BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Arkeologi adalah ilmu yang mengkaji tentang sejarah manusia masa lampau melalui peninggalan material (Sharer and Ashmore, 2003: 15) yang bertujuan untuk merekonstruksi sejarah, kehidupan manusia masa lampau, serta gambaran proses perubahan budaya (Binford, 1972:80-81). Salah satu objek material arkeologi adalah permukiman. Undang-undang No. 1 Tahun 2011 tentang permukiman mendefinisikan bahwa permukiman merupakan bagian dari lingkungan hunian yang terdiri atas lebih dari satu satuan perumahan yang mempunyai prasarana, sarana, utilitas umum, serta mempunyai penunjang kegiatan fungsi lain di kawasan perkotaan atau kawasan perdesaan. Permukiman juga dapat diartikan sebagai daerah tempat bermukim (Tim, 2000: 760). Mundardjito (1990: 21) menyebutkan bahwa arkeologi permukiman adalah bagian dari disiplin arkeologi yang mengkhususkan atau memusatkan perhatian pada penyebaran okupasi dan kegiatan manusia, serta hubunganhubungan di dalam satuan-satuan ruang, dengan tujuan memahami sistem teknologi, sosial, dan ideologi dari masyarakat masa lalu. Oleh karena itu, adanya permukiman di suatu wilayah menjadi tanda adanya hubungan manusia dengan lingkungannya, serta menandai kehidupan berbudaya di suatu wilayah. Melalui arkeologi permukiman juga dapat diketahui interaksi baik di dalam permukiman maupun interaksi antar permukiman di dalam satu wilayah, dan atau interaksi 1 2 antar suatu wilayah dengan wilayah lainnya. Kemunculan dan berkembangannya suatu permukiman pada suatu wilayah sangat menarik untuk dikaji karena akan diperoleh pemahaman atas pemilihan lokasi bermukim yang tepat bagi masyarakat pendukungnya, serta adaptasi masyarakat terhadap lingkungannya. Perkembangan berasal dari kata berkembang (KBBI, 2004) yang berarti menjadi besar (luas, banyak, dan sebagainya), sedangkan permukiman (KBBI: 2004) adalah daerah tempat bermukim. Perkembangan permukiman adalah daerah tempat bermukim yang menjadi besar (luas, banyak, dan sebagainya). Perkembangan tersebut dapat berupa perkembangan fisik (kondisi permukiman, dan fasilitas) maupun sosial (Yu Zhou: 2004). Kondisi permukiman dapat dilihat dari pola permukimannya. Pola merupakan distribusi elemen-elemen pemukiman seperti rumah, desa, dan pasar menyeluruh ke seluruh wilayah (Robert, 1996: 24). Pola pemukiman (settlement pattern) merupakan pengejawantahan (ekspresi) dari konsepsi manusia mengenai ruang, serta merupakan hasil dari upaya manusia untuk mengubah dan memanfaatkan lingkungan fisiknya berdasarkan atas pandangan-pandangan dan pengetahuan yang dimilikinya mengenai lingkungan (Ahimsa-Putra, 1995: 10). Sanders (1969:116) dalam Subroto (1985:1177) menyatakan bahwa pola pemukiman dibedakan menjadi dua macam yaitu pola pemukiman komunitas dan pola permukiman zonal. Pola permukiman komunitas meliputi unit-unit populasi secara individual yang di dalamnya mencakup data mengenai tipe-tipe komunitas, organisasi, bangunan publik, distribusi dan bentuk jalan, populasi, kepadatan populasi, kepadatan komunitas, serta karakter populasi. Hal itu berbeda dengan 3 pola permukiman zonal yang lebih berhubungan dengan distribusi komunitas, jarak antarkomunitas, dan hubungan simbioti. Kondisi permukiman juga dapat diungkap dengan cara mengetahui karakteristiknya. Karakteristik permukiman dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu (1) faktor kedekatan dengan sumber air, (2) faktor bentang alam, (3) tersedianya fasilitas-fasilitas alam yang diperlukan untuk bergerak (jalan), dan (4) tersedianya sumber makanan yang baik (Prasetyo, 1991: 5). Karakteristik permukiman tersebut dapat ditemui hampir di seluruh permukiman di dunia pada permukiman yang bersifat lokal maupun bukan lokal serta permukiman lampau maupun baru. Faktor-faktor yang disebutkan Prasetyo (1991) mengenai permukiman yang selalu terkorelasi pada setiap wilayah terutama faktor kedekatan dengan sumber air. Wagner dan Mikesell (1962: 506) menyebutkan bahwa karakteristik lahan dan kondisi tanah merupakan faktor yang mempengaruhi suatu pemukiman sedangkan Robert (1996: 32) menyebutkan bahwa di antara faktor-faktor tersebut sumber air yang lebih penting karena dalam kehidupan air merupakan kebutuhan pokok tidak hanya manusia, tetapi juga hewan dan tumbuhan. Kebutuhan air sangat penting bagi manusia sehingga muncul Peraturan Pemerintah No. 82 tahun 2001 tentang pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air. Dalam PP tersebut disebutkan bahwa yang dimaksud dengan air adalah semua air yang terdapat di atas ataupun di bawah permukaan tanah, termasuk dalam pengertian ini adalah air permukaan, air tanah, air hujan, air laut—baik yang ada di laut maupun yang berada di darat. Oleh karena itu, suatu 4 permukiman tidak dapat terlepas dari adanya air, begitu pula sebaliknya, baik di daerah yang kering semi arid, lembab, dataran tinggi, dataran rendah, maupun daerah dingin, sub-tropis dan tropis. Salah satu daerah yang masuk ke dalam kategori semi arid yaitu Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) khususnya Pulau Timor. Propinsi NTT beriklim kering (semi arid) karena dipengaruhi oleh angin muson. Musim penghujan yang terjadi di NTT sangat pendek antara bulan November sampai bulan Maret, sedangkan musim kemarau sangat panjang dan kering terjadi pada bulan April sampai dengan bulan Oktober. 1 Keadaan ini membuat banyak daerah di Pulau Timor mengalami kekeringan yang parah. Beberapa sumber menyebutkan bahwa kekeringan telah terjadi di 67 wilayah di NTT. 2 Hal ini mengindikasikan bahwa air menjadi masalah primer bagi kehidupan di Pulau Timor, NTT. Kesulitan air menjadi permasalahan penduduk Pulau Timor, NTT sejak dulu, terutama saat musim kemarau. Sungai yang terdapat di Propinsi NTT pada umumnya mempunyai fluktuasi aliran air yang cukup tinggi sehingga pada musim penghujan sungai akan berair dan kadang-kadang terjadi banjir, sedangkan pada musim kemarau jumlah air di sungai berkurang drastis bahkan ada sungai yang tidak berair sama sekali seperti Sungai Benain, Noelmina, Noelfael, dan Noelbessi. 3 Salah satu tanda kesulitan air adalah perilaku masyarakat saat harus 1 (http://www.dephut.go.id/index.php/news/otresults/1337 diakses pada tanggal 24 Januari 2015 pukul 06.00 WIB) 2 (http://news.metrotvnews.com/read/2014/10/10/303240/kekeringan-ekstremlanda-67-wilayah-di-ntt diakses pada tanggal 24 Januari 2015 pukul 12.00 WIB) 3 (http://www.antaranews.com/berita/226585/empat-sungai-besar-kawasan-cagaralam-mutis-ntt-terancam-kering diakses pada tanggal 24 Januari 2015 pukul 12.30 WIB) 5 berjalan berkilo-kilo meter menuju mata air di bawah bukit untuk mendapatkan air yang bersih. 4 Kesulitan air tersebut membuat masyarakat mau tidak mau harus pandai menghemat penggunaan air, salah satunya dengan tidak mandi setiap hari. Sama halnya dengan wilayah Pulau Timor NTT lainnya, Amarasi yang terletak di Kabupaten Kupang, Propinsi NTT, merupakan wilayah yang sulit air. Kabupaten Kupang memiliki rata-rata curah hujan setahun sebesar 321,67 mm dengan curah hujan tertinggi 2.032 mm pada Bulan Januari. 5 Setiap bulan kabupaten ini mengalami hujan dengan rata-rata curah hujan yang tidak merata. Topografi Amarasi terdiri atas pegunungan dan pantai. Wilayah pantai selatan Amarasi merupakan jajaran tebing yang memanjang dari barat ke timur. Namun, dibandingkan dengan wilayah lainnya di Pulau Timor NTT, wilayah Amarasi termasuk wilayah yang subur dan menjadi salah satu sumber bahan pokok bagi wilayah Kupang saat ini. Bahan pangan yang bersumber dari Amarasi antara lain adalah jagung, jeruk, padi, sapi, babi, dan kambing. 6 Hasil pertanian dan ternak di wilayah Amarasi jumlahnya terbatas yang diakibatkan oleh topografi wilayah yang berbukit-bukit sehingga sulit untuk dijadikan lahan pertanian (lihat gambar 1). Topografi yang berbukit-bukit menjadi permasalahan tersendiri bagi penduduk untuk mencukupi sumber air dan makan. 4 (http://health.detik.com/read/2013/10/07/071755/2379417/763/di-desa-bitobekupang-sumber-air-belum-juga-dekat?991104topnews diakses pada tanggal 1 Februari 2015 pukul 22.30 WIB) 5 (http://www.kab-kupang.go.id/ diakses pada tanggal 25 Januari 2015 pukul 20.30 WIB) 6 (http://www.kab-kupang.go.id/ diakses pada tanggal 25 Januari 2015 pukul 20.00 WIB) 6 Gambar 1 Peta kondisi topografi wilayah Kerajaan Amarasi (Sumber Peta RBI dan Google Earth modifikasi 3D oleh Sinta Akhirian) 7 Permasalahan-permasalahan tersebut dapat diketahui dengan cara mengkaji sejarah permukimannya. Tidak semua permukiman masih dapat terlacak sejarahnya secara lengkap. Keberadaan permukiman di Timor sudah terdokumentasikan sejak 35.000 tahun yang lalu hingga sekarang (Hagerdal, 2012: 15). Kebudayaan di Pulau Timor, NTT sudah dapat dilacak hingga masa Prasejarah. Menurut pendapat Mendes Correa (1956-1957), penduduk Pulau Timor yang pertama adalah sezaman dengan Homo Soloensis dan Homo Wajakensis di Jawa (Poesponegoro dan Notosusanto, 1990: 116). Peninggalan Prasejarah lainnya antara lain berupa kapak penetak, kapak perimbas, kapak genggam, kapak genggam awal, dan sejumlah serpih bilah yang diperkirakan berasal dari kala Pascapleistosen dan merupakan budaya pendukung Pithecanthropus (Poesponegoro dan Notosusanto, 1990: 109). Salah satu wilayah Timor yang sejarah permukimannya masih dapat dilacak adalah wilayah Kerajaan Amarasi yang merupakan salah satu kerajaan di Propinsi NTT, khususnya di Pulau Timor. Amarasi berada di sebelah selatan Pulau Timor yang dapat ditemukan peninggalan prasejarah yang cukup banyak. Tinggalan-tinggalan tersebut antara lain kapak genggam (di desa Fatu Koat desa Soba, Riantuak, Ruantuk, Niuk, Baun, Nekmetes, serta Toa) serta fosil yang digunakan untuk pisau dan anak panah (di Desa Toa) (Tim, 1977b: 26). Berdasarkan data yang diperoleh, Pulau Timor sudah dihuni oleh manusia sejak masa Prasejarah. Keberadaan Amarasi muncul kembali sekitar akhir abad ke-18 hingga tahun 1960. Amarasi pada abad tersebut telah menjadi kerajaan. Kerajaan 8 ini mempunyai wilayah di bagian barat daya dari Pulau Timor yang sekarang menjadi wilayah Kabupaten Kupang bagian selatan. Kata Amarasi berasal dari kata am yang berarti “bapak” dan rasi yang bermakna “tempat”, sehingga dapat diartikan bahwa Amarasi adalah “tempat bapak”. Menurut cerita, Amarasi berawal dari ayah leluhur raja Amarasi di Waiwiku-Wehale yang membagi harta kekayaanya kepada putrinya dan saudarasaudaranya. Karena ketidakcocokan, timbul konflik antara sang putri dan saudaranya yang bernama Nafi. Nafi kemudian memutuskan untuk pergi menuju ke suatu lembah yang berbatasan dengan daerah pantai selatan. Daerah itu kemudian diberi nama Tunrain-Bunrain, sedangkan tempat kediaman Nafi-Rasi dinamakan Nonua. Anak Nafi-Rasi kemudian diberi Ama-Rassi (Parera, 1994, 176-177). Cerita lain menyebutkan bahwa Kerajaan Amarasi bermula saat raja pertama memungut seorang bayi yang sedang menangis di bawah pohon rasi. Bayi itu kemudian diangkat menjadi anaknya dan dinamakan Nafi Rassi serta kerajaannya diberi nama Amarasi (Parera, 1994: 274). Saat ini wilayah bekas Kerajaan Amarasi dibagi menjadi empat kecamatan yang masing-masing memiliki kepala pemerintahannya sendiri yaitu camat. Meskipun secara administratif (de jure) raja atau usif, yang bernama Robert Koroh, tidak memiliki wilayah kekuasaan secara administratif, namun secara de facto, bekas wilayah kerajaannya sebagai wilayah tanah warisnya masih dikenal sebagai milik usif Amarasi dan keturunannya. Selain itu masyarakat Amarasi tetap menghormati dan menganggap Usif Robert Koroh sebagai usifnya. 9 Kerajaan Amarasi merupakan kerajaan yang memiliki wilayah dengan topografi yang sulit. Di sisi lain, Kerajaan Amarasi juga menjadi contoh kerajaan yang sampai sekarang masih menghormati Usif walaupun sudah tidak berkuasa secara nyata. Penghormatan ini tampaknya menjadi salah satu latar belakang muculnya karakter permukiman di wilayah Kerajaan Amarasi. Permasalahan tentang air juga tampak menjadi kesulitan di Pulau Timor (NTT), tidak tekecuali di Kerajaan Amarasi. Kerajaan Amarasi diduga memiliki solusi tersendiri dalam memecahkan masalah kebutuhan air untuk kehidupannya. Hingga kini, wilayah bekas Kerajaan Amarasi masih tetap dihuni. Permukiman masih tetap muncul di sepanjang jalan yang menghubungkan Kupang dengan Baun. Menurut wawancara yang dilakukan kepada Raja Amarasi, 7 mulai munculnya permukiman di sepanjang jalan disebabkan oleh perintah Pemerintah Kolonial Belanda waktu itu. Permukiman kerajaan ini pasti memiliki permasalahannya tersendiri, tidak terkecuali masalah air. Permasalahan ini berdampak pada distribusi dan perkembangan permukiman di wilayah Kerajaan Amarasi. Wilayah Amarasi memiliki permasalahan tentang air dan topografi akan tetapi wilayah tersebut hingga sekarang tetap dihuni. Pemahaman mengenai suatu permukiman dalam hal ini kampung yang dihuni masyarakat Kerajaan Amarasi menghasilkan suatu pemikiran mengenai bagaimana masyarakat beradaptasi dengan lingkungannya dalam mencukupi kebutuhan hidupnya. Hal itu tersebut dipengaruhi oleh banyak faktor sehingga penelitian ini bertujuan untuk 7 Wawancara dengan Robert Koroh (Usif Amarasi) tanggal 13 Agustus 2013 pukul 08.30 WITA 10 mengetahui hal-hal yang berkaitan dengan permukiman kampung di Amarasi, Propinsi NTT. I.2. Rumusan Permasalahan Berdasarkan uraian latar belakang maka dirumuskan suatu permasalahan yaitu : 1. Bagaimana distribusi permukiman kampung di wilayah Kerajaan Amarasi sejak pertengahan abad ke-19? 2. Faktor-faktor apa saja yang mendorong perkembangan permukiman kampung di wilayah Kerajaan Amarasi sejak pertengahan abad ke-19? I.3. Batasan Penelitian Secara khusus penelitian ini membahas tentang distribusi dan faktor pendukung perkembangan permukiman kampung di wilayah Kerajaan Amarasi. Hal-hal yang berhubungan dengan sejarah, kondisi lingkungan, dan permukiman akan dibahas pada penelitian ini. Batasan penelitian ini hanya mencakup pada wilayah kerajaan Amarasi. Penelitian ini terbatas menggunakan data yang diperoleh dari survei bulan pada Mei 2013. Survei tersebut merupakan rangkaian kegiatan penelitian payung Dr. Widya Nayati M.A yang berjudul Karakteristik Perdagangan Kayu Cendana Timor Sebelum Abad 19: Upaya Untuk Menjadikan kembali Kayu Cendana sebagai Komoditas Dunia. Penelitian tersebut merupakan penelitian HIBAH di FIB UGM tahun 2013 dan penelitian ini merupakan pendukung penelitian payung tersebut. Data yang diperoleh pada survei bulan Mei 2013 11 tersebut digunakan sebagai data inti dalam penelitian ini. Pada kegiatan survei di bulan Mei 2013 dilakukan observasi lapangan dan wawancara dengan beberapa narasumber.Selain dari observasi lapangan, digunakan pula studi atas pustaka yang membahas tentang Kerajaan Amarasi dan wilayahnya. I.4. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah mengetahui perkembangan permukiman kampung di wilayah Kerajaan Amarasi sejak pertengahan abad ke-19. Melalui distribusi permukiman kampung Kerajaan Amarasi maka akan diperoleh gambaran fasilitas-fasilitas yang diperlukan masyarakat Amarasi dari waktu ke waktu sesuai dengan kebutuhannya. Selain itu, diperoleh gambaran adaptasi masyarakat dalam proses perkembangan kebudayaan lokal dari abad ke-18 hingga tahun 1960. I.5. Tinjauan Pustaka Penelitian mengenai pola dan perkembangan permukiman kampung di Kerajaan Amarasi belum dilakukan oleh peneliti-peneliti terdahulu. Ormeling (1955) dan Parera (1994) menguraikan keberadaan Kerajaan Amarasi dalam konteks sejarah kerajaan-kerajaan di Timor. Kerajaan Amarasi mempunyai peranan penting dalam perdagangan cendana dan dalam proses dagang tersebut dengan Portugis (Hagerdal, 2012) dan China (Ormeling, 1955). Sebagai akibat dari adanya perdagangan adalah kondisi ekonomi Kerajaan Amarsi menjadi sangat baik. Di sisi lain, arah politik Kerajaan Amarasi sangat dinamis seperti 12 yang disebutkan oleh Hagerdal (2012) bahwa kondisi politik pernah tidak stabil, sering terjadi peperangan dalam rangka merebut dan mempertahankan wilayah, khususnya wilayah sumber komoditas dagangnya. Sayangnya tidak disebutkan wilayah mana yang menjadi sumber perdagangan tersebut. Omerling (1955) menguraikan nama-nama permukiman di wilayah Kerajaan Amarasi dari masa kedatangan Belanda akan tetapi tidak membahas secara rinci mengenai pola permukimannya. Beberapa nama wilayah di Amarasi yang disebutkan oleh Parera (1994), yaitu Nonua, Buaren, Oekabiti, Baun, Bokoboko Markao, Panmuti, dan Seki Suanu. Selain nama-nama itu, salah satu tempat penting di wilayah Kerajaan Amarasi menurut Cunningham (2007) adalah Soba karena permukiman ini masih menunjukkan nilai tradisionalnya, sehingga menjadi gambaran umum kebudayaan masyarakat Amarasi. Nilai tradisional masyarakat Amarasi menurut Cuningham (2007) terletak pada sistem ekonomi, sistem peradilan, seni, kerajinan, stratifikasi sosial, pertanian, sistem pemerintahan, dan keyakinan. Penelitan-penelitian tersebut lebih terfokus pada kebudayaan, sistem sosial, dan sistem politik. Penelitian mengenai perkembangan permukiman wilayah Kerajaan Amarasi dan terutama yang berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan air bagi permukiman tidak pernah ditulis. Untuk itu, penelitian ini menjadi penelitian pertama tentang permukiman wilayah Kerajaan Amarasi. 13 I.6. Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan penalaran induktif, dengan pendekatan penelitian kombinasi. Metode penelitian kombinasi merupakan pendekatan dalam penelitian yang mengkombinasikan atau menghubungkan antara metode penelitian kuantitatif dan kualitatif untuk digunakan secara bersama-sama dalam kegiatan penelitian, sehingga diperoleh data yang lebih komprehensif, valid, reliable, dan objektif (Sugiyono, 2011: 404). Tahapan penelitian ini terbagi menjadi tiga, yaitu: 1.6.1 Pengumpulan data Dalam penelitian ini, data diperoleh dua data yaitu data primer yang diperoleh dari observasi lapangan, peta kuno dan wawancara serta data sekunder yang diperoleh dari buku dan foto kuno. 1.6.1.1 Data Primer Data primer meliputi data arkeologi, etnografi, dan sejarah yang diperoleh dari observasi lapangan, peta kuno dan wawancara. Data arkeologi diperoleh dari observasi lapangan langsung untuk memperoleh data arkeologi, peta kuno untuk memperoleh data permukiman, dan wawancara untuk memperoleh data etnografi dan sejarah. Data primer diperoleh sebagai hasil survei lapangan pada kegiatan penelitian payung tahun 2013. 8 Observasi lapangan dilakukan untuk Penelitian payung tahun 2013 ini diketuai oleh Dr. Widya Nayati M.A, dilakukan pada tanggal 13 Mei – 2 Juni 2013. Penelitian payung berjudul Karakteristik Perdagangan Kayu Cendana Timor Sebelum Abad 19: Upaya Untuk Menjadikan kembali Kayu Cendana Sebagai Komoditas Dunia. 8 14 mengidentifikasi objek-objek arkeologi di wilayah Kerajaan Amarasi. Objek arkeologi tersebut ialah istana (sonaf) dengan kelengkapanya, makam-makam raja, dan pasar. Data tersebut diukur, dideskripsikan, serta didokumentasi dengan foto, sketsa dan peta. Selain itu dilakukan pula plotting menggunakan GPS untuk memperoleh lokasi permukiman kerajaan di wilayah Amarasi. Hasil survei lapangan berupa data mengenai sejarah wilayah Kerajaan Amarasi. Kerajaan Amarasi awalnya merupakan kerajaan yang wilayahnya utuh dan dipimpin oleh Usif. Pada masa pendudukan Belanda terjadi perubahan tatanan wilayah kerajaan. Kerajaan berganti nama menjadi Swapraja Amarasi dan wilayah dibagi menjadi tigakefetoran yang beribukota di Baun, Oekabiti, dan Buaren. Pada masa kemerdekaan, wilayah Kerajaan Amarasi yang semula disebut kefetoran berganti menjadi kecamatan di bawah Kabupaten Kupang. Hasil survei juga mengidentifikasi beberapa tinggalan bendawi kerajaan berupa alat musik tradisional, pakaian adat, perlengkapan upacara, dan asesoris raja. Terdapat pula tinggalan berupa tiga istana raja di Baun, Pasar di Baun dan Buraen, klinik kesehatan, makam raja, serta permukiman. Data permukiman dari waktu ke waktu diperoleh dari peta kuno. Peta kuno diperoleh dari arsip koleksi KITLV Digital Media Library dengan mengunduh melalui www.media-kitlv.nl, dari Online Collection Tropenmuseum dengan mengunduh dari www.collectie.tropenmuseum.nl/default.aspx?lang=en, Maps Library Leiden dengan mengunduh pada situs http://maps.library.leiden.edu serta dari buku ThePolitical System of the Atoni of Timor karya Nordolt (1971). 15 Peta-peta kuno yang diperoleh antara lain Kaart van het Eiland Timor (1847), The Pricedoms of West Timor (1883), Timor.The Pricedoms of West Timor (1898), Schetskaart van Nederlandsch Timor en omliggende eilanden (1909), Schetskaart van Nederlandsch Timor en omliggende eilanden (1911), Schetskaart van Timor (Nederlandsch gebied) (1920), Overzichtskaart van Timor: Nederlandsch gebied= General map of Timor (Netherlands territory) (1941), Koepang Lesser Sunda Island (1942), Koepang Lesser Sunda Island (1943). Selain peta-peta kuna, digunakan pula peta RBI lembar Panite, Oemofa, Bikoen, Baun, Boitimu, Teres, Taum, Buraen, Oekabiti, Tanbira, dan Tarus. Peta RBI ini digunakan untuk mendapatkan gambaran peta dasar Kerajaan Amarasi yang diperoleh dari Bakosurtanal. Data peta-peta tersebut dapat memberikan gambaran yang bersifat transparan dan sama (Bender, 1999: 32) dengan keadaan yang sesungguhnya. Data etnografi dan sejarah diperoleh dari wawancara tidak terstruktur karena dilakukan secara fleksibel dan terbuka (Consuelo, 1993: 2006). Hasil wawancara yang diperoleh adalah data tentang sejarah, toponim desa, permukiman wilayah, dan adat istiadat di Kerajaan Amarasi masa lalu. Wawancara dilakukan dengan orang-orang tua dan masyarakat yang mengetahui sejarah Kerajaan Amarasi. Wawancara secara khusus juga dilakukan dengan Usif Amarasi. 16 1.6.1.2 Data Sekunder Data sekunder berasal dari buku yang membahas mengenai sejarah, toponim desa, permukiman, wilayah, dan adat istiadat juga dilakukan untuk mendukung hasil observasi. 1.6.2 Analisis data Analisis dilakukan dengan cara menggabungkan data primer dan sekunder. Data arkeologi, etnografi, dan sejarah digabungkan dengan data peta kuno yang diolah terlebih dahulu. Peta kuno akan diolah dengan alat Sistem Informasi Geografi atau Geographical Information System. Penggunaan Sistem Informasi Geografi (SIG) berguna untuk: (1) memperoleh informasi layering mengenai aspek kewilayahan Kerajaan Amarasi. Hasil pengolahan SIG wilayah Kerajaan Amarasi adalah gambaran peta dengan topografi sungai, jalan, kontur, permukiman, dan kenampakan alam lainya, dan (2) memperoleh gambaran tentang pertumbuhan permukiman kampung di Kerajaan Amarasi dari waktu ke waktu. Dalam pemanfaatan SIG untuk menganalisis permukiman kampung di Kerajaan Amarasi, dilakukan penyesuaian-penyesuaian. Peta-peta kuna terkadang tidak disertai angka koordinat yang benar dan jika ada tidak dapat dilihat karena sudah pudar, sehingga akan mengakibatkan informasi yang salah. Tahap selanjutnya yang dilakukan untuk menganalisis adalah meregistrasi dan mendigit peta yang terdiri atas batas wilayah, jalan, permukiman, istana, makam, pasar, klinik, sungai, kontur, dan toponimi pada peta. Setelah itu, 17 data digitasi pada peta digabungkan dengan caralayering. Data layering yang telah diperoleh dilakukan tiga overlay permukiman. Overlay pertama dilakukan antara data permukiman dengan sumber air berupa sungai, mata air, dan sumur yang diperoleh dari hasil digitasi dan observasi lapangan. Kedua, overlay dilakukan antara data permukiman dan kontur yang diklasifikasi berdasarkan kategori tertentu. Overlay terakhir dilakukan antara permukiman dan aksesbilitas berupa jalan dengan klasifikasi tertentu. Setelah itu, data dilayering dengan menu 3D menggunakan Google Earth Pro. Data-data peta di atas akan dianalisis menggunakan SIG dengan program ArcView GIS 3.2. Program ArcView GIS 3.2 ini digunakan karena memiliki menu analisa yang diperlukan seperti register, edit, theme, geoprossesing, dan layout sehingga dapat diperoleh analisis yang benar dan akurat.Pemanfaatan program Google Earth Pro digunakan karena memiliki menu layering 3D. Setelah peta diolah, kemudian dihitung jarak permukiman dengan sungai dan jalan serta ketinggian permukiman. Hal ini dilakukan untuk mengetahui kedekatan antara permukiman, jalan, sungai dan ketinggiannya. Rentang angka yang digunakan untuk mengetahui jarak permukiman dengan jalan dan sungai adalah kurang dari 500 m (dekat), antara 501-1000 m (sedang), serta lebih dari 1001 m (jauh), sedangkan rentang angka yang digunakan untuk mengetahui jarak ketinggian permukiman adalah di bawah 200 m (rendah), antara 201 m hingga 400 m (sedang), dan di atas 400 m (tinggi). Penentuan jarak ini berdasarkan observasi dan wawancara dengan pedagang pasar yang terbiasa berjalan menuju 18 pasar dari rumahnya. Mereka menyatakan bahwa jarak yang dianggap jauh adalah satu kilometer dan yang terdekat adalah lima ratus meter.9 Tahap selanjutnya adalah membahas hasil overlay peta dan menghubungkanya dengan data-data arkeologi, etnografi, dan sejarah yang diperoleh dari observasi lapangan sehingga dapat menjawab permasalahan distribusi dan perkembangan permukimannya. 1.6.3 Kesimpulan Analisis tersebut diharapkan mampu menjelaskan karakteristik permukiman kuno Amarasi serta gambaran fasilitas-fasilitas yang diperlukan oleh masyarakat Amarasi sesuai dengan kebutuhannya. Selain itu, akan diperoleh gambaran karakter dan adaptasi masyarakat dalam proses perkembangan kebudayaan lokalnya. 9 Wawancara dengan Vina dilakukan pada tanggal 18 Mei 2013 pukul 10.00 WITA di Baun 19 I.7. Bagan Alir Permasalahan Data primer Data Sekunder Analisis Distribusi permukiman Faktor pendorong perkembangan permukiman Perkembangan Permukiman Kampung Kerajaan Amarasi Gambar 2 Bagan alir penelitian