BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kesiapsiagaan

advertisement
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Kesiapsiagaan merupakan salah satu bagian dari proses manajemen bencana
khususnya tahap pra-bencana. Pentingnya kesiapsiagaan merupakan salah satu
elemen penting dari kegiatan pengendalian risiko bencana yang bersifat pro-aktif
sebelum terjadi bencana.
Indonesia merupakan negara kepulauan yang secara geografis terletak di
daerah khatulistiwa, diantara Benua Asia dan Australia serta diantara Samudera
Pasifik dan Hindia, berada pada pertemuan 4 (empat) lempeng tektonik utama dunia
yaitu Lempeng Eurasia, Indian-Australian, Pasifik dan Filipina. Interaksi dari
lempeng-lempeng ini berpengaruh pada kondisi seismo-tektonik wilayah Indonesia,
sehingga Indonesia sangat rawan terhadap bencana alam gempa bumi (BRR, 2008).
Kota Banda Aceh termasuk wilayah kawasan rawan bencana gempa bumi
karena terletak di lepas pantai Samudera Indonesia, yakni tempat pertemuan
Lempeng Eurasia dan Lempeng Australia. Selain gempa di dasar laut, Kota Banda
Aceh juga rawan terhadap gempa di darat, hal ini dikarenakan adanya patahan
Sumatera yang berdekatan dengan daerah Kota Banda Aceh (BRR, 2008).
Gempa bumi berkekuatan 9,2 SR (Skala Richter) yang terjadi pada tanggal 26
Desember 2004 di Samudera Hindia, lepas pantai barat Aceh, merupakan salah satu
gempa terdahsyat dalam kurun waktu 40 tahun terakhir yang menghantam Asia.
1
Universitas Sumatera Utara
Gempa ini mengakibatkan terjadinya tsunami yang menelan sangat banyak korban
jiwa (Andreas, et al, 2005). Perkiraan jumlah korban tewas diberbagai negara yang
terkena bencana tersebut adalah sebagai berikut: Indonesia 266.320 jiwa, Sri Lanka
38.195 jiwa, India 16.383 jiwa, Thailand 5.322 jiwa, Somalia 298 jiwa, Myanmar 90
jiwa, Maldives 82 jiwa, Malaysia 68 jiwa, Tanzania 10 jiwa, Bangladesh 2 jiwa,
Kenya 1 jiwa, dengan total perkiraan 326,771 jiwa (Ladh dan Adeney, 2005).
Berdasarkan laporan Satkorlak PB (2005), jumlah korban gempa bumi dan
tsunami tahun 2004 di Provinsi Aceh mencapai 236.116 jiwa, jumlah pengungsi
514.150 jiwa, jumlah anak yatim 1.086 jiwa, persentase penduduk yang kehilangan
mata pencaharian mencapai 44,1%, tingkat kerusakan pada berbagai aspek, seperti
ekonomi, sosial (perumahan 34.000 unit, pendidikan 105 unit, kesehatan, agama)
sebesar $1,665 juta, infrastruktur (transportasi, komunikasi, energi, air, sanitasi, dan
saluran
irigasi)
$877
juta,
produktif
(pertanian,
perikanan,
industri,
dan
pertambangan) $1,182 juta, lintas sektoral (lingkungan, pemerintahan, bank, dan
keuangan) sebesar $652 juta, dan lain sebagainya. Jumlah perkiraan kerugian
berbagai sektor diperkirakan sebesar Rp. 43,5 trilyun atau U$$ 4,57 milyar.
Gempa susulan berkekuatan lebih dari 5 SR juga terus terjadi di Kota Banda
Aceh setelah peristiwa tersebut. Kemudian runtutan kejadian gempa bumi pun terjadi
hampir di seluruh wilayah Indonesia. Yulaewati dan Shihab (2008), merincikannya
sebagai berikut: tanggal 25 Maret 2005 gempa (8,7 SR) terjadi di Nias, 27 Mei 2006
Universitas Sumatera Utara
gempa (5,9 SR) terjadi di Yogyakarta, 6 Maret 2007 gempa (6,4 SR) terjadi di
Padang, Sumatera Barat, dan 12 September 2007 gempa (7,8 SR) terjadi di Bengkulu.
Gempa bumi berkekuatan 7,7 SR kembali mengguncang Provinsi Aceh seperti
yang diberitakan pada surat kabar TEMPO Interaktif, terjadi pada tanggal 7 April
2010 pukul 02.26 WIB. Menurut data yang diperoleh dari Badan Meteorologi,
Klimatologi, dan Geofisika (2010), lokasi gempa berada di sekitar Nicobar, India,
namun goncangannya terasa sangat keras di Aceh dan berpotensi tsunami.
Menurut Yulaewati dan Shihab (2008), teknik untuk meramal gempa bumi
sampai sekarang belum ada yang bisa dipertahankan secara ilmiah. Berbagai
teknologi sudah dicoba oleh para ahli gempa untuk mencoba memprediksi terjadinya
gempa bumi, namun ketepatan waktu masih jauh dari harapan. Sehingga setiap
individu perlu mempersiapkan diri dan keluarga menghadapi bencana gempa bumi.
Kota Banda Aceh sebagai ibu kota Provinsi Aceh merupakan suatu kawasan
yang mengalami dampak kerusakan paling parah akibat terjadinya bencana gempa
bumi dan tsunami tahun 2004. Berdasarkan profil Kota Banda Aceh (2005), diketahui
bahwa salah satu kawasan pesisir di wilayah Kota Banda Aceh yang mengalami
dampak kerusakan terparah adalah Desa Deyah Raya yang berada di Kecamatan
Syiah Kuala Kota Banda Aceh.
Desa Deyah Raya dengan luas wilayah 178,2 Ha mempunyai 4 (empat) dusun
yaitu Dusun Tgk Syech Abdul Rauf, Laksamana Bantamuda, Nekbayan, dan Tgk
Syik Musa. Berdasarkan data kependudukan Kecamatan Syiah Kuala tahun 2004,
Universitas Sumatera Utara
sebelum terjadi gempa bumi dan tsunami jumlah penduduk Desa Deyah Raya
sebanyak 2.980 jiwa, setelah peristiwa tersebut jumlah penduduk yang tersisa
sebanyak 300 jiwa, dengan demikian jumlah penduduk yang dilaporkan meninggal
dan dinyatakan hilang sebanyak 2.680 jiwa (90%). Bencana tersebut juga
meruntuhkan seluruh sarana dan prasarana di desa, seperti rumah penduduk sebanyak
596 unit, kantor lurah/desa 1 unit, balai desa 1 unit, sekolah dasar 1 unit, Pustu 1 unit,
merusak 1 unit meunasah, warung, dan jalan. Dinas Kependudukan dan Pencatatan
Sipil Kota Banda Aceh (2011) menunjukkan jumlah penduduk Desa Deyah Raya saat
ini adalah 702 jiwa yang terdiri dari 237 Kepala Keluarga (KK).
Berdasarkan survei pendahuluan yang dilakukan peneliti pada bulan Agustus
sampai dengan Oktober 2010 di Desa Deyah Raya, perumahan penduduk Desa Deyah
Raya yang telah hancur akibat bencana gempa dan tsunami tahun 2004, dibangun
kembali dengan bantuan dari Yayasan Bakrie Peduli. Berdasarkan hasil wawancara
singkat dengan sejumlah warga (30 orang), diperoleh informasi bahwa apabila terjadi
gempa bumi meskipun berskala kecil warga masih panik, bingung, dan takut,
kemudian berlari sesegera mungkin berusaha menyelamatkan diri, sehingga terjadi
kecelakaan. Hal ini menunjukkan bahwa warga tampak kurang mengetahui mengenai
cara-cara penyelamatan diri yang benar.
Hasil survei pendahuluan peneliti terhadap 30 orang warga Desa Deyah Raya
mengenai peralatan dan perlengkapan yang perlu disiapkan untuk menghadapi
bencana gempa bumi, seperti kotak P3K, obat-obatan yang biasa digunakan keluarga,
Universitas Sumatera Utara
makanan praktis, air minum dalam botol, lampu/senter, baterai cadangan dan nomornomor telepon penting yang seharusnya disiapkan, diketahui bahwa 20 orang (66,7%)
mengatakan kurang tahu dan anggota keluarganya juga tidak pernah menyediakan
peralatan tersebut. Selebihnya 8 orang (26,7%) juga mengatakan kurang tahu, namun
terkadang peralatan tersebut ada, bila disediakan oleh istri atau anggota keluarga
lainnya. Hanya 2 orang (6,7%) yang mengatakan tahu, dan peralatan tersebut
biasanya disediakan bersama (suami, istri, dan anak). Menurut sekretaris desa dan
beberapa warga, gempa bumi merupakan cobaan dari Allah SWT kepada umatnya,
maka persiapan khusus tidak begitu perlu dilakukan. Informasi lain yang diperoleh
dari sekretaris desa, sebagian besar kepala keluarga berpendidikan SLTP, dengan
mata pencaharian nelayan, sedangkan istri pada umumnya ibu rumah tangga.
Bakornas PB (2007), menyatakan terdapat interaksi 4 (empat) faktor utama
yang dapat menimbulkan bencana, sehingga menimbulkan banyak korban dan
kerugian besar, yaitu: (a) Kurangnya pemahaman terhadap karakteristik bahaya,
(b) Sikap atau perilaku yang mengakibatkan penurunan kualitas sumber daya alam,
(c) Kurangnya informasi/peringatan dini yang menyebabkan ketidaksiapan, dan
(d) Ketidakberdayaan/ketidakmampuan dalam menghadapi ancaman bahaya.
Perhatian pemerintah terhadap penanggulangan bencana belum sepenuhnya
maksimal. Umumnya yang terjadi yakni pemerintah atau lembaga bantuan dari luar
hanya memusatkan perhatian pada upaya tanggap darurat melalui konsultasi yang
minim sekali dengan masyarakat setempat, dan seringkali masyarakat hanya menjadi
Universitas Sumatera Utara
objek proyek bantuan darurat. Pada tahap pemulihan, kegiatan pemerintah dan
lembaga bantuan sangat terbatas, sedangkan pada tahap sebelum bencana (prabencana), perhatian pemerintah sangat kurang (IDEP, 2007).
Penanggulangan bencana berbasis masyarakat sangat diperlukan, khususnya
pada tahap pra-bencana. Menurut IDEP (2007), beberapa alasan pentingnya
penanggulangan bencana berbasis masyarakat pada tahap pra-bencana antara lain:
(1) Pengurangan risiko bencana adalah tanggung jawab semua pihak, bukan
pemerintah saja, (2) Setiap orang berhak mendapatkan perlindungan atas martabat,
keselamatan, dan keamanan dari bencana, (3) Masyarakat adalah pihak pertama yang
akan langsung berhadapan dengan ancaman bencana, karena itu kesiapan masyarakat
menentukan besar kecilnya dampak bencana di masyarakat, (4) Masyarakat adalah
pelaku penting untuk mengurangi kerentanan dengan meningkatkan kemampuan diri
dalam menangani bencana, karena masyarakat yang menghadapi bencana adalah
korban yang harus siap menghadapi kondisi akibat bencana. Oleh karena itu, penting
bagi masyarakat untuk melakukan persiapan dalam menghadapi bencana melalui
tindakan kesiapsiagaan, dengan tujuan untuk mengurangi ancaman, mengurangi
kerentanan, dan meningkatkan kemampuan menangani bencana.
Keluarga atau rumah tangga adalah unit terkecil dari masyarakat. Di dalam
keluarga mulai terbentuk perilaku-perilaku masyarakat. Kedua orang tua, terutama
ibu merupakan peletak dasar perilaku, terutama perilaku kesehatan bagi anggota
keluarga (Notoatmodjo, 2007).
Universitas Sumatera Utara
Febriana (2009) menyatakan bahwa bencana dapat berpengaruh besar
terhadap kesehatan keluarga, serta menciptakan penderitaan dan ketergantungan
berkepanjangan. Menurut Hasniah (2009), bencana dapat menyebabkan individu dan
keluarga mengalami gangguan secara fisik maupun mental. Trauma yang dialami
menyebabkan individu dan keluarga jatuh pada kondisi kritis. Masalah kesehatan
mental yang lebih berat akan timbul bila krisis yang dialami tidak terselesaikan.
Selanjutnya Febriana (2009) menjelaskan bencana sangat berpengaruh pada
kelompok masyarakat rentan, termasuk anak-anak, wanita, dan orang lanjut usia yang
ada di dalam keluarga. Hal ini akan memengaruhi sistem kesehatan masyarakat
secara umum, karena individu dan keluarga merupakan anggota masyarakat.
Individu
dan
rumah
tangga
merupakan
stakeholders
utama
dalam
kesiapsiagaan masyarakat, karena merupakan ujung tombak, subjek dan objek dari
kesiapsiagaan, sebab berpengaruh langsung terhadap resiko bencana (LIPIUNESCO/ISDR, 2006). Menurut Febriana (2009), kesiapsiagaan rumah tangga
merupakan tindakan-tindakan yang dapat dilakukan di dalam rumah tangga untuk
mempersiapkan diri dan keluarga menghadapi bencana sebelum terjadi bencana.
Pentingnya kesiapsiagaan rumah tangga menghadapi bencana mengingat ketika
bencana menyerang, keluarga akan berhadapan dengan dampak yang besar dari
bencana tersebut. Dampak bencana dapat berbentuk terpisahnya anggota keluarga,
dampak kecacatan, kematian, tekanan mental, berkurangnya kemampuan dalam
mengatasi masalah, dan konflik keluarga. Selanjutnya North Carolina Cooperatif
Universitas Sumatera Utara
Extension dalam Febriana (2009) menyatakan pemikiran dan perencanaan sebelum
terjadi bencana, umumnya dapat membantu anggota keluarga bereaksi secara bijak
dalam keadaan darurat.
LIPI-UNESCO/ISDR (2006) menyatakan kemampuan yang harus dimiliki
oleh individu dan rumah tangga sebagai wujud dari kesiapsiagaan menghadapi
bencana gempa bumi adalah memiliki pengetahuan dan sikap mengenai
kesiapsiagaan menghadapi bencana, adanya panduan atau kesepakatan keluarga
mengenai tindakan yang dapat dilakukan di rumah sebelum terjadi gempa dan
tindakan penyelamatan diri yang tepat saat kondisi darurat, adanya rencana tanggap
darurat (menyediakan kotak P3K dan obat-obatan, makanan siap saji dan minuman
dalam kemasan, senter/lampu, baterai cadangan, Hp/radio, nomor telepon penting),
memahami sistem peringatan dini bencana dan mobilisasi sumber daya (adanya
alokasi dana/tabungan, adanya anggota keluarga yang mengikuti latihan/simulasi
kesiapsiagaan menghadapi bencana, dan adanya kesepakatan keluarga untuk
memantau peralatan dan perlengkapan siaga bencana secara reguler).
Menurut Green, et al (1989), faktor perilaku ditentukan oleh 3 (tiga)
kelompok, yaitu: (1) Faktor predisposisi (predisposing factors), yakni faktor yang
mendasari terjadinya perilaku, mencakup pengetahuan, keyakinan, nilai, sikap, dan
variabel demografi tertentu, (2) Faktor pemungkin (enabling factors), yakni faktor
yang memungkinkan timbulnya motivasi atau aspirasi untuk terlaksananya suatu
perilaku, mencakup ketersediaan sumber daya, keterjangkauan sumber daya, prioritas
Universitas Sumatera Utara
dan komitmen pemerintah dan masyarakat terhadap kesehatan, serta keterampilan
yang berkaitan dengan kesehatan, (3) Faktor penguat (reinforcing factors), yakni
faktor penyerta yang datang sesudah terjadinya perilaku, diantaranya adalah keluarga,
teman sebaya, guru, pengambil kebijakan, dan petugas kesehatan.
Potter dan Perry (2005) menyatakan keluarga memiliki pengaruh yang kuat
pada individu, begitu pula sebaliknya. Menurut Febriana (2009), keluarga
seyogyanya bekerjasama untuk mengenal dan mengumpulkan sumber-sumber yang
dibutuhkan dalam memenuhi kebutuhan dasar sebelum terjadi bencana. Ketika
seseorang merasa siap, maka akan mampu menanggulanginya dengan lebih baik.
Persiapan yang lebih matang dapat membantu individu dan keluarga mengatasi rasa
ketakutan, sehingga dapat bereaksi dengan lebih tenang terhadap keadaan tak terduga,
serta dapat mengurangi kehilangan nyawa dan harta benda ketika terjadi bencana.
Jumlah korban jiwa di Pulau Simeulue ketika terjadi gempa dan tsunami tahun
2004 relatif sedikit, yakni hanya 7 orang. Hal ini dikarenakan adanya cerita “smong”
yang menjelaskan bahwa jika terjadi gempa besar kemudian di pantai air laut surut,
maka cepatlah berlari ke gunung, karena akan ada “smong” (tsunami), begitulah
cerita ini terus digulirkan secara turun temurun antargenerasi dalam setiap anggota
keluarga pada masyarakat Simeuleu. Masyarakat Simeuleu memiliki hubungan yang
saling mendukung satu sama lain di dalam kehidupan rumah tangga, saling
memberitahukan mengenai persiapan yang seharusnya dilakukan untuk menghadapi
gempa besar (Musfarayani, 2009).
Universitas Sumatera Utara
Belajar dari pengalaman masyarakat Simeulue mengenai “smong”, dapat
menumbuhkan suatu kesadaran akan pentingnya pengetahuan, sikap, dan dukungan
dalam keluarga untuk bersama menghadapi bencana, khususnya di wilayah yang
sering dilanda bencana. Berdasarkan fenomena tersebut, mengingat jumlah korban
akibat gempa dan tsunami di Desa Deyah Raya sebanyak 2.680 jiwa (90%), maka
peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai pengaruh pengetahuan, sikap,
dan dukungan anggota keluarga terhadap kesiapsiagaan rumah tangga dalam
menghadapi bencana gempa bumi di Desa Deyah Raya Kecamatan Syiah Kuala Kota
Banda Aceh, sehingga dapat diketahui penyebab dari fenomena yang ada dan
didapatkan pemecahan masalahnya.
1.2.
Permasalahan
Adapun permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana pengaruh
pengetahuan, sikap, dan dukungan anggota keluarga terhadap kesiapsiagaan rumah
tangga dalam menghadapi bencana gempa bumi di Desa Deyah Raya Kecamatan
Syiah Kuala Kota Banda Aceh.
1.3.
Tujuan Penelitian
Untuk menganalisis pengaruh pengetahuan, sikap, dan dukungan anggota
keluarga terhadap kesiapsiagaan rumah tangga menghadapi bencana gempa bumi, di
Desa Deyah Raya Kecamatan Syiah Kuala Kota Banda Aceh.
Universitas Sumatera Utara
1.4.
Hipotesis
Ada pengaruh pengetahuan, sikap, dan dukungan anggota keluarga terhadap
kesiapsiagaan rumah tangga dalam menghadapi bencana gempa bumi di Desa Deyah
Raya Kecamatan Syiah Kuala Kota Banda Aceh.
1.5.
Manfaat Penelitian
1.5.1. Menjadi masukan bagi kepala keluarga untuk menambah wawasan
dalam meningkatkan kesiapsiagaan rumah tangga menghadapi bencana
gempa bumi.
1.5.2. Menjadi masukan bagi pemerintah Kota Banda Aceh untuk
meningkatkan peran aktif perangkat desa dan tokoh masyarakat dalam
penyusunan program penanggulangan bencana berbasis masyarakat
sebagai upaya untuk meminimalisir dampak bencana.
1.5.3. Untuk pengembangan ilmu pengetahuan, penelitian ini dapat
menambah khasanah keilmuwan yang berkaitan dengan pengaruh
pengetahuan, sikap, dan dukungan anggota keluarga terhadap
kesiapsiagaan rumah tangga dalam menghadapi bencana.
Universitas Sumatera Utara
Download