analisis pengaruh tipe kepemilikan terhadap perilaku bank dalam

advertisement
ANALISIS PENGARUH TIPE KEPEMILIKAN TERHADAP PERILAKU
BANK DALAM MENANGGAPI PERUBAHAN TINGKAT SUKU
BUNGA BI PADA SEKTOR PERBANKAN INDONESIA
(PERIODE 2006-2009)
Karisma Maharani Anisakusuma
Program Studi S1 Reguler, Departemen Manajemen, Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
Dony Abdul Chalid
Departemen Manajemen, Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
Abstrak
Penelitian ini menganalisa pengaruh tipe kepemilikan terhadap perilaku bank umum dalam
menanggapi perubahan tingkat suku bunga BI yang dicerminkan dengan tingkat kredit bank
pada sektor perbankan Indonesia periode 2006-2009. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk
menginvestigasi efektifitas dari bank lending channel pada mekanisme transmisi kebijakan
moneter oleh Bank Indonesia dan bagaimana tipe kepemilikan bank berperan dalam perilaku
bank. Penelitian ini menemukan bahwa kepemilikan bank berpengaruh terhadap perilaku
bank dalam menanggapi perubahan tingkat suku bunga BI. Dibandingkan dengan Bank
Swasta, Bank Persero cenderung lebih tidak sensitive terhadap perubahan tingkat suku bunga
BI baik naik maupun turun. Sementara BPD cenderung lebih sensitive terhadap perubahan
tingkat suku bunga BI dengan melakukan penurunan dan kenaikan pengeluaran kredit.
Kebijakan pengeluaran kredit juga dipengaruhi oleh permodalan, likuiditas, profitabilitas, dan
size bank, serta factor permintaan pasar dari pertumbuhan industri.
Kata Kunci:
Perubahan Suku Bunga BI ; Saluran Kredit Bank; Tipe Kepemilikan Bank
Abstract
This research aims to analyze the impact of bank ownership towards bank behavior in
response to BI Rate Change in Indonesia during 2006-2009 periods. The purpose is to
investigate the effectiveness of bank lending channel in the transmission mechanism of
monetary policy by Bank Indonesia and how bank ownership plays role in its behavior. This
research finds that bank ownership affects to the bank behavior in response to BI Rate
Change. Relative to the private bank, the state-owned bank tends to insensitive against BI
Rate Change, while the city commercial bank (BPD) is more sensitive. Bank credit disbursal
policy is affected by bank capitalization, liquidity, profitability, size, and also the demand
factor in market that measured by industri growth.
Keywords:
Bank Ownership; Interest Rate Change; Bank Lending Channel; Indonesia.
Analisis Pengaruh..., Karisma Maharani A, FE UI, 2013
1. Pendahuluan
Otoritas moneter dalam mengatur kebijakan moneter menggunakan beberapa saluran
berbeda, salah satunya terdapat saluran uang dan saluran kredit. Pada saluran uang (Warjiyo
dan Solikin, 2003) merupakan konsekuensi langsung dari proses perputaran uang dalam
perekonomian. Dalam kaitan ini, bank sentral melakukan operasi moneter untuk
mengendalikan uang beredar (M1, M2) melalui pencapaian sasaran operasional uang primer
atau base money (B). Disisi lain, bank-bank perlu mengelola likuiditasnya dalam bentuk
cadangan dana yang dapat dipergunakan sewaktu-waktu dari sisi aset dan pendanaan dari
simpanan masyarakat yang berbentuk uang beredar dari sisi kewajiban. Sementara pada
saluran kredit, mekanisme transmisi melalui jalur kredit bekerja dengan memanfaatkan pasar
kredit. Mekanisme transmisi melalui jalur kredit dapat dibedakan menjadi dua jalur yaitu jalur
kredit bank dan saluran neraca. Perbedaannya, dalam jalur pinjaman bank, kebijakan moneter
berdampak pada jumlah persediaan kredit sedangkan dalam jalur neraca, perusahaan atau
nasabah yang akan terkena dampak kebijakan moneter.
Gambar 1 Perkembangan BI Rate Periode 2005-2012
Sumber: Bank Indonesia
Semenjak Juli 2005, suku bunga BI (BI Rate) digunakan sebagai sinyal respon
kebijakan moneter dan sasaran operasional. BI Rate adalah suku bunga dengan tenor satu
bulan yang diumumkan oleh BI secara periodik untuk jangka waktu tertentu yang berfungsi
sebagai
sinyal
dari
kebijakan
moneter
(www.bi.go.id).
Berdasarkan
pengamatan
perkembangan BI Rate selama empat tahun dari 2006 hingga 2009 (Gambar 1) menunjukan
tren yang semakin menurun. Namun untuk memahami kondisi kebijakan moneter tidak dapat
dilihat dari besaran indikatornya, namun dengan memahami kondisi perekonomian yang
Analisis Pengaruh..., Karisma Maharani A, FE UI, 2013
berkembang pada saat kebijakan dengan ukuran pada besaran indikator tersebut dijalankan.
Dapat dilihat bahwa selama krisis global yang dimulai pada kuartal akhir tahun 2007, otoritas
moneter cenderung meningkatkan tingkat suku bunga BI dengan harapan untuk mengurangi
jumlah uang beredar.
Gambar 2 Jumlah Kredit Bank Umum Periode 2005 - 2009
Sumber: Statistik Perbankan Indonesia (2009)
Hal menarik terjadi pada sektor perbankan Indonesia, dimana selama periode 2005
hingga 2009 bank umum cenderung memiliki tren pertumbuhan kredit yang terus meningkat
(Gambar 1.2). Gejolak moneter yang terjadi pada pertengahan tahun 2008 juga tidak lantas
menurunkan motivasi bank untuk meningkatkan jumlah kreditnya. Bahkan pada periode
tersebut bank umum cenderung terus meningkatkan kreditnya hingga akhir tahun 2009,
walaupun sempat menurun sedikit namun secara keseluruhan tren jumlah kredit cenderung
terus mengalami peningkatan. Memang pada saat kondisi krisis global kekhawatiran terhadap
penurunan pasokan kredit untuk modal kerja maupun investasi tidak terjadi, tetapi kondisi ini
menunjukkan bahwa BI Rate seakan tidak efektif. Ketidaksesuaian harapan dari otoritas
moneter dalam menaikkan dan menurunkan BI Rate terhadap jumlah uang beredar yang
dalam hal ini dicerminkan pada jumlah kredit yang diberikan oleh bank umum, disebabkan
oleh adanya faktor lain seperti faktor keuangan, faktor ekonomi lainnya, dan juga dari faktor
perbankan itu sendiri. Hal ini menunjukkan bahwa dalam kondisi tersebut, BI Rate tidak
semata yang mempengaruhi naik turunnya jumlah kredit yang diberikan oleh bank.
Fakta menarik lainnya juga dipaparkan oleh S.K Bhaumik et al (2011) dengan
penelitiannya yang dilakukan pada sektor perbankan di India bahwa bank dengan tipe
kepemilikan berbeda merespon kebijakan moneter dengan sangat berbeda pada rezim
Analisis Pengaruh..., Karisma Maharani A, FE UI, 2013
kebijakan moneter yang berbeda. Selama periode kebijakan moneter ketat, bank persero, bank
swasta, dan bank asing membatasi kreditnya dalam merespon kenaikan pada tingkat suku
bunga. Sementara pada periode kebijakan moneter longgar, bank swasta cenderung
meningkatkan pertumbuhan pengeluaran kreditnya dan tidak signifikan untuk tipe bank lain.
Artinya, naik turunnya tingkat suku bunga acuan direspon berbeda oleh setiap tipe
kepemilikan bank yang berbeda. Berdasarkan kondisi di Indonesia bahwa tipe kepemilikan
bank terdiri dari bank persero, BUSN devisa, BUSN non devisa, BPD, bank campuran, dan
bank asing. Setiap tipe kepemilikan bank tentunya memliki kepentingan berbeda dalam
menjalani operasi perusahaan, sehingga akan berdampak terhadap perilaku bank dalam
merespon kebijakan naik turunnya tingkat suku bunga acuan. Studi yang dilakukan oleh
Arena, Reinhart, dan Vazquez (2007) menjelaskan bahwa perbedaan di dalam kepemilikan
bank dapat menjadi suatu proxy atas hambatan keuangan yang tidak teridentifikasi pada bank
dalam hal perubahan penyaluran pinjaman, disamping karakter bank yang sudah
teridentifikasi seperti ukuran aset, modal, dan likuiditas.
Beberapa penelitian lain terkait dengan respon atas naik turunnya tingkat suku bunga
acuan juga menimbulkan beberapa bukti lebih lanjut akan keberadaan peran tipe kepemilikan
bank. Wu et al. (2007) menyatakan bahwa jika bank asing tidak terlalu merespon perubahan
kebijakan moneter domestik (host country), maka efektifitas kebijakan moneter akan
cenderung lebih rendah seiring dengan kehadiran bank asing di negara tersebut. Wu juga
menemukan bukti bahwa bank asing ternyata memiliki sensitivitas yang rendah terhadap
perubahan kebijakan moneter dibandingkan dengan bank domestik lainnya. Implikasinya
adalah ketika bank sentral melakukan kebijakan moneter kontraksi, maka tidak akan terlalu
berdampak signifikan bagi bank-bank asing dalam hal menurunkan pinjaman bank. Kashyap
dan Stein (1993) menunjukkan bahwa jika bank sentral mengejar kebijakan moneter ketat,
justru ada penurunan jumlah pinjaman bank kepada perusahaan dan sekaligus kenaikan dalam
penerbitan surat berharga. Beliau juga menyimpulkan bahwa kebijakan moneter kontraktif
(uang ketat) mengurangi pasokan kredit. Namun, hal berbeda terjadi pada sektor perbankan di
Indonesia. Pada penelitian di Indonesia, Hadad (1996), menemukan fenomena bahwa selama
periode uang ketat, pertumbuhan kredit bank pemerintah dan bank swasta besar lebih tinggi
dari pertumbuhan deposito mereka. Perbedaan perilaku antara bank persero dan bank swasta
jelas tercermin dalam kenyataan bahwa pinjaman dari bank-bank pemerintah benar-benar
tidak sensitif terhadap guncangan moneter, sedangkan bank swasta lebih sensitif.
Penetrasi bank asing meningkat secara dramatis pada pasar berkembang semenjak
tahun 1990an. Tak terkecuali juga di Indonesia. Melihat regulasi yang sangat longgar dan
Analisis Pengaruh..., Karisma Maharani A, FE UI, 2013
juga terlihat seperti mempersilahkan para investor asing masuk ke Indonesia, menguntungkan
bagi mereka untuk melakukan penetrasi dan bahkan mengakuisisi kepemilikan bank-bank
domestik di Indonesia. Hingga akhirnya mereka makin mendominasi pasar perbankan. Disisi
lain, banyak kekhawatiran dimana dominasi dari bank dengan kepemilikan asing tersebut
kurang berkontribusi maksimal terhadap perekonomian Indonesia. Para investor asing
tersebut tentunya lebih cenderung mengejar keuntungan ketimbang menggerakkan sektor
ekonomi. Claessens et al. (2001) menemukan bahwa bank asing memiliki keuntungan yang
lebih tinggi dibandingkan dengan bank-bank domestik di negara berkembang. Makin
dominannya bank asing di Indonesia bisa terlihat pada penguasaan pangsa pasar dari tahun ke
tahun yang terus meningkat. Bank asing tercatat mengumpulkan dana pihak ketiga (DPK)
yang lebih besar dibanding bank BUMN dengan selisih hingga 120,53 triliun rupiah.
Berdasarkan data dari Statistik Perbankan Indonesia (2011) menunjukkan bahwa kepemilikan
asing mendominasi sekitar 12% dari seluruh bank. Bank swasta yang tercermin pada BUSN
devisa dan non devisa ini pada dasarnya juga sebagian lumayan banyak yang terdominasi oleh
investor asing dalam struktur kepemilikannya. Hal ini akhirnya dapat berdampak terhadap
perilaku seluruh bank pada sektor perbankan Indonesia. Terutama dari sisi efektifitas
kebijakan moneter yang dimana bank memiliki peran yang cukup besar dalam mekanisme
transmisi kebijakan moneter melalui saluran pinjaman bank (bank lending chanel).
Dengan melihat fenomena mengenai tipe kepemilikan bank di Indonesia dan perilaku
terhadap perubahan tingkat suku bunga BI, serta berbagai penelitian terdahulu yang
melatarbelakangi eksistensi isu, maka penulis termotivasi untuk melakukan sebuah penelitian
mengenai pengaruh tipe kepemilikan bank terhadap respon terhadap kenaikan ataupun
penurunan kredit. Hal ini dilakukan untuk mengetahui apakah benar tipe kepemilikan bank
berpengaruh terhadap perilaku bank terhadap perubahan kebijakan moneter sehingga
diharapkan penelitian ini memiliki beberapa kontribusi bagi industri perbankan Indonesia
terutama bagi otoritas moneter maupun masyarakat sebagai unit defisit. Peneliti juga
melakukan observasi pada saat kondisi krisis global dan non krisis. Tujuannya adalah untuk
dapat melihat seberapa besar pengaruh kebijakan moneter tersebut terhadap kebijakan kredit
bank sesuai dengan tipe kepemilikannya pada kondisi krisis dan non krisis selama rentang
waktu tahun 2006 hingga 2009.
2. Tinjauan Teoritis
Keberadaan saluran kredit, secara umum, dan saluran pinjaman bank, khususnya,
Analisis Pengaruh..., Karisma Maharani A, FE UI, 2013
memiliki implikasi penting terhadap dampaknya dalam transmisi kebijakan moneter. Merujuk
pada paper yang ditulis oleh Morris (1995) - Bank Lending and Monetary Policy: Evidence
on a Credit Channel, bahwa beberapa ekonom dan pembuat kebijakan berpendapat bahwa
tambahan dari saluran kebijakan akan dapat bekerja melalui kredit bank. Dalam pandangan
ini, kebijakan moneter secara langsung membatasi kemampuan bank untuk membuat
pinjaman baru, membuat kredit kurang tersedia untuk peminjam yang tergantung pada
pembiayaan perbankan. Dengan demikian, di jalur kredit, kebijakan moneter ketat bekerja
tidak hanya dengan menaikkan suku bunga, tetapi juga dengan langsung membatasi kredit
perbankan. Adanya saluran langsung dari kebijakan moneter untuk pinjaman bank
memungkinkan untuk melaksanakan kebijakan moneter tanpa perubahan besar dalam tingkat
suku bunga. Kebijakan moneter ketat akan menyebabkan bank untuk langsung mengurangi
pasokan kredit, memaksa perusahaan untuk mengurangi pengeluaran mereka.
Jika pinjaman bank memainkan peran sentral dalam mekanisme transmisi kebijakan
moneter, perubahan dalam praktek pinjaman bank atau peran yang dimainkan bank dalam
pasar keuangan dapat mengubah mekanisme transmisi dan memiliki implikasi kebijakan yang
penting. Meningkatnya penggunaan komitmen juga memiliki implikasi untuk mekanisme
transmisi. Jika saluran kredit itu memang ada, maka peningkatan penggunaan komitmen
pinjaman mungkin cenderung untuk memperpanjang kebijakan moneter karena perusahaan
dapat meminjam di bawah komitmen dan menunda dampak dari pengetatan kebijakan.
Dampak dari mekanisme kebijakan moneter juga berpengaruh terhadap pasokan dana
ke perusahaan – perusahaan yang meminta pendanaan atau kredit kepada bank. Z.Huang
(2003), dengan observasi pada perusahaan dan kebijakan moneter di Inggris, menemukan
bahwa pada kebijakan kontraksi (tight money) akan mengurangi persediaan pinjaman bank
untuk perusahaan. Penurunan pinjaman bank menurunkan rasio utang bank perusahaan.
Berdasarkan pandangan kredit, kekuatan dari kebijakan moneter bergantung sebagian besar
pada kecenderungan bank untuk memberikan pinjaman. Morgan (1992) menyatakan bahwa
kebijakan moneter uang ketat akan menyebabkan pinjaman bank cenderung lamban
(menurun). Jika bank memperketat syarat modalnya, maka hal itu akan cenderung enggan
untuk meningkatkan pinjaman. Keengganan bank tersebut akan berdampak terhadap
lemahnya kebijakan moneter dari sisi saluran kredit.
Penelitian Morris (1995) menghasilkan bahwa sejauh peminjam tertentu bergantung
pada kredit perbankan dan pinjaman bank dibatasi oleh kebijakan moneter, kebijakan
Analisis Pengaruh..., Karisma Maharani A, FE UI, 2013
restriktif dapat mempengaruhi perekonomian melalui jalur kredit perbankan. Perubahan
struktural dalam peran yang dimainkan bank dalam sistem keuangan maka dapat
mempengaruhi kebijakan moneter dengan mengubah jalur kredit. Saluran pinjaman bank
menekankan bahwa modal bank merupakan sebagai batasan yang dapat memungkinkan
kebijakan moneter kontraktif untuk sangat membatasi pertumbuhan kredit modal dari bank
yang terbatas secara modal. Kishan dan Opiela (2006) menemukan bahwa kebijakan moneter
memiliki dampak yang diharapkan pada pertumbuhan pinjaman dari bank dengan modal
kecil. Hal ini berarti kebijakan moneter kontraktif mengurangi pinjaman dari bank-bank kecil
dengan modal yang rendah relatif terhadap bank dengan modal yang tinggi, dan kebijakan
moneter ekspansif tidak mampu meningkatkan pertumbuhan kredit dari bank dengan modal
rendah relatif terhadap bank modal yang tinggi.
Dalam beberapa tahun terakhir, perdebatan tentang keberadaan saluran kredit bank
telah difokuskan pada dua jalur yang berbeda namun tetap berhubungan dengan penelitianpenelitian terkait sebelumnya. Salah satu pendekatan menguji apakah bank kredit
berpengaruh terhadap peminjam (Jaffee, Keeton, Stiglitz dan Weiss). Hingga membuat
adanya penjatahan kredit, hal ini mungkin dapat menyediakan saluran langsung untuk
kebijakan moneter. Penelitian terbaru adalah terkait dengan pandangan pinjaman atau
pandangan kredit yang telah menguji bagaimana ketidaksempurnaan pasar kredit mungkin
tidak hanya membuat saluran kredit untuk kebijakan moneter, tetapi juga dapat membuat
gangguan dalam ketersediaan sumber kredit yang berfluktuasi dalam aktivitas ekonomi
(Bernanke dan Blinder 1988). Pendekatan ini menekankan bahwa perubahan dalam kebijakan
moneter dapat bekerja dengan langsung untuk mempengaruhi pasokan pinjaman bank.
Peran kepemilikan bank dalam transmisi kebijakan moneter yang melalui saluran
kredit merupakan hal yang penting karena sektor bank umum memegang porsi yang
signifikan dari aset perbankan dan portofolio pinjaman di ekonomi berkembang, dan juga
banyak dari negara tersebut terbatas secara fiscal sehingga kebijakan moneter mungkin satusatunya instrumen yang tersedia dan memungkinkan bagi pembuat kebijakan untuk
mendorong pertumbuhan. Reaksi bank pada perubahan kebijakan moneter ternyata
menunjukkan perilaku yang berbeda tergantung pada kepemilikan dari bank tersebut. Pill
(1997) berpendapat bahwa setelah adanya kenaikan pada tingkat suku bunga domestik,
insentif bank untuk mendapatkan dana dari luar negeri untuk membiayai permintaan dari
pinjaman domestik juga akan meningkat. Bank dengan akses sumber pendanaan asing yang
lebih baik akan lebih menikmati keuntungan komparatif antar bank yang bergantung pada
pembiayaan non deposit domestik. Sehingga, bank dengan kepemilikan asing cenderung
Analisis Pengaruh..., Karisma Maharani A, FE UI, 2013
untuk mendapatkan pangsa pasar lebih besar dalam kredit. Ashcraft (2001) membahas
mengenai pentingnya struktur kepemilikan terhadap kerja dari saluran pinjaman yang terkait
pada data bank yang ada di Amerika Serikat. Ashcraft berpendapat bahwa afiliasi bank
cenderung untuk berekasi lebih sensitive terhadap kenaikan suku bunga kebijakan moneter
karena berdasarkan fakta bahwa keberadaan pasar modal internasional cenderung
melemahkan pengaruh dari batasan finansial yang dihadapi oleh bank-bank subsidiary.
De Bondt (1999) membagi sampel dari bank-bank Belanda menjadi bank dengan
kepemilikan asing dan bank dengan kepemilikan domestik, dengan membangun hipotesis
bahwa bank kepemilikan asing mungkin memiliki akses yang lebih baik kepada pasar modal
internasional dan sumber dana asing lainnya daripada bank milik domestik yang lebih besar
secara keseluruhan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kebijakan moneter kontraksi
mungkin dipengaruhi oleh kemampuan bank internasional untuk meminjam dana dari luar
negeri.
Arena, Reinhart, dan Vazques (2006) memaparkan bukti yang cukup menarik dari
hasil penelitian antar negara. Berdasarkan data set terdiri dari 1.565 bank di 20 negara Asia
dan Amerika Latin selama periode 1989 – 2001 dan membandingkannya dengan volume
pinjaman, deposit, dan tingkat suku bunga bank, untuk mengukur berbagai hal mengenai
kondisi moneter. Mereka mencari perbedaan sistematis pada perilaku bank domestik dan bank
asing. Dengan menggunakan perbedaan kepemilikan bank sebagai proksi untuk batasan
finansial pada bank. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bank dengan kepemilikan asing
memiliki sensitivitas lebih rendah terhadap kredit atas kondisi moneter relative terhadap
likuiditas dan atau kapitalisasi bank. Dan juga, tingkat suku bunga dan deposit bank asing
cenderung lebih stabil selama periode financial distress. Perbedaan dari bank asing dan bank
domestik tidak terlalu terlihat kuat.
Andries dan Billion (2010) membangun model teoritis dengan menggunakan
perwakilan bank yang kepemilikannya dibagi antara sektor pemerintah dan sektor swasta.
Mereka meneliti mengenai pengaruh tipe kepemilikan bank dan deposit insurance terhadap
kebijakan moneter. Bank menghadapi resiko kegagalan dan menyediakan deposit insurance
secara eksplisit bagi pihak umum maupun privat. Bank milik pemerintah lebih mampu untuk
menetralkan kebijakan moneter yang bersifat membatasi karena kapasitas mereka untuk
mendapatkan tambahan volume deposito. Oleh karena itu, semakin besar bagian negara
(pemerintah) dalam kepemilikan bank, semakin sedikit dampak dari pengetatan moneter pada
tingkat pasokan kredit.
Analisis Pengaruh..., Karisma Maharani A, FE UI, 2013
Penelitian yang dilakukan oleh Wu, Luca, dan Neon (2007) menguji secara empiris
mengenai perbandingan antara bank domestik dan bank asing terhadap eksistensi dari saluran
pinjaman bank atas transmisi kebijakan moneter di pasar berkembang. Studi dilakukan pada
lebih dari 1200 bank di negara berkembang di daerah Eropa Tengah dan Timur, Amerika
Latin, dan Asia selama periode 1996 – 2003. Mereka menemukan bukti bahwa bank asing
lebih tidak sensitive terhadap perubahan pada kebijakan moneter domestik, artinya, mereka
menyesuaikan pinjaman mereka dan pertumbuhan deposito yang lebih rendah dari bank
domestik lainnya. Semakin rendah sensitivitas bank asing terhadap perubahan kebijakan
moneter dalam negeri adalah independen dari likuiditas, kapitalisasi, ukuran dan efisiensi, dan
dapat dijelaskan oleh akses bank asing ke pasar modal internal perusahaan induk.
Dukungan-dukungan dari hubungan antara tipe kepemilikan bank dengan respon atas
kebijakan moneter juga tercipta dari beberapa penemuan dari peneliti lainnya seperti dari
Cecchetti dan Krause (2001) yang menggarisbawahi adanya sebuah hubungan negative antara
bank milik pemerintah dan efisiensi kebijakan moneter. Penelitian dari Micco dan Panizza
(2006) dan Foos (2008) juga menunjukkan bahwa terdapat perilaku yang smoothing dari bank
milik pemerintah terkait dengan pasokan pinjaman sehubungan dengan impuls kebijakan
moneter.
Bank berperilaku dalam kebijakan tingkat kredit juga dipengaruhi oleh beberapa
karakteristik bank. Hal ini dikarenakan, karakteristik bank merupakan salah satu faktor
internal yang akhirnya menjadi pertimbangan dari setiap individu bank untuk menentukan
kebijakan kreditnya. Bhaummik et al. (2011) meyimpulkan dari beberapa penelitian terdahulu
bahwa inisiatif bank dalam merespon sebuah kebijakan moneter adalah tergantung dari
kualitas neraca bank tersebut dan komposisi asetnya juga turut dipertimbangkan. Beberapa
karakteristik yang difokuskan dalam melihat hubungannya dengan tingkat kredit bank adalah
permodalan (capitalization), likuiditas, profitabilitas, size (Bhaummik et al., 2011; Kishan dan
Opiela, 2000; Gambacorta, 2005; Kishan dan Opiela, 2006; Stein, 1998; Kashyap dan Stein,
2000). Pentingnya melihat beberapa faktor tersebut adalah karena sebagai contoh bank
dengan kualitas neraca yang baik tentunya akan menunjukkan kondisi kesehatan bank pula
dan juga kondisi level bank dari sisi aset. Dengan kondisi tersebut, akhirnya akan mampu
berdampak pada perilaku bank dalam merespon kebijakan moneter.
Kishan dan Opiela (2000) menyatakan bahwa permodalan bank menjadi faktor yang
sangat penting karena sebagai contoh jika bank dengan modal yang tergolong kecil
(undercapitalized) akan lebih terpengruh oleh kebijakan moneter. Selain itu pula, Gambacorta
Analisis Pengaruh..., Karisma Maharani A, FE UI, 2013
(2005) juga menemukan pada observasi bank-bank di Italia bahwa bank yang cenderung
undercapitalized berdampak negative pada kebijakan moneter kontraksi. Bank yang terdaftar
pada bursa efek di suatu negara juga menunjukkan pengaruh terhadap bank tersebut dalam
tingkat kreditnya. Bhaumik dan Piesse (2008) membuktikan bahwa perilaku bank dalam
menentukan tingkat kreditnya juga dipengaruhi oleh apakan bank tersebut terdaftar pada
bursa efek di suatu negara (go public). Pada dasarnya, pertumbuhan kredit bank juga
dipengaruhi oleh pengaruh dari eksternal yang menggambarkan kondisi permintaan kredit di
pasar uang. Hal ini yang akhirnya menjadi alasan mengapa bank disebut sebagai intermediary
antara unit surplus dan unit deficit (Bhaumik et al., 2011). Bhaumik juga berpendapat bahwa
pertumbuhan industri memiliki dampak besar pada permintaan dana yang akhirnya
berpengaruh pada perilaku bank. Bhaumik dan Piesse (2008) menungkapkan bahwa tingkat
kredit suatu bank didukung oleh pertumbuhan industri dari suatu negara yang dimana tingkat
industri menunjukkan seberapa besar pasar membutuhkan pendanaan.
3. Metodologi Penelitian
Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah 102 bank umum konvensional di
Indonesia untuk tahun 2006-2009, sementara metode yang digunakan adalah Pooled Least
Square Model yang dilakukan implementasi Generalized Least Square untuk mengatasi
permasalahan pada asumsi BLUE dan juga Random Effect Model. Penelitian ini akan
mengadopsi model yang digunakan oleh S.K Bhaumik et al. (2012) yang menggunakan
variabel tingkat kredit bank sebagai variabel dependen, tipe kepemilikan bank yang terdiri
dari persero, swasta domestik, asing, dan BPD sebagai variabel independen, serta kapitalisasi,
likuiditas, profitabilitas, ukuran bank, listing, dan pertumbuhan industri sebagai variabelvariabel kontrol. Selain itu, penelitian ini juga akan menguji pengaruh dari krisis financial
2008 terhadap hubungan antara tipe kepemilikan dan tingkat kredit bank.
Tabel 1. Ringkasan Operasionalisasi Variabel Penelitian
No
1
Variabel
LD
Ket.
Dependen
Pengukuran
Loan to deposit ratio
(LDR).
Sumber data
Laporan keuangan,
Bank Indonesia
Independen
Perubahaan tingkat suku
bunga.
Bank Indonesia
[Ehrman et al.
(2001);Gambacorta dan
Mistrulli (2004)]
2
ΔBIR
[Ehrman et al.
(2001);Gambacorta dan
Analisis Pengaruh..., Karisma Maharani A, FE UI, 2013
Mistrulli (2004)]
3
Δ CAP
Kontrol
4
[Ehrman et al.
(2001);Gambacorta dan
Mistrulli (2004)]
Δ LIQ
[Ehrman
et
al.
(2001);Gambacorta dan
Mistrulli (2004)]
Kontrol
5
PROFIT
[Ehrman et al.
(2001);Gambacorta dan
Mistrulli (2004)]
Kontrol
6
OWN
[S.K. Bhaumik et al.
(2011)]
Independen
6
SIZE
[Kishan dan Opiela
(2000) dan Gambacorta
(2004)]
Kontrol
7
IND
[S.K. Bhaumik et al.
(2011)]
Kontrol
9
LISTING
[Gamba- corta (2005);
Van den Heuvel (2002)]
Kontrol
Perubahan pada
kapitalisasi setiap bank
yang diukur dari jumlah
modal ditambah dengan
jumlah cadangan.
Perubahan pada likuiditas
setiap bank yang diukur
dari jumlah kas, surat
berharga yang dipegang,
dan juga giro dari BI dan
bank lain.
Diukur dengan
menggunakan ROA.
Laporan keuangan,
Bank Indonesia
Variabel dummy atas
kepemilikan bank dimana:
o Persero
o Asing
o BPD
Bank swasta dijadikan
base.
Menggambarkan ukuran
perusahaan yang diukur
dari ln(total aset).
Laporan keuangan,
Bank Indonesia
Laporan keuangan,
Bank Indonesia
Laporan keuangan,
Bank Indonesia
Laporan keuangan,
Bank Indonesia
Variabel makro yang Yahoo Finance
digunakan
untuk
mengukur
dampak
terhadap perilaku bank
atas permintaan kredit
dilihat
dengan
menggunakan
proksi
IND.
Variabel dummy untuk Bursa
Efek
menunjukkan
apakah Indonesia
bank tersebut terdaftar di
BEI atau tidak, dimana 1
= bank yang terdaftar di
BEI, dan 0 = sebaliknya.
3.1 Model Penelitian
Model 1
Model dibawah ini adalah untuk melihat pengaruh dari tipe kepemilikan bank terhadap
tingkat kredit bank yang dibagi pada kondisi krisis dan non krisis.
Analisis Pengaruh..., Karisma Maharani A, FE UI, 2013
LDRit = Σjβj(OWNjit) + γ1BIRt + γ2ΔCAPi,t + γ3ΔLIQi,t + γ4PROFITi,t + γ5LISTINGi,t
+ γ6SIZEi,t + γ7LISTINGi,t + γ8INDi,t + μi + εit
(3.1)
Model 2
Model kedua adalah untuk menginvestigasi bagaimana perilaku dari masing-masing
tipe kepemilikan ketika otoritas moneter meningkatkan tingkat suku bunga pada saat
krisis dan non krisis. LDRit = Σjβj(UPt x OWNjit) + γ1ΔCAPi,t + γ2ΔLIQi,t + γ3PROFITi,t + γ4SIZEi,t +
γ5LISTINGi,t + γ6INDi,t + μi + εit
(3.2)
Model 3
Model ketiga adalah untuk menginvestigasi bagaimana perilaku dari masing-masing
tipe kepemilikan ketika otoritas moneter melakukan penurunan tingkat suku bunga pada saat krisis dan non krisis.
LDRit = Σjβj(DOWNt x OWNjit) + γ1ΔCAPi,t + γ2ΔLIQi,t + γ3PROFITi,t + γ4SIZEi,t +
γ5LISTINGi,t + γ6INDi,t + μi + εit
(3.3)
4. Hasil Penelitian dan Pembahasan
Tabel 2. Hasil Regresi Model 1
ALL SAMPLE (GLS)
KRISIS (GLS)
NON KRISIS (REM)
2007:3 – 2009:1
Variabel
Koef
Prob
Koef
Prob
Koef
Prob
C
BIR
91.200
0.2080
0.0000
0.3517
129.6664
0.860201
0.0000
0.0000*
50.27885
-30.72158
0.0027
0.7107
PERSERO
ASING
-5.9698
2.2314
0.0008*
0.0397**
-2.028557
3.024785
0.2669
0.0229**
-11.13925
-5.165257
0.3265
0.078***
BPD
DCAP
-30.760
3.6700
0.0000*
0.0804***
-30.23447
16.72788
0.0000*
0.0077*
-35.49307
-5.567599
0.0000*
0.0471**
DLIQ
ROA
-5.3160
2.5134
0.0016*
0.0000*
-13.49986
2.362092
0.0004*
0.0000*
-4.896616
2.756177
0.0072*
0.0000*
SIZE
-1.1528
0.0004*
-2.515969
0.0000*
0.487863
0.6953
LISTING
-2.3312
0.0514***
-0.412142
0.7923
-5.433900
0.2024
IND
R- square
Prob > chi
0.002089
0.0081*
0.363645
0.000000
-0.005658
0.0000*
0.531190
0.000000
Analisis Pengaruh..., Karisma Maharani A, FE UI, 2013
0.011478
0.0000*
0.117803
0.000000
*(1%), **(5%), ***(10%)
Dalam tabel 4.9, hasil regresi dari Model 1 menghasilkan nilai koefisien dari variabel
BIR pada kondisi KRISIS serta NON KRISIS sebesar 0.860201 dan -30.72158, dengan nilai
p-value masing-masing sebesar 0.0000 dan 0.70027. Hal ini menunjukkan bahwa perubahan
tingkat bunga BI secara signifikan berpengaruh positif pada tingkat kredit bank pada masa
krisis dengan tingkat signifikansi α (1%) dan tidak signifikan dalam masa non krisis.
Pengaruh signifikan dari perubahan pada kebijakan moneter terhadap tingkat pinjaman bank
pada dasarnya sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Gambacorta dan Mistrulli
(2004), namun berbeda pada arah hubungannya. Gambacorta dan Mistrulli menemukan
bahwa terdapat hubungan negative antara kenaikan tingkat suku bunga terhadap pinjaman
bank, sementara pada penelitian ini menghasilkan hal yang berbeda.
Kondisi perkembangan pada tingkat kredit bank menunjukkan kesepahaman dengan
hasil penelitian penulis. Dimana menurut data dari Laporan Perekonomian Indonesia Tahun
2009 bahwa pada saat krisis yaitu rentang antara pertengahan tahun 2007 hingga awal tahun
2009 dimana terjadi peningkatan pada pertumbuhan pinjaman bank meskipun pada saat krisis.
Hal ini besar kemungkinan karena didukung oleh pertumbuhan sektor perbankan Indonesia
selama beberapa tahun terakhir yang cenderung meningkat, sehingga krisis global yang terjadi
kemarin tidak lantas mempengaruhi negative terhadap kinerja bank-bank di Indonesia.
Sektor perbankan Indonesia yang cenderung meningkat tersebut yang akhirnya
membuat bank tidak lantas menurunkan tingkat kreditnya selama krisis global. Bank
cenderung menurunkan suku bunga kreditnya sehingga mampu merangsang pertumbuhan
permintaan pasar akan kredit. Disisi lain juga pada dasarnya selama tahun tersebut tingkat
GDP Indonesia juga meningkat meskipun tidak signifikan. Disisi lain, sektor perbankan di
Indonesia sudah banyak belajar dari kondisi krisis moneter pada tahun 1998, sehingga
perbankan Indonesia cenderung telah beradaptasi dengan kondisi krisis1. Goeltom (2008)
menambahkan bahwa kondisi krisis global tidak cenderung melemahkan kinerja bank-bank di
Indonesia.
Pada saat krisis dan non krisis, kebijakan dan perilaku kredit Bank yang dimiliki
pemerintah tidak terpengaruh dibandingkan dengan bank swasta. Hal ini dibuktikan dengan
nilai p-value untuk kondisi krisis maupun non krisis sebesar 0.2669 dan 0.3265 . Hal tersebut
dikarenakan pada dasarnya bank persero cenderung mengeluarkan kreditnya untuk hal-hal
1
Respon Kebijakan Moneter di Tengah Krisis Global, Laporan Perekonomian Indonesia 2009 Analisis Pengaruh..., Karisma Maharani A, FE UI, 2013
yang sifatnya kebutuhan pendanaan pada proyek pemerintah, sehingga pengeluaran kredit
bank persero cenderug tidak terpengaruh oleh kondisi krisis maupun non krisis.
Bank dengan kepemilikan asing memiliki perilaku yang berbeda dimana saat krisis
maupun non krisis mempengaruhi tingkat kredit yang dimilikinya. Hal tersebut dibuktikan
dengan nilai p-value untuk kondisi krisis dan non krisis sebesar 0.0229 dan 0.0780 dengan
tingkat signifikansi α (5%) dan (10%). Dimana bank dengan kepemilikan asing akan
cenderung untuk bereaksi dengan menurunkan kreditnya pada kondisi normal dan
meningkatkan kreditnya pada kondisi krisis dibandingkan dengan bank swasta. Dimana
dilihat dari nilai koefisien bank asing sebesar 3.024782 saat krisis dan -5.165257 saat non
krisis . Hal ini menunjukkan kesesuaian dengan penelitian Agung dan Bambang (2002)
bahwa melihat pada kondisi perekonomian pada saat terjadi krisis moneter tahun 1998
berdampak cukup besar hingga setelah terjadinya krisis awal tahun 2000, dimana perbankan
masih rentan terhadap ketidak pastian sehingga pada kondisi normal cenderung menurunkan
kreditnya.
Perilaku berbeda juga ditunjukkan oleh bank yang dimiliki pemerintah daerah (BPD)
pada saat krisis maupun non krisis. Hal ini dibuktikan dengan nilai p-value sebesar 0.0000
dan 0.0000 dengan tingkat signifikansi α (1%) . Nilai koefisien BPD pada saat kondisi krisis
dan non krisis sebesar -30.23447 dan -35.49307 menunjukkan bahwa BPD mempengaruhi
kebijakan bank dalam tingkat kreditnya dan hasil statistic menunjukkan bahwa pada kondisi
normal BPD cenderung lebih besar dalam menurunkan kreditnya. Hal tersebut dikarenakan
pangsa pasar dari BPD cenderung lebih kecil, sehingga akan cenderung membatasi tingkat
kredit yang diberikan pada saat kondisi industri perbankan yang kurang baik. Kembali
melihat kondisi pertumbuhan sektor perbankan Indonesia bahwa pada saat normal, kondisi
sektor perbankan cenderung menurun dan sebaliknya terjadi pada kondisi krisis. Hal tersebut
yang akhirnya memicu BPD meningkatkan kreditnya pada saat krisis dibandingkan pada saat
normal.
Pada dasarnya, pengaruh dari perilaku bank dalam kebijakan penyaluran kreditnya
juga dipengaruh oleh faktor internal dan eksternal. Dalam hal ini, penulis melihat karakteristik
bank untuk melihat pengaruh internal bank itu sendiri terhadap tingkat penyaluran kredit yang
dilihat dari sisi permodalan bank, likuiditas, profitabilitas, ukuran bank, dan peran bank di
pasar yang dilihat dari sisi bank tersebut sudah go public atau belum. Disisi lain juga penulis
melihat faktor eksternal yang dimana dilihat dari pertumbuhan industri yang dilihat dari
Indeks Harga Saham Gabungan (IND).
Dimana menurut hasil penelitian, pada kondisi krisis, seluruh faktor tersebut
Analisis Pengaruh..., Karisma Maharani A, FE UI, 2013
berpengaruh terhadap tingkat kredit bank di Indonesia, baik dari faktor internal maupun
eksternal (Bhaumik et al, 2011; Gambacorta dan Mistrulli, 2004; Ehrman et al., 2001;
Gamba- corta, 2005; Van den Heuvel, 2002). Pada kondisi non krisis, menunjukkan bahwa
ukuran bank (size) dan bank listing tidak mempengaruhi kebijakan bank dalam menyalurkan
kredit. Hal ini dikarenakan, pada kondisi non krisis keputusan bank akan lebih cenderung
pada kondisi pasar pada umumnya dan juga internal perusahaan yang dilihat dari sisi
kapitalisasi, likuiditas, dan profitabilitas. Sementara, pada kondisi krisis, hampir seluruh
faktor internal maupun eksternal berpengaruh terhadap tingkat kredit bank, terkecuali listing.
Hal ini dikarenakan, pada kondisi krisis, tentunya, secara natural, masing-masing individu
bank akan cenderung lebih mempertimbangkan banyak hal dalam menentukan sebuah
keputusan. Termasuk juga dari faktor eksternal yang tentunya akan berpengaruh terhadap
supply pendanaan bank yang dilihat pada pertumbuhan industri yang nantinya digunakan
untuk disalurkan pada kredit.
Tabel 3. Hasil Regresi Model 2
ALL SAMPLE (GLS)
KRISIS (GLS)
NON KRISIS
2007:3 – 2009:1
(REM)
Variabel
Koef
Prob
Koef
Prob
Koef
Prob
C
UPxPERSERO
UPxASING
-19.22423
3.188997
5.665593
0.2018
0.0237**
0.0000*
-2.781219
4.500878
8.888383
0.9355
0.3901
0.0000*
78.109
-4.70434
0.52600
0.0000
0.5880
0.8891
UPxBPD
DCAP
7.640592
2.387910
0.0000*
0.0421**
9.286701
13.76846
0.0000*
0.0062*
-9.1719
-8.9367
0.0204**
0.0073*
DLIQ
ROA
-4.650462
0.560547
0.0000*
0.0306**
-8.209925
1.335433
0.0218**
0.0143**
-4.6857
2.0601
0.0105**
0.0002*
SIZE
5.974273
0.0000*
5.424804
0.0159**
-2.2140
0.0483**
LISTING
-1.778649
0.4563
-7.111497
0.3258
5.3159
0.1684
0.001859
0.0001*
0.839466
0.000000
-0.002031
0.0650***
0.0118
0.0000*
IND
R- square
Prob > chi
0.734214
0.081090
0.000000
0.000000
*(1%), **(5%), ***(10%)
Dalam Tabel 4.10, hasil regresi dengan metode GLS dari Model 2 untuk semua
sampel menghasilkan nilai koefisien dari variabel UPxPERSERO, UPxASING, dan UPxBPD
masing-masing sebesar 3.188997, 5.665593, 7.640592 dan nilai p-value masing-masing
sebesar 0.0237, 0.0000, 0.0000. Hal ini menunjukkan bahwa ketika terjadi kenaikan tingkat
Analisis Pengaruh..., Karisma Maharani A, FE UI, 2013
suku bunga, maka secara signifikan mempengaruhi perilaku bank persero, bank swasta, dan
bank BPD cenderung tidak menurunkan tingkat kreditnya dibandingkan dengan bank swasta
(dengan α sebesar 1%).
Dengan membandingkan hasil pada kondisi krisis dan non krisis, dimana kondisi
krisis didefinisikan yaitu pada periode 2007 kuartal 3 hingga 2009 kuartal 1, menunjukkan
bahwa pada kedua kondisi perekonomian tersebut perilaku kredit bank persero tidak
dipengaruhi oleh kenaikan tingkat suku bunga dibandingkan dengan bank swasta, dan juga
tidak mempengaruhi perilaku bank asing pada kondisi non krisis. Namun, hal berbeda terjadi
pada bank dengan kepemilikan asing dan BPD dimana kenaikan tingkat suku bunga
mempengaruhi secara signifikan terhadap perilaku bank dalam tingkat kreditnya
dibandingkan dengan bank swasta pada kondisi krisis (dengan α sebesar 1% dan 5%). Hal
menarik terjadi pada fenomena perilaku bank asing dan BPD dimana pada kondisi krisis
kedua bank tersebut justru meningkatkan tingkat kreditnya, namun pada kondisi normal BPD
cenderung lebih besar dalam menurunkan tingkat kreditnya dan bank asing tidak terpengaruh.
Bhaumik et al. (2011), Hadad (1998), dan Andries dan Billion (2010) bahwa pengaruh
dari peningkatan tingkat suku bunga sebagai cerminan dari stance kebijakan moneter lebih
lemah dalam mempengaruhi bank persero dalam perilaku pada kebijakan kreditnya. Andries
menambahkan bahwa bank milik pemerintah lebih mampu untuk menetralkan kebijakan
moneter yang bersifat membatasi karena kapasitas mereka untuk mendapatkan tambahan
volume deposito. Dasar logikanya adalah dimana pemerintah cenderung memiliki dana yang
cukup besar, dan tentunya dana tersebut akan disimpan di bank-bank persero. Disisi lain,
motivasinya tidak sensitif terhadap kebijakan moneter adalah dikarenakan bank persero akan
juga akan banyak mengeluarkan kreditnya untuk membiayai proyek-proyek pemerintah.
Berdasarkan penelitian dari Wu, Luca, dan Jeon (2007) bahwa bank asing memiliki
sensitifitas yang kecil terhadap perubahan tingkat suku bunga domestik dibandingkan dengan
bank asing domestik. Ketika terjadi peningkatan tingkat suku bunga, terdapat pengaruh lebih
rendah terhadap bank asing dalam menurunkan tingkat kreditnya. Sensitifitas yang rendah ini
ditemukan baik dalam rentang jangka pendek maupun jangka panjang. Huang dan
Philadelphia (2008) bahwa pada dasarnya pasar dari bank lokal dimana dalam hal ini adalah
BPD lebih cenderung memiliki pasar yang lebih kecil. Hal tersebut tentunya akan
berpengaruh terhadap vulnerability bank terhadap pengaruh-pengaruh dari eksternal,
khususnya dalam hal ini adalah makroekonomi. Sehingga, ketika terdapat monetary shock
maka akan berkemungkinan besar untuk mempengaruhi tingkat kredit bank tersebut. Ashcraft
(2006) menyatakan bahwa selama kebijakan moneter uang ketat, bank lokal (BPD) merespon
Analisis Pengaruh..., Karisma Maharani A, FE UI, 2013
lebih kuat dibandingkan dengan bank swasta dan bank lainnya, setelah dkontrol oleh size,
likuiditas, capital, dan permintaan kredit.
Variabel DCAP memiliki nilai koefisien sebesar 2.387910 dan nilai p-value sebesar
0.0421. Hal ini menunjukkan bahwa karakteristik bank yang dilihat dari kapitalisasi
berpengaruh positif terhadap pengeluaran kredit bank dengan tingkat signifikansi α (5%).
Penemuan penulis pada dasarnya sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Gambacorta
(2004) bahwa bank dengan kapitalisasi yang baik akan cenderung lebih baik untuk
melindungi tingkat kredit mereka dari monetary shocks karena mereka memiliki akses yang
lebih mudah terhadap pendapatan dana non depostio. Pengaruh dari modal bank lebih tinggi
pada bank yang bergantung pada dana eksternal yang tidak diasuransikan (unisuranced
external fund).
Variabel DLIQ memiliki nilai koefisien sebesar -4.650462 dan nilai p-value sebesar
0.0000. Hal ini menunjukkan bahwa karakteristik bank yang dilihat dari likuiditas
berpengaruh negative dengan signifikan terhadap tingkat kredit bank, dengan tingkat
signifikansi α (1%). Interpretasinya adalah ketika terjadi kenaikan pada aset likuid bank maka
akan menurunkan LDR sebesar 4.650462. Hasil dari penulis sejalan dengan penelitian yang
dilakukan oleh Kasyhan dan Stein (2000) dimana bank mampu meningkatkan atau menjaga
pertumbuhan kredit dengan menurunkan tingkat liquid aset. Bank yang likuid juga
menunjukkan bahwa bank tersebut memiliki pertumbuhan deposito yang lambat. Hal ini
karena bank akan cenderung tidak terinsentif untuk mengumpulkan deposito ketika bank
mengalokasikan aset yang relative lebih sedikit untuk pinjaman.
Variabel ROA memiliki nilai koefisien sebesar 0.560547 dan nilai p-value sebesar
0.0306. Hal ini menunjukkan bahwa karakteristik bank yang dilihat dari profitabilitas
berpengaruh positif secara signifikan terhadap tingkat kredit bank, dengan tingkat signifikansi
sebesar α (5%). Interpretasinya adalah ketika terdapat kenaikan pada ROA maka akan terjadi
peningkatan LDR sebesar 0.560547. ROA merepresentasikan tingkat supply side dari
pinjaman bank. Sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Kwan (2011) bahwa ROA
yang tinggi dapat berimplikasi pada peningkatan retained earnings, sehingga mampu
memberikan tambahan modal untuk mendukung pembiayaan pada pinjaman bank.
Variabel SIZE memiliki nilai koefisien sebesar 5.974273 dan p-value sebesar 0.0000.
Hal ini menunjukkan bahwa karakteristik bank yang dilihat dari ukuran bank berpengaruh
positif secara signifikan terhadap tingkat kredit bank, dengan tingkat signifikansi sebesar α
(1%). Interpretasinya adalah ketika terdapat kenaikan pada SIZE maka akan terjadi
Analisis Pengaruh..., Karisma Maharani A, FE UI, 2013
peningkatan pada LDR sebesar 5.974273. Pada dasarnya pengaruh ukuran bank memang
cenderung mempengaruhi keputusan bank pada kebijakan pengeluaran kreditnya. Seiring
dengan penelitian yang dilakukan oleh Kishan dan Opiela (2000) menemukan bahwa dampak
dari respon bank terhadap monetary shock yang dilihat dari tingkan kredit bergantung pada
ukuran kapitalisasi dan aset bank. Dimana bank-bank kecil lebih responsif terhadap monetary
shocks karena bank kecil tersebut tidak mampu untuk mendapatkan alternatif pembiayaan
terutama pada saat kebijakan moneter kontraksi.
Variabel LISTING memiliki nilai koefisien sebesar -1.778649 dan p-value sebesar
0.4563. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun bank sudah melakukan IPO dan terdaftar pada
BEI (listing), lantas tidak mempengaruhi kebijakan bank dalam hal tingkat kredit. Hasil
penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Bhaumik et al. (2011). Hal
ini mungkin dikarenakan pada konteks sektor perbankan di Indonesia yang dimana sesuai
dengan aturan Bank Indonesia (BI) yang mengharuskan perbankan menambah modalnya serta
membutuhkan dana tambahan untuk ekspansi usaha melalui IPO. Sehingga, bank yang sudah
terdaftar pada BEI tidak menjadi penentu bank-bank tersebut dalam kebijakan tingkat
kreditnya.
Variabel IND memiliki nilai koefisien sebesar 0.001859 dan p-value sebesar 0.0001.
Hal ini menunjukkan bahwa pertumbuhan industri yang dilihari dari pertumbuhan IND
memiliki pengaruh positif secara signifikan terhadap tingkat kredit bank, dengan tingkat
signifikansi sebesar α (5%). Interpretasinya adalah ketika terdapat kenaikan pada IND maka
akan meningkatkan LDR sebesar 0.001859. Hasil dari penelitian penulis sejalan dengan hasil
Bhaumik et al. (2011) bahwa pertumbuhan industri menunjukkan pengaruhnya terhadap
tingkat pinjaman bank. Benang merah dari dasar logika ini adalah dengan melihat sisi
permintaan pinjaman dari bank sektor perbankan (Bhaumik dan Piesse, 2008). Ketika terdapat
peningkatan pada pertumbuhan industri, tentunya kebutuhan pembiayaan pada pasar uang
akan cukup tinggi dair unit defisit. Dengan adanya peningkatan permintaan tersebut, bank
merespon dengan peningkatan pada tingkat pinjaman yang diberikan.
Tabel 5. Hasil Regresi Model 3
ALL SAMPLE (GLS)
KRISIS (GLS)
NON KRISIS
2007:3 – 2009:1
(REM)
Variabel
Koef
Prob
Koef
Prob
C
DOWNxPER
-29.76781
-3.256194
0.0419
0.0236**
193.9501
0.0007
69.50
0.0000
-5.309719
0.3382
-0.3701
0.9589
Analisis Pengaruh..., Karisma Maharani A, FE UI, 2013
Koef
Prob
DOWNxASING -6.693650
0.0000*
-8.067272
0.0001*
-2.939
0.2277
DOWNxBPD
DCAP
-7.707746
2.312965
0.0000*
0.0497**
-9.496750
7.852965
0.0000*
0.1751
-7.19
-2.744
0.0323**
0.3861
DLIQ
ROA
-4.662275
0.576970
0.0000*
0.0257**
-10.74068
0.963233
0.0132*
0.1502
-5.114
2.0819
0.0051*
0.0001*
SIZE
6.898707
0.0000*
-6.805444
0.0647***
-1.482
0.2091
LISTING
-0.448718
0.8408
0.029428
0.9976
3.040
0.4508
0.001832
0.0001*
0.841749
0.000000
-0.005082
0.0000*
0.012
0.0000*
IND
R- square
Prob > chi
0.792387
0.081090
0.000000
0.000000
*(1%), **(5%), ***(10%)
Dalam Tabel 4.11, hasil regresi dengan metodel GLS dari Model 2 menghasilkan nilai
koefisien dari variabel DOWNxPERSERO, DOWNxASING, dan DOWNxSWASTA masingmasing sebesar -3.256194, -6.693650, -7.707746 dan nilai p-value masing-masing sebesar
0.0236, 0.0000, 0.0000. Hal ini menunjukkan bahwa perilaku bank persero, bank asing, dan
BPD pada saat terjadi penurunan tingkat suku bunga berpengaruh negatif terhadap tingkat
pinjaman bank dengan tingkat signifikansi α (1%) dan (5%). Interpretasinya adalah ketika
terjadi penurunan tingkat suku bunga, maka LDR pada bank persero, bank asing, dan BPD
masing-masing akan meningkat sebesar 3.256194, 6.693650, 7.707746.
Pada kondisi krisis dan non krisis, hal serupa juga terjadi sama dengan pada saat
otoritas moneter meningkatkan tingkat suku bunga. Bank persero cenderung tidak
terpengaruh dibandingkan bank swasta pada kondisi krisis maupun normal. Sementara, bank
asing pada kondisi krisis berpengaruh negative dan pada saat normal tidak terpengaruh
dibandingkan dengan bank swasta, dan pada BPD penurunan suku bunga mempengaruhi
kebijakan tingkat hutangnya pada kedua kondisi perekonomian dan pada saat krisis BPD
cenderung lebih besar dalam meningkatkan kreditnya dibandingkan dengan bank swasta.
Implikasi yang sama pada masa peningkatan suku bunga terjadi pada masa penurunan
suku bunga juga, yaitu bahwa bank persero akan cenderung lebih tidak sensitive pada
monetary shock. Hal tersebut mendukung penelitian yang dilakukan oleh Bhaummik et al.
(2011) bahwa pada saat terjadi penurunan tingkat suku bunga, maka akan meningkatkan
tingkat pinjaman bank. Namun, peningkatan tingkat kredit pada bank persero cenderung lebih
rendah dibandingkan dengan bank swasta. Disisi lain, bank pembangunan daerah
menunjukkan nilai yang lebih tinggi dalam meningkatkan pinjamannya. Hal ini dikarenakan
pada dasarnya Bank Indonesia menggunakan kebijakan moneter ekspansif melalui penurunan
Analisis Pengaruh..., Karisma Maharani A, FE UI, 2013
suku bunga untuk mendorong aktifitas ekonomi, sehingga peran dari bank persero diharapkan
mampu merangsang rumah tangga untuk meningkatkan permintaan kreditnya.
Faktor internal dan eksternal bank juga memiliki pengaruh yang sama terhadap tingkat
pinjaman bank pada saat terjadi penurunan tingkat suku bunga dibandingkan dengan saat
kenaikan pada tingkat suku bunga. Dimana faktor-faktor internal tersebut meliputi
karakteristik bank (permodalan, likuiditas, profitabilitas, size, dan listing) dan faktor eksternal
bank yang meliputi pertumbuhan industri (IND).
Pada kondisi penurunan tingkat suku bunga,
dimana seluruh karakteristik yang
mencakup kapitalisasi, likuiditas, profitabilitas, ukuran bank turut mempengaruhi kebijakan
bank dalam mengeluarkan kredit, namun terkecuali listing yang cenderung tidak
mempengaruhi. Hubungan dari pengaruhnya tersebut juga sejalan pada saat peningkatan
tingkat suku bunga, dimana peningkatan pada DCAP mampu meningkatkan penyaluran kredit
bank sebesar 2.312965, begitu juga pada ROA dan SIZE yang berpengaruh positif terhadap
penyaluran kredit bank pada masa ekspansif yang masing-masing sebesar 0.576970 dan
6.898707. Sejalan dengan Kasyhan dan Stein (2000) bahwa hubungan pengaruh negative
terjadi antara DLIQ dengan pengeluaran kredit bank dimana sebesar 4.662275. Sementara
dari faktor eksternal, pertumbuhan industri yang diukur melalui pertumbuhan IND juga turut
memberikan hubungn positif. Hal ini juga yang akhirnya semakin mendorong bank-bank di
Indonesia untuk menyalurkan kredit pada saat otoritas moneter menurunkan tingkat suku
bunga.
5. Kesimpulan
Sektor perbankan Indonesia yang cenderung sehat (Laporan Perekonomian
Indonesia Tahun 2009) memberikan dampak pada tingkat bunga BI yang secara signifikan
berpengaruh positif pada tingkat kredit bank pada masa krisis dan tidak signifikan pada masa
non krisis. Hal ini besar kemungkinan karena didukung oleh pertumbuhan sektor perbankan
Indonesia selama beberapa tahun terakhir yang cenderung meningkat, sehingga krisis global
yang terjadi kemarin tidak lantas mempengaruhi negative terhadap kinerja bank-bank di
Indonesia.
Tingkat pertumbuhan kredit pada bank persero tidak signifikan terpengaruh pada
kondisi krisis maupun non krisis. Hal tersebut dikarenakan pada dasarnya bank persero
cenderung mengeluarkan kreditnya untuk hal-hal yang sifatnya kebutuhan pendanaan pada
proyek pemerintah, sehingga pengeluaran kredit bank persero cenderug tidak terpengaruh
oleh kondisi krisis maupun non krisis. Bank dengan kepemilikan asing akan cenderung untuk
Analisis Pengaruh..., Karisma Maharani A, FE UI, 2013
bereaksi dengan menurunkan kreditnya pada kondisi normal dan meningkatkan kreditnya
pada kondisi krisis karena kondisi setelah krisis yang menurunkan kepercayaadirian
kepemilikan asing untuk meningkatkan kredit pada kondisi normal. Pada kondisi krisis BPD
cenderung lebih rendah dalam menurunkan kreditnya dibandingkan bank swasta dan pada
kondisi non krisis BPD juga cenderung lebih tinggi dalam menurunkan kreditnya relative
dibandingkan dengan bank swasta. Hal tersebut dikarenakan pangsa pasar dari BPD
cenderung lebih kecil, sehingga akan cenderung membatasi tingkat kredit yang diberikan
setelah terjadinya krisis.
Ketika otoritas moneter meningkatkan tingkat suku bunga, berpengaruh lebih
rendah terhadap bank asing dalam menurunkan tingkat kreditnya. Sensitifitas yang rendah ini
ditemukan baik dalam rentang jangka pendek maupun jangka panjang. Pada masa krisis bank
asing cenderung meningkatkan suku bunga dan tidak terpengaruh pada saat normal.
Sementara bank persero tidak terpengaruh terhadap tingkat kreditnya baik pada saat krisis
maupun normal. Keunikan juga terjadi pada BPD dimana pada saat krisis justru
meningkatkan kredit dan menurunkan kredit pada saat normal. Implikasi yang sama terjadi
pada saat penurunan suku bunga, yaitu bank persero akan cenderung lebih tidak sensitive
pada monetary shock dan juga fenomena yang sama juga terjadi pada bank asing dan BPD
baik pada kondisi krisis maupun normal.
Faktor internal dan eksternal bank juga memiliki pengaruh yang sama terhadap
tingkat pinjaman bank pada kondisi kebijakan moneter ekspansif dibandingkan dengan
kondisi kebijakan moneter kontraktif. Dimana faktor-faktor internal tersebut meliputi
karakteristik bank (permodalan, likuiditas, profitabilitas, size, dan listing) dan faktor eksternal
bank yang meliputi pertumbuhan industri (IND). Pada kenaikan dan penurunan BI Rate,
pengaruh dari faktor internal yang meliputi permodalan, likuiditas, profitabilitas, dan size
cenderung signifikan terhadap tingkat kredit pada setiap tipe kepemilikan bank pada dua
rezim tersebut. Sementara tidak berpengaruh signifikan dari faktor internal listing. Dari faktor
eksternal yang meliputi pertumbuhan industri, menunjukkan pengaruh yang signifikan
terhadap tingkat kredit bank karena mempengaruhi dari sisi permintaan pasar.
6. Saran
Untuk penelitian selanjutnya, dapat melakukan penelitian pada periode yang lebih
panjang dengan data bulanan agar dapat menangkap fenomena sesuai dengan kondisi
sesungguhnya. Selain itu juga, penelitian selanjutnya sebaiknya menggunakan proksi lain
Analisis Pengaruh..., Karisma Maharani A, FE UI, 2013
dalam menentukan implementasi kebijakan moneternya, seperti dengan menggunakan saluran
uang. Pada penelitian selanjutnya juga dapat membedakan antara pinjaman bank jangka
pendek dan jangka panjang. Sehingga, mampu memperlihatkan perilaku bank dalam
mengeluarkan kredit yang tidak terlalu beresiko dan lebih beresiko pada kondisi kebijakan
moneter yang berbeda.
Investor sebaiknya melihat kondisi makro pada perekonomian. Hal tersebut
dikarenakan pada kondisi kebijakan moneter ekspansif, bank akan cenderung lebih
meningkatkan pengeluaran kreditnya, sehingga hal itu dapat menjadi peluang bagi investor
untuk mendapatkan pembiayaan proyek dari kucuran dana kredit bank. Sementara, pada
kondisi kebijakan moneter kontraksi, bank di Indonesia juga tidak terlalu sensitive terhadap
kebijakan tersebut. Karena kondisi mikro dari industri bank cenderung sedang baik. Sehingga,
pada dasarnya, hal tersebut juga dapat menjadi peluang bagi investor untuk mengajukan
permintaan pinjaman bank.
Otoritas moneter sebaiknya mempertimbangkan tipe kepemilikan pada setiap bank
untuk mencapai implementasi dari kebijakan moneter yang optimal. Dimana pada dasarnya,
setiap tipe kepemilikan bank tersebut memiliki kepentingan yang berbeda dalam kebijakan
pengeluaran kreditnya, sehingga belum tentu akan mematuhi kerangka kebijakan moneter di
Indonesia. Efektifitas kebijakan moneter melalui bank lending channel juga dapat menjadi
lebih baik jika otoritas moneter mampu lebih detail dalam membuat peraturan dari kebijakan
itu sendiri, sehingga dapat memaksa bank-bank tersebut untuk mematuhi kerangka kebijakan
moneter. Hal ini dikarenakan dari sisi makroekonomi, pada dasarnya dibutuhkan kerjasama
dari pembuat kebijakan dan pelaku implementasi kebijakan untuk mencapai kondisi
perekonomian yang lebih baik dan stabil.
7. Referensi
Agung, Juda, Rita M, Bambang P, Nugroho. J.P. 2002. “Bank Lending Channel of Monetary
Transmission in Indonesia. Dalam Warjiyo P. dan Agung J. Transmission Mechanism
of Monetary Policy in Indonesia. PPSK Bank Indonesia
Aleem, A., 2010. Transmission mechanism of monetary policy in India. Journal of Asian
Economics 21, 186–197.
Andries, N., Billon, S., 2010. The effect of bank ownership and deposit insurance on
monetary policy transmission. Journal of Banking and Finance 34, 3050–3054.
Arena, Marco, Carmen Reinhart, dan Fransisco Vazquez, The Lending Channel in Emerging
Analisis Pengaruh..., Karisma Maharani A, FE UI, 2013
Economies: Are Foreign Banks Different?, IMF Working Paper 07/48, Februari 2007.
Bank of International Settlements. 1995. Financial Structure and the Money Transmission
Mechanism, BIS Basle.
Berger, A.N., Klapper, L.F., Peria, M.S.M., Zaidi, R., 2008. Bank ownership type and
banking relationships. Journal of Financial Intermediation 17, 37–62.
Bhaumik, Dang, Kutan. 2011. Implications of bank ownership for the credit channel of
monetary policy transmission: Evidence from India. Journal of Banking and Finance
35, 2418-2428.
Bhaumik, S.K., Dimova, R., 2004. How important is ownership in a market with level playing
field? The Indian banking sector revisited. Journal of Comparative Economics 32,
165–180.
Bhaumik, S.K., Piesse, J., 2008. Does lending behaviour of banks in emerging economies
vary by ownership? Evidence from the Indian banking sector. Economic Systems 32,
177–196.
Bofinger, P. 2001. Monetary Policy: Goals, Institutions, Strategis, and Instruments. Oxford
University Press.
De Bondt, G.J. 2000. Financial Structure and Monetary Transmission in Europe. Edward
Elgar publ.
Erhmann, M., Gambacorta, L., Martinez-Pages, J., Sevestre, P., Worms, A., 2001. Financial
system and the role of banks in monetary policy transmission in the Euro area.
Working paper no. 105, European Central Bank.
Fisher, Irving. 1991. The Purchasing Power of Money, 2nd Edition, 1926, repreinted by
Augustus Kelley, New York, 1963.
Gambacorta, L., 2005. Inside the bank lending channel. European Economic Review 49,
1737–1759.
Gambacorta, L., Mistrulli, P.E., 2004. Does bank capital affect lending behavior? Journal of
Financial Intermediation 13 (4), 436–457.
Goeltom, Miranda S. 2008. The transmission mechanisms of monetary policy in Indonesia.
Bank of International Settlements. Hadad, M D (1996): “Bank behavior in a changing regulatory environment: Study of
Indonesia, 1983–1993”, unpublished thesis, University of Monash.
Huang, Z., 2003. Evidence of bank lending channel in the UK. Journal of Banking and
Finance 27, 491–510.
Kakes, Janes. 2000. Monetary Transmission in Europe: The Role of Financial Markets and
Credit . Edwar Elgar: Chaltenham.
Kashyap, A.K., Stein, J.C., 1993. Monetary policy and bank lending. Working papers no.
Analisis Pengaruh..., Karisma Maharani A, FE UI, 2013
4317, National Bureau of Economic Research.
Kishan, R.P., Opiela, T.P., 2000. Bank size, bank capital and bank lending channel. Journal of
Money, Credit and Banking 32, 121–141.
Kishan, R.P., Opiela, T.P., 2006. Bank capital and loan asymmetry in the transmission of
monetary policy. Journal of Banking and Finance 30, 259–285.
Koch, Timothy W, Mac Donald, S. Scot. (2000), Bank Management, Fourth Edition, Orlando,
The Dryden Press, Harcourt Brace College Publishers.
La Porta, R., Lopez-de-Silanes, F., Shleifer, A., 2002. Government ownership of banks.
Journal of Finance 57, 265–301.
Laporan Perekonomian Indonesia Tahun 2009
Morris, Charles. S and Gordon H Sellon. Jr. 1995. Bank Lending and Monetary Policy:
Evidence on a Credit Channel. ECONOMIC REVIEW · SECOND QUARTER 1995:
59-76
Olivero, M.P., Li, Y., Jeon, B.N., 2011. Competition in banking and the lending channel:
evidence from bank level data in Asia and Latin America. Journal of Banking and
Finance 35, 560–571.
Sarkar, J., Sarkar, S., Bhaumik, S.K., 1998. Does ownership always matter? – Evidence from
the Indian banking industri. Journal of Comparative Economics 26, 262–281.
Stein, J.C., 1998. An adverse-selection model of bank aset and liability management with
implications for the transmission of monetary policy. RAND Journal of Economics 29,
466–486.
Taswan. 2010. Manajemen Perbankan: Konsep, Teknik dan Aplikasi. Yogyakarta: UPP STIM
YKPN Yogyakarta.
Wu, Luca, Jeon. 2007. Transmission of Monetary Policy via Domestik and Foreign Banks in
Emerging Economies: Evidence from Bank-level Data. Department of Economics &
International Business, LeBow College of Business, Drexel University, Philadelphia
PA, USA.
www.bi.go.id. Statistik Perbankan Indonesia
Analisis Pengaruh..., Karisma Maharani A, FE UI, 2013
Download