ANALISIS PENGARUH TIPE KEPEMILIKAN TERHADAP PERILAKU BANK DALAM MENANGGAPI PERUBAHAN TINGKAT SUKU BUNGA BI PADA SEKTOR PERBANKAN INDONESIA (PERIODE 2006-2009) Karisma Maharani Anisakusuma Program Studi S1 Reguler, Departemen Manajemen, Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia Dony Abdul Chalid Departemen Manajemen, Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia Abstrak Penelitian ini menganalisa pengaruh tipe kepemilikan terhadap perilaku bank umum dalam menanggapi perubahan tingkat suku bunga BI yang dicerminkan dengan tingkat kredit bank pada sektor perbankan Indonesia periode 2006-2009. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menginvestigasi efektifitas dari bank lending channel pada mekanisme transmisi kebijakan moneter oleh Bank Indonesia dan bagaimana tipe kepemilikan bank berperan dalam perilaku bank. Penelitian ini menemukan bahwa kepemilikan bank berpengaruh terhadap perilaku bank dalam menanggapi perubahan tingkat suku bunga BI. Dibandingkan dengan Bank Swasta, Bank Persero cenderung lebih tidak sensitive terhadap perubahan tingkat suku bunga BI baik naik maupun turun. Sementara BPD cenderung lebih sensitive terhadap perubahan tingkat suku bunga BI dengan melakukan penurunan dan kenaikan pengeluaran kredit. Kebijakan pengeluaran kredit juga dipengaruhi oleh permodalan, likuiditas, profitabilitas, dan size bank, serta factor permintaan pasar dari pertumbuhan industri. Kata Kunci: Perubahan Suku Bunga BI ; Saluran Kredit Bank; Tipe Kepemilikan Bank Abstract This research aims to analyze the impact of bank ownership towards bank behavior in response to BI Rate Change in Indonesia during 2006-2009 periods. The purpose is to investigate the effectiveness of bank lending channel in the transmission mechanism of monetary policy by Bank Indonesia and how bank ownership plays role in its behavior. This research finds that bank ownership affects to the bank behavior in response to BI Rate Change. Relative to the private bank, the state-owned bank tends to insensitive against BI Rate Change, while the city commercial bank (BPD) is more sensitive. Bank credit disbursal policy is affected by bank capitalization, liquidity, profitability, size, and also the demand factor in market that measured by industri growth. Keywords: Bank Ownership; Interest Rate Change; Bank Lending Channel; Indonesia. Analisis Pengaruh..., Karisma Maharani A, FE UI, 2013 1. Pendahuluan Otoritas moneter dalam mengatur kebijakan moneter menggunakan beberapa saluran berbeda, salah satunya terdapat saluran uang dan saluran kredit. Pada saluran uang (Warjiyo dan Solikin, 2003) merupakan konsekuensi langsung dari proses perputaran uang dalam perekonomian. Dalam kaitan ini, bank sentral melakukan operasi moneter untuk mengendalikan uang beredar (M1, M2) melalui pencapaian sasaran operasional uang primer atau base money (B). Disisi lain, bank-bank perlu mengelola likuiditasnya dalam bentuk cadangan dana yang dapat dipergunakan sewaktu-waktu dari sisi aset dan pendanaan dari simpanan masyarakat yang berbentuk uang beredar dari sisi kewajiban. Sementara pada saluran kredit, mekanisme transmisi melalui jalur kredit bekerja dengan memanfaatkan pasar kredit. Mekanisme transmisi melalui jalur kredit dapat dibedakan menjadi dua jalur yaitu jalur kredit bank dan saluran neraca. Perbedaannya, dalam jalur pinjaman bank, kebijakan moneter berdampak pada jumlah persediaan kredit sedangkan dalam jalur neraca, perusahaan atau nasabah yang akan terkena dampak kebijakan moneter. Gambar 1 Perkembangan BI Rate Periode 2005-2012 Sumber: Bank Indonesia Semenjak Juli 2005, suku bunga BI (BI Rate) digunakan sebagai sinyal respon kebijakan moneter dan sasaran operasional. BI Rate adalah suku bunga dengan tenor satu bulan yang diumumkan oleh BI secara periodik untuk jangka waktu tertentu yang berfungsi sebagai sinyal dari kebijakan moneter (www.bi.go.id). Berdasarkan pengamatan perkembangan BI Rate selama empat tahun dari 2006 hingga 2009 (Gambar 1) menunjukan tren yang semakin menurun. Namun untuk memahami kondisi kebijakan moneter tidak dapat dilihat dari besaran indikatornya, namun dengan memahami kondisi perekonomian yang Analisis Pengaruh..., Karisma Maharani A, FE UI, 2013 berkembang pada saat kebijakan dengan ukuran pada besaran indikator tersebut dijalankan. Dapat dilihat bahwa selama krisis global yang dimulai pada kuartal akhir tahun 2007, otoritas moneter cenderung meningkatkan tingkat suku bunga BI dengan harapan untuk mengurangi jumlah uang beredar. Gambar 2 Jumlah Kredit Bank Umum Periode 2005 - 2009 Sumber: Statistik Perbankan Indonesia (2009) Hal menarik terjadi pada sektor perbankan Indonesia, dimana selama periode 2005 hingga 2009 bank umum cenderung memiliki tren pertumbuhan kredit yang terus meningkat (Gambar 1.2). Gejolak moneter yang terjadi pada pertengahan tahun 2008 juga tidak lantas menurunkan motivasi bank untuk meningkatkan jumlah kreditnya. Bahkan pada periode tersebut bank umum cenderung terus meningkatkan kreditnya hingga akhir tahun 2009, walaupun sempat menurun sedikit namun secara keseluruhan tren jumlah kredit cenderung terus mengalami peningkatan. Memang pada saat kondisi krisis global kekhawatiran terhadap penurunan pasokan kredit untuk modal kerja maupun investasi tidak terjadi, tetapi kondisi ini menunjukkan bahwa BI Rate seakan tidak efektif. Ketidaksesuaian harapan dari otoritas moneter dalam menaikkan dan menurunkan BI Rate terhadap jumlah uang beredar yang dalam hal ini dicerminkan pada jumlah kredit yang diberikan oleh bank umum, disebabkan oleh adanya faktor lain seperti faktor keuangan, faktor ekonomi lainnya, dan juga dari faktor perbankan itu sendiri. Hal ini menunjukkan bahwa dalam kondisi tersebut, BI Rate tidak semata yang mempengaruhi naik turunnya jumlah kredit yang diberikan oleh bank. Fakta menarik lainnya juga dipaparkan oleh S.K Bhaumik et al (2011) dengan penelitiannya yang dilakukan pada sektor perbankan di India bahwa bank dengan tipe kepemilikan berbeda merespon kebijakan moneter dengan sangat berbeda pada rezim Analisis Pengaruh..., Karisma Maharani A, FE UI, 2013 kebijakan moneter yang berbeda. Selama periode kebijakan moneter ketat, bank persero, bank swasta, dan bank asing membatasi kreditnya dalam merespon kenaikan pada tingkat suku bunga. Sementara pada periode kebijakan moneter longgar, bank swasta cenderung meningkatkan pertumbuhan pengeluaran kreditnya dan tidak signifikan untuk tipe bank lain. Artinya, naik turunnya tingkat suku bunga acuan direspon berbeda oleh setiap tipe kepemilikan bank yang berbeda. Berdasarkan kondisi di Indonesia bahwa tipe kepemilikan bank terdiri dari bank persero, BUSN devisa, BUSN non devisa, BPD, bank campuran, dan bank asing. Setiap tipe kepemilikan bank tentunya memliki kepentingan berbeda dalam menjalani operasi perusahaan, sehingga akan berdampak terhadap perilaku bank dalam merespon kebijakan naik turunnya tingkat suku bunga acuan. Studi yang dilakukan oleh Arena, Reinhart, dan Vazquez (2007) menjelaskan bahwa perbedaan di dalam kepemilikan bank dapat menjadi suatu proxy atas hambatan keuangan yang tidak teridentifikasi pada bank dalam hal perubahan penyaluran pinjaman, disamping karakter bank yang sudah teridentifikasi seperti ukuran aset, modal, dan likuiditas. Beberapa penelitian lain terkait dengan respon atas naik turunnya tingkat suku bunga acuan juga menimbulkan beberapa bukti lebih lanjut akan keberadaan peran tipe kepemilikan bank. Wu et al. (2007) menyatakan bahwa jika bank asing tidak terlalu merespon perubahan kebijakan moneter domestik (host country), maka efektifitas kebijakan moneter akan cenderung lebih rendah seiring dengan kehadiran bank asing di negara tersebut. Wu juga menemukan bukti bahwa bank asing ternyata memiliki sensitivitas yang rendah terhadap perubahan kebijakan moneter dibandingkan dengan bank domestik lainnya. Implikasinya adalah ketika bank sentral melakukan kebijakan moneter kontraksi, maka tidak akan terlalu berdampak signifikan bagi bank-bank asing dalam hal menurunkan pinjaman bank. Kashyap dan Stein (1993) menunjukkan bahwa jika bank sentral mengejar kebijakan moneter ketat, justru ada penurunan jumlah pinjaman bank kepada perusahaan dan sekaligus kenaikan dalam penerbitan surat berharga. Beliau juga menyimpulkan bahwa kebijakan moneter kontraktif (uang ketat) mengurangi pasokan kredit. Namun, hal berbeda terjadi pada sektor perbankan di Indonesia. Pada penelitian di Indonesia, Hadad (1996), menemukan fenomena bahwa selama periode uang ketat, pertumbuhan kredit bank pemerintah dan bank swasta besar lebih tinggi dari pertumbuhan deposito mereka. Perbedaan perilaku antara bank persero dan bank swasta jelas tercermin dalam kenyataan bahwa pinjaman dari bank-bank pemerintah benar-benar tidak sensitif terhadap guncangan moneter, sedangkan bank swasta lebih sensitif. Penetrasi bank asing meningkat secara dramatis pada pasar berkembang semenjak tahun 1990an. Tak terkecuali juga di Indonesia. Melihat regulasi yang sangat longgar dan Analisis Pengaruh..., Karisma Maharani A, FE UI, 2013 juga terlihat seperti mempersilahkan para investor asing masuk ke Indonesia, menguntungkan bagi mereka untuk melakukan penetrasi dan bahkan mengakuisisi kepemilikan bank-bank domestik di Indonesia. Hingga akhirnya mereka makin mendominasi pasar perbankan. Disisi lain, banyak kekhawatiran dimana dominasi dari bank dengan kepemilikan asing tersebut kurang berkontribusi maksimal terhadap perekonomian Indonesia. Para investor asing tersebut tentunya lebih cenderung mengejar keuntungan ketimbang menggerakkan sektor ekonomi. Claessens et al. (2001) menemukan bahwa bank asing memiliki keuntungan yang lebih tinggi dibandingkan dengan bank-bank domestik di negara berkembang. Makin dominannya bank asing di Indonesia bisa terlihat pada penguasaan pangsa pasar dari tahun ke tahun yang terus meningkat. Bank asing tercatat mengumpulkan dana pihak ketiga (DPK) yang lebih besar dibanding bank BUMN dengan selisih hingga 120,53 triliun rupiah. Berdasarkan data dari Statistik Perbankan Indonesia (2011) menunjukkan bahwa kepemilikan asing mendominasi sekitar 12% dari seluruh bank. Bank swasta yang tercermin pada BUSN devisa dan non devisa ini pada dasarnya juga sebagian lumayan banyak yang terdominasi oleh investor asing dalam struktur kepemilikannya. Hal ini akhirnya dapat berdampak terhadap perilaku seluruh bank pada sektor perbankan Indonesia. Terutama dari sisi efektifitas kebijakan moneter yang dimana bank memiliki peran yang cukup besar dalam mekanisme transmisi kebijakan moneter melalui saluran pinjaman bank (bank lending chanel). Dengan melihat fenomena mengenai tipe kepemilikan bank di Indonesia dan perilaku terhadap perubahan tingkat suku bunga BI, serta berbagai penelitian terdahulu yang melatarbelakangi eksistensi isu, maka penulis termotivasi untuk melakukan sebuah penelitian mengenai pengaruh tipe kepemilikan bank terhadap respon terhadap kenaikan ataupun penurunan kredit. Hal ini dilakukan untuk mengetahui apakah benar tipe kepemilikan bank berpengaruh terhadap perilaku bank terhadap perubahan kebijakan moneter sehingga diharapkan penelitian ini memiliki beberapa kontribusi bagi industri perbankan Indonesia terutama bagi otoritas moneter maupun masyarakat sebagai unit defisit. Peneliti juga melakukan observasi pada saat kondisi krisis global dan non krisis. Tujuannya adalah untuk dapat melihat seberapa besar pengaruh kebijakan moneter tersebut terhadap kebijakan kredit bank sesuai dengan tipe kepemilikannya pada kondisi krisis dan non krisis selama rentang waktu tahun 2006 hingga 2009. 2. Tinjauan Teoritis Keberadaan saluran kredit, secara umum, dan saluran pinjaman bank, khususnya, Analisis Pengaruh..., Karisma Maharani A, FE UI, 2013 memiliki implikasi penting terhadap dampaknya dalam transmisi kebijakan moneter. Merujuk pada paper yang ditulis oleh Morris (1995) - Bank Lending and Monetary Policy: Evidence on a Credit Channel, bahwa beberapa ekonom dan pembuat kebijakan berpendapat bahwa tambahan dari saluran kebijakan akan dapat bekerja melalui kredit bank. Dalam pandangan ini, kebijakan moneter secara langsung membatasi kemampuan bank untuk membuat pinjaman baru, membuat kredit kurang tersedia untuk peminjam yang tergantung pada pembiayaan perbankan. Dengan demikian, di jalur kredit, kebijakan moneter ketat bekerja tidak hanya dengan menaikkan suku bunga, tetapi juga dengan langsung membatasi kredit perbankan. Adanya saluran langsung dari kebijakan moneter untuk pinjaman bank memungkinkan untuk melaksanakan kebijakan moneter tanpa perubahan besar dalam tingkat suku bunga. Kebijakan moneter ketat akan menyebabkan bank untuk langsung mengurangi pasokan kredit, memaksa perusahaan untuk mengurangi pengeluaran mereka. Jika pinjaman bank memainkan peran sentral dalam mekanisme transmisi kebijakan moneter, perubahan dalam praktek pinjaman bank atau peran yang dimainkan bank dalam pasar keuangan dapat mengubah mekanisme transmisi dan memiliki implikasi kebijakan yang penting. Meningkatnya penggunaan komitmen juga memiliki implikasi untuk mekanisme transmisi. Jika saluran kredit itu memang ada, maka peningkatan penggunaan komitmen pinjaman mungkin cenderung untuk memperpanjang kebijakan moneter karena perusahaan dapat meminjam di bawah komitmen dan menunda dampak dari pengetatan kebijakan. Dampak dari mekanisme kebijakan moneter juga berpengaruh terhadap pasokan dana ke perusahaan – perusahaan yang meminta pendanaan atau kredit kepada bank. Z.Huang (2003), dengan observasi pada perusahaan dan kebijakan moneter di Inggris, menemukan bahwa pada kebijakan kontraksi (tight money) akan mengurangi persediaan pinjaman bank untuk perusahaan. Penurunan pinjaman bank menurunkan rasio utang bank perusahaan. Berdasarkan pandangan kredit, kekuatan dari kebijakan moneter bergantung sebagian besar pada kecenderungan bank untuk memberikan pinjaman. Morgan (1992) menyatakan bahwa kebijakan moneter uang ketat akan menyebabkan pinjaman bank cenderung lamban (menurun). Jika bank memperketat syarat modalnya, maka hal itu akan cenderung enggan untuk meningkatkan pinjaman. Keengganan bank tersebut akan berdampak terhadap lemahnya kebijakan moneter dari sisi saluran kredit. Penelitian Morris (1995) menghasilkan bahwa sejauh peminjam tertentu bergantung pada kredit perbankan dan pinjaman bank dibatasi oleh kebijakan moneter, kebijakan Analisis Pengaruh..., Karisma Maharani A, FE UI, 2013 restriktif dapat mempengaruhi perekonomian melalui jalur kredit perbankan. Perubahan struktural dalam peran yang dimainkan bank dalam sistem keuangan maka dapat mempengaruhi kebijakan moneter dengan mengubah jalur kredit. Saluran pinjaman bank menekankan bahwa modal bank merupakan sebagai batasan yang dapat memungkinkan kebijakan moneter kontraktif untuk sangat membatasi pertumbuhan kredit modal dari bank yang terbatas secara modal. Kishan dan Opiela (2006) menemukan bahwa kebijakan moneter memiliki dampak yang diharapkan pada pertumbuhan pinjaman dari bank dengan modal kecil. Hal ini berarti kebijakan moneter kontraktif mengurangi pinjaman dari bank-bank kecil dengan modal yang rendah relatif terhadap bank dengan modal yang tinggi, dan kebijakan moneter ekspansif tidak mampu meningkatkan pertumbuhan kredit dari bank dengan modal rendah relatif terhadap bank modal yang tinggi. Dalam beberapa tahun terakhir, perdebatan tentang keberadaan saluran kredit bank telah difokuskan pada dua jalur yang berbeda namun tetap berhubungan dengan penelitianpenelitian terkait sebelumnya. Salah satu pendekatan menguji apakah bank kredit berpengaruh terhadap peminjam (Jaffee, Keeton, Stiglitz dan Weiss). Hingga membuat adanya penjatahan kredit, hal ini mungkin dapat menyediakan saluran langsung untuk kebijakan moneter. Penelitian terbaru adalah terkait dengan pandangan pinjaman atau pandangan kredit yang telah menguji bagaimana ketidaksempurnaan pasar kredit mungkin tidak hanya membuat saluran kredit untuk kebijakan moneter, tetapi juga dapat membuat gangguan dalam ketersediaan sumber kredit yang berfluktuasi dalam aktivitas ekonomi (Bernanke dan Blinder 1988). Pendekatan ini menekankan bahwa perubahan dalam kebijakan moneter dapat bekerja dengan langsung untuk mempengaruhi pasokan pinjaman bank. Peran kepemilikan bank dalam transmisi kebijakan moneter yang melalui saluran kredit merupakan hal yang penting karena sektor bank umum memegang porsi yang signifikan dari aset perbankan dan portofolio pinjaman di ekonomi berkembang, dan juga banyak dari negara tersebut terbatas secara fiscal sehingga kebijakan moneter mungkin satusatunya instrumen yang tersedia dan memungkinkan bagi pembuat kebijakan untuk mendorong pertumbuhan. Reaksi bank pada perubahan kebijakan moneter ternyata menunjukkan perilaku yang berbeda tergantung pada kepemilikan dari bank tersebut. Pill (1997) berpendapat bahwa setelah adanya kenaikan pada tingkat suku bunga domestik, insentif bank untuk mendapatkan dana dari luar negeri untuk membiayai permintaan dari pinjaman domestik juga akan meningkat. Bank dengan akses sumber pendanaan asing yang lebih baik akan lebih menikmati keuntungan komparatif antar bank yang bergantung pada pembiayaan non deposit domestik. Sehingga, bank dengan kepemilikan asing cenderung Analisis Pengaruh..., Karisma Maharani A, FE UI, 2013 untuk mendapatkan pangsa pasar lebih besar dalam kredit. Ashcraft (2001) membahas mengenai pentingnya struktur kepemilikan terhadap kerja dari saluran pinjaman yang terkait pada data bank yang ada di Amerika Serikat. Ashcraft berpendapat bahwa afiliasi bank cenderung untuk berekasi lebih sensitive terhadap kenaikan suku bunga kebijakan moneter karena berdasarkan fakta bahwa keberadaan pasar modal internasional cenderung melemahkan pengaruh dari batasan finansial yang dihadapi oleh bank-bank subsidiary. De Bondt (1999) membagi sampel dari bank-bank Belanda menjadi bank dengan kepemilikan asing dan bank dengan kepemilikan domestik, dengan membangun hipotesis bahwa bank kepemilikan asing mungkin memiliki akses yang lebih baik kepada pasar modal internasional dan sumber dana asing lainnya daripada bank milik domestik yang lebih besar secara keseluruhan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kebijakan moneter kontraksi mungkin dipengaruhi oleh kemampuan bank internasional untuk meminjam dana dari luar negeri. Arena, Reinhart, dan Vazques (2006) memaparkan bukti yang cukup menarik dari hasil penelitian antar negara. Berdasarkan data set terdiri dari 1.565 bank di 20 negara Asia dan Amerika Latin selama periode 1989 – 2001 dan membandingkannya dengan volume pinjaman, deposit, dan tingkat suku bunga bank, untuk mengukur berbagai hal mengenai kondisi moneter. Mereka mencari perbedaan sistematis pada perilaku bank domestik dan bank asing. Dengan menggunakan perbedaan kepemilikan bank sebagai proksi untuk batasan finansial pada bank. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bank dengan kepemilikan asing memiliki sensitivitas lebih rendah terhadap kredit atas kondisi moneter relative terhadap likuiditas dan atau kapitalisasi bank. Dan juga, tingkat suku bunga dan deposit bank asing cenderung lebih stabil selama periode financial distress. Perbedaan dari bank asing dan bank domestik tidak terlalu terlihat kuat. Andries dan Billion (2010) membangun model teoritis dengan menggunakan perwakilan bank yang kepemilikannya dibagi antara sektor pemerintah dan sektor swasta. Mereka meneliti mengenai pengaruh tipe kepemilikan bank dan deposit insurance terhadap kebijakan moneter. Bank menghadapi resiko kegagalan dan menyediakan deposit insurance secara eksplisit bagi pihak umum maupun privat. Bank milik pemerintah lebih mampu untuk menetralkan kebijakan moneter yang bersifat membatasi karena kapasitas mereka untuk mendapatkan tambahan volume deposito. Oleh karena itu, semakin besar bagian negara (pemerintah) dalam kepemilikan bank, semakin sedikit dampak dari pengetatan moneter pada tingkat pasokan kredit. Analisis Pengaruh..., Karisma Maharani A, FE UI, 2013 Penelitian yang dilakukan oleh Wu, Luca, dan Neon (2007) menguji secara empiris mengenai perbandingan antara bank domestik dan bank asing terhadap eksistensi dari saluran pinjaman bank atas transmisi kebijakan moneter di pasar berkembang. Studi dilakukan pada lebih dari 1200 bank di negara berkembang di daerah Eropa Tengah dan Timur, Amerika Latin, dan Asia selama periode 1996 – 2003. Mereka menemukan bukti bahwa bank asing lebih tidak sensitive terhadap perubahan pada kebijakan moneter domestik, artinya, mereka menyesuaikan pinjaman mereka dan pertumbuhan deposito yang lebih rendah dari bank domestik lainnya. Semakin rendah sensitivitas bank asing terhadap perubahan kebijakan moneter dalam negeri adalah independen dari likuiditas, kapitalisasi, ukuran dan efisiensi, dan dapat dijelaskan oleh akses bank asing ke pasar modal internal perusahaan induk. Dukungan-dukungan dari hubungan antara tipe kepemilikan bank dengan respon atas kebijakan moneter juga tercipta dari beberapa penemuan dari peneliti lainnya seperti dari Cecchetti dan Krause (2001) yang menggarisbawahi adanya sebuah hubungan negative antara bank milik pemerintah dan efisiensi kebijakan moneter. Penelitian dari Micco dan Panizza (2006) dan Foos (2008) juga menunjukkan bahwa terdapat perilaku yang smoothing dari bank milik pemerintah terkait dengan pasokan pinjaman sehubungan dengan impuls kebijakan moneter. Bank berperilaku dalam kebijakan tingkat kredit juga dipengaruhi oleh beberapa karakteristik bank. Hal ini dikarenakan, karakteristik bank merupakan salah satu faktor internal yang akhirnya menjadi pertimbangan dari setiap individu bank untuk menentukan kebijakan kreditnya. Bhaummik et al. (2011) meyimpulkan dari beberapa penelitian terdahulu bahwa inisiatif bank dalam merespon sebuah kebijakan moneter adalah tergantung dari kualitas neraca bank tersebut dan komposisi asetnya juga turut dipertimbangkan. Beberapa karakteristik yang difokuskan dalam melihat hubungannya dengan tingkat kredit bank adalah permodalan (capitalization), likuiditas, profitabilitas, size (Bhaummik et al., 2011; Kishan dan Opiela, 2000; Gambacorta, 2005; Kishan dan Opiela, 2006; Stein, 1998; Kashyap dan Stein, 2000). Pentingnya melihat beberapa faktor tersebut adalah karena sebagai contoh bank dengan kualitas neraca yang baik tentunya akan menunjukkan kondisi kesehatan bank pula dan juga kondisi level bank dari sisi aset. Dengan kondisi tersebut, akhirnya akan mampu berdampak pada perilaku bank dalam merespon kebijakan moneter. Kishan dan Opiela (2000) menyatakan bahwa permodalan bank menjadi faktor yang sangat penting karena sebagai contoh jika bank dengan modal yang tergolong kecil (undercapitalized) akan lebih terpengruh oleh kebijakan moneter. Selain itu pula, Gambacorta Analisis Pengaruh..., Karisma Maharani A, FE UI, 2013 (2005) juga menemukan pada observasi bank-bank di Italia bahwa bank yang cenderung undercapitalized berdampak negative pada kebijakan moneter kontraksi. Bank yang terdaftar pada bursa efek di suatu negara juga menunjukkan pengaruh terhadap bank tersebut dalam tingkat kreditnya. Bhaumik dan Piesse (2008) membuktikan bahwa perilaku bank dalam menentukan tingkat kreditnya juga dipengaruhi oleh apakan bank tersebut terdaftar pada bursa efek di suatu negara (go public). Pada dasarnya, pertumbuhan kredit bank juga dipengaruhi oleh pengaruh dari eksternal yang menggambarkan kondisi permintaan kredit di pasar uang. Hal ini yang akhirnya menjadi alasan mengapa bank disebut sebagai intermediary antara unit surplus dan unit deficit (Bhaumik et al., 2011). Bhaumik juga berpendapat bahwa pertumbuhan industri memiliki dampak besar pada permintaan dana yang akhirnya berpengaruh pada perilaku bank. Bhaumik dan Piesse (2008) menungkapkan bahwa tingkat kredit suatu bank didukung oleh pertumbuhan industri dari suatu negara yang dimana tingkat industri menunjukkan seberapa besar pasar membutuhkan pendanaan. 3. Metodologi Penelitian Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah 102 bank umum konvensional di Indonesia untuk tahun 2006-2009, sementara metode yang digunakan adalah Pooled Least Square Model yang dilakukan implementasi Generalized Least Square untuk mengatasi permasalahan pada asumsi BLUE dan juga Random Effect Model. Penelitian ini akan mengadopsi model yang digunakan oleh S.K Bhaumik et al. (2012) yang menggunakan variabel tingkat kredit bank sebagai variabel dependen, tipe kepemilikan bank yang terdiri dari persero, swasta domestik, asing, dan BPD sebagai variabel independen, serta kapitalisasi, likuiditas, profitabilitas, ukuran bank, listing, dan pertumbuhan industri sebagai variabelvariabel kontrol. Selain itu, penelitian ini juga akan menguji pengaruh dari krisis financial 2008 terhadap hubungan antara tipe kepemilikan dan tingkat kredit bank. Tabel 1. Ringkasan Operasionalisasi Variabel Penelitian No 1 Variabel LD Ket. Dependen Pengukuran Loan to deposit ratio (LDR). Sumber data Laporan keuangan, Bank Indonesia Independen Perubahaan tingkat suku bunga. Bank Indonesia [Ehrman et al. (2001);Gambacorta dan Mistrulli (2004)] 2 ΔBIR [Ehrman et al. (2001);Gambacorta dan Analisis Pengaruh..., Karisma Maharani A, FE UI, 2013 Mistrulli (2004)] 3 Δ CAP Kontrol 4 [Ehrman et al. (2001);Gambacorta dan Mistrulli (2004)] Δ LIQ [Ehrman et al. (2001);Gambacorta dan Mistrulli (2004)] Kontrol 5 PROFIT [Ehrman et al. (2001);Gambacorta dan Mistrulli (2004)] Kontrol 6 OWN [S.K. Bhaumik et al. (2011)] Independen 6 SIZE [Kishan dan Opiela (2000) dan Gambacorta (2004)] Kontrol 7 IND [S.K. Bhaumik et al. (2011)] Kontrol 9 LISTING [Gamba- corta (2005); Van den Heuvel (2002)] Kontrol Perubahan pada kapitalisasi setiap bank yang diukur dari jumlah modal ditambah dengan jumlah cadangan. Perubahan pada likuiditas setiap bank yang diukur dari jumlah kas, surat berharga yang dipegang, dan juga giro dari BI dan bank lain. Diukur dengan menggunakan ROA. Laporan keuangan, Bank Indonesia Variabel dummy atas kepemilikan bank dimana: o Persero o Asing o BPD Bank swasta dijadikan base. Menggambarkan ukuran perusahaan yang diukur dari ln(total aset). Laporan keuangan, Bank Indonesia Laporan keuangan, Bank Indonesia Laporan keuangan, Bank Indonesia Laporan keuangan, Bank Indonesia Variabel makro yang Yahoo Finance digunakan untuk mengukur dampak terhadap perilaku bank atas permintaan kredit dilihat dengan menggunakan proksi IND. Variabel dummy untuk Bursa Efek menunjukkan apakah Indonesia bank tersebut terdaftar di BEI atau tidak, dimana 1 = bank yang terdaftar di BEI, dan 0 = sebaliknya. 3.1 Model Penelitian Model 1 Model dibawah ini adalah untuk melihat pengaruh dari tipe kepemilikan bank terhadap tingkat kredit bank yang dibagi pada kondisi krisis dan non krisis. Analisis Pengaruh..., Karisma Maharani A, FE UI, 2013 LDRit = Σjβj(OWNjit) + γ1BIRt + γ2ΔCAPi,t + γ3ΔLIQi,t + γ4PROFITi,t + γ5LISTINGi,t + γ6SIZEi,t + γ7LISTINGi,t + γ8INDi,t + μi + εit (3.1) Model 2 Model kedua adalah untuk menginvestigasi bagaimana perilaku dari masing-masing tipe kepemilikan ketika otoritas moneter meningkatkan tingkat suku bunga pada saat krisis dan non krisis. LDRit = Σjβj(UPt x OWNjit) + γ1ΔCAPi,t + γ2ΔLIQi,t + γ3PROFITi,t + γ4SIZEi,t + γ5LISTINGi,t + γ6INDi,t + μi + εit (3.2) Model 3 Model ketiga adalah untuk menginvestigasi bagaimana perilaku dari masing-masing tipe kepemilikan ketika otoritas moneter melakukan penurunan tingkat suku bunga pada saat krisis dan non krisis. LDRit = Σjβj(DOWNt x OWNjit) + γ1ΔCAPi,t + γ2ΔLIQi,t + γ3PROFITi,t + γ4SIZEi,t + γ5LISTINGi,t + γ6INDi,t + μi + εit (3.3) 4. Hasil Penelitian dan Pembahasan Tabel 2. Hasil Regresi Model 1 ALL SAMPLE (GLS) KRISIS (GLS) NON KRISIS (REM) 2007:3 – 2009:1 Variabel Koef Prob Koef Prob Koef Prob C BIR 91.200 0.2080 0.0000 0.3517 129.6664 0.860201 0.0000 0.0000* 50.27885 -30.72158 0.0027 0.7107 PERSERO ASING -5.9698 2.2314 0.0008* 0.0397** -2.028557 3.024785 0.2669 0.0229** -11.13925 -5.165257 0.3265 0.078*** BPD DCAP -30.760 3.6700 0.0000* 0.0804*** -30.23447 16.72788 0.0000* 0.0077* -35.49307 -5.567599 0.0000* 0.0471** DLIQ ROA -5.3160 2.5134 0.0016* 0.0000* -13.49986 2.362092 0.0004* 0.0000* -4.896616 2.756177 0.0072* 0.0000* SIZE -1.1528 0.0004* -2.515969 0.0000* 0.487863 0.6953 LISTING -2.3312 0.0514*** -0.412142 0.7923 -5.433900 0.2024 IND R- square Prob > chi 0.002089 0.0081* 0.363645 0.000000 -0.005658 0.0000* 0.531190 0.000000 Analisis Pengaruh..., Karisma Maharani A, FE UI, 2013 0.011478 0.0000* 0.117803 0.000000 *(1%), **(5%), ***(10%) Dalam tabel 4.9, hasil regresi dari Model 1 menghasilkan nilai koefisien dari variabel BIR pada kondisi KRISIS serta NON KRISIS sebesar 0.860201 dan -30.72158, dengan nilai p-value masing-masing sebesar 0.0000 dan 0.70027. Hal ini menunjukkan bahwa perubahan tingkat bunga BI secara signifikan berpengaruh positif pada tingkat kredit bank pada masa krisis dengan tingkat signifikansi α (1%) dan tidak signifikan dalam masa non krisis. Pengaruh signifikan dari perubahan pada kebijakan moneter terhadap tingkat pinjaman bank pada dasarnya sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Gambacorta dan Mistrulli (2004), namun berbeda pada arah hubungannya. Gambacorta dan Mistrulli menemukan bahwa terdapat hubungan negative antara kenaikan tingkat suku bunga terhadap pinjaman bank, sementara pada penelitian ini menghasilkan hal yang berbeda. Kondisi perkembangan pada tingkat kredit bank menunjukkan kesepahaman dengan hasil penelitian penulis. Dimana menurut data dari Laporan Perekonomian Indonesia Tahun 2009 bahwa pada saat krisis yaitu rentang antara pertengahan tahun 2007 hingga awal tahun 2009 dimana terjadi peningkatan pada pertumbuhan pinjaman bank meskipun pada saat krisis. Hal ini besar kemungkinan karena didukung oleh pertumbuhan sektor perbankan Indonesia selama beberapa tahun terakhir yang cenderung meningkat, sehingga krisis global yang terjadi kemarin tidak lantas mempengaruhi negative terhadap kinerja bank-bank di Indonesia. Sektor perbankan Indonesia yang cenderung meningkat tersebut yang akhirnya membuat bank tidak lantas menurunkan tingkat kreditnya selama krisis global. Bank cenderung menurunkan suku bunga kreditnya sehingga mampu merangsang pertumbuhan permintaan pasar akan kredit. Disisi lain juga pada dasarnya selama tahun tersebut tingkat GDP Indonesia juga meningkat meskipun tidak signifikan. Disisi lain, sektor perbankan di Indonesia sudah banyak belajar dari kondisi krisis moneter pada tahun 1998, sehingga perbankan Indonesia cenderung telah beradaptasi dengan kondisi krisis1. Goeltom (2008) menambahkan bahwa kondisi krisis global tidak cenderung melemahkan kinerja bank-bank di Indonesia. Pada saat krisis dan non krisis, kebijakan dan perilaku kredit Bank yang dimiliki pemerintah tidak terpengaruh dibandingkan dengan bank swasta. Hal ini dibuktikan dengan nilai p-value untuk kondisi krisis maupun non krisis sebesar 0.2669 dan 0.3265 . Hal tersebut dikarenakan pada dasarnya bank persero cenderung mengeluarkan kreditnya untuk hal-hal 1 Respon Kebijakan Moneter di Tengah Krisis Global, Laporan Perekonomian Indonesia 2009 Analisis Pengaruh..., Karisma Maharani A, FE UI, 2013 yang sifatnya kebutuhan pendanaan pada proyek pemerintah, sehingga pengeluaran kredit bank persero cenderug tidak terpengaruh oleh kondisi krisis maupun non krisis. Bank dengan kepemilikan asing memiliki perilaku yang berbeda dimana saat krisis maupun non krisis mempengaruhi tingkat kredit yang dimilikinya. Hal tersebut dibuktikan dengan nilai p-value untuk kondisi krisis dan non krisis sebesar 0.0229 dan 0.0780 dengan tingkat signifikansi α (5%) dan (10%). Dimana bank dengan kepemilikan asing akan cenderung untuk bereaksi dengan menurunkan kreditnya pada kondisi normal dan meningkatkan kreditnya pada kondisi krisis dibandingkan dengan bank swasta. Dimana dilihat dari nilai koefisien bank asing sebesar 3.024782 saat krisis dan -5.165257 saat non krisis . Hal ini menunjukkan kesesuaian dengan penelitian Agung dan Bambang (2002) bahwa melihat pada kondisi perekonomian pada saat terjadi krisis moneter tahun 1998 berdampak cukup besar hingga setelah terjadinya krisis awal tahun 2000, dimana perbankan masih rentan terhadap ketidak pastian sehingga pada kondisi normal cenderung menurunkan kreditnya. Perilaku berbeda juga ditunjukkan oleh bank yang dimiliki pemerintah daerah (BPD) pada saat krisis maupun non krisis. Hal ini dibuktikan dengan nilai p-value sebesar 0.0000 dan 0.0000 dengan tingkat signifikansi α (1%) . Nilai koefisien BPD pada saat kondisi krisis dan non krisis sebesar -30.23447 dan -35.49307 menunjukkan bahwa BPD mempengaruhi kebijakan bank dalam tingkat kreditnya dan hasil statistic menunjukkan bahwa pada kondisi normal BPD cenderung lebih besar dalam menurunkan kreditnya. Hal tersebut dikarenakan pangsa pasar dari BPD cenderung lebih kecil, sehingga akan cenderung membatasi tingkat kredit yang diberikan pada saat kondisi industri perbankan yang kurang baik. Kembali melihat kondisi pertumbuhan sektor perbankan Indonesia bahwa pada saat normal, kondisi sektor perbankan cenderung menurun dan sebaliknya terjadi pada kondisi krisis. Hal tersebut yang akhirnya memicu BPD meningkatkan kreditnya pada saat krisis dibandingkan pada saat normal. Pada dasarnya, pengaruh dari perilaku bank dalam kebijakan penyaluran kreditnya juga dipengaruh oleh faktor internal dan eksternal. Dalam hal ini, penulis melihat karakteristik bank untuk melihat pengaruh internal bank itu sendiri terhadap tingkat penyaluran kredit yang dilihat dari sisi permodalan bank, likuiditas, profitabilitas, ukuran bank, dan peran bank di pasar yang dilihat dari sisi bank tersebut sudah go public atau belum. Disisi lain juga penulis melihat faktor eksternal yang dimana dilihat dari pertumbuhan industri yang dilihat dari Indeks Harga Saham Gabungan (IND). Dimana menurut hasil penelitian, pada kondisi krisis, seluruh faktor tersebut Analisis Pengaruh..., Karisma Maharani A, FE UI, 2013 berpengaruh terhadap tingkat kredit bank di Indonesia, baik dari faktor internal maupun eksternal (Bhaumik et al, 2011; Gambacorta dan Mistrulli, 2004; Ehrman et al., 2001; Gamba- corta, 2005; Van den Heuvel, 2002). Pada kondisi non krisis, menunjukkan bahwa ukuran bank (size) dan bank listing tidak mempengaruhi kebijakan bank dalam menyalurkan kredit. Hal ini dikarenakan, pada kondisi non krisis keputusan bank akan lebih cenderung pada kondisi pasar pada umumnya dan juga internal perusahaan yang dilihat dari sisi kapitalisasi, likuiditas, dan profitabilitas. Sementara, pada kondisi krisis, hampir seluruh faktor internal maupun eksternal berpengaruh terhadap tingkat kredit bank, terkecuali listing. Hal ini dikarenakan, pada kondisi krisis, tentunya, secara natural, masing-masing individu bank akan cenderung lebih mempertimbangkan banyak hal dalam menentukan sebuah keputusan. Termasuk juga dari faktor eksternal yang tentunya akan berpengaruh terhadap supply pendanaan bank yang dilihat pada pertumbuhan industri yang nantinya digunakan untuk disalurkan pada kredit. Tabel 3. Hasil Regresi Model 2 ALL SAMPLE (GLS) KRISIS (GLS) NON KRISIS 2007:3 – 2009:1 (REM) Variabel Koef Prob Koef Prob Koef Prob C UPxPERSERO UPxASING -19.22423 3.188997 5.665593 0.2018 0.0237** 0.0000* -2.781219 4.500878 8.888383 0.9355 0.3901 0.0000* 78.109 -4.70434 0.52600 0.0000 0.5880 0.8891 UPxBPD DCAP 7.640592 2.387910 0.0000* 0.0421** 9.286701 13.76846 0.0000* 0.0062* -9.1719 -8.9367 0.0204** 0.0073* DLIQ ROA -4.650462 0.560547 0.0000* 0.0306** -8.209925 1.335433 0.0218** 0.0143** -4.6857 2.0601 0.0105** 0.0002* SIZE 5.974273 0.0000* 5.424804 0.0159** -2.2140 0.0483** LISTING -1.778649 0.4563 -7.111497 0.3258 5.3159 0.1684 0.001859 0.0001* 0.839466 0.000000 -0.002031 0.0650*** 0.0118 0.0000* IND R- square Prob > chi 0.734214 0.081090 0.000000 0.000000 *(1%), **(5%), ***(10%) Dalam Tabel 4.10, hasil regresi dengan metode GLS dari Model 2 untuk semua sampel menghasilkan nilai koefisien dari variabel UPxPERSERO, UPxASING, dan UPxBPD masing-masing sebesar 3.188997, 5.665593, 7.640592 dan nilai p-value masing-masing sebesar 0.0237, 0.0000, 0.0000. Hal ini menunjukkan bahwa ketika terjadi kenaikan tingkat Analisis Pengaruh..., Karisma Maharani A, FE UI, 2013 suku bunga, maka secara signifikan mempengaruhi perilaku bank persero, bank swasta, dan bank BPD cenderung tidak menurunkan tingkat kreditnya dibandingkan dengan bank swasta (dengan α sebesar 1%). Dengan membandingkan hasil pada kondisi krisis dan non krisis, dimana kondisi krisis didefinisikan yaitu pada periode 2007 kuartal 3 hingga 2009 kuartal 1, menunjukkan bahwa pada kedua kondisi perekonomian tersebut perilaku kredit bank persero tidak dipengaruhi oleh kenaikan tingkat suku bunga dibandingkan dengan bank swasta, dan juga tidak mempengaruhi perilaku bank asing pada kondisi non krisis. Namun, hal berbeda terjadi pada bank dengan kepemilikan asing dan BPD dimana kenaikan tingkat suku bunga mempengaruhi secara signifikan terhadap perilaku bank dalam tingkat kreditnya dibandingkan dengan bank swasta pada kondisi krisis (dengan α sebesar 1% dan 5%). Hal menarik terjadi pada fenomena perilaku bank asing dan BPD dimana pada kondisi krisis kedua bank tersebut justru meningkatkan tingkat kreditnya, namun pada kondisi normal BPD cenderung lebih besar dalam menurunkan tingkat kreditnya dan bank asing tidak terpengaruh. Bhaumik et al. (2011), Hadad (1998), dan Andries dan Billion (2010) bahwa pengaruh dari peningkatan tingkat suku bunga sebagai cerminan dari stance kebijakan moneter lebih lemah dalam mempengaruhi bank persero dalam perilaku pada kebijakan kreditnya. Andries menambahkan bahwa bank milik pemerintah lebih mampu untuk menetralkan kebijakan moneter yang bersifat membatasi karena kapasitas mereka untuk mendapatkan tambahan volume deposito. Dasar logikanya adalah dimana pemerintah cenderung memiliki dana yang cukup besar, dan tentunya dana tersebut akan disimpan di bank-bank persero. Disisi lain, motivasinya tidak sensitif terhadap kebijakan moneter adalah dikarenakan bank persero akan juga akan banyak mengeluarkan kreditnya untuk membiayai proyek-proyek pemerintah. Berdasarkan penelitian dari Wu, Luca, dan Jeon (2007) bahwa bank asing memiliki sensitifitas yang kecil terhadap perubahan tingkat suku bunga domestik dibandingkan dengan bank asing domestik. Ketika terjadi peningkatan tingkat suku bunga, terdapat pengaruh lebih rendah terhadap bank asing dalam menurunkan tingkat kreditnya. Sensitifitas yang rendah ini ditemukan baik dalam rentang jangka pendek maupun jangka panjang. Huang dan Philadelphia (2008) bahwa pada dasarnya pasar dari bank lokal dimana dalam hal ini adalah BPD lebih cenderung memiliki pasar yang lebih kecil. Hal tersebut tentunya akan berpengaruh terhadap vulnerability bank terhadap pengaruh-pengaruh dari eksternal, khususnya dalam hal ini adalah makroekonomi. Sehingga, ketika terdapat monetary shock maka akan berkemungkinan besar untuk mempengaruhi tingkat kredit bank tersebut. Ashcraft (2006) menyatakan bahwa selama kebijakan moneter uang ketat, bank lokal (BPD) merespon Analisis Pengaruh..., Karisma Maharani A, FE UI, 2013 lebih kuat dibandingkan dengan bank swasta dan bank lainnya, setelah dkontrol oleh size, likuiditas, capital, dan permintaan kredit. Variabel DCAP memiliki nilai koefisien sebesar 2.387910 dan nilai p-value sebesar 0.0421. Hal ini menunjukkan bahwa karakteristik bank yang dilihat dari kapitalisasi berpengaruh positif terhadap pengeluaran kredit bank dengan tingkat signifikansi α (5%). Penemuan penulis pada dasarnya sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Gambacorta (2004) bahwa bank dengan kapitalisasi yang baik akan cenderung lebih baik untuk melindungi tingkat kredit mereka dari monetary shocks karena mereka memiliki akses yang lebih mudah terhadap pendapatan dana non depostio. Pengaruh dari modal bank lebih tinggi pada bank yang bergantung pada dana eksternal yang tidak diasuransikan (unisuranced external fund). Variabel DLIQ memiliki nilai koefisien sebesar -4.650462 dan nilai p-value sebesar 0.0000. Hal ini menunjukkan bahwa karakteristik bank yang dilihat dari likuiditas berpengaruh negative dengan signifikan terhadap tingkat kredit bank, dengan tingkat signifikansi α (1%). Interpretasinya adalah ketika terjadi kenaikan pada aset likuid bank maka akan menurunkan LDR sebesar 4.650462. Hasil dari penulis sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Kasyhan dan Stein (2000) dimana bank mampu meningkatkan atau menjaga pertumbuhan kredit dengan menurunkan tingkat liquid aset. Bank yang likuid juga menunjukkan bahwa bank tersebut memiliki pertumbuhan deposito yang lambat. Hal ini karena bank akan cenderung tidak terinsentif untuk mengumpulkan deposito ketika bank mengalokasikan aset yang relative lebih sedikit untuk pinjaman. Variabel ROA memiliki nilai koefisien sebesar 0.560547 dan nilai p-value sebesar 0.0306. Hal ini menunjukkan bahwa karakteristik bank yang dilihat dari profitabilitas berpengaruh positif secara signifikan terhadap tingkat kredit bank, dengan tingkat signifikansi sebesar α (5%). Interpretasinya adalah ketika terdapat kenaikan pada ROA maka akan terjadi peningkatan LDR sebesar 0.560547. ROA merepresentasikan tingkat supply side dari pinjaman bank. Sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Kwan (2011) bahwa ROA yang tinggi dapat berimplikasi pada peningkatan retained earnings, sehingga mampu memberikan tambahan modal untuk mendukung pembiayaan pada pinjaman bank. Variabel SIZE memiliki nilai koefisien sebesar 5.974273 dan p-value sebesar 0.0000. Hal ini menunjukkan bahwa karakteristik bank yang dilihat dari ukuran bank berpengaruh positif secara signifikan terhadap tingkat kredit bank, dengan tingkat signifikansi sebesar α (1%). Interpretasinya adalah ketika terdapat kenaikan pada SIZE maka akan terjadi Analisis Pengaruh..., Karisma Maharani A, FE UI, 2013 peningkatan pada LDR sebesar 5.974273. Pada dasarnya pengaruh ukuran bank memang cenderung mempengaruhi keputusan bank pada kebijakan pengeluaran kreditnya. Seiring dengan penelitian yang dilakukan oleh Kishan dan Opiela (2000) menemukan bahwa dampak dari respon bank terhadap monetary shock yang dilihat dari tingkan kredit bergantung pada ukuran kapitalisasi dan aset bank. Dimana bank-bank kecil lebih responsif terhadap monetary shocks karena bank kecil tersebut tidak mampu untuk mendapatkan alternatif pembiayaan terutama pada saat kebijakan moneter kontraksi. Variabel LISTING memiliki nilai koefisien sebesar -1.778649 dan p-value sebesar 0.4563. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun bank sudah melakukan IPO dan terdaftar pada BEI (listing), lantas tidak mempengaruhi kebijakan bank dalam hal tingkat kredit. Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Bhaumik et al. (2011). Hal ini mungkin dikarenakan pada konteks sektor perbankan di Indonesia yang dimana sesuai dengan aturan Bank Indonesia (BI) yang mengharuskan perbankan menambah modalnya serta membutuhkan dana tambahan untuk ekspansi usaha melalui IPO. Sehingga, bank yang sudah terdaftar pada BEI tidak menjadi penentu bank-bank tersebut dalam kebijakan tingkat kreditnya. Variabel IND memiliki nilai koefisien sebesar 0.001859 dan p-value sebesar 0.0001. Hal ini menunjukkan bahwa pertumbuhan industri yang dilihari dari pertumbuhan IND memiliki pengaruh positif secara signifikan terhadap tingkat kredit bank, dengan tingkat signifikansi sebesar α (5%). Interpretasinya adalah ketika terdapat kenaikan pada IND maka akan meningkatkan LDR sebesar 0.001859. Hasil dari penelitian penulis sejalan dengan hasil Bhaumik et al. (2011) bahwa pertumbuhan industri menunjukkan pengaruhnya terhadap tingkat pinjaman bank. Benang merah dari dasar logika ini adalah dengan melihat sisi permintaan pinjaman dari bank sektor perbankan (Bhaumik dan Piesse, 2008). Ketika terdapat peningkatan pada pertumbuhan industri, tentunya kebutuhan pembiayaan pada pasar uang akan cukup tinggi dair unit defisit. Dengan adanya peningkatan permintaan tersebut, bank merespon dengan peningkatan pada tingkat pinjaman yang diberikan. Tabel 5. Hasil Regresi Model 3 ALL SAMPLE (GLS) KRISIS (GLS) NON KRISIS 2007:3 – 2009:1 (REM) Variabel Koef Prob Koef Prob C DOWNxPER -29.76781 -3.256194 0.0419 0.0236** 193.9501 0.0007 69.50 0.0000 -5.309719 0.3382 -0.3701 0.9589 Analisis Pengaruh..., Karisma Maharani A, FE UI, 2013 Koef Prob DOWNxASING -6.693650 0.0000* -8.067272 0.0001* -2.939 0.2277 DOWNxBPD DCAP -7.707746 2.312965 0.0000* 0.0497** -9.496750 7.852965 0.0000* 0.1751 -7.19 -2.744 0.0323** 0.3861 DLIQ ROA -4.662275 0.576970 0.0000* 0.0257** -10.74068 0.963233 0.0132* 0.1502 -5.114 2.0819 0.0051* 0.0001* SIZE 6.898707 0.0000* -6.805444 0.0647*** -1.482 0.2091 LISTING -0.448718 0.8408 0.029428 0.9976 3.040 0.4508 0.001832 0.0001* 0.841749 0.000000 -0.005082 0.0000* 0.012 0.0000* IND R- square Prob > chi 0.792387 0.081090 0.000000 0.000000 *(1%), **(5%), ***(10%) Dalam Tabel 4.11, hasil regresi dengan metodel GLS dari Model 2 menghasilkan nilai koefisien dari variabel DOWNxPERSERO, DOWNxASING, dan DOWNxSWASTA masingmasing sebesar -3.256194, -6.693650, -7.707746 dan nilai p-value masing-masing sebesar 0.0236, 0.0000, 0.0000. Hal ini menunjukkan bahwa perilaku bank persero, bank asing, dan BPD pada saat terjadi penurunan tingkat suku bunga berpengaruh negatif terhadap tingkat pinjaman bank dengan tingkat signifikansi α (1%) dan (5%). Interpretasinya adalah ketika terjadi penurunan tingkat suku bunga, maka LDR pada bank persero, bank asing, dan BPD masing-masing akan meningkat sebesar 3.256194, 6.693650, 7.707746. Pada kondisi krisis dan non krisis, hal serupa juga terjadi sama dengan pada saat otoritas moneter meningkatkan tingkat suku bunga. Bank persero cenderung tidak terpengaruh dibandingkan bank swasta pada kondisi krisis maupun normal. Sementara, bank asing pada kondisi krisis berpengaruh negative dan pada saat normal tidak terpengaruh dibandingkan dengan bank swasta, dan pada BPD penurunan suku bunga mempengaruhi kebijakan tingkat hutangnya pada kedua kondisi perekonomian dan pada saat krisis BPD cenderung lebih besar dalam meningkatkan kreditnya dibandingkan dengan bank swasta. Implikasi yang sama pada masa peningkatan suku bunga terjadi pada masa penurunan suku bunga juga, yaitu bahwa bank persero akan cenderung lebih tidak sensitive pada monetary shock. Hal tersebut mendukung penelitian yang dilakukan oleh Bhaummik et al. (2011) bahwa pada saat terjadi penurunan tingkat suku bunga, maka akan meningkatkan tingkat pinjaman bank. Namun, peningkatan tingkat kredit pada bank persero cenderung lebih rendah dibandingkan dengan bank swasta. Disisi lain, bank pembangunan daerah menunjukkan nilai yang lebih tinggi dalam meningkatkan pinjamannya. Hal ini dikarenakan pada dasarnya Bank Indonesia menggunakan kebijakan moneter ekspansif melalui penurunan Analisis Pengaruh..., Karisma Maharani A, FE UI, 2013 suku bunga untuk mendorong aktifitas ekonomi, sehingga peran dari bank persero diharapkan mampu merangsang rumah tangga untuk meningkatkan permintaan kreditnya. Faktor internal dan eksternal bank juga memiliki pengaruh yang sama terhadap tingkat pinjaman bank pada saat terjadi penurunan tingkat suku bunga dibandingkan dengan saat kenaikan pada tingkat suku bunga. Dimana faktor-faktor internal tersebut meliputi karakteristik bank (permodalan, likuiditas, profitabilitas, size, dan listing) dan faktor eksternal bank yang meliputi pertumbuhan industri (IND). Pada kondisi penurunan tingkat suku bunga, dimana seluruh karakteristik yang mencakup kapitalisasi, likuiditas, profitabilitas, ukuran bank turut mempengaruhi kebijakan bank dalam mengeluarkan kredit, namun terkecuali listing yang cenderung tidak mempengaruhi. Hubungan dari pengaruhnya tersebut juga sejalan pada saat peningkatan tingkat suku bunga, dimana peningkatan pada DCAP mampu meningkatkan penyaluran kredit bank sebesar 2.312965, begitu juga pada ROA dan SIZE yang berpengaruh positif terhadap penyaluran kredit bank pada masa ekspansif yang masing-masing sebesar 0.576970 dan 6.898707. Sejalan dengan Kasyhan dan Stein (2000) bahwa hubungan pengaruh negative terjadi antara DLIQ dengan pengeluaran kredit bank dimana sebesar 4.662275. Sementara dari faktor eksternal, pertumbuhan industri yang diukur melalui pertumbuhan IND juga turut memberikan hubungn positif. Hal ini juga yang akhirnya semakin mendorong bank-bank di Indonesia untuk menyalurkan kredit pada saat otoritas moneter menurunkan tingkat suku bunga. 5. Kesimpulan Sektor perbankan Indonesia yang cenderung sehat (Laporan Perekonomian Indonesia Tahun 2009) memberikan dampak pada tingkat bunga BI yang secara signifikan berpengaruh positif pada tingkat kredit bank pada masa krisis dan tidak signifikan pada masa non krisis. Hal ini besar kemungkinan karena didukung oleh pertumbuhan sektor perbankan Indonesia selama beberapa tahun terakhir yang cenderung meningkat, sehingga krisis global yang terjadi kemarin tidak lantas mempengaruhi negative terhadap kinerja bank-bank di Indonesia. Tingkat pertumbuhan kredit pada bank persero tidak signifikan terpengaruh pada kondisi krisis maupun non krisis. Hal tersebut dikarenakan pada dasarnya bank persero cenderung mengeluarkan kreditnya untuk hal-hal yang sifatnya kebutuhan pendanaan pada proyek pemerintah, sehingga pengeluaran kredit bank persero cenderug tidak terpengaruh oleh kondisi krisis maupun non krisis. Bank dengan kepemilikan asing akan cenderung untuk Analisis Pengaruh..., Karisma Maharani A, FE UI, 2013 bereaksi dengan menurunkan kreditnya pada kondisi normal dan meningkatkan kreditnya pada kondisi krisis karena kondisi setelah krisis yang menurunkan kepercayaadirian kepemilikan asing untuk meningkatkan kredit pada kondisi normal. Pada kondisi krisis BPD cenderung lebih rendah dalam menurunkan kreditnya dibandingkan bank swasta dan pada kondisi non krisis BPD juga cenderung lebih tinggi dalam menurunkan kreditnya relative dibandingkan dengan bank swasta. Hal tersebut dikarenakan pangsa pasar dari BPD cenderung lebih kecil, sehingga akan cenderung membatasi tingkat kredit yang diberikan setelah terjadinya krisis. Ketika otoritas moneter meningkatkan tingkat suku bunga, berpengaruh lebih rendah terhadap bank asing dalam menurunkan tingkat kreditnya. Sensitifitas yang rendah ini ditemukan baik dalam rentang jangka pendek maupun jangka panjang. Pada masa krisis bank asing cenderung meningkatkan suku bunga dan tidak terpengaruh pada saat normal. Sementara bank persero tidak terpengaruh terhadap tingkat kreditnya baik pada saat krisis maupun normal. Keunikan juga terjadi pada BPD dimana pada saat krisis justru meningkatkan kredit dan menurunkan kredit pada saat normal. Implikasi yang sama terjadi pada saat penurunan suku bunga, yaitu bank persero akan cenderung lebih tidak sensitive pada monetary shock dan juga fenomena yang sama juga terjadi pada bank asing dan BPD baik pada kondisi krisis maupun normal. Faktor internal dan eksternal bank juga memiliki pengaruh yang sama terhadap tingkat pinjaman bank pada kondisi kebijakan moneter ekspansif dibandingkan dengan kondisi kebijakan moneter kontraktif. Dimana faktor-faktor internal tersebut meliputi karakteristik bank (permodalan, likuiditas, profitabilitas, size, dan listing) dan faktor eksternal bank yang meliputi pertumbuhan industri (IND). Pada kenaikan dan penurunan BI Rate, pengaruh dari faktor internal yang meliputi permodalan, likuiditas, profitabilitas, dan size cenderung signifikan terhadap tingkat kredit pada setiap tipe kepemilikan bank pada dua rezim tersebut. Sementara tidak berpengaruh signifikan dari faktor internal listing. Dari faktor eksternal yang meliputi pertumbuhan industri, menunjukkan pengaruh yang signifikan terhadap tingkat kredit bank karena mempengaruhi dari sisi permintaan pasar. 6. Saran Untuk penelitian selanjutnya, dapat melakukan penelitian pada periode yang lebih panjang dengan data bulanan agar dapat menangkap fenomena sesuai dengan kondisi sesungguhnya. Selain itu juga, penelitian selanjutnya sebaiknya menggunakan proksi lain Analisis Pengaruh..., Karisma Maharani A, FE UI, 2013 dalam menentukan implementasi kebijakan moneternya, seperti dengan menggunakan saluran uang. Pada penelitian selanjutnya juga dapat membedakan antara pinjaman bank jangka pendek dan jangka panjang. Sehingga, mampu memperlihatkan perilaku bank dalam mengeluarkan kredit yang tidak terlalu beresiko dan lebih beresiko pada kondisi kebijakan moneter yang berbeda. Investor sebaiknya melihat kondisi makro pada perekonomian. Hal tersebut dikarenakan pada kondisi kebijakan moneter ekspansif, bank akan cenderung lebih meningkatkan pengeluaran kreditnya, sehingga hal itu dapat menjadi peluang bagi investor untuk mendapatkan pembiayaan proyek dari kucuran dana kredit bank. Sementara, pada kondisi kebijakan moneter kontraksi, bank di Indonesia juga tidak terlalu sensitive terhadap kebijakan tersebut. Karena kondisi mikro dari industri bank cenderung sedang baik. Sehingga, pada dasarnya, hal tersebut juga dapat menjadi peluang bagi investor untuk mengajukan permintaan pinjaman bank. Otoritas moneter sebaiknya mempertimbangkan tipe kepemilikan pada setiap bank untuk mencapai implementasi dari kebijakan moneter yang optimal. Dimana pada dasarnya, setiap tipe kepemilikan bank tersebut memiliki kepentingan yang berbeda dalam kebijakan pengeluaran kreditnya, sehingga belum tentu akan mematuhi kerangka kebijakan moneter di Indonesia. Efektifitas kebijakan moneter melalui bank lending channel juga dapat menjadi lebih baik jika otoritas moneter mampu lebih detail dalam membuat peraturan dari kebijakan itu sendiri, sehingga dapat memaksa bank-bank tersebut untuk mematuhi kerangka kebijakan moneter. Hal ini dikarenakan dari sisi makroekonomi, pada dasarnya dibutuhkan kerjasama dari pembuat kebijakan dan pelaku implementasi kebijakan untuk mencapai kondisi perekonomian yang lebih baik dan stabil. 7. Referensi Agung, Juda, Rita M, Bambang P, Nugroho. J.P. 2002. “Bank Lending Channel of Monetary Transmission in Indonesia. Dalam Warjiyo P. dan Agung J. Transmission Mechanism of Monetary Policy in Indonesia. PPSK Bank Indonesia Aleem, A., 2010. Transmission mechanism of monetary policy in India. Journal of Asian Economics 21, 186–197. Andries, N., Billon, S., 2010. The effect of bank ownership and deposit insurance on monetary policy transmission. Journal of Banking and Finance 34, 3050–3054. Arena, Marco, Carmen Reinhart, dan Fransisco Vazquez, The Lending Channel in Emerging Analisis Pengaruh..., Karisma Maharani A, FE UI, 2013 Economies: Are Foreign Banks Different?, IMF Working Paper 07/48, Februari 2007. Bank of International Settlements. 1995. Financial Structure and the Money Transmission Mechanism, BIS Basle. Berger, A.N., Klapper, L.F., Peria, M.S.M., Zaidi, R., 2008. Bank ownership type and banking relationships. Journal of Financial Intermediation 17, 37–62. Bhaumik, Dang, Kutan. 2011. Implications of bank ownership for the credit channel of monetary policy transmission: Evidence from India. Journal of Banking and Finance 35, 2418-2428. Bhaumik, S.K., Dimova, R., 2004. How important is ownership in a market with level playing field? The Indian banking sector revisited. Journal of Comparative Economics 32, 165–180. Bhaumik, S.K., Piesse, J., 2008. Does lending behaviour of banks in emerging economies vary by ownership? Evidence from the Indian banking sector. Economic Systems 32, 177–196. Bofinger, P. 2001. Monetary Policy: Goals, Institutions, Strategis, and Instruments. Oxford University Press. De Bondt, G.J. 2000. Financial Structure and Monetary Transmission in Europe. Edward Elgar publ. Erhmann, M., Gambacorta, L., Martinez-Pages, J., Sevestre, P., Worms, A., 2001. Financial system and the role of banks in monetary policy transmission in the Euro area. Working paper no. 105, European Central Bank. Fisher, Irving. 1991. The Purchasing Power of Money, 2nd Edition, 1926, repreinted by Augustus Kelley, New York, 1963. Gambacorta, L., 2005. Inside the bank lending channel. European Economic Review 49, 1737–1759. Gambacorta, L., Mistrulli, P.E., 2004. Does bank capital affect lending behavior? Journal of Financial Intermediation 13 (4), 436–457. Goeltom, Miranda S. 2008. The transmission mechanisms of monetary policy in Indonesia. Bank of International Settlements. Hadad, M D (1996): “Bank behavior in a changing regulatory environment: Study of Indonesia, 1983–1993”, unpublished thesis, University of Monash. Huang, Z., 2003. Evidence of bank lending channel in the UK. Journal of Banking and Finance 27, 491–510. Kakes, Janes. 2000. Monetary Transmission in Europe: The Role of Financial Markets and Credit . Edwar Elgar: Chaltenham. Kashyap, A.K., Stein, J.C., 1993. Monetary policy and bank lending. Working papers no. Analisis Pengaruh..., Karisma Maharani A, FE UI, 2013 4317, National Bureau of Economic Research. Kishan, R.P., Opiela, T.P., 2000. Bank size, bank capital and bank lending channel. Journal of Money, Credit and Banking 32, 121–141. Kishan, R.P., Opiela, T.P., 2006. Bank capital and loan asymmetry in the transmission of monetary policy. Journal of Banking and Finance 30, 259–285. Koch, Timothy W, Mac Donald, S. Scot. (2000), Bank Management, Fourth Edition, Orlando, The Dryden Press, Harcourt Brace College Publishers. La Porta, R., Lopez-de-Silanes, F., Shleifer, A., 2002. Government ownership of banks. Journal of Finance 57, 265–301. Laporan Perekonomian Indonesia Tahun 2009 Morris, Charles. S and Gordon H Sellon. Jr. 1995. Bank Lending and Monetary Policy: Evidence on a Credit Channel. ECONOMIC REVIEW · SECOND QUARTER 1995: 59-76 Olivero, M.P., Li, Y., Jeon, B.N., 2011. Competition in banking and the lending channel: evidence from bank level data in Asia and Latin America. Journal of Banking and Finance 35, 560–571. Sarkar, J., Sarkar, S., Bhaumik, S.K., 1998. Does ownership always matter? – Evidence from the Indian banking industri. Journal of Comparative Economics 26, 262–281. Stein, J.C., 1998. An adverse-selection model of bank aset and liability management with implications for the transmission of monetary policy. RAND Journal of Economics 29, 466–486. Taswan. 2010. Manajemen Perbankan: Konsep, Teknik dan Aplikasi. Yogyakarta: UPP STIM YKPN Yogyakarta. Wu, Luca, Jeon. 2007. Transmission of Monetary Policy via Domestik and Foreign Banks in Emerging Economies: Evidence from Bank-level Data. Department of Economics & International Business, LeBow College of Business, Drexel University, Philadelphia PA, USA. www.bi.go.id. Statistik Perbankan Indonesia Analisis Pengaruh..., Karisma Maharani A, FE UI, 2013