I.1. Latar Belakang

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
I.1.
Latar Belakang
Arkeologi adalah ilmu yang mengkaji tentang sejarah manusia masa
lampau melalui peninggalan material (Sharer and Ashmore, 2003: 15) yang
bertujuan untuk merekonstruksi sejarah, kehidupan manusia masa lampau, serta
gambaran proses perubahan budaya (Binford, 1972:80-81). Salah satu objek
material arkeologi adalah permukiman. Undang-undang
No. 1 Tahun 2011
tentang permukiman mendefinisikan bahwa permukiman merupakan bagian dari
lingkungan hunian yang terdiri atas lebih dari satu satuan perumahan yang
mempunyai prasarana, sarana, utilitas umum, serta mempunyai penunjang
kegiatan fungsi lain di kawasan perkotaan atau kawasan perdesaan. Permukiman
juga dapat diartikan sebagai daerah tempat bermukim (Tim, 2000: 760).
Mundardjito (1990: 21) menyebutkan bahwa arkeologi permukiman
adalah bagian dari disiplin arkeologi yang mengkhususkan atau memusatkan
perhatian pada penyebaran okupasi dan kegiatan manusia, serta hubunganhubungan di dalam satuan-satuan ruang, dengan tujuan memahami sistem
teknologi, sosial, dan ideologi dari masyarakat masa lalu. Oleh karena itu, adanya
permukiman di suatu wilayah menjadi tanda adanya hubungan manusia dengan
lingkungannya, serta menandai kehidupan berbudaya di suatu wilayah. Melalui
arkeologi permukiman juga dapat diketahui interaksi baik di dalam permukiman
maupun interaksi antar permukiman di dalam satu wilayah, dan atau interaksi
1
2
antar suatu wilayah dengan wilayah lainnya. Kemunculan dan berkembangannya
suatu permukiman pada suatu wilayah sangat menarik untuk dikaji karena akan
diperoleh pemahaman atas pemilihan lokasi bermukim yang tepat bagi masyarakat
pendukungnya, serta adaptasi masyarakat terhadap lingkungannya.
Perkembangan berasal dari kata berkembang (KBBI, 2004) yang berarti
menjadi besar (luas, banyak, dan sebagainya), sedangkan permukiman (KBBI:
2004) adalah daerah tempat bermukim. Perkembangan permukiman adalah daerah
tempat bermukim yang menjadi besar (luas, banyak, dan sebagainya).
Perkembangan tersebut dapat berupa perkembangan fisik (kondisi permukiman,
dan fasilitas) maupun sosial (Yu Zhou: 2004).
Kondisi permukiman dapat dilihat dari pola permukimannya. Pola
merupakan distribusi elemen-elemen pemukiman seperti rumah, desa, dan pasar
menyeluruh ke seluruh wilayah (Robert, 1996: 24). Pola pemukiman (settlement
pattern) merupakan pengejawantahan (ekspresi) dari konsepsi manusia mengenai
ruang, serta merupakan hasil dari upaya manusia untuk mengubah dan
memanfaatkan lingkungan fisiknya berdasarkan atas pandangan-pandangan dan
pengetahuan yang dimilikinya mengenai lingkungan (Ahimsa-Putra, 1995: 10).
Sanders (1969:116) dalam Subroto (1985:1177) menyatakan bahwa pola
pemukiman dibedakan menjadi dua macam yaitu pola pemukiman komunitas dan
pola permukiman zonal. Pola permukiman komunitas meliputi unit-unit populasi
secara individual yang di dalamnya mencakup data mengenai tipe-tipe komunitas,
organisasi, bangunan publik, distribusi dan bentuk jalan, populasi, kepadatan
populasi, kepadatan komunitas, serta karakter populasi. Hal itu berbeda dengan
3
pola permukiman zonal yang lebih berhubungan dengan distribusi komunitas,
jarak antarkomunitas, dan hubungan simbioti.
Kondisi permukiman juga dapat diungkap dengan cara mengetahui
karakteristiknya. Karakteristik permukiman dipengaruhi oleh beberapa faktor
yaitu (1) faktor kedekatan dengan sumber air, (2) faktor bentang alam, (3)
tersedianya fasilitas-fasilitas alam yang diperlukan untuk bergerak (jalan), dan (4)
tersedianya sumber makanan yang baik (Prasetyo, 1991: 5). Karakteristik
permukiman tersebut dapat ditemui hampir di seluruh permukiman di dunia pada
permukiman yang bersifat lokal maupun bukan lokal serta permukiman lampau
maupun baru. Faktor-faktor yang disebutkan Prasetyo (1991) mengenai
permukiman yang selalu terkorelasi pada setiap wilayah terutama faktor
kedekatan dengan sumber air. Wagner dan Mikesell (1962: 506) menyebutkan
bahwa karakteristik
lahan dan kondisi tanah
merupakan
faktor
yang
mempengaruhi suatu pemukiman sedangkan Robert (1996: 32) menyebutkan
bahwa di antara faktor-faktor tersebut sumber air yang lebih penting karena dalam
kehidupan air merupakan kebutuhan pokok tidak hanya manusia, tetapi juga
hewan dan tumbuhan.
Kebutuhan air sangat penting bagi manusia sehingga muncul Peraturan
Pemerintah No. 82 tahun 2001 tentang pengelolaan kualitas air dan pengendalian
pencemaran air. Dalam PP tersebut disebutkan bahwa yang dimaksud dengan air
adalah semua air yang terdapat di atas ataupun di bawah permukaan tanah,
termasuk dalam pengertian ini adalah air permukaan, air tanah, air hujan, air
laut—baik yang ada di laut maupun yang berada di darat. Oleh karena itu, suatu
4
permukiman tidak dapat terlepas dari adanya air, begitu pula sebaliknya, baik di
daerah yang kering semi arid, lembab, dataran tinggi, dataran rendah, maupun
daerah dingin, sub-tropis dan tropis.
Salah satu daerah yang masuk ke dalam kategori semi arid yaitu Propinsi
Nusa Tenggara Timur (NTT) khususnya Pulau Timor. Propinsi NTT beriklim
kering (semi arid) karena dipengaruhi oleh angin muson. Musim penghujan yang
terjadi di NTT sangat pendek antara bulan November sampai bulan Maret,
sedangkan musim kemarau sangat panjang dan kering terjadi pada bulan April
sampai dengan bulan Oktober. 1 Keadaan ini membuat banyak daerah di Pulau
Timor mengalami kekeringan yang parah. Beberapa sumber menyebutkan bahwa
kekeringan telah terjadi di 67 wilayah di NTT. 2 Hal ini mengindikasikan bahwa
air menjadi masalah primer bagi kehidupan di Pulau Timor, NTT.
Kesulitan air menjadi permasalahan penduduk Pulau Timor, NTT sejak
dulu, terutama saat musim kemarau. Sungai yang terdapat di Propinsi NTT pada
umumnya mempunyai fluktuasi aliran air yang cukup tinggi sehingga pada musim
penghujan sungai akan berair dan kadang-kadang terjadi banjir, sedangkan pada
musim kemarau jumlah air di sungai berkurang drastis bahkan ada sungai yang
tidak berair sama sekali seperti Sungai Benain, Noelmina, Noelfael, dan
Noelbessi. 3 Salah satu tanda kesulitan air adalah perilaku masyarakat saat harus
1
(http://www.dephut.go.id/index.php/news/otresults/1337 diakses pada tanggal 24
Januari 2015 pukul 06.00 WIB)
2
(http://news.metrotvnews.com/read/2014/10/10/303240/kekeringan-ekstremlanda-67-wilayah-di-ntt diakses pada tanggal 24 Januari 2015 pukul 12.00 WIB)
3
(http://www.antaranews.com/berita/226585/empat-sungai-besar-kawasan-cagaralam-mutis-ntt-terancam-kering diakses pada tanggal 24 Januari 2015 pukul 12.30
WIB)
5
berjalan berkilo-kilo meter menuju mata air di bawah bukit untuk mendapatkan air
yang bersih. 4 Kesulitan air tersebut membuat masyarakat mau tidak mau harus
pandai menghemat penggunaan air, salah satunya dengan tidak mandi setiap hari.
Sama halnya dengan wilayah Pulau Timor NTT lainnya, Amarasi yang
terletak di Kabupaten Kupang, Propinsi NTT, merupakan wilayah yang sulit air.
Kabupaten Kupang memiliki rata-rata curah hujan setahun sebesar 321,67 mm
dengan curah hujan tertinggi 2.032 mm pada Bulan Januari. 5 Setiap bulan
kabupaten ini mengalami hujan dengan rata-rata curah hujan yang tidak merata.
Topografi Amarasi terdiri atas pegunungan dan pantai. Wilayah pantai selatan
Amarasi merupakan jajaran tebing yang memanjang dari barat ke timur. Namun,
dibandingkan dengan wilayah lainnya di Pulau Timor NTT, wilayah Amarasi
termasuk wilayah yang subur dan menjadi salah satu sumber bahan pokok bagi
wilayah Kupang saat ini. Bahan pangan yang bersumber dari Amarasi antara lain
adalah jagung, jeruk, padi, sapi, babi, dan kambing. 6 Hasil pertanian dan ternak di
wilayah Amarasi jumlahnya terbatas yang diakibatkan oleh topografi wilayah
yang berbukit-bukit sehingga sulit untuk dijadikan lahan pertanian (lihat gambar
1). Topografi yang berbukit-bukit menjadi permasalahan tersendiri bagi penduduk
untuk mencukupi sumber air dan makan.
4
(http://health.detik.com/read/2013/10/07/071755/2379417/763/di-desa-bitobekupang-sumber-air-belum-juga-dekat?991104topnews diakses pada tanggal 1
Februari 2015 pukul 22.30 WIB)
5
(http://www.kab-kupang.go.id/ diakses pada tanggal 25 Januari 2015 pukul 20.30
WIB)
6
(http://www.kab-kupang.go.id/ diakses pada tanggal 25 Januari 2015 pukul 20.00
WIB)
6
Gambar 1 Peta kondisi topografi wilayah Kerajaan Amarasi
(Sumber Peta RBI dan Google Earth modifikasi 3D oleh Sinta Akhirian)
7
Permasalahan-permasalahan tersebut dapat diketahui dengan cara
mengkaji sejarah permukimannya. Tidak semua permukiman masih dapat terlacak
sejarahnya
secara
lengkap.
Keberadaan
permukiman
di
Timor
sudah
terdokumentasikan sejak 35.000 tahun yang lalu hingga sekarang (Hagerdal,
2012: 15). Kebudayaan di Pulau Timor, NTT sudah dapat dilacak hingga masa
Prasejarah. Menurut pendapat Mendes Correa (1956-1957), penduduk Pulau
Timor yang pertama adalah sezaman dengan Homo Soloensis dan Homo
Wajakensis di Jawa (Poesponegoro dan Notosusanto, 1990: 116). Peninggalan
Prasejarah lainnya antara lain berupa kapak penetak, kapak perimbas, kapak
genggam, kapak genggam awal, dan sejumlah serpih bilah yang diperkirakan
berasal
dari
kala
Pascapleistosen
dan
merupakan
budaya
pendukung
Pithecanthropus (Poesponegoro dan Notosusanto, 1990: 109).
Salah satu wilayah Timor yang sejarah permukimannya masih dapat
dilacak adalah wilayah Kerajaan Amarasi yang merupakan salah satu kerajaan di
Propinsi NTT, khususnya di Pulau Timor. Amarasi berada di sebelah selatan
Pulau Timor yang dapat ditemukan peninggalan prasejarah yang cukup banyak.
Tinggalan-tinggalan tersebut antara lain kapak genggam (di desa Fatu Koat desa
Soba, Riantuak, Ruantuk, Niuk, Baun, Nekmetes, serta Toa) serta fosil yang
digunakan untuk pisau dan anak panah (di Desa Toa) (Tim, 1977b: 26).
Berdasarkan data yang diperoleh, Pulau Timor sudah dihuni oleh manusia sejak
masa Prasejarah. Keberadaan Amarasi muncul kembali sekitar akhir abad ke-18
hingga tahun 1960. Amarasi pada abad tersebut telah menjadi kerajaan. Kerajaan
8
ini mempunyai wilayah di bagian barat daya dari Pulau Timor yang sekarang
menjadi wilayah Kabupaten Kupang bagian selatan.
Kata Amarasi berasal dari kata am yang berarti “bapak” dan rasi yang
bermakna “tempat”, sehingga dapat diartikan bahwa Amarasi adalah “tempat
bapak”. Menurut cerita, Amarasi berawal dari ayah leluhur raja Amarasi di
Waiwiku-Wehale yang membagi harta kekayaanya kepada putrinya dan saudarasaudaranya. Karena ketidakcocokan, timbul konflik antara sang putri dan
saudaranya yang bernama Nafi. Nafi kemudian memutuskan untuk pergi menuju
ke suatu lembah yang berbatasan dengan daerah pantai selatan. Daerah itu
kemudian diberi nama Tunrain-Bunrain, sedangkan tempat kediaman Nafi-Rasi
dinamakan Nonua. Anak Nafi-Rasi kemudian diberi Ama-Rassi (Parera, 1994,
176-177). Cerita lain menyebutkan bahwa Kerajaan Amarasi bermula saat raja
pertama memungut seorang bayi yang sedang menangis di bawah pohon rasi.
Bayi itu kemudian diangkat menjadi anaknya dan dinamakan Nafi Rassi serta
kerajaannya diberi nama Amarasi (Parera, 1994: 274).
Saat ini wilayah bekas Kerajaan Amarasi dibagi menjadi empat
kecamatan yang masing-masing memiliki kepala pemerintahannya sendiri yaitu
camat. Meskipun secara administratif (de jure) raja atau usif, yang bernama
Robert Koroh, tidak memiliki wilayah kekuasaan secara administratif, namun
secara de facto, bekas wilayah kerajaannya sebagai wilayah tanah warisnya masih
dikenal sebagai milik usif Amarasi dan keturunannya. Selain itu masyarakat
Amarasi tetap menghormati dan menganggap Usif Robert Koroh sebagai usifnya.
9
Kerajaan Amarasi merupakan kerajaan yang memiliki wilayah dengan
topografi yang sulit. Di sisi lain, Kerajaan Amarasi juga menjadi contoh kerajaan
yang sampai sekarang masih menghormati Usif walaupun sudah tidak berkuasa
secara nyata. Penghormatan ini tampaknya menjadi salah satu latar belakang
muculnya karakter permukiman di wilayah Kerajaan Amarasi. Permasalahan
tentang air juga tampak menjadi kesulitan di Pulau Timor (NTT), tidak tekecuali
di Kerajaan Amarasi. Kerajaan Amarasi diduga memiliki solusi tersendiri dalam
memecahkan masalah kebutuhan air untuk kehidupannya. Hingga kini, wilayah
bekas Kerajaan Amarasi masih tetap dihuni. Permukiman masih tetap muncul di
sepanjang jalan yang menghubungkan Kupang dengan Baun. Menurut wawancara
yang dilakukan kepada Raja Amarasi, 7 mulai munculnya permukiman di
sepanjang jalan disebabkan oleh perintah Pemerintah Kolonial Belanda waktu itu.
Permukiman kerajaan ini pasti memiliki permasalahannya tersendiri, tidak
terkecuali masalah air. Permasalahan ini berdampak pada distribusi dan
perkembangan permukiman di wilayah Kerajaan Amarasi.
Wilayah Amarasi memiliki permasalahan tentang air dan topografi akan
tetapi wilayah tersebut hingga sekarang tetap dihuni. Pemahaman mengenai suatu
permukiman dalam hal ini kampung yang dihuni masyarakat Kerajaan Amarasi
menghasilkan suatu pemikiran mengenai bagaimana masyarakat beradaptasi
dengan lingkungannya dalam mencukupi kebutuhan hidupnya. Hal itu tersebut
dipengaruhi oleh banyak faktor sehingga penelitian ini bertujuan untuk
7
Wawancara dengan Robert Koroh (Usif Amarasi) tanggal 13 Agustus 2013 pukul
08.30 WITA
10
mengetahui hal-hal yang berkaitan dengan permukiman kampung di Amarasi,
Propinsi NTT.
I.2.
Rumusan Permasalahan
Berdasarkan uraian latar belakang maka dirumuskan suatu permasalahan
yaitu :
1.
Bagaimana distribusi permukiman kampung di wilayah Kerajaan
Amarasi sejak pertengahan abad ke-19?
2.
Faktor-faktor apa saja yang mendorong perkembangan permukiman
kampung di wilayah Kerajaan Amarasi sejak pertengahan abad ke-19?
I.3.
Batasan Penelitian
Secara khusus penelitian ini membahas tentang distribusi dan faktor
pendukung perkembangan permukiman kampung di wilayah Kerajaan Amarasi.
Hal-hal yang berhubungan dengan sejarah, kondisi lingkungan, dan permukiman
akan dibahas pada penelitian ini. Batasan penelitian ini hanya mencakup pada
wilayah kerajaan Amarasi.
Penelitian ini terbatas menggunakan data yang diperoleh dari survei
bulan pada Mei 2013. Survei tersebut merupakan rangkaian kegiatan penelitian
payung Dr. Widya Nayati M.A yang berjudul Karakteristik Perdagangan Kayu
Cendana Timor Sebelum Abad 19: Upaya Untuk Menjadikan kembali Kayu
Cendana sebagai Komoditas Dunia. Penelitian tersebut merupakan penelitian
HIBAH di FIB UGM tahun 2013 dan penelitian ini merupakan pendukung
penelitian payung tersebut. Data yang diperoleh pada survei bulan Mei 2013
11
tersebut digunakan sebagai data inti dalam penelitian ini. Pada kegiatan survei di
bulan Mei 2013 dilakukan observasi lapangan dan wawancara dengan beberapa
narasumber.Selain dari observasi lapangan, digunakan pula studi atas pustaka
yang membahas tentang Kerajaan Amarasi dan wilayahnya.
I.4.
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah mengetahui perkembangan permukiman
kampung di wilayah Kerajaan Amarasi sejak pertengahan abad ke-19. Melalui
distribusi permukiman kampung Kerajaan Amarasi maka akan diperoleh
gambaran fasilitas-fasilitas yang diperlukan masyarakat Amarasi dari waktu ke
waktu sesuai dengan kebutuhannya. Selain itu, diperoleh gambaran adaptasi
masyarakat dalam proses perkembangan kebudayaan lokal dari abad ke-18 hingga
tahun 1960.
I.5.
Tinjauan Pustaka
Penelitian mengenai pola dan perkembangan permukiman kampung di
Kerajaan Amarasi belum dilakukan oleh peneliti-peneliti terdahulu. Ormeling
(1955) dan Parera (1994) menguraikan keberadaan Kerajaan Amarasi dalam
konteks sejarah kerajaan-kerajaan di Timor. Kerajaan Amarasi mempunyai
peranan penting dalam perdagangan cendana dan dalam proses dagang tersebut
dengan Portugis (Hagerdal, 2012) dan China (Ormeling, 1955). Sebagai akibat
dari adanya perdagangan adalah kondisi ekonomi Kerajaan Amarsi menjadi
sangat baik. Di sisi lain, arah politik Kerajaan Amarasi sangat dinamis seperti
12
yang disebutkan oleh Hagerdal (2012) bahwa kondisi politik pernah tidak stabil,
sering terjadi peperangan dalam rangka merebut dan mempertahankan wilayah,
khususnya wilayah sumber komoditas dagangnya. Sayangnya tidak disebutkan
wilayah mana yang menjadi sumber perdagangan tersebut.
Omerling (1955) menguraikan nama-nama permukiman di wilayah
Kerajaan Amarasi dari masa kedatangan Belanda akan tetapi tidak membahas
secara rinci mengenai pola permukimannya. Beberapa nama wilayah di Amarasi
yang disebutkan oleh Parera (1994), yaitu Nonua, Buaren, Oekabiti, Baun, Bokoboko Markao, Panmuti, dan Seki Suanu. Selain nama-nama itu, salah satu tempat
penting di wilayah Kerajaan Amarasi menurut Cunningham (2007) adalah Soba
karena permukiman ini masih menunjukkan nilai tradisionalnya, sehingga menjadi
gambaran umum kebudayaan masyarakat Amarasi. Nilai tradisional masyarakat
Amarasi menurut Cuningham (2007) terletak pada sistem ekonomi, sistem
peradilan, seni, kerajinan, stratifikasi sosial, pertanian, sistem pemerintahan, dan
keyakinan.
Penelitan-penelitian tersebut lebih terfokus pada kebudayaan, sistem
sosial, dan sistem politik. Penelitian mengenai perkembangan permukiman
wilayah Kerajaan Amarasi dan terutama yang berkaitan dengan pemenuhan
kebutuhan air bagi permukiman tidak pernah ditulis. Untuk itu, penelitian ini
menjadi penelitian pertama tentang permukiman wilayah Kerajaan Amarasi.
13
I.6.
Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan penalaran induktif, dengan pendekatan
penelitian kombinasi. Metode penelitian kombinasi merupakan pendekatan dalam
penelitian yang mengkombinasikan atau menghubungkan antara metode
penelitian kuantitatif dan kualitatif untuk digunakan secara bersama-sama dalam
kegiatan penelitian, sehingga diperoleh data yang lebih komprehensif, valid,
reliable, dan objektif (Sugiyono, 2011: 404).
Tahapan penelitian ini terbagi menjadi tiga, yaitu:
1.6.1
Pengumpulan data
Dalam penelitian ini, data diperoleh dua data yaitu data primer yang
diperoleh dari observasi lapangan, peta kuno dan wawancara serta data sekunder
yang diperoleh dari buku dan foto kuno.
1.6.1.1 Data Primer
Data primer meliputi data arkeologi, etnografi, dan sejarah yang
diperoleh dari observasi lapangan, peta kuno dan wawancara. Data arkeologi
diperoleh dari observasi lapangan langsung untuk memperoleh data arkeologi,
peta kuno untuk memperoleh data permukiman, dan wawancara untuk
memperoleh data etnografi dan sejarah.
Data primer diperoleh sebagai hasil survei lapangan pada kegiatan
penelitian
payung
tahun
2013. 8
Observasi
lapangan
dilakukan
untuk
Penelitian payung tahun 2013 ini diketuai oleh Dr. Widya Nayati M.A, dilakukan
pada tanggal 13 Mei – 2 Juni 2013. Penelitian payung berjudul Karakteristik
Perdagangan Kayu Cendana Timor Sebelum Abad 19: Upaya Untuk Menjadikan
kembali Kayu Cendana Sebagai Komoditas Dunia.
8
14
mengidentifikasi objek-objek arkeologi di wilayah Kerajaan Amarasi. Objek
arkeologi tersebut ialah istana (sonaf) dengan kelengkapanya, makam-makam
raja, dan pasar. Data tersebut diukur, dideskripsikan, serta didokumentasi dengan
foto, sketsa dan peta. Selain itu dilakukan pula plotting menggunakan GPS untuk
memperoleh lokasi permukiman kerajaan di wilayah Amarasi.
Hasil survei lapangan berupa data mengenai sejarah wilayah Kerajaan
Amarasi. Kerajaan Amarasi awalnya merupakan kerajaan yang wilayahnya utuh
dan dipimpin oleh Usif. Pada masa pendudukan Belanda terjadi perubahan tatanan
wilayah kerajaan. Kerajaan berganti nama menjadi Swapraja Amarasi dan wilayah
dibagi menjadi tigakefetoran yang beribukota di Baun, Oekabiti, dan Buaren. Pada
masa kemerdekaan, wilayah Kerajaan Amarasi yang semula disebut kefetoran
berganti menjadi kecamatan di bawah Kabupaten Kupang. Hasil survei juga
mengidentifikasi beberapa tinggalan bendawi kerajaan berupa alat musik
tradisional, pakaian adat, perlengkapan upacara, dan asesoris raja. Terdapat pula
tinggalan berupa tiga istana raja di Baun, Pasar di Baun dan Buraen, klinik
kesehatan, makam raja, serta permukiman.
Data permukiman dari waktu ke waktu diperoleh dari peta kuno. Peta
kuno diperoleh dari arsip koleksi KITLV Digital Media Library dengan
mengunduh melalui www.media-kitlv.nl, dari Online Collection Tropenmuseum
dengan mengunduh dari www.collectie.tropenmuseum.nl/default.aspx?lang=en,
Maps Library Leiden dengan mengunduh pada situs http://maps.library.leiden.edu
serta dari buku ThePolitical System of the Atoni of Timor karya Nordolt (1971).
15
Peta-peta kuno yang diperoleh antara lain Kaart van het Eiland Timor
(1847), The Pricedoms of West Timor (1883), Timor.The Pricedoms of West
Timor (1898), Schetskaart van Nederlandsch Timor en omliggende eilanden
(1909), Schetskaart van Nederlandsch Timor en omliggende eilanden (1911),
Schetskaart van Timor (Nederlandsch gebied) (1920), Overzichtskaart van Timor:
Nederlandsch gebied= General map of Timor (Netherlands territory) (1941),
Koepang Lesser Sunda Island (1942), Koepang Lesser Sunda Island (1943).
Selain peta-peta kuna, digunakan pula peta RBI lembar Panite, Oemofa, Bikoen,
Baun, Boitimu, Teres, Taum, Buraen, Oekabiti, Tanbira, dan Tarus. Peta RBI ini
digunakan untuk mendapatkan gambaran peta dasar Kerajaan Amarasi yang
diperoleh dari Bakosurtanal. Data peta-peta tersebut dapat memberikan gambaran
yang bersifat transparan dan sama (Bender, 1999: 32) dengan keadaan yang
sesungguhnya.
Data etnografi dan sejarah diperoleh dari wawancara tidak terstruktur
karena dilakukan secara fleksibel dan terbuka (Consuelo, 1993: 2006). Hasil
wawancara yang diperoleh adalah data tentang sejarah, toponim desa,
permukiman wilayah, dan adat istiadat di Kerajaan Amarasi masa lalu.
Wawancara dilakukan dengan orang-orang tua dan masyarakat yang mengetahui
sejarah Kerajaan Amarasi. Wawancara secara khusus juga dilakukan dengan Usif
Amarasi.
16
1.6.1.2 Data Sekunder
Data sekunder berasal dari buku yang membahas mengenai sejarah,
toponim desa, permukiman, wilayah, dan adat istiadat juga dilakukan untuk
mendukung hasil observasi.
1.6.2 Analisis data
Analisis dilakukan dengan cara menggabungkan data primer dan
sekunder. Data arkeologi, etnografi, dan sejarah digabungkan dengan data peta
kuno yang diolah terlebih dahulu.
Peta kuno akan diolah dengan alat Sistem Informasi Geografi atau
Geographical Information System. Penggunaan Sistem Informasi Geografi (SIG)
berguna untuk: (1) memperoleh informasi layering mengenai aspek kewilayahan
Kerajaan Amarasi. Hasil pengolahan SIG wilayah Kerajaan Amarasi adalah
gambaran peta dengan topografi sungai, jalan, kontur, permukiman, dan
kenampakan alam lainya, dan (2) memperoleh gambaran tentang pertumbuhan
permukiman kampung di Kerajaan Amarasi dari waktu ke waktu. Dalam
pemanfaatan SIG untuk menganalisis permukiman kampung di Kerajaan Amarasi,
dilakukan penyesuaian-penyesuaian. Peta-peta kuna terkadang tidak disertai
angka koordinat yang benar dan jika ada tidak dapat dilihat karena sudah pudar,
sehingga akan mengakibatkan informasi yang salah.
Tahap
selanjutnya
yang
dilakukan
untuk
menganalisis
adalah
meregistrasi dan mendigit peta yang terdiri atas batas wilayah, jalan, permukiman,
istana, makam, pasar, klinik, sungai, kontur, dan toponimi pada peta. Setelah itu,
17
data digitasi pada peta digabungkan dengan caralayering. Data layering yang telah
diperoleh dilakukan tiga overlay permukiman. Overlay pertama dilakukan antara
data permukiman dengan sumber air berupa sungai, mata air, dan sumur yang
diperoleh dari hasil digitasi dan observasi lapangan. Kedua, overlay dilakukan
antara data permukiman dan kontur yang diklasifikasi berdasarkan kategori
tertentu. Overlay terakhir dilakukan antara permukiman dan aksesbilitas berupa
jalan dengan klasifikasi tertentu. Setelah itu, data dilayering dengan menu 3D
menggunakan Google Earth Pro. Data-data peta di atas akan dianalisis
menggunakan SIG dengan program ArcView GIS 3.2. Program ArcView GIS 3.2
ini digunakan karena memiliki menu analisa yang diperlukan seperti register, edit,
theme, geoprossesing, dan layout sehingga dapat diperoleh analisis yang benar
dan akurat.Pemanfaatan program Google Earth Pro digunakan karena memiliki
menu layering 3D.
Setelah peta diolah, kemudian dihitung jarak permukiman dengan sungai
dan jalan serta ketinggian permukiman. Hal ini dilakukan untuk mengetahui
kedekatan antara permukiman, jalan, sungai dan ketinggiannya. Rentang angka
yang digunakan untuk mengetahui jarak permukiman dengan jalan dan sungai
adalah kurang dari 500 m (dekat), antara 501-1000 m (sedang), serta lebih dari
1001 m (jauh), sedangkan rentang angka yang digunakan untuk mengetahui jarak
ketinggian permukiman adalah di bawah 200 m (rendah), antara 201 m hingga
400 m (sedang), dan di atas 400 m (tinggi). Penentuan jarak ini berdasarkan
observasi dan wawancara dengan pedagang pasar yang terbiasa berjalan menuju
18
pasar dari rumahnya. Mereka menyatakan bahwa jarak yang dianggap jauh adalah
satu kilometer dan yang terdekat adalah lima ratus meter.9
Tahap
selanjutnya
adalah
membahas
hasil
overlay
peta
dan
menghubungkanya dengan data-data arkeologi, etnografi, dan sejarah yang
diperoleh dari observasi lapangan sehingga dapat menjawab permasalahan
distribusi dan perkembangan permukimannya.
1.6.3
Kesimpulan
Analisis
tersebut
diharapkan
mampu
menjelaskan
karakteristik
permukiman kuno Amarasi serta gambaran fasilitas-fasilitas yang diperlukan oleh
masyarakat Amarasi sesuai dengan kebutuhannya. Selain itu, akan diperoleh
gambaran karakter dan adaptasi masyarakat dalam proses perkembangan
kebudayaan lokalnya.
9
Wawancara dengan Vina dilakukan pada tanggal 18 Mei 2013 pukul 10.00
WITA di Baun
19
I.7. Bagan Alir
Permasalahan
Data primer
Data Sekunder
Analisis
Distribusi permukiman
Faktor pendorong
perkembangan
permukiman
Perkembangan
Permukiman Kampung
Kerajaan Amarasi
Gambar 2 Bagan alir penelitian
Download