BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Masalah Sebagian besar negara-negara di dunia menamakan dirinya Negara demokrasi. Salah satunya Indonesia yang merupakan Negara yang bentuk tata pemerintahannya demokrasi seperti yang diamanatkan dalam UUD 1945. Dalam sejarah Indonesia, masa demokrasi terpimpin merupakan suatu periode yang cukup penting karena penerapan sistem ini membawa pengaruh yang besar bagi kehidupan bangsa Indonesia. Dalam penelitian ini akan membahas mengenai kekuasaan Presiden Soekarno pada masa demokrasi terpimpin. Pelaksanaan demokrasi di Indonesia dimulai sejak proklamasi kemerdekaan. Jika dilihat dari sejarahnya sebelum demokrasi terpimpin, Indonesia pernah memakai sistem demokrasi parlementer yang sering disebut demokrasi liberal. Kekuasaan merupakan masalah sentral di dalam suatu negara, karena negara merupakan pelembagaan masyarakat politik (polity) paling besar dan memiliki kekuasaan yang otoritatif. Bahkan, dalam pandangan Max Weber, kekuasaan di dalam suatu negara itu mencakup penggunaan paksaan yang absah di dalam suatu wilayah tertentu. Di negara-negara demokratis kekuasaan itu bersumber dari bawah atau rakyat. Kekuasaan itu terbatas dan terdistribusi ke 1 Universitas Sumatera Utara sejumlah kekuatan atau lembaga-lembaga politik. Dengan kata lain, adanya penyebaran dan pembagian kekuasaan, serta adanya mekanisme kontrol terhadap kekuasaan itu.1 Kekuasaan presiden dalam Republik Indonesia banyak mengalami pasang surut. Dilihat dari masa pemerintahan Soekarno sampai kepada pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono banyak praktek ketatanegaraan yang menyimpang dari ketentuan Undang-Undang Dasar 1945. Jika dilihat para pemimpin lebih mengutamakan motif politis daripada motif yuridis. Selain itu belum adanya sistem checks and balances di dalam kehidupan bernegara di Indonesia. Sehingga apa yang diharapkan oleh masyarakat jauh dari kenyataan. Dalam praktek kekuasaan banyak para pemimpin lembaga-lembaga negara maupun daerah yang melakukan tindakan korupsi, kolusi dan nepotisme yang menimbulkan kemorosotan di berbagai bidang kehidupan. Undang-Undang Dasar 1945 sebelum perubahan masih terdapat banyak kekurangan-kekurangan yang mendasar bagi kehidupan yang demokratis. Selama masa pemerintahan orde lama, Presiden Soekarno melaksanakan sistem pemerintahan presidensial. Karakter yang paling menonjol dari negara kesatuan terlebih pada sistem pemerintahan presidensial adalah pola pemerintahannya yang cenderung sentralistik. Kecenderungan ini yang sering 1 Kacung Marijan, Sistem Politik Indonesia : Konsolidasi Demokrasi Pasca- Orde Baru, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010, hal. 17-18 2 Universitas Sumatera Utara sekali masuk dalam perangkap kediktatoran.2 Sistem pemerintahan presidensial adalah suatu sistem dimana presiden sebagai kepala negara dan juga kepala pemerintahan. Selaku kepala negara presiden adalah simbol representasi negara dan simbol pemersatu bangsa sedangkan selaku kepala pemerintahan presiden harus bertanggung jawab penuh atas jalannya pemerintahan. Dinegara-negara demokratis badan eksekutif biasanya terdiri atas kepala negara seperti raja atau presiden beserta menteri-menterinya. Tugas badan eksekutif, menurut ajaran Trias Politica hanya melaksanakan kebijaksanaankebijaksanaan yang telah ditetapkan oleh badan legislatif serta menyelenggarakan undang-undang yang dibuat oleh badan legislatif. Akan tetapi dalam pelaksanaannya badan eksekutif leluasa sekali ruang geraknya. Mulai Juni 1959 Undang-Undang Dasar 1945 berlaku kembali dan menurut ketentuan Undang-Undang Dasar itu badan eksekutif terdiri atas seorang presiden, wakil presiden beserta menteri-menterinya. Periode berlakunya kembali UUD 1945 diawali dengan berlakunya Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959. Dengan berlakunya Dekrit ini, wewenang Presiden menjadi besar kembali. Dimana Presiden bukan saja menjalankan fungsi Kepala Pemerintahan, akan tetapi juga berfungsi sebagai Kepala Negara. Menteri-menteri membantu presiden dan diangkat serta diberhentikan olehnya. Presiden dan wakil presiden dipilih oleh MPR dan presiden merupakan “Mandataris” MPR dan bertanggung jawab kepada MPR. 2 Anthonius Sitepu dan Kisah Ruth Siregar, Soekarno, Militer dan Partai Politik: Piramida Kekuatan-Kekuatan Politik dalam Sistem Politik Pemerintahan Demokrasi Terpimpin (19591965), Medan: USU Press, 2009, hal. 34 3 Universitas Sumatera Utara Alasan memberlakukan kembali Undang-Undang Dasar 1945 adalah menciptakan suatu pemerintahan yang stabil dengan sistem presidensial dengan meninggalkan sistem parlementer dan memberikan peluang yang besar bagi presiden untuk menjalankan kekuasaannya. Presiden memegang kekuasaan pemerintah selama lima tahun yang hanya dibatasi oleh peraturan-peraturan dalam Undang-Undang Dasar dimana sesuatu hal diperlukan adanya suatu undangundang. Selama masa itu presiden tidak boleh dijatuhkan oleh DPR dan sebaliknya presiden tidak mempunyai wewenang untuk membubarkan DPR. Dekrit Presiden dapat dipandang sebagai usaha untuk mencari jalan keluar dari kemacetan politik melalui pembentukan kepemimpinan yang kuat. UndangUndang Dasar 1945 membuka kesempatan bagi seorang presiden untuk bertahan selama sekuarang-kurangnya lima tahun. Akan tetapi Ketetapan MPRS No. III/1963 yang mengangkat Ir. Soekarno sebagai presiden seumur hidup telah membatalkan pembatasan waktu lima tahun ini yang telah ditentukan oleh Undang-Undang Dasar. Ir.Soekarno oleh MPRS ditetapkan sebagai presiden seumur hidup. Begitu pula pejabat dari badan legislatif (yaitu pimpinan MPRS dan DPR Gotong Royong) dan dari badan yudikatif (yaitu Ketua Mahkamah Agung) diberi status menteri. Selain dari itu, berdasarkan Penetapan Presiden No. 14 Tahun 1960, presiden diberi wewenang untuk mengambil keputusan dalam keadaan anggota badan legislatif tidak dapat mencapai mufakat mengenai suatu hal atau sesuatu 4 Universitas Sumatera Utara rancangan undang-undang.3 Dilihat dari hal ini kedudukan presiden Soekarno yang menjabat seumur hidup menyimpang dari UUD yang telah ditetapkan. Pada masa ini dominasi dari presiden sangat kuat dalam bidang pemerintahannya selain itu terbatasnya peranan partai politik. Jika dilihat lebih lanjut kepemimpinan presiden tanpa batas ini telah melahirkan tindakan dan kebijakan yang menyimpang dari ketentuan-ketentuan UUD 1945. Kekeliruan yang sangat besar dalam pemerintahan Soekarno telah menghilangkan nilai-nilai demokrasi dengan lahirnya absolutisme dan terpusatnya kekuasaan pada diri pemimpin dan tidak adanya kontrol sosial serta check and balances dari legislatif terhadap eksekutif. Kekuasaan presiden yang sangat besar itu mengakibatkan banyaknya penyimpangan-penyimpangan yang terjadi yang tidak sesuai dengan UUD, antara lain adalah: Pertama, masalah kedudukan presiden. Berdasarkan UUD 1945, kedudukan presiden berada dibawah MPR, akan tetapi kenyataannya bertentangan dengan UUD 1945, sebab MPRS tunduk kepada presiden. Dan presiden menentukan apa yang harus diputuskan oleh MPRS. Kedua, presiden juga membentuk MPRS berdasarkan Penetapan Presiden No.2 Tahun 1959. Tindakan tersebut bertentangan dengan UUD 1945 karena berdasarkan UUD 1945 pengangkatan anggota MPRS sebagai lembaga tertinggi negara harus melalui pemilihan umum sehingga partai-partai yang terpilih oleh rakyat memiliki anggota-anggota yang duduk di MPR. Ketiga, adanya pembubaran DPR dan 3 Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2009, hal. 311 5 Universitas Sumatera Utara membentuk DPR – GR. Dimana semua anggotanya dipilih oleh pesiden dan juga peraturan yang ditetapkan oleh presiden. Tindakan presiden tersebut bertentangan dengan UUD 1945 sebab menurut UUD 1945 presiden tidak boleh membubarkan DPR. Selain itu masih banyak lagi penyimpangan lain yang menyalahi aturan yang tidak sesuai dengan UUD 1945. Hal inilah yang menjadi masalah terhadap kekuasaan Presiden Soekarno, dimana kekuasaan yang dimiliki ikut merambah pada kekuasaan legislatif dan kekuasaan yudisial. Menurut Ichlasul Amal, ada kelemahan dalam UUD 1945 yaitu, memberikan dasar pola pembentukan pola relasi antara negara dan masyarakat yang tidak seimbang dengan kata lain terlalu memberikan posisi yang kuat kepada Presiden, bahkan dalam perkembangan ketatanegaraan membuktikan penerapan UUD 1945 dalam kehidupan politik telah melahirkan sistem politik otoritarian dan sentralistik dan menjauhkan kepentingan masyarakat dalam proses pembuatan keputusan pemerintahan.4 Dalam menjalankan fungsi dalam sebuah negara dapat dilakukan dengan beberapa struktur. Apabila dalam penyelenggaraan fungsi negara terpusat pada satu tangan atau satu struktur saja maka biasanya dilakukan oleh seorang diktator atau seorang raja. Agar kekuasaan yang ada itu tidak cenderung mengarah kepada sistem yang otoriter, gagasan utama didalam kelembagaan itu adalah bagaimana melakukan pembagian dan pemisahan terhadap lembaga-lembaga yang memiliki kekuasaan. Dalam sebuah negara demokratis, penyelenggaraan fungsi dalam 4 Sumali, Reduksi Kekuasaan Eksekutif di Bidang Peraturan Pengganti Undang-Undang (PERPU), Malang: Universitas Muhammadiyah Malang , 2003, hal. 45 6 Universitas Sumatera Utara negara dilakukan dengan adanya pemisahan atau pembagian fungsi negara kepada beberapa stuktur yang satu sama lain terpisah dan berdiri sendiri. Maka untuk menghindari adanya pemusatan kekuasaan pada satu tangan maka diperlukan pemisahan kekuasaan sehingga adanya kontrol dan keseimbangan diantara lembaga pemegang kekuasaan tersebut. Pembagian kekuasaan perlu dilakukan agar fungsi-fungsi dalam negara tersebut dapat berjalan dengan lancar. Pembagian kekuasaan pertama kali dikemukakan oleh John Locke. Dimana dia membagi kekuasaan itu menjadi tiga macam diantaranya kekuasaan Legislatif, kekuasaan Eksekutif dan kekuasaan Federatif. Disamping itu munculnya pendapat Montesquieu yang memisahkan kekuasaan kedalam tiga organ yaitu kekuasaan legislatif, kekuasaan eksekutif dan kekuasaan Yudikatif. Dengan terpisahnya tiga kewenangan dalam tiga lembaga yang berbeda tersebut, diharapkan jalannya pemerintahan negara tidak timpang tindih dan terhindar dari korupsi pemerintahan oleh satu lembaga. Pada masa pemerintahan Soekarno tidak ada pembagian kekuasaan. Kekuasaan yang ada hanya terpusat pada satu orang saja. Dimana Presidenlah yang mempunyai kekuasaan dan wewenang dalam menjalankan fungsi pemerintahan. Hal inilah yang mengakibatkan pemerintahan Soekarno pada masa demokrasi terpimpin tidak berjalan dengan baik dan jauh dari ketentuan undang-undang dasar. Dilihat dari kepemimpinannya, kekuasaan presiden Seokarno sangat menonjol dibandingkan lembaga-lembaga lain. Dimana kekuasaan dominan 7 Universitas Sumatera Utara berada di tangan Presiden dilengkapi dengan berbagai hak konstitusional yang lazim disebut hak prerogatif atau yang sering disebut executive heavy. Adanya pembagian kekuasaan yang tidak merata. Hal ini sangat jauh dari ajaran Trias Politica yang memisahkan kekuasaan kedalam tiga lembaga. Hal inilah yang membuat penulis tertarik untuk menganalisis bagaimana sebenarnya kekuasaan Soekarno pada masa itu ditinjau dari teori kekuasaan. Berdasarkan uraian diatas, maka peneliti tertarik untuk mengambil judul tentang Kekuasaan Presiden ( Suatu Tinjauan Teoritis Kekuasaan dalam Sistem Politik Demokrasi Terpimpin tahun 1959-1965) 2. Perumusan Masalah Perumusan masalah merupakan penjelasan mengenai alasan mengapa masalah yang dikemukakan dalam penelitian itu dipandang menarik, penting dan perlu untuk diteliti. Dari latar belakang dan juga pemaparan diatas maka dalam penelitian ini yang menjadi perumusan masalah adalah bagaimana kekuasaan pada pemerintahan Soekarno tahun 1959-1965 pada masa sistem demokrasi terpimpin ditinjau dari teori kekuasaan ? 3. Batasan Masalah Dalam melakukan penelitian, penulis perlu membuat pembatasan masalah terhadap masalah yang akan dibahas dengan tujuan untuk memperjelas dan membatasi ruang lingkup penelitian, serta menghasilkan uraian yang sistematis 8 Universitas Sumatera Utara dan hasil penelitian yang diperoleh tidak menyimpang dari tujuan yang ingin dicapai. Adapun batasan masalah dalam penelitian ini adalah: analisis terhadap kekuasaan pada pemerintahan Soekarno tahun 1959-1965 pada masa sistem demokrasi terpimpin ditinjau dari teori kekuasaan. 4. Tujuan Penelitian Adapun yang menjadi tujuan penelitian ini adalah: 1. Mendeskripsikan sistem demokrasi terpimpin pada masa pemerintahan Soekarno. 2. Memahami dan menganalisis kekuasaan pada pemerintahan Soekarno dilihat dari teori kekuasaan. 5. Manfaat Penelitian Setiap penelitian diharapkan mampu memberikan manfaat terlebih lagi untuk perkembangan ilmu pengetahuan. Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah: Secara teoritis, penelitian ini diharapkan mampu menambah pengetahuan ilmiah di bidang politik dan memberikan sumbangan pemikiran dan referensi tentang teori kekuasaan. Secara kelembagaan, penelitian ini dapat dijadikan landasan dalam membenahi kekuasan dalam sebuah pemerintahan. 9 Universitas Sumatera Utara Bagi penulis sendiri, penelitian ini memiliki manfaat dalam mengembangkan kemampuan berfikir dan kemampuan untuk menulis karya ilmiah dan sebagai tahap akhir dalam penyelesaian program Strata Satu di Departemen Ilmu Politik. 6. Kerangka Teori Untuk memudahkan penelitian, diperlukan pedoman dasar berpikir yaitu kerangka teori. Kerangka teori merupakan unsur yang paling penting dalam sebuah penelitian, karena dalam bagian ini peneliti akan mencoba menjelaskan fenomena sosial yang sedang diamati dengan menggunakan teori-teori yang relevan dengan penelitiannya. Menurut Masri Singarimbun, teori adalah serangkaian asumsi, konsep, konstruksi dan defenisi untuk menerangkan suatu fenomena sosial secara sistematis dengan cara merumuskan hubungan antar konsep.5 6.1 Teori Kekuasaan Kekuasaan (power) merupakan suatu kondisi yang memunculkan dua pemahaman. Pertama pemahaman tentang orang yang memperoleh kekuasaan dan kedua pemahaman tentang orang dikuasai atau tunduk pada kekuasaan. Pemahaman sentral yang berkenaan dengan ini berkisar pada sumber kekuasaan sebagai legitimasi atas kekuasaan itu pada satu sisi dan kemauan seseorang untuk 5 Masri Singarimbun dan Sofyan Effendi, Metode Penelitian Survei, Jakarta: LP3ES, 1989, hal. 37 10 Universitas Sumatera Utara tunduk pada kekuasaan yang maknanya adalah pembatasan dan bahkan menerima tekanan pada sisi yang lain.6 Dengan kata lain, kekuasaan yang dimaksud disini adalah kemampuan untuk bertindak, untuk memerintah dan kemampuan untuk mempengaruhi orang lain untuk mengubah tingkah laku atau mengerjakan apa yang dikehendaki dari pelaku yang mempunyai kekuasaan. Kekuasaan yang dilaksanakan tanpa batas dapat menimbulkan penyelewengan alias korupsi. Oleh karena itu diperlukan batas yang tegas tentang berapa lama dan bagaimana kekuasaan itu harus diimplementasikan. Sumber kekuasaan dapat berupa kedudukan, kekayaan atau kepercayaan. Kedudukan diperoleh dengan cara kekuasaan fisik, pewarisan, pengangkatan dan lain sebagainya. Kekayaan diperoleh dengan cara menguasai beberapa sumbersumber ekonomi ataupun warisan yang diberikan. Sedangkan kepercayaan diperoleh dengan mendapatkan dukungan masyarakat atau seorang pemimpin yang dianggap mempunyai wibawa. Menurut Miriam Budiardjo kekuasaan adalah kemampuan seseorang atau kelompok manusia untuk mempengaruhi tingkah laku seseorang atau kelompok lai sedemikian rupa sehingga tingkah laku itu menjadi sesuai dengan keinginan dan tujuan dari orang yang mempunyai kekuasaan itu. Sedangkan Laswell berpendapat bahwa kekuasaan itu adalah suatu hubungan dimana seseorang atau 6 Samsul Wahidin, Dimensi Kekuasaan Negara Indonesia, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007, hal. 1 11 Universitas Sumatera Utara sekelompok orang dapat menentukan tindakan seseorang atau kelompok lain kearah tujuan dari pihak pertama.7 Talcott Parsons seorang sosiolog terkenal lebih cenderung melihat kekuasaan sebagai senjata yang ampuh untuk mencapai tujuan-tujuan kolektif dengan jalan membuat keputusan yang mengikat didukung dengan sanksi negatif. Dia mengatakan bahwa kekuasaan adalah kemampuan untuk menjamin terlaksananya kewajiban-kewajiban yang mengikat, oleh keatuan-kesatuan dalam suatu sistem organisasi kolektif. Kewajiban adalah sah jika menyangkut tujuantujuan kolektif. Jika ada perlawanan, maka pemaksaan melalui sanksi-sanksi negatif dianggap wajar, terlepas dari siapa yang melaksanakan pemaksaan itu. Esensi dari kekuasaan adalah hak mengadakan sanksi. Cara untuk menyelenggarakan kekuasaan berbeda-beda. Upaya yang paling ampuh adalah kekerasan fisik (force). Seorang penjahat yang bersenjatakan celurit yang memaksa seseorang untuk menyerahkan miliknya merupakan suatu contoh dari kekuasaan yang paling terbukan dan brutal. Kekuasaan dapat juga diselenggarakan lewat koersi (coercion), yaitu melalui ancaman akan diadakan sanksi. Suatu upaya yang sedikit lebih lunak adalah melalui persuasi yaitu proses menyakinkan, berargumentasi atau menunjuk pada pendapat seorang ahli (expert advice). Dalam kehidupan sehari-hari seseorang perlu berkuasa kadang-kadang cenderung memakai cara ini agar tidak terlalu menonjolkan kekuasaannya. 7 Miriam Budiardjo, op.cit., hal. 60 12 Universitas Sumatera Utara Menurut pandangan Wahidin (2007: 3-5) yang dikutip oleh Bapak P. Anthonis Sitepu dalam bukunya yang berjudul Teori-Teori Politik bahwa dalam perspektif yang lebih teknis, rincian dari sumber daya kekuasaan secara formal administratif ada 6 sumber kekuasaan, yaitu:8 1) Kekuasaan Balas Jasa (Reward Power) Yakni kekuasaan yang legitimasinya bersumber dari sejumlah balas jasa yang sifatnya positif (uang, perlindungan, perkembangan karier, janji positif dan sebagainya) yang diberikan kepada pihak penerima guna melaksanakan sejumlah perintah atau persyaratan lain. Faktor ketundukan seseorang atas kekuasaan dimotivasi oleh hal itu dengan harapan jika telah melakukan sesuatu akan memperoleh seperti yang dijanjikan. 2) Kekuasaan Paksaan (Coercive Power) Berasal dari perkiraan yang dirasakan orang bahwa hukuman (dipecat, ditegur, didenda, dijatuhi hukuman fisik dan sebagainya) akan diterima jika mereka tidak melaksanakan perintah pimpinan. Kekuasaan akan menjadi suatu motivasi yang bersifat repressif terhadap kejiwaan seseorang untuk tunduk pada kekuasaan pimpinan itu dan melaksanakan seperti apa yang dikehendaki. Jika tidak paksaan yang diperkirakan akan dijatuhkan. 3) Kekuasaan Legitimasi (Legitimate Power) Kekuasaan yang berkembang atas dasar dan berpangkal dari nilai-nilai intern yang mengemuka dari dan sering bersifat konvensional bahwa seorang pimpinan 8 Anthonius Sitepu, Teori-Teori Politik, Yogyakarta: Graha Ilmu, 2012, hal. 54-55 13 Universitas Sumatera Utara mempunyai hak yang sah untuk mempengaruhi bawahannya. Sementara itu dalam sisi yang lain, seseorang mempunyai kewajiban untuk menerima pengaruh tersebut karena seorang lainnya ditentukan sebagai pimpinannya atau petinggi sementara dirinya seorang bawahan. Legitimasi yang demikian dapat diperoleh atas dasar aturan formal akan tetapi bisa juga bersumber pada kekuasaan muncul karena kekuatan alamiah dan kekuatan akses dalam pergaulan bersama yang mendudukan seseorang beruntung memperoleh legitimasi suatu keputusan. 4) Kekuasaan Pengendalian atas Informasi (Control of Information Power) Kekuasaan ini ada dan berasal dari kelebihan atas suatu pengetahuan dimana orang lain tidak mempunyai. Cara ini dipergunakan dengan pemberian atau penahanan informasi yang dibutuhkan oleh orang lain maka mau tidak mau harus tunduk (secara terbatas) pada kekuasaan pemilik informasi. Pemilik informasi dapat mengatur sesuatu yang berkenaan dengan peredaran informasi, ats legitimasi kekuasaan yang dimilikinya. 5) Kekuasaan Panutan (Referent Power) Kekuasaan ini muncul dengan didasarkan atas pemahaman secara kultural dari orang-orang dengan yang berstatus sebagai pemimpin. Masyarakat menjadikan pemimpin itu sebagai panutan simbol dari perilaku mereka. Aspek cultural yang bisanya muncul dari pemahaman religiositas direfleksikan pada kharisma pribadi, keberanian, sifat simpatik dan sifat-sifat lain yang tidak ada pada kebanyakan orang. Hal itu menjadikan orang lain tunduk pada kekuasaannya. 14 Universitas Sumatera Utara 6) Kekuasaan Keahlian (Expert Power) Kekuasaan ini ada dan merupakan hasil dari tempaan yang lama da muncul karena suatu keahlian atau ilmu pengetahuan. Kelebihan ini menjadikan seseorang pemimpin dan secara alamiah berkedudukan sebagai pemimpin dalam bidang keahliannya itu. Seorang pemimpin dapat merefleksikan kekuasaan dalam batasbatas keahliannya itu dan secara terbatas pula orang lain tunduk pada kekuasaan yang bersumber dari keahlian yang dimiliknya karena ada kepentingan terhadap keahlian sang pemimpin. Menurut Charles F. Andrian (1970: 103-104) ilmuan politik pada umumnya menggambarkan distribusi kekuasaan itu ke dalam tiga bentuk, yakni model elite yang memerintah, model pluralis dan model populis. Model yang pertama, melukiskan kekuasaan sebagai yang dimiliki oleh sekelompok kecil orang yang disebut elite. Sedangkan model pluralis, yang menggambarkan kekuasaan sebagai dimiliki oleh berbagai kelompok sosial dalam masyarakat dan berbagai lembaga-lembaga dalam pemerintahan. Dan model populis, yang melukiskan kekuasaan sebagai yang dipegang oleh setiap individu warga Negara atau rakyat secara kolektif.9 Geotano Mosca melukiskan distribusi kekuasaan di dalam masyarakat, bahwa dalam setiap masyarakat itu, terdapat dua kelas yang menonjol yakni: 9 Ibid., hal. 56 15 Universitas Sumatera Utara Kelas yang memerintah, yang terdiri dari sedikit orang, melaksanakan fungsi politik, memonopoli kekuasaan dan menikmati keuntungankeuntungan yang ditimbulkan dengan kekuasaan. Kelas yang diperintah, yang berjumlah lebih banyak, dikendalikan dan diarahkan oleh penguasa dengan cara-cara yang kurang lebih berdasarkan hukum, semaunya dan paksaan. 6.2 Teori Pembagian Kekuasaan Secara teoritis, pembagian fungsi negara didasarkan pada asumsi, bahwa adanya pemusatan kekuasaan pada satu tangan, maka dapat terjadi pengelolaan sistem pemerintahan secara absolut atau otoriter, misalnya seperti dalam bentuk monarki dimana kekuasaan berada pada ditangan seorang raja. Maka untuk menghindari hal tersebut perlu adanya pemisahan kekuasaan, sehingga diharapkan adanya kontrol dan keseimbangan diantara lembaga pemegang kekuasaan tersebut. Negara mempunyai kekuasaan yang secara normatif dicerminkan dari batasan, pedoman dan aturan lain yang dituangkan dalam Konstitusi. Di Dunia Barat ada dikenal dengan pemisahan kekuasaan negara ke dalam tiga kekuasaan, diantaranya: kekuasaan Legislatif, kekuasaan Eksekutif dan kekuasaan Yudikatif. John Locke sebagai pencetus pertama kali tentang pembagian kekuasaan dengan melalui bukunya yang berjudul “Two Treaties on Civil Government”. Dia menolak pendapat bahwa kekuasaan itu sifatnya turun temurun. Hal ini akan 16 Universitas Sumatera Utara senderung untuk melaksanakan kekuasaan itu dengan tidak memperhatikan aspirasi atau kehendak rakyat. John Locke memisahkan kekuasaan kedalam tiga bidang, yaitu: a. Kekuasaan Legislatif, yang merupakan kekuasaan pembuat peraturan dan Undang-Undang. b. Kekuasaan Eksekutif, yang melaksanakan dan mempertahankan peraturan dan Undang-Undang, dan c. Kekuasaan Federatif, ialah kekuasaan dalam melakukan hubungan diplomatik dengan negara-negara lain. Pendapat John Locke inilah yang mendasari munculnya teori pembagian kekuasaan sebagai gagasan awal untuk menghindari adanya pemusatan kekuasaan (absolut) dalam suatu negara. Dan kemudian dalam perkembangan selanjutnya, sekitar beberapa tahun berikutnya muncullah Montesquieu yang mencetuskan teori pemisahan kekuasaan atau yang lebih dikenal dengan “Trias Politica” ke dalam tiga bidang. dalam bukunya yang berjudul L‟esprit des Louis pada tahun 1748 menawarkan alternatif yang agak berbeda dari pendapat John Locke. Dengan adanya pemisahan kekuasaan diharapkan dapat saling lepas dan dalam tingkat yang sama. Hal ini berarti bahwa lembaga-lembaga negara dipisahkan sehingga dapat saling mengawasi dan mengontrol satu sama lain. Kekuasaan yang dimaksud adalah:10 10 Samsul Wahidin, op.cit., hal.17-18 17 Universitas Sumatera Utara 1. Kekuasaan Legislatif, sebagai pembuat Undang-Undang yang nantinya dijadikan sebagai patokan untuk berinteraksi baik secara kelembagaan maupun individual di dalam negara. 2. Kekuasaan Eksekutif, sebagai pelaksana Undang-Undang, yang mempunyai kekuasaan untuk memaksakan penerapan Undang-Undang tersebut kepada pihak-pihak yang harus melaksanakan. 3. Kekuasaan Yudikatif, sebagai lembaga peradilan yang menjadi pilar untuk menegakkan Undang-Undang serta mengadili pelanggaran UndangUndang dengan segala konsekuensinya. Konsep yang dikemukakan oleh John Locke dengan konsep yang dikemukakan oleh Montesquieu pada dasarnya memiliki perbedaan, antara lain: a) menurut John Locke kekuasaan eksekutif merupakan kekuasaan yang mencakup kekuasaan yudikatif karena mengadili itu berarti melaksanakan undang-undang, sedangkan kekuasaan federatif (hubungan luar negeri) merupakan kekuasaan yang berdiri sendiri; b) menurut Montesquieu kekuasaan eksekutif mencakup kekuasaan federatif karena melakukan hubungan luar negeri itu termasuk kekuasaan eksekutif, sedangkan kekuasaan yudikatif harus merupakan kekuasaan yang berdiri sendiri dan terpisah dari eksekutif. Pada kenyataannya sejarah menunjukkan bahwa cara pembagian kekuasaan yang di kemukakan Montesquieu 18 Universitas Sumatera Utara yang lebih diterima. Kekuasaan federatif di berbagai negara sekarang ini dilakukan oleh eksekutif melalui Departemen Luar Negerinya masing-masing.11 Menurut Montesquieu, dengan adanya pemisahan kekuasaan ini diharapkan kemerdekaan bagi setiap individu dijamin terhadap tindakan sewenang-wenang dari penguasa. Montesquieu menekankan bahwa seseorang akan cenderung untuk mendominasi kekuasaan bila kekuasaan tersebut terpusat pada satu orang. Oleh karena itulah dibutuhkan pemisahan kekuasan untuk mencegah adanya dominasi satu kekuasaan terhadap kekuasaan lainnya. Bisa dilihat hampir diseluruh negara menerapkan konsep Trias Politica dalam kehidupan berpolitik. Dalam suatu negara bisa dikatakan negara berdemokrasi dalam kehidupan berpolitik apabila diterapkannya konsep ini. Karena pada dasarnya kekuasaan di suatu negara tidak boleh dilimpahkan pada satu struktur kekuasaan politik atau satu lembaga independen saja melainkan harus terpisah dengan lembaga-lembaga negara yang berbeda. Dengan terpisahnya tiga kewenangan di tiga lembaga yang berbeda tersebut, diharapkan jalannya pemerintahan negara tidak timpang, terhindar dari korupsi pemerintahan oleh satu lembaga, dan akan memunculkan mekanisme check and balances (saling koreksi dan saling mengimbangi). Biarpun dalam prakteknya, jalanya Trias Politika di tiap negara tidak selamanya mulus atau tanpa halangan. 11 Beddy Iriawan Maksudi, Sistem Politik Indonesia: Pemahaman Secara Teoritik dan Empirik, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2012, hal. 93 19 Universitas Sumatera Utara 7. Metodologi Penelitian 7.1 Metode Penelitian Adapun metode penelitian yang digunakan penulis adalah metode deskriptif. Metode deskriptif dapat diartikan sebagai prosedur pemecahan masalah yang diselidiki dengan menggambarkan atau melukiskan keadaan subjek atau objek penelitian seseorang, lembaga maupun masyarakat dan lain-lain pada saat sekarang berdasarkan fakta-fakta yang tampak sebagaimana adanya.12 Usaha yang mendeskripsikan fakta-fakta itu pada tahap permulaan tertuju pada usaha yang mengemukakan gejala-gejala secara lengkap didalam aspek yang diselidiki, agar jelas keadaan atau kondisinya. Pada umumnya penelitian deskriptif merupakan penelitian non hipotesis sehingga dalam langkah-langkah penelitiannya tidak perlu merumuskan hipotesis. 7.2 Jenis Penelitian Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif merupakan penelitian yang menekankan pada pemahaman mengenai masalahmasalah dalam kehidupan sosial berdasarkan kondisi realitas atau natural setting yang holistis, kompleks dan rinci. Penelitian yang menggunakan pendekatan induksi yang mempunyai tujuan penyusunan konstruksi teori atau hipotesis 12 Hadawari Nawawi, Metodologi Penelitian Bidang Sosial, Yogyakarta: Gajahmada University Press, 1987, hal. 63 20 Universitas Sumatera Utara melalui pengungkapan fakta.13 Metode kualitatif dapat dipergunakan untuk menyelidiki lebih dalam konsep-konsep atau ide-ide. Aplikasi penelitian kualitatif ini adalah konsekuensi metodologis dari penggunaan metode deskriptif. Bogdan dan Taylor mengungkapkan bahwa “metodelogi kualitatif” sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati.14 7.3 Teknik Pengumpulan Data Dalam pengumpulan data ada beberapa teknik pengumpulan data yang dapat digunakan, antara lain, penelitian perpustakaan (library research), yang sering disebut metode dokumentasi, dan penelitian lapangan, seperti wawancara dan observasi.15 Untuk mendapatkan data atau informasi yang akurat dalam rangka pembahasan masalah dalam penelitian ini adalah menggunakan data sekunder. Data sekunder didapat dari pengumpulan data Library Research Methods (Metode Penelitian Kepustakaan), yaitu sumber yang diambil langsung dari bukubuku, dokumen-dokumen berupa jurnal, artikel-artikel dan juga sumber lainnya seperti situs internet yang berkaitan dengan judul skripsi ini sehingga dapat membantu dalam penelitian ini. Dengan demikian diperoleh data sekunder sebagai kerangka kerja teoritis. 13 Erlina, Metodologi Penelitian, Medan: USU Press, 2011, hal. 14 Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1994, hal. 3 15 Tatang M. Amirin, Menyusun Rencana Penelitian, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000, hal. 130 14 21 Universitas Sumatera Utara 7.4 Teknik Analisis Data Teknik analisa data yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif yang mana teknik ini lebih menekankan analisisnya pada sebuah proses pengambilan kesimpulan deduktif dan juga induktif serta pada analisis terhadap dinamika hubungan antar fenomena yang sedang diamati dengan menggunakan logika ilmiah.16 Dalam analisa data dilakukan proses pengorganisasian dengan mengurutkan data ke dalam pola, kategori dan satuan uraian dasar sehingga ditemukan tema permasalahan. Setelah data terkumpul tahap berikutnya dilakukan analisa data yang sesuai dengan model penelitian deskriptif untuk memperoleh gambaran sistematis tentang kondisi dan situasi yang ada. Setelah itu data tersebut diolah dan dieksplorasi secara mendalam yang selanjutnya akan menghasilkan kesimpulan yang menjelaskan masalah yang akan diteliti. 16 Burhan, Bungin, Metode Penelitian Sosial, Surabaya: Airlangga University, 2001, hal. 47 22 Universitas Sumatera Utara 8. Sistematika Penulisan Untuk memperoleh gambaran yang terperinci dari skripsi ini, maka penulis membagi sistematika penulisan kedalam 4 bab yaitu: BAB I : PENDAHULUAN Dalam bab ini berisi latar belakang masalah yang menjelaskan mengapa peneliti memilih judul tersebut dan ada rumusan masalah, batasan masalah, tujuan dan manfaat penelitian. Kemudian ada juga kerangka teori atau pemikiran, metodologi penelitian dan sistematika penelitian. BAB II : BIOGRAFI SOEKARNO Bab ini berisi membahas tentang perjalanan politik Soekarno, riwayat hidup, pendidikan dan hal – hal yang berhubungan dengan pemerintahan Soekarno. BAB III : PENYAJIAN DAN ANALISA DATA Bab ini mendeskripsikan kekuasaan presiden Soekarno pada masa demokrasi terpimpin dan hasil analisis penelitian terhadap kekuasaan Soekarno dengan menggunakan teori kekuasaan. BAB IV : PENUTUP Bab ini adalah bab terakhir yang berisikan tentang kesimpulan yang diperoleh dari hasil penelitian yang dilakukan dan juga terdapat saran-saran dari hasil penelitian yang telah dilakukan. 23 Universitas Sumatera Utara