Law Review Volume XIV, No. 3 – Maret 2015 ASPEK HUKUM HAK ANAK LUAR KAWIN (PENDEKATAN KASUS TERHADAP PUTUSAN PENGADILAN TINGGI RIAU NOMOR 58/PDT/2014/PTR) Agus Gunawan Alumni Fakultas Hukum UPH Karawaci [email protected] Abstract Issues regarding the standing and rights of children who born out of wedlock become important topic lately in Indonesia society. Basically, there are no relation between child and their father, but civil relation between child, mother and the family member of their mother exist. After The Constitutional Court Decision Number 46/PUU-VIII/2010 on children born out of wedlock which contains judicial review of Article 43 paragraph (1) of Law No.1 of 1974 on Marriage is declared, there are civil relation between children who born out of wedlock with their mother and the family member of their mother, along with their father and the family member of their father as long as the biological paternity can be proved by science and technology, or by any other means, or evidence under the law. This paper will discuss about the rights of children who born out of wedlock after The Constitutional Court Decision Number 46/PUU-VIII/2010, and adjudication related to The Riau High Court Decision Number 58/PDT/2014/PTR. Keywords: children who born out of wedlock, marriage Abstrak Permasalahan mengenai kedudukan dan hak anak luar kawin belakangan ini menjadi topik bahasan di kalangan masyarakat Indonesia. Pada dasarnya hubungan antara anak luar kawin dengan laki-laki yang membenihkannya dianggap tidak ada, melainkan ia hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya. Akan tetapi pasca dikeluarkannya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 yang berisikan tentang uji materiil Pasal 43 Ayat 1 Undang-Undang Perkawinan, anak luar kawin mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibunya serta dengan ayah dan keluarga ayahnya selama dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau menurut hukum mempunyai hubungan darah. Tulisan ini akan membahas tentang hak anak luar kawin pasca dikeluarkannya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 dan akan membahas tentang penyelesaian wanprestasi terkait Putusan Pengadilan Tinggi Riau Nomor 58/PDT/2014/PTR. Kata Kunci: anak luar kawin, perkawinan A. Pendahuluan Terdapat kenakearagaman hukum yang terdapat dan berlaku di Indonesia dimana terdapat tiga jenis sistem hukum yang berlaku di Indonesia, yaitu Hukum Perdata Barat, Hukum Adat dan Hukum Islam. Keberagaman sistem hukum tersebut menimbulkan masalah bagi masyarakat Indonesia untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang menyangkut bidang hukum tertentu yang disebabkan oleh kemajemukan hukum ini sehingga masalah 305 Agus Gunawan : Aspek Hukum Hak Anak Luar Kawin … semacam ini dapat menimbulkan terjadinya ketidakpastian hukum. Persoalan atau masalah yang akan dibahas dalam tulisan ini adalah persoalan di bidang hukum keluarga, dimana di dalam hukum keluarga tersebut juga terdapat hukum perkawinan dan hukum waris. Hukum waris di Indonesia sendiri masih bersifat pluralistis, karena di Indonesia saat ini berlaku tiga sistem hukum yang berlaku,yakni Hukum Waris Adat, Hukum Waris Islam, dan Hukum Waris Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.76 Pembahasan di dalam penelitian hukum ini difokuskan kepada hukum keluarga yang diatur di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata selanjutnya disingkat KUHPerdata. Hukum perkawinan dan hukum pewarisan merupakan bagian terpenting dalam hukum keluarga, karena dengan adanya suatu perkawinan dan pewarisan akan menimbulkan akibat hukum yang cukup besar pengaruhnya bagi mereka yang bersangkutan. 77 Hal ini disebabkan apabila seseorang telah melakukan sebuah proses perkawinan maka status dan kepemilikan atas harta kekayaan orang tersebut dapat berubah pula, sehingga dikenal istilah percampuran kekayaan dan pemisahan kekayaan dalam Hukum Perdata Barat. Salah satu tujuan dari dilangsungkannya perkawinan adalah untuk melanjutkan keturunan dimana kelahiran seorang anak dalam sebuah keluarga merupakan akibat dari hubungan biologis yang dilakukan oleh pasangan suami istri atau kedua orang tua dari anak tersebut. Menurut Hukum Perdata yang dimaksud dengan keturunan adalah anak-anak yang dilahirkan, dimana anak-anak yang telah dilahirkan tersebut akan dibagi kedalam 2 (dua) golongan, yaitu anak sah dan anak tidak sah. Arti dari anak sah menurut Pasal 250 KUHPerdata adalah “ Tiap-tiap anak yang dilahirkan atau ditumbulkan sepanjang perkawinan memperoleh si suami sebagai bapaknya”. Yang dimaksud dengan anak tidak sah adalah anak yang dilahirkan di luar perkawinan. Anak sah terdiri dari dua yaitu Anak Zinah dan Anak Sumbang. Anak zinah adalah anak yang dilahirkan dari hubungan antara dua orang, laki-laki dan perempuan, yang bukan suami istri, dimana salah satu atau kedua-duanya terikat dalam suatu perkawinan dengan orang lain. Pengertian dari anak sumbang adalah anak-anak yang dilahirkan dari hubungan antara dua orang yang mempunyai hubungan darah yang dekat, sehingga antara mereka dilarang oleh undang-undang untuk menikah. Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan selanjutnya disingkat UUP, 76 Surini Ahlan Sjarif, Nurul Elmiyah, Hukum Kewarisan Perdata Indonesia,2006),hal.1 77 Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, (Jakarta : PT. Intermasa,1987),hal.11 306 Barat, (Jakarta:Universitas Law Review Volume XIV, No. 3 – Maret 2015 kedudukan mengenai status seorang anak diatur di dalam Pasal 42 sampai dengan Pasal 44. Pasal-pasal tersebut memberikan pembedaan terhadap kedudukan anak, yaitu kedudukan sebagai anak sah dan anak luar kawin. Perbedaan yang terjadi antara anak sah dan anak luar kawin membawa konsekuensi lebih lanjut dalam hukum, dimana kedudukan anak luar kawin ternyata lebih rendah dibanding dengan kedudukan hukum anak sah. Anak sah pada asasnya berada di bawah perwalian sesuai dengan ketentuan Pasal 353 KUHPerdata dan hak bagian anak sah dalam pewarisan orang tuanya lebih besar dibandingkan dengan anak luar kawin. Anak yang dilahirkan diluar perkawinan yang sah adalah bukan anak sah, hal ini membawa konsekuensi dalam bidang pewarisan. Menurut pasal 43 ayat (1) UUP yang telah mengalami perubahan: “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya. Status hak waris anak luar kawin menurut KUHPerdata baru timbul setelah adanya pengakuan dari laki-laki atau perempuan yang membenihkannya, sedangkan dengan keluarga ayah atau ibu yang mengakuinya baru timbul setelah adanya pengesahan. Dengan dikeluarkannya putusan Mahkamah Konstitusi mengenai status hak keperdataan anak luar kawin menjadikan anak luar kawin sebagai pihak yang memiliki kedudukan hukum dalam perkara kewarisan di pengadilan dan berhak memperoleh harta warisan ayah biologisnya dengan keharusan mampu membuktikan adanya hubungan darah berdasarkan ilmu pengetahuan atau teknologi/ alat bukti lain menurut hukum. Pada dasarnya hubungan dan kedudukan hukum anak luar kawin dengan orang tua selain mengenai hal waris diatur juga mengenai penafkahan. Penafkahan tersebut diatur dalam pasal 45 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 yang berisi: 1. Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya. 2. Kewajiban orang tua yang dimaksud dalam ayat (1) berlaku sampai anak itu kawin atau berdiri sendiri, kewajiban mana berlaku terus meskipun perkawinan antara keduanya putus. Kedudukan hukum anak luar kawin dalam hal penafkahan ini sangat perlu untuk diteliti dan dicari kejelasan mengenai hal ini sebab setiap individu yang terlahir di dunia ini membutuhkan kedudukan atau status hukum yang jelas sehingga apabila individu tersebut 307 Agus Gunawan : Aspek Hukum Hak Anak Luar Kawin … mengalami atau menghadapi suatu kasus hukum maka ia memiliki kedudukan hukum yang jelas, dalam tulisan ini mencoba mengangkat pembahasan yang lebih dalam dan lebih menekankan mengenai hak anak luar kawin menurut hukum yang berlaku di Indonesia. B. Pembahasan B. 1. Hak-Hak Anak Luar Kawin Setelah Adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 Anak adalah amanah sekaligus karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang senantiasa harus kita jaga karena dalam dirinya melekat harkat,martabat, dan hak-hak sebagai manusia yang harus dijunjung tinggi. Anak juga merupakan masa depan bangsa dan generasi penerus citacita bangsa, sehingga setiap anak berhak atas perlindungan dari tindak kekearasan dan diskriminasi serta hak sipil dan kebebasan. Menurut sudut pandang hukum, terdapat beberapa tahap proses kelahiran seorang anak, pertama jika perkawinan yang dilakukan orang tuanya sah atau legal, baik menurut hukum agama maupun hukum Negara si anak akan menyandang predikat sebagai anak yang sah. Namun jika perkawinan yang dilakukan kedua orang tuanya tidak sah, maka menurut hukum agama maupun hukum Negara si anak akan menyandang predikat sebagai anak tidak sah (anak luar kawin). Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (selanjutnya disebut UUP) mengenal istilah anak yang dilahirkan dalam perkawinan, anak yang dilahirkan sebagai akibat dari perkawinan dan anak yang dilahirkan diluar perkawinan. Namun dalam UUP tidak mengenal istilah anak luar kawin. Anak luar kawin sendiri diatur pada KUHPerdata Bab XII Bagian Kedua. Menurut Pasal 42 UUP, anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah. Kemudian pengertian anak luar kawin adalah anak yang dilahirkan bukan dari perkawinan yang sah, dimana anak tersebut dilahirkan dari hubungan seorang laki-laki dengan seorang perempuan yang kedua-duanya tidak terikat perkawinan dengan orang lain. Dalam hal ini perempuan telah mengandung dan melahirkan anak dari hubungan dengan laki-laki tersebut tanpa adanya perkawinan antara keduanya. Menurut Pasal 272 KUHPerdata, pengertian anak luar kawin dibagi menjadi dua yaitu dalam arti luas dan arti sempit. Anak luar kawin dalam arti luas meliputi anak zina, anak sumbang dan anak luar kawin lainnya. Sedangkan anak luar kawin dalam arti sempit, artinya tidak termasuk anak zina dan anak sumbang. 308 Law Review Volume XIV, No. 3 – Maret 2015 Dalam hal anak luar kawin, terdapat beberapa penyebab terjadinya anak luar kawin, diantaranya sebagai berikut: 1. Adanya pengingkaran yang dilakukan oleh suami Dalam Pasal 44 Ayat (1) UUP, seorang suami diberikan hak untuk dapat menyangkal atas keabsahan anak yang lahir dalam perkawinan. Suami dapat menyangkal sahnya anak yang dilahirkan oleh istrinya karena berzina dan pengadilan akan memberikan keputusan tentang sah tidaknya anak itu. Penyangkalan yang dilakukan oleh suami terhadap anak yang dilahirkan dari hasil hubungan zina istrinya dengan laki-laki lain tersebut beban pembuktian dalam ketentuan ini oleh hukum dibebankan pada suami yang melakukan penyangkalan. Hal yang dibuktikan oleh seorang suami adalah anak tersebut benar-benar merupakan hasil perzinahan yang dilakukan istri dengan laki-laki lain yang menjadi sebab kelahiran anak tersebut. Apabila suami tidak dapat menunjukkan bukti-bukti yang kuat maka penyangkalan tidak dapat dilakukan. Akan tetapi Pasal 254 KUHPerdata juga memberikan hak kepada istri untuk mengemukakan segala bukti, baik dari peristiwa, saksi atau bukti lain yang bisa membuktikan bahwa suaminyalah bapak dari anak tersebut seperti akta kelahiran anak, saksi-saksi (bila tidak ada akta kelahiran), dan juga dengan melakukan tes DNA. UUP tidak menjelaskan secara tegas kapan seorang bapak dapat meningkari anaknya, namun dalam KUHPerdata memberi batas waktu sebagai berikut: a. Satu bulan jika ia tinggal di tempat kelahiran si anak atau sekitarnya; b. Dua bulan setelah pulang kembalinya, jika ia berada dalam keadaan tidak hadir; c. Dua bulan setelah tipu muslihat diketahuinya,jika kelahiran anak tersebut disembunyikan darinya; Pengingkaran seorang suami terhadap anak yang dilahirkan oleh istrinya,meskipun dalam UUP tidak diatur, namun diatur dalam Pasal 252 sampai dengan Pasal 256 KUHPerdata. 2. Perkawinan di bawah tangan Perkawinan di bawah tangan biasa dikenal dengan istilah ‘kawin siri’ atau ‘nikah siri’. Walaupun masih menimbulkan pro dan kontra di masyarakat, praktek perkawinan semacam ini masih sering terjadi di kalangan masyarakat. Definisi dari perkawinan bawah tangan adalah perkawinan yang dilakukan hanya berdasarkan aturan agama atau adat istiadat dan tidak dicatatkan di kantor pencatat nikah dan berdasarkan adat dianggap sah. Akan tetapi menurut hukum yang berlaku di Indonesia, perkawinan yang dilakukan 309 Agus Gunawan : Aspek Hukum Hak Anak Luar Kawin … diluar pengetahuan dan pengawasan pegawai pencatat nikah tidak memiliki ketetapan hukum dan dianggap tidak sah di mata hukum. Perkawinan di bawah tangan berdampak merugikan istri baik secara hukum maupun sosial. Secara hukum, seorang wanita itu tidak dianggap sebagai istri yang sah, wanita itu pun tidak berhak atas nafkah dan warisan dari suami jika ia meninggal. Disamping itu juga ia tidak berhak atas harta gono-gini jika terjadi perpisahan karena secara hukum perkawinan dianggap tidak pernah terjadi. Secara sosial, wanita itu akan dianggap melakukan kumpul kebo atau istri simpanan karena ia telah tinggal serumah dengan laki-laki tersebut. Perkawinan di bawah tangan ini juga memberikan dampak negatif terhadap anak di mata hukum karena perkawinan bawah tangan ini akan menimbulkan status anak luar kawin dan juga anak yang dilahirkan dianggap sebagai anak tidak sah. Konsekuensi dari perkawinan bawah tangan terhadap anak adalah si anak hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya dan tidak mempunyai hubungan hukum terhadap ayahnya. Dalam akta kelahiran anak tersebut pun tidak tercantum nama ayahnya melainkan hanya mencantumkan nama ibu yang melahirkan saja. Selain itu, dampak merugikan yang lainnya adalah anak tersebut tidak berhak atas biaya kehidupan dan warisan dari ayahnya. Terjadinya anak luar kawin juga bisa disebabkan dari hal-hal tertentu seperti anak yang dilahirkan dari seorang ibu yang tidak diketahui bapaknya, anak yang dilahirkan dari kumpul kebo, dimana kedua orang tua anak tersebut mengkehendaki kelahiran anak tersebut, dan anak yang dilahirkan dari seorang ibu dan seorang laki-laki yang akibat hukum perdata atau menurut hukum Negara tidak dapat nikah misalnya seorang WNA menikah dengan seorang WNI tetapi tidak mendapat izin dari kedutaan karena masih terikat dengan perkawinan lain di negaranya. Kemudian anak yang sama sekali tidak diketahui siapa orang tuanya sebagai anak temuan dan anak yang dilahirkan dari seorang perempuan dan laki-laki yang akibat ketentuan agama tidak dapat menikah, misalnya dalam ajaran Katolik dimana terdapat ketentuan yang mengatakan tidak mengenal cerai hidup dapat dikategorikan sebagai penyebab lain terjadinya anak luar kawin. Anak luar kawin yang dapat diakui adalah anak yang dilahirkan oleh seorang ibu, tetapi tidak dibenihkan oleh seorang pria yang berada dalam ikatan perkawinan sah dengan ibu anak tersebut dan tidak termasuk dalam kelompok anak zinah dan anak sumbang. 310 Law Review Volume XIV, No. 3 – Maret 2015 Kedudukan seorang anak pada umumnya memiliki posisi yang cukup penting dalam tiap kehidupan berkeluarga dan bernegara karena bagaimanapun juga seperti yang dikatakan oleh Darwan Prinst bahwa anak adalah merupakan bagian dari generasi muda, sebagai penerus cita-cita perjuangan bangsa.78 Setiap anak yang dilahirkan didunia ini memiliki kedudukan yang sama, dan memiliki fitrah yang sama sebagai makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa sehingga di dalam UUD 1945 Pasal 28 B ayat (2) menyebutkan bahwa “Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”. Dalam hal ini konstitusi tidak memberikan pengecualian atas hak asasi yang dimiliki oleh setiap anak, baik dia sebagai anak sah atau dia sebagai anak luar kawin. Namun dalam realitanya, sangat sulit untuk memberikan kedudukan yang sama dan seimbang antara anak sah dan anak luar kawin, karena mereka memiliki status hukum yang berbeda dan terdapat beberapa hal yang berbeda antara keduanya. Keberadaan anak luar kawin memiliki konsekuensi hukum tersendiri, pendapat yang dikemukakan J.Satrio memandang bahwa Hukum Perdata dalam memposisikan kedudukan anak yang dilahirkan diluar perkawinan yang sah dimana seorang anak luar kawin tidak bisa begitu saja langsung memiliki hubungan hukum kekeluargaan dengan ayah ataupun ibunya. Seorang anak memang memiliki kesamaan/kemiripan biologis dengan kedua orangtuanya akan tetapi secara yuridis mereka tidak memiliki hak dan kewajiban apapun terhadap anak luar kawin tersebut (anak luar kawin hanya hidup sebatang kara di dunia ini).79 Dalam hal anak luar kawin mendapatkan status dan kedudukan hukum yang jelas maka diperlukan suatu pengakuan dan pengesahan. Pengertian dari pengakuan adalah suatu perbuatan pemberian keterangan dari seorang pria yang menyatakan pengakuan terhadap anak luar kawin tanpa mempersoalkan siapa yang membuahi atau menghamili wanita yang melahirkan anak tersebut sehingga timbullah suatu hubungan kekeluargaan antara anak dengan pria yang mengakuinya tersebut dan anak tersebut dapat dikatakan sebagai anak sah. Setelah adanya pengakuan, maka dilakukan upaya pengesahan agar anak tersebut memiliki status dan kedudukan hukum yang jelas. Pengesahan terhadap anak luar kawin ini dapat dikatakan sebagai upaya hukum untuk memberikan suatu kedudukan anak sah melalui perkawinan yang dilakukan oleh kedua orang tua biologisnya, akan tetapi jika anak tersebut merupakan anak 78 79 Darwan Prinst, Hukum Anak di Indonesia , (Bandung : PT.Citra Aditya Bakti,2003), hal . 2 J.Satrio, Hukum Waris , (Bandung: Alumni,1992) , hal . 153 311 Agus Gunawan : Aspek Hukum Hak Anak Luar Kawin … zinah atau anak sumbang, maka status anak tersebut tidak bisa disahkan meskipun kedua orang tua dari anak tersebut telah melakukan perkawinan. Menurut KUHPerdata, ada tiga tingkatan status hukum dari anak luar kawin, yaitu: a. Anak di luar perkawinan, anak ini belum diakui oleh kedua orang tuanya. b. Anak di luar perkawinan yang telah diakui oleh salah satu atau kedua orang tuanya. c. Anak di luar perkawinan itu menjadi anak sah, sebagai akibat kedua orang tuanya melangsungkan perkawinan sah.80 Dengan adanya pengakuan oleh orang tuanya atau salah satu orang tuanya barulah timbul hubungan hukum antara si anak luar kawin tersebut dengan orang tuanya atau salah satu dari orang tua yang mengakuinya. Dalam menyelidiki siapakah ibu dari seorang anak luar kawin, maka si anak luar kawin yang bersangkutan harus mengajukan bukti-bukti tertulis dalam suatu tuntutan pengakuan, dan dia dilarang hanya mempergunakan bukti saksi saja tanpa adanya bukti tulisan. Seorang anak luar kawin tidak boleh diperlakukan secara tidak adil dan anak luar kawin tidak boleh mendapatkan tindakan diskriminasi secara hukum, apalagi jika melihat realita yang ada, anak yang dilahirkan tanpa kejelasan status sering mendapat perlakuan tidak adil dan pandangan buruk di masyarakat. Seorang anak luar kawin juga berhak untuk mendapatkan haknya untuk bisa hidup secara layak dari ayah biologisnya, seperti biaya pendidikan dan biaya pemeliharaan yang akan menunjang kehidupannya atau ia mendapatkan bagian dari harta peninggalan jika ayah biologisnya meninggal, walaupun bagian yang ia dapat tidak sebesar bagian yang diterima oleh anak sah, baik dengan waris, hibah ataupun wasiat. 81 Di dalam Pasal 42 sampai dengan Pasal 43 UUP diatur mengenai kedudukan anak. Kedudukan yang diatur di dalam pasal ini adalah mengenai hubungan anak dengan orang tuanya. Pada Pasal 43 UUP yang belum diuji materiil, hubungan perdata seorang anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya sebatas dengan ibunya dan keluarga ibunya saja. Dalam hal ini anak tersebut tidak memiliki hubungan perdata dengan laki-laki atau ayah yang telah membenihkannya. Dengan tidak adanya hubungan perdata si anak dengan ayah atau laki-laki yang membenihkannya maka anak tersebut tidak dapat menuntut hak apapun kepada ayahnya dan keluarga ayahnya itu. 80 Soedahryo Soimin , Hukum Orang dan Keluarga , (Jakarta, Sinar Grafika,1992), hal . 41 D.Y. Witanto, Hukum Keluarga Hak dan Kedudukan Anak Luar Kawin : Pasca Keluarnya Putusan MK Tentang Uji Materiil UU Perkawinan, (Jakarta: Prestasi Pustaka,2012), hal. 241-244 81 312 Law Review Volume XIV, No. 3 – Maret 2015 Dalam hal ini ayah dari anak luar kawin tidak memiliki tanggung jawab untuk memberikan nafkah kepada anak tersebut ataupun memberikan warisan kepada anak itu karena dalam Pasal 43 UUP menyatakan bahwa anak luar kawin hanya memiliki hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya saja. Oleh karena itu tanggung jawab untuk mengasuh, mendidik dan membesarkan anak tersebut berada dalam tanggung jawab dari si ibu tersebut dan anak luar kawin itu memiliki hak untuk mendapatkan warisan dari ibunya maupun dari keluarga ibunya. Pada Pasal 43 UUP yang telah diuji materiil melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 menyatakan bahwa anak yang dilahirkan diluar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya. Jika anak luar kawin itu telah diakui sah oleh ayah atau laki-laki yang membenihkannya itu, maka ayah dari anak luar kawin tersebut memiliki tanggung jawab untuk mengasuh, mendidik serta membesarkan anak luar kawin tersebut. Anak luar kawin tersebut juga berhak untuk menuntut hak-hak yang ia dapatkan seperti anak-anak sah lainnya seperti hak atas nafkah, hak perwalian, dan hak waris walaupun bagian yang ia dapatkan tidak sama besarnya dengan bagian yang didapat oleh anak-anak sah. Mengenai kedudukan, perlindungan dan hak-hak yang didapatkan oleh seorang anak yang telah dilahirkan baik didalam perkawinan maupun terlahir di luar perkawinan, terdapat beberapa peraturan hukum positif di Indonesia yang terkait dengan persoalan kedudukan dan perlindungan anak luar kawin yaitu Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (selanjutnya disebut UUPA). UUPA mengatur persoalan terkait dengan perlindungan anak, dimana didalam Undang-Undang itu disebutkan bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun termasuk anak yang masih dalam kandungan ( Pasal 1 Ayat 1 UUPA) dan perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi ( Pasal 1 Ayat 2 UUPA). Sehingga setiap anak berhak untuk diasuh oleh orang tuanya sendiri, kecuali jika ada alasan dan/atau aturan hukum yang sah 313 Agus Gunawan : Aspek Hukum Hak Anak Luar Kawin … menunjukkan bahwa pemisahan itu adalah demi kepentingan bagi anak dan merupakan pertimbangan terakhir (Pasal 14 UUPA). Menurut Pasal 4 sampai dengan Pasal 17 UUPA, menyatakan bahwa setiap anak yang dilahirkan didunia ini mempunyai hak-hak yang layak ia dapatkan, antara lain: a. Hak untuk dapat hidup, tumbuh,berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi ( Pasal 4 UUPA); b. Hak atas suatu nama sebagai identitas diri dan status kewarganegaraan ( Pasal 5 UndangUndang Nomor 23 Tahun 2002); c. Hak untuk beribadah menurut agamanya, berfikir, berekspresi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya, dalam bimbingan orang tua ( Pasal 6 UUPA); d. Hak untuk mengetahui orang tuanya, dibesarkan dan diasuh oleh orang tuanya sendiri. Dalam hal karena suatu sebab orang tuanya tidak dapat menjamin tumbuh kembang anak atau anak dalam keadaan terlantar maka anak tersebut berhak diasuh atau diangkat sebagai anak asuh atau anak angkat oleh orang lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku ( Pasal 7 Ayat 1 dan 2 UUPA); e. Hak untuk memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial sesuai dengan kebutuhan fisik, mental, spiritual dan sosial (Pasal 8 UUPA); f. Hak untuk memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakatnya. Khusus bagi anak penyandang cacat juga berhak memperoleh pendidikan luar biasa,sedangkan bagi anak yang memiliki keunggulan juga berhak mendapatkan pendidikan khusus ( Pasal 9 Ayat 1 dan 2 UUPA); g. Hak untuk menyatakan dan didengar pendapatnya, menerima, mencari dan memberikan informasi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya demi pengembangan dirinya sesuai dengan nilai-nilai kesusilaan dan kepatutan (Pasal 10 UUPA); h. Hak untuk beristirahat dan memanfaatkan waktu luang, bergaul dengan anak sebaya, bermain, berekreasi dan berkreasi sesuai dengan minat, bakat dan tingkat kecerdasannya demi pengembangan diri (Pasal 11 UUPA); i. Dalam hal anak yang menyandang cacat, maka ia berhak untuk mendapatkan rehabilitasi, bantuan sosial dan pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial (Pasal 12 UUPA); 314 Law Review Volume XIV, No. 3 – Maret 2015 j. Setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua atau wali,berhak menadapatkan perlindungan dari perlakuan diskriminasi, eksploitasi baik ekonomi maupun seksual, penelantaran, kekejaman, kekerasan dan penganiayaan, ketidakadilan, dan perlakuan salah lainnya (Pasal 13 UUPA); k. Setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari penyalahgunaan dalam kegiatan politik, pelibatan dalam sengketa bersenjata, pelibatan dalam kerusuhan sosial, pelibatan dalam peristiwa yang mengandung unsur kekerasan dan pelibatan dalam peperangan (Pasal 15 UUPA); l. Setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari sasaran penganiayaan, penyiksaan, penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi. Dan setiap anak juga berhak untuk memperoleh kebebasan sesuai dengan hukum (Pasal 16 Ayat 1 dan 2 UUPA); m. Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak untuk mendapatkan perlakuan secara manusiawi dan penempatannya dipisahkan dari orang dewasa, memperoleh bantuan hukum atau bantuan lainnya secara efektif dalam setiap tahapan upaya hukum yang berlaku, dan membela diri serta memperoleh keadilan di depan pengadilan anak yang objektif dan tidak memihak dalam sidang tertutup untuk umum (Pasal 17 Ayat 1 UUPA). Di dalam UUP tidak diatur dengan jelas mengenai hak-hak anak, namun pada Pasal 45 menyatakan bahwa kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak mereka sebaikbaiknya, dimana kewajiban itu akan berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri dan kewajiban ini akan berlaku terus walaupun perkawinan antara kedua orang tua telah putus. Dari pasal tersebut, penulis dapat menarik kesimpulan bahwa setiap anak berhak atau memiliki hak atas nafkah, pemeliharaan dan hak waris dari kedua orang tuanya selama ia belum menikah atau ia belum dewasa dan hak atas pemeliharaan yang ia miliki ini akan terus berlaku walaupun perkawinan antara kedua orang tuanya telah putus atau berakhir, meskipun di dalam Pasal 45 tidak diatur dengan jelas, tetapi hak-hak itu telah melekat pada setiap anak yang dilahirkan. Mengenai masalah hak waris bagi anak luar kawin, hukum yang berlaku di Indonesia memberikan solusi agar anak luar kawin dapat memperoleh warisan dari ayahnya dengan cara diakuinya anak tersebut oleh ayahnya. Dalam KUHPerdata hak waris anak luar kawin yang diakui diatur pada Pasal 862-866. Syarat agar anak luar kawin dapat mewaris adalah bahwa anak luar kawin tersebut harus diakui dengan sah oleh orang tua yang membenihkannya. Hubungan hukum antara anak luar kawin dengan ayah ibunya timbul 315 Agus Gunawan : Aspek Hukum Hak Anak Luar Kawin … sesudah adanya pengakuan dari ayah ibunya dan menurut Pasal 872 KUHPerdata, hubungan hukum tersebut bersifat terbatas, dalam arti hubungan hukum itu hanya ada antara anak luar kawin yang diakui dengan ayah ibu yang mengakuinya saja.82 Hak waris anak-anak luar kawin yang tidak dapat diakui (anak zinah dan anak sumbang), Pasal 867 KUHPerdata menentukan bahwa mereka tidak dapat mewaris dari orang yang membenihkannya, mereka hanya dapat nafkah untuk hidup. Dalam hal ini anak zinah dan anak sumbang menurut KUHPerdata sama sekali tidak mempunyai hak untuk mewaris dari orang tuanya, dan hak yang diberikan oleh Undang-undang hanyalah sebatas hak untuk mendapatkan nafkah saja. Menurut Pasal 868 KUHPerdata nafkah ditentukan menurut kekayaan si ayah dan si ibu, serta jumlah dan keadaan para waris yang sah. Walaupun diantara hukum positif dan beberapa undang-undang yang berlaku bagi anak tersebut memiliki prinsip yang sama, namun dalam kenyataannya muncul hal yang membedakan adapun hal tersebut adalah kedudukan dari anak tersebut. Kedudukan dalam hal ini apakah anak tersebut merupakan anak sah atau anak tersebut merupakan anak luar kawin, dimana berdasarkan dari kedudukan itu pula yang membedakan konsekuensi seseorang dalam memperoleh hak warisnya. Permasalahan hak dan kedudukan hukum anak luar kawin belakangan ini menjadi sorotan di kalangan masyarakat. Seperti yang selama ini diatur dalam Pasal 43 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan bahwa anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya. Kemudian Hj. Aisyah Mochtar alias Machica binti H. Mochtar Ibrahim beserta anaknya, Muhammad Iqbal Ramadhan bin Moerdiono mengajukan permohonan judicial review ke Mahkamah Konstitusi tertanggal 14 Juni 2010. Judicial review adalah pengujian terhadap kebenaran suatu norma yang dilakukan melalui mekanisme lembaga peradilan.83 Judicial review yang dimohonkan berupa pengujian materil atau atas materi muatan undang-undang Nomor 1 Tahun 1974. Ia mempertanyakan konstitusionalitas Pasal 2 ayat 2 dan Pasal 43 ayat 1. Akibat kedua pasal tersebut, pemohon merasa hak konstitusionalnya dirugikan karena tidak bisa mendapatkan pengesahan status hukum bagi anaknya, Muhammad Iqbal Ramadhan, yang menurut dia merupakan hasil hubungan di luar nikah.84 82 Surini Ahlan Sjarif dan Nurul Elmiyah, Hukum Kewarisan Perdata Barat, (Jakarta: Kencana Media Group), hal. 87 83 Jimly Ashidiqqie, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, ( Jakarta: Konstitusi Press, 2006) , hal . 1 84 Majalah Konstitusional, No. 61 edisi Februari 2012, Jakarta , hal . 3 316 Law Review Volume XIV, No. 3 – Maret 2015 Mahkamah Konstitusi menilai bahwa tidaklah tepat dan tidak adil apabila hukum menetapkan bahwa anak yang lahir dari suatu kehamilan karena hubungan seksual diluar perkawinan hanya memiliki hubungan dengan perempuan tersebut sebagai ibunya. Mahkamah Konstitusi juga menilai bahwa tidaklah tepat dan tidak adil jika hukum membebaskan laki-laki yang melakukan hubungan seksual yang menyebabkan terjadinya kehamilan dam kelahiran anak, dari tanggung jawabnya sebagai seorang bapak. Mahkamah Konstitusi juga menegaskan akibat hukum dari peristiwa hukum kelahiran karena kehamilan yang didahului dengan hubungan seksual antara seorang perempuan dan seorang laki-laki. Akibat hukum tersebut adalah hubungan hukum yang di dalamnya terdapat hak dan kewajiban secara timbal balik, yang subjek hukumnya meliputi anak, ibu dan bapak, karena itu hubungan anak dengan seorang laki-laki sebagai bapak tidak semata-mata disebabkan oleh ikatan perkawinan, melainkan dapat juga didasarkan pada pembuktian adanya hubungan darah antara anak dengan laki-laki tersebut sebagai bapak. Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut, Mahkamah Konstitusi memutuskan untuk mengubah Pasal 43 Ayat 1 UUP yang semula menyatakan, “ Anak yang dilahirkan diluar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya”, menjadi “ Anak yang dilahirkan diluar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya”. Putusan tersebut memberi keadilan dan juga kepastian hukum kepada anak-anak yang terlahir diluar pernikahan, di sisi lain putusan ini membebankan tanggung jawab kepada laki-laki yang menjadi ayah biologis atas anak di luar perkawinan tersebut. Sebelum dikeluarkannya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010, anak luar kawin hanya mempunyai hubungan hukum dengan ibunya dan keluarga ibunya saja, dan anak luar kawin tersebut sama sekali tidak mempunyai hubungan hukum dengan laki-laki yang telah membenihkannya atau ayahnya. Maka segala sesuatu yang berhubungan dengan anak tersebut seperti pemeliharaan, dan pendidikan hingga anak itu dewasa akan ditanggung oleh ibunya karena anak tersebut tidak mempunyai hubungan perdata dengan ayah dan keluarga ayahnya itu. Tidak adanya hubungan antara si anak dengan laki-laki yang membenihkannya atau ayahnya akan berakibat pada hak-hak yang diterima oleh anak luar kawin, dimana anak luar kawin tersebut tidak bisa mendapatkan hak waris atau tidak bisa 317 Agus Gunawan : Aspek Hukum Hak Anak Luar Kawin … mendapatkan warisan dari ayah maupun keluarga ayahnya itu, dan anak luar kawin tersebut tidak dapat menuntut hak warisnya kepada ayahnya. Hak anak luar kawin setelah adanya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUUVIII/2010 tidaklah berbeda dengan anak yang dilahirkan di dalam perkawinan sah selama anak itu telah diakui oleh orang tuanya dan dilakukan pengesahan pada instansi pemerintah yang berwenang untuk mencatatkan itu. Hak-hak yang didapatkan oleh anak luar kawin meliputi hak untuk mendapatkan nafkah, hak untuk mendapatkan perwalian, dan hak untuk mendapatkan waris. Hak yang didapat anak luar kawin yang pertama adalah hak untuk mendapatkan nafkah dari orang tuanya terutama sang ayah dari anak tersebut dimana menurut Pasal 7 Ayat 1 UUPA mengatakan bahwa setiap anak berhak untuk mengetahui orang tuanya dibesarkan dan diasuh oleh orang tuanya sendiri. Dalam hal ini, anak luar kawin berhak untuk dibesarkan dan mendapatkan nafkah dari orang tuanya sendiri. Kemudian Pasal 26 Ayat 1 UUPA juga menyebutkan bahwa orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi anak, menumbuhkembangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat dan minatnya. Dan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 4 tahun 1979 tentang kesejahteraan anak menyatakan bahwa setiap anak berhak atas kesejahteraan, perawatan, asuhan dan bimbingan berdasarkan kasih sayang baik dalam keluarga maupun didalam asuhan khusus untuk tumbuh dan berkembang dengan wajar. Baik anak sah ataupun anak anak luar kawin berhak untuk mendapatkan nafkah dari orangtuanya hingga anak tersebut dapat dikategorikan sebagai sudah dewasa (18 tahun). Nafkah yang diberikan oleh orang tua kepada anak juga harus disesuaikan dengan kemampuan memberi orang tua dan kebutuhan yang diperlukan oleh anak. Menurut Pasal 329a KUHPerdata, nafkah yang diwajibkan untuk pemeliharaan dan pendidikan seorang anak di bawah umur harus ditentukan menurut perbandingan kebutuhan pihak yang berhak atas pemeliharaan itu, dengan pendapatan dan kemampuan pihak yang wajib membayar, dihubungkan dengan jumlah dan keadaan orang-orang yang menurut KUHPerdata ini menjadi tanggungannya. Dalam hal pemberian nafkah, KUHPerdata pada Pasal 868 menyebutkan bahwa nafkah ditentukan menurut kekayaan si ayah atau si ibu, serta jumlah dan keadaan para waris yang sah menurut undang-undang. Berkaitan dengan hal tersebut, maka dalam pemberian nafkah harus menyesuaikan dengan kapabilitas orang tua dalam memberikan nafkah kepada anak tersebut dan nafkah yang diberikan juga harus sesuai 318 Law Review Volume XIV, No. 3 – Maret 2015 dengan kebutuhan yang diperlukan oleh anak tersebut. Menurut Pasal 329b KUHPerdata, penetapan mengenai pemberian nafkah atau tunjangan, atas tuntutan pihak yang harus diberi nafkah, apabila terjadi perbedaan yang mencolok antara pendapatan si pemberi nafkah dan kebutuhan si penerima nafkah, maka penetapan atau peraturan yang telah disepakati oleh kedua pihak dapat diubah atau dicabut oleh hakim. Selain hak untuk mendapatkan nafkah, anak luar kawin tersebut juga berhak atas hak perwalian jika anak tersebut belum dewasa dan tidak berada di bawah kekuasaan orang tua (Pasal 330 ayat 3 KUHPerdata). Menurut KUHPerdata, didalam sistem perwalian menganut beberapa asas yakni asas tidak dapat dibagi-bagi. Menurut asas ini tiap-tiap perwalian yang dilakukan hanya terdapat satu wali saja ( Pasal 331 KUHPerdata). Yang kedua adalah asas kesepakatan dari keluarga. Dalam hal ini keluarga harus dimintai persetujuan tentang perwalian, jika anak tersebut tidak mempunyai keluarga, maka tidak diperlukan persetujuan dari pihak keluarga. Dalam perwalian terdapat orang-orang yang dapat ditunjuk sebagai wali, yakni perwalian yang dilakukan oleh suami atau istri yang hidup lebih lama, perwalian yang ditunjuk oleh ayah atau ibu dengan suatu testamen atau akta khusus, dan perwalian yang diangkat oleh hakim. Dalam Pasal 379 KUHPerdata menyebutkan bahwa dalam perwalian juga terdapat orang yang dikecualikan atau tidak boleh menjadi wali, yaitu orang yang sakit ingatan, orang yang belum dewasa, orang yang diletakkna dibawah pengampuan, orang yang dipecat atau dicabut dari kekuasaan orang tua atau perwalian, dan para ketua, wakil ketua, sekretaris Balai Harta Peninggalan, kecuali atas anak-anak tiri pejabat-pejabat itu sendiri. Menurut KUHPerdata, berakhirnya suatu perwalian dapat dilihat dari beberapa keadaan, yakni yang pertama dilihat dalam hubungan dengan keadaan si anak. Berakhirnya perwalian yang dilihat dari keadaan pertama adalah jika si anak telah menjadi dewasa, anak tersebut mati, timbulnya kembali kekuasaan orang tuanya,dan pengesahan seorang anak luar kawin yang diakui. Dan berakhirnya suatu perwalian yang dilihat dari keadaan kedua ( dalam hubungan dan tugas wali), perwalian berakhir karena adanya pemecatan atau pembebasan atas diri si wali, dan ada alasan pembebasan serta pemecatan dari perwalian. Selain mendapatkan hak untuk nafkah dan hak untuk perwalian, anak luar kawin juga mendapatkan hak untuk mewaris. Asas hukum yang berlaku bagi anak luar kawin adalah bahwa seorang anak luar kawin dapat mewaris dengan syarat dia harus diakui secara sah oleh ayah atau ibunya. Asas ini berlaku karena menurut sistem KUHPerdata hanya mereka yang 319 Agus Gunawan : Aspek Hukum Hak Anak Luar Kawin … mempunyai hubungan hukum dengan si pewaris sajalah yang mempunyai hak mewaris menurut undang-undang. Hubungan hukum antara anak luar kawin dengan orang tuanya baru ada jika sudah dilakukan pengakuan secara sah. Walaupun tidak ada hubungan hukum antara anak luar kawin dengan orang tuanya karena tidak diakui, namun undang-undang menentukan adanya kewajiban untuk saling memberikan nafkah, atau yang disebut dengan alimentasi sebagaimana disebutkan dalam Pasal 328 ayat 2 KUHPerdata.85 Anak luar kawin juga berhak atas hak waris dari orang tua yang telah mengakui dan mengesahkannya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Walaupun anak luar kawin mendapat bagian yang berbeda dari anak yang sah lainnya. Anak luar nikah dalam hukum waris mempunyai dua kedudukan, yakni sebagai ahli waris dan pewaris. Dalam Pasal 863-866 KUHPerdata, diatur mengenai besarnya bagian warisan yang diterima oleh anak luar nikah apabila mewaris bersama-sama dengan golongan-golongan. Pada Pasal 863 Ayat 1 KUHPerdata, diatur bahwa bila pewaris meninggal dengan meninggalkan keturunan yang sah dan/atau suami, maka anak luar nikah yang diakuinya mewaris 1/3 bagian, dari yang mereka sedianya harus mendapat, seandainya mereka adalah anak yang sah. Jadi dalam hal ini, cara menghitung bagian yang didapat anak luar nikah adalah terlebih dahulu mengandaikan mereka anak sah baru kemudian dihitung haknya sebagai anak luar nikah (mewaris dengan ahli waris Golongan I). Selanjutnya dalam Pasal 863 KUHPerdata menyatakan jika pewaris tak meninggalkan keturunan maupun suami dan istri akan tetapi meninggalkan keluarga sedarah dalam garis ke atas ataupun, saudara atau keturunan saudara maka mereka menerima ½ dari seluruh warisan (mewaris dengan ahli waris Golongan II dan III). Dalam hal anak luar nikah mewaris bersama dengan ahli waris Golongan IV, maka besarnya hak waris yang didapat oleh anak luar nikah adalah ¾. Terdapat juga kemungkinan jika pewaris tidak mempunyai ahli waris selain anak luar kawin, maka anak luar kawin yang diakui oleh pewaris akan mendapatkan seluruh harta warisan si pewaris. Jika orang tua dari anak luar kawin tersebut tidak melakukan perkawinan setelah anak tersebut lahir, maka anak luar kawin tersebut mendapatkan bagian yang lebih sedikit dari anak sah yakni 1/3 bagian, namun jika orang tua dari anak luar kawin tersebut melakukan perkawinan setelah anak luar kawin tersebut lahir, maka anak luar kawin tersebut menjadi anak sah dan ia akan mendapatkan bagian warisan sama seperti anak sah lainnya. 85 J.Satrio, Hukum Waris , ( Bandung: Citra Aditya Bakti,1990), hal . 137 320 Law Review Volume XIV, No. 3 – Maret 2015 Terkait dengan anak luar kawin yang tidak dapat diakui menurut Undang-Undang, dalam hal ini anak zinah dan anak sumbang, maka mereka tidak mempunyai hak untuk mewaris. Menurut Pasal 867 KUHPerdata, anak zinah dan anak sumbang dalam hal ini hanya berhak untuk mendapatkan hak untuk mendapatkan nafkah untuk hidup. Dalam hal pewarisan, dikenal istilah Legitime portie. Menurut Pasal 913 KUHPerdata yang dimaksud dengan Legitime portie atau bagian warisan menurut undang-undang adalah sesuatu bagian dari harta peninggalan yang harus diberikan kepada para ahli waris dalam garis lurus menurut ketentuan undang-undang, terhadap mana si yang meninggal tak diperbolehkan menetapkan sesuatu, baik selaku pemberian atau hibah antara yang masih hidup, maupun selaku wasiat. Prinsip Legitime portie menentukan bahwa ahli waris memiliki bagian mutlak dari peninggalan yang tidak dapat dikurangi sekalipun melalui surat wasiat si pewaris. Berkaitan dengan anak luar kawin, KUHPerdata Pasal 916 mengatur bahwa bagian mutlak dari anak luar kawin yang telah diakui adalah setengah dari bagian yang seharusnya diterima oleh anak luar kawin tersebut menurut ketentuan undang-undang. Sesuai dengan Pasal 43 UUP yang telah diuji materiil, maka anak luar kawin yang telah dilahirkan tidak hanya memiliki hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibunya, melainkan ia juga mempunyai hubungan dengan ayah dan keluarga ayahnya dengan syarat dapat dibuktikan melalui ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti yang sah menurut hukum. Dengan dilakukannya pembuktian dan pengesahan oleh anak tersebut terhadap ayahnya, maka setelah dilakukannya proses pengakuan dan pengesahan, anak tersebut telah menjadi anak sah dari ayah yang telah membenihkannya dan anak tersebut berhak mendapatkan hak-hak layaknya anak-anak sah. Dalam hal ini keputusan yang diambil oleh Mahkamah Konstitusi melalui uji materiil Pasal 43 UUP memiliki dampak terhadap anak luar kawin tersebut maupun keluarga dari laki-laki yang membenihkannya. Dilihat dari perspesktif anak, maka penulis setuju atas keputusan Mahkamah Konstitusi mengenai uji materiil Pasal 43 UUP dimana anak luar kawin dapat mempunyai hubungan dengan ibu dan ayahnya karena dengan uji materiil pasal ini maka anak luar kawin mempunyai status dan kedudukan hukum yang jelas dan hak-hak anak yang seharusnya diperoleh seorang anak luar kawin dapat dipertanggungjawabkan sehingga anak luar kawin tersebut tidak terlantar. Akan tetapi hak-hak anak luar kawin tersebut harus tetap dibatasi sesuai dengan ketentuan undang-undang yang berlaku yakni KUHPerdata. Di satu sisi, hal ini memberi dampak positif terhadap anak luar kawin, dimana ia akan memperoleh kedudukan 321 Agus Gunawan : Aspek Hukum Hak Anak Luar Kawin … dan status hukum yang jelas dan anak tersebut juga akan memperoleh hak-hak layaknya anak sah seperti hak waris, hak nafkah, hak pemeliharaan, dan hak perwalian sebagaimana telah diatur didalam UUPA dan Undang-Undang Kesejahteraan Anak. Walaupun didalam UUP tidak diatur secara jelas mengenai hak-hak yang diperoleh oleh anak luar kawin, tetapi anak luar kawin dapat dikategorikan sebagai anak dan menurut UUPA setiap anak berhak untuk mendapat pemeliharaan dan pengasuhan terhadap dirinya dan ia juga harus dilindungi dari segala bentuk kekerasan dan diskriminasi. Namun di sisi lain Putusan Mahkamah Konstitusi mengenai uji materiil Pasal 43 UUP terkesan tidak adil terhadap pihak keluarga dari ayahnya, karena dalam hal ini anak luar kawin bukanlah siapa-siapa dan tidak mempunyai hubungan dengan keluarga ayah yang mengakuinya. Dalam hal terjadi pewarisan, bagian yang didapat oleh istri sah dan anak sah dari ayahnya tersebut akan berkurang karena anak luar kawin tersebut juga mendapatkan bagian dari warisan ayahnya. Secara umum tidak ada perbedaan antara anak yang dilahirkan dalam suatu perkawinan yang sah dengan anak yang dilahirkan diluar perkawinan dimana kedua-duanya merupakan subyek hukum yang harus dilindungi oleh Negara dan undang-undang. Dengan diterbitkannya Putusan Mahkamah Konstitusi ini, maka menimbulkan konsekuensi adanya hubungan antara anak luar nikah dengan bapak biologisnya, adanya hak dan kewajiban antara anak luar nikah dengan bapak biologisnya baik dalam bentuk nafkah, waris, perwalian, dan sebagainya, sebagaimana hak yang diperoleh oleh anak sah juga. Hal ini tentunya berlaku apabila terlebih dahulu dilakukan pembuktian yang dilakukan melalui ilmu pengetahuan dan teknologi seperti tes DNA dan lain sebagainya yang menyatakan bahwa benar anak diluar nikah tersebut memiliki hubungan darah dengan laki-laki sebagai ayah biologisnya. Dapat disimpulkan bahwa hubungan keperdataan antara si anak dengan pihak ibu terjadi secara otomatis demi hukum, namun hubugan keperdataan dengan pihak ayah tidak terjadi dengan sendirinya, melainkan pihak-pihak yang berkepentingan harus membuktikan terlebih dahulu bahwa si laki-laki yang dianggapnya sebagai ayah biologis itu benar-benar adalah ayahnya. B.2. Analisis Terhadap Putusan Pengadilan Tinggi Riau No.58/PDT/2014/PTR Perkara yang diputuskan oleh Pengadilan Tinggi Riau melalui Putusan Pengadilan Tinggi Riau No.58/PDT/2014/PTR berawal dari Seorang warga Negara Indonesia bernama Reni Susanti, beralamat di Jalan Kutilang IV Blok H-3 Nomor 114 RT 024 Kelurahan Gunung Bahagia, Kecamatan Balikpapan Selatan, Kalimantan Timur, pada sekitar akhir 322 Law Review Volume XIV, No. 3 – Maret 2015 tahun 2007 berkenalan dengan Daniel Agee, warga Negara Amerika Serikat yang bertempat tinggal di Komplek Merapi 127 Duri – Mandau, Kecamatan Bengkalis Riau, dimana pada saat itu Daniel bekerja di Balikpapan pada perusahaan PT. Schlumberger Indonesia Balikpapan dan Reni merupakan wanita asli dari daerah tersebut. Setelah perkenalan, antara Reni dan Daniel terjadi hubungan khusus sebagaimana sepasang kekasih dimana tidak ada dalam ikatan perkawinan dan terjadi kehamilan. Pada tanggal 15 Mei 2009, Reni melahirkan anak hasil dari hubungan mereka yang diberi nama Karen Aluna. Sebelum Karen lahir, Daniel pernah berjanji untuk bertanggung jawab atas perbuatannya tersebut dan ia akan memberikan santunan dana untuk kebutuhan hidup, akomodasi, dan pendidikan mulai dari persalinan hingga anak yang dikandung berumur 18 (delapan belas) tahun. Pada awal janji, Daniel memang melaksanakan tanggung jawabnya dengan menanggung biaya persalinan dan kelahiran, namun seiring berjalannya waktu dan Daniel sudah tidak menetap di Balikpapan, Daniel sudah tidak lagi memenuhi janjinya untuk memenuhi kebutuhan hidup Karen Aluna, dalam hal ini Daniel sudah berjanji untuk memenuhi biaya hidup Karen walaupun ia sudah tidak menetap di Balikpapan. Sejak bulan Januari 2013, dimana Karen sudah berumur 3,5 tahun Daniel sudah tidak pernah lagi memberikan santunan hingga saat ini sebagaimana yang telah diperjanjikan oleh Daniel. Reni telah berulang kali mencoba untuk menghubungi Daniel lewat SMS untuk menanyakan dan menuntut janji dari Daniel, namun Daniel selalu ingkar janji dan menghindar untuk memberikan santunan kehidupan kepada Karen Aluna. Mengingat bahwa Karen Aluna dilahirkan tidak di dalam ikatan perkawinan, maka secara hukum Karen Aluna dinyatakan sebagai anak tidak sah atau anak luar kawin. Pasal 42 UUP menyatakan bahwa anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah. Oleh karena itu, dalam kasus ini Karen Aluna merupakan anak tidak sah atau anak luar kawin, karena dilahirkan tidak di dalam ikatan perkawinan antara orang tuanya, dan menurut Pasal 43 UUP yang telah diuji materiil anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubugan perdata dengan keluarga ayahnya. Demi kepentingan untuk memperoleh status kejelasan mengenai nafkah yang sebagaimana telah disepakati sebelumnya, maka Reni Susanti selaku PEMBANDING semula 323 Agus Gunawan : Aspek Hukum Hak Anak Luar Kawin … Penggugat mengajukan permohonan kepada Pengadilan Tinggi Pekanbaru untuk menetapkan bahwa anak yang lahir di Balikpapan pada tanggal 15 Mei 2009 yang bernama Karen Aluna merupakan anak luar kawin, menyatakan bahwa Daniel Agee, warga Negara Amerika Serikat, yang bertempat tinggal di Komplek Merapi 127 Duri-Mandau,Kecamatan Bengkalis Riau selaku TERBANDING semula TERGUGAT telah melakukan perbuatan wanprestasi atau ingkar janji terhadap apa yang telah disepakati sebelumnya, dan menghukum Daniel Agee selaku TERBANDING semula TERGUGAT untuk membayar biaya hidup dan biaya pendidikan kepada Karen Aluna sampai berusia/berumur 18 (delapan belas) tahun, melalui PEMBANDING semula PENGGUGAT yakni Reni Susanti selaku ibu dari Karen Aluna. Setelah melalui beberapa pertimbangan, Hakim Pengadilan Tinggi Riau memutuskan bahwa Terbanding semula Tergugat telah melakukan perbuatan ingkar janji (wanprestasi), sehingga Hakim menolak eksepsi dari Terbanding dan menghukum Terbanding untuk membayar biaya hidup dan biaya sekolah Karen Aluna sampai berusia 18 (delapan belas) tahun, melalui Pembanding semula Penggugat. Berdasarkan Putusan Pengadilan Tinggi Pekanbaru Nomor 58/PDT/2014/PTR, dapat dilihat bahwa apabila seorang anak luar kawin yang telah dilahirkan di dunia ini berhak untuk mendapatkan hak nafkah dari ayahnya, dimana anak tersebut telah diakui oleh ibunya dan juga telah diakui oleh ayahnya. Anak tersebut akan dianggap tidak sah karena anak tersebut lahir bukan dari perkawinan yang sah antara kedua orang tuanya, melainkan ia dilahirkan oleh ibunya tidak dalam ikatan sebuah perkawinan,hanya sebatas hubungan antara kedua individu yang lajang dimana hubungan keduanya hanya sebatas hubungan kekasih. Pada Putusan Pengadilan Negeri Bengkalis Nomor 10/Pdt.G/2013/PN.Bks, eksepsi yang diajukan oleh Penggugat ditolak oleh Majelis Hakim karena dinilai eksepsi yang diajukan tersebut tidak beralasan hukum. Upaya hukum selanjutnya yang dilakukan oleh ibu dari anak luar kawin tersebut adalah dengan mengajukan permohonan banding ke Pengadilan Tinggi Pekanbaru setelah gugatan yang telah ia daftarkan di Pengadilan Negeri Bengkalis ditolak. Kemudian Pengadilan Tinggi Pekanbaru mengabulkan permohonan Pembanding sehingga anak luar kawin yang telah dilahirkan tersebut mendapatkan hak nafkahnya yang harusnya ia dapatkan hingga ia dewasa. Prosedur Permohonan yang diajukan oleh Pembanding kepada Pengadilan Tinggi Pekanbaru sudahlah tepat diantaranya tenggang waktu yang digunakan untuk mengajukan upaya hukum banding sudahlah tepat. Berdasarkan Pasal 199 ayat 1 Rbg, tenggang waktu 324 Law Review Volume XIV, No. 3 – Maret 2015 yang digunakan dalam mengajukan upaya hukum banding sudahlah tepat yakni 14 hari setelah putusan dijatuhkan atau setelah pemberitahuan putusan. Dalam kasus ini Putusan Pengadilan Negeri Bengkalis Nomor 10/Pdt.G/2013/PN.Bks diputuskan pada tanggal 9 Januari 2014, dan Pembanding melalui kuasa hukumnya pada tanggal 21 Januari 2014 mengajukan permohonan banding sehingga tenggang waktu yang digunakan tidak melebihi tenggang waktu sebagaimana yang telah diatur oleh undang-undang. Dalam perkara ini Pembanding tidak mengajukan memori banding, namun karena Pengadilan Tinggi merupakan Yudex Factie, maka Putusan Pengadilan Negeri Bengkalis Nomor 10/Pdt.G/2013/PN.Bks haruslah diperiksa ulang sebagaimana ketentuan dan syaratsyarat dalam memeriksa perkara ditingkat banding yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1947 tentang Peraturan Peradilan Ulangan. Yudex Factie adalah dimana pengadilan berwenang untuk memeriksa fakta dan bukti dari suatu perkara. Dalam hal ini pengadilan memeriksa bukti-bukti dari suatu perkara dan menentukan fakta-fakta dari perkara tersebut, pada proses didalam pengadilan tinggi, pengadilan akan memeriksa ulang bukti-bukti yang diajukan dalam suatu perkara dan fakta-fakta yang terdapat dalam perkara. Majelis Hakim Pengadilan Negeri Bengkalis dalam perkara ini tidak cermat dalam memeriksa bukti-bukti yang ada. Hal ini dapat dilihat bahwa dalam pertimbangannya Majelis Hakim Pengadilan Negeri tidak menghubungkan bukti P-2 yang berupa kutipan Akte kelahiran Nomor 01949/2009 dan bukti P-3 yang berupa Surat Kelahiran dengan bukti-bukti lainnya yang terdapat dalam perkara ini. Bahwa berdasarkan pertimbangan di atas, maka tindakan yang dilakukan Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Pekanbaru sudahlah tepat dengan membatalkan putusan Pengadilan Negeri Bengkalis dan mengadili sendiri perkara ini dengan pertimbangan bahwa Terbanding telah ingkar janji dan harus meneruskan dan terus melaksanakan janjinya/kesepakatannya dengan Pembanding untuk membayar nafkah hidup dan biaya sekolah Karen Aluna sampai berusia 18 ( delapan belas) tahun. Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Pekanbaru telah dengan cermat dalam membuat pertimbangannya, sehingga hal-hal yang tidak sesuai dengan kesepakatan atau janji dari Terbanding dengan Pembanding (dalam hal ini Pembanding meminta Terbanding untuk membayar biaya hidup dan biaya sekolah Karen Aluna secara sekaligus) dapat tidak diterima atau tidak dikabulkan. Selain daripada hal-hal yang telah disebutkan di atas, yang menjadi pertimbangan hakim dalam memutus perkara ini adalah permohonan yang diajukan oleh Pembanding beralasan dan permohonan itu tidak bertentangan dengan hukum, sehingga permohonan 325 Agus Gunawan : Aspek Hukum Hak Anak Luar Kawin … Pembanding akhirnya ditetapkan dikabulkan. Sebagai akibat dari dikabulkannya permohonan Pembanding maka anak luar kawin hasil dari hubungan Pembanding dan Terbanding telah mendapatkan haknya yaitu hak nafkah hingga ia mencapai usia 18 tahun. Pada perkara ini, permohonan yang dimohonkan oleh Pembanding adalah hak nafkah atas anak luar kawin yang dilahirkannya bersama dengan Terbanding. Nafkah itu sendiri berarti belanja, kebutuhan pokok yang dimaksudkan adalah kebutuhan pokok yang diperlukan oleh orang-orang yang membutuhkannya. Mengingat banyaknya kebutuhan yang diperlukan oleh keluarga dan anak tersebut maka dari pendapat ini dapat dipahami bahwa kebutuhan pokok yang harus dipenuhi adalah pangan, sedangkan kebutuhan yang lain tergantung kemampuan orang yang berkewajiban membayar atau menyediakannya dan memenuhinya.86 Dalam perkara ini, anak luar kawin yang dilahirkan oleh Pembanding berhak untuk mendapatkan nafkah hidup dari Pembanding seperti biaya hidup dan biaya pendidikan yang diperlukan oleh anak tersebut. Hal ini juga sesuai dengan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak dimana pasal ini merumuskan sebagai berikut: “ Anak berhak atas kesejahteraan,perawatan,asuhan dan bimbingan berdasarkan kasih sayang baik dalam keluarga maupun didalam asuhan khusus untuk tumbuh dan berkembang dengan wajar.” Oleh karena itu setiap anak yang belum mencapai usia 18 tahun, berhak untuk mendapatkan nafkah dari orangtuanya terutama ayahnya untuk dapat melangsungkan hidup, merasakan pendidikan dan kebutuhan-kebutuhan lainnya. Pada dasarnya pemberian nafkah kepada anak sudah dimulai sejak anak tersebut berada dalam kandungan, sesuai dengan Pasal 2 KUHPerdata yang menyebutkan “ Anak yang ada didalam kandungan seorang perempuan, dianggap sebagai telah dilahirkan , bilamana juga kepentingan si anak menghendakinya.” Adapun mengenai ketentuan pemberian nafkah yang telah ditentukan, pemberian nafkah harus disesuaikan antara kebutuhan yang diberi nafkah dengan pendapatan serta kekayaan yang memberi nafkah tersebut. Mengenai penyelesaian wanprestasi yang terdapat di dalam perkara Putusan Pengadilan Tinggi Riau Nomor 58/PDT/2014/PTR, pertama-tama kita harus mengetahui terlebih dahulu apa pengertian dari wanprestasi. Wanprestasi adalah suatu keadaan yang 86 Safuddin Mujaba dan Iman Jauhari, Hak-hak Anak dalam Hukum Islam, (Jakarta: Pustaka Bangsa Press,2003), hal.84 326 Law Review Volume XIV, No. 3 – Maret 2015 dikarenakan kelalaiannya atau kesalahannya, debitur tidak dapat memenuhi prestasi seperti yang telah ditentukan di dalam perjanjian.87 Menurut Subekti, terdapat 4 macam bentuk wanprestasi, yaitu:88 1. Tidak melakukan apa yang telah disanggupi akan dilakukan 2. Melaksanakan apa yang dijanjikannya tetapi tidak sebagaimana dijanjikannya 3. Melakukan apa yang dijanjikannya tetapi terlambat 4. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan Dalam perkara ini, Terbanding selaku ayah dari anak luar kawin bernama Karen Aluna telah melakukan tindakan dimana tindakan yang dilakukan oleh Terbanding dinyatakan oleh Pengadilan Tinggi Pekanbaru sebagai tindakan wanprestasi. Tindakan yang telah dilakukan ini telah memenuhi unsur ketiga bentuk-bentuk wanprestasi seperti yang dikemukakan oleh Subekti, dimana ia telah berjanji untuk memberi nafkah biaya hidup dan biaya pendidikan kepada Karen Aluna namun pada kenyataannya sejak Karen Aluna berusia 3,5 tahun ia sudah tidak pernah memberikan nafkah lagi dan ia selalu ingkar janji dan menghindar jika dituntut janjinya oleh Pembanding selaku Ibu dari Karen Aluna. Dalam penyelesaian kasus wanprestasi ini, Pengadilan Tinggi Pekanbaru telah menyatakan bahwa Terbanding berada di pihak yang dikalahkan menurut hukum karena telah terbukti melakukan tindakan wanprestasi. Oleh karena itu Terbanding selaku ayah dari Karen Aluna dituntut untuk terus melakukan tanggung jawabnya sebagai ayah dari Karen Aluna dan sebaga akibat dari perjanjian yang telah ia buat dengan Pembanding selaku ibu dari Karen Aluna semasa Karen Aluna belum lahir. Terbanding harus terus melakukan atau menafkahi biaya hidup dan biaya pendidikan Karen Aluna dengan jumlah yang telah disepakatai sebelumnya dengan Pembanding sampai Karen Aluna berusia/berumur 18 (delapan belas) tahun. Pembayaran nafkah tersebut dilakukan setiap bulan tanpa ada pengecualian dan Terbanding harus mampu memenuhi tanggung jawabnya untuk membayar nafkah Karen Aluna tersebut, dimana pembayaran nafkah yang akan dilakukan Terbanding dilakukan melalui Pembanding selaku ibu dari Karen Aluna karena Karen Aluna sendiri masih berada di bawah umur. Sanksi lain yang diberikan oleh Pengadilan Tinggi Pekanbaru kepada Terbanding adalah untuk membayar seluruh biaya perkara. Biaya perkara yang harus ditanggung oleh 87 88 Nindyo Pramono, Hukum Komersil, (Jakarta: Pusat Penerbitan UT, 2003), cet. 1, hal. 221 Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta: Intermasa, 1985) 327 Agus Gunawan : Aspek Hukum Hak Anak Luar Kawin … Terbanding adalah mulai dari tingkat Pengadilan Negeri hingga mencapai tingkat Pengadilan Tinggi, yang dalam tingkat banding ditetapkan jumlah yang harus dibayarkan adalah sebesar Rp 150.000,00 ( seratus lima puluh ribu Rupiah ). Dilihat dari kasus diatas, maka Pengadilan Tinggi Pekanbaru dalam putusannya menghukum Terbanding untuk tetap membayarkan tanggung jawabnya berupa nafkah terhadap anak luar kawin hasil hubungannya dengan Pembanding, dan Terbanding dinyatakan telah melakukan perbuatan wanprestasi. Karena pada kasus ini Terbanding selaku ayah dari anak luar kawin bernama Karen Aluna sudah tidak menepati janjinya kepada Pembanding selaku ibu dari anak luar kawin bernama Karen Aluna dimana perjanjian tidak tertulis itu berisikan tentang pembayaran nafkah dan biaya pendidikan Karen Aluna hingga ia dewasa, namun pada kenyataannya ia hanya membayarkan biaya nafkah Karen Aluna sampai ketika Karen Aluna berusia 3,5 tahun dan sampai sekarang ia sudah tidak membayarkan kewajibannya tersebut. Walaupun tidak ada perjanjian tertulis yang dilakukan oleh Pembanding dengan Terbanding untuk memberikan nafkah kepada anak luar kawin hasil hubungan mereka (Reni Susanti sebagai Pembanding dan Daniel Agee sebagai Terbanding), tetapi menurut hukum anak luar kawin yang telah diakui oleh mereka berdua tetap berhak untuk mendapatkan hak-hak layaknya anak sah lainnya seperti hak untuk nafkah hingga anak tersebut telah dewasa atau dapat berdiri sendiri, hak untuk waris dan lainnya. Dalam perkara ini walaupun Hakim Pengadilan Tinggi Riau tetlah memutus bahwa Terbanding harus tetap melakukan kewajiban pembayaran nafkah, tetapi kita harus melihat juga pelaksanaan dari putusan tersebut apakah Terbanding tetap melakukan pembayaran nafkah anak tersebut. Pengawasan perlu untuk dilakukan agar Terbanding tetap melakukan kewajibannya sesuai dengan isi Putusan Pengadilan Tinggi Riau tersebut agar anak luar kawin tersebut tidak terlantar. C. Kesimpulan dan Saran C. 1. Kesimpulan Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010, anak luar kawin yang dilahirkan tidak hanya memiliki hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya saja, melainkan dengan ayahnya dan keluarga ayahnya. Dalam hal ini, hubungan perdata antara si anak dengan ibunya dan keluarga ibunya terjadi secara otomatis demi hukum, namun hubungan perdata dengan ayah dan keluarga ayah tidak terjadi dengan sendirinya. 328 Law Review Volume XIV, No. 3 – Maret 2015 Hubungan perdata yang terjadi antara anak luar kawin dengan ayahnya tidak terjadi begitu saja, melainkan diharuskan adanya pembuktian yang didukung oleh ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum yang menunjukkan bahwa anak luar kawin tersebut mempunyai hubungan darah dengan ayahnya. Setelah adanya pembuktian, maka harus dilakukan pengakuan oleh ayah terhadap anak luar kawin agar hubungan perdatanya menjadi sah. Selain pengakuan anak, ada kalanya juga dapat dilakukan pengesahan anak jika si ayah dan si ibu dari anak tersebut melakukan perkawinan, dalam hal ini pengesahan anak dilakukan bersamaan dengan perkawinan orangtuanya. Setelah dilakukannya semua prosedur tersebut, maka anak luar kawin berhak untuk mendapatkan hak-haknya, misalnya hak untuk mendapatkan nafkah, hak perwalian, dan hak mewaris. Dalam hal hak untuk mewaris, besaran bagian yang didapat oleh anak luar kawin yang telah diakui oleh ayahnya adalah 1/3 bagian dari bagian yang seharusnya dia dapat jika dia sebagai anak sah. Apabila ayah dan ibu anak luar kawin tersebut melakukan pernikahan, maka anak luar kawin tersebut dianggap sebagai anak sah sehingga bagian warisannya pun penuh sebagaimana hak waris anak sah. Penyelesaian wanprestasi yang dilakukan oleh Pembanding adalah dengan cara mengajukan dan menyelesaikan perkara ini melalui jalur hukum. Pada Putusan Pengadilan Tinggi Pekanbaru Nomor 58/PDT/2014/PTR, permohonan yang diajukan oleh Reni Susanti selaku ibu dari anak luar kawin bernama Karen Aluna perihal pembayaran nafkah yang dilakukan oleh Daniel Agee selaku ayah dari Karen Aluna. Menurut Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 yang mengatur tentang Hak-Hak Anak atas Kesejahteraan pada Pasal 2 sampai dengan Pasal 9, menyatakan bahwa setiap anak berhak untuk mendapatkan pelayanan, perawatan, bimbingan serta asuhan hingga anak tersebut dewasa, maka dalam hal ini Karen Aluna berhak untuk mendapatkan nafkah dari ayahnya sebagaimana telah diperjanjikan oleh Daniel Agee dan ibu dari Karena Aluna Reni Susanti. Namun dalam kenyataannya Daniel Agee telah melakukan tindakan wanprestasi dengan tidak lagi melakukan pembayaran nafkah, maka penyelesaian wanprestasi yang diputuskan oleh Pengadilan Tinggi Pekanbaru yang harus dilakukan dilakukan oleh Daniel Agee terhadap Karen Aluna adalah dengan tetap membayarkan nafkah hidup dan biaya pendidikan Karen Aluna sampai ia berusia 18 tahun. Pembayaran nafkah ini dilakukan melalui Reni Susanti selaku Pembanding dan Ibu dari Karen Aluna. 329 Agus Gunawan : Aspek Hukum Hak Anak Luar Kawin … C. 2. Saran Dalam Pasal 43 UUP yang telah diuji materiil, ditentukan bahwa anak luar kawin tidak hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibunya, melainkan juga dengan ayah dan keluarga ayahnya selama dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah. Namun, harus tetap dipahami bahwa terdapat 2 jenis anak luar kawin yang tidak dapat diakui sesuai dengan KUHPerdata yakni anak zinah dan anak sumbang. Selain itu, juga harus tetap memperhatikan proses pengakuan anak dan atau pengesahan anak. Dalam hal kelahiran seorang anak baik anak itu merupakan anak sah maupun anak luar kawin, pembuatan akta otentik sangatlah penting. Akta tersebut dapat digunakan sebagai bukti-bukti yang kuat terkait dengan asal usul kelahiran dari anak tersebut seperti siapa orang tua dari anak tersebut dan bukti bahwa anak tersebut merupakan benar-benar anak dari orang tua yang telah melahirkannya. Bukti-bukti yang dapat dibuat perihal kelahiran seorang anak dapat berupa tes DNA, akta kelahiran dan surat kelahiran serta akta otentik lainnya sehingga kelahiran anak tersebut dicatatkan dengan sah pada Kantor Pencatatan sipil dan anak tersebut mempunyai status serta kedudukan hukum yang jelas. Apabila terjadi suatu hal atau suatu perkara yang berkaitan dengan anak tersebut maka bukti-bukti berupa surat kelahiran dan akta kelahiran dapat digunakan sebagai bukti dalam proses penyelesaian perkara tersebut. DAFTAR PUSTAKA Buku-Buku Ashidiqqie, Jimly. Hukum Acara Pengujian Undang-Undang. Jakarta:Konstitusi Press, 2006 Mujaba, Safuddin & Iman Jauhari. Hak-hak Anak dalam Hukum Islam. Jakarta: Pustaka Bangsa Press, 2003 Pramono, Nindyo. Hukum Komersil Cet. I. Jakarta: Pusat Penerbitan UT, 2003 Prinst, Darwan. Hukum Anak di Indonesia. Bandung : PT.Citra Aditya Bakti, 2003 Satrio, J. Hukum Waris Cet. I. Bandung: Citra Aditya Bakti, 1990 _______. Hukum Waris Cet. II. Bandung: Alumni, 1992 Sjarif, Surini Ahlan & Nurul Elmiyah. Hukum Kewarisan Perdata Barat. Jakarta: Universitas Indonesia, 2006 _______. Hukum Kewarisan Perdata Barat. Jakarta: Kencana Media Group 330 Law Review Volume XIV, No. 3 – Maret 2015 Soimin, Soedahryo. Hukum Orang dan Keluarga. Jakarta: Sinar Grafika, 1992 Subekti. Pokok-Pokok Hukum Perdata Cet. I. Jakarta: PT Intermasa, 1985 _______. Pokok-pokok Hukum Perdata Cet. II. Jakarta: PT. Intermasa, 1987 Witanto, D.Y. Hukum Keluarga Hak dan Kedudukan Anak Luar Kawin : Pasca Keluarnya Putusan MK Tentang Uji Materiil UU Perkawinan. Jakarta: Prestasi Pustaka, 2012 Majalah Majalah Konstitusi, No. 61 edisi Februari 2012. Jakarta: Mahkamah Konstitusi, 2012 Peraturan perundang-undangan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Putusan Pengadilan Putusan Pengadilan Tinggi Riau Nomor 58/PDT/2014/PTR Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 331