BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tuberkulosis (TBC) adalah penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh Mycobacterium Tuberculosis dan bersifat kronis serta bisa menyerang siapa saja (laki-laki, perempuan, tua, muda, miskin, kaya, dan sebagainya) (Misnadiarly, 2006). Penyakit ini menyebar melalui droplet orang yang telah terinfeksi basil tuberkulosis dan umumnya terjadi di dalam ruangan dimana droplet dapat tinggal di udara dalam waktu lebih lama. Basil tuberkel dapat mati dengan cepat di bawah sinar matahari langsung tetapi dalam ruangan yang gelap dan lembab dapat bertahan sampai beberapa jam. Faktor penentu keberhasilan pemaparan tuberkulosis pada individu baru yakni konsentrasi droplet dalam udara dan panjang waktu individu bernapas dalam udara yang terkontaminasi tersebut di samping daya tahan tubuh yang bersangkutan (Wahid dan Suprapto, 2014). Sejak tahun 1993, World Health Organization (WHO) menyatakan bahwa TBC merupakan kedaruratan global bagi kemanusiaan. Walaupun strategi Directly Observed Treatment Shortcourse Chemoterapy (DOTS) telah terbukti sangat efektif untuk pengendalian TBC, tetapi beban penyakit TBC di masyarakat masih sangat tinggi. Dengan berbagai kemajuan yang dicapai sejak tahun 2003, diperkirakan masih terdapat sekitar 9,5 juta kasus baru TBC, dan sekitar 0,5 juta orang meninggal akibat TBC di seluruh dunia (Kepmenkes RI, 2009). Kegelisahan global ini didasarkan pada fakta bahwa pada sebagian besar negara di 1 2 dunia, penyakit tuberkulosis tidak terkendali, hal ini disebabkan banyak penderita yang tidak berhasil disembuhkan, terutama penderita menular (Wahid & Suprapto, 2014). Indonesia termasuk ke dalam kelompok negara dengan risiko tinggi, menempati urutan ketiga setelah India dan China (Kepmenkes RI, 2009). India, Cina dan Indonesia berkontribusi lebih dari 50% dari seluruh kasus TBC yang terjadi di 22 negara. Tahun 2010 Indonesia turun ke peringkat ke-5 dunia dalam hal jumlah penderita TBC (WHO, 2010). Jumlah kasus baru Basil Tahan Asam (BTA) positif yang ditemukan di Indonesia pada tahun 2012 sebanyak 202.301 kasus. Jumlah tersebut sedikit lebih tinggi bila dibandingkan kasus baru BTA (+) yang ditemukan tahun 2011 yang sebesar 197.797 kasus. Jumlah kasus tertinggi yang dilaporkan terdapat di propinsi dengan jumlah penduduk yang tinggi yaitu Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Kasus baru di tiga propinsi tersebut sekitar 40% dari jumlah seluruh kasus baru di Indonesia (Kemenkes RI, 2013). Proporsi kasus TBC Anak di antara semua kasus TBC di Indonesia yang tercatat dalam program TBC berada dalam batas normal yaitu 8-11%, tetapi apabila dilihat pada tingkat propinsi sampai fasilitas pelayanan kesehatan menunjukkan variasi proporsi yang cukup lebar yaitu 1,8-15,9%. Data TBC anak di Indonesia menunjukkan proporsi kasus TBC Anak di antara semua kasus TBC pada tahun 2010 adalah 9,4%, kemudian menjadi 8,5% pada tahun 2011 dan 8,2% pada tahun 2012. Kasus BTA positif pada TBC anak tahun 2010 adalah 5,4% dari semua 3 kasus TBC anak, sedangkan tahun 2011 naik menjadi 6,3% dan tahun 2012 menjadi 6% (Kemenkes RI, 2013). Tuberkulosis anak adalah penyakit TBC yang terjadi pada anak usia 0-14 tahun dan merupakan masalah khusus yang berbeda dengan TBC pada orang dewasa. Tuberkulosis anak merupakan faktor penting di negara-negara berkembang karena jumlah anak berusia kurang dari 14 tahun adalah 40−50% dari jumlah seluruh populasi. Sekurang-kurangnya ada 500.000 anak di dunia yang menderita TBC setiap tahunnya dan 70.000 anak meninggal setiap tahun akibat TBC (Kemenkes RI, 2013). Tuberkulosis anak hampir selalu berasal dari penularan tuberkulosis paru orang dewasa, dimana selama tuberkulosis paru dewasa masih menjadi permasalahan, maka tuberkulosis anak akan tetap menjadi permasalahan karena penderita tuberkulosis dewasa akan menjadi sumber penularan bagi keluarga dan lingkungannya (Kuswantoro, 2002). Anak usia di bawah lima tahun mempunyai risiko lebih besar mengalami progresi infeksi menjadi sakit TBC karena imunitas selulernya belum berkembang sempurna (Ajis, 2009). Faktor risiko penularan TBC pada anak berdasarkan banyak penelitian yang sudah dilakukan diantaranya dipengaruhi oleh kepadatan hunian, pencahayaan, ventilasi, kelembaban udara, kontak erat, status gizi, perilaku pencegahan, status imunisasi BCG, status sosial ekonomi, kebiasaan merokok, dan pengetahuan (Diani, 2011). Menurut Kemenkes RI (2013), faktor risiko penularan TBC pada anak yang 4 paling mendasar tergantung dari tingkat penularan (derajat sputum BTA penderita dewasa), lamanya kontak, dan status gizi anak. Pasien TBC dengan BTA positif memberikan kemungkinan risiko penularan lebih besar dari pada pasien TBC dengan BTA negatif, meskipun masih memiliki kemungkinan menularkan penyakit TBC. Tingkat penularan pasien TBC BTA positif adalah 65%, pasien BTA negatif dengan hasil kultur positif adalah 26% sedangkan pasien TBC dengan hasil kultur negatif dan foto thoraks positif adalah 17% (Kemenkes RI, 2013). Semakin sering terpajan dan lama kontak, makin besar pula kemungkinan terjadi penularan. Sumber penularan bagi bayi dan anak yang disebut kontak erat adalah orangtuanya, orang serumah atau orang yang sering berkunjung dan sering berinteraksi langsung. Penularan TBC pada anak juga dipengaruhi oleh daya tahan tubuh anak. Daya tahan tubuh adalah sesuatu yang dimiliki oleh semua orang yaitu kemampuan yang dimiliki tubuh kita untuk melindungi diri dari berbagai serangan penyakit dan serangan kuman. Akan tetapi yang membedakannya dari setiap orang adalah daya tahan tubuh yang satu dengan yang lainnya berbeda dipengaruhi oleh nutrisi, lingkungan, pola hidup dan genetik. Status gizi seseorang sangat erat kaitannya dengan permasalahan individu, karena merupakan faktor predisposisi yang dapat memperparah penyakit infeksi, juga dapat menyebabkan terjadinya gangguan kesehatan. 5 Keadaan malnutrisi atau kekurangan kalori, vitamin, protein, zat besi, dan lainlain akan mempengaruhi daya tahan tubuh seseorang sehingga rentan terhadap penyakit termasuk tuberkulosis. Keadaan ini merupakan faktor penting yang berpengaruh, baik pada orang dewasa maupun pada anak-anak. Berat badan adalah salah satu parameter yang memberikan gambaran masa tubuh. Masa tubuh sangat sensitif terhadap perubahan-perubahan yang mendadak seperti terkena infeksi. Berdasarkan karakteristik ini, maka indeks berat badan dibagi umur digunakan sebagai salah satu cara pengukuran status gizi. Gizi buruk akan berpengaruh terhadap menurunnya daya tahan tubuh seseorang yang akhirnya akan mempengaruhi seseorang menderita tuberkulosis (Depkes RI, 2000). Program penanggulangan TBC dengan strategi DOTS di Kabupaten Sumba Timur sudah dimulai sejak tahun 1995, namun pengelolaan program dengan dukungan dana yang memadai baru dikembangkan pada tahun 2004 dengan bantuan Global Fund (GF) yang menetapkan 6 Puskesmas Rujukan Mandiri (PRM) dan 15 Puskesmas Satelit (PS). Berdasarkan data 4 tahun terakhir (tahun 2010-2013), ditemukan kasus TBC Paru sebanyak 1.521 orang dengan kasus TBC Anak sebanyak 122 orang. Tahun 2012 ditemukan sebanyak 375 kasus TBC Paru dan TBC anak sebanyak 31 kasus, tahun 2013 sebanyak 456 kasus TBC Paru dan kasus TBC anak sebanyak 24 kasus. Kasus TBC anak tertinggi tahun 2013 terdapat di wilayah kerja Puskesmas Kawangu yaitu sebanyak 5 kasus dari total 24 kasus TBC anak Kabupaten dengan kasus TBC Paru dewasa sebanyak 49 orang. Data terakhir tahun 2014, ditemukan penderita TBC Paru dewasa sebanyak 6 41 orang dan kasus TBC anak sebanyak 16 orang (Dinas Kesehatan Kabupaten Sumba Timur, 2014). Melihat masih tingginya angka kejadian TBC Paru dewasa dan kejadian infeksi TBC anak yang tinggal serumah dengan penderita dan faktor risiko yang mempengaruhi terjadinya infeksi tersebut maka sangat diperlukan penanganan yang tepat terkait dengan program penanggulangan infeksi TBC anak pada tinggal serumah. Bertitik tolak dari permasalahan tersebut maka peneliti tertarik untuk meneliti “Faktor risiko yang berhubungan dengan infeksi TBC pada anak yang tinggal serumah dengan pasien Tuberkulosis Paru dewasa di Puskesmas Kawangu Kabupaten Sumba Timur Nusa Tenggara Timur” 1.2. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian pada latar belakang diatas maka masalah penelitian dapat dirumuskan yaitu “Faktor risiko apa yang berhubungan dengan infeksi TBC pada anak kontak serumah dengan penderita Tuberkulosis Paru dewasa di Puskesmas Kawangu Kabupaten Sumba Timur?” 1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan Umum Untuk mengetahui faktor risiko yang berhubungan dengan infeksi TBC pada anak kontak serumah dengan penderita Tuberkulosis Paru dewasa di Puskesmas Kawangu Kabupaten Sumba Timur. 7 1.3.2. Tujuan Khusus a. Mengidentifikasi derajat sputum BTA penderita tuberkulosis paru dewasa. b. Mengidentifikasi lamanya kontak penderita tuberkulosis paru dewasa dengan anak yang terinfeksi kuman TBC. c. Mengidentifikasi status gizi anak yang terinfeksi kuman TBC yang kontak serumah dengan penderita tuberkulosis paru dewasa. d. Menganalisis hubungan derajat sputum BTA terhadap infeksi TBC anak yang kontak serumah dengan penderita tuberkulosis paru dewasa. e. Menganalisis hubungan lamanya kontak penderita tuberkulosis paru dewasa yang kontak serumah terhadap infeksi TBC anak. f. Menganalisis hubungan status gizi terhadap infeksi TBC anak yang kontak serumah dengan penderita tuberkulosis paru dewasa. g. Menganalisis faktor risiko yang dominan berhubungan dengan infeksi TBC anak kontak serumah dengan penderita tuberkulosis paru dewasa. 1.4. Manfaat Penelitian 1.4.1. Manfaat Praktis a. Memberikan gambaran pada keluarga tentang gejala TBC pada anak serta faktor risiko yang mempengaruhi timbulnya TBC pada anak. b. Memberikan gambaran kepada pengelola program TBC Puskesmas dalam pengembangan promosi dan preventif pada penatalaksanaan program TBC. 8 c. Sebagai dasar pengambilan keputusan bagi Pemerintah Daerah Kabupaten Sumba Timur dalam mencegah dan memberantas penyakit TBC di Kabupaten Sumba Timur. 1.4.2. Manfaat Teoritis a. Hasil penelitian ini dapat digunakan untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dibidang penyakit infeksi menular. b. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai data dasar untuk melaksanakan penelitian lebih lanjut. 1.5. Keaslian Penelitian Penelitian tentang faktor risiko yang yang berhubungan dengan infeksi TB pada anak yang tinggal serumah dengan penderita tuberkulosis paru dewasa belum pernah dilakukan di Puskesmas Kawangu, namun ada beberapa penelitian sejenis yang pernah dilakukan: 1.5.1. Penelitian oleh Yulistyaningrum dan Dwi Sarwani Sri Rejeki (2010) Hubungan riwayat kontak penderita Tuberkulosis paru (TB) dengan kejadian TB paru anak di Balai Pengobatan Penyakit Paru-paru (BP4) Purwokerto. Penelitian ini mencari hubungan riwayat kontak TB dengan kejadian TB paru anak dan hubungan antara variabel perancu (status ekonomi, status imunisasi BCG dan keberadaan perokok di dalam rumah) dengan variabel bebas (riwayat kontak TB) dan variabel terikat (kejadian TB paru anak). Penelitian ini menggunakan metode survei analitik dengan pendekatan Case Control Study. Penelitian dilakukan di Balai Pengobatan Penyakit Paru-Paru (BP4) Purwokerto dengan sampel penelitian 9 berjumlah 76 orang yaitu 38 sampel kasus dan 38 sampel kontrol. Analisis data meliputi analisis bivariat dengan uji Chi-Square dan analisis berstrata dengan uji Mantel Haenszel. Hasil penelitian didapatkan bahwa ada hubungan yang bermakna antara riwayat kontak TB dengan kejadian TB paru anak di BP4 Purwokerto dan tidak dipengaruhi oleh variabel status ekonomi, status imunisasi BCG dan keberadaan perokok di dalam rumah. 1.5.2. Nur Lina, Lilik Hidayanti, Eti Rahmawati (2008) Beberapa faktor yang berhubungan dengan kejadian tuberkulosis pada anak di kota Tasikmalaya (studi di Puskesmas Cigeureung, Cipedes, Bantarsari kota Tasikmalaya). Penelitian ini mencari hubungan antara status imunisasi BCG, status gizi, luas ventilasi rumah, adanya kontak dengan penderita, dan pengetahuan ibu dengan kejadian tuberkulosis pada anak. Penelitian dilakukan dengan metode survei, jenis penelitian adalah explanatory dengan pendekatan cross sectional. Populasi penelitian adalah anak usia 3 bulan sampai dengan 14 tahun yang berobat ke Puskesmas Bantarsari, Cigeureung, Cipedes Kota Tasikmalaya dari bulan April sampai dengan bulan September 2008 sebanyak 56 orang. Sampel penelitian merupakan total populasi. Analisis data dengan analisis univariat dan analisis bivariat dengan uji statistik chi-square. Hasil penelitian didapatkan ada hubungan bermakna antara status imunisasi BCG, status gizi, luas ventilasi rumah, kontak dengan penderita batuk lama dan tingkat pengetahuan ibu dengan kejadian tuberkulosis pada anak. 10 1.5.3. Anwar Musadad (2002) Hubungan faktor lingkungan rumah dengan penularan TB paru kontak serumah. Penelitian ini merupakan studi cross sectional. Populasi penelitian adalah seluruh rumah tanggga yang didalamnya terdapat penderita TB paru dewasa dengan sampel adalah seluruh rumah tangga yang didalamnya terdapat penderita TB paru dan mempunyai balita. Analisis data dilakukan uji beda proporsi dengan menggunakan chi-square. Dari penelitian ini disimpulkan bahwa angka kejadian penularan TB paru kontak serumah sebesar 13%. Faktor yang berperan dalam penularan kontak serumah tersebut adalah masuknyasinar matahari langsung ke dalam rumah. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan di atas, terdapat perbedaan dengan penelitian yang akan dilakukan diantaranya variabel bebas yang akan diteliti yang mana lebih difokuskan pada sumber penularan dan transmisinya (darajat sputum BTA dan lamanya kontak) serta daya tahan tubuh anak (status gizi). Terdapat perbedaan pula pada sampel yang diteliti serta waktu dan tempat penelitian yang akan dilakukan. Mengingat keterbatasan peneliti dalam masalah kepustakaan, tidak menutup kemungkinan bahwa variabel dan teknik pengukuran yang diteliti adalah sama dengan peneliti lain yang belum penulis temukan sebagai referensi.