FILSAFAT HUKUM ISLAM : URGENSI DAN KETERKAITANNYA DENGAN USHUL FIQH Suhairi STAIN Jurai Siwo Metro E-mail : [email protected] Abstract Filsafat hukum Islamic adalah cabang dari filosofi yang menganalisis hukum Islam metodis dan sistematis untuk mendapatkan informasi penting atau menganalisis hukum Islam secara ilmiah dalam filosofi sebagai berarti. Artikel ini berkaitan dengan urgensi dan relevansi hukum Islam filsafat dan usūl fiqh menuju pengembangan hukum Islam. Hasil studi ini menunjukkan bahwa keberadaan filsafat Hukum Islam memainkan peran mendesak dalam menjawab masalah dan pengembangan sosial reformasi hukum Islam khususnya di merekonstruksi Epistemologi hukum Islam dan metodologi hukum Islam (usūl fiqh). Kata kunci : Hukum Islam, filsafat, Fikih usūl Abstract Islamic law philosophy is a branch of philosophy that analyzes Islamic law methodically and systematically to gain substantial information or to analyze Islamic law scientifically within the philosophy as its means. This article deals with the urgency and the relevance of Islamic law philosophy and usūl fiqh toward the development of Islamic law. The results of this study indicate that the existence of Islamic law philosophy plays an urgent role in answering the problems and the social reformation development of Islamic law particularly in reconstructing the Islamic law epistemology and the Islamic law methodology (usūl fiqh). Keywords : Islamic law, philosophy, usūl fiqh 1 Pendahuluan Manusia adalah „hewan‟ yang bertanya dan berpikir.1 Berpikir adalah bukti keberadaan manusia. Dengan berpikir manusia membedakan dirinya dari makhluk lain. Ketika manusia berpikir, dalam dirinya timbul pertanyaan. Apabila seseorang bertanya tentang sesuatu, berarti dia memikirkan sesuatu tersebut. Bertanya merupakan refleksi pemikiran untuk mencari jawaban. Jawaban yang diharapkan adalah suatu kebenaran. Dengan bertanya berarti seseorang mencari kebenaran. Konklusinya „manusia adalah makhluk pencari kebenaran‟. Salah satu cara manusia dalam upaya pencarian kebenaran (hikmah) adalah melalui filsafat. Filsafat di antara ilmu pengetahuan yang dikembangkan manusia mempunyai kedudukan khusus, yaitu sebagai proses dan sekaligus metode untuk mencapai kebenaran. Ia menjadi jembatan untuk memahami berbagai ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan merupakan upaya manusia mengungkapkan realitas, sementara filsafat mengungkapkan hakikat realitas. Sutan Takdir Alisyahbana mengatakan bahwa filsafat berarti alam berpikir, dan berfilsafat adalah berpikir. Tetapi tidak semua kegiatan berpikir bisa disebut berfilsafat. Berpikir yang disebut berfilsafat adalah berpikir dengan insyaf, yaitu berpikir dengan teliti dan menurut suatu aturan yang pasti.2 Filsafat hukum Islam adalah filsafat yang diterapkan pada hukum Islam. Ia merupakan filsafat khusus dan obyeknya tertentu, yaitu hukum Islam. Filsafat hukum Islam adalah filsafat yang menganalisis hukum Islam secara metodis dan sistematis sehingga mendapatkan keterangan yang mendasar, atau menganalisis hukum Islam secara ilmiah dengan filsafat sebagai alatnya. Tulisan ini akan mencoba menguraikan dan menelaah tentang filsafat hukum Islam. Adapun yang menjadi kajiannya adalah pengertian dan objek kajian filsafat hukum Islam. Di samping itu pula pada urgensi dan keterkaitannya dengan ushul fiqh. Penulisan ini perlu dilakukan untuk memberikan gambaran yang jelas tentang konstruk filsafat hukum Islam secara komprehensif dan relevansinya dengan ushul fiqh sebagai metodologi dalam penemuan hukum Islam. Pendekatan yang digunakan dalam tulisan ini adalah pendekatan filososis. Pembahasan A. Pengertian dan Objek Kajian Filsafat Hukum Islam Kata filsafat atau falsafah berasal dari bahasa Yunani; philosophia yang berarti cinta kebijaksanaan (philen = cinta, dan sophia = hikmah, kebijaksanaan). Jadi, philosophia adalah suatu usaha untuk menemukan –melalui refleksi sistematik– hakikat utama dari segala sesuatu.3 Ada yang mengatakan bahwa Rene Descartes berpendirian cogito ergo sum! (saya berpikir, sebab itu saya ada). Lihat Endang Saifuddin Anshari, Ilmu, Filsafat, dan Agama, cet. VII (Surabaya: Bina Ilmu, 1987), h. 14. 2 Ahmad Chotib, Filsafat Hukum Islam (Jakarta: Fakultas Syari‟ah IAIN Jakarta, 1989), h. 4. 3 Muhammad Muslehuddin, Filsafat Hukum Islam dan Pemikiran Orientalis: Studi Perbandingan Sistem Hukum Islam (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1991), h. 3. 1 2 filsafat itu berasal dari kata philos (keinginan) dan sophia (hikmah, kebijaksanaan), dan ada juga yang mengatakan berasal dari kata phila (mengutamakan, lebih suka) dan sophia (hikmah, kebiaksanaan).4 Jadi kata filsafat berarti mencintai atau lebih suka atau keinginan kepada kebijaksanaan. Orangnya disebut philoshopos yang dalam bahasa Arab disebut failasūf.5 Harun Nasution mengatakan bahwa intisari filsafat adalah berpikir menurut tata tertib (logika) dengan bebas (tidak terikat pada tradisi, dogma, dan agama) dan dengan sedalam-dalamnya sehingga sampai ke dasar-dasar persoalan.6 Ini sesuai dengan tugas filsafat yaitu mengetahui sebab-sebab sesuatu, menjawab pertanyaan-pertanyaan fundamental dan pokok serta bertanggung jawab. Sehingga dapat memecahkan masalah-masalah yang dihadapi. Al-Farabī (870-950 M) menyatakan bahwa tujuan filsafat tidak berbeda dengan tujuan agama, yakni mengetahui semua wujud. Hanya saja filsafat memakai dalil-dalil yang tertentu dan ditujukan pada golongan tertentu. Sedangkan agama memakai iqnā`ī (pemuasan perasaan), kiasan serta gambaran, dan bersifat universal. Filsafat dalam hal ini menjadi a scond-level science. Ia mempelajari semua objek dan bidang menurut sebab-sebabnya yang mendasar dan inilah objek formalnya. Fakta ini membuat filsafat dan yang mempelajarinya menjadi bebas dan radikal. Kata hukum Islam tidak ditemukan sama sekali di dalam al-Quran dan literatur hukum dalam Islam. Yang ada dalam al-Quran adalah kata syariah, fiqh, hukum Allah, dan yang seakar dengannya. Kata-kata hukum Islam merupakan terjemahan dari term „Islamic law’ dari literatur Barat.7 Hukum Islam sering didefinisikan dengan hasil daya upaya para fuqaha dalam menerapkan syariat Islam sesuai dengan keutuhan masyarakat. Pengertian hukum Islam dalam definisi ini mendekati kepada makna fiqh. Untuk lebih mendekatkan arti kepada hukum Islam, perlu diketahui dulu kata hukum dalam bahasa Indonesia, kemudian hukum itu disandarkan kepada kata Islam. Hukum adalah “seperangkat peraturan tentang tindak tanduk atau tingkah laku, yang diakui oleh suatu negara atau masyarakat berlaku dan mengikat untuk seluruh anggotanya.”8 Bila hukum itu dihubungkan kepada Islam atau syara‟ maka hukum Islam akan berarti “seperangkat peraturan berdasarkan wahyu 4 Lihat K. Bertens, Sejarah Filsafat Yunani, cet. XI (Yogyakarta: Kanisius, 1994), h. 13. Lihat pula Mohammad Hatta, Alam Pikiran Yunani, cet. III (Jakarta: UI-Press dan Tintamas, 1986), h. 3. Dari ketiga makna filsafat tersebut pada intinya sama yaitu kecenderungan terhadap hikmah atau kebijaksanaan. 5 Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam Bag. I (Jakarta: LOGOS. 1999), h. 1. 6 Harun Nasution, Dasar Pemikiran Pembaharuan dalam Islam (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1985), h. 3. 7 Dalam penjelasan tentang hukum Islam dari literatur Barat ditemukan definisi: “keseluruhan khitāb Allah yang mengatur kehidupan setiap muslim dalam segala aspeknya.” Dari definisi ini arti hukum Islam lebih dekat dengan pengertian syariah. Lihat Joseph Schacht, An Introduction to Islamic Law (Oxford: Oxford University Press, 1964), h. 1. 8 Muhammad Muslehuddin, Filsafat Hukum Islam., h. 17. 3 Allah dan sunnah Rasul tentang tingkah laku manusia mukallaf yang diakui dan diyakini berlaku dan mengikat untuk semua umat yang beragama Islam.”9 Kata „seperangkat peraturan‟ menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan hukum Islam itu adalah peraturan yang dirumuskan secara terperinci yang mempunyai kekuatan mengikat. Kata „berdasarkan wahyu Allah dan sunnah Rasul‟ menjelaskan bahwa seperangkat peraturan itu digali dari dan berdasarkan kepada wahyu Allah dan sunnah Rasul, atau yang populer dengan sebutan syari‟at. Berdasarkan definisi yang dikemukakan di atas dapat dipahami bahwa hukum Islam mencakup hukum syariah dan hukum fiqh karena arti syara` dan fiqh terkandung di dalamnya. Dengan demikian, pada saat kata filsafat dirangkai dengan kata hukum Islam, maka yang dimaksudkan ialah filsafat yang diterapkan pada hukum Islam. Ia merupakan filsafat khusus dan obyeknya tertentu, yaitu hukum Islam. Filsafat hukum Islam merupakan filsafat yang menganalisis hukum Islam secara metodis dan sistematis sehingga mendapatkan keterangan yang mendasar, atau menganalisis hukum Islam secara ilmiah dengan filsafat sebagai alatnya.10 Menurut Azhar Basyir, filsafat hukum Islam adalah pemikiran secara ilmiah, sistematis, dapat dipertangung jawabkan dan radikal tentang hukum Islam. Filsafat hukum Islam merupakan anak sulung dari filsafat Islam.11 Dengan rumusan lain, Amir Syarifuddin menyatakan bahwa filsafat hukum Islam adalah pengetahuan tentang hakikat, rahasia, dan tujuan hukum Islam baik yang menyangkut materinya maupun proses penetapannya.12 Dari definisi tersebut dapat dinyatakan bahwa filsafat hukum Islam adalah filsafat yang digunakan untuk menguatkan dan memelihara hukum Islam, sehingga sesuai dengan maksud dan tujuan Allah menetapkannya di muka bumi, yaitu untuk kesejahteraan umat manusia. Sesuai dengan watak filsafat, filsafat hukum Islam berusaha menangani pertanyaan-pertanyaan fundamental secara ketat, konsepsional, metodis, koheren, sistematis, radikal, universal dan komprehensif, rasional, serta bertanggung jawab. Arti dari pertanggungjawaban ini adalah adanya kesiapan untuk memberikan jawaban yang objektif dan argumentatif terhadap segala pertanyaan, sangkalan, dan kritikan.13 Dengan demikian, maka pada hakikatnya filsafat hukum Islam bersikap kritis terhadap masalah-masalah. Jawaban-jawabannya tidak luput dari kritik lebih lanjut. Sehingga tidak pernah merasa puas diri dalam mencari, tidak menganggap suatu jawaban sudah selesai, tetapi selalu bersedia bahkan senang membuka kembali perdebatan. 9 Amir Syarifuddin, Pengertian dan Sumber Hukum Islam (dalam Falsafah Hukum Islam), cet. II (Jakarta: Bumi Aksara dan DEPAG, 1992), h. 14. 10 Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam., h. 14. 11 Ahmad Azhar Basyir, Hukum Islam Tentang Riba, Utang Piutang, Gadai (Bandung: AlMa‟arif, 1983), h. 9. 12 Amir Syarifuddin, Pengertian., h. 16. 13 Ahmad Chotib, Filsafat., h. 19. 4 B. Urgensi Filsafat Hukum Islam Hukum Islam diyakini oleh umat Islam sebagai hukum yang bersumber pada wahyu Tuhan (divine law). Keyakinan ini didasarkan pada kenyataan bahwa sumber hukum dalam Islam adalah al-Quran dan sunnah. Allah dan rasul-Nya lazim disebut asy-Syāri`/al-hākim/al-musyarri` (law giver). Namun demikian, harus diakui bahwa al-Qur‟an dan sunnah terbatas, baik dalam peristiwa maupun waktu penetapan hukumnya; sementara itu peristiwa semakin hari semakin banyak jumlah dengan aneka ragam dan senantiasa bertambah. Hukum Islam sebagai satu pranata sosial memiliki dua fungsi: pertama, sebagai kontrol sosial (social control); dan kedua, sebagai nilai baru dan proses perubahan sosial (social change). Jika yang pertama hukum Islam ditempatkan sebagai blue-print atau cetak biru Tuhan yang selain sebagai kontrol juga sekaligus sebagai social engineering terhadap keberadaan suatu komunitas masyarakat. Sementara yang kedua, hukum Islam lebih merupakan produk sejarah yang dalam batas-batas tertentu diletakkan sebagai justifikasi terhadap tuntutan perubahan sosial, budaya, dan politik. Oleh karena itu, dalam konteks ini hukum Islam dituntut akomodatif terhadap persoalan umat tanpa kehilangan prinsip-prinsip dasarnya. Sebab kalau tidak, besar kemungkinan, hukum Islam akan mengalami kemandulan fungsi, atau meminjam istilah Abdurrahman Wahid, fosilisasi, bagi kepentingan umat.14 Karena itu, jika para ahli hukum Islam tidak memiliki keberanian untuk mengantisipasi setiap persoalan yang muncul dalam masyarakat dan mencari penyelesaian hukumnya, maka hukum Islam akan kehilangan aktualitasnya. Apabila hukum Islam kehilangan aktualitasnya dalam memberikan jawaban-jawaban yang memuaskan terhadap permasalahan yang timbul di tengah-tengah masyarakat, maka akan dikhawatirkan suatu ketika umat Islam meragukan eksistensi Islam itu sendiri, bahkan bisa jadi pada akhirnya menghilangkan kepercayaan umat Islam terhadap kitab sucinya.15 Kecenderungan seperti itu bukan tidak mungkin terjadi. Bila kita perhatikan secara seksama, apa yang dilakukan oleh kalangan muslim sekularis yang mengadopsi sistem hukum Barat mentah-mentah untuk diterapkan bagi umat Islam adalah suatu indikasi dari analisis di atas. Demikian pula adanya sikap phobia dan resistensi sebagian umat Islam manakala akan diterapkannya syariat Islam, terlebih aspek hukum pidana Islam. Dengan demikian, hukum Islam bukanlah sistem yang ajeg dan hanya memiliki satu standar kebenaran yang berlaku sepanjang masa. Hukum Islam tumbuh dan berkembang melalui proses evolusi yang sangat panjang mulai tahun pertama kenabian hingga sekarang. Atau dengan kata lain, apa yang kita pahami dengan hukum Islam saat ini –disadari atau tidak– sebenarnya Imam Syaukani, Rekontruksi Epistemologi Hukum Islam Indonesia Dan Relevansinya Bagi Pembangunan Hukum Nasional (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006), h. 22-23. 15 Abdullāhi Ahmed an-Na`īm, “Al-Quran, Syari‟ah dan HAM: Kini dan Masa Depan (AlQuran, Shari‟a and Human Rights: Foundation, Deficiencies, and Prospects)” dalam Jurnal Islamika, No. 2, Oktober-Desember, 1993, h. 110. 14 5 merupakan pembakuan dan pemberlakuan yang sebelumnya telah melalui proses kritis dan dinamika sosio-kultural tersendiri. Lebih menukik lagi apa yang dikatakan oleh `Abdullāh Ahmed an-Na`īm: pertama, hukum Islam itu bukanlah Islam itu sendiri, tetapi ia semata-mata hanya merupakan hasil interpretasi para yuris terhadap sumber-sumber utama ajaran Islam (al-Qur‟an dan sunnah); dan kedua, apa yang kita anggap sebagai hukum Islam itu merupakan produk pemahaman manusia tentang sumber-sumber Islam dalam konteks sejarah sejak abad ketujuh sampai kesembilan. Selama periode tersebut menurut an-Na`īm, para ahli hukum Islam telah menafsirkan al-Qur‟an dan sumber-sumber lain dalam rangka mengembangkan suatu sistem syariah yang komprehensif dan koheren sebagai petunjuk bagi kaum muslim.16 Pembaharuan hukum Islam adalah sebuah kebutuhan yang harus dipenuhi apabila kita menginginkan ajaran Islam senantiasa sesuai dengan perkembangan masyarakat dan memberikan jawaban positif terhadap berbagai permasalahan umat yang menuntut penyelesaian segera. Ini sangat rasional dan tidak menyalahi ajaran Islam sendiri. Apalagi bila melihat kenyataan bahwa dari 6236 (atau 6666 menurut versi lain) ayat dalam al-Qur‟an, hanya kira-kira 500 ayat saja yang jelas-jelas berbicara masalah hukum.17 Dari sinilah muncul adagium di kalangan ahli hukum Islam yang merupakan adopsi dari ungkapan asy-Syahrastānī (w. 548H/1153 M), yaitu: “teks-teks itu terbatas sedangkan problematika hukum yang memerlukan solusi tidak terbatas.” Oleh karena itu, diperlukan ijtihad untuk menginterpretasi nass yang terbatas itu agar berbagai masalah yang tidak dikemukakan secara ekplisit di dalam nass dapat dicari pemecahannya.18 Masyarakat senantiasa mengalami perubahan. Perubahan masyarakat itu dapat berupa perubahan tatanan sosial, budaya, sosial ekonomi, dan lain-lain. Menurut para ahli linguistik dan semantik, bahasa akan mengalami perubahan setiap sembilan puluh tahun. Perubahan dalam bahasa, secara langsung atau tidak langsung, mengandung arti perubahan dalam masyarakat itu sendiri.19 Pernyataan tersebut menarik untuk diperhatikan, sebab Nabi Muhammad saw. pernah mengatakan, bahwa setiap seratus tahun (seabad) akan ada orang yang Ibid., h. 112. Ayat al-Qur‟an berjumlah lebih dari 6000 tetapi hanya sebagian kecil dari jumlah itu yang merupakan ayat-ayat yang mengandung ajaran-ajaan tentang keimanan, ajaran-ajaran tenang hubungan vertikal manusia dengan Tuhan dan ajaran horisontal manusia dengan manusia. Menurut perkiraan ulama, jumlah ayat-ayat itu hanya kira-kira 500; 130 mengenai keimanan, 140 mengenai ibadat, dan 230 mengenai muamalat atau hidup kemasyarakatan manusia. Di sampng itu ada pula ayat-ayat yang mengandung ungkapan tentang fenomena alam yang erat hubungannya dengan filsafat dan ilmu pengetahuan. Sebagian besar dari ayat-ayat selebihnya mengandung riwayat tentang nabi-nabi sebelum nabi Muhammad, riwayat umat-umat terdahulu, teladan serta ibarat yang dapat diambil dari pengalaman umat-umat masa lampau, hidayah serta kesesatan, dan kebaikan serta kejahatan. Iskandar Usman, Istihsan dan Pembaharuan Hukum Islam (Jakarta: RajaGrafindo Persada dan LSIK, 1994), h. 118-119; Bandingkan dengan Jaih Mubarok, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000), h. 25. 18 Imam Syaukani, Rekontruksi., h. 35. 19 Harun Nasution, Dasar Pemikiran Pembaharuan dalam Islam (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1985), h. 19. 16 17 6 bertugas memperbaharui pemahaman keagamaan.20 Agaknya, antara hadis dengan hasil penelitian dari para ahli linguistik dan semantik tersebut sejalan. Ijtihad para ulama terdahulu mesti sesuai dengan waktu dan keadaan di mana mereka berada, namun belum tentu sesuai dengan keadaan umat Islam sekarang ini. Karena itu sangatlah bijaksana dan relevan ungkapan Ibn Qayyim yang menyatakan: 21ِب ِب َغَت َغ َتُر ال َغْفْتَت َغوى ِبتَغَت َغ ِب اْ َغ ِْب َغ ِب َغ ااَغ ْ ِبَغ ِب َغ اْ َغ ْ َغو ِباا َغ الْ َغ َغواا “Perubahan fatwa adalah karena perubahan zaman, tempat, keadaan dan kebiasaan.” Tentu yang dimaksud olehnya adalah bahwa kondisi suatu masyarakat akan berpengaruh terhadap fatwa yang dikeluarkan oleh seorang mufti. Namun, hal ini tidak berarti bahwa hukum akan berubah begitu saja tanpa memperhatikan norma yang terdapat dalam sumber utama hukum Islam, alQur‟an dan hadis.22 Kita tetap dituntut menghargai hasil karya dan jerih payah para mujtahid terdahulu. Mereka telah menuangkan pikirannya dalam berbagai buku yang sangat banyak jumlahnya. Akan tetapi, kita juga dituntut untuk menyadari bahwa keadaan mereka sudah jauh berbeda dengan keadaan kita sekarang ini. Tidak semua persoalan yang dihadapi sekarang ini dapat ditemukan pada bukubuku peninggalan mereka. Dalam hal ini Yūsuf al-Qardhāwī menyatakan, sebagaimana dikutip oleh Fathurrahman Djamil dalam bukunya Filsafat Hukum Islam: Adalah suatu hal yang belebihan dan juga merupakan sikap pura-pura tidak mengenal realita, apabila seseorang mengatakan bahwa buku-buku lama telah memuat jawaban-jawaban atas setiap persoalan baru yang muncul. Sebab setiap zaman itu memiliki problematika dan kebutuhan yang senantiasa muncul. Bumi berputar, cakrawala bergerak, dunia berjalan, dan jarum jam pun tidak pernah berhenti.23 Karena itu, ijtihad pada masa sekarang ini jauh lebih diperlukan dibandingkan dengan masa-masa lampau. Secara epistemologi, setiap pengetahuan manusia merupakan kontak dari dua hal, yaitu: obyek dan manusia sebagai subyek.24 Dengan demikian secara sederhana, pengetahuan merupakan kontak antara manusia sebagai subyek dengan obyek yang berupa berbagai permasalahan yang merasuk dalam pikiran manusia. Sedangkan kata ilmu pengetahuan menurut Ensiklopedi Indonesia adalah suatu sistem dari berbagai pengetahuan mengenai suatu lapangan tertentu yang Abū Dāwūd, Sunan Abī Dāwūd, (ttp.: Dar al-Fikr, tt.), IV: 109. Ibnul Qoyyim al-Jauziyah, I’lam al-Muwaqqi’în ‘an Robbil ‘Alamîn, (al-Maktabah alSyâmilah al-Ishdâr al-Tsânî, 2005), III/203. 22 Abū Ishāq asy-Syātibī, al-Muwāfaqāt (Beirut: Dār al-Ma`rifah, tt), h. 285. 23 Yūsuf al-Qardāwī, al-Ijtihād fī asy-Syarī`ah al-Islāmiyyah ma’a Nazariyyah Tahlīliyyah fī alIjtihād al-Mu’āsir (Kuwait: Dār al-Qalam, 1985), h. 101. 24 T.S.G. Mulia dan K.A.H. Hidding, Ensiklopedi Indonesia (ttp.: tnp, 1984)., h. 1284. 20 21 7 disusun sedemikian rupa, menurut asas-asas tertentu, sehingga menjadi kesatuan; suatu sistem dari berbagai pengetahuan didapatkan sebagai hasil pemeriksaan yang dilakukan secara teliti dengan memakai metode tertentu (induksi, deduksi).25 Ashley Montagu, guru besar Rutgers University, menyimpulkan bahwa yang dimaksud ilmu pengetahuan adalah pengetahuan yang disusun dalam satu sistem yang berasal dari pengamatan, studi, dan percobaan untuk menentukan hakikat dan prinsip tentang hal yang sedang dipelajari.26 Ilmu pengetahuan bukanlah sesuatu yang sudah selesai dipikirkan. Ia merupakan suatu hal yang tidak mutlak. Kebenaran yang dihasilkan ilmu pengetahuan bersifat relatif (nisbi), positif, dan terbatas. Hal ini disebabkan karena ilmu pengetahuan tidak mempunyai alat lain dalam menguak rahasia alam kecuali indera dan kecerdasan (otak) –termasuk di sini peralatan yang diproduksi oleh otak manusia. Tujuan filsafat adalah memberikan weltanschauung (filsafat hidup). Weltanschauung mengajari manusia untuk menjadi manusia yang sebenarnya, yaitu manusia yang mengikuti kebenaran, mempunyai ketenangan pikiran, kepuasan, kemantapan hati, kesadaran akan arti dan tujuan hidup, gairah rohani dan keinsyafan;27 setelah itu mengaplikasikannya dalam bentuk topangan atas dunia baru, menuntun kepadanya, mengabdi kepada cita mulia kemanusiaan, berjiwa dan bersemangat universal, dan sebagainya.28 Alat yang dipergunakan filsafat adalah akal. Akal merupakan satu bagian dari rohani manusia. Keseluruhan rohani –perasaan, akal, intuisi, pikiran, dan naluri atau seluruh kedirian manusia– tentunya lebih ampuh daripada sebagian daripadanya. Sedangkan keseluruhan rohani itu sendiri, merupakan bagian dari manusia. Manusia merupakan makhluk yang paling sempurna dibanding makhluk-makhluk Tuhan lainnya, karena manusia diberikan kelebihan berupa akal. Akan tetapi manusia dengan kelebihannya yang dianugerahi akal, tidak dapat mencapai kebenaran yang sempurna, kecuali mendapat uluran tangan dari Yang Maha Sempurna. Uluran tangan Tuhan tersebut berupa wahyu; yaitu firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. melalui malaikat Jibril.29 Kata filsafat ketika dirangkai dengan kata hukum Islam, maka yang dimaksudkan ialah filsafat yang diterapkan pada hukum Islam. Ia merupakan filsafat khusus dan obyeknya tertentu, yaitu hukum Islam. Maka, filsafat hukum 25 26 Ibid., h. 647. Endang Saifuddin Anshari, Ilmu, Filsafat dan Agama, cet. VII (Surabaya: Bina Ilmu, 1987), h. 48. 27 Weltanschauung ini juga merupakan cara yang dipilih oleh Fazlur Rahman dalam menafsirkan al-Quran. Menurutnya, inilah jalan terbaik. Lihat Taufik Adnan Amal, Islam dan Tantangan Modernitas, cet. II (Bandung: Mizan, 1990), h. 204. 28 Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam., h. 29. 29 Sebagaimana termuat dalam QS. (81): 19-21: “Sesungguhnya al- Qur‟an itu benar-benar firman (Allah yang dibawa oleh) utusan yang mulia (Jibril), yang mempunyai kekuatan, yang mempunyai kedudukan Tinggi di sisi Allah yang mempunyai `Arsy. Yang ditaati di sana (di alam malaikat) lagi dipercaya.” 8 Islam adalah filsafat yang menganalisis hukum Islam secara metodis dan sistematis sehingga mendapatkan keterangan yang mendasar, atau menganalisis hukum Islam secara ilmiah dengan filsaat sebagai alatnya. Amir Syarifuddin menyatakan, bahwa filsafat hukum Islam adalah pengetahuan tentang hakikat, rahasia, dan tujuan hukum Islam baik yang menyangkut materinya maupun proses penetapannya.30 Dari definisi tersebut dapat dinyatakan bahwa filsafat hukum Islam adalah filsafat yang digunakan untuk menguatkan dan memelihara hukum Islam, sehingga sesuai dengan maksud dan tujuan Allah menetapkannya di muka bumi, yaitu kesejahteraan umat manusia. Maka keberadaan filsafat hukum Islam sangatlah urgen dalam Islam. Hal tersebut guna mewujudkan hukum Islam yang dinamis, progresif, responsif, akomodatif, dan senantiasa mampu memberikan solusi terhadap permasalahanpermasalahan sosial seiring dengan perkembangannya. Sesuai dengan watak filsafat, filsafat hukum Islam berusaha menangani pertanyaan-pertanyaan fundamental secara ketat, konsepsional, metodis, koheren, sistematis, radikal, universal-komprehensif, rasional, serta bertanggung jawab. Dengan demikian, diharapkan hukum Islam senantiasa berkembang karena pada hakikatnya filsafat hukum Islam bersikap kritis terhadap masalahmasalah. Jawaban-jawabannya tidak luput dari kritik lebih lanjut, sehingga tidak pernah merasa puas diri dalam mencari, tidak menganggap suatu jawaban sudah selesai, tetapi selalu bersedia bahkan senang membuka kembali perdebatan. Berbicara tentang pembaharuan hukum Islam maka faktor yang terpenting adalah tentang metodologi penemuan hukum Islam. Ushul fiqh sebagai pendekatan atau metode dalam menetapkan hukum muncul seiring dengan munculnya masalah fiqh, karena fatwa-fatwa fiqh bagaimanapun juga merupakan hasil kajian yang mempergunakan metode-metode tertentu. Pendekatan atau metodologi ushul fiqh yang dikembangkan pada periode-periode awal hingga menjelang abad ke-7 H masih mengandalkan pendekatan literal dalam interpretasi terhadap teks dengan qiyās menjadi prosedur primer untuk memperluas aturan-aturan syariah kepada peristiwa baru. Menjelang abad ke-17 M atau pada abad ke-8 H, Ibrāhīm ibn Mūsā asySyātibī melalui karyanya al-Muwāfaqāt memformulasikan teori maqāsid asysyarī`ah (tujuan-tujuan syari‟ah). Pendekatan maqāsid asy-syarī`ah yang digagas oleh asy-Syātibī mengalami kematangan ketika intelektualisme muslim berada dalam kemunduran. Sehingga, teori ini sekalipun memiliki potensi besar untuk melakukan sistematisasi aturan-aturan syariah, tidak dikembangkan atau diimplementasikan oleh sarjana-sarjana muslim setelahnya. Kondisi tersebut sedikit demi sedikit mengalami perubahan ketika gerakan kebangkitan dan pembaharuan mulai dikumandangkan oleh para pembaharu dan pemikirpemikir muslim seperti Muhammad „Abduh, Muhammad Iqbal, Muhammad Rasyīd Ridā, Fazlur Rahmān, Yūsuf al-Qardāwī, Mohammed Arkoun, 30 Amir Syarifuddin, Pengertian., h. 16. 9 Muhammad Syahrūr, dan lain-lain. Pada era inilah bangunan sistematika dan metodologi ushul fiqh klasik dipertanyakan kembali.31 Walaupun pemikiran para tokoh pembaharuan Islam tersebut dipandang oleh sebagian umat Islam sebagai sesuatu yang telah melampaui batas (di luar pakem) syariah, tetapi paling tidak bisa memberikan stimulasi dan menggugah umat Islam agar tidak menganggap bahwa hukum Islam adalah sesuatu yang final. Sehingga diharapkan keberadaan filsafat hukum Islam mampu menjadikan umat Islam senantiasa mengkritisi, melakukan inovasi, reformulasi hukum Islam, terlebih ushul fiqh sebagai metodologi sekaligus epistemologi hukum Islam. C. Keterkaitan Filsafat Hukum Islam dan Ushul Fiqh Dalam pembahasan pengertian filsafat dinyatakan bahwa salah satu maknanya adalah; phila; mengutamakan, lebih dan sophia; kebijaksanaan atau hikmah. Maka philosophia berarti mengutamakan hikmah. Fuad al-Ahwānī dalam bukunya Mabādi’ al-Falsafah, kemudian `Abd al-Halīm Mahmūd dalam bukunya at-Tafkīr al-Falsafī fī al-Islām, telah menerangkan penjelasan al-Farabī tentang kata falsafah, sebagaimana yang dikutip oleh Hasbi ash-Shiddieqy. Al-Farabī berkata: Nama falsafah berasal dari bahasa Yunani. Dia adalah kata yang dimasukkan ke dalam bahasa Arab. Dia menurut bahasa Yunani berasal dari Vila Sofi, maknanya: mengutamakan hikmat. Dan dia dari bahasa mereka tersusun dari kata-kata Vila dan Sofia. Vila maknanya mengutamakan dan Sofia maknanya hikmat. Filosof diambil dari kata falsafah. Dan maknanya; orang yang mengutamakan hikmat. Orang yang mengutamakan hikmat, menurut mereka ialah orang yang menggunakan seluruh kehidupannya dari seluruh umurnya untuk memperoleh hikmat.32 Setiap kaidah, asas (mabda’) atau aturan-aturan yang digunakan untuk mengendalikan masyarakat Islam, baik merupakan ayat al-Qur‟an atau hadis maupun pendapat sahabat dan tabi‟in, atau suatu pendapat yang berkembang di suatu masa dalam kehidupan umat Islam atau pada suatu bidang-bidang masyarakat Islam, itulah yang dimaksudkan dengan „Falsafah Hukum Islam‟.33 Al-Farabī menandaskan bahwasannya falsafah itu ialah mengutamakan hikmah, atau dengan perkataan lain mencintai hikmah. Orang yang mencintai hikmah itulah yang dinamakan filosof. Hasbi Ash-Ashiddieqy menyatakan, bahwa ketika ia membaca judul kitab Hikmah at-Tasyrī` wa Falsafatuhu karangan al-Jurjāwī, “saya berpendapat bahwasannya hikmah berbeda dari falsafah karena `atf yufīd al-mugāyarah. Tetapi Imam Syaukani, Rekontruksi., h. 134-135. Hasbi Ash-Shiddieqy, Falsafah Hukum Islam, edisi kedua, diedit kembali oleh H.Z. Fuad Hasbi Ash-Shiddieqy (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2001), h. 3. 33 Ibid., h. 23 31 32 10 setelah saya baca isinya, maka di dalamnya diterangkan apa yang oleh pengarang lain dinamakan asrār asy-syarī`ah.”34 Apabila para filosof muslim menggunakan kata hikmah sebagai sinonim dari kata falsafah, para ahli hukum Islam menggunakan kata hikmah sebagai julukan bagi asrār al-ahkām (rahasia-rahasia hukum). Demikian pula yang terjadi pada muhaqqiq dan mufassir, mereka menganggap sepadan antara kata hikmah dengan kata falsafah. Ar-Rāgib berkata: “hikmah ialah memperoleh kebenaran dengan perantara ilmu dan akal.”35 Dari pemahaman di atas dapat diambil suatu kesimpulan bahwa kata falsafah identik dengan hikmah. Sehingga apabila dikatakan falsafah hukum Islam, maka terbersitlah dalam pikiran tentang „hikmah hukum Islam‟. Dalam ushul fiqh terkandung asrār al-ahkām, ushūl al-ahkām, qawā`id al-ahkām, hikmahhikmah hukum Islam, dan lain-lain yang kesemuanya termasuk dalam pembahasan filsafat. Sendi-sendi hukum, prinsip-prinsip hukum, pokok-pokok hukum (sumber-sumber hukum), kaidah-kaidah hukum yang merupakan fondasi undang-undang Islam, itulah yang dimaksudkan dengan filsafat hukum Islam. Di samping itu pula maqāsid al-ahkām atau tujuan-tujuan hukum. Mustafā `Abd ar-Rāziq dari hasil penelitiannya yang mendalam menandaskan bahwa filsafat hukum Islam ialah ushul al-ahkām, qawā`id al-ahkām, dan maqāsid al-ahkām. Dalam kitab Tahmīd li Tārik al-Falsafah al-Islāmiyyah dikemukakan alasan-alasan yang mengokohkan teori ini. Mustafā „Abd ar-Rāziq mengatakan bahwa ushul fiqh adalah suatu cabang dari cabang-cabang falsafah Islam, di samping falsafah tauhid (kalam) dan tasawuf. Jika para orientalis menerima bahwa ilmu kalam suatu cabang dari falsafah, maka falsafah yang murni Islam kita temukan dalam ushul fiqh.36 Para ahli ushul telah mewujudkan falsafah tasyrī` sebagai sumber hukum. Para ahli fiqh telah berusaha menyingkap falsafah hukum dari materi-materi hukum sendiri. Maka para ahli ushul fiqh, sebagaimana ahli filsafat hukum Islam membagi filsafat hukum Islam kepada dua rumusan, yaitu falsafah tasyrī` dan falsafah syarī`ah.37 1. Falsafah tasyrī`: filsafat yang memancarkan hukum Islam atau menguatkannya dan memeliharanya. Filsafat ini bertugas membicarakan hakikat dan tujuan penetapan hukum Islam. Falsafah tasyrī` terbagi kepada : a. Da`āim al-ahkām (dasar-dasar hukum Islam) b. Mabādi’ al-ahkām (prinsip-prinsip hukum Islam) c. Usūl al-ahkām (pokok-pokok hukum Islam) atau masādir al-ahkām (sumbersumber hukum Islam) d. Maqāsid al-ahkām (tujuan-tujuan hukum Islam) e. Qawā`id al-ahkām (kaidah-kaidah hukum Islam) Ibid., h. 1. Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam., h. 5. 36 Hasbi Ash-Shiddieqy, Falsafah., h. 24. 37 Ibid., h. 16-17. 34 35 11 2. Falsafah syarī`ah: filsafat yang diungkapkan dari materi-materi hukum Islam, seperti `ibādah, mu`āmalah, jināyah, `uqūbah, dan sebagainya. Filsafat ini bertugas membicarakan hakikat dan rahasia hukum Islam. Termasuk dalam pembagian falsafah syarī`ah adalah : a. Asrār al-ahkām (rahasia-rahasia hukum Islam) b. Khasā’is al-ahkām (ciri-ciri khas hukum Islam) c. Mahāsin al-ahkām atau mazāyā al-ahkām (keutamaan-keutamaan hukum Islam) d. Tawābi` al-ahkām (karakteristik hukum Islam). Sebagian ahli ushul, menganggap semua filsafat ini sebagai dasar-dasar pembinaan hukum. Karenanya mereka pergunakan istilah tasyrī`. Mereka mengatakan da`āim at-tasyrī`, mabādi’ at-tasyrī`, ushūl at-tasyrī` (mashādir at-tasyrī`), ahkām at-tasyri’, maqāshid at-tasyrī`, qawā`id at-tasyrī`, asrār at-tasyrī`, dan lainlain.38 Falsafah al-ahkām yang dimaksudkan oleh Hasbi ash-Shiddieqy adalah ushūl al-ahkām yang menjadi pegangan ahli-ahli fiqh dalam membina siyāsah syarī`ah, yaitu: 1. 2. 3. 4. 5. 6. al-Qiyās, al-Istihsān, al-`Urf, al-Masālih al-mursalah, Sadd az-zarī`ah dan al-Istishāb.39 Berkaitan dengan pembagian falsafah tasyrī` lebih lanjut Hasbi asySyiddieqy memberikan penjelasan. Qawā`id al-ahkām yang dimaksudkan oleh Hasbi ash-Shiddieqy adalah : a. Kaidah-kaidah istinbāth menyangkut amr, nahy, ‘ām, khāshsh, muthlaq, muqayyad, mujmal dan muffashshal, atau segala kaidah yang berpautan dengan bahasa yang dipetik dari kaidah-kaidah Arabiyah, uslūb-uslūb dan tarkīb-tarkīb-nya. b. Kaidah-kaidah fiqhiyah, yaitu kaidah-kaidah kulliyah yang digali dari alQur‟an, hadis, dan dari rūh asy-syarī`ah (jiwa sendiri).40 Maqāshid al-ahkām atau ahdāf al-ahkām yang dimaksudkan ialah tujuantujuan hukum yang karena tujuan-tujuan itulah hukum disyariatkan dan diharuskan para mukallaf mentaatinya. Walaupun salah satu tujuan dari falsafah hukum yang sebenarnya harus dibicarakan dalam kitab-kitab ushul, namun jumhur ahli ushul tidak membahasnya. Barulah dalam abad ke-8 Hijrah, tokoh ushul, asy-Syātibī, menyusun kitab al-Muwāfaqāt yang sebagian besar isi dari Ibid., h. 23. Ibid., h. 26. 40 Ibid., h. 27. 38 39 12 kitab itu membahas maqāshid al-ahkām atau tujuan hukum.41 Sedangkan asrār alahkām ialah rahasia-rahasia yang diletakkan syara‟ di dalam kandungan setiap hukum syariat.42 Berdasarkan paparan dan elaborasi tersebut maka dapat dinyatakan bahwa filsafat hukum Islam sangat erat keterkaitannya dengan ushul fiqh. Dikatakan oleh Mustafā `Abd ar-Razīq, ushul fiqh adalah salah satu cabang dari falsafah Islam. Dalam ushul fiqh ini falsafah Islam yang murni diketemukan. Dalam ushul fiqh terkandung asrār al-ahkām, ushūl al-ahkām, qawā`id al-ahkām, hikmah-hikmah hukum Islam, dan lain-lain yang kesemuanya itu termasuk dalam pembahasan filsafat. Demikian pula jika kita cermati pembagian filsafat hukum Islam kepada dua rumusan, yaitu falsafah tasyrī` dan falsafah syarī`ah yang dikemukakan oleh para ahli ushul fiqh dan para ahli filsafat hukum Islam. Falsafah tasyrī` kemudian dirinci menjadi da`āim al-ahkām (dasar-dasar hukum Islam), mabādi al-ahkām (prinsip-prinsip hukum Islam), ushūl al-ahkām (pokok-pokok hukum Islam) atau mashādir al-ahkām (sumber-sumber hukum Islam), maqāshid al-ahkām (tujuantujuan hukum Islam), dan qawā`id al-ahkām (kaidah-kaidah hukum Islam). Sementara falsafah syarī`ah dibagi menjadi asrār al-ahkām (rahasia-rahasia hukum Islam), khashā’is al-ahkām (ciri-ciri khas hukum Islam), mahāsin al-ahkām atau mazāyā al-ahkām (keutamaan-keutamaan hukum Islam), dan thawābi` al-ahkām (karakteristik hukum Islam). Sehingga dapat dinyatakan bahwa secara subtansial filsafat hukum Islam adalah identik dengan ushul fiqh. Penutup Berdasarkan paparan dalam tulisan ini, maka dapat diformulasikan beberapa simpulan. Pertama, filsafat hukum Islam adalah filsafat yang diterapkan pada hukum Islam. Ia merupakan filsafat khusus dan obyeknya hanya terbatas hukum Islam, baik pada tataran metodologi, yaitu ushul fiqh, maupun pada tataran produk, yaitu fiqh. Kedua, keberadaan filsafat hukum Islam sangatlah urgen dalam pembaharuan hukum Islam guna menjawab persoalan dan perkembangan sosial, terlebih dalam merekonstruksi epistemologi hukum Islam / ushul fiqh. Filsafat hukum Islam memunculkan pertanyaan-pertanyaan kritis yang harus dijawab, sehingga mendorong adanya ijtihad untuk menjawab pertanyaan tersebut. Ketiga, secara subtansial filsafat hukum Islam identik dengan ushul fiqh. Namun demikian, pada tataran praktis, filsafat hukum Islam juga mencakup fikih yang menjadi produknya. 41 Dalam masalah pendekatan atau metodologi ushul fiqh yang dikembangkan pada periode-periode awal hingga menjelang abad ke-7 H masih mengandalkan pendekatan literal dalam interpretasi terhadap teks dan qiyas dalam hal ini menjadi prosedur primer untuk memperluas aturan-aturan syariah kepada peristiwa baru (waqā’i`). Lihat Imam Syaukani, Rekontruksi., h. 133. 42 Hasbi Ash-Shiddieqy, Falsafah., h. 28. 13 Daftar Pustaka Al-Qura‟an al-Karîm Abū Dāwūd, Sunan Abi Dawud, ttp.: Dar al-Fikr, tt. Ahmad Azhar Basyir, Hukum Islam Tentang Riba, Utang Piutang, Gadai, Bandung: Al-Ma‟arif, 1983. Ahmad Chotib, Filsafat Hukum Islam, Jakarta: Fakultas Syari‟ah IAIN Jakarta, 1989. Amir Syarifuddin, Pengertian dan Sumber Hukum Islam (dalam Falsafah Hukum Islam), cet. II, Jakarta: Bumi Aksara dan DEPAG, 1992. Endang Saifuddin Anshari, Ilmu, Filsafat dan Agama, cet. VII, Surabaya: Bina Ilmu, 1987. Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam, Bag. I, Jakarta: LOGOS, 1999. Harun Nasution, Dasar Pemikiran Pembaharuan dalam Islam, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1985. -----, Filsafat Agama, Jakarta: Bulan Bintang, 1991 Ibnul Qoyyim al-Jauziyah, I’lam al-Muwaqqi’în ‘an Robbil ‘Alamîn, (al-Maktabah al-Syâmilah al-Ishdâr al-Tsânî, 2005) Imam Syaukani, Rekontruksi Epistemologi Hukum Islam Indonesia Dan Relevansinya Bagi Pembangunan Hukum Nasional, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006. K. Bertens, Sejarah Filsafat Yunani, cet. XI, Yogyakarta: Kanisius, 1994. Mohammad Hatta, Alam Pikiran Yunani, cet. III, Jakarta: UI-Press dan Tintamas, 1986. Muhammad Muslehuddin, Filsafat Hukum Islam dan Pemikiran Orientalis: Studi Perbandingan Sistem Hukum Islam, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1991. an-Na‟īm, `Abdullāhi Ahmed, Al-Quran, Syari’ah dan HAM: Kini dan Masa Depan (Al-Quran, Shar’a and Human Rights: Foundation, Deficiencies and Prospects), dalam Jurnal Islamika, No. 2, Oktober-Desember, 1993. al-Qardhāwī, Yūsuf, , al-Ijtihād fī asy-Syarī`ah al-Islāmiyyah ma`a Nazariyyah Tahlīliyyah fī al-Ijtihād al-Mu`āsir, Kuwait: Dār al-Qalam, 1985. Schacht, Joseph, An Introduction to Islamic Law, Oxford, University Press, 1964. T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Falsafah Hukum Islam, edisi kedua, diedit kembali oleh H.Z. Fuad Hasbi Ash-Shiddieqy, Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2001. T.S.G. Mulia dan K.A.H. Hidding, Ensiklopedi Indonesia, 1984. 14