BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Perilaku Perososial 2.1.1 Pengertian Perilaku Prososial Perilaku prososial dapat dimengerti sebagai perilaku yang menguntungkan penerima, tetapi tidak memiliki keuntungan yang jelas bagi pelakunya, menurut Staub, 1978; Baron & Byrne, 1994 (dalam Hudaniah, 2006). Lebih lanjut lagi William 1981 (dalam Hudaniah, 2006) membatasi perilaku prososial sebagai perilaku yang memiliki intensi untuk mengubah keadaan fisik atau psikologis penerima bantuan dari kurang baik menjadi lebih baik, dalam arti secara material maupun psikologis, dan tujuannya untuk meningkatkan well being orang lain. Sedangkan menurut David O. Sears dkk (1994), mendefinisikan bahwa tingkah laku prososial merupakan tingkah laku yang menguntungkan orang lain. Tingkah laku prososial meliputi segala bentuk tindakan yang dilakukan atau direncanakan untuk menolong orang lain, tanpa memperhatikan motif si penolong. Selain itu, menurut Brigham 1991 (dalam Hudaniah, 2006) bahwa perilaku prososial mempunyai maksud untuk menyokong kesejahteraan orang lain. Dengan demikian kedermawanan, menolong, menyelamatkan, dan pengorbanan merupakan bentuk-bentuk perilaku prososial. Adapun indikator yang menjadi perilaku prososial, menurut Staub 1978 (dalam Hudaniah, 2006), adalah: a. Tindakan itu berakhir pada dirinya dan tidak menuntut keuntungan pada pihak pelaku b. Tindakan itu dilahirkan secara sukarela c. Tindakan itu menghasilkan kebaikan Berdasarkan batasan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa perilaku prososial adalah segala bentuk perilaku yang memberikan konsekwensi positif bagi si penerima, baik dalam bentuk materi, fisik, ataupun psikologis tetapi tidak memiliki keuntungan yang jelas bagi pemiliknya. 2.1.2 Faktor-faktor Yang Mendasari Perilaku Prososial Menurut Staub 1978 (dalam Hudaniah, 2006) terdapat beberapa faktor yang mendasari seseorang untuk bertindak prososial, yaitu: a. b. c. Self-gain Harapan seseorang untuk memperoleh atau menghindari kehilangan sesuatu, misalnya ingin mendapatkan pengakuan, pujian atau takut dikucilkan. Personal values and norms Adanya nilai-nilai dan norma sosial yang diinternalisasikan oleh individu selama mengalami sosialisasi dan sebagian nilai-nilai, serta norma tersebut berkaitan dengan tindakan prososial, seperti kewajiban menegakkan kebenaran dan keadilan serta adanya norma timbal balik. Emphaty Kemampuan seseorang untuk ikut merasakan perasaan atau pengalaman orang lain. Kemampuan untuk empati ini erat kaitannya dengan pengambilalihan peran. Jadi prasayarat untuk mampu melakukan empati, individu harus memiliki kemampuan untuk melakukan pengambilan peran. d. Faktor Situasional dan Personal Yang Berpengaruh Pada Perilaku Prososial Ada beberapa faktor personal maupun situasional yang menentukan perilaku prososial. Menurut Piliavin (dalam Hudaniah, 2006) ada tiga faktor yang mempengaruhi kemungkinan terjadinya perilaku prososial, yaitu: 1. Karakteristik situasional (seperti situasi yang kabur atau samar samar dan jumlah orang yang melihat kejadian). 2. Karakteristik orang yang meilhat kejadian (seperti usia, gender, ras, kemampuan untuk menolong). 3. Karakterisitik korban (seperti; jenis kelamin, ras, daya tarik). Adapun Faktor-faktor Situasional Yang Berpengaruh Dalam Perilaku Prososial yaitu: 1) Kehadiran Orang Lain Penelitian yang dilakukan oleh Darley dan latane kemudian Latane dan Rodin 1969 (dalam Hudaniah, 2006) menunjukkan hasil bahwa orang yang melihat kejadian darurat akan lebih suka memberi pertolongan apabila mereka sendirian daripada bersama orang lain. Sebab dalam situasi kebersamaan, seseorang akan mengalami kekaburan tanggung jawab (dikutip oleh Libert, Paulos, & Marmor, 1977). Menurut Staub 1978 (dalam Hudaniah, 2006) justru menemukan kontradiksi dengan fenomena di atas, karena dalam penelitiannya terbukti bahwa individu yang berpasangan atau bersama orang lain lebih suka bertindak prososial dibandingkan bila individu seorang diri. Sebab dengan kehadiran orang lain akan mendorong individu untuk lebih mematuhi norma-norma sosial yang dimotivasi oleh harapan untuk mendapat pujian menurut Sampson 1976 (dalam Hudaniah, 2006). 2) Pengorbanan Yang Harus Dikeluarkan Biasanya seseorang akan membandingkan antara besarnya pengorbanan jika ia menolong dengan besarnya pengorbanan jika ia tidak menolong (misalnya, perasaan bersalah, dikucilkan oleh masyarakat, dan kemungkinan kehilangan hadiah). Jika pengorbanan untuk menolong menolong rendah, sedangkan jika pengorbanan jika tidak menolong tinggi, tindak pertolongan secara langsung akan terjadi. Jika pengorbanan untuk menolong tinggi dan pengorbanan jika tidak menolong rendah, ia mungkin akan menghindari atau meninggalkan situasi darurat itu. Jika keduanya relatif sama tinggi, kemungkinan ia akan melakukan pertolongan secara tidak langsung, atau mungkin akan melakukan interpretasi ulang secara kognitif terhadap situasi tersebut. Demikian pula sebaliknya jika keduanya, baik pengorbanan untuk menolong ataupun tidak menolong diinterpretasikan sama rendahnya, ia akan menolong atau tidak tergantung norma-norma yang dipersepsi dalam situasi itu menurut Bringham 1991 (dalam Hudaniah, 2006). 3) Pengalaman dan Suasana Hati Seseorang akan lebih suka memberikan pertolongan pada orang lain, bila sebelumnya mengalami kesuksesan atau hadiah dengan menolong. Sedangkan pengalaman gagal akan mengunranginya William 1981 (dalam Hudaniah, 2006). Demikian pula orang yang mengalami suasana hati yang gembira akan lebih suka menolong. Sedangkan dalam suasanan hati yang sedih, orang akan kurang suka memberikan pertolongan (Berkowitz, 1972; William, 1981). Sebab suasana hati (mood) dapat berpengaruh pada kesiapan seseorang untuk membantu orang lain menurut Berkowitz 1972 (dalam Hudaniah, 2006). 4) Kejelasan Stimulus Semakin jelas stimulus dari situasi darurat, akan meningkatkan kesiapan calon penolong untuk bereaksi. Sebaliknya situasi darurat yang sifatnya samar-samar akan membingungkan dirinya dan membuatnya ragu-ragu, sehingga ada kemungkinan besar ia akan mengurungkan niatnya untuk memberikan pertolongan (Sampson, 1976). 5) Adanya Norma-Norma Sosial Norma sosial yang berkaitan dengan perilaku prososial adalah resiprokal (timbal balik) dan norma tanggung jawab sosial. Pada awalnya sosiolog Alvin Gouldner (dalam Sampson, 1976) yang mengemukakan bahwa ada norma timbal balik dalam perilaku prososial, artinya seseorang cenderung memberikan bantuan hanya kepada mereka yang pernah memberikan bantuan kepadanya. Impilkasi dari prinsip ini lebih jauh menetapkan bahwa orang yang menerima keuntungan dari seseorang memiliki kewajiban untuk membalasnya. Sehingga dengan ini dapat dipertahankan adanya keseimbangan dalam hubungan interpersonal. Biasanya di dalam masyarakat berlaku pula norma bahwa kita harus menolong orang yang membutuhkan pertolongan. Masing-masing orang memiliki tanggung jawab sosial untuk menolong mereka yang lemah. Tetapi Berkowitz (1972) berpendapat bahwa anggapan adanya peranan norma tanggungjawab sosial terhadap perilaku prososial adalah terlalu dilebih-lebihkan. 6) Hubungan Antara Calon Penolong Dengan Si Korban Makin jelas dan dekat hubungan antara calon penolong dengan calon penerima bantuan akan memberi dorongan yang cukup besar pada diri calon penolong untuk lebih cepat dan bersedia terlibat secara mendalam dalam melakukan perilaku pertolongan. Kedekatan hubungan ini dapat terjadi karena adanya pertalian keluarga, kesamaan latar belakang atas ras (Staub, 1979; Bringham, 1991). Sedangkan faktor personal yang dapat berpengaruh dalam perilaku prososial adalah karakteristik kepribadian. Salah satu alasan mengapa ada orang-orang tertentu yang mudah tergerak hatinya untuk berperilaku prososial, barangkali dapat dijelaskan antara lain dari faktor kepribadian. Penelitian yang dilakukan oleh Staub 1979 (dalam Hudaniah, 2006) kemudian oleh Wilson dan Petruska 1984 (dalam Hudaniah, 2006) menunjukkan bahwa individu yang memiliki tingkat kecenderungan yang tinggi untuk melakukan perilaku prososial, biasanya memiliki karakteristik kepribadian, yakni memiliki harga diri yang tinggi, rendahnya kebutuhan akan persetujuan orang lain, rendahnya menghindari tanggung jawab, dan lokus kendali yang internal. Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang mendasari perilaku prososial yaitu self gain, Personal values and norms, emphaty, Faktor Situasional dan Personal Yang Berpengaruh Pada Perilaku Prososial. 2.1.3 Aspek-Aspek Perilaku Prososial Carlo & Randall, (2002) menyatakan bahwa aspek-aspek perilaku prososial yang diukur pada masa remaja yaitu: a. b. Perilaku untuk membantu orang lain yang ditetapkan atas kehadiran orang lain Dengan kehadiran orang lain, maka akan mendorong individu untuk membantu orang lain karena dimotivasi oleh harapan agar mendapat pujian dari orang lain. Perilaku prososial tanpa diketahui namanya Kecenderungan untuk membantu orang lain tanpa sepengetahuan orang lain. c. d. e. f. Perilaku prososial yang menakutkan Berkenaan dengan membantu orang lain di bawah situasi susah Perilaku emosional prososial Adalah perilaku yang berniat untuk menguntungkan orang lain dalam situasi emosional. Perilaku ini dapat dihubungkan dengan simpati dalam pertimbangan moral prososial, yang berorientasi terhadap persetujuan pertimbangan moral prososial sehingga diharapkan adanya keseimbangan antara sifat mementingkan kepentingan orang lain dengan perilaku emosional prososial. Perilaku membantu orang lain ketika diminta Yaitu perilaku mengarah pada membantu orang lain ketika diminta. Altruisme Berkenaan dengan membantu orang lain ketika ada atau sedikit atau tidak ada potensi langsung, tidak ada hadiah yang jelas untuk diri. Jadi aspek-aspek prososial yaitu perilaku untuk membantu orang lain yang ditetapkan atas kehadiran orang lain, perilaku prososial tanpa diketahui namanya, perilaku prososial yang menakutkan, perilaku membantu orang lain ketika diminta, altruisme. 2.1.4 Motivasi Untuk Berperilaku Prososial Carlo & Randall, (dalam Hudaniah, 2006) menyatakan bahwa ada beberapa motivasi untuk berperilaku prososial. Adapaun motivasi tersebut adalah: a. Empathy- Altruism Hypothesis Konsep teori ini dikemukakan oleh Fultz, Batson, Fortrnbach, dan McCarthy 1986 (dalam Hudaniah 2006) yang menyatakan bahwa perilaku prososial semata-mata dimotivasi oleh perhatian terhadap kesejahteraan orang lain. Tanpa adanya empati, orang yang melihat kejadian darurat tidak akan melakukan pertolongan, jika ia dapat mudah melepaskan diri dari tanggung jawab untuk memberikan pertolongan. b. Negative State Relief Hypothesis Pendekatan ini sering pula disebut dengan egoistic theory, sebab menurut konsep ini perilaku prososial sebenarnya dimotivasi oleh keinginan untuk mengurangi perasaan negatif yang ada dalam diri calon penolong, bukan karena ingin menyokong kesejahteraan orang lain. Jadi pertolongan hanya diberikan jika penonton mengalami emosi negatif dan tidak ada cara lain untuk menghilangkan perasaan tersebut, kecuali dengan menolong korban menurut Baron & Byrne 1994 (dalam Hudaniah, 2006). c. Emphatic Joy Hypothesis Pendekatan ini merupakan alternatif dari teori egoistik, sebab menurut model ini perilaku prososial dimotivasi oleh perasaan positif ketika seseorang menolong. Ini terjadi hanya jika seseorang belajar tentang dampak dari perilaku prososial tersebut. Sebagaimana pendapat Bandura 1977 (dalam Hudaniah, 2006) bahwa orang dapat belajar bahwa melakukan perilaku menolong dapat memberinya hadiah bagi dirinya sendiri, yaitu membuat dia merasa bahwa dirinya baik. Hasil penelitian William dan Clark mendukung model ini, sebab mereka menemukan pertolongan, perasaan positif tetap timbul setelah ia memberikan pertolongan (dikutip oleh Baron & Byrne, 1994). Jadi dapat disimpulkan bahwa motivasi untuk berperilaku prososial yaitu empathy- altruism hypothesis, negative state relief hypothesis, emphatic joy hypothesis. 2.1.5 Cara Meningkatkan Perilaku Prososial Ada beberapa cara untuk meningkatkan perilaku prososial. Menurut Bringham 1991 (dalam Hudaniah, 2006) setelah menyimpulkan dari beberapa penelitian yang ada, menyatakan bahwa ada beberapa cara untuk meningkatkan perilaku prososial, yaitu: 1) Melalui penayangan model perilaku prososial, misalnya melalui media komunikasi massa. Sebab banyak perilaku manusia yang terbentuk melalui belajar sosial terutama dengan cara meniru. Apalagi mengamati model prososial dapat memiliki efek premiring yang berasosiasi dengan anggapan positif tentang sifat-sifat manusia dalam diri individu pengamat. 2) Dengan menciptakan suatu superordinate identity, yaitu pandangan bahwa setiap orang adalah bagian dari keluarga manusia secara keseluruhan. Dalam beberapa penelitian ditunjukkan bahwa menciptakan superordinate identity dapat mengurangi konflik dan meningkatkan kemampuan empati diantara anggota-anggota kelompok tersebut. 3) Dengan menekankan perhatian terhadap norma-norma perilaku prososial, seperti norma-norma tentang tanggung jawab sosial. Normanorma ini dapat ditanamkan oleh orang tua, guru, ataupun melalui media massa. Demikian pula, para tokoh masyarakat dan pembuat kebijakan dan memotivasi masyarakat untuk berperilaku prososial dengan memberi penghargaan kepada mereka yang telah banyak berjasa dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitarnya. Penghargaan ini akan memberi pengukuhan positif bagi pelaku perilaku prososial itu sendiri maupun orang lain/masyarakat. Jadi cara untuk meningkatkan perilaku prososial yaitu melalui penayangan model perilaku prososial, dengan menciptakan suatu superordinate identity, dengan menekankan perhatian terhadap normanorma perilaku prososial. 2.2 Locus Of Control 2.2.1 Pengertian Locus Of Control Locus of control mengandung arti seberapa jauh individu yakin bahwa mereka menguasai nasib mereka sendiri (Robbin 1988), sedangkan menurut Rotter (1966) locus of control adalah keyakinan seseorang terhadap sumbersumber yang mengontrol kejadian-kejadian dalam hidunya yaitu apakah kejadian-kejadian yang terjadi pada dirinya di kendalikan oleh kekuatan dari luar dirinya. Dalam konsep tersebut, Rotter (1966) menjelaskan bahwa seseorang akan mengembangkan suatu harapan kemampuannya untuk mengendalikan kejadian-kejadian dalam hidunya. Lebih lanjut Rotter (dalam Jess Feist, 2013) mengatakan bahwa locus of control adalah anggapan seseorang tentang sejauh mana orang tersebut merasakan adanya hubungan antara usaha-usaha yang telah dilakukan dengan akibat yang diterima. Jika seseorang merasakan adanya hubungan tersebut dikatakan mempunyai locus of control internal, sementara orang yang mempunyai locus of control eksternal akan beranggapan bahwa akibat yang diterima berasal dari kesempatan, keberuntungan, nasib, atau campur tangan orang lain. Locus of control atau letak kendali merupakan salah satu aspek yang penting dalam karakteristik kepribadian manusia. Konsep ini diformulasikan oleh Julian Rotter (1966) bahwa locus of control adalah persepsi individu mengenai sebab utama terjadinya suatu kejadian dalam hidupnya, dapat diartikan juga sebagai keyakinan individu mengenai kontrol dalam hidupnya, dimana dalam suatu kejadian individu yang satu menganggap keberhasilan yang telah dicapainya merupakan hasil usaha dan kemampuannya sendiri, sedangkan individu yang lain menganggap bahwa keberhasilan yang telah diperolehnya karena adanya keberuntungan semata. Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa locus of control merupakan tindakan dimana individu menghubungkan peristiwaperistiwa dalam kehidupannya dengan tindakan atau kekuatan di luar kendalinya. 2.2.2 Macam Locus Of Control Menurut Rotter (dalam Feist, 2013) mengemukakan bahwa locus of control memiliki 2 macam yaitu: a. Locus of control internal Orang yang memiliki locus of control internal memiliki kecenderungan untuk melakukan usaha yang lebih besar dalam mengontrol lingkungannya. Seseorang yang memiliki locus of control internal dapat mengelola emosi dan stres secara efektif dengan menggunakan strategi pemecahan masalah. Sehingga orang yang memiliki locus control internal lebih berorientasi pada keberhasilan karena mereka dapat menghasilkan efek positif dan juga mereka lebih cenderung tergolong ke dalam high-achiever. b. Locus of control eksternal menunjukkan bahwa sikap seorang yang percaya bahwa ia tidak memiliki kendali atas keadaan. Keyakinan ini yang menyebabkan depresi dan stres pada pandangan hidup. 2.2.3 Ciri-Ciri Locus Of Control Menurut Rotter (dalam Feist, 2013) locus of control terdiri dari dua macam internal dan eksternal, adapun ciri-cirinya sebagai berikut: a. Ciri -ciri locus of control internal sebagai berikut: 1. Merasa mampu untuk mengatur segala tindakan, perbuatan dan lingkungannya. 2. Rajin, ulet, mandiri dan tidak mudah terpengaruh begitu saja terhadap pengaruh dari luar. 3. Lebih bertanggung jawab terhadap kesalahan dan kegagalannya 4. Lebih efektif dalam menyelesaikan tugas. 5. Memiliki kepercayaan tinggi akan kemampuan dirinya. b. Ciri-ciri locus of control eksternal sebagai berikut: 1. Lebih pasrah dan bersikap comfroming dengan lingkungan. 2. Merasa bahwa perbuatannya kecil berpengaruh terhadap kejadian yang akan dihadapi, baik untuk menjalani situasi yang tidak menyenangkan maupun dalam usaha untuk mencapai tujuan. 3. Kurang bertanggung jawab terhadap kesalahan yang diperbuat. 4. Kurang percaya diri terhadap kemampuannya 5. Cenderung mengandalkan pada orang lain 2.2.4 Karakteristik Locus Of Control Locus of control internal diyakini mempunyai dua karakteristik pokok yaitu motivasi prestesi tinggi dan independen. Locus of control internal lebih cenderung pada pengertian prestasi dan mempunyai toleransi terhadap penundaan hadiah serta cenderung merencanakan tujuan jangka panjang, sementara locus of control eksternal kurang memberikan arti mengenai tujuan kegagalan yang terjadi bagi individu yang memiliki kecenderungan locus of control internal akan menyebabkan individu tersebut cenderung untuk melakukan evaluasi atas kinerjanya dan tidak terlalu mengarapkan keberhasilan, sedangkan individu yang memiliki kecenderungan locus of control eksternal akan menaikan harapkannya. Rotter (dalam Feist, 2013). Berdasarkan atas uraian di atas maka jelaslah bahwa locus of control adalah bagaimana individu meyakini bahwa dirinya dapat mengontrol kejadian dalam hidupnya. Individu dapat memiliki locus of control internal yang tinggi dikarenakan hasil dari perilakunya dan tindakannya sendiri, mempunyai kontrol diri yang lebih baik dan percaya bahwa usaha yang dilakukannya akan membuat dirinya berhasil, sehingga individu tersebut cenderung untuk aktif mencari informasi dan pengetahuan yang baru. 2.2.5 Aspek Locus of Control Pada awalnya Rotter (1966) melihat locus of control sebagai variabel perbedaan individual yang stabil yang memiliki dua dimensi (internal dan eksternal) yang mempengaruhi berbagai perilaku dalam sejumlah konteks yang berbeda. Namun Levenson (1981) mengembangkan konsep locus of control mengembangkan konsep dari Rotter dan membaginya menjadi tiga dimensi yaitu internalisasi (internality), powerful other, dan chance. Menurut Levenson (dalam Friedman, 2006) mengungkapkan bahwa individu yang memiliki orientasi ke arah locus of control internal dalam hal internalisasi (internality) akan memiliki keyakinan yang kuat bahwa semua kejadian atau peristiwa yang terjadi pada dirinya ditentukan oleh usaha dan kemampuannya sendiri. Individu yang memiliki orientasi pada locus of control eksternal dapat dikelompokkan menjadi dua kategori, yaitu individu yang meyakini bahwa kehidupan dan peristiwa yang mereka alami ditentukan oleh orang-orang yang lebih berkuasa yang berada di sekitarnya (powerful other), dan individu yang meyakini bahwa kehidupan dan peristiwa yang mereka alami ditentukan oleh takdir, nasib keberuntungan, serta kesempatan (chance). 2.3 Kajian Penelitian Yang Relevan Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Rifatul Mahmudah (2010) dalam penelitiannya yang berjudul Hubungan antara Locus Of Control dengan Perilaku Prososial pada mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara locus of control dengan perilaku prososial pada mahasiswa fakultas psikologi UIN Maliki Malang. Penelitian sejenis juga dilakukan oleh Ervina (2010) dalam penelitiannya yang berjudul Hubungan Antara Perilaku Prososial Pada Remaja Panti Asuhan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara Locus of control Internal dengan Perilaku Prososial pada remaja Panti Asuhan. Persamaan penelitian yang dilakukan oleh Rifatul Mahmudah (2010) dan penelitian yang dilakukan oleh Ervina (2010) dengan penelitian yang dilakukan oleh peneliti dalam judul penelitian hubungan antara Locus Of Control Dengan Perilaku Prososial hasilnya menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara locus of control dengan perilaku prososial. Sedangkan perbedaan antara penelitian yang dilakukan oleh peneliti dengan penelitian yang dilakukan oleh Nur Yuli Yanti Hapsari (2013) terletak pada hasil penelitian yang menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara Locus Of Control dengan Perilaku Prososial. Hasil penelitian yang peneliti harapkan adalah ada hubungan yang signifikan antara locus of control dengan perilaku prososial siswa, sehingga jika locus of control naik, maka perilaku prosial juga akan naik, begitu sebaliknya jika locus of control turun maka perilaku prososial juga akan turun. 2.4 Hipotesis Hipotesis yang penulis ajukan dalam penelitian ini adalah: Ada hubungan yang signifikan antara Locus of control dengan perilaku prososial siswa kelas X SMA Kristen Purwodadi Tahun Ajaran 2014/2015.