1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

advertisement
1
1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Ketidakseimbangan permintaan dan penawaran energi yang didorong
pesatnya laju pertambahan penduduk dan industrialisasi dunia, mengakibatkan
tersedotnya cadangan energi, khususnya energi fosil yang merupakan sumber
energi utama dunia. Hal tersebut mendorong meningkatnya harga energi dunia.
Saat ini sumber daya energi di Indonesia dan dunia semakin menipis. Hal ini
mengakibatkan energi menjadi barang langka dan semakin mahal. Kementerian
Luar negeri RI (2011) menyebutkan bahwa proporsi minyak bumi sebagai sumber
utama energi mencapai 40% dari total permintaan energi dunia, namun
cadangannya terus berkurang. Pada tahun 2011 pertumbuhan permintaan minyak
bumi dunia mencapai 1,7% sementara peningkatan produksi hanya mencapai
0,9%. Cadangan minyak bumi di Indonesia diperkirakan 9 milyar barel, dengan
tingkat produksi rata-rata 0,5 milyar barel per tahun, sehingga diperkirakan
cadangan minyak akan habis dalam waktu 18 tahun.
Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) (2010) menambahkan
bahwa 50% konsumsi energi nasional Indonesia selama ini berasal dari minyak
bumi. Hal ini menunjukkan bahwa bangsa Indonesia masih sangat tergantung
pada sumber energi tak terbarukan tersebut. Masalah tersebut harus segera dicari
solusinya karena cepat atau lambat sumber energi tersebut akan habis. Keadaan
ini menyebabkan negara-negara di dunia termasuk Indonesia rentan terhadap
resiko krisis energi dunia.
Ancaman krisis energi dan bahan bakar menjadikan kegiatan terkait
dengan energi baru terbarukan menjadi sesuatu yang mendesak untuk segera
dilakukan. Saat ini, potensi energi terbarukan yang dimiliki Indonesia 311.232
Mega Watt (MW) dan baru 22% yang dimanfaatkan (BPPT 2010). Keunggulan
dari energi terbarukan yaitu energi terbarukan lebih sesuai dengan potensi lokal di
tanah air, lebih ramah lingkungan, lebih berkelanjutan dalam jangka panjang, dan
relatif tidak tergantung dengan fluktuasi saham minyak dunia (Kementerian
Energi dan Sumber Daya Mineral 2012).
Berdasarkan sumber energi, bentuk listrik merupakan energi yang paling
praktis digunakan (Rittman 2008). Konsumsi energi listrik sendiri pada tahun
2
2010 mencapai 90,35 juta BOE (Barrel Oil Equivalent) (Kementerian Energi dan
Sumber Daya Mineral 2011). Selain itu, statistik perkembangan energi terbarukan
dalam bentuk listrik cenderung mengalami peningkatan dari tahun 2005-2010,
yaitu 5.228,69 MW pada tahun 2005 menjadi 8.772,50 MW pada tahun 2010
(Direktorat Jendral Energi Baru Terbarukan dan Konversi Energi 2011).
Faaij (2006) menyampaikan bahwa terdapat berbagai teknologi konversi
yang digunakan untuk membangkitkan energi listrik ini, yaitu pembakaran,
gasification, dan fermentasi (gas metan). Namun teknologi konversi pembakaran
dan gasification berdampak terhadap penipisan cadangan bahan bakar fosil dan
peningkatan jumlah CO2 di atmosfer. Oleh karena itu diperlukan teknologi baru
yang lebih efisien untuk menghasilkan energi listrik.
Usaha menghasilkan energi listrik dapat dilakukan melalui teknologi
microbial fuel cell (MFC) dengan memanfaatkan senyawa yang mengandung
hidrogen atau senyawa yang menghasilkan elektron sehingga ramah lingkungan
(Suyanto et al. 2010). MFCs adalah salah satu tipe sistem bioelectrochemical
(BESs) yang mengubah biomassa secara spontan menjadi energi listrik melalui
aktivitas metabolisme mikroorganisme (Pant et al. 2010). Limbah cair telah
direkomendasikan sebagai sumber terbarukan untuk menghasilkan energi listrik,
bahan bakar dan kimia. Saat ini, teknologi yang hanya dapat menghasilkan energi
tersebut dari limbah cair untuk skala komersil adalah degradasi anaerobik
(Rozendal et al. 2008).
Disisi lain pengolahan limbah cair saat ini masih banyak menggunakan
teknologi dengan prinsip degradasi aerobik. Sampai abad terakhir, proses lumpur
aktif merupakan proses pengolahan limbah cair yang banyak digunakan. Namun,
proses ini membutuhkan energi intensif dan berdasarkan pendugaan, jumlah
energi listrik yang dibutuhkan untuk menyediakan oksigen pada proses lumpur
aktif hampir mendekati 2% total konsumsi listrik di Amerika (Pant et al. 2010).
Sama halnya dengan di Amerika, di Inggris 3-5% konsumsi listrik nasional
digunakan untuk pengolahan limbah cair. Pompa dan aerasi merupakan proses
yang banyak menggunakan energi (21% dan 30-55%) (Alzate-Gaviria 2011).
Sementara itu, manajemen limbah saat ini menekankan pada reuse dan recovery
energi.
3
Permasalahan pengolahan limbah cair tersebut dapat diatasi dengan
mengggunakan alternatif teknologi MFC. Konversi energi listrik telah diteliti
dengan menggunakan perbedaan tipe limbah cair, termasuk limbah cair domestik,
pengolahan pangan dan hewan (Cheng dan Logan 2011). Salah satu limbah cair
lain yang dapat dimanfaatkan sebagai substrat pada MFC adalah limbah cair
perikanan. Limbah cair yang dihasilkan oleh industri perikanan berasal dari
berbagai proses. Secara umum limbah cair industri hasil perikanan mengandung
banyak protein dan lemak.
Beberapa tipe MFC telah dikembangkan antara lain MFC dua bejana oleh
Oh dan Logan (2006), MFC satu bejana oleh Liu et al. (2005), disain upflow oleh
He et al. (2006), dan desain tubular oleh Zuo et al. (2007). Semua sistem tersebut
telah diujikan pada skala lab menggunakan konsentrasi substrat yang tinggi serta
larutan penyangga yang baik (Cheng dan Logan 2011). Diantara perbedaan tipe
MFC yang telah dikembangkan, MFC dengan katoda udara merupakan tipe yang
dapat diaplikasikan untuk pengolahan limbah cair karena hasil kekuatan tinggi,
struktur sederhana, dan biayanya relatif murah. Penggunaan MFC satu bejana
dapat mengurangi biaya peralatan karena ada pengurangan biaya bejana katoda
dan membran, sehingga lebih dapat diaplikasikan pada pengolahan limbah cair
dan konversi energi (Das dan Mangwani 2010).
1.2 Tujuan
Tujuan dari penelitian ini adalah mempelajari proses pemanfaatan limbah
cair perikanan dengan teknologi MFC, serta menganalisis karakteristik limbah
cair dan listrik yang dihasilkan dengan MFC satu bejana.
Download