NASKAH PUBLIKASI HUBUNGAN ANTARA KEBERFUNGSIAN

advertisement
NASKAH PUBLIKASI
HUBUNGAN ANTARA KEBERFUNGSIAN KELUARGA DENGAN
KUALITAS PERSAHABATAN PADA REMAJA AKHIR
Oleh :
Shinta Samuel
Irwan Nuryana Kurniawan
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI
FAKULTAS PSIKOLOGI DAN ILMU SOSIAL BUDAYA
UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA
YOGYAKARTA
2008
NASKAH PUBLIKASI
HUBUNGAN KEBERFUNGSIAN KELUARGA DENGAN KUALITAS
PERSAHABATAN PADA REMAJA AKHIR
Telah Disetujui Pada Tanggal
______________________________________
Dosen Pembimbing
( Irwan Nuryana Kurniawan S. Psi., M. Si )
HUBUNGAN ANTARA KEBERFUNGSIAN KELUARGA DENGAN
KUALITAS PERSAHABATAN PADA REMAJA AKHIR
Shinta Samuel
Irwan Nuryana Kurniawan
INTISARI
Penelitian ini bertujuan untuk menguji apakah ada hubungan positif antara
keberfungsian keluarga dengan kualitas persahabatan pada remaja akhir. Semakin
tinggi keberfungsian keluarga maka semakin tinggi kualitas persahabatan remaja
akhir, sebaliknya semakin rendah keberfungsian keluarga maka semakin rendah
kualitias persahabatannya.
Subjek dalam penelitian ini adalah mahasiswa Fakultas Ekonomi Program
D3 Universitas Islam Indonesia Yogyakarta dengan usia berkisar antara 18-22
tahun. Adapun skala yang digunakan adalah skala Kualitas Persahabatan yang
mengacu pada Bukowski dkk (Hum, 1999) dan Parker dan Asher (Hum, 1999) dan
Skala Keberfungsian Keluarga yang mengacu pada Moos dan Moos (Mandara &
Muray, 2000)
Metode analisis data yang dilakukan dalam penelitian ini menggunakan
fasilitas program SPSS versi 12,0 untuk menguji apakah terdapat hubungan antara
keberfungsian keluarga dengan kualitas persahabatan pada remaja akhir. Korelasi
product moment dari Pearson menunjukkan korelasi sebesar r = 0,427 dengan nilai
p=0,001, yang berarti ada hubungan yang sangat signifikan antara keberfungsian
keluarga dengan kualitas persahabatan pada remaja akhir. Jadi hipotesis penelitian
diterima.
Kata Kunci : Kualitas Persahabatan, Keberfungsian Keluarga
Pengantar
Latar Belakang
Teman mempunyai arti sendiri pada setiap usia tidak terkecuali bagi remaja
(Cobb, 2007). Riset telah membuktikan bahwa rata-rata remaja menghabiskan
hampir sembilan jam setiap minggu hanya untuk nongkrong dengan temantemannya. Persahabatan merupakan hal penting bagi remaja karena berbagai
macam alasan. Savin-Williams dan Berndt dalam Roehlkepartain (1992) mencatat
bahwa remaja menyatakan bahwa mereka menikmati hubungan persahabatan
mereka dengan teman-temannya lebih dari hubungan-hubungan lainnya. “With
friends, they feel that they are fully understood and can fully be themselves…
These moments of enjoyment and companionship contribute to generational sense
of belonging with others who are respected and linked”.
Dalam waktu yang bersamaan, persahabatan bisa menjadi hal yang sulit bagi
para remaja. Elkind dalam Roehlkepartain (1992) menggambarkannya sebagai
peer shock. Ia menyatakan bahwa para remaja “dibuang” ke hubungan dengan
dunia baru. Awalnya, mereka akan berada dalam lingkungan yang disebut dengan
klik atau suatu kelompok. Bahkan bisa jadi mereka dikhianati oleh orang-orang
yang mereka anggap sahabat. Remaja mungkin mengalami penolakan oleh orang
yang mereka cintai. Elkind dalam Roehlkepartain (1992) menulis bahwa ketika
anak bersosialisasi, interaksi mereka pada umumnya senang bekerja sama dan
terfokus pada kegiatan umum. Pada remaja,
interaksi sosial menjadi lebih
kompleks dan multilayer. Remaja mungkin saja menemukan bahwa kepercayaan
atau kesetiaan tidak bertimbal balik, bahkan seperti dimanfaatkan dan dieksploitasi
(Roehlkepartain, 1992).
Teman dapat meningkatkan perasaan bahagia dalam kehidupan dan
menghilangkan perasaan kesepian. Mereka bahkan dapat membantu untuk
mengurangi stress dan meningkatkan kesehatan. Mempunyai teman yang baik
dapat
membantu
seseorang
dalam
melewati
masa-masa
sulit
(www.mentalhealth.gov 01/04/08).
Banyak hal-hal positif yang remaja bisa dapatkan dalam bersahabat. Di
antaranya, remaja jadi belajar untuk menghargai orang lain, belajar toleransi dan
bekerja sama. Lewat persahabatan, remaja juga menjadi lebih mengetahui tentang
dirinya sendiri. Ramdan, seorang siswa Cakra Buana Jakarta, menyatakan bahwa
dia merasa lebih dewasa dalam mengambil keputusan dan emosinya menjadi lebih
terkontrol. Dia merasa mempunyai orang yang bisa memberikannya saran dan
tidak lagi senang berkelahi, karena dia mempunyai teman-teman yang selalu
menasehatinya (www.kompas.com 10/03/08 )
Djuwita, salah seorang pengajar di Fakultas Psikologi Universitas Indonesia,
menyatakan bahwa bagi remaja sahabat adalah segala-galanya. Bahkan terkadang
lebih baik untuk menyalahi nilai-nilai yang dianutnya daripada tidak mengikuti
nilai-nilai dalam peer-group. Jadi, bisa saja seseorang sudah merasa tidak nyaman
dengan hal-hal yang terjadi dengan peer-group-nya, namun ia tidak berdaya
menolaknya. Dalam hal ini, Ramdan mengatakan, menyatakan dia memang jadi
senang ikut dengan temannya bolos sehingga nilai-nilai akademiknya menurun
(www.kompas.com 10/03/08).
Kesepian menjadi masalah yang signifikan selama masa remaja, khususnya
pada perempuan. Woodward dalam Roehlkepartain (1992) seorang peneliti dari
Universitas Nebraska, menyatakan bahwa remaja putri mungkin saja menjadi
orang yang paling merasa kesepian sedunia. Apakah kesimpulan ini benar atau
tidak, namun perlu digarisbawahi bagaimana sulitnya masa remaja tanpa
persahabatan yang positif (Roehlkepartain, 1992).
Masa remaja akhir dikarakteristikkan sebagai salah satu periode paling sunyi
sepanjang masa hidup seseorang (Steinberg dalam Johnson dkk, 2001). Jika tidak
terselesaikan, perasaan kesepian tersebut akan mejadi penghambat dalam
hubungan sosial karena berkembangnya rasa cemas dan menghindari orang lain
(Lau & Kong; Vernberg, dkk dalam Johnson, dkk, 2001). Pada masa remaja akhir
ini hubungan dengan teman akan menjadi semakin penting daripada orang tua
(Furhman & Buhrmester dalam Cobb, 2007).
Terdapat beberapa percakapan tentang hubungan persahabatan dalam suatu
forum internet. Fsaputra, salah satu anggota forum tersebut menyatakan bahwa
sejak kecil dia memang mempunyai beberapa banyak teman baik. Namun setelah
dewasa, mendapatkan teman yang bukan sekadar kenal saja dan mempertahankan
hubungan persahabatan itu semakin terasa sulit. Senada dengan Fsaputra,
Lucyyoung07 menyatakan bahwa sangat sulit baginya untuk menemukan sahabat
sejati yang mampu menerima dan mengerti dia apanya dan kalaupun ada itu hanya
sedikit (www.kafegaul.com 10/01/08).
Savin-Williams dan Berndt (Brendgen, 2001) menyatakan sahabat
memainkan peran utama dalam perkembangan adaptasi remaja. Penelitian
terhadap hubungan persahabatan remaja tidak hanya terfokus apakah seseorang
mempunyai teman ataupun tidak. Perlu untuk diketahui karakteristik hubungan
tersebut. Diasumsikan bahwa pengalaman positif atau negatif dalam hubungan
persahabatan tidak hanya berkaitan dengan kesejahteraan emosional, namun juga
terhadap positif atau negatif kognisi sosial dan perilaku interaksi dengan orang
lain. Tingginya kualitas persahabatan remaja dengan sahabatnya berkaitan dengan
penyesuaian diri secara emosional yang lebih baik, tingginya kompetensi
interpersonal, mempunyai kemampuan untuk mengatasi permasalahan, dan nilai
akademik yang lebih baik.
Berndt dalam Cillesen, dkk (2005) menyatakan bahwa kualitas persahabatan
merupakan hal yang sangat penting dan kualitas persahabatan yang tinggi
memberikan kontribusi yang positif terhadap proses perkembangan. Hartup dan
Stevens dalam Cillesen, dkk (2005) menemukan bahwa tingginya kualitas
persahabatan dapat meningkatkan self-esteem, adaptasi dan kemampuan untuk
mengatasi masalah. Berndt (Cillessen, 2005) selanjutnya
menyatakan bahwa
kualitas suatu hubungan persahabatan juga dapat menjadi salah satu jalan untuk
saling mempengaruhi antar sahabat baik itu hal yang positif maupun negatif.
Sebagai contoh, kualitas persahabatan yang tinggi pada anak-anak yang
berperilaku menyimpang dapat meningkatkan perilaku menyimpang seorang anak
Gavin dan Furman (Brendgen, 2001) mendapatkan bukti yang mendukung
bahwa kualitas persahabatan merupakan salah satu indikator perilaku positif dan
negatif dengan penelitian terhadap remaja putri. Mereka menemukan adanya rasa
puas ataupun rasa tidak puas terhadap hubungan persahabatan mereka. Kepuasan
terhadap suatu hubungan didefinisikan sebagai kualitas persahabatan yang positif
sedangkan rasa tidak puas dinilai sebagai kualitas persahabatan yang negatif.
Keluarga merupakan lingkungan primer pada hampir setiap individu, sejak ia
lahir sampai datang masanya ia meninggalkan rumah untuk membentuk keluarga
sendiri. Sebagai lingkungan primer, hubungan antar manusia yang paling intensif
dan paling awal terjadi dalam keluarga. Sebelum seorang anak mengenal
lingkungan yang lebih luas, ia terlebih dahulu mengenal lingkungan keluarga.
Sebelum seseorang mengenal nilai-nilai yang ada dalam masyarakat umum, ia
terlebih dahulu mengenal nilai-nilai yang ada dalam keluarganya. Dapat dilihat
tindak-tanduk orang suku tertentu yang berbeda dengan suku yang lainnya dan di
dalam suku tertentu itupun pola perilaku orang yang berasal dari kelas sosial atas
berbeda dari yang kelas sosial bawah. Demikian pula agama dan pendidikan bisa
mempengaruhi perilaku seseorang. Semua itu pada hakikatnya ditimbulkan oleh
norma dan nilai yang berlaku dalam keluarga, yang diturunkan melalui pendidikan
dan pengasuhan orang tua terhadap anak-anak mereka turun temurun. Tidak
mengherankan jika nilai-nilai yang dianut oleh orang tuanya akhirnya juga dianut
oleh remaja. Tidak mengherankan jika ada pendapat bahwa segala sifat negatif
yang ada pada anak sebenarnya ada pula pada orang tuanya. Bukan semata-mata
karena faktor bawaan atau keturunan, akan tetapi karena proses pendidikan, proses
sosialisasi atau mengutip dari istilah Freud, yaitu proses identifikasi (Sarwono,
2003).
Penyesuaian diri remaja di lingkungan luar rumah sangat tergantung dari
keberhasilan penyesuaian dirinya dalam keluarga dan kegagalan penyesuaian
dirinya di luar rumah, boleh jadi disebabkan adanya kegoncangan dalam diri
remaja. Perlakuan orang tua yang kaku, mungkin menyebabkan remaja merasa
tertekan dan terikat atau merasa diremehkan dan bisa jadi hal ini akan
mempengaruhi remaja dalam berinteraksi dengan teman-temannya (Sarwono,
2003).
Beberapa studi menyatakan bahwa kehangatan, pengasuhan yang suportif
mempunyai kontribusi terhadap kepuasan dalam hubungan persahabatan (Dekovic
& Meeus dalam Field & Diego, 2002). Penelitian lainnya menyatakan hal yang
sebaliknya, dimana remaja yang memiliki nilai persahabatan yang positif dan
rendah konflik dengan sahabatnya, akan memiliki kelekatan yang kuat dengan
orangtuanya (Liebermann, dkk, dalam Field & Diego, 2002).
Brown, dkk (Engels, dkk, 2002) menyatakan bahwa pengaruh orang tua akan
meluas pada masa remaja. Dengan menggunakan sampel sebanyak 3781 dengan
usia 15 sampai 19 tahun, mereka menemukan bahwa praktek pengasuhan spesifik,
seperti pengawasan, dorongan untuk mencapai prestasi akademik dan terlibat
dalam penetapan keputusan, akan berpengaruh pada keterlibatan remaja dengan
kelompok-kelompok popular, olahraga, belajar, teladan, pengguna obat-obatan
atau pun kelompok yang diasingkan. Sebagaimana dengan hipotesanya, perilaku
dan opini remaja merupakan hasil dari pengaruh orang tua dan keanggotaannya
dalam suatu kelompok. Brown, dkk (Engels, dkk, 2002) menemukan adanya
keterikatan langsung antara praktek pengasuhan orang tua dan hubungan dengan
teman. Dimana lemahnya atau tidak konsekuennya praktek pengasuhan orang tua
akan berkontribusi pada keterlibatan anak dalam kelompok-kelompok yang
menyimpang. Studi yang dilakukan oleh Engels, dkk (2002), menunjukkan bahwa
kemampuan sosial remaja dimediasi oleh pengaruh pola pengasuhan orang tua,
kelekatan dengan teman dan dukungan sosial yang didapatkan dari teman.
Misalnya seperti respon, otonomi, kohesi seperti halnya kelekatan pada orang tua
namun pada tingkat aktivitas persahabatan.
Berfungsinya sebuah keluarga ditandai dengan adanya nilai-nilai positif yang
dianut misalnya merasa menyatu (kohesif), memiliki pola asuh yang tepat, dan
ekspresif. Keberfungsian keluarga yang proaktif, memberikan kesempatan bagi
anggota keluarganya untuk mengeksplorasi dunia mereka lebih luas dengan cara
sebagai berikut : memberikan kesempatan yang dapat mendukung perkembangan
intelektual dan sosial; mengembangkan rasa aman terhadap diri sendiri,
mengembangkan kepercayaan diri dan mengembangkan cara berkonfrontasi dan
mengatasi konflik. Ketika remaja mulai memasuki dunia luar, ia akan menerapkan
nilai-nilai yang ada dalam keluarganya dan ini akan mempengaruhi interaksinya
dengan orang lain, terutama sahabatnya.
Penelitian kali ini akan mencoba untuk meneliti bagaimana keberfungsian
keluarga akan mempengaruhi kualitas persahabatan pada remaja.
Tinjauan Pustaka
Kualitas Persahabatan
Berndt menyatakan bahwa kualitas persahabatan didefinisikan sebagai
tingkat hubungan persahabatan yang meliputi dimensi positif dan dimensi negatif .
Sampai saat ini definisi kualitas persahabatan lebih banyak dikaitkan dengan
pengaruhnya dalam hubungan persahabatan. Kualitas persahabatan ditandai
dengan tingginya frekuensi interaksi positif dan rendahnya frekuensi interaksi
negatif (Phebe, 2007). Damon dalam Grimme (2005) menyatakan bahwa kualitas
persahabatan adalah hubungan yang berkembang dari konsep konkrit seperti
bergabung dalam beberapa aktivitas atau kegiatan, menjadi terfokus pada konsep
abstrak seperti pada hubungan mutual dan kepuasan psikologis.
Hartup (Brendgen, dkk, 2001), menyatakan bahwa dalam persahabatan tidak
hanya meliputi keharmonisan dan pengalaman-pengalaman yang menyenangkan
saja, namun dapat menjadi sumber konflik dan distress. Kualitas persahabatan
dapat dikonseptualisasikan sebagai kombinasi dari interaksi positif dan negatif
dalam hubungan persahabatan.
Berdasarkan uraian di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa kualitas
persahabatan ditandai dengan tingginya frekuensi interaksi positif dan rendahnya
frekuensi interaksi negatif yang terjadi antar dua orang atau lebih yang mana
mereka mempunyai hubungan yang sangat dekat, saling bertukar pikiran, saling
peduli, memiliki minat yang sama, saling menolong, saling melengkapi, dan saling
menyayangi. Dimana ada kecenderungan interaksi yang lebih positif daripada
interaksi yang negatif.
Keberfungsian Keluarga
Ada begitu banyak teori tentang keberfungsian keluarga yang telah
berkembang sejak pertengahan tahun 1970an, namun terminologi yang
menggambarkan variabel-variabel yang menghasilkan keluarga yang sehat masih
membingungkan.
Para
peneliti
dan
ahli
terapi
menggunakan
“berfungsi”,”normal”,”tipe”,dan “sehat” sama dengan “kuat”, “sehat”, “seimbang”
dan “sukses” (Kelley & Sequiera, 1997).
Sejalan dengan perspektif tersebut, Fitzpatrick dan Badszinki (Kelley &
Sequeira, 1997) mengidentifkasi lima variabel yang digunakan untuk mengukur
berfungsinya suatu keluarga yaitu kepuasan pernikahan, kepuasan pengasuhan
anak, solidaritas keluarga, cukup berfungsi, dan status pencapaian. Mereka
kemudian menggambarkan keberfungsian keluarga sebagai konstruk multidimensi
yang berkembang dari tiga pertanyaan yang berdasarkan :
a)
Apakah keluarga tersebut telah mencapai tujuan utama suatu keluarga
ataukah sudah mampu berkompetensi ?
b)
Apakah keluarga tersebut melanggar aturan kemasyarakatan ?
c)
Apakah keluarga tersebut mempunyai anggota yang sedang sakit ?
Bochner dan Eisenberg (Kelley & Sequeira, 1997) menyatakan keberhasilan
negosiasi dalam perputaran kehidupan keluarga, tekanan dialektis terhadap
perbedaan integrasi dan perubahan stabilitas, dan produktif dalam menyelesaikan
masalah, merupakan hal penting dalam mengoptimalisasikan keberfungsian
keluarga. Sedangkan Minuchin mengidentifikasikan individuasi dan perasaan
terikat sebagai esensi dari sistem keluarga dan memahami tuntutan fungsional
sebagai struktur keluarga yang terarah. Kemudian, Olson dan McCubbin, dkk
(Kelley & Sequeira, 1997) memfokuskan pada dua fungsi pusat suatu keluarga
yaitu kohesi (keterikatan) dan kemampuan menyesuaikan diri.
Walsh (Kelley & Sequeira, 1997) menyatakan bahwa keberfungsian merujuk
pada “kebutuhan struktural atau pola perilaku dalam mencapai tujuan” sedangkan
“norma” merujuk pada “tingkatan perilaku yang dianggap permisif”. Walsh
menggambarkan empat dasar konsep dalam mengases keberfungsian keluarga,
seperti yang tertuang di bawah ini :
a)
Garis lurus keberfungsian keluarga merujuk pada sebuah keluarga yang
tidak memiliki disfungsi ataupun penyakit pada tiap individu keluarga.
b)
Keberfungsian keluarga yang optimal akan menggambarkan sebuah
keluarga yang sehat atau memiliki keberfungsian keluarga yang tinggi.
c)
Keberfungsian keluarga rata-rata didefinisikan sebagai keluarga yang
normal seperti kebanyakan keluarga dalam suatu lingkungan
masyarakat ataupun dalam suatu kultur.
d)
Keluarga transaksional akan merujuk pada integrasi, pertumbuhan dan
pertahanan keluarga yang terkait dengan sistem individu dan sistem
masyarakat.
Satir (Hartmann, 2002) mengarakteristikkan keberfungsian keluarga yang
sehat dengan tingkat kematangan orang tua, dan pola komunikasi yang spesifik,
jelas dan jujur. Sedangkan Olson dalam Aydin dan Oztutuncu (2001), menyatakan
keluarga yang sehat adalah keluarga yang mempunyai karateristik keterikatan
(kohesi) yang optimal, dimana keluarga tersebut menunjukkan ikatan kasih sayang
yang hangat.
Reiss (Martin dan Martin, 2000) menyatakan bahwa keluarga yang berfungsi
secara efektif, perasaan marah tidak bertahan lama. Argumentasi hanya
berlangsung singkat dan interaksi yang kemudian terjadi akan lebih bersahabat.
Keluarga yang sehat bukanlah keluarga yang impulsif melainkan keluarga yang
mampu bernegosiasi dan kompromis.
Ellis & Houser-Cram (Smith, dkk, 2004) mendefinisikan keberfungsian
keluarga sebagai sebuah ungkapan yang tidak terbatas yang menggambarkan
bermacam-macam karakteristik lingkungan keluarga seperti kesejahteraan orang
tua, kualitas pernikahan, hubungan antara orang tua dan anak, cohesion
(keterikatan), expressiveness (keterbukaan), dan conflict (konflik). Namun secara
keseluruhan definisi keberfungsian keluarga terfokus pada keluarga yang sehat.
Berdasarkan uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa keberfungsian
keluarga merupakan keluarga yang sehat, kuat, keluarga yang mampu membentuk
anggota-anggota keluarga sebagai orang-orang yang mampu menyelesaikan
permasalahan dengan tepat, saling mendukung, mampu berkomunikasi positif,
mampu menyesuaikan diri dengan lingkungannya, saling terikat, terbuka satu
sama lain dan interaksi yang dikembangkan adalah interaksi yang bersahabat.
Hubungan Antara Keberfungsian Keluarga Dengan
Kualitas Persahabatan Pada Remaja Akhir
Pengaruh orang tua terhadap hubungan pertemanan pada masa muda tidak
terbatas pada masa anak-anak saja, namun berlanjut hingga masa remaja mereka.
Hubungan remaja dengan orang tua mereka dapat mempengaruhi hubungan
mereka dengan teman-temannya. Dalam suatu studi, remaja putri yang
mendapatkan perlakuan secara demokratis oleh ibunya akan lebih akrab dengan
teman-temannya dari pada yang tidak mendapatkan perlakuan demokratis (Gold &
Yanof dalam Sprinthall & Collins, 1995). Intimasi baik pada remaja putri maupun
remaja putra dengan teman-temannya berkaitan dengan bagaimana persepsi
terhadap kohesi yang ada dalam hubungan keluarganya (Romig & Bakken dalam
Sprinthall & Collins, 1995).
Para peneliti menyatakan bahwa hubungan dengan keluarga berkorelasi
positif dengan kualitas hubungan persahabatan (Way & Chen, 2000). Menurut
teori attachment, seseorang akan menginternalisasikan penerimaan dan respon
dari orangtuanya terhadap hubungannya dengan orang lain. Seseorang yang
mempunyai pengalaman dalam hubungan dengan orangtua akan mempengaruhi
tipe hubungan yang akan ia miliki dengan teman atau sahabatnya. Sebagai contoh,
seseorang yang orangtuanya memberikan rasa aman, kehangatan dan kepercayaan
akan memberikan kualitas yang sama dalam berhubungan dengan sahabatnya
(Way & Chen, 2000).
Pola dan keberfungsian keluarga berkaitan dengan kompetensi sosial,
termasuk kecemasan dan yang berkaitan dengan sifat seseorang. Ditemukan
bahwa kualitas hubungan persahabatan berkaitan dengan keluarga yang terpisah
pada perempuan dan keluarga yang terikat pada laki-laki (Robinson, 2000).
Keluarga yang sehat dikarakteristikkan dengan keterikatan (cohesion) yang
optimal dimana anggota keluarga saling menunjukkan ikatan hangat akan rasa
kasih sayang (Olson dalam Aydin & Oztutuncu, 2001). Moos (Aydin &
Oztutuncu, 2001) menyatakan bahwa control merupakan fitur yang dominan pada
keluarga yang tidak sehat ataupun lingkungan keluarga yang negatif. Dimana
sistem yang berlaku bersifat kaku dan adanya hambatan untuk berubah.
Reinherz, dkk (Johnson, 2001) menyatakan bahwa rendahnya keterikatan,
yang diekspresikan dengan perasaan tidak termiliki, berkaitan dengan perasaan
dan perilaku baik pada anak maupun remaja. Hal ini merupakan refleksi dari
lingkungan keluarga. Leadeater, dkk (Johnson, 2001) menemukan bahwa remaja
putri yang mendapatkan pengalaman akan perasaan tersingkirkan (exclusion) dan
terasingkan (isolation) dalam keluarga cenderung sulit untuk mempertahankan
hubungan dekat. Penelitian telah membuktikan bahwa baik anak-anak atau pun
remaja yang melihat konflik yang terjadi pada kedua orangtuanya berkaitan
dengan ketidakmampuan mereka dalam berhubungan dengan orang lain.
Remaja yang berasal dari keluarga yang mampu berkomunikasi secara
terbuka, saling menghormati, dan mempunyai hubungan yang akrab dapat dengan
mudah dalam membentuk suatu hubungan dekat dengan sahabatnya (Sprinthall &
Collins, 1995). Hartup dalam Sprinthall & Collins (1995) memberikan pernyataan
bahwa keluarga akan memberikan dasar perasaan aman yang dapat remaja
eksplorasikan ke dalam hubungan dengan sahabatnya.
Keluarga yang tidak berfungsi secara efektif dapat membuat remaja terlibat
dengan orang-orang yang antisosial. Penelitian longitudinal menunjukkan bahwa
remaja yang antisosial berasal dari keluarga yang tidak perhatian dan tidak
merespon terhadap perilakunya (Dishion, dkk dalam Sprinthall & Collins, 1995).
Berndt (Cillessen, 2005) menyatakan bahwa kualitas persahabatan yang tinggi
pada seseorang yang bergabung dalam kelompok orang-orang yang berlaku
menyimpang akan meningkatkan perilaku menyimpang individu tersebut,
sehingga kualitas persahabatan yang dimiliki individu tersebut mengarah pada
interaksi yang negatif.
Berdasarkan uraian di atas, penulis menarik kesimpulan bahwa
berfungsinya suatu keluarga akan mempengaruhi kualitas persahabatan yang
dimiliki oleh remaja.
Hipotesis
Hipotesis dalam penelitian ini adalah ada hubungan yang positif antara
keberfungsian keluarga dengan kualitas persahabatan pada remaja akhir. Semakin
tinggi keberfungsian keluarga maka semakin tinggi kualitas persahabatan remaja
akhir, sebaliknya semakin rendah keberfungsian keluarga maka semakin rendah
kualitas persahabatannya.
Metode Penelitian
Identifikasi Variabel Penelitian
Variabel tergantung : Kualitas Persahabatan
Variabel bebas
: Keberfungsian Keluarga
Subjek Penelitian
Subyek yang akan dikenai penelitian oleh penulis adalah mahasiswa D3
Fakultas Ekonomi Universitas Islam Indonesia yang berusia 18 – 22 tahun.
Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan
menggunakan metode skala, skala ini menggunakan lembar identitas diri sebagai
pelengkap data penelitian, diantaranya: nama (inisial) dan usia. Ada dua skala
yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu :
1.
Skala Kualitas Persahabatan merupakan adaptasi dari Friendship Quality
Scale oleh Bukowski, dkk (Hum, 1999) dan dikombinasikan dengan aitemaitem yang ada dalam Friendship Quality Questionaire oleh Parker & Asher
(Hum, 1999), yaitu companionship (kedekatan/kebersamaan), closeness
(keakraban), helping (bantuan), conflict resolution (penanganan konflik), dan
security (kerahasiaan). Conflict Resolution dinilai lebih mewakili aitemaitem yang ada dalam skala. Konflik yang terjadi dalam hubungan
persahabatan yang berkualitas biasanya akan dibicarakan dengan mudah dan
akan diselesaikan secara damai. Dengan kata lain, hubungan persahabatan
melibatkan harapan yang lebih baik tanpa adanya konflik yang
berkepanjangan (Kimmel & Weiner, 1995). Aspek security kemudian
ditambahkan dua aitem yaitu pada aitem yang berbunyi ” Saya dan sahabat
saya akan saling menjaga rahasia kami” dan aitem yang berbunyi “ Saya dan
sahabat saya mempunyai rahasia yang hanya kami saja yang tahu”.
Pertimbangan ditambahkannya kedua aitem ini karena dalam suatu hubungan
persahabatan
yang
berkualitas
disebutkan
adanya
tindakan
yang
mencerminkan kepercayaan. Sebagai contoh, kegagalan dalam menyimpan
rahasia, berbohong, atau tidak menepati janji (Kimmel & Weiner, 1995).
Aitem pada skala ini bersifat favourable dan unfavourable. Metode yang
digunakan adalah metode Likert yang terdiri dari lima alternatif jawaban,
yaitu: (SS) Sangat sesuai, (S) Sesuai, (TB) Tidak bisa menentukan, (KS)
Kurang sesuai, dan (TS) Tidak sesuai.
2.
Skala Keberfungsian Keluarga merupakan adaptasi dari Family Environment
Scale oleh Moos dan Moos (Mandara & Murray, 2002) yang terdiri atas tiga
dimensi lingkungan keluarga. Dimensi Relationship terdiri atas tiga subskala
yaitu Cohesion, Expresiveness dan Conflict Resolution. Dimensi ini akan
mengukur tingkatan dimana anggota keluarga mengekspresikan rasa peduli
dan memiliki komitmen dalam keluarga, mengungkapkan perasaan marah
dan terlibat dalam situasi konflik dan mengungkapkan perasaan-perasaan
lainnya. Dimensi Personal Growth akan mengukur Independence-Autonomy,
Achievement Orientation, Intellectual Orientation, Active-Recreational
Orientation,
dan
Religious
Emphasis
yang
merupakan
area-area
keberfungsian keluarga. Dimensi System Maintenance terdiri atas Family
Organization dan Control. Dimensi ini akan mengukur aturan-aturan umum
dan aktivitas yang terstruktur dalam keluarga dan akan meluas pada
bagaimana anggota keluarga saling mengendalikan satu sama lain. Aitem
pada skala ini disajikan dalam pernyataan favourable dan unfavourable.
Berdasarkan pertimbangan dosen pembimbing, peneliti mengubah aspek
Conflict menjadi Conflict Resolution. Conflict Resolution dianggap lebih
tepat untuk mewakili aitem-aitem dalam skala, karena yang ada di dalam
skala-skala tersebut tidak hanya berupa konflik namun ada bagaimana cara
menanggulangi konflik. Selain itu pula, dalam keluarga yang sehat konflik
yang terjadi dapat diselesaikan dengan baik. Kemudian ada beberapa aitem
yang dieliminasi karena dianggap kurang tepat jika dipakai. Misalnya pada
aitem yang berbunyi, “Di keluarga kami, kami bebas datang dan pergi.”,
aitem tersebut agak rancu jika diadaptasikan pada kultur masyarakat kita.
Sama dengan skala kualitas persahabatan, skala keberfungsian keluarga juga
menggunakan metode Likert yang terdiri dari lima alternatif jawaban, yaitu:
SS) Sangat sesuai, (S) Sesuai, (TB) Tidak bisa menentukan, (KS) Kurang
sesuai, dan (TS) Tidak sesuai.
Kedua skala tersebut diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia dan disesuaikan
dengan kebutuhan penelitian. Sebelum digunakan, skala ini diuji terlebih dahulu
kepada beberapa subyek untuk mengetahui validitas dan reliabilitasnya.
Metode Analisis Data
Data yang diperoleh adalah data kuantitatif dan untuk menguji hipotesis
penelitian ini, yaitu mengetahui hubungan antara keberfungsian keluarga dengan
kualitas persahabatan pada remaja, maka digunakan teknik statistik korelasional
product moment dari Pearson.
Untuk menjaga keakuratan data dan kemudahan pengolahan data digunakan
teknik pengolahan data dari program SPSS 12.0 for Windows.
Hasil Penelitian
Deskripsi Subjek Penelitian
Berdasarkan hasil penelitian diperoleh subjek sebanyak 60 orang yang
berusia antara 18-22 tahun. Gambaran subjek penelitian dapat dilihat pada tabel
deskripsi dibawah ini :
Tabel 1
Deskripsi Subjek Penelitian
Usia
18
19
20
21
22
Total
Frekuensi
3
20
21
13
3
60
Uji Hipotesis
Untuk menguji hipotesis penelitian ini, yaitu mengetahui hubungan antara
keberfungsian keluarga dengan kualitas persahabatan pada remaja, maka
digunakan teknik statistik korelasional product moment dari Pearson. Untuk
menjaga keakuratan data dan kemudahan pengolahan data digunakan teknik
pengolahan data dari program SPSS 12.0 for Windows.
Hasil hipotesis kedua data ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif
yang
sangat
signifikan
antara
keberfungsian
keluarga
dengan
kualitas
persahabatan pada remaja. Berikut adalah tabel uji hipotesis kedua data :
Tabel 2
Hasil Uji Hipotesis
Kualitas
persahabatan
Keberfungsian
Keluarga
Kualitas
Persahabatan
Pearson
1
.427
Correlation
Sig. (2-tailed)
.
.001
N
60
60
Keberfungsian
Pearson
.427
1
Keluarga
Correlation
Sig. (2-tailed)
.001
.
N
60
60
Tabel tersebut terlihat bahwa p=0,001 (p<0,01) r=0,427. Oleh karena itu ada
hubungan positif yang sangat signifikan antara keberfungsian keluarga dengan
kualitas persahabatan. Semakin tinggi keberfungsian keluarga maka semakin
tinggi kualitas persahabatan pada remaja yang berarti semakin tinggi
keberfungsian keluarga maka remaja akan mengembangkan nilai-nilai positif pada
hubungan persahabatannya.
Dengan memperhatikan nilai R squared menunjukan angka .182, dalam hal
ini berarti keberfungsian keluarga menyumbang sebanyak 18,2% terhadap kualitas
persahabatan remaja.
Pembahasan
Penelitian ini bertujuan untuk menguji hipotesis tentang adanya hubungan
positif antara keberfungsian keluarga dengan kualitas persahabatan pada remaja.
Setelah melalui beberapa proses pengolahan data diperoleh hasil yang mendukung
hipotesis tersebut. Mula-mula melalui deskripsi data penelitian dapat dilihat bahwa
nilai rata-rata skor kualitas persahabatan yang diperoleh remaja lebih tinggi dari
rata-rata skor hipotetiknya. Data tersebut menunjukkan bahwa remaja memiliki
kualitas persahabatan lebih besar dari rata-rata yang diperkirakan. Secara lebih
spesifik, kualitas persahabatan oleh remaja responden sebagian besar berada pada
tingkatan tinggi dan sangat tinggi. Bahkan tidak ada yang berada pada tingkat
rendah dan sangat rendah. Keberfungsian keluarga remaja memiliki rata-rata skor
lebih tinggi dari rata-rata skor hipotetik. Ini menunjukkan bahwa keberfungsian
keluarga remaja berada di atas rata-rata yang diperkirakan. Lebih dari setengah
dari remaja responden memiliki keberfungsian keluarga yang tinggi dan tidak ada
yang memiliki keberfungsian keluarga yang sangat rendah.
Tingginya kualitas persahabatan pada remaja ditunjukkan dengan sebagian
besar jawaban subjek berada pada tingkat tinggi. Hal ini dibuktikan dengan
jawaban subjek yang memilih alternatif jawaban “Sesuai” untuk aitem favourable.
Tingginya kualitas persahabatan pada remaja diperlihatkan subjek penelitian
dipengaruhi oleh tingginya keberfungsian keluarga. Hal ini ditunjukkan oleh
jawaban subjek yang memilih alternatif jawaban pada tingkat tinggi pula. Aitemaitem favourable dijawab dengan alternatif pilihan jawaban sesuai dan sangat
sesuai, sedangkan aitem unfavourable dijawab dengan alternatif pilihan jawaban
kurang sesuai dan tidak sesuai.
Hasil penelitian ini menunjukkan adanya hubungan antara keberfungsian
keluarga dengan kualitas persahabatan pada remaja. Dimana berfungsinya suatu
keluarga yang ditandai dengan keluarga yang sehat, kuat, keluarga yang mampu
membentuk anggota-anggota keluarga sebagai orang-orang yang mampu
menyelesaikan
permasalahan
dengan
tepat,
saling
mendukung,
mampu
berkomunikasi positif, mampu menyesuaikan diri dengan lingkungannya, saling
terikat, terbuka satu sama lain dan interaksi yang dikembangkan adalah interaksi
yang bersahabat; berhubungan dengan kualitas persahabatan yang mempunyai
interaksi yang cenderung positif. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian
yang dilakukan oleh Black (2002), Way & Chen (2000), dan Robinson (2000)
bahwa hubungan dalam keluarga akan berkaitan dengan kualitas persahabatan.
Sebagai contoh, remaja yang mendapatkan rasa aman dari orang tuanya akan dapat
bersosialisasi dengan sahabatnya, akan disukai oleh sahabatnya dan akan
mempunyai interaksi yang positif dengan sahabatnya daripada remaja yang tidak
mendapatkan rasa aman dari orang tuanya (Black, 2002). Interaksi positif yang
terjadi dapat berupa komunikasi yang terbuka, saling menghormati, dan adanya
hubungan yang akrab (Sprinthall & Collins, 1995); rendahnya konflik dan
simpatik (Field & Diego, 2002); mengungkapkan perasaan kasih sayang dan saling
mendukung (Jones, dkk, 2000).
Keberfungsian keluarga merupakan ungkapan yang tidak terbatas yang
menggambarkan suatu keluarga itu sehat dan kuat (Smith, dkk, 2004). Keluarga
yang sehat sudah tentu memiliki hubungan yang positif antar anggota keluarga.
Anggota keluarga akan saling berinteraksi dan saling merespon apa saja yang
terjadi di dalam keluarga. Penelitian-penelitian sebelumnya menemukan bahwa
hubungan dalam keluarga akan mempengaruhi kehidupan seseorang, membentuk
cara berpikir, perasaan, dan perilaku seseorang (www.serach-institute.org
17/4/08). Seperti yang telah diungkapkan oleh Sarwono (2003) bahwa seseorang
akan belajar nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku dalam keluarganya sebelum
ia mengenal nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku di luar lingkungan
keluarganya. Nilai-nilai dan norma-norma yang berkembang dalam keluarga
kemudian akan dieksternalisasikan seseorang terhadap lingkungan di luar
keluarganya. Melalui interaksi yang terjadi dalam keluarga, anak akan belajar
tentang bagaimana mempraktekkan beberapa keahlian (misalnya negosiasi,
berargumentasi dan berhubungan timbal balik) yang kemudian mereka lakukan
dalam berhubungan orang lain (Black, 2002).
Seseorang dalam kehidupannya tidak hanya akan berhubungan dengan
keluarganya namun juga akan mempunyai hubungan dengan orang lain. Dalam
hubungan dengan orang lain, sahabat adalah orang yang dipilih sebagai orang
terdekat selain keluarga. Masa remaja merupakan masa transformasi dalam
hubungan sosial dan remaja akan lebih banyak menghabiskan waktu dengan
sahabatnya tanpa pengawasan dari keluarganya (Engels, dkk, 2002). Hubungan
persahabatan remaja akan semakin dekat dengan semakin sering mereka
berinteraksi. Meningkatnya hubungan persahabatan ini tidak menjadikan keluarga
tidak membentuk cara berpikir dan perilaku remaja. Penelitian yang dilakukan
oleh Parke & Ladd ( Engels, dkk, 2002) menunjukkan bahwa peran keluarga tidak
terbatas pada masa anak-anak namun juga akan mempengaruhi fungsi sosial
remaja. Baumrind (Jones, dkk, 2000) menemukan bahwa remaja yang dapat
menyesuaikan diri mempunyai orang tua yang mengembangkan pola asuh
authoritative yang dikarakteristikkan dengan penerimaan (kehangatan, dukungan,
pengasuhan, kasih sayang) akrab, dan kontrol yang konsisten (disiplin,
pengawasan, dan pengarahan). Kemampuan menyesuaikan diri ini dibutuhkan
oleh remaja dalam berhubungan dengan sahabatnya, dimana sahabatnya juga
mempunyai nilai-nilai yang dibawanya dari keluarganya. Dengan kata lain,
bagaimana seseorang berperilaku dalam hubungan persahabatannya akan
dipengaruhi oleh aspek-aspek dalam keluarganya.
Hubungan remaja dengan keluarganya akan mempengaruhi hubungan remaja
dengan sahabatnya. Menurut teori social learning, orang tua memainkan peran
penting sebagai contoh bagi anaknya. Dengan memperhatikan hal-hal yang terjadi
dalam keluarganya, anak akan belajar perilaku-perilaku yang spesifik dan akan
mengembangkan perilaku yang diharapkan terjadi dalam hubungan persahabatan
misalnya
dalam
menyelesaikan
konflik.
Penelitian-penelitian
sebelumnya
menyebutkan bahwa hubungan yang dekat antara orang tua dengan anak
cenderung akan mempengaruhi hubungan persahabatannya dimana ia pun akan
memiliki hubungan yang dekat dengan sahabatnya (Gold & Yanof dalam
Sprinthall & Collins, 1995; Way & Chen, 2000). Penelitian selanjutnya yang
dilakukan oleh Dekovic & Meeus dalam Field & Diego (2002) menyebutkan
bahwa orang tua yang memberikan rasa hangat (pola asuh yang positif) akan
memberikan kontribusi terhadap rasa puas dalam hubungan persahabatan. Peneliti
lainnya juga menemukan hal yang sama bahwa remaja yang memiliki nilai-nilai
hubungan persahabatan yang positif
dan rendahnya konflik yang terjadi
mempunyai kelekatan hubungan yang kuat dengan ibu dan ayahnya (Field &
Diego, 2002). Dengan kata lain, perilaku remaja dalam hubungan persahabatannya
berdasarkan pengalaman yang ia dapatkan dalam keluarganya.
Dengan menggunakan Family Environment Scale, dimana di dalamnya
terdapat aspek-aspek yang dapat menentukan suatu keluarga berfungsi dengan
baik, yaitu aspek cohesion, expressiveness, conflict resolution, independence,
intellectual-cultural orientation dan aspek organization ditemukan mempunyai
hubungan dengan kualitas persahabatan pada remaja. Aspek cohesion (keterikatan)
mempunyai pengaruh yang lebih besar terhadap kualitas persahabatan pada
remaja. Cohesion (keterikatan) merupakan tingkatan dimana anggota keluarga
terlibat dan mengikatkan diri dengan keluarga dan tingkatan dimana mereka saling
memberikan pertolongan dan dukungan. Berdasarkan hal tersebut maka dapat
dikatakan bahwa remaja mengidentifikasi rasa saling terikat dan bagaimana ia
memperlakukan orang lain terhadap hubungan persahabatannya. Remaja akan
mengikatkan dirinya dengan sahabatnya, akan memberikan pertolongan ataupun
dukungan yang sahabatnya perlukan. Hartup dalam Sprinthall & Collins (1995)
mendapatkan hasil temuan yang senada, dimana keluarga yang memberikan rasa
aman yang dibutuhkan oleh remaja untuk dapat berhubungan dengan sahabatnya
akan mampu membentuk remaja menjadi orang yang mampu memberikan
dukungan dan perhatian terhadap sahabatnya.
Putallaz (Engels, dkk, 2002) menemukan bahwa keluarga yang orang tuanya
mampu merespon, memberikan dukungan, dan menunjukkan rasa sayangnya
(expressiveness) berkaitan dengan interaksi anak dengan temannya. Senada
dengan temuan Lollis, dkk dalam Black (2002) yang menyatakan bahwa orang tua
adalah pelatih bagi anak-anaknya dalam berinteraksi dengan sahabatnya. Sebagai
contoh, mengungkapkan perasaan bersalah dengan meminta maaf kepada orang
yang disakiti (Black, 2002). Hal ini berkaitan dengan aspek expressiveness,
dimana keluarga yang menunjukkan perasaan hangat dan saling mendukung akan
memberikan kontribusi terhadap kualitas hubungan persahabatan pada remaja.
Remaja yang di dalam keluarganya belajar bagaimana mengekspresikan
perasaannya cenderung akan mampu mengekspresikan perasaannya juga dalam
hubungan persahabatan, terlebih perasaan menyayangi.
Bowlby (Harvey & Byrd, 2000) menyatakan bahwa salah satu faktor
terbentuknya cara berpikir seseorang adalah dengan adanya pengaruh yang
terorganisir (organization). Bowlby (Harvey & Byrd, 2000) kemudian
menambahkan bahwa orang yang memiliki tingkat organisasi yang tinggi terhadap
cara berpikir akan mampu memahami suatu hubungan dari pada mereka yang
memiliki tingkat organisasi yang rendah. Hasil penelitian mendapatkan bahwa
aspek organization berkaitan dengan kualitas persahabatan pada remaja. Ini
membuktikan bahwa remaja yang memahami arti hubungan dengan keluarga akan
memahami pula arti hubungan dengan sahabatnya. Dewan Carnegie dan peneliti
lainnya (Martin & Martin, 2000) memformulasikan lima karakteristik remaja yang
efektif, dimana salah satunya menyatakan bahwa remaja yang dirawat secara
individual akan mampu untuk berpikir secara jelas, kritis dan akan berlaku sopan.
Mereka mampu untuk bertindak dengan pendiriannya sendiri dan menunjukkan
nilai-nilai yang berkaitan dengan keluarga yang sehat, dimana didalamnya terdapat
integritas diri, mampu bertoleransi dan menghargai orang lain. Mereka akan
mampu memahami pentingnya hubungan yang dekat dengan keluarga dan teman
ataupun sahabat. Mereka tahu bahwa hubungan tersebut membutuhkan usaha dan
pengorbanan. Tanpa usaha dan pengorbanan, hidup mereka akan sedikit berarti
dan akan mengalami rasa tidak aman dan kesepian.
Baik dalam keluarga maupun hubungan dengan sahabatnya, remaja tidak
lepas dari konflik. Dalam aspek conflict resolution, ditemukan berkaitan dengan
kualitas persahabatan pada remaja. Temuan ini senada dengan penelitian yang
dilakukan oleh Katler (Robinson, 2000) bahwa hubungan antara orang tua dengan
anaknya akan berkorelasi dengan penanganan konflik yang diterapkan anak pada
hubungan persahabatannya. Putallaz (Black, 2002) menemukan bahwa orang tua
yang ketika berada dalam situasi konflik melakukan perundingan cenderung
mempunyai anak yang juga akan melakukan hal yang sama dengan sahabatnya
ketika terlibat konflik.
Aspek independence ditemukan berkaitan dengan kualitas persahabatan pada
remaja, dalam hal ini Hill & Holmbeck dalam Sprinthall & Collins (1995)
menyatakan bahwa independence (kemandirian) tidak diartikan sebagai bebas
lepas dari orang tua. Dalam hubungan antara orang tua dengan anak, kemandirian
merupakan aturan-aturan yang diterapkan oleh orang tua kepada remaja dan
kemudian diintegrasikan oleh remaja pada dirinya. Orang tua akan memberikan
pengaruh terhadap rasa tanggung jawab kepada remaja, dimana remaja dianggap
mampu untuk memikirkan resiko yang ia dapatkan. Selanjutnya Mandara &
Murray (20002) menyatakan bahwa keluarga yang memberikan kesempatan
kepada anggota keluarga untuk membicarakan masalah sosial hingga masalah
budaya akan meningkatkan asertivitas anggota keluarganya dan akan mampu
untuk mandiri. Dalam hal ini, aspek intellectual-cultural orientation dan aspek
independence ditemukan berkaitan dengan kualitas persahabatan. Cooper &
Ayers-Lopez dalam Sprinthall & Collins (1995) menemukan remaja yang berasal
dari keluarga yang menerapkan komunikasi terbuka akan mampu memiliki
hubungan dekat dengan sahabatnya. Papini, dkk (Sprinthall & Collins, 1995)
menemukan bahwa pada masa remaja baik orang tua maupun anak akan semakin
sering asertif satu sama lain. Steinberg (Sprinthall & Collins, 1995) selanjutnya
menambahkan bahwa orang tua dan remaja akan banyak terlibat dalam berbagai
permasalahan yang lebih realistik. Remaja yang banyak terlibat pembicaraan yang
lebih realistik dengan orang tuanya akan pula menerapkan pembicaraan yang sama
dalam hubungan persahabatannya. Hal ini sesuai dengan temuan Armsden &
Greenberg (Way & Chen, 2000) bahwa remaja yang mendapatkan berbagai
macam pengalaman dalam keluarganya akan menerapkan pengalaman yang sama
pada hubungan persahabatannya.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa keberfungsian keluarga memang
berhubungan dengan kualitas persahabatan yang dimiliki oleh remaja. Tingginya
kualitas persahabatan yang dimiliki oleh remaja diiringi dengan tingginya
keberfungsian keluarga mereka.
Kelemahan penelitian ini adalah adanya konteks budaya dalam aitem-aitem
yang digunakan dalam penelitian ini. Adanya perbedaan konteks budaya dalam
aitem-aitem tersebut memungkinkan subjek ragu dalam menjawab karena dinilai
tidak sesuai dengan budaya yang dimilikinya. Banyak sekali hal-hal yang dapat
digali dari penilaian kualitas persahabatan seperti ini. Permasalahan seperti latar
belakang etnis dan perilaku menyimpang diasumsikan dapat mempengaruhi
kualitas persahabatan remaja juga. Penelitian kali ini tidak membahas variabelvariabel tersebut, disarankan penelitian-penelitian selanjutnya dapat mengangkat
topik-topik tersebut atau bahkan mencari topik-topik lain untuk memperkaya
referensi tentang kualitas persahabatan.
Penutup
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan hasil penelitian, dapat
disimpulkan:
1. Ada korelasi positif yang sangat signifikan antara keberfungsian keluarga
dengan kualitas persahabatan pada remaja, semakin tinggi keberfungsian
keluarga maka kualitas persahabatan semakin tinggi. Berdasarkan hasil
penelitian, maka dapat disimpulkan bahwa hipotesis adanya hubungan positif
antara keberfungsian keluarga dengan kualitas persahabatan diterima.
2. Aspek keberfungsian keluarga yang paling mempunyai pengaruh pada konsep
diri pada remaja adalah aspek cohesion (keterikatan). Keterikatan
ini
merupakan tingkatan dimana anggota keluarga terlibat dan mengikatkan diri
dengan keluarga dan tingkatan dimana mereka saling memberikan pertolongan
dan dukungan. Sehingga, dapat dikatakan bahwa remaja mengidentifikasikan
rasa
keterikatan
yang
ada
dalam
keluarganya
terhadap
hubungan
persahabatannya.
Saran
1. Saran untuk Remaja
Berdasarkan hasil penelitian didapatkan hasil bahwa sebagian besar remaja
memiliki kualitas persahabatan yang tinggi. Oleh karena itu penulis mengajak
remaja untuk semakin mengembangkan kualitas persahabatan menjadi lebih baik
lagi
dan
mempertahankan
hubungan
persahabatan
tersebut.
Hubungan
persahabatan yang berkualitas akan berasosiasi dengan hal-hal yang positif.
Sebagai contoh kualitas persahabatan dapat meningkatkan self-esteem, nilai
akademik, dan kesehatan psikologis lainnya.
2. Saran untuk Keluarga
Keluarga diharapkan dapat mengembangkan sikap saling membantu dan
mendukung antara anggota keluarga, adanya komunikasi yang terbuka yaitu saling
mengungkapkan rasa perasaan-perasaan dan memberikan kebebasan kepada
anggota keluarga untuk mengungkapkan pendapat, menghabiskan waktu bersama,
mengembangkan komitmen yang kuat terhadap keluarga, menyelesaikan konflik
secara positif, memiliki tingkat orientasi yang tinggi terhadap agama, mempunyai
orientasi berprestasi yang tinggi, memiliki minat yang terhadap hal-hal yang
bersifat intelektual, adanya aturan jelas dan tegas, kondisi rumah yang teratur.
Karena hal-hal tersebut akan turut mempengaruhi anggota keluarga dalam
mengembangkan hubungannya di luar rumah.
3. Saran untuk Peneliti Selanjutnya
Bagi peneliti yang ingin melakukan penelitian dengan pokok bahasan yang
sama, yaitu:
a. Jika menggunakan skala adaptasi dari luar negeri, hendaknya mencermati
kembali aitem-aitem yang ada sehingga tidak ada pengaruh konteks budaya
didalamnya.
b. Mengganti subjek penelitian misalnya dengan subjek yang mempunyai
perilaku yang bermasalah (perilaku yang menyimpang). Karena kualitas
persahabatan juga berasosiasi dengan perilaku yang bermasalah atau
menyimpang.
c. Jika masih menggunakan subjek yang sama (remaja) dengan penelitian ini
dapat memperbanyak jumlahnya.
d. Menggunakan alternatif lain dalam pengambilan data, yaitu dengan observasi
dan wawancara.
DAFTAR PUSTAKA
Buku & Jurnal :
Aydin, B & Oztutuncu, F. 2001. Examination Of Adolescent’s Negative Thoughts,
Depressive Moods, And Family Environment – Statistical Data Included.
Journal of Adolescence, Spring, 2001.
Brendgen, M., Markiewicz, D., Doyle, A., & Bukowski, W. 2001. The Relations
Between Friendship Quality, Ranked-Friendship Preference, And Adolescents’
Behavior With Their Friends. Merrill-Palmer Quarterly.
Black, K. 2002. Associations Between Adolescent-Mother And Adolescent-Best
Friend Interactions – Statistical Data Included. Journal of Adolescence,
Summer, 2002.
Cillesen, A.J., X., West, T., & Laszkowski, D.K. 2005. Predictors Of Dyadic
Friendship Quality In Adolescence. International Journal of Behavioral
Development 2005; 29; 165.
Cobb, Nancy J. 2007. Adolescence Continuity, Change And Diversity 6th Edition.
McGraw Hill International Edition.
Engels, R., Dekovic, M & Meeus, W. 2002. Parenting Practices, Social Skills And
Peer Relationship In Adolescence. Journal of Social Behavior and Personality.
Field, T & Diego, M. 2002. Adolescents’ Parent And Peer Relationships –
Statistical Data Included. Journal of Adolescence, Spring, 2002.
Grime, L. R. 2005. Social Perspective-Taking, Intimate Friendship, And The
Adolescent Transition To Mutualistic Moral Judgment. Dissertation. Ohio
State University.
Johnson, H.D., La Voice, J. C., & Mahoney, M. 2001. Interparental Conflict And
Family Cohesion Predictors of Loneliness, Social Anxiety, And Social
Avoidance In Late Adolescence. Journal of Adolescent Research, Vol. 16, No.
3 May 2001 304-318.
Jones, D. J., Forehand, R., & Beach, S. R. H. 2000. Maternal And Paternal During
Adolescence: Forecasting Early Adult Psychosocial Adjustment. Journal of
Adolescence, Fall, 2000.
Hartmann, P. B. 2002. Family Functioning And Anorexia Nervosa: The Issue
Control. Thesis. School of Aplied Psychology Griffith University
Harvey, M & Byrd, M. 2000. Relationships Between Adolescents’ Attachment
Styles And Family Functioning. Journal of Adolescence, Summer 2000.
Hum, M. 1999. A Cross-Cultural Study Of The Dimensions Of Friendship
Quality. Thesis. Ontario Institute for Studies in Education of The University of
Toronto.
Keley, D. L & Sequeira, D. L. 1997. Understanding Family Functioning In A
Changing America. Communication Studies, Summer 1997.
Kimmel, D & Weiner, I. 1995. Adolescence : A Developmental Transition 2nd ed.
John Wiley & Sons Inc.
Mandara, J & Murray, C. B. 2002. Developmental Of An Empirical Typology Of
African
American
Family
Functioning.
Journal
of
Family
Psychology,16(3):318-337.
Martin, D & Martin, M. 2000. Understanding Dysfunctional And Functional
Family Behavior For The At-risk Adolescent. Journal of Adolescence, Winter
2000.
Phebe, L.F.W. 2007. Peer Relation In Preadolescent : Associations Between
Friendship Quality, Peer Acceptance And Parental Management In Peer
Relationships.
Thesis.
http//dspace.cityu.edu.hk/bitstream/2031/5115/1/fulltext.html 01/04/08.
Robinson, L. C. 2000. Interpersonal Relationship Quality In Young Adulthood: A
Gender Analysis – Statistical Data Included. Journal of Adolescence, Winter
2000.
Smith, M., Elliot, I., & Lach, L. 2004. Cognitive, Psychosocial & Family Function
One Year After Pediatric Epilepsy Surgery. Epilepsia 45 (6): 650-660.2004.
Blackwell Publishing Inc.
Sprinthall, N & Collins, W. 1995. Adolescent Psychology A Developmental
Review 3rd Edition. McGraw-Hill Inc.
Way, N & Chen, L. 2000. Close And General Friendships Among African
American, Latino, And Asian American Adolescents From Low-Income
Families. Journal of Adolescence Research, Vol. 15 No. 2, March 2000.
Website :
Kafegaul.
2008.
Mencari
Sahabat
Sejati,
Sulitkah
http://forum.kafegaul.com/showthread.php?t=173914 10/03/08
___________.
2007.
Mencari
Teman
Sebagai
http//forum.kafegaul.com/archive/index.php/t-158227.html 10/03/08.
Kompas, 2004. Persahabatan itu Penting.
cetak/0407/23/muda/1164782.html 10/03/08.
?.
Adult.
http://64.203.71.11/kompas-
Mental
Health.
2007.
Making
And
Keeping
Friends
A Self-Help Guide. http//mentalhealth.samhsa.gov/publications/allpubs/sma3716/making.asp. 01/04/08
Roehlkepartain, E. C. 1992. The Ups and Downs of Teen Friendship.
http://www.search-institute.org/archives/udtf.html 10/03/08
Search-insitute, 2002. Building Strong Families.
institute.org/families/InfluenceofParents.pdf 17/04/08.
http://www.search-
Download