagian sekitar mata dan tato. Para pelukis menggunakan jernang sebagai bahan pewarna lukisannya yang memberikan warna merah ungu yang indah. b. Bahan ramuan obat-obatan Secara tradisional pemanfaatan jernang sebagai ramuan obat diare dan gangguan pencernaan lainnya. Di Eropa digunakan sebagai bahan baku obatobatan seperti sakit disentri dan diare serta sebagai astringen pada pasta gigi. Jernang mengandung resin-alcohol, draco-resinotannol dan sekitar 56% bahan tersebut berasosiasi dengan benzoic dan benzoic acid. Di Malaysia, jernang digunakan sebagai bahan pengobatan gangguan pencernaan sedangkan masyarakat Benua menggunakannya sebagai bahan ramuan penyakit kencing darah, sariawan dan sakit perut. Di Yunani, pada masa lalu “dragon’s blood” digunakan sebagai bahan obat sakit mata. Pada zamannya Rumphius, serbuk jernang digunakan sebagai bahan obat penyembuh luka. Sebagai bahan membuat obat-obatan, jernang berkhasiat menghentikan pendarahan, obat luka 13 memar, melindungi permukaan luka bernanah menjadi busuk dan menghilangkan rasa sakit pada luka yang kronis. c. Dupa Pada masa lalu, jernang digunakan sebagai dupa karena baunya yang wangi, maka jernang digunakan sebagai pengganti kemenyan sehingga dinamakan “kemenyan merah”. Namun penggunaan jernang sebagai pengganti kemenyan sudah jarang dilakukan oleh masyarakat Sumatera, karena orang lebih suka menggunakan kemenyan asli yang harganya lebih murah. d. Magis Jernang dipercaya sebagai bahan penambah tenaga dalam ritual magis. Pembakaran jernang pada dupa menyebabkan meningkatnya tingkat magis pada mantra-mantra yang dibacakan, sebagai penambah minyak dan sabun mandi, dapat juga untuk mengusir setan di sekitar rumah yaitu dengan membakar jernang dan asapnya disebarkan di sekeliling rumah. e. Jernang digunakan sebagai campuran pembuatan minyak wangi. 2.7 Kandungan Senyawa Kimia Jernang dimasukkan dalam kelompok resin keras yaitu padatan yang mengkilat, bening atau kusam, rapuh, meleleh bila dipanaskan dan mudah terbakar dengan mengeluarkan asap dan bau yang khas. Jernang berwarna merah berbentuk amorf, BJ 1,18 sampai dengan 1,20, bilangan asam rendah, bilangan ester sekitar 140, larut dalam alkohol dan titik cair sekitar 120°C, larut dalam alkohol eter, minyak lemak dan minyak atsiri, sebagian larut dalam kloroform, etil asetat, petroleum spiritus, karbon disulfida dan tidak larut dalam air (Coppen 1995 dalam Winarni et al. 2005). Menurut Thorpe dan Whiteley (1944) dalam Suwardi et al. (2002), komponen utama jernang adalah resin alkohol yaitu 50 sampai dengan 60% draco resino-tanol terutama dalam bentuk benzoat dan ester benzoyl asetat, 2,5% draco alban dan 11% draco resen. Kadar mineral kurang dari 9%. Pada umumnya jernang dipalsukan dengan penambahan gondorukem yang menyebabkan bilangan asam naik dan bilangan ester turun. Bahan pigmen dari dragon’s blood Indian adalah draco rubin dengan titik leleh 315°C.