tinjauan pustaka

advertisement
TINJAUAN PUSTAKA
Biologi Ikan Mas (Cyprinus carpio)
Di Indonesia ikan mas memiliki nama sebutan lain yakni kancera, tikeu,
tombro, raja, rayo, ameh atau nama lain sesuai dengan daerah penyebarannya.
Adapun sistematika ikan mas ini adalah sebagai berikut :
Kingdom : Animalia
Filum
: Chordata
Class
: Actinopterygii
Ordo
: Cypriniformes
Family
: Cyprinidae
Genus
: Cyprinus
Spesies
: carpio (Linnaeus, 1978)
Secara marfologis ikan mas mempunyai bentuk tubuh yang agak
memanjang dan memipih tegak (fusiform). Mulut terletak di ujung tengah dan
dapat disembulkan. Pada bagian anterior terdapat dua sungut berukuran pendek.
Secara umum hampir seluruh permukaan tubuh ikan mas ditutupi sisik dan hanya
sebagian kecil saja yang tubuhnya tidak ditutupi sisik. Sisik ikan mas cenderung
berukuran relatif besar dan digolongkan dalam tipe sisik sikloid berwarna hijau,
biru, merah, kuning, keemasan atau kombinasi dari warna-warna tersebut sesuai
dengan rasnya. Kebanyakan ikan mas mempunyai beberapa sirip yaitu sirip
pectoral, sirip pelvic, sirip dorsal, sirip anal dan sirip caudal. (Hoole et al. 2001)
Ikan mas secara umum termasuk kedalam golongan omnivora. Di alam,
ikan mas memakan larva molusca, cacing dan tanaman yang ada di sedimen tanah
(Hoole et al. 2001). Ikan mas juga mampu menerima makanan beragam mulai
dari pakan alami hingga pakan buatan. Umumnya komposisi pakan buatan yang
diberikan terdiri dari 25 – 40 % protein dan 3 – 6 % lemak. Tingkat pemberian
pakan optimum bagi ikan mas sangat tergantung dari umur, ukuran ikan, suhu air,
ketersediaan pakan alami dan kualitas pakan yang akan diberikan
(Stickney
1993).
Musim panas merupakan musim dimana secara alami ikan mas memijah.
Ikan mas mudah berkembang biak dalam lingkungan budidaya dengan suhu
4
optimum memijah pada temperatur perairan mencapai 18 – 24 0C. Ikan mas akan
menempelkan telurnya di permukaan tanaman atau bebatuan (Stickney 1993)
Kondisi kualitas air yang dibutuhkan ikan mas agar bisa tumbuh menurut
Huet (1994) terjadi pada suhu 20 0C – 28 0C, kadar oksigen > 4 mg/L, total
ammonia nitrogen < 0,2 mg/L, nitrit < 0,03 mg/L dan pH air berkisar antara 6,5 –
8,0.
Ikan mas dapat dibudidayakan secara polikultur (budidaya dengan jenis ikan
lain) maupun monokultur baik dilakukan pada kolam tanah, kolam air deras
maupun karamba jaring apung. Secara umum di karamba jaring apung ikan mas
ukuran 10 – 25 gr/ekor dapat dipelihara dengan kepadatan 400-500 ekor/m3
(Jangkaru 2002). Namun saat ini untuk memenuhi kebutuhan konsumsi, ikan yang
ditebar bisa lebih padat lagi.
Hal inilah yang memicu penurunan dari daya
dukung lingkungan perairan umum yang biasa digunakan untuk kegiatan
budidaya.
Salinitas dan Osmoregulasi
Salinitas adalah suatu ukuran dari jumlah garam dalam satu kilogram air
laut jika semua karbonat telah diubah menjadi oksida, semua bromide dan iodide
diganti dengan khlorida dan bahan-bahan organiknya telah dioksidasi (Robert
1978). Salinitas juga dinyatakan dalam gram per kilogram air laut atau part per
thousand (ppt) (Boyd 1984).
Salinitas berhubungan erat dengan tekanan osmotik air baik air sebagai
media internal maupun eksternal.
Perubahan salinitas akan menyebabkan
perubahan pada tekanan osmotik air. Menurut Anggoro (1992) sifat osmotik dari
air berasal dari seluruh ion yang terlarut tersebut. Semakin besar jumlah ion yang
terkonsentrasi di dalam air maka tingkat salinitas dan kepekatan osmolar larutan
semakin tinggi sehingga tekanan osmotik media makin besar.
Ikan-ikan air tawar mempunyai tekanan osmotik cairan internal (dalam
tubuh) lebih besar dari tekanan osmotik eksternal (lingkungan) sehingga garamgaram cenderung keluar sedangkan air cenderung masuk ke dalam tubuh. Hal
sebaliknya terjadi pada ikan-ikan laut, oleh sebab itu dibutuhkan proses
pengaturan tekanan osmotik untuk mengontrol keseimbangan osmotik antara
5
cairan didalam tubuh dengan air sebagai media hidupnya. Pengaturan osmotik ini
dilakukan dengan mekanisme osmoregulasi (Affandi dan Tang 2002).
Menurut
Marshall
dan
Grosell
(2006)
berdasarkan
mekanisme
osmoregulasinya organisme akuatik terbagi atas tiga golongan :
1. Osmoconformer : adalah organisme akuatik yang tidak mempunyai
kemampuan mengatur garam serta osmolaritas cairan internalnya
dimana osmolaritas cairan tubuh selalu berubah mengikuti kondisi
osmolaritas medianya.
2. Hypo-Osmoregulator : adalah organisme akuatik yang mempunyai
kemampuan mengatur keseimbangan osmotik antara cairan intrasel yang
lebih rendah daripada cairan ekstraselnya. Hypo-Osmoregulator umum
terjadi pada ikan teleostei air laut.
3. Hyper-Osmoregulator : adalah organisme akuatik yang mempunyai
kemampuan mengatur keseimbangan osmotik antara cairan intrasel yang
lebih tinggi daripada cairan ekstraselnya. Hyper-Osmoregulator umum
terjadi pada ikan teleostei air tawar
Menurut Shepherd dan Bromage (1992) ikan teleost air tawar mempunyai
konsentrasi osmotik cairan tubuh sekitar 300-400 mOsm/kg atau setara dengan
salinitas 11 ppt.
Konsentrasi ini lebih tinggi dari lingkungan eksternal yang
umumnya kurang lebih mempunyai konsentrasi sekitar 5 mOsm/kg. Pada kondisi
tresebut ion-ion cenderung keluar dari dalam tubuh secara difusi dan cairan
internal akan kekurangan ion karena proses eksresi. Air dari media/lingkungan
hidup mempunyai kecenderungan untuk menembus masuk ke dalam bagian tubuh
ikan yang mempunyai dinding tipis seperti permukaan insang, usus dan kulit.
Kelebihan air ini akan diekresikan melalui ginjal sebagai urin yang sangat encer.
Pengaturan ionik dan osmotik pada ikan teleost air tawar diatur oleh organ insang,
ginjal dan usus (Alvarellos et al. 2003).
Menurut Morgan dan Imawa (1991) ikan yang dipelihara pada media yang
mempunyai salinitas yang hampir sama dengan konsentrasi plasma atau cairan
tubuhnya, maka energi yang dibutuhkan untuk proses osmoregulasi akan cukup
kecil dan akan lebih banyak digunakan untuk proses pertumbuhan. Secara umum
menurut Brett
(1979) kebanyakan ikan air tawar mengalami penurunan
6
pertumbuhan pada salinitas 15 ppt tetapi pada beberapa jenis ikan air tawar
lainnya pada salinitas 15 ppt dapat menyebabkan kematian.
Salinitas merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap
pemanfaatan pakan dan pertumbuhan ikan (Kinne dalam
Holliday 1969).
Pengaruh langsung salinitas adalah efek osmotiknya terhadap osmoregulasi,
kemampuan digesti dan absorpsi nutrien.
Berdasarkan penelitian beberapa spesies ikan air tawar mempunyai toleransi
yang sangat tinggi terhadap salinitas dan dapat dibudidayakan di air tawar, payau
bahkan di air laut. Menurut Pirzan dan Tahe (1995) ikan nila (Oreochromis
niloticus) bertahan hidup hingga salinitas 30 ppt namun pertumbuhan ikan nila
terbaik tercatat pada salinitas 20 ppt. Bahkan ikan nila juga terbukti bertahan
hidup hingga 40 ppt selama 55 hari dalam kondisi kronik dan dalam kondisi akut
hanya bertahan 7 hari dengan salinitas 20 ppt (Schofield et al. 2007). Ikan nila
dikategorikan ke dalam organisme akuatik eurihaline yaitu mampu bertahan pada
perubahan konsentrasi salinitas yang tinggi (Mege 1993).
Ikan mas mampu bertahan hidup hingga salinitas 10 – 11 ppt namun
pertumbuhan optimum dicapai pada salinitas 5 ppt (Huet 1994). Hal serupa juga
terjadi pada African Catfish (Clarias gariepinus). Ikan ini mempunyai toleransi
terhadap salinitas hingga 15 ppt. Pada salinitas 0 - 2 ppt merupakan salinitas
optimum bagi perkembangan telur dan larva African catfish.
Peningkatan
salinitas akan menghambat penetasan dan perkembangan telur dan larva yang
ditandai dengan meningkatnya kelainan bentuk pada larva.
Kenyataan ini
menunjukkan bahwa ikan mas dan African Catfish adalah organisme akuatik
stenohaline (Borode et al. 2002). Organisme stenohaline hanya mampu bertahan
hidup pada lingkungan air tawar hingga salinitas media mencapai sepertiga air
laut atau setara dengan 0.625 Osm/kg (Marshall dan Grosell 2006).
Dengan demikian jika ikan stenohaline dipelihara pada media dengan
salinitas di luar kisaran toleransinya maka ikan tersebut akan membutuhkan energi
yang lebih besar untuk melakukan kerja osmotik. Jika energi yang dibutuhkan
untuk
mempertahankan
tekanan
osmotik
semakin
tinggi
maka
organ
osmoregulator harus bekerja keras untuk proses tersebut. Kegagalan dalam
7
mempertahankan tekanan osmotik akan berdampak pada kerusakan jaringan,
konsumsi pakan, pertumbuhan bahkan bisa mengakibatkan kematian.
Patologi Ikan Mas
Salinitas air sangat menentukan keseimbangan pengaturan tekanan osmotik
cairan tubuh dan mempengaruhi
penurunan pada metabolisme, tingkah laku,
pertumbuhan dan kemampuan bereproduksi. Menurut Hoole et al. (2001)
gangguan terhadap proses osmoregulasi dapat mengakibatkan dropsy (akumulasi
cairan didalam abdomen) yang disebabkan karena akumulasi cairan dalam otot
yang terbendung.
Perubahan pada komposisi cairan tubuh bisa juga disebabkan karena
pengaruh lingkungan seperti perubahan salinitas, temperatur, kandungan oksigen
dan karbondioksida dalam air serta keberadaan dari polutan. Salinitas juga dapat
mengakibatkan stress pada ikan mas sehingga dalam kondisi tersebut sekresi
mukus akan meningkat (Eddy dan Penrice 1998).
Stress didefenisikan sebagai suatu tahapan perubahan fisiologi yang
disebabkan karena lingkungan atau faktor lainnya yang melebihi batas normal
sehingga mempengaruhi proses adaptasi dan fungsi normalnya (Robert 1978).
Perubahan-perubahan yang terjadi sebagai tanggapan (reaksi) terhadap stress
lingkungan
(General Adaptation Syndrom
= GAS) meliputi : (1) Reaksi
permulaan (alarm reaction), (2) Masa bertahan (stage of resistance) dimana
hewan berusaha menyesuaikan diri untuk tetap mempertahankan keseimbangan
fisiologis (homeostasis) didalam keadaan lingkungan yang berubah-ubah, (3)
Masa kehabisan daya (exhaustion) dimana usaha-usaha adaptasi terhenti dan
homeostasis tidak tercapai.
Respon ikan dalam kondisi stress secara umum menurut Iwama et al. (2006)
terbagi atas tiga tahapan yaitu (1) Respon primer berupa gelisah dan perubahan
hormonal antara lain berupa peningkatan kortikosteroid dan katekholamin (2)
Respon sekunder antara lain perubahan metabolik, gangguan osmoregulasi,
perubahan gambaran darah dan fungsi imun (3) Respon tersier yang terlihat pada
kematian individu dan dan berkurangnya populasi.
Dalam kondisi stress yang parah, ikan akan mengalami penurunan cadangan
energi, dan terganggunya keseimbangan asam basa. Jika hal ini terjadi dalam
8
jangka waktu yang lama akan mempengaruhi pertumbuhan, reproduksi dan
immunosupresi (Bonga dan Lock 1992). Hal yang paling mudah terlihat adalah
menurunnya nafsu makan dan konsumsi pakan. Menurut Liebert dan Schrect
(2006) dalam percobaannya pada juvenile ikan Steelhead Trout (Onchorhynchus
mykiss) yang dipindahkan dari lingkungan air tawar ke lingkungan air laut
menunjukkan bahwa stress tidak secara signifikan menurunkan nafsu makan. Hal
ini sangat dipengaruhi oleh stadia ikan dan waktu yang diperlukan untuk proses
homeostasis.
Pada organisme akuatik seperti ikan, terdapat beberapa organ yang berperan
dalam proses osmoregulasi yaitu insang, ginjal, dan usus (Alvarellos et al. 2003).
Sedangkan menurut Affandi dan Tang (2002) selain organ insang, ginjal dan usus,
organ kulit juga berperan dalam proses tersebut.
Pada hewan darat sebagai pengganti paru-paru, ikan dilengkapi dengan
organ insang.
Luas permukaan dari insang dapat menyerupai luas dari total
permukaan kulit bahkan pada sebagian besar spesies ikan mempunyai luas
permukaan epitel yang jauh melebihi kulit sehingga insang merupakan organ
penting yang berperan dalam menjaga homeostasi (Nabib dan Pasaribu 1989).
Menurut Evans (1987) insang merupakan tempat utama dalam proses
pertukaran gas (respirasi), pengaturan ionik (ion transport), pengaturan
keseimbangan asam basa dan pengeluaran produk buangan seperti ammonia.
Sebagai tambahan, insang juga merupakan tempat pengambilan, biotransformasi
dan ekresi dari bahan-bahan toksik.
Pada insang terdapat sel klorida yang melakukan transpor aktif kelebihan
anion monovalen Na+ dan Cl- melawan gradien konsentrasi kembali ke
media/lingkungan. Sumber utama energi untuk transpor aktif disediakan oleh
mitokondria yang berhubungan dengan Na+ - K+ ATP yang terletak disepanjang
basolateral dan pada sistem mikrotubular sel klorid yang secara ektensif dan aktif
melakukan transpor Na+ keluar sel untuk bertukar dengan K+ ke dalam sel (Moyle
dan Cech 2004)
Insang merupakan organ yang secara marfologi dan fisiologi paling sensitif
terhadap pengaruh perubahan lingkungan, diantaranya perubahan fisika kimia air,
mikroorganisme dan bahan toksik. Lamela insang merupakan target yang paling
9
lemah. Adanya faktor penekan (stressor) akan secara langsung mempengaruhi
homeostasis ion yang juga berpengaruh terhadap proses osmoregulasi.
Jika
stressor ini bersifat kronik, akan memberikan efek negatif terhadap pertumbuhan
dan reproduksi (Eddy 1981 dalam Bonga dan Lock 1992). Munculnya kelainan
atau kerusakan pada insang secara makroskopis ataupun mikroskopis bisa
digunakan sebagai biomarker ataupun tanda peringatan terhadap tingkat kesehatan
ikan (Camargo dan Martinez 2007).
Beberapa informasi tentang perubahan patologi (histopatologi) telah banyak
dilakukan dan salah satunya adalah kajian tentang perubahan patologi karena
stress lingkungan. Menurut Bonga dan Lock (1992) perubahan struktur pada
insang yang disebabkan karena stress lingkungan diantaranya : terangkatnya sel
epitel (epithelium lifting), nekrosis pada sel penyangga dan sel klorid, epitel yang
menggembung (epithelial swelling) yang disebabkan karena meningkatnya jarak
interseluler, luruhnya sel epitel (epithelium rupture), dan lamela yang bergabung
(lamella fusion). Kerusakan ini biasanya disertai juga dengan adanya hiperplasia,
hipertropi serta infiltrasi sel leukosit pada branchial epitelium.
Hal yang sama juga diungkapkan oleh Heat (1987) bahwa beberapa bahan
toksik dapat mengakibatkan perubahan pada struktur insang termasuk bahanbahan kimiawi yang bersifat stressor. Lesio yang biasa ditemukan diantaranya
adalah nekrosis, hiperplasia, inflamasi, terangkatnya sel epitel (epithelial lifting),
sel yang menggembung (cell swelling) dan hipersekresi mukus.
Menurut Thophon et al. (2003) salah satu organ target yang juga mengalami
perubahan karena stressor lingkungan adalah ginjal.
Ginjal ikan merupakan
organ yang sangat vital dan berperan dalam mempertahankan homeostasi. Fungsi
ginjal tidak hanya sebagai erythophoieses, tempat ekresi tetapi juga berfungsi
dalam proses penyaringan yang membantu dalam menyeimbangan volume dan
pH darah dengan cairan tubuh (Mohamed 2009).
Anatomi ginjal ikan bervariasi tergantung spesiesnya namun secara umum
anatomi ginjal ikan teleost terbagi atas dua yaitu pronephoros (head kidney) dan
mesonephoros (body kidney). Head kidney terdiri atas jaringan lymphoid yang
berperan dalam hematopoieses. Sedangkan bagian body kidney lebih banyak
berperan dalam proses ekresi dan filtrasi. Mesonephoros mempunyai unit-unit
10
yang disebut dengan nephron yang terdiri dari badan malphigi dan tubuli ginjal
(Takashima dan Hibiya 1995).
Badan malpigi terdiri dari glomerulus dan kapsul bowman yang keduanya
berfungsi untuk menyaring buangan metabolik dalam darah. Cairan eksretori ini
akan masuk ke dalam tubuli ginjal sedangkan beberapa mineral, glukosa dan
cairan lainnya akan diserap kembali. Jumlah glomerulus ginjal ikan air tawar
lebih banyak dan diameternya lebih besar daripada ikan air laut. Hal ini terkait
dengan fungsinya untuk lebih dapat menahan garam tubuh agar tidak keluar serta
mengeluarkan/memompa air keluar dengan mengeluarkan air seni yang encer
sebanyak-banyaknya (Affandi dan Tang 2002).
Perubahan patologi organ ginjal pada ikan yang terpapar oleh stressor
lingkungan diantaranya adalah adanya degenerasi di daerah tubul (cloudy swelling
dan hyaline droplet) serta perubahan didaerah corpuscle seperti dilatasi kapiler di
glomerulus dan atropi kapsul bowman (Camargo dan Martinez 2007). Perubahan
degeneratif yang parah menuju nekrotik juga di temukan di renal tubul,
pendarahan diantara renal tubul, edema di kapsul bowman, dan atropi glomerulus.
Menurut Camargo dan Martinez (2007) perubahan histopatologi yang terjadi di
ginjal sama seperti di insang tidak bisa di khususkan terhadap bahan stressor
tertentu namun perubahan yang terjadi adalah perubahan yang umum ditemukan
untuk semua kasus stress lingkungan.
Perubahan lingkungan juga memicu terjadinya perubahan patologi di organ
usus dan insang (Mohamed 2009). Usus ikan adalah organ yang dimulai dari
stomach hingga ke anus yang terdiri atas bagian duodenum, anterior, posterior dan
rektum. Panjang usus bervariasi tergantung dari spesies dan kebiasaan makan.
Namun secara umum usus ikan mempunyai bentuk yang sederhana berbentuk
sigmoid atau coiled dan mengikuti bentuk dari rongga perut (Robert 1978).
Lapisan terdalam dari segmen usus adalah lapisan mukosa yang mempunyai
tonjolan-tonjolan (villi) dan tersusun oleh selapis sel epitel. Bentuk sel yang
umum ditemukan pada epitel usus adalah enterosit yang mempunyai mikrovilli
yang berperan dalam penyerapan makanan (Affandi dan Tang 2002).
Usus ikan selain berfungsi sebagai organ pencernaan juga berperan dalam
proses osmoregulasi (Marshall dan Grosell 2006). Organ usus pada ikan air tawar
11
merupakan salah satu organ tempat masuknya air dari media eksternal karena
bagian tubuh tersebut cenderung tipis sehingga menungkinkan air keluar masuk
untuk mempertahankan keseimbangan cairan (Holliday 1969).
Pada ikan teleost air laut, karena media (lingkungannya) bersifat hipertonik
maka tubuh ikan akan kekurangan air. Oleh karena itu ikan akan teleost air laut
akan meminum air laut. Pada waktu meminum air laut ini ion – ion Na+ dan Clakan diserap darah. Air yang diminum (ditelan) dan masuk ke dalam usus telah
mengalami penawaran sehingga mudah diserap usus.
Pada ikan yang
diadaptasikan ke air laut terdapat peranan aktivitas Na+ - K+ ATP untuk transpor
natrium ke dalam melalui lumen lebih besar daropada pada ikan yang
diadaptasikan ke air tawar (Affandi dan Tang 2002).
Download