Hubungan Antara Locus of Control dengan Perilaku Prososial

advertisement
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Perilaku Perososial
2.1.1 Pengertian Perilaku Prososial
Perilaku
prososial
dapat
dimengerti
sebagai
perilaku
yang
menguntungkan penerima, tetapi tidak memiliki keuntungan yang jelas
bagi pelakunya, menurut Staub, 1978; Baron & Byrne, 1994 (dalam
Hudaniah, 2006). Lebih lanjut lagi William 1981 (dalam Hudaniah, 2006)
membatasi perilaku prososial sebagai perilaku yang memiliki intensi untuk
mengubah keadaan fisik atau psikologis penerima bantuan dari kurang baik
menjadi lebih baik, dalam arti secara material maupun psikologis, dan
tujuannya untuk meningkatkan well being orang lain. Sedangkan menurut
David O. Sears dkk (1994), mendefinisikan bahwa tingkah laku prososial
merupakan tingkah laku yang menguntungkan orang lain. Tingkah laku
prososial
meliputi
segala
bentuk
tindakan
yang
dilakukan atau
direncanakan untuk menolong orang lain, tanpa memperhatikan motif si
penolong. Selain itu, menurut Brigham 1991 (dalam Hudaniah, 2006)
bahwa perilaku prososial
mempunyai
maksud untuk
menyokong
kesejahteraan orang lain. Dengan demikian kedermawanan, menolong,
menyelamatkan, dan pengorbanan merupakan bentuk-bentuk perilaku
prososial.
Adapun indikator yang menjadi perilaku prososial, menurut Staub
1978 (dalam Hudaniah, 2006), adalah:
a. Tindakan itu berakhir pada dirinya dan tidak menuntut keuntungan pada
pihak pelaku
b. Tindakan itu dilahirkan secara sukarela
c. Tindakan itu menghasilkan kebaikan
Berdasarkan batasan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa perilaku
prososial adalah segala bentuk perilaku yang memberikan konsekwensi
positif bagi si penerima, baik dalam bentuk materi, fisik, ataupun
psikologis tetapi tidak memiliki keuntungan yang jelas bagi pemiliknya.
2.1.2 Faktor-faktor Yang Mendasari Perilaku Prososial
Menurut Staub 1978 (dalam Hudaniah, 2006) terdapat beberapa faktor
yang mendasari seseorang untuk bertindak prososial, yaitu:
a.
b.
c.
Self-gain
Harapan seseorang untuk memperoleh atau menghindari kehilangan
sesuatu, misalnya ingin mendapatkan pengakuan, pujian atau takut
dikucilkan.
Personal values and norms
Adanya nilai-nilai dan norma sosial yang diinternalisasikan oleh
individu selama mengalami sosialisasi dan sebagian nilai-nilai, serta
norma tersebut berkaitan dengan tindakan prososial, seperti kewajiban
menegakkan kebenaran dan keadilan serta adanya norma timbal balik.
Emphaty
Kemampuan seseorang untuk ikut merasakan perasaan atau
pengalaman orang lain. Kemampuan untuk empati ini erat kaitannya
dengan pengambilalihan peran.
Jadi prasayarat untuk mampu
melakukan empati, individu harus memiliki kemampuan untuk
melakukan pengambilan peran.
d.
Faktor Situasional dan Personal Yang Berpengaruh Pada Perilaku
Prososial
Ada beberapa faktor personal maupun situasional yang
menentukan perilaku prososial. Menurut Piliavin (dalam Hudaniah,
2006) ada tiga faktor yang mempengaruhi kemungkinan terjadinya
perilaku prososial, yaitu:
1. Karakteristik situasional (seperti situasi yang kabur atau samar
samar dan jumlah orang yang melihat kejadian).
2. Karakteristik orang yang meilhat kejadian (seperti usia, gender, ras,
kemampuan untuk menolong).
3. Karakterisitik korban (seperti; jenis kelamin, ras, daya tarik).
Adapun Faktor-faktor Situasional Yang Berpengaruh Dalam
Perilaku Prososial yaitu:
1) Kehadiran Orang Lain
Penelitian yang dilakukan oleh Darley dan latane
kemudian Latane dan Rodin 1969 (dalam Hudaniah, 2006)
menunjukkan hasil bahwa orang yang melihat kejadian darurat
akan lebih suka memberi pertolongan apabila mereka sendirian
daripada bersama orang lain. Sebab dalam situasi kebersamaan,
seseorang akan mengalami kekaburan tanggung jawab (dikutip
oleh Libert, Paulos, & Marmor, 1977). Menurut Staub 1978
(dalam Hudaniah, 2006) justru menemukan kontradiksi dengan
fenomena di atas, karena dalam penelitiannya terbukti bahwa
individu yang berpasangan atau bersama orang lain lebih suka
bertindak prososial dibandingkan bila individu seorang diri.
Sebab dengan kehadiran orang lain akan mendorong individu
untuk lebih mematuhi norma-norma sosial yang dimotivasi
oleh harapan untuk mendapat pujian menurut Sampson 1976
(dalam Hudaniah, 2006).
2) Pengorbanan Yang Harus Dikeluarkan
Biasanya seseorang akan membandingkan antara besarnya
pengorbanan jika ia menolong dengan besarnya pengorbanan
jika ia tidak menolong (misalnya, perasaan bersalah,
dikucilkan oleh masyarakat, dan kemungkinan kehilangan
hadiah). Jika pengorbanan untuk menolong menolong rendah,
sedangkan jika pengorbanan jika tidak menolong tinggi, tindak
pertolongan secara langsung akan terjadi. Jika pengorbanan
untuk menolong tinggi dan pengorbanan jika tidak menolong
rendah, ia mungkin akan menghindari atau meninggalkan
situasi darurat itu. Jika keduanya relatif sama tinggi,
kemungkinan ia akan melakukan pertolongan secara tidak
langsung, atau mungkin akan melakukan interpretasi ulang
secara kognitif terhadap situasi tersebut. Demikian pula
sebaliknya jika keduanya, baik pengorbanan untuk menolong
ataupun tidak menolong diinterpretasikan sama rendahnya, ia
akan menolong atau tidak tergantung norma-norma yang
dipersepsi dalam situasi itu menurut Bringham 1991 (dalam
Hudaniah, 2006).
3) Pengalaman dan Suasana Hati
Seseorang akan lebih suka memberikan pertolongan pada
orang lain, bila sebelumnya mengalami kesuksesan atau hadiah
dengan menolong. Sedangkan pengalaman gagal akan
mengunranginya William 1981 (dalam Hudaniah, 2006).
Demikian pula orang yang mengalami suasana hati yang
gembira akan lebih suka menolong. Sedangkan dalam suasanan
hati yang sedih, orang akan kurang suka memberikan
pertolongan (Berkowitz, 1972; William, 1981). Sebab suasana
hati (mood) dapat berpengaruh pada kesiapan seseorang untuk
membantu orang lain menurut Berkowitz 1972 (dalam
Hudaniah, 2006).
4) Kejelasan Stimulus
Semakin jelas stimulus dari situasi darurat, akan
meningkatkan kesiapan calon penolong untuk bereaksi.
Sebaliknya situasi darurat yang sifatnya samar-samar akan
membingungkan dirinya dan membuatnya ragu-ragu, sehingga
ada kemungkinan besar ia akan mengurungkan niatnya untuk
memberikan pertolongan (Sampson, 1976).
5) Adanya Norma-Norma Sosial
Norma sosial yang berkaitan dengan perilaku prososial
adalah resiprokal (timbal balik) dan norma tanggung jawab
sosial. Pada awalnya sosiolog Alvin Gouldner (dalam
Sampson, 1976) yang mengemukakan bahwa ada norma timbal
balik dalam perilaku prososial, artinya seseorang cenderung
memberikan bantuan hanya kepada mereka yang pernah
memberikan bantuan kepadanya. Impilkasi dari prinsip ini
lebih jauh menetapkan bahwa orang yang menerima
keuntungan dari seseorang memiliki kewajiban untuk
membalasnya. Sehingga dengan ini dapat dipertahankan
adanya keseimbangan dalam hubungan interpersonal.
Biasanya di dalam masyarakat berlaku pula norma bahwa
kita harus menolong orang yang membutuhkan pertolongan.
Masing-masing orang memiliki tanggung jawab sosial untuk
menolong mereka yang lemah. Tetapi Berkowitz (1972)
berpendapat bahwa anggapan adanya peranan norma
tanggungjawab sosial terhadap perilaku prososial adalah terlalu
dilebih-lebihkan.
6) Hubungan Antara Calon Penolong Dengan Si Korban
Makin jelas dan dekat hubungan antara calon penolong
dengan calon penerima bantuan akan memberi dorongan yang
cukup besar pada diri calon penolong untuk lebih cepat dan
bersedia terlibat secara mendalam dalam melakukan perilaku
pertolongan. Kedekatan hubungan ini dapat terjadi karena
adanya pertalian keluarga, kesamaan latar belakang atas ras
(Staub, 1979; Bringham, 1991).
Sedangkan faktor personal yang dapat berpengaruh dalam perilaku
prososial adalah karakteristik kepribadian. Salah satu alasan mengapa ada
orang-orang tertentu yang mudah tergerak hatinya untuk berperilaku
prososial, barangkali dapat dijelaskan antara lain dari faktor kepribadian.
Penelitian yang dilakukan oleh Staub 1979 (dalam Hudaniah, 2006)
kemudian oleh Wilson dan Petruska 1984 (dalam Hudaniah, 2006)
menunjukkan bahwa individu yang memiliki tingkat kecenderungan yang
tinggi untuk melakukan perilaku prososial, biasanya memiliki karakteristik
kepribadian, yakni memiliki harga diri yang tinggi, rendahnya kebutuhan
akan persetujuan orang lain, rendahnya menghindari tanggung jawab, dan
lokus kendali yang internal.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor
yang mendasari perilaku prososial yaitu self gain, Personal values and
norms, emphaty, Faktor Situasional dan Personal Yang Berpengaruh Pada
Perilaku Prososial.
2.1.3 Aspek-Aspek Perilaku Prososial
Carlo & Randall, (2002) menyatakan bahwa aspek-aspek perilaku
prososial yang diukur pada masa remaja yaitu:
a.
b.
Perilaku untuk membantu orang lain yang ditetapkan atas kehadiran
orang lain
Dengan kehadiran orang lain, maka akan mendorong individu untuk
membantu orang lain karena dimotivasi oleh harapan agar mendapat
pujian dari orang lain.
Perilaku prososial tanpa diketahui namanya
Kecenderungan untuk membantu orang lain tanpa sepengetahuan
orang lain.
c.
d.
e.
f.
Perilaku prososial yang menakutkan
Berkenaan dengan membantu orang lain di bawah situasi susah
Perilaku emosional prososial
Adalah perilaku yang berniat untuk menguntungkan orang lain dalam
situasi emosional. Perilaku ini dapat dihubungkan dengan simpati
dalam pertimbangan moral prososial, yang berorientasi terhadap
persetujuan pertimbangan moral prososial sehingga diharapkan adanya
keseimbangan antara sifat mementingkan kepentingan orang lain
dengan perilaku emosional prososial.
Perilaku membantu orang lain ketika diminta
Yaitu perilaku mengarah pada membantu orang lain ketika diminta.
Altruisme
Berkenaan dengan membantu orang lain ketika ada atau sedikit atau
tidak ada potensi langsung, tidak ada hadiah yang jelas untuk diri.
Jadi aspek-aspek prososial yaitu perilaku untuk membantu orang lain
yang ditetapkan atas kehadiran orang lain, perilaku prososial tanpa diketahui
namanya, perilaku prososial yang menakutkan, perilaku membantu orang
lain ketika diminta, altruisme.
2.1.4 Motivasi Untuk Berperilaku Prososial
Carlo & Randall, (dalam Hudaniah, 2006) menyatakan bahwa ada
beberapa motivasi untuk berperilaku prososial. Adapaun motivasi tersebut
adalah:
a.
Empathy- Altruism Hypothesis
Konsep teori ini dikemukakan oleh Fultz, Batson, Fortrnbach, dan
McCarthy 1986 (dalam Hudaniah 2006) yang menyatakan bahwa
perilaku prososial semata-mata dimotivasi oleh perhatian terhadap
kesejahteraan orang lain. Tanpa adanya empati, orang yang melihat
kejadian darurat tidak akan melakukan pertolongan, jika ia dapat
mudah melepaskan diri dari tanggung jawab untuk memberikan
pertolongan.
b. Negative State Relief Hypothesis
Pendekatan ini sering pula disebut dengan egoistic theory, sebab
menurut konsep ini perilaku prososial sebenarnya dimotivasi oleh
keinginan untuk mengurangi perasaan negatif yang ada dalam diri
calon penolong, bukan karena ingin menyokong kesejahteraan orang
lain. Jadi pertolongan hanya diberikan jika penonton mengalami emosi
negatif dan tidak ada cara lain untuk menghilangkan perasaan tersebut,
kecuali dengan menolong korban menurut Baron & Byrne 1994
(dalam Hudaniah, 2006).
c. Emphatic Joy Hypothesis
Pendekatan ini merupakan alternatif dari teori egoistik, sebab menurut
model ini perilaku prososial dimotivasi oleh perasaan positif ketika
seseorang menolong. Ini terjadi hanya jika seseorang belajar tentang
dampak dari perilaku prososial tersebut. Sebagaimana pendapat
Bandura 1977 (dalam Hudaniah, 2006) bahwa orang dapat belajar
bahwa melakukan perilaku menolong dapat memberinya hadiah bagi
dirinya sendiri, yaitu membuat dia merasa bahwa dirinya baik. Hasil
penelitian William dan Clark mendukung model ini, sebab mereka
menemukan pertolongan, perasaan positif tetap timbul setelah ia
memberikan pertolongan (dikutip oleh Baron & Byrne, 1994).
Jadi dapat disimpulkan bahwa motivasi untuk berperilaku prososial yaitu
empathy- altruism hypothesis, negative state relief hypothesis, emphatic
joy hypothesis.
2.1.5 Cara Meningkatkan Perilaku Prososial
Ada beberapa cara untuk meningkatkan perilaku prososial. Menurut
Bringham 1991 (dalam Hudaniah, 2006) setelah menyimpulkan dari
beberapa penelitian yang ada, menyatakan bahwa ada beberapa cara
untuk meningkatkan perilaku prososial, yaitu:
1) Melalui penayangan model perilaku prososial, misalnya melalui media
komunikasi massa. Sebab banyak perilaku manusia yang terbentuk
melalui belajar sosial terutama dengan cara meniru. Apalagi
mengamati model prososial dapat memiliki efek premiring yang
berasosiasi dengan anggapan positif tentang sifat-sifat manusia dalam
diri individu pengamat.
2) Dengan menciptakan suatu superordinate identity, yaitu pandangan
bahwa setiap orang adalah bagian dari keluarga manusia secara
keseluruhan. Dalam beberapa penelitian ditunjukkan bahwa
menciptakan superordinate identity dapat mengurangi konflik dan
meningkatkan kemampuan empati diantara anggota-anggota kelompok
tersebut.
3) Dengan menekankan perhatian terhadap norma-norma perilaku
prososial, seperti norma-norma tentang tanggung jawab sosial. Normanorma ini dapat ditanamkan oleh orang tua, guru, ataupun melalui
media massa. Demikian pula, para tokoh masyarakat dan pembuat
kebijakan dan memotivasi masyarakat untuk berperilaku prososial
dengan memberi penghargaan kepada mereka yang telah banyak
berjasa dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitarnya.
Penghargaan ini akan memberi pengukuhan positif bagi pelaku
perilaku prososial itu sendiri maupun orang lain/masyarakat.
Jadi cara untuk meningkatkan perilaku prososial yaitu melalui
penayangan model perilaku prososial, dengan menciptakan suatu
superordinate identity, dengan menekankan perhatian terhadap normanorma perilaku prososial.
2.2 Locus Of Control
2.2.1 Pengertian Locus Of Control
Locus of control mengandung arti seberapa jauh individu yakin bahwa
mereka menguasai nasib mereka sendiri (Robbin 1988), sedangkan menurut
Rotter (1966) locus of control adalah keyakinan seseorang terhadap sumbersumber yang mengontrol kejadian-kejadian dalam hidunya yaitu apakah
kejadian-kejadian yang terjadi pada dirinya di kendalikan oleh kekuatan dari
luar dirinya. Dalam konsep tersebut, Rotter (1966) menjelaskan bahwa
seseorang akan mengembangkan suatu harapan kemampuannya untuk
mengendalikan kejadian-kejadian dalam hidunya.
Lebih lanjut Rotter (dalam Jess Feist, 2013) mengatakan bahwa locus of
control adalah anggapan seseorang tentang sejauh mana orang tersebut
merasakan adanya hubungan antara usaha-usaha yang telah dilakukan
dengan akibat yang diterima. Jika seseorang merasakan adanya hubungan
tersebut dikatakan mempunyai locus of control internal, sementara orang
yang mempunyai locus of control eksternal akan beranggapan bahwa akibat
yang diterima berasal dari kesempatan, keberuntungan, nasib, atau campur
tangan orang lain.
Locus of control atau letak kendali merupakan salah satu aspek yang
penting dalam karakteristik kepribadian manusia. Konsep ini diformulasikan
oleh Julian Rotter (1966) bahwa locus of control adalah persepsi individu
mengenai sebab utama terjadinya suatu kejadian dalam hidupnya, dapat
diartikan juga sebagai keyakinan individu mengenai kontrol dalam hidupnya,
dimana dalam suatu kejadian individu yang satu menganggap keberhasilan
yang telah dicapainya merupakan hasil usaha dan kemampuannya sendiri,
sedangkan individu yang lain menganggap bahwa keberhasilan yang telah
diperolehnya karena adanya keberuntungan semata.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa locus of
control merupakan tindakan dimana individu menghubungkan peristiwaperistiwa dalam kehidupannya dengan tindakan atau kekuatan di luar
kendalinya.
2.2.2 Macam Locus Of Control
Menurut Rotter (dalam Feist, 2013) mengemukakan bahwa locus of
control memiliki 2 macam yaitu:
a. Locus of control internal
Orang yang memiliki locus of control internal memiliki
kecenderungan untuk melakukan usaha yang lebih besar dalam
mengontrol lingkungannya. Seseorang yang memiliki locus of
control internal dapat mengelola emosi dan stres secara efektif
dengan menggunakan strategi pemecahan masalah.
Sehingga
orang yang memiliki locus control internal lebih berorientasi pada
keberhasilan karena mereka dapat menghasilkan efek positif dan
juga mereka lebih cenderung tergolong ke dalam high-achiever.
b. Locus of control eksternal menunjukkan bahwa sikap seorang yang
percaya bahwa ia tidak memiliki kendali atas keadaan. Keyakinan
ini yang menyebabkan depresi dan stres pada pandangan hidup.
2.2.3 Ciri-Ciri Locus Of Control
Menurut Rotter (dalam Feist, 2013) locus of control terdiri dari dua
macam internal dan eksternal, adapun ciri-cirinya sebagai berikut:
a. Ciri -ciri locus of control internal sebagai berikut:
1. Merasa mampu untuk mengatur segala tindakan, perbuatan dan
lingkungannya.
2. Rajin, ulet, mandiri dan tidak mudah terpengaruh begitu saja terhadap
pengaruh dari luar.
3. Lebih bertanggung jawab terhadap kesalahan dan kegagalannya
4. Lebih efektif dalam menyelesaikan tugas.
5. Memiliki kepercayaan tinggi akan kemampuan dirinya.
b. Ciri-ciri locus of control eksternal sebagai berikut:
1. Lebih pasrah dan bersikap comfroming dengan lingkungan.
2. Merasa bahwa perbuatannya kecil berpengaruh terhadap kejadian
yang akan dihadapi, baik untuk menjalani situasi yang tidak
menyenangkan maupun dalam usaha untuk mencapai tujuan.
3. Kurang bertanggung jawab terhadap kesalahan yang diperbuat.
4. Kurang percaya diri terhadap kemampuannya
5. Cenderung mengandalkan pada orang lain
2.2.4 Karakteristik Locus Of Control
Locus of control internal diyakini mempunyai dua karakteristik pokok
yaitu motivasi prestesi tinggi dan independen. Locus of control internal lebih
cenderung pada pengertian prestasi dan mempunyai toleransi terhadap
penundaan hadiah serta cenderung merencanakan tujuan jangka panjang,
sementara locus of control eksternal kurang memberikan arti mengenai
tujuan kegagalan yang terjadi bagi individu yang memiliki kecenderungan
locus of control internal akan menyebabkan individu tersebut cenderung
untuk melakukan evaluasi atas kinerjanya dan tidak terlalu mengarapkan
keberhasilan, sedangkan individu yang memiliki kecenderungan locus of
control eksternal akan menaikan harapkannya. Rotter (dalam Feist, 2013).
Berdasarkan atas uraian di atas maka jelaslah bahwa locus of control
adalah bagaimana individu meyakini bahwa dirinya dapat mengontrol
kejadian dalam hidupnya. Individu dapat memiliki locus of control internal
yang tinggi dikarenakan hasil dari perilakunya dan tindakannya sendiri,
mempunyai kontrol diri yang lebih baik dan percaya bahwa usaha yang
dilakukannya akan membuat dirinya berhasil, sehingga individu tersebut
cenderung untuk aktif mencari informasi dan pengetahuan yang baru.
2.2.5 Aspek Locus of Control
Pada awalnya Rotter (1966) melihat locus of control sebagai variabel
perbedaan individual yang stabil yang memiliki dua dimensi (internal dan
eksternal) yang mempengaruhi berbagai perilaku dalam sejumlah konteks
yang berbeda. Namun Levenson (1981) mengembangkan konsep locus of
control mengembangkan konsep dari Rotter dan membaginya menjadi tiga
dimensi yaitu internalisasi (internality), powerful other, dan chance.
Menurut Levenson (dalam Friedman, 2006) mengungkapkan bahwa
individu yang memiliki orientasi ke arah locus of control internal dalam hal
internalisasi (internality) akan memiliki keyakinan yang kuat bahwa semua
kejadian atau peristiwa yang terjadi pada dirinya ditentukan oleh usaha dan
kemampuannya sendiri. Individu yang memiliki orientasi pada locus of
control eksternal dapat dikelompokkan menjadi dua kategori, yaitu individu
yang meyakini bahwa kehidupan dan peristiwa yang mereka alami
ditentukan oleh orang-orang yang lebih berkuasa yang berada di sekitarnya
(powerful other), dan individu yang meyakini bahwa kehidupan dan
peristiwa yang mereka alami ditentukan oleh takdir, nasib keberuntungan,
serta kesempatan (chance).
2.3 Kajian Penelitian Yang Relevan
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Rifatul Mahmudah
(2010) dalam penelitiannya yang berjudul Hubungan antara Locus Of Control
dengan Perilaku Prososial pada mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas
Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara locus of control dengan
perilaku prososial pada mahasiswa fakultas psikologi UIN Maliki Malang.
Penelitian sejenis juga dilakukan oleh Ervina (2010) dalam penelitiannya
yang berjudul Hubungan Antara Perilaku Prososial Pada Remaja Panti
Asuhan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan
antara Locus of control Internal dengan Perilaku Prososial pada remaja Panti
Asuhan.
Persamaan penelitian yang dilakukan oleh Rifatul Mahmudah (2010) dan
penelitian yang dilakukan oleh Ervina (2010)
dengan penelitian yang
dilakukan oleh peneliti dalam judul penelitian hubungan antara Locus Of
Control Dengan Perilaku Prososial hasilnya menunjukkan bahwa ada
hubungan yang signifikan antara locus of control dengan perilaku prososial.
Sedangkan perbedaan antara penelitian yang dilakukan oleh peneliti
dengan penelitian yang dilakukan oleh Nur Yuli Yanti Hapsari (2013) terletak
pada hasil penelitian yang menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang
signifikan antara Locus Of Control dengan Perilaku Prososial.
Hasil penelitian yang peneliti harapkan adalah ada hubungan yang
signifikan antara locus of control dengan perilaku prososial siswa, sehingga jika
locus of control naik, maka perilaku prosial juga akan naik, begitu sebaliknya
jika locus of control turun maka perilaku prososial juga akan turun.
2.4 Hipotesis
Hipotesis yang penulis ajukan dalam penelitian ini adalah: Ada hubungan
yang signifikan antara Locus of control dengan perilaku prososial siswa kelas
X SMA Kristen Purwodadi Tahun Ajaran 2014/2015.
Download