1 BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Masalah - USU-IR

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang Masalah
Sebagian besar negara-negara di dunia menamakan dirinya Negara
demokrasi. Salah satunya Indonesia yang merupakan Negara yang bentuk tata
pemerintahannya demokrasi seperti yang diamanatkan dalam UUD 1945. Dalam
sejarah Indonesia, masa demokrasi terpimpin merupakan suatu periode yang
cukup penting karena penerapan sistem ini membawa pengaruh yang besar bagi
kehidupan bangsa Indonesia. Dalam penelitian ini akan membahas mengenai
kekuasaan Presiden Soekarno pada masa demokrasi terpimpin. Pelaksanaan
demokrasi di Indonesia dimulai sejak proklamasi kemerdekaan. Jika dilihat dari
sejarahnya sebelum demokrasi terpimpin, Indonesia pernah memakai sistem
demokrasi parlementer yang sering disebut demokrasi liberal.
Kekuasaan merupakan masalah sentral di dalam suatu negara, karena
negara merupakan pelembagaan masyarakat politik (polity) paling besar dan
memiliki kekuasaan yang otoritatif. Bahkan, dalam pandangan Max Weber,
kekuasaan di dalam suatu negara itu mencakup penggunaan paksaan yang absah
di dalam suatu wilayah tertentu. Di negara-negara demokratis kekuasaan itu
bersumber dari bawah atau rakyat. Kekuasaan itu terbatas dan terdistribusi ke
1
Universitas Sumatera Utara
sejumlah kekuatan atau lembaga-lembaga politik. Dengan kata lain, adanya
penyebaran dan pembagian kekuasaan, serta adanya mekanisme kontrol terhadap
kekuasaan itu.1
Kekuasaan presiden dalam Republik Indonesia banyak mengalami pasang
surut. Dilihat dari masa pemerintahan Soekarno sampai kepada pemerintahan
Susilo Bambang Yudhoyono banyak praktek ketatanegaraan yang menyimpang
dari ketentuan Undang-Undang Dasar 1945. Jika dilihat para pemimpin lebih
mengutamakan motif politis daripada motif yuridis. Selain itu belum adanya
sistem checks and balances di dalam kehidupan bernegara di Indonesia. Sehingga
apa yang diharapkan oleh masyarakat jauh dari kenyataan. Dalam praktek
kekuasaan banyak para pemimpin lembaga-lembaga negara maupun daerah yang
melakukan tindakan korupsi, kolusi dan nepotisme yang menimbulkan
kemorosotan di berbagai bidang kehidupan. Undang-Undang Dasar 1945 sebelum
perubahan masih terdapat banyak kekurangan-kekurangan yang mendasar bagi
kehidupan yang demokratis.
Selama masa pemerintahan orde lama, Presiden Soekarno melaksanakan
sistem pemerintahan presidensial. Karakter yang paling menonjol dari negara
kesatuan
terlebih
pada
sistem
pemerintahan
presidensial
adalah
pola
pemerintahannya yang cenderung sentralistik. Kecenderungan ini yang sering
1
Kacung Marijan, Sistem Politik Indonesia : Konsolidasi Demokrasi Pasca- Orde Baru, Jakarta:
Kencana Prenada Media Group, 2010, hal. 17-18
2
Universitas Sumatera Utara
sekali masuk dalam perangkap kediktatoran.2 Sistem pemerintahan presidensial
adalah suatu sistem dimana presiden sebagai kepala negara dan juga kepala
pemerintahan. Selaku kepala negara presiden adalah simbol representasi negara
dan simbol pemersatu bangsa sedangkan selaku kepala pemerintahan presiden
harus bertanggung jawab penuh atas jalannya pemerintahan.
Dinegara-negara demokratis badan eksekutif biasanya terdiri atas kepala
negara seperti raja atau presiden beserta menteri-menterinya. Tugas badan
eksekutif, menurut ajaran Trias Politica hanya melaksanakan kebijaksanaankebijaksanaan yang telah ditetapkan oleh badan legislatif serta menyelenggarakan
undang-undang yang dibuat oleh badan legislatif. Akan tetapi dalam
pelaksanaannya badan eksekutif leluasa sekali ruang geraknya.
Mulai Juni 1959 Undang-Undang Dasar 1945 berlaku kembali dan
menurut ketentuan Undang-Undang Dasar itu badan eksekutif terdiri atas seorang
presiden, wakil presiden beserta menteri-menterinya. Periode berlakunya kembali
UUD 1945 diawali dengan berlakunya Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959.
Dengan berlakunya Dekrit ini, wewenang Presiden menjadi besar kembali.
Dimana Presiden bukan saja menjalankan fungsi Kepala Pemerintahan, akan
tetapi juga berfungsi sebagai Kepala Negara. Menteri-menteri membantu presiden
dan diangkat serta diberhentikan olehnya. Presiden dan wakil presiden dipilih oleh
MPR dan presiden merupakan “Mandataris” MPR dan bertanggung jawab kepada
MPR.
2
Anthonius Sitepu dan Kisah Ruth Siregar, Soekarno, Militer dan Partai Politik: Piramida
Kekuatan-Kekuatan Politik dalam Sistem Politik Pemerintahan Demokrasi Terpimpin (19591965), Medan: USU Press, 2009, hal. 34
3
Universitas Sumatera Utara
Alasan memberlakukan kembali Undang-Undang Dasar 1945 adalah
menciptakan suatu pemerintahan yang stabil dengan sistem presidensial dengan
meninggalkan sistem parlementer dan memberikan peluang yang besar bagi
presiden untuk menjalankan kekuasaannya. Presiden memegang kekuasaan
pemerintah selama lima tahun yang hanya dibatasi oleh peraturan-peraturan dalam
Undang-Undang Dasar dimana sesuatu hal diperlukan adanya suatu undangundang. Selama masa itu presiden tidak boleh dijatuhkan oleh DPR dan
sebaliknya presiden tidak mempunyai wewenang untuk membubarkan DPR.
Dekrit Presiden dapat dipandang sebagai usaha untuk mencari jalan keluar
dari kemacetan politik melalui pembentukan kepemimpinan yang kuat. UndangUndang Dasar 1945 membuka kesempatan bagi seorang presiden untuk bertahan
selama sekuarang-kurangnya lima tahun. Akan tetapi Ketetapan MPRS No.
III/1963 yang mengangkat Ir. Soekarno sebagai presiden seumur hidup telah
membatalkan pembatasan waktu lima tahun ini yang telah ditentukan oleh
Undang-Undang Dasar.
Ir.Soekarno oleh MPRS ditetapkan sebagai presiden seumur hidup. Begitu
pula pejabat dari badan legislatif (yaitu pimpinan MPRS dan DPR Gotong
Royong) dan dari badan yudikatif (yaitu Ketua Mahkamah Agung) diberi status
menteri. Selain dari itu, berdasarkan Penetapan Presiden No. 14 Tahun 1960,
presiden diberi wewenang untuk mengambil keputusan dalam keadaan anggota
badan legislatif tidak dapat mencapai mufakat mengenai suatu hal atau sesuatu
4
Universitas Sumatera Utara
rancangan undang-undang.3 Dilihat dari hal ini kedudukan presiden Soekarno
yang menjabat seumur hidup menyimpang dari UUD yang telah ditetapkan.
Pada masa ini dominasi dari presiden sangat kuat dalam bidang
pemerintahannya selain itu terbatasnya peranan partai politik. Jika dilihat lebih
lanjut kepemimpinan presiden tanpa batas ini telah melahirkan tindakan dan
kebijakan yang menyimpang dari ketentuan-ketentuan UUD 1945. Kekeliruan
yang sangat besar dalam pemerintahan Soekarno telah menghilangkan nilai-nilai
demokrasi dengan lahirnya absolutisme dan terpusatnya kekuasaan pada diri
pemimpin dan tidak adanya kontrol sosial serta check and balances dari legislatif
terhadap eksekutif.
Kekuasaan presiden yang sangat besar itu mengakibatkan banyaknya
penyimpangan-penyimpangan yang terjadi yang tidak sesuai dengan UUD, antara
lain adalah: Pertama, masalah kedudukan presiden. Berdasarkan UUD 1945,
kedudukan presiden berada dibawah MPR, akan tetapi kenyataannya bertentangan
dengan UUD 1945, sebab MPRS tunduk kepada presiden. Dan presiden
menentukan apa yang harus diputuskan oleh MPRS. Kedua, presiden juga
membentuk MPRS berdasarkan Penetapan Presiden No.2 Tahun 1959. Tindakan
tersebut bertentangan dengan UUD 1945 karena berdasarkan UUD 1945
pengangkatan anggota MPRS sebagai lembaga tertinggi negara harus melalui
pemilihan umum sehingga partai-partai yang terpilih oleh rakyat memiliki
anggota-anggota yang duduk di MPR. Ketiga, adanya pembubaran DPR dan
3
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2009, hal.
311
5
Universitas Sumatera Utara
membentuk DPR – GR. Dimana semua anggotanya dipilih oleh pesiden dan juga
peraturan yang ditetapkan oleh presiden. Tindakan presiden tersebut bertentangan
dengan UUD 1945 sebab menurut UUD 1945 presiden tidak boleh membubarkan
DPR. Selain itu masih banyak lagi penyimpangan lain yang menyalahi aturan
yang tidak sesuai dengan UUD 1945. Hal inilah yang menjadi masalah terhadap
kekuasaan Presiden Soekarno, dimana kekuasaan yang dimiliki ikut merambah
pada kekuasaan legislatif dan kekuasaan yudisial.
Menurut Ichlasul Amal, ada kelemahan dalam UUD 1945 yaitu,
memberikan dasar pola pembentukan pola relasi antara negara dan masyarakat
yang tidak seimbang dengan kata lain terlalu memberikan posisi yang kuat kepada
Presiden, bahkan dalam perkembangan ketatanegaraan membuktikan penerapan
UUD 1945 dalam kehidupan politik telah melahirkan sistem politik otoritarian
dan sentralistik dan menjauhkan kepentingan masyarakat dalam proses pembuatan
keputusan pemerintahan.4
Dalam menjalankan fungsi dalam sebuah negara dapat dilakukan dengan
beberapa struktur. Apabila dalam penyelenggaraan fungsi negara terpusat pada
satu tangan atau satu struktur saja maka biasanya dilakukan oleh seorang diktator
atau seorang raja. Agar kekuasaan yang ada itu tidak cenderung mengarah kepada
sistem yang otoriter, gagasan utama didalam kelembagaan itu adalah bagaimana
melakukan pembagian dan pemisahan terhadap lembaga-lembaga yang memiliki
kekuasaan. Dalam sebuah negara demokratis, penyelenggaraan fungsi dalam
4
Sumali, Reduksi Kekuasaan Eksekutif di Bidang Peraturan Pengganti Undang-Undang
(PERPU), Malang: Universitas Muhammadiyah Malang , 2003, hal. 45
6
Universitas Sumatera Utara
negara dilakukan dengan adanya pemisahan atau pembagian fungsi negara kepada
beberapa stuktur yang satu sama lain terpisah dan berdiri sendiri. Maka untuk
menghindari adanya pemusatan kekuasaan pada satu tangan maka diperlukan
pemisahan kekuasaan sehingga adanya kontrol dan keseimbangan diantara
lembaga pemegang kekuasaan tersebut.
Pembagian kekuasaan perlu dilakukan agar fungsi-fungsi dalam negara
tersebut dapat berjalan dengan lancar. Pembagian kekuasaan pertama kali
dikemukakan oleh John Locke. Dimana dia membagi kekuasaan itu menjadi tiga
macam diantaranya kekuasaan Legislatif, kekuasaan Eksekutif dan kekuasaan
Federatif. Disamping itu munculnya pendapat Montesquieu yang memisahkan
kekuasaan kedalam tiga organ yaitu kekuasaan legislatif, kekuasaan eksekutif dan
kekuasaan Yudikatif.
Dengan terpisahnya tiga kewenangan dalam tiga lembaga yang berbeda
tersebut, diharapkan jalannya pemerintahan negara tidak timpang tindih dan
terhindar dari korupsi pemerintahan oleh satu lembaga. Pada masa pemerintahan
Soekarno tidak ada pembagian kekuasaan. Kekuasaan yang ada hanya terpusat
pada satu orang saja. Dimana Presidenlah yang mempunyai kekuasaan dan
wewenang
dalam
menjalankan
fungsi
pemerintahan.
Hal
inilah
yang
mengakibatkan pemerintahan Soekarno pada masa demokrasi terpimpin tidak
berjalan dengan baik dan jauh dari ketentuan undang-undang dasar.
Dilihat dari kepemimpinannya, kekuasaan presiden Seokarno sangat
menonjol dibandingkan lembaga-lembaga lain. Dimana kekuasaan dominan
7
Universitas Sumatera Utara
berada di tangan Presiden dilengkapi dengan berbagai hak konstitusional yang
lazim disebut hak prerogatif atau yang sering disebut executive heavy. Adanya
pembagian kekuasaan yang tidak merata. Hal ini sangat jauh dari ajaran Trias
Politica yang memisahkan kekuasaan kedalam tiga lembaga. Hal inilah yang
membuat penulis tertarik untuk menganalisis bagaimana sebenarnya kekuasaan
Soekarno pada masa itu ditinjau dari teori kekuasaan. Berdasarkan uraian diatas,
maka peneliti tertarik untuk mengambil judul tentang Kekuasaan Presiden ( Suatu
Tinjauan Teoritis Kekuasaan dalam Sistem Politik Demokrasi Terpimpin tahun
1959-1965)
2. Perumusan Masalah
Perumusan masalah merupakan penjelasan mengenai alasan mengapa
masalah yang dikemukakan dalam penelitian itu dipandang menarik, penting dan
perlu untuk diteliti. Dari latar belakang dan juga pemaparan diatas maka dalam
penelitian ini yang menjadi perumusan masalah adalah bagaimana kekuasaan pada
pemerintahan Soekarno tahun 1959-1965 pada masa sistem demokrasi terpimpin
ditinjau dari teori kekuasaan ?
3. Batasan Masalah
Dalam melakukan penelitian, penulis perlu membuat pembatasan masalah
terhadap masalah yang akan dibahas dengan tujuan untuk memperjelas dan
membatasi ruang lingkup penelitian, serta menghasilkan uraian yang sistematis
8
Universitas Sumatera Utara
dan hasil penelitian yang diperoleh tidak menyimpang dari tujuan yang ingin
dicapai. Adapun batasan masalah dalam penelitian ini adalah: analisis terhadap
kekuasaan pada pemerintahan Soekarno tahun 1959-1965 pada masa sistem
demokrasi terpimpin ditinjau dari teori kekuasaan.
4. Tujuan Penelitian
Adapun yang menjadi tujuan penelitian ini adalah:
1. Mendeskripsikan sistem demokrasi terpimpin pada masa pemerintahan
Soekarno.
2. Memahami dan menganalisis kekuasaan pada pemerintahan Soekarno
dilihat dari teori kekuasaan.
5. Manfaat Penelitian
Setiap penelitian diharapkan mampu memberikan manfaat terlebih lagi
untuk perkembangan ilmu pengetahuan. Adapun manfaat yang diharapkan dari
penelitian ini adalah:

Secara teoritis, penelitian ini diharapkan mampu menambah pengetahuan
ilmiah di bidang politik dan memberikan sumbangan pemikiran dan
referensi tentang teori kekuasaan.

Secara kelembagaan, penelitian ini dapat dijadikan landasan dalam
membenahi kekuasan dalam sebuah pemerintahan.
9
Universitas Sumatera Utara

Bagi
penulis
sendiri,
penelitian
ini
memiliki
manfaat
dalam
mengembangkan kemampuan berfikir dan kemampuan untuk menulis
karya ilmiah dan sebagai tahap akhir dalam penyelesaian program Strata
Satu di Departemen Ilmu Politik.
6. Kerangka Teori
Untuk memudahkan penelitian, diperlukan pedoman dasar berpikir yaitu
kerangka teori. Kerangka teori merupakan unsur yang paling penting dalam
sebuah penelitian, karena dalam bagian ini peneliti akan mencoba menjelaskan
fenomena sosial yang sedang diamati dengan menggunakan teori-teori yang
relevan dengan penelitiannya.
Menurut Masri Singarimbun, teori adalah serangkaian asumsi, konsep,
konstruksi dan defenisi untuk menerangkan suatu fenomena sosial secara
sistematis dengan cara merumuskan hubungan antar konsep.5
6.1 Teori Kekuasaan
Kekuasaan (power) merupakan suatu kondisi yang memunculkan dua
pemahaman. Pertama pemahaman tentang orang yang memperoleh kekuasaan dan
kedua pemahaman tentang orang dikuasai atau tunduk pada kekuasaan.
Pemahaman sentral yang berkenaan dengan ini berkisar pada sumber kekuasaan
sebagai legitimasi atas kekuasaan itu pada satu sisi dan kemauan seseorang untuk
5
Masri Singarimbun dan Sofyan Effendi, Metode Penelitian Survei, Jakarta: LP3ES, 1989, hal. 37
10
Universitas Sumatera Utara
tunduk pada kekuasaan yang maknanya adalah pembatasan dan bahkan menerima
tekanan pada sisi yang lain.6
Dengan kata lain, kekuasaan yang dimaksud disini adalah kemampuan
untuk bertindak, untuk memerintah dan kemampuan untuk mempengaruhi orang
lain untuk mengubah tingkah laku atau mengerjakan apa yang dikehendaki dari
pelaku yang mempunyai kekuasaan. Kekuasaan yang dilaksanakan tanpa batas
dapat menimbulkan penyelewengan alias korupsi. Oleh karena itu diperlukan
batas yang tegas tentang berapa lama dan bagaimana kekuasaan itu harus
diimplementasikan.
Sumber kekuasaan dapat berupa kedudukan, kekayaan atau kepercayaan.
Kedudukan diperoleh dengan cara kekuasaan fisik, pewarisan, pengangkatan dan
lain sebagainya. Kekayaan diperoleh dengan cara menguasai beberapa sumbersumber ekonomi ataupun warisan yang diberikan. Sedangkan kepercayaan
diperoleh dengan mendapatkan dukungan masyarakat atau seorang pemimpin
yang dianggap mempunyai wibawa.
Menurut Miriam Budiardjo kekuasaan adalah kemampuan seseorang atau
kelompok manusia untuk mempengaruhi tingkah laku seseorang atau kelompok
lai sedemikian rupa sehingga tingkah laku itu menjadi sesuai dengan keinginan
dan tujuan dari orang yang mempunyai kekuasaan itu. Sedangkan Laswell
berpendapat bahwa kekuasaan itu adalah suatu hubungan dimana seseorang atau
6
Samsul Wahidin, Dimensi Kekuasaan Negara Indonesia, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007, hal. 1
11
Universitas Sumatera Utara
sekelompok orang dapat menentukan tindakan seseorang atau kelompok lain
kearah tujuan dari pihak pertama.7
Talcott Parsons seorang sosiolog terkenal lebih cenderung melihat
kekuasaan sebagai senjata yang ampuh untuk mencapai tujuan-tujuan kolektif
dengan jalan membuat keputusan yang mengikat didukung dengan sanksi negatif.
Dia mengatakan bahwa kekuasaan adalah kemampuan untuk menjamin
terlaksananya kewajiban-kewajiban yang mengikat, oleh keatuan-kesatuan dalam
suatu sistem organisasi kolektif. Kewajiban adalah sah jika menyangkut tujuantujuan kolektif. Jika ada perlawanan, maka pemaksaan melalui sanksi-sanksi
negatif dianggap wajar, terlepas dari siapa yang melaksanakan pemaksaan itu.
Esensi dari kekuasaan adalah hak mengadakan sanksi. Cara untuk
menyelenggarakan kekuasaan berbeda-beda. Upaya yang paling ampuh adalah
kekerasan fisik (force). Seorang penjahat yang bersenjatakan celurit yang
memaksa seseorang untuk menyerahkan miliknya merupakan suatu contoh dari
kekuasaan
yang
paling
terbukan
dan
brutal.
Kekuasaan
dapat
juga
diselenggarakan lewat koersi (coercion), yaitu melalui ancaman akan diadakan
sanksi. Suatu upaya yang sedikit lebih lunak adalah melalui persuasi yaitu proses
menyakinkan, berargumentasi atau menunjuk pada pendapat seorang ahli (expert
advice). Dalam kehidupan sehari-hari seseorang perlu berkuasa kadang-kadang
cenderung memakai cara ini agar tidak terlalu menonjolkan kekuasaannya.
7
Miriam Budiardjo, op.cit., hal. 60
12
Universitas Sumatera Utara
Menurut pandangan Wahidin (2007: 3-5) yang dikutip oleh Bapak P.
Anthonis Sitepu dalam bukunya yang berjudul Teori-Teori Politik bahwa dalam
perspektif yang lebih teknis, rincian dari sumber daya kekuasaan secara formal
administratif ada 6 sumber kekuasaan, yaitu:8
1) Kekuasaan Balas Jasa (Reward Power)
Yakni kekuasaan yang legitimasinya bersumber dari sejumlah balas jasa yang
sifatnya positif (uang, perlindungan, perkembangan karier, janji positif dan
sebagainya) yang diberikan kepada pihak penerima guna melaksanakan sejumlah
perintah atau persyaratan lain.
Faktor ketundukan seseorang atas kekuasaan dimotivasi oleh hal itu dengan
harapan jika telah melakukan sesuatu akan memperoleh seperti yang dijanjikan.
2) Kekuasaan Paksaan (Coercive Power)
Berasal dari perkiraan yang dirasakan orang bahwa hukuman (dipecat, ditegur,
didenda, dijatuhi hukuman fisik dan sebagainya) akan diterima jika mereka tidak
melaksanakan perintah pimpinan. Kekuasaan akan menjadi suatu motivasi yang
bersifat repressif terhadap kejiwaan seseorang untuk tunduk pada kekuasaan
pimpinan itu dan melaksanakan seperti apa yang dikehendaki. Jika tidak paksaan
yang diperkirakan akan dijatuhkan.
3) Kekuasaan Legitimasi (Legitimate Power)
Kekuasaan yang berkembang atas dasar dan berpangkal dari nilai-nilai intern yang
mengemuka dari dan sering bersifat konvensional bahwa seorang pimpinan
8
Anthonius Sitepu, Teori-Teori Politik, Yogyakarta: Graha Ilmu, 2012, hal. 54-55
13
Universitas Sumatera Utara
mempunyai hak yang sah untuk mempengaruhi bawahannya. Sementara itu dalam
sisi yang lain, seseorang mempunyai kewajiban untuk menerima pengaruh
tersebut karena seorang lainnya ditentukan sebagai pimpinannya atau petinggi
sementara dirinya seorang bawahan. Legitimasi yang demikian dapat diperoleh
atas dasar aturan formal akan tetapi bisa juga bersumber pada kekuasaan muncul
karena kekuatan alamiah dan kekuatan akses dalam pergaulan bersama yang
mendudukan seseorang beruntung memperoleh legitimasi suatu keputusan.
4) Kekuasaan Pengendalian atas Informasi (Control of Information Power)
Kekuasaan ini ada dan berasal dari kelebihan atas suatu pengetahuan dimana
orang lain tidak mempunyai. Cara ini dipergunakan dengan pemberian atau
penahanan informasi yang dibutuhkan oleh orang lain maka mau tidak mau harus
tunduk (secara terbatas) pada kekuasaan pemilik informasi. Pemilik informasi
dapat mengatur sesuatu yang berkenaan dengan peredaran informasi, ats
legitimasi kekuasaan yang dimilikinya.
5) Kekuasaan Panutan (Referent Power)
Kekuasaan ini muncul dengan didasarkan atas pemahaman secara kultural dari
orang-orang dengan yang berstatus sebagai pemimpin. Masyarakat menjadikan
pemimpin itu sebagai panutan simbol dari perilaku mereka. Aspek cultural yang
bisanya muncul dari pemahaman religiositas direfleksikan pada kharisma pribadi,
keberanian, sifat simpatik dan sifat-sifat lain yang tidak ada pada kebanyakan
orang. Hal itu menjadikan orang lain tunduk pada kekuasaannya.
14
Universitas Sumatera Utara
6) Kekuasaan Keahlian (Expert Power)
Kekuasaan ini ada dan merupakan hasil dari tempaan yang lama da muncul karena
suatu keahlian atau ilmu pengetahuan. Kelebihan ini menjadikan seseorang
pemimpin dan secara alamiah berkedudukan sebagai pemimpin dalam bidang
keahliannya itu. Seorang pemimpin dapat merefleksikan kekuasaan dalam batasbatas keahliannya itu dan secara terbatas pula orang lain tunduk pada kekuasaan
yang bersumber dari keahlian yang dimiliknya karena ada kepentingan terhadap
keahlian sang pemimpin.
Menurut Charles F. Andrian (1970: 103-104) ilmuan politik pada
umumnya menggambarkan distribusi kekuasaan itu ke dalam tiga bentuk, yakni
model elite yang memerintah, model pluralis dan model populis. Model yang
pertama, melukiskan kekuasaan sebagai yang dimiliki oleh sekelompok kecil
orang yang disebut elite. Sedangkan model pluralis, yang menggambarkan
kekuasaan sebagai dimiliki oleh berbagai kelompok sosial dalam masyarakat dan
berbagai lembaga-lembaga dalam pemerintahan. Dan model populis, yang
melukiskan kekuasaan sebagai yang dipegang oleh setiap individu warga Negara
atau rakyat secara kolektif.9
Geotano Mosca melukiskan distribusi kekuasaan di dalam masyarakat,
bahwa dalam setiap masyarakat itu, terdapat dua kelas yang menonjol yakni:
9
Ibid., hal. 56
15
Universitas Sumatera Utara

Kelas yang memerintah, yang terdiri dari sedikit orang, melaksanakan
fungsi politik, memonopoli kekuasaan dan menikmati keuntungankeuntungan yang ditimbulkan dengan kekuasaan.

Kelas yang diperintah, yang berjumlah lebih banyak, dikendalikan dan
diarahkan oleh penguasa dengan cara-cara yang kurang lebih berdasarkan
hukum, semaunya dan paksaan.
6.2 Teori Pembagian Kekuasaan
Secara teoritis, pembagian fungsi negara didasarkan pada asumsi, bahwa
adanya pemusatan kekuasaan pada satu tangan, maka dapat terjadi pengelolaan
sistem pemerintahan secara absolut atau otoriter, misalnya seperti dalam bentuk
monarki dimana kekuasaan berada pada ditangan seorang raja. Maka untuk
menghindari hal tersebut perlu adanya pemisahan kekuasaan, sehingga diharapkan
adanya kontrol dan keseimbangan diantara lembaga pemegang kekuasaan
tersebut.
Negara mempunyai kekuasaan yang secara normatif dicerminkan dari
batasan, pedoman dan aturan lain yang dituangkan dalam Konstitusi. Di Dunia
Barat ada dikenal dengan pemisahan kekuasaan negara ke dalam tiga kekuasaan,
diantaranya: kekuasaan Legislatif, kekuasaan Eksekutif dan kekuasaan Yudikatif.
John Locke sebagai pencetus pertama kali tentang pembagian kekuasaan dengan
melalui bukunya yang berjudul “Two Treaties on Civil Government”. Dia
menolak pendapat bahwa kekuasaan itu sifatnya turun temurun. Hal ini akan
16
Universitas Sumatera Utara
senderung untuk melaksanakan kekuasaan itu dengan tidak memperhatikan
aspirasi atau kehendak rakyat.
John Locke memisahkan kekuasaan kedalam tiga bidang, yaitu:
a. Kekuasaan Legislatif, yang merupakan kekuasaan pembuat peraturan dan
Undang-Undang.
b. Kekuasaan Eksekutif, yang melaksanakan dan mempertahankan peraturan
dan Undang-Undang, dan
c. Kekuasaan Federatif, ialah kekuasaan dalam melakukan hubungan
diplomatik dengan negara-negara lain.
Pendapat John Locke inilah yang mendasari munculnya teori pembagian
kekuasaan sebagai gagasan awal untuk menghindari adanya pemusatan kekuasaan
(absolut) dalam suatu negara.
Dan kemudian dalam perkembangan selanjutnya, sekitar beberapa tahun
berikutnya muncullah Montesquieu yang mencetuskan teori pemisahan kekuasaan
atau yang lebih dikenal dengan “Trias Politica” ke dalam tiga bidang. dalam
bukunya yang berjudul L‟esprit des Louis pada tahun 1748 menawarkan alternatif
yang agak berbeda dari pendapat John Locke. Dengan adanya pemisahan
kekuasaan diharapkan dapat saling lepas dan dalam tingkat yang sama. Hal ini
berarti bahwa lembaga-lembaga negara dipisahkan sehingga dapat saling
mengawasi dan mengontrol satu sama lain. Kekuasaan yang dimaksud adalah:10
10
Samsul Wahidin, op.cit., hal.17-18
17
Universitas Sumatera Utara
1. Kekuasaan Legislatif, sebagai pembuat Undang-Undang yang nantinya
dijadikan sebagai patokan untuk berinteraksi baik secara kelembagaan
maupun individual di dalam negara.
2. Kekuasaan
Eksekutif,
sebagai
pelaksana
Undang-Undang,
yang
mempunyai kekuasaan untuk memaksakan penerapan Undang-Undang
tersebut kepada pihak-pihak yang harus melaksanakan.
3. Kekuasaan Yudikatif, sebagai lembaga peradilan yang menjadi pilar untuk
menegakkan Undang-Undang serta mengadili pelanggaran UndangUndang dengan segala konsekuensinya.
Konsep yang dikemukakan oleh John Locke dengan konsep yang
dikemukakan oleh Montesquieu pada dasarnya memiliki perbedaan, antara lain: a)
menurut John Locke kekuasaan eksekutif merupakan kekuasaan yang mencakup
kekuasaan yudikatif karena mengadili itu berarti melaksanakan undang-undang,
sedangkan kekuasaan federatif (hubungan luar negeri) merupakan kekuasaan yang
berdiri sendiri; b) menurut Montesquieu kekuasaan eksekutif mencakup
kekuasaan federatif karena melakukan hubungan luar negeri itu termasuk
kekuasaan eksekutif, sedangkan kekuasaan yudikatif harus merupakan kekuasaan
yang berdiri sendiri dan terpisah dari eksekutif. Pada kenyataannya sejarah
menunjukkan bahwa cara pembagian kekuasaan yang di kemukakan Montesquieu
18
Universitas Sumatera Utara
yang lebih diterima. Kekuasaan federatif di berbagai negara sekarang ini
dilakukan oleh eksekutif melalui Departemen Luar Negerinya masing-masing.11
Menurut Montesquieu, dengan adanya pemisahan kekuasaan ini
diharapkan kemerdekaan bagi setiap individu dijamin terhadap tindakan
sewenang-wenang dari penguasa. Montesquieu menekankan bahwa seseorang
akan cenderung untuk mendominasi kekuasaan bila kekuasaan tersebut terpusat
pada satu orang. Oleh karena itulah dibutuhkan pemisahan kekuasan untuk
mencegah adanya dominasi satu kekuasaan terhadap kekuasaan lainnya. Bisa
dilihat hampir diseluruh negara menerapkan konsep Trias Politica dalam
kehidupan berpolitik. Dalam suatu negara bisa dikatakan negara berdemokrasi
dalam kehidupan berpolitik apabila diterapkannya
konsep ini. Karena pada
dasarnya kekuasaan di suatu negara tidak boleh dilimpahkan pada satu struktur
kekuasaan politik atau satu lembaga independen saja melainkan harus terpisah
dengan lembaga-lembaga negara yang berbeda.
Dengan terpisahnya tiga kewenangan di tiga lembaga yang berbeda
tersebut, diharapkan jalannya pemerintahan negara tidak timpang, terhindar dari
korupsi pemerintahan oleh satu lembaga, dan akan memunculkan mekanisme
check and balances (saling koreksi dan saling mengimbangi). Biarpun dalam
prakteknya, jalanya Trias Politika di tiap negara tidak selamanya mulus atau tanpa
halangan.
11
Beddy Iriawan Maksudi, Sistem Politik Indonesia: Pemahaman Secara Teoritik dan Empirik,
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2012, hal. 93
19
Universitas Sumatera Utara
7. Metodologi Penelitian
7.1 Metode Penelitian
Adapun metode penelitian yang digunakan penulis adalah metode
deskriptif. Metode deskriptif dapat diartikan sebagai prosedur pemecahan masalah
yang diselidiki dengan menggambarkan atau melukiskan keadaan subjek atau
objek penelitian seseorang, lembaga maupun masyarakat dan lain-lain pada saat
sekarang berdasarkan fakta-fakta yang tampak sebagaimana adanya.12
Usaha yang mendeskripsikan fakta-fakta itu pada tahap permulaan tertuju
pada usaha yang mengemukakan gejala-gejala secara lengkap didalam aspek yang
diselidiki, agar jelas keadaan atau kondisinya. Pada umumnya penelitian deskriptif
merupakan
penelitian
non
hipotesis
sehingga
dalam
langkah-langkah
penelitiannya tidak perlu merumuskan hipotesis.
7.2 Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif
merupakan penelitian yang menekankan pada pemahaman mengenai masalahmasalah dalam kehidupan sosial berdasarkan kondisi realitas atau natural setting
yang holistis, kompleks dan rinci. Penelitian yang menggunakan pendekatan
induksi yang mempunyai tujuan penyusunan konstruksi teori atau hipotesis
12
Hadawari Nawawi, Metodologi Penelitian Bidang Sosial, Yogyakarta: Gajahmada University Press, 1987,
hal. 63
20
Universitas Sumatera Utara
melalui pengungkapan fakta.13 Metode kualitatif dapat dipergunakan untuk
menyelidiki lebih dalam konsep-konsep atau ide-ide.
Aplikasi penelitian kualitatif ini adalah konsekuensi metodologis dari
penggunaan metode deskriptif. Bogdan dan Taylor mengungkapkan bahwa
“metodelogi kualitatif” sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data
deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang
dapat diamati.14
7.3 Teknik Pengumpulan Data
Dalam pengumpulan data ada beberapa teknik pengumpulan data yang
dapat digunakan, antara lain, penelitian perpustakaan (library research), yang
sering disebut metode dokumentasi, dan penelitian lapangan, seperti wawancara
dan observasi.15 Untuk mendapatkan data atau informasi yang akurat dalam
rangka pembahasan masalah dalam penelitian ini adalah menggunakan data
sekunder.
Data sekunder didapat dari pengumpulan data Library Research Methods
(Metode Penelitian Kepustakaan), yaitu sumber yang diambil langsung dari bukubuku, dokumen-dokumen berupa jurnal, artikel-artikel dan juga sumber lainnya
seperti situs internet yang berkaitan dengan judul skripsi ini sehingga dapat
membantu dalam penelitian ini. Dengan demikian diperoleh data sekunder sebagai
kerangka kerja teoritis.
13
Erlina, Metodologi Penelitian, Medan: USU Press, 2011, hal. 14
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1994, hal. 3
15
Tatang M. Amirin, Menyusun Rencana Penelitian, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000, hal. 130
14
21
Universitas Sumatera Utara
7.4 Teknik Analisis Data
Teknik analisa data yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif
yang mana teknik ini lebih menekankan analisisnya pada sebuah proses
pengambilan kesimpulan deduktif dan juga induktif serta pada analisis terhadap
dinamika hubungan antar fenomena yang sedang diamati dengan menggunakan
logika ilmiah.16
Dalam
analisa
data
dilakukan
proses
pengorganisasian
dengan
mengurutkan data ke dalam pola, kategori dan satuan uraian dasar sehingga
ditemukan tema permasalahan. Setelah data terkumpul tahap berikutnya dilakukan
analisa data yang sesuai dengan model penelitian deskriptif untuk memperoleh
gambaran sistematis tentang kondisi dan situasi yang ada. Setelah itu data tersebut
diolah dan dieksplorasi secara mendalam yang selanjutnya akan menghasilkan
kesimpulan yang menjelaskan masalah yang akan diteliti.
16
Burhan, Bungin, Metode Penelitian Sosial, Surabaya: Airlangga University, 2001, hal. 47
22
Universitas Sumatera Utara
8. Sistematika Penulisan
Untuk memperoleh gambaran yang terperinci dari skripsi ini, maka penulis
membagi sistematika penulisan kedalam 4 bab yaitu:
BAB I
: PENDAHULUAN
Dalam bab ini berisi latar belakang masalah yang menjelaskan
mengapa peneliti memilih judul tersebut dan ada rumusan masalah,
batasan masalah, tujuan dan manfaat penelitian. Kemudian ada
juga kerangka teori atau pemikiran, metodologi penelitian dan
sistematika penelitian.
BAB II
: BIOGRAFI SOEKARNO
Bab ini berisi membahas tentang perjalanan politik Soekarno,
riwayat hidup, pendidikan dan hal – hal yang berhubungan dengan
pemerintahan Soekarno.
BAB III
: PENYAJIAN DAN ANALISA DATA
Bab ini mendeskripsikan kekuasaan presiden Soekarno pada masa
demokrasi terpimpin dan hasil analisis penelitian terhadap
kekuasaan Soekarno dengan menggunakan teori kekuasaan.
BAB IV
: PENUTUP
Bab ini adalah bab terakhir yang berisikan tentang kesimpulan
yang diperoleh dari hasil penelitian yang dilakukan dan juga
terdapat saran-saran dari hasil penelitian yang telah dilakukan.
23
Universitas Sumatera Utara
Download