1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Jumlah anak

advertisement
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penelitian
Jumlah anak autis pada beberapa institusi pendidikan, termasuk di
sekolah inklusif cukup banyak perkembangan populasinya. Data dari Dinas
Pendidikan Kabupaten Bandung menunjukkan pada setiap sekolah inklusif
terdapat tiga sampai empat orang anak autis dalam satu kelas (Tim
Pengembang
Pendidikan
inklusi,
2007:
6).
Dalam
skala
nasional,
perkembangan jumlah anak autis menunjukkan perbandingan dengan
keseluruhan anak yang lain adalah 5:10.000 dan perbandingan anak autis ini
diprediksi akan terus meningkat, seiring dengan beberapa faktor, seperti pola
hidup orang tua, pola stimulasi perkembangan anak, tingkat stress orang tua
dan anak, dan pola konsumsi makanan (Maulana, 2007: 1). Departemen
Pendidikan Nasional menegaskan, anak autis termasuk fenomena baru yang
berkembang dalam lapangan pendidikan luar biasa, terutama populasinya
berkembang dalam institusi sekolah inklusif, sehingga anak autis, diklasiifikan
ke dalam salah satu jenis anak berkebutuhan khusus (Depdiknas, 2005: 12).
Autis adalah gangguan perkembangan pervasif pada anak yang ditandai
dengan adanya gangguan dan keterlambatan dalam bidang kognitif, bahasa,
perilaku, komunikasi dan interaksi sosial.
Autis dapat terjadi pada semua
kelompok masyarakat kaya, miskin, di desa dan di kota, berpendidikan maupun
tidak berpendidikan, serta pada semua kelompok etnis dan budaya di dunia.
Jumlah anak autis semakin meningkat pesat di berbagai belahan dunia. Di
Kanada dan Jepang pertambahan ini mencapai 40 persen sejak 1980. Di
California pada tahun 2002 disimpulkan terdapat 9 kasus autis per-harinya. Di
Amerika Serikat jumlah anak autis terjadi pada 6.000 – 15.000 anak di bawah
usia 15 tahun. Kepustakaan lain menyebutkan prevalens autis 10 – 20 kasus
dalam 10.000 orang, bahkan ada yang mengatakan 1 diantara 1000 anak. Di
Inggris pada awal tahun 2002 bahkan dilaporkan angka kejadian autis
Agus Irawan Sensus, 2014.
MODEL KONSELING KELOMPOK DENGAN TEKNIK BERMAIN PERAN UNTUK MENGEMBANGKAN
KETERAMPILAN SOSIAL ANAK DENGAN HIGH FUNCTIONING AUTISM DISEKOLAH DASAR INKLUSIF
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu |perpustakaan.upi.edu
2
meningkat sangat pesat, diprediksi 1 diantara 10 anak menderita autisma
(Maulana, 2007: 2). Di Indonesia, pada tahun 2010, jumlah penderita autisme
diperkirakan mencapai 2,4 juta orang. Hal itu berdasarkan data yang
dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik. Pada tahun tersebut jumlah penduduk
Indonesia mencapai 237,5 juta orang dengan laju pertumbuhan 1,14 persen.
Jumlah penderita autisme di Indonesia diperkirakan mengalami penambahan
sekitar 500 orang setiap tahun (BPS, 2012: 8). Merujuk pada data BPS tersebut
dengan memperhatikan perkembangan anak autis yang terus meningkat, maka
dapat diperkirakan jumlah autis di Indonesia pada tahun 2012, berkisar 2.1.400
orang. Dilihat dari jenis kelamin, pada dasarnya jumlah penderita autisme
dengan jenis kelamin laki-laki lebih banyak dibanding perempuan, dengan
perbandingan 4,3:1. Namun sebenarnya penyakit autisme sama sekali tidak
membedakan penyandangnya berdasarkan latar belakang sosial. Autisme bisa
saja diderita orang golongan orang kaya atau miskin, berpendidikan tinggi
ataupun rendah.
Istilah autisme berasal dari kata "autos" yang berarti diri sendiri "isme"
yang berarti suatu aliran. Dengan menggunakan pendekatan terminologi, autis
dapat diartikan suatu paham yang tertarik hanya pada dunianya sendiri.
Autistik adalah suatu gangguan perkembangan yang kompleks menyangkut
komunikasi, interaksi sosial dan aktivitas imajinasi. Gejalanya mulai tampak
sebelum anak berusia 3 tahun. Bahkan pada autistik infantil gejalanya sudah
ada sejak lahir.
Mengamati perilaku anak autis tidak dapat dilakukan sepintas dan juga
sulit untuk dibuat generalisasi dari kasus satu anak autis dengan kasus anak
autis lainnya. Manoj dalam Lee & June (2002: 167) memberikan makna atas
kata autism, dalam istilah (always, unique, totally, intriguing, sometime,
mysterius), yang dapat dipahami bahwa sosok setiap individu anak autis itu
selalu unik, selalu membutuhkan layanan pendidikan secara total, memahami
sosok anak autis selalu menimbulkan rasa kepenasaran, selalu berubah-ubah
perilakunya setiap saat, dan sosok anak autis itu sendiri adalah misterius—
Agus Irawan Sensus, 2014.
MODEL KONSELING KELOMPOK DENGAN TEKNIK BERMAIN PERAN UNTUK MENGEMBANGKAN
KETERAMPILAN SOSIAL ANAK DENGAN HIGH FUNCTIONING AUTISM DISEKOLAH DASAR INKLUSIF
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu |perpustakaan.upi.edu
3
masih perlu diteliti lebih mendalam. Ciri-ciri perilaku anak autis merentang
dalam tiga simptom dengan sejumlah ciri-ciri berperilaku, yaitu (1) rentang
perhatian yang kurang (gerakan yang kacau; cepat lupa; mudah bingung;
kesulitan dalam mencurahkan perhatian terhadap tugas-tugas atau kegiatan
bermain; (2) impulsivitas yang berlebihan; dan (3) adanya hiperaktivitas
(emosi gelisah; mengalami kesulitan bermain dengan tenang; mengganggu
anak lain; dan selalu bergerak) (Baihaqi & Sugiarmin, 2006: 8). Dengan
demikian, gejala autisme tersebut, berimplikasi terhadap masalah perilaku
sosial anak di sekolah yang menunjukkan anak autis akan menyebabkan
mengalami kesulitan belajar, kesulitan berperilaku, kesulitan sosial, dan
kesulitan-kesulitan lain yang saling berkaitan.
Memahami sosok anak autis memerlukan upaya yang serius dengan
memperhatikan aspek-aspek perkembangannya. Hasil pengamatan sesaat
belumlah dapat disimpulkan sebagai hasil mutlak dari kemampuan dan
perilaku seorang anak dikatakan sebagai autis. Masukan dari orang tua
mengenai kronologi perkembangan anak adalah hal terpenting dalam
menentukan keakuratan hasil diagnosa. Secara sekilas penyandang autis dapat
terlihat seperti anak dengan keterbelakangan mental, kelainan perilaku,
gangguan pendengaran atau bahkan berperilaku aneh dan unik. Yang lebih
menyulitkan lagi adalah semua gejala tersebut di atas dapat timbul secara
bersamaan. Karenanya sangatlah penting untuk membedakan antara autisme
dengan yang lainnya sehingga diagnosa yang akurat dan penanganan sedini
mungkin dapat dilakukan untuk menentukan intervensi yang tepat.
Pendidikan inklusif dipandang sebagai sebuah kebijakan yang memiliki
nilai strategis dalam memberikan akses yang seluas-luasnya bagi setiap warga
negara dalam memperoleh layanan pendidikan secara memadai, termasuk di
dalamnya anak autis. Oleh karena itu, pendidikan inklusif memiliki nilai-nilai
universal yang diakui oleh dunia internasional dan selaras dengan gerakan hak
asasi manusia. Hal tersebut dapat dipahami dari sejarah lahirnya konsep
pendidikan inklusi yang bermula dari gerakan internasional tentang Education
Agus Irawan Sensus, 2014.
MODEL KONSELING KELOMPOK DENGAN TEKNIK BERMAIN PERAN UNTUK MENGEMBANGKAN
KETERAMPILAN SOSIAL ANAK DENGAN HIGH FUNCTIONING AUTISM DISEKOLAH DASAR INKLUSIF
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu |perpustakaan.upi.edu
4
For All (EFA) yang direkomendasikan UNESCO sebagai kesepakatan global
hasil World Education Forum di Dakkar, Sinegal Tahun 2000 penuntasan EFA
diharapkan tercapai pada Tahun 2015 (Depdiknas, 2005: 4). Sejalan dengan
nilai-nilai universal tersebut, dalam Pasal 31 UUD 1945 tentang hak setiap
warga negara untuk memperoleh pendidikan dan dalam Undang-Undang
Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
pada Pasal 32 secara eksplisit terkandung layanan pendidikan mengenai
pendidikan khusus dan pendidikan layanan khusus.
Pemerataan kesempatan belajar bagi anak berkebutuhan khusus dilandasi
pernyataan Salamanca Tahun 1994. Pernyataan Salamanca ini merupakan
perluasan tujuan Education For All dengan mempertimbangkan pergeseran
kebijakan mendasar yang diperlukan untuk mengimplementasikan pendekatan
pendidikan inklusif. Melalui pendidikan inklusif ini diharapkan sekolahsekolah reguler dapat melayani semua anak, termasuk mereka yang memiliki
kebutuhan pendidikan
khusus. Di Indonesia melalui Keputusan Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan No. 002/U/1986 telah dirintis pengembangan
sekolah penyelenggaraan pendidikan inklusi yang melayani penuntasan wajib
belajar bagi peserta didik yang berkebutuhan khusus.
Operasionalisasi dari kebijakan tersebut, Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan, telah merumuskan tiga pilar pembangunan pendidikan nasional,
yang salah satunya berkaitan dengan implementasi pendidikan inklusi, adalah
pilar pertama, yaitu “pemerataan dan peningkatan aksesibilitas pendidikan”.
Pilar inilah yang menggambarkan adanya jaminan pemerataan dan kesempatan
layanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus, termasuk di dalamnya
anak autis.
Layanan pendidikan bagi anak autis pada umumnya diselenggarakan di
sekolah inklusif, dan ada juga yang diselenggarakan dalam bentuk pusat terapis
anak autis, seperti di Indocare Jakarta Utara, Suryakanti di Bandung, dan
beberapa pusat terapis lainnya. Atas dasar tersebut, pemerintah saat ini, melalui
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan berkoordinasi dengan Dinas
Agus Irawan Sensus, 2014.
MODEL KONSELING KELOMPOK DENGAN TEKNIK BERMAIN PERAN UNTUK MENGEMBANGKAN
KETERAMPILAN SOSIAL ANAK DENGAN HIGH FUNCTIONING AUTISM DISEKOLAH DASAR INKLUSIF
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu |perpustakaan.upi.edu
5
Pendidikan Provinsi dan Kota/Kabupaten, dan Pusat Pengembangan dan
Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan Taman Kanak-Kanak dan
Pendidikan Luar Biasa (PPPPTK TK dan PLB), sedang mengembangkan
sekolah inklusif, sebagai salah satu bentuk lembaga pendidikan yang
menyertakan anak berkebutuhan khusus—termasuk di dalamnya anak autis
dengan anak-anak reguler).
Situasi pembelajaran di sekolah inklusif memiliki potensi untuk
digunakan sebagai situasi untuk mengembangkan keterampilan sosial bagi
anak autis. Pengembangan keterampilan sosial bagi anak autis merupakan hal
yang harus mendapatkan perhatian guru di sekolah inklusif. Oleh karena itu,
anak autis sangat membutuhkan intervensi pendidikan dalam upaya
mengembangkan keterampilan sosial. Jennifer dalam Bauminger, et al (2003:
15) mengemukakan bahwa pengembangan keterampilan sosial pada anak autis
dapat dipahami sebagai pintu pertama dan utama untuk membantu anak autis
memasuki lingkungan yang lebih luas. Selanjutnya, Suryo (2012: 8)
mengemukakan bahwa untuk mengembangkan keterampilan sosial pada anak
autis, guru dapat menggunakan berbagai teknik, di antaranya teknik bermain
dalam kegiatan kelompok.
Upaya mengembangkan keterampilan sosial pada anak autis sebagaimana
dikemukakan oleh para ahli di atas, jelaslah memerlukan suatu upaya atau
intervensi
yang dirancang dan
dilaksanakan secara terprogram
dan
berkelanjutan. Intervensi pendidikan di sekolah inklusif dapat dipahami
sebagai suatu ikhtiar dalam mengembangkan potensi anak autis, termasuk di
dalamnya keterampilan sosial. Rahardja (2011: 87) menyatakan bahwa layanan
pendidikan di sekolah inklusif ditujukan untuk memenuhi kebutuhan khusus
pendidikan dan aspek sosial anak berkebutuhan khusus, dan layanan bimbingan
dan konseling adalah salah satu program yang harus terintegrasi dengan
program pendidikan secara umum di sekolah. Pendapat tersebut menegaskan
bahwa layanan bimbingan dan konseling merupakan bagian terpadu dari
Agus Irawan Sensus, 2014.
MODEL KONSELING KELOMPOK DENGAN TEKNIK BERMAIN PERAN UNTUK MENGEMBANGKAN
KETERAMPILAN SOSIAL ANAK DENGAN HIGH FUNCTIONING AUTISM DISEKOLAH DASAR INKLUSIF
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu |perpustakaan.upi.edu
6
program layanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus—termasuk di
dalamnya anak autis—di sekolah inklusif.
Seiring dengan arti penting layanan bimbingan dan konseling, nyatanya
ada permasalahan yang dihadapi oleh anak autis yang tidak dapat diatasi
dengan menggunakan pendekatan pembelajaran (instructional approach), akan
tetapi memerlukan layanan pendidikan yang berbasis pada pendekatan
psikologi pendidikan (psychoeducation approach), yang dalam praktik di
sekolah dilaksanakan dalam bentuk layanan bimbingan dan konseling.
Layanan bimbingan dan konseling dalam memfasilitasi perkembangan
optimal peserta didik, memiliki peranan strategis sebagaimana dikemukakan
oleh banyak ahli di bidang pendidikan, khususnya di bidang bimbingan dan
konseling. Menurut Hallen (2005: 53) tujuan bimbingan dan konseling yaitu:
(a) agar peserta didik mengenal kekuatan dan kelemahan dirinya sendiri serta
menerima secara positif dan dinamis sebagai modal pengembangan diri lebih
lanjut, (b) agar peserta didik mengenal lingkungannya secara obyektif baik
lingkungan sosial, ekonomi, dan budaya yang sarat dengan nilai-nilai dan
norma-norma, maupun lingkungan fisik dan menerima kondisi lingkungan
secara positif, (c) agar pesrta didik mampu mempertimbangkan dan mengambil
putusan tentang masa depan dirinya, baik yang menyangkut bidang pendidikan,
bidang karier, maupun bidang budaya, keluarga, dan masyarakat. Dari uraian
tersebut, jelaslah bahwa bimbingan dan konseling mempunyai tujuan untuk
membantu siswa, agar dapat mencapai tujuan-tujuan perkembangannya dan
menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa
dan berbudi pekerti luhur.
Sebagai layanan profesional, tentunya implementasi bimbingan dan
konseling di sekolah harus taat asas. Hal ini ditujukan supaya layanan
bimbingan dan konseling tersebut dapat mencapai sasaran dengan tetap
memperhatikan prinsip-prinsip etis. Menurut Nurihsan (2004: 15) asas
bimbingan dan konseling adalah: (a) asas kerahasiaan, (b) asas kesukarelaan,
(c) asas keterbukaan, (d) asas kekinian, (e) asas kemandirian, (f) asas kegiatan,
Agus Irawan Sensus, 2014.
MODEL KONSELING KELOMPOK DENGAN TEKNIK BERMAIN PERAN UNTUK MENGEMBANGKAN
KETERAMPILAN SOSIAL ANAK DENGAN HIGH FUNCTIONING AUTISM DISEKOLAH DASAR INKLUSIF
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu |perpustakaan.upi.edu
7
(g) asas kedinamisan, (h) asas keterpaduan, (i) asas kenormatifan, (j) asas
keahlian, (k) asas alih tangan, dan (l) asas tutwuri handayani.
Salah satu jenis dalam layanan bimbingan dan konseling adalah konseling
kelompok. Natawidjaja (2008: 12) menjelaskan pengertian konseling kelompok
sebagai “upaya bantuan kepada individu dalam suasana kelompok, bersifat
pencegahan, penyembuhan, dan pengembangan”, serta memberi kemudahan
perkembangan dan pertumbuhan”. Definisi lainnya dikemukakan oleh
Pietrosfesa et al yang dikutip Natawidjaja (2009: 6) yang menyatakan, bahwa
“Group counseling .... is a problem-oriented and largely remedial process that
accelerates individual problem resulation in a group setting.” Batasan ini
menjelaskan bahwa konseling kelompok cocok diterapkan bagi orang-orang
yang mengalami beberapa kesulitan, ketidakpuasan, atau yang terlibat dalam
perilaku yang bersifat menghambat perkembangan diri (self-defeating). Dari
batasan tersebut, dapat dipahami bahwa melalui kegiatan konseling kelompok
tersebut, konselor dapat memfasilitasi pemecahan permasalahan yang dihadapi
individu dan sekaligus mengembangkan potensi individu melalui penciptaan
suasana kelompok yang relevan, kondusif, dan diperlukan serta dipahami oleh
anggota dalam kelompok.
Konseling kelompok sebagai salah satu jenis layanan dalam pelaksanaan
bimbingan dan konseling, secara konseptual memiliki relevansi dengan upaya
pengembangan keterampilan sosial pada anak autis. Melalui konseling
kelompok dimaksud, persoalan-persoalan individu pada anak autis, dapat
diatasi dalam situasi kelompok. Natawidjaja (2008: 13) mengemukakan tujuan
dari konseling kelompok, sebagai berikut:
1. membantu menemukan masalah bersama;
2. menyediakan informasi yang berguna untuk memecahkan masalah
penyesuaian diri;
3. menyediakan peluang untuk berfikir dalam suasana kelompok;
4. menyediakan peluang untuk mendapatkan pengalaman yang dapat
meningkatkan pemahaman diri;
5. meletakkan landasan untuk konseling individual; dan
6. melaksanakan diskusi yang bersifat terapeutik.
Agus Irawan Sensus, 2014.
MODEL KONSELING KELOMPOK DENGAN TEKNIK BERMAIN PERAN UNTUK MENGEMBANGKAN
KETERAMPILAN SOSIAL ANAK DENGAN HIGH FUNCTIONING AUTISM DISEKOLAH DASAR INKLUSIF
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu |perpustakaan.upi.edu
8
Sebagaimana telah dijelaskan bahwa persoalan pokok yang dihadapi anak
autis adalah menyangkut kesulitan dalam mengembangkan perilaku yang dapat
diterima oleh lingkungan, dan hal ini terkait dengan rendahnya keterampilan
sosial yang dimiliki oleh anak autis. Dengan demikian, intervensi terhadap
anak autis, akan menekankan pada pembentukkan perilaku yang dapat diterima
oleh lingkungan. Dalam perspektif konseling kelompok, upaya ke arah
pemecahan masalah perilaku konseli, secara konseptual relevan dengan
menggunakan pendekatan behavioristik. Hal ini sejalan dengan pendapat
Krumboltz & Thoresen yang dikutip Natawidjaja (2009: 259) yang
mengatakan bahwa:
Konseling kelompok dengan pendekatan perilaku (behavioristik)
menekankan pada upaya melatih atau mengajar konseli tentang
keterampilan pengelolaan diri yang dapat digunakannya untuk
mengendalikan kehidupannya, untuk menangani masalah masa kini dan
masa datang, dan untuk mampu berfungsi dengan memadai tanpa terapi
terus menerus.
Lee & June (2002: 165) mengemukakan konsep Triad Impairment yang
menjadi gejala umum keterbatasan anak autis, yaitu: “(1) social interaction; (2)
social communication; and (3) imagination”.
Ketiga permasalahan ini
merupakan ciri-ciri umum dari autisme, meskipun bentuk perilakunya pada
setiap anak autis, sangatlah unik. Dengan adanya tiga keterbatasan umum yang
dimiliki anak autis, menyebabkan anak autis dihadapkan pada kesulitan dalam
mengembangkan keterampilan sosial. Ciri utama dari anak yang belum
memiliki keterampilan sosial, adalah bermuara pada permasalahan gangguan
perilaku. Gangguan perilaku, yaitu gangguan penyesuaian diri terhadap
lingkungan sosial yang disebabkan oleh lemahnya kontrol diri, merupakan
kasus yang paling banyak terjadi pada anak-anak. Dari seluruh anak-anak yang
dirujuk karena mengalami gangguan klinis, sepertiga sampai setengah di
antaranya karena mengalami gangguan perilaku. Bahkan pada populasi yang
bukan klinis, ditemukan bahwa 50% atau lebih anak usia 4-5 tahun telah
menunjukkan beberapa simptom gangguan perilaku eksternal yang dapat
Agus Irawan Sensus, 2014.
MODEL KONSELING KELOMPOK DENGAN TEKNIK BERMAIN PERAN UNTUK MENGEMBANGKAN
KETERAMPILAN SOSIAL ANAK DENGAN HIGH FUNCTIONING AUTISM DISEKOLAH DASAR INKLUSIF
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu |perpustakaan.upi.edu
9
berkembang menjadi gangguan perilaku yang tetap (Campbell, Coie & Reid,
dalam Bennett, Brown, Lipman, Racine, Boyle & Offord) dalam Suryo (2012:
21). Fenomena seperti ini umum terjadi di banyak negara. Penelitian
epidemiologi di beberapa negara seperti di Kanada, Queensland, dan Selandia
Baru menunjukkan sekitar 5 – 7 % anak-anak mengalami gangguan perilaku
(Krasny, 2003: 3).
Kondisi yang sama dialami oleh anak autis yang memiliki permasalahan
dalam mengembangkan perilaku adaptif. Hal ini karena memang secara
potensial, anak autis mengalami hambatan dalam hal keterampilan sosial.
Pengembangan keterampilan sosial pada anak autis dapat dilakukan dengan
menciptakan kondisi lingkungan yang memungkinkan anak autis untuk
mengembangkan keterampilan sosialnya. Hasil studi awal yang dilakukan pada
tiga Sekolah dasar inklusif di Kota Bandung, yakni SDN Puteraco, SD Dewi
Sartika, dan SD Tunas Harapan, mengemuka beberapa permasalahan yang
dihadapi oleh anak autis di sekolah inklusif. Hasil penelitian Sensus, dkk, di
SDN Puteraco Kota Bandung (2008: 87) menujukkan bahwa perilaku anak
autis sebagai berikut: (1) memiliki permasalahan dalam melakukan komunikasi
dengan teman sebaya, guru, dan orang yang baru dikenalinya; (2) kurang
memiliki inisiatif dalam memulai kontak sosial dengan lingkungan sekitar,
seperti dengan teman sebaya dan guru; (3) kalaupun ada anak autis yang
menunjukkan minat dalam berkomunikasi, namun arah komunikasinya tidak
terfokus dan kontekstual dengan tema yang dibicarakan; dan (4) lebih asyik
dengan kegiatan sendiri dan kurang menunjukkan minat untuk berinteraksi
dengan lingkungan sekitar.
Temuan lainnya dari hasil penelitian ini, menunjukkan bahwa layanan
pembelajaran bagi anak autis SD Puteraco Kota Bandung, belum adanya
layanan bimbingan dan konseling yang didasarkan pada analisis perilaku anak
autis dan kerangka dasar bimbingan dan konseling. Layanan pembelajaran bagi
anak autis di sekolah inklusif tersebut, baru sebatas pada layanan instruksional
(pembelajaran di dalam kelas) dan program penunjang lainnya, seperti
Agus Irawan Sensus, 2014.
MODEL KONSELING KELOMPOK DENGAN TEKNIK BERMAIN PERAN UNTUK MENGEMBANGKAN
KETERAMPILAN SOSIAL ANAK DENGAN HIGH FUNCTIONING AUTISM DISEKOLAH DASAR INKLUSIF
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu |perpustakaan.upi.edu
10
diagnosis medis dan psikologis (Sensus, dkk, 2008: 90). Di samping hasil
penelitian di atas, dari observasi ke SD Dewi Sartika yang dilakukan pada
tahun 2009 menunjukkan adanya gejala yang sama pada perilaku anak autis,
seperti kurang berminat berinteraksi sosial, perilaku impulsif dan agresif.
Pengembangan keterampilan sosial pada anak autis, sesungguhnya tidak
hanya dalam setting sesama anak autis, akan tetapi harus lebih luas
dikembangkan dalam setting anak-anak reguler pada umumnya. Dalam konteks
ini, guru harus memiliki kompetensi dalam menciptakan lingkungan kondusif
yang mampu memfasilitasi pengembangan keterampilan sosial anak autis.
Keterampilan sosial pada anak autis yang menjadi target utama dalam model
konseling kelompok dengan teknik bermain peran dalam penelitian ini, adalah
hal yang sangat diperlukan untuk dimiliki oleh anak autis. Apalagi dalam
konteks keterampilan sosial anak autis di sekolah inklusif, yang mendorong
terjadinya interaksi sosial antara anak autis dengan anak reguler secara wajar.
Keterampilan sosial yang dimiliki oleh anak autis sesungguhnya akan menjadi
modal sosial bagi anak autis dalam mengatasi persoalan perilaku maladapted,
seperti: perilaku yang asik dengan diri sendiri, kebingungan dalam memulai
interaksi, keengganan dalam melakukan komunikasi sosial dengan lingkungan
sekitar, dan bentuk perilaku sosial lainnya.
Apabila dikaitkan dengan konsep dasar konseling kelompok dengan
teknik bermain peran yang dalam prakteknya menekankan pada penggunaan
prinsip-prinsip belajar yang disusun berdasarkan eksperimen untuk tujuan
mengubah perilaku yang tidak sesuai (Wolpe dalam Natawidjaja, 2009: 261).
Oleh karena itu, pendekatan konseling kelompok yang digunakan dalam
penelitian ini adalah pendekatan behavioristik. Pendekatan behavioristik dalam
konseling kelompok menempatkan bahwa perilaku konseli dapat dipelajari,
dirubah dan diperbaiki ke arah perilaku yang lebih baik melalui penataan
lingkungan kondusif sebagai bentuk stimulus-respon yang terstruktur
(Wibowo, 2005: 14). Konseling kelompok dengan pendekatan behavioristik
Agus Irawan Sensus, 2014.
MODEL KONSELING KELOMPOK DENGAN TEKNIK BERMAIN PERAN UNTUK MENGEMBANGKAN
KETERAMPILAN SOSIAL ANAK DENGAN HIGH FUNCTIONING AUTISM DISEKOLAH DASAR INKLUSIF
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu |perpustakaan.upi.edu
11
memiliki 13 teknik konseling kelompok, yang salah satunya adalah teknik
bermain peran.
Berdasarkan kerangka teoretis dan analisis kontekstual permasalahan
yang dihadapi oleh anak autis di sekolah dasar inklusif sebagaimana
dipaparkan di atas, perumusan model konseling kelompok dengan teknik
bermain peran memiliki kaitan konseptual-kontekstual dengan upaya ke arah
pengembangan keterampilan sosial anak dengan High Functioning Autism di
sekolah dasar inklusif.
B. Pembatasan dan Rumusan Masalah
Layanan pendidikan bagi anak autis di sekolah inklusif dihadapkan pada
persoalan bagaimana guru mampu merencanakan dan melaksanakan layanan
pendidikan yang mengintegrasikan interaksi anak autis dengan anak-anak
reguler lainnya. Upaya untuk mengembangkan keterampilan sosial pada anak
autis di sekolah inklusif memerlukan kecermatan dari guru untuk mendesain
jenis layanan seperti apa yang relevan dengan karakteristik autisme dan target
yang hendak dicapai dari tujuan layanan pembelajaran. Untuk mencapai tujuan
pengembangan keterampilan sosial pada anak autis, guru harus menciptakan
suasana kelompok yang memungkinkan anak autis dan anak-anak reguler
lainnya untuk berinterkasi sosial, sehingga pada akhirnya keterampilan sosial
pada anak autis dapat ditingkatkan.
Namun demikian, tidak mudah bagi guru anak autis di sekolah inklusif
untuk mengembangkan keterampilan sosial pada anak autis. Hal tersebut
disebabkan bahwa pada umumnya sekolah inklusif dimana di dalamnya ada
anak autis, belum memiliki guru pembimbing (konselor), sehingga layananlayanan pembelajaran yang berbasis pada pendekatan bimbingan dan konseling
masih belum dilaksanakan secara terprogram. Hal lainnya yang menjadi
persoalan terkait dengan layanan bimbingan dan konseling bagi anak autis di
sekolah inklusif, adalah belum dipahaminya esensi, ekpektasi, dan prosedur
penyelenggaraan layanan bimbingan dan konseling oleh warga sekolah.
Agus Irawan Sensus, 2014.
MODEL KONSELING KELOMPOK DENGAN TEKNIK BERMAIN PERAN UNTUK MENGEMBANGKAN
KETERAMPILAN SOSIAL ANAK DENGAN HIGH FUNCTIONING AUTISM DISEKOLAH DASAR INKLUSIF
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu |perpustakaan.upi.edu
12
Kenyataan ini mendorong intervensi bagi anak autis identik dengan intervensi
psikologi, pedagogik, dan medis, sementara layanan bimbingan dan konseling
belum banyak dilakukan di sekolah inklusif.
Kenyataan ini memberikan landasan empirik-konseptual akan pentingnya
merumuskan dan melaksanakan model konseling kelompok dengan teknik
bermain peran untuk mengembangkan keterampilan sosial anak autis di
sekolah dasar inklusif. Model konseling kelompok dalam penelitian ini
berbasis pada pendekatan behavioral dengan teknik bermain peran dan hasil
analisis empirik-kontekstual tentang perilaku anak autis di sekolah dasar
inklusif.
Mencermati sifat dari konseling kelompok, maka secara konseptual upaya
ke arah mengembangkan keterampilan sosial pada anak autis, memiliki
peluang untuk dilakukan. Selanjutnya penerapan konseling kelompok dengan
teknik bermain peran memerlukan kemampuan dasar pada konseli dan anggota
kelompok untuk memiliki minat untuk berinteraksi, dan memiliki kemampuan
dasar dalam memahami perintah atau instruksi verbal. Sementara di sisi
lainnya, permasalahan pada anak autis merentang dari yang ringan sampai ke
permasalahan yang bersifat kompleks. Gejala autisme sebagai sebuah
spektrum, merentang dari kategori low function menuju high function, dari
kategori hyposensitive menuju hypersensitive. Mencermati persyaratan dasar
dari penggunaan konseling kelompok dengan teknik bermain peran, maka
subyek dari penelitian ini adalah anak dengan High Functioning Autism (HFA).
Kelle et al (2009: 1) mengemukakan bahwa High Functioning Autism
(HFA) adalah kelompok anak autis yang memiliki kemampuan untuk
memahami perintah komunikasi, baik secara verbal—meskipun terbatas
dibandingkan dengan anak reguler lainnya--, maupun memahami komunikasi
dengan menggunakan media bantuan. Selanjutnya HFA juga memiliki
kemampuan untuk mengikuti pembelajaran bersama anak reguler di sekolah
penyelenggara pendidikan inklusi. Pendapat ini memperkuat landasan
konseptual untuk menentukan HFA sebagai subyek penelitian ini. Dilihat dari
Agus Irawan Sensus, 2014.
MODEL KONSELING KELOMPOK DENGAN TEKNIK BERMAIN PERAN UNTUK MENGEMBANGKAN
KETERAMPILAN SOSIAL ANAK DENGAN HIGH FUNCTIONING AUTISM DISEKOLAH DASAR INKLUSIF
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu |perpustakaan.upi.edu
13
luasnya setting penelitian yakni sekolah penyelenggara pendidikan inklusi yang
ada di Kota Bandung, maka fokus penelitian ini dibatasi pada SDN Puteraco.
Berangkat dari kondisi empirik-konseptual sebagaimana dipaparkan di
atas, fokus penelitian ini adalah untuk merumuskan dan mengimplementasikan
model konseling kelompok dengan teknik bermain peran yang efektif untuk
mengembangkan keterampilan sosial pada anak dengan High Functioning
Autism di sekolah dasar inklusif Kota Bandung”.
C. Pertanyaan Penelitian
Sebagaimana dinyatakan dalam rumusan masalah, bahwa penelitian ini
akan merumuskan dan mengimplementasikan model konseling kelompok
dengan teknik bermain peran yang efektif untuk mengembangkan keterampilan
sosial anak dengan High Functioning Autism di sekolah dasar inklusif Kota
Bandung. Operasionalisasi dari rumusan penelitian dimaksud, dilaksanakan
dalam dua tahapan penelitian, yakni penelitian tahap kesatu dengan fokus
untuk merumuskan model konseling kelompok dengan teknik teknik bermain
peran yang efektif untuk mengembangkan keterampilan sosial anak dengan
High Functioning Autism di sekolah dasar inklusif Kota Bandung, dan
penelitian tahap kedua dengan fokus untuk mengimplementasikan model
konseling kelompok dengan teknik bermain peran yang efektif yang dihasilkan
dalam penelitian ini untuk mengembangkan keterampilan sosial anak dengan
High Functioning Autism di sekolah dasar inklusif Kota Bandung.
Dalam penelitian tahap kesatu ini, fokus penelitian adalah untuk
merumuskan model konseling kelompok dengan teknik bermain peran yang
efektif untuk mengembangkan keterampilan sosial anak dengan High
Functioning Autism di sekolah dasar inklusif Kota Bandung. Untuk
merumuskan model dimaksud, diperlukan data-data lapangan sebagai dasar
empirik.
Agus Irawan Sensus, 2014.
MODEL KONSELING KELOMPOK DENGAN TEKNIK BERMAIN PERAN UNTUK MENGEMBANGKAN
KETERAMPILAN SOSIAL ANAK DENGAN HIGH FUNCTIONING AUTISM DISEKOLAH DASAR INKLUSIF
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu |perpustakaan.upi.edu
14
Terkait dengan tujuan penelitian tahap kesatu sebagaimana dipaparkan di
atas, berikut dirumuskan pertanyaan penelitian yang memfokuskan pada
kondisi obyek keterampilan sosial anak dengan High Functioning Autism:
1. Hambatan dan kemampuan apa saja yang dialami oleh anak dengan High
Functioning Autism dalam mengembangkan keterampilan sosial dengan
anak-anak reguler di sekolah dasar inklusif?
2. Aspek-aspek apa saja yang difahami guru tentang keterampilan sosial anak
dengan High Functioning Autism di sekolah dasar inklusif?
3. Bagaimana pengetahuan guru dalam melaksanakan konseling kelompok
dengan teknik bermain peran untuk mengembangkan keterampilan sosial
pada anak dengan High Functioning Autism di sekolah dasar inklusif?
4. Dukungan apa saja yang diberikan orang tua siswa dalam mengembangkan
keterampilan sosial anak dengan High Functioning Autism di sekolah dasar
inklusif?
5. Seperti apakah model konseling kelompok dengan teknik bermain peran
untuk mengembangkan keterampilan sosial anak dengan High Functioning
Autism di sekolah dasar inklusif?
Dalam penelitian tahap kedua, rumusan masalah penelitian adalah
“bagaimana implementasi model konseling kelompok dengan teknik bermain
peran untuk mengembangkan keterampilan sosial anak dengan High
Functioning Autism di sekolah dasar inklusif?” Terkait dengan rumusan
masalah dalam penelitian tahap kedua ini, dirumuskan pertanyaan penelitian
sebagai berikut:
1. Apakah penerapan model konseling kelompok dengan teknik bermain
peran dapat meningkatkan keterampilan sosial anak dengan High
Functioning Autism yang berperilaku agresif dan menyendiri di sekolah
dasar inklusif Kota Bandung?
2. Apakah penerapan model konseling kelompok dengan teknik bermain
peran dapat meningkatkan keterampilan sosial anak dengan High
Agus Irawan Sensus, 2014.
MODEL KONSELING KELOMPOK DENGAN TEKNIK BERMAIN PERAN UNTUK MENGEMBANGKAN
KETERAMPILAN SOSIAL ANAK DENGAN HIGH FUNCTIONING AUTISM DISEKOLAH DASAR INKLUSIF
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu |perpustakaan.upi.edu
15
Functioning Autism kelas rendah dan kelas tinggi di sekolah dasar inklusif
Kota Bandung?
3. Apakah penerapan model konseling kelompok dengan teknik bermain
peran dapat meningkatkan keterampilan sosial anak dengan High
Functioning Autism yang berasal dari keluarga yang memiliki dukungan
memadai dan kurang memadai di sekolah dasar inklusif Kota Bandung?
D. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk merumuskan dan mengimplementasikan
model
konseling
kelompok
dengan
teknik
bermain
peran
untuk
mengembangkan keterampilan sosial anak dengan High Functioning Autism di
sekolah dasar inklusif Kota Bandung. Mencermati tujuan penelitian dimaksud,
maka penelitian ini dilaksanakan dalam dua tahapan kegiatan penelitian.
Tujuan penelitian dalam penelitian tahap kesatu, adalah merumuskan
model
konseling
kelompok
dengan
teknik
bermain
peran
untuk
mengembangkan keterampilan sosial anak dengan High Functioning Autism di
sekolah dasar inklusif Kota Bandung. Untuk merumuskan tujuan penelitian
tersebut diperlukan data lapangan sebagai berikut:
1.
Hambatan dan kemampuan yang dialami oleh anak dengan High
Functioning Autism dalam mengembangkan keterampilan sosial dengan
anak-anak reguler di sekolah dasar inklusif Kota Bandung.
2.
Aspek-aspek yang difahami guru tentang keterampilan sosial anak dengan
High Functioning Autism di sekolah dasar inklusif Kota Bandung.
3.
Kompetensi guru di sekolah dasar inklusif dalam melaksanakan model
bermain peran dengan teknik bermain peran untuk mengembangkan
keterampilan sosial pada anak dengan High Functioning Autism di sekolah
dasar inklusif Kota Bandung.
4.
Dukungan yang diberikan orang tua siswa dalam mengembangkan
keterampilan sosial anak dengan High Functioning Autism di sekolah
dasar inklusif di sekolah dasar inklusif Kota Bandung.
Agus Irawan Sensus, 2014.
MODEL KONSELING KELOMPOK DENGAN TEKNIK BERMAIN PERAN UNTUK MENGEMBANGKAN
KETERAMPILAN SOSIAL ANAK DENGAN HIGH FUNCTIONING AUTISM DISEKOLAH DASAR INKLUSIF
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu |perpustakaan.upi.edu
16
Tujuan
penelitian
dalam
tahap
kedua,
adalah
untuk
mengimplementasikan model konseling kelompok dengan teknik bermain
peran yang telah dirumuskan untuk mengembangkan keterampilan sosial anak
dengan High Functioning Autism di sekolah dasar inklusif Kota Bandung.
Dalam mengimplementasikan model konseling kelompok dengan teknik
bermain peran ini, dikelompokan berdasarkan kriteria sebagai berikut:
1.
Penerapan model konseling kelompok dengan teknik bermain peran untuk
meningkatkan keterampilan sosial anak dengan High Functioning Autism
yang berperilaku agresif dan menyendiri di sekolah dasar inklusif Kota
Bandung.
2.
Penerapan model konseling kelompok dengan teknik bermain peran untuk
meningkatkan keterampilan sosial anak dengan High Functioning Autism
kelas rendah dan kelas tinggi di sekolah dasar inklusif Kota Bandung.
3.
Penerapan model konseling kelompok dengan teknik bermain peran untuk
meningkatkan keterampilan sosial anak dengan High Functioning Auti
yang berasal dari keluarga yang memiliki dukungan memadai dan kurang
memadai di sekolah dasar inklusif Kota Bandung.
E. Manfaat Penelitian
1.
Manfaat Teoretis
Hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan diskusi untuk mengkaji konsep-
konsep yang berkenaan dengan aspek-aspek perkembangan belajar anak
dengan High Functioning Autism yang mengikuti pendidikan di sekolah dasar
inklusif dan implikasinya bagi pengembangan model konseling kelompok
dengan teknik bermain peran yang efektif di sekolah dasar inklusif. Upaya
untuk mengkaji aspek-aspek dimaksud dipandang penting, mengingat ada
kecenderungan peningkatan jumlah anak autis yang mengikuti pendidikan di
sekolah inklusif, dan aspek-aspek perkembangan belajar anak autis sendiri
diprediksi akan mempengaruhi keberhasilan dalam mengikuti pendidikan
inklusi tersebut. Sisi lainnya, dari manfaat teoretis ini adalah dapat
Agus Irawan Sensus, 2014.
MODEL KONSELING KELOMPOK DENGAN TEKNIK BERMAIN PERAN UNTUK MENGEMBANGKAN
KETERAMPILAN SOSIAL ANAK DENGAN HIGH FUNCTIONING AUTISM DISEKOLAH DASAR INKLUSIF
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu |perpustakaan.upi.edu
17
mengembangkan keterkaitan atau lintasan teori pendidikan khusus, termasuk di
dalamnya kajian anak autis dengan kerangka konseling kelompok di sekolah
inklusif. Kajian ini juga dapat bermanfaat mengingat dewasa ini terjadi
kecenderungan untuk mengembangkan layanan bimbingan konseling dalam
berbagai setting, termasuk di dalamnya dalam setting layanan bimbingan
konseling bagi anak autis.
2.
Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat mendatangkan manfaat praktis, di
antaranya sebagai berikut:
a. Sebagai bahan masukkan bagi pihak-pihak terkait di sekolah dasar inklusif,
seperti kepala sekolah, guru mata pelajaran dan khususnya guru BK tentang
taraf keterampilan sosial anak autis dan upaya pengembangannya;
b. Sebagai bahan pertimbangan bagi guru kelas dan guru BK di sekolah
inklusif dalam melaksanakan layanan bimbingan dan konseling, khususnya
dengan konseling kelompok dengan teknik bermain peran pada anak
dengan High Functioning Autism di sekolah dasar inklusif;
c. Bagi peneliti selanjutnya, dapat dijadikan bahan kajian untuk mendalami
variabel atau lingkup penelitian lebih lanjut misalnya tentang faktor-faktor
kontekstual yang mempengaruhi perkembangan anak autis secara
komprehensif.
F. Definisi Operasional Variabel
Untuk memberikan arah atau batasan yang jelas tentang aspek-aspek
yang akan diungkap dalam penelitian ini, perlu dijelaskan beberapa batasan
sebagai berikut:
1.
Model Konseling Kelompok dengan Teknik Bermain Peran
Menurut Nugent, dalam (Blochler, 1987: 23) menjelaskan bahwa
“konseling kelompok adalah intervensi yang direncanakan, sistematis, yang
ditujukan untuk membantu individu menjadi lebih sadar atas dirinya sendiri,
memaksimalkan kebebasan dan efektivitas manusia”. Aspek-aspek dimaksud
Agus Irawan Sensus, 2014.
MODEL KONSELING KELOMPOK DENGAN TEKNIK BERMAIN PERAN UNTUK MENGEMBANGKAN
KETERAMPILAN SOSIAL ANAK DENGAN HIGH FUNCTIONING AUTISM DISEKOLAH DASAR INKLUSIF
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu |perpustakaan.upi.edu
18
nampak dalam definisi deskriptif tentang konseling kelompok sebagaimana
dikemukakan oleh Shertzer & Stone (1980: 46) sebagai berikut: “konseling
kelompok adalah suatu proses pemberian bantuan kepada individu melalui
suasana kelompok yang memungkinkan individu dapat mengembangkan
wawasan dan pemahaman yang diperlukan tentang suatu masalah tertentu,
mengeksplorasi dan menentukan alternatif terbaik untuk memecahkan masalah
atau dalam upaya mengembangkan pribadinya.
Secara konseptual konseling kelompok adalah
“upaya bantuan kepada
individu dalam suasana kelompok, bersifat pencegahan, penyembuhan, dan
pengembangan”, serta memberi kemudahan perkembangan dan pertumbuhan”.
Dari batasan tersebut, dapat dipahami bahwa melalui kegiatan konseling
kelompok tersebut, konselor dapat memfasilitasi pengembangan potensi
individu melalui penciptaan suasana kelompok yang relevan, kondusif, dan
diperlukan serta dipahami oleh anggota dalam kelompok.
Konseling
kelompok
dengan
pendekatan
behavioral
dalam
perkembangannya terdiri dari berbagai teknik. Salah satu teknik yang populer
dalam konseling kelompok adalah teknik bermain peran. Konseling kelompok
dengan dengan teknik bermain peran ini menekankan pada upaya melatih atau
mengajar
konseli
tentang
keterampilan
mengelola
diri
yang
dapat
digunakannya untuk mengendalikan kehidupannya, untuk menangani masalah
masa kini dan masa datang, dan untuk mampu berfungsi dengan memadai
tanpa terapi yang terus menerus (Krumboltz & Thoresen, 1976, dalam
Natawidjaja (2009: 259). Para ahli dalam pendekatan behavioristik banyak
menekankan pendapatnya tentang upaya membantu manusia ke arah
pembentukan “perilaku pengarahan diri” (self-directed behavior) dan “gaya
hidup yang dikelola diri sendiri” (self-managed live style) (Natawidjaja, 2009:
259).
Perumusan model konseling kelompok dengan teknik bermain peran
yang efektif dalam penelitian ini dihasilkan dari analisis empirik tentang
keterampilan sosial anak dengan High Functioning Autism di sekolah dasar
Agus Irawan Sensus, 2014.
MODEL KONSELING KELOMPOK DENGAN TEKNIK BERMAIN PERAN UNTUK MENGEMBANGKAN
KETERAMPILAN SOSIAL ANAK DENGAN HIGH FUNCTIONING AUTISM DISEKOLAH DASAR INKLUSIF
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu |perpustakaan.upi.edu
19
inklusif dan kerangka konseptual konseling kelompok dengan teknik bermain
peran. Dengan demikian, maka dapat dirumuskan bahwa model konseling
kelompok dengan teknik bermain peran dalam penelitian ini adalah sebuah
model konseling kelompok yang dirumuskan berdasarkan analisis empirik
perilaku sosial anak dengan High Functioning Autism di sekolah dasar inklusif
dan analisis konseptual tentang konseling kelompok dengan teknik bermain
peran yang ditujukan untuk mengembangkan keterampilan sosial anak dengan
High Functioning Autism di sekolah dasar inklusif Kota Bandung.
Implementasi dari model konseling kelompok dengan teknik bermain
peran yang efektif ini, dilaksanakan dalam 3 tahapan utama, yaitu:
a. Tahapan Permulaan; yaitu suatu tahapan sebelum terbentuknya kelompok
konseling dan pertemuan-pertemuan pertama dari keseluruhan rencana
konseling. Dalam tahapan permulaan pada konseling kelompok dengan
teknik bermain peran ini, peneliti menentukan jumlah anggota dalam
konseling kelompok—berapa orang anak dengan High Functioning Autism
dan anak reguler dalam kelompok konseling, dan target perilaku (target
behavior) yang hendak dicapai dalam proses konseling kelompok.
b. Tahapan
Pelaksanaan;
yaitu
tahapan
dimana
peneliti
(konselor)
merumuskan rancangan perilaku bantuan dan penerapan teknik bermain
peran.
c. Tahapan Akhir; yaitu suatu tahapan konseling kelompok dimana peneliti
(konselor) pertama-tama berusaha membantu konseli untuk mengalihkan
perubahan yang telah diperoleh konseli dalam kegiatan kelompok kepada
keadaan yang sebenarnya dalam aktivitas sehari-hari.
Agus Irawan Sensus, 2014.
MODEL KONSELING KELOMPOK DENGAN TEKNIK BERMAIN PERAN UNTUK MENGEMBANGKAN
KETERAMPILAN SOSIAL ANAK DENGAN HIGH FUNCTIONING AUTISM DISEKOLAH DASAR INKLUSIF
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu |perpustakaan.upi.edu
20
2.
Keterampilan Sosial Anak dengan High Functioning Autism
Variabel terikat dalam penelitian ini adalah keterampilan sosial anak
dengan High Functioning Autism. Sebelum merumuskan batasan operasional
keterampilan sosial pada anak dengan High Functioning Autism, perlu dikupas
dulu batasan konseptual tentang keterampilan sosial.
Menurut Scheneider, et al (dalam Fajar.multifly.com) agar seseorang
berhasil dalam interaksi sosial, maka secara umum dibutuhkan beberapa
keterampilan sosial yang terdiri dari pikiran, pengaturan emosi, dan perilaku
yang tampak. Anak yang memiliki keterampilan sosial dapat diketahui dari
bagaimana cara berinteraksi dan berperilaku yang tepat sesuai dengan tuntutan
lingkungan.
Dalam kaitannya dengan keterampilan anak dengan High
Functioning Autism, dapat dirumuskan bahwa yang dimaksud dengan dengan
keterampilan sosial anak dengan High Functioning Autism, adalah kemampuan
dalam berinteraksi dengan teman sebaya, seperti peer acceptance, keterampilan
berkomunikasi, perilaku interpersonal, perilaku personal, dan kemampuan
menyelesaikan tugas-tugas akademis.
Secara terstruktur, Elksnin & Elksnin (dalam Fajar.multifly.com)
mengidentifikasi keterampilan sosial dengan beberapa ciri sebagai berikut:
1) Peer acceptance
Perilaku yang berhubungan dengan kemampuan dalam memposisikan
dirinya sebagai bagian dari lingkungan atau teman sebaya. Data yang
diungkap memfokuskan pada target behaviour, yakni meningkatnya
kemauan dan kemampuan untuk memberi salam atau menyapa.
2) Keterampilan Komunikasi
Kemampuan anak dalam berkomunikasi dengan lingkungan, seperti
dengan guru dan teman sebaya. Data yang diungkap memfokuskan pada
target behaviour, yakni meningkatnya kemauan dan kemampuan untuk
mempertahankan perhatian dalam pembicaraan.
Agus Irawan Sensus, 2014.
MODEL KONSELING KELOMPOK DENGAN TEKNIK BERMAIN PERAN UNTUK MENGEMBANGKAN
KETERAMPILAN SOSIAL ANAK DENGAN HIGH FUNCTIONING AUTISM DISEKOLAH DASAR INKLUSIF
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu |perpustakaan.upi.edu
21
3) Perilaku Interpersonal
Merupakan perilaku menyangkut keterampilan yang dipergunakan selama
melakukan interaksi sosial. Analisis data dalam dimensi ini memfokuskan
pada tercapainya perilaku yang dikehendaki (target behaviour) yaitu
meningkatnya kemauan untuk memberikan bantuan.
4) Perilaku Personal
Merupakan keterampilan untuk mengatur diri sendiri dalam situasi sosial.
Dalam penelitian ini, data tentang perilaku interpersonal memfokuskan
pada pada target behaviour, yakni meningkatnya kemauan dan
kemampuan untuk menghadapi kendala/kesulitan.
5) Perilaku yang berhubungan dengan kesuksesan akademis
Merupakan perilaku atau keterampilan sosial yang dapat mendukung
prestasi belajar di sekolah. Dalam data ini memfokuskan pada target
behaviour, yakni meningkatnya kemauan dan kemampuan untuk
mendengarkan penjelasan materi pelajaran.
G. Asumsi Penelitian
1. Layanan program bimbingan dan penyuluhan merupakan bagian
integral dari sistem pendidikan anak luar biasa, termasuk di dalamnya
bagi anak autis. (Moerdiani, 1987: 12).
2. Program bimbingan dan konseling harus fleksibel, disesuaikan dengan
kebutuhan individu, masyarakat, dan kondisi lembaga (Depdikbud,
1994).
3. Semua anak memerlukan pendidikan yang membantu mereka
berkembang untuk hidup dalam masyarakat yang normal (Sunanto,
2000: 4).
4. Individu akan mencapai perkembangan secara optimal, manakala
terjadi interaksi yang sehat antara individu dengan lingkungan.
(Ahman, 1997: 3).
Agus Irawan Sensus, 2014.
MODEL KONSELING KELOMPOK DENGAN TEKNIK BERMAIN PERAN UNTUK MENGEMBANGKAN
KETERAMPILAN SOSIAL ANAK DENGAN HIGH FUNCTIONING AUTISM DISEKOLAH DASAR INKLUSIF
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu |perpustakaan.upi.edu
22
H. Hipotesis Penelitian
Berdasarkan analisis teori tentang rancang bangun konseling kelompok
dengan teknik bermain peran dan karakrteristik perilaku anak dengan High
Functioning Autism di sekolah dasar inklusif, maka dapat dirumuskan hipotesis
penelitian sebagai berikut:
1.
Penerapan model konseling kelompok dengan teknik bermain peran dapat
meningkatkan keterampilan sosial anak dengan High Functioning Autism
yang berperilaku agresif dan menyendiri di sekolah dasar inklusif Kota
Bandung.
2.
Penerapan model konseling kelompok dengan teknik bermain peran dapat
meningkatkan keterampilan sosial anak dengan High Functioning Autism
kelas rendah dan kelas tinggi di sekolah dasar inklusif Kota Bandung.
3.
Penerapan model konseling kelompok dengan teknik bermain peran yang
efektif dapat meningkatkan keterampilan sosial anak dengan High
Functioning Autism yang berasal dari keluarga yang memiliki dukungan
memadai dan kurang memadai di sekolah dasar inklusif Kota Bandung.
Agus Irawan Sensus, 2014.
MODEL KONSELING KELOMPOK DENGAN TEKNIK BERMAIN PERAN UNTUK MENGEMBANGKAN
KETERAMPILAN SOSIAL ANAK DENGAN HIGH FUNCTIONING AUTISM DISEKOLAH DASAR INKLUSIF
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu |perpustakaan.upi.edu
23
Agus Irawan Sensus, 2014.
MODEL KONSELING KELOMPOK DENGAN TEKNIK BERMAIN PERAN UNTUK MENGEMBANGKAN
KETERAMPILAN SOSIAL ANAK DENGAN HIGH FUNCTIONING AUTISM DISEKOLAH DASAR INKLUSIF
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu |perpustakaan.upi.edu
Download