II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tanaman Garut Garut (Maranta

advertisement
II.
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tanaman Garut
Garut (Maranta arundinacea) merupakan salah satu tanaman umbiumbian sebagai sumber karbohidrat untuk mengurangi ketergantungan pada beras
dan gandum. Garut merupakan pangan lokal yang potensi untuk dikembangkan
sebagai
komoditas
agribisnis/agroindustri.
Garut
selain
sebagai
sumber
karbohidrat, juga sebagai tanaman biofarmaka karena kandungan indeks
glikemiknya rendah dibanding umbi-umbian lainnya, seperti gembili, kimpul,
ganyong dan ubijalar sehingga bermanfaat bagi penderita diabetes melitus
(Marsono 2002).
Tanaman garut tumbuh baik pada tanah yang drainasenya baik dan tingkat
keasamannya rendah. Tanah yang paling disukai tanaman garut adalah tanah
lempung yang subur, terutama tanah lempung berpasir yang banyak mengandung
mineral vulkanik. Garut umumnya tumbuh normal pada ketinggian 900 m dari
permukaan laut, tetapi akan tumbuh lebih baik pada daerah dekat laut dengan
ketinggian 60-90m dari permukaan laut. Tanaman garut memerlukan curah hujan
minimum 150-200 cm per bulan (Sutrisno 2013).
Tanaman garut dijumpai tumbuh liar tanpa perawatan dengan jumlah
populasi yang cukup banyak. Tanaman ini sengaja ditanam dan dibudidayakan,
namum karena hasilnya tidak dapat dipasarkan akhirnya dibiarkan tumbuh dan
berkembang secara liar, bahkan dianggap menjadi tumbuhan penganggu.
Tanaman garut kebanyakan dijumpai sebagai tanaman pagar dan tanaman hias
pinggir jalan (Sibuea et al 2014).
Umbi garut mempunyai kelebihan dibandingkan dengan ubi kayu dan ubi
jalar ditinjau dari sifat fisik dan kimianya. Kadar amilosa garut hampir sama
dengan ubi kayu dan ubi jalar tetapi tidak mengandung senyawa anti nutrisi
seperti HCN pada ubi kayu, fenol dan oligosakarida pada ubi jalar. Selain itu
garut juga masih mempunyai banyak kandungan zat lainnya yang sangat berguna
bagi kesehatan manusia. Kandungan senyawa kimia di dalam rimpang garut, yaitu
3
zat pati yang berguna sebagai sumber karbohidrat, saponin dan flavonoid
(Amalia 2014).
Umbi garut segar dapat menghasilkan pati dengan rendemen 15% - 20%.
Selain itu, umbi garut juga dapat diolah menjadi tepung garut. Tepung atau pati
garut dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku produk pangan. Tepung garut dapat
digunakan sebagai campuran tepung terigu pada industri makanan, misalnya pada
pembuatan roti tawar dengan proporsi tepung garut 10% - 20%, pada mie sebesar
15%
-
20%,
bahkan
pada
kue
kering
sampai
100%
(Rukmana 2000 cit. Ratnaningsih et al 2010).
B. Kalium
Unsur K merupakan salah satu unsur makro primer bagi setiap tanaman.
Unsur ini berada bebas di dalam plasma sel dan titik tumbuh tanaman, dapat
memacu pertumbuhan pada tingkat permulaan, menambah daya tahan tanaman
terhadap serangan hama, penyakit dan kekeringan. Unsur kalium berperan dalam
membantu pembentukan protein dan karbohidrat, memperkuat tubuh tanaman
agar daun, bunga dan buah tidak mudah gugur. Kalium juga merupakan sumber
kekuatan bagi tanaman dalam menghadapi kekeringan dan penyakit. Apabila
kandungan unsur kalium dalam tanah rendah dapat menyebabkan daun tanaman
keriting, mengerut, timbul bercak merah coklat, mengering lalu mati
(Supriyadi 2009).
Kalium pada tanaman terlibat dalam aktivitas fotosintesis melalui
perannya dalam memacu proses membuka dan menutupnya stomata. Pembukaan
stomata diakibatkan oleh banyaknya ion K+ yang terdapat di dalam sel penjaga
sehingga dapat mengakibatkan turunnya potensial osmotik dan diikuti dengan
meningkatnya tekanan turgor sel. Sehubungan dengan hal tersebut, untuk tanaman
yang ketersediaan K nya rendah, aktivitas fotosintesisnya juga rendah, yang
selanjutnya
berdampak
pada
rendahnya
fotosintat
yang
dihasilkan
(Suminarti 2010).
Unsur K berfungsi sebagai media transportasi yang membawa hara-hara
dari akar ke daun dan mentranslokasi asimilat dari daun keseluruh jaringan
tanaman. Kurangnya hara K dalam tanaman dapat menghambat proses
transportasi dalam tanaman. Oleh karena itu, agar supaya proses transportasi
unsur hara maupun asimilat dalam tanaman dapat berlangsung optimal maka
unsur hara K dalam tanaman harus optimal (Iswandi dan Munip 2004)
Kekurangan K atau ketersediaan K dalam jumlah yang tidak cukup, dapat
membuat pertumbuhan tanaman terhambat. Tanaman akan menjadi rentan
terhadap penyakit dan mengurangi hasil. Kebutuhan K meningkat dengan
meningkatnya hasil tanaman, karena fungsi K berhubungan dengan fotosintesis
(Mozumder et al 2007).
C. Tanah Alfisol
Alfisol merupakan tanah masam dengan kandungan bahan organik rendah
dan juga merupakan jenis tanah merah yang mempunyai kemampuan rendah
dalam menyediakan unsur hara bagi tanaman (Suryono et al 2012). Sehingga jenis
tanah ini umumnya mempunyai kesuburan kimia yang rendah. Permasalahan
umum bagi pertumbuhan tanaman di tanah Alfisol yaitu rendahnya N, K, Mg, P,
Ca, dan Mo, serta keracunan Al, Fe, dan Mn (Khairani et al 2008).
Jenis tanah alfisol memiliki lapisan solum tanah yang cukup tebal yaitu
antara 90cm - 200cm, tetapi batas antara horizon tidak begitu jelas. Warna tanah
coklat sampai merah, tekstur tanah clay dengan struktur gumpal bersudut.
Kandungan unsur hara seperti N, P, K dan Ca umumnya rendah serta reaksi
tanahnya cenderung masam (Nurcahyani et al 2014).
Kandungan bahan organik yang rendah pada tanah Alfisol mempengaruhi
KTK pada tanah, sebab bahan organik dalam tanah tersebut berfungsi sebagai
penyedia sebagian besar daya tukar kation terutama pada tanah-tanah masam.
Tanah Alfisol mempunyai kemampuan rendah dalam menyediakan unsur hara
bagi tanaman dan pada tanah dengan pH masam ion Al dan Fe yang banyak dalam
larutan tanah sehingga unsur hara NPK tidak tersedia bagi tanaman
(Syarif et al 2013).
Penyebaran Alfisol di Indonesia terdapat di Pulau Jawa, Sumatera,
Kalimantan, Sulawesi, Irian Jaya, Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara
Timur dengan luas areal 12.749.000 hektar. Penggunaan Alfisol di Indonesia
banyak diusahakan menjadi persawahan (padi) baik tadah hujan ataupun
berpengairan, perkebunan (buah-buahan), tegalan, dan padang rumput. Alfisol
secara potensial termasuk tanah yang subur, meskipun bahaya erosi perlu
mendapat perhatian. Untuk peningkatan produksi masih diperlukan usaha-usaha
intensifikasi, antara lain pemupukan dan pemeliharaan tanah serta tanaman yang
sebaik-baiknya (Munir 1996).
Download