87 BAB III PENYELENGGARAAN SISTEM INFORMASI HUKUM PERUSAHAAN BANK PADA BANK DI BALI 1.1 Kesadaran Hukum Organ Perusahaan Terhadap Hakekat dan Urgensi Sistem Informasi Hukum Perusahaan dalam Penyelenggaraan Perusahaan Perbankan Berdasarkan Prinsip GCG Kesadaran hukum adalah tingkat pengetahuan dan pemahaman hukum seseorang dalam konteks kehidupan sosial di mana seseorang hidup dan berperilaku diantara mausia lainnya. Kesadaran hukum menunjuk pada apa yang dilakukan orang, sesuai atau tidak sesuai dengan hukum yang diketahuinya, yang ia lakukan berdasarkan kesadaran akan kebutuhan mereka terhadap kehidupan sosial yang terpola, tertib, stabil, dan sesuai dengan tujuan keberadaan masyarakat itu. Menurut Susan Selby: … legal consciousness is used to name analytically the understandings and meanings of law circulating in social relations. Legal consciousness refers to what people do as well as say about law. It is understood to be part of a reciprocal process in which the meanings given by individuals to their world become patterned, stabilized, and objectified.1 Kesadaran hukum menurut Soerjono Soekanto yakni kesadaran hukum sebenarnya merupakan kesadaran atau nila-nilai yang terdapat di dalam diri manusia tentang hukum yang diharapkan ada. Yang ditekankan disini adalah nilainilai tentang fungsi hukum.2 1 Susan Selby, Legal Conciousness, New Oxford Companion to Law, Oxford University Press. 2008, h. 1. http://web.mit.edu/ssilbey/www/pdf/Legal_consciousness ., diakses tanggal 22 Mei 2015. 2 Soerjono Soekanto, 1982, Kesadaran Hukum Dan Kepatuhan Hukum (Edisi Pertama), CV. Rajawali, Jakarta, h. 152. 88 Sudikno Mertokusumo memiliki pendapat tentang kesadaran hukum yang menyatakan bahwa kesadaran hukum berarti kesadaran tentang apa yang seyogyanya kita lakukan atau perbuat atau yang seyogyanya tidak kita lakukan atau perbuat terutama terhadap orang lain. Ini berarti kesadaran akan kewajiban hukum kita masing-masing terhadap orang lain. 3 Paul Scholten juga memiliki pendapat mengenai kesadaran hukum yang menyatakan bahwa kesadaran hukum adalah kesadaran yang ada pada setiap manusia tentang apa hukum itu atau apa seharusnya hukum itu, suatu kategori tertentu dari hidup kejiwaan kita dengan mana kita membedakan antara hukum dan tidak hukum (onrecht), antara yang seyogyanya dilakukan dan tidak dilakukan. 4 Dengan demikian kesadaran hukum adalah pengetahuan hukum yang dimiliki oleh seseorang dan kemampuan orang itu menggunakan pengetahuan yang dimilikinya yang terwujud dalam bentuk perilaku taat atau perilaku yang bersesuaian dengan hukum sebagai pengetahuan yang dimiliki orang itu. Dalam konteks perusahaan, kesadaran hukum organ perusahaan adalah pengetahuan hukum organ perusahaan dan kemampuan organ tersebut berperilaku sesuai dengan pengetahuan hukum yang dimilikinya, baik dalam bentuk ketaatan maupun kesesuaian perilaku organ itu dengan pengetahuan yang dimilikinya. Dengan demikian, kesadaran hukum organ perusahaan terhadap hakekat dan urgensi sistem informasi hukum perusahaan dalam penyelenggaraan perusahaan 3 Sudikno Mertokusumo, 1981, Meningkatkan Kesadaran Hukum Masyarakat, Cetakan Pertama, Edisi pertama, Liberty, Yogyakarta, h. 3. 4 Ibid, h. 2. 89 perbankan berdasarkan prinsip GCG adalah pengetahuan hukum organ perusahaan tentang posisi dan fungsi sistem informasi hukum perusahaan dan kesesuaian perilaku organ perusahaan dengan sistem informasi hukum yang diketahuinya, mencakup: upaya-upaya pengadaannya, pengelolaannya, penggunaannya, pemeliharaan dan pengembangannya dalam proses pengambilan keputusan atau tindakan perusahaan perbankan. Ukuran kesadaran hukum berdasarkan konsep tersebut adalah: (a) tingkat pengetahuan; dan (2) kemampuan organ perusahaan menggunakan pengetahuan hukumnya dalam menyelenggarakan perusahaan. dalam konteks sistem informasi hukum adalah: (1) pengetahuan tentang posisi dan fungsi sistem informasi hukum perusahaan; dan (2) kegiatan pengadaan dan penggunaan sistem informasi hukum dalam penyelenggaraan proses kebijakan perusahaan. Ketentuan pelaksanaan GCG pada perusahaan perbankan yang diatur secara umum dalam UUP, mencakup: Governace Structure, Governace Process, maupun Governace Outcome. Pengaturan itu tidak terbatas pada kewajiban kepemilikan, Dewan Komisaris, Direksi, dan prinsip kehati-hatian yang harus dianut oleh perbankan.5 Governace Structure terdiri dari: pertama, adanya uji kelayakan dan kepatuhan (fit and proper test), yang mengatur perlunya peningkatan kompetensi dan integritas manajemen perbankan melalui uji kelayakan dan kepatuhan terhadap pemilik, pemegang saham pengendali, Dewan Komisaris, Direksi, dan pejabat eksekutif bank dalam aktivitas pengelolaan bank. 5 Kedua, independensi Mas Achmad Daniri, 2014, Lead By GCG, Gagas Bisnis, Jakarta, h. 139. 90 manajemen bank, di mana para anggota Dewan Komisaris dan Direksi tidak boleh memiliki hubungan kekerabatan atau memiliki hubungan finansial dengan Dewan Komisaris dan Direksi atau menjadi pemegang saham pengendali di perusahaan. Ketiga, ketentuan bagi Direktur Kepatuhan dan peningkatan fungsi audit bank publik. Dalam Standar Penerapan Fungsi Internal Audit Bank Publik (Standard of Public Bank Internal Audit Function Implementation), bank diwajibkan untuk menunjuk Direktur Kepatuhan yang bertanggung jawab atas kepatuhan bank terhadap regulasi yang ada. Process Governace terdiri dari manajemen resiko dan pengendali internal. Implementasi manajemen resiko di lingkungan bank publik mewajibkan bank untuk menerapakan manajemen resiko. Indonesia Mengenai Governace Outcome, Bank telah mengeluarkan beberapa peraturan, antara lain transparansi mengenai kondisi keuangan bank dan peningkatan peran auditor eksternal. Bank wajib untuk mengungkap non performing loans (NPL)-nya, pemegang saham pengendali dan afiliasinya, praktik manajemen resiko dalam pelaporan keuangan. Dalam hal kesadaran hukum organ perusahaan terhadap hakekat dan urgensi SIH-P dalam penyelenggaraan perusahaan perbankan berdasarkan prinsip GCG sangat penting untuk diperhatikan karena dengan adanya SIH-P pada perusahaan perbankan diharapkan dapat membantu kinerja dalam pengambilan keputusan agar cepat, tepat, akuntabel. I Ketut Rasnu, SE, Kepala Divisi Kepatuhan PT. Bank Pembangunan Daerah Bali (BPD Bali)6 berpendapat bahwa SIH-P merupakan komponen GCG 6 Wawancara 3 Februari 2015. 91 yang sangat penting dalam penyelenggaraan perusahaan perbankan. SIH-P merupakan komponen proses kebijakan yang bekaitan dengan salah satu prinsip GCG yaitu prinsip pertanggungjawaban perusahaan (Responsibility) dimana segala bentuk tindakan organ perusahaan harus memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan serta melaksanakan tanggung jawab terhadap masyarakat dan lingkungan sesuai dengan ketentuan tersebut sehingga penyelenggaraan usaha perusahaan dapat terpelihara kesinambungan dalam jangka panjang. Pendapat yang sama juga disampaikan oleh Putu Sukani, yang merupakan Staff SPI PT. Bank Perkreditan Rakyat Kertiawan (BPR Kertiawan)7 yang berpendapat bahwa keberadaan SIH-P sangat berkaitan dan berpengaruh terhadap proses pengambilan keputusan dalam menjalankan perusahaan dan lebih jauh merupakan komponen yang menentukan kinerja perusahaan perbankan. A.A Ayu Lis Mardiani yang merupakan Manager Compliance Bank BNI 46 cabang Gatot Subroto Barat Denpasar8 berpendapat bahwa penyelenggaraan perusahaan kesadaran hukum organ perusahaan dalam perbankan berdasarkan prinsip GCG sangat berkaitan dengan dimilikinya SIH-P yang berpengaruh dalam kinerja pengambilan keputusan. Hasil wawancara tersebut menunjukkan bahwa organ perusahaan perbankan pada ketiga bank itu telah memiliki pengetahuan hukum tentang posisi dan fungsi SIH-P dalam sistem kebijakan perbankan. Namun demikian, pengujian lebih lanjut 7 8 terhadap indikator Ibid. Wawancara 10 Maret 2015. kedua kesadaran hukum, yaitu perbuatan 92 pengadaan dan penggunaan SIH-P dalam sistem kebijakan perbankan pada masing- masing bank itu perlu diteliti lebih lanjut. 3.2 Bentuk Pelaksanaan Prinsip Akuntabilitas Pada Bank Dalam era reformasi saat ini, masalah akuntabilitas sudah merupakan kebutuhan mendesak dan tidak bias ditawar lagi. Pada saat ini, masyarakat memerlukan adanya keterbukaan informasi terutama bagi perusahaan yang sudah go public. Para pemegang saham dan stakeholder lainnya memiliki hak untuk mendapatkan informasi yang relevan secara tepat waktu, akurat, seimbang, dan berkesinambungan. 9 Pengungkapan informasi perusahaan perlu dilakukan secara berimbang, yang bermaksud, informasi yang disampaikan bukan hanya yang bersifat positif saja namun termasuk informasi yang bersifat negatif, ini bertujuan untuk menghindari adanya informasi yang salah (disinformasi) serta informasi penting yang disembunyikan oleh perusahaan yang berakibat merugikan pihak lain, baik pemegang saham maupun stakeholders lainnya. Informasi biasanya diketegorikan menjadi atas dua hal, yaitu informasi finansial dan informasi non finansial. Informasi finansial yang dipublikasikan oleh perusahaan kepada publik meliputi neraca (balance sheet), laporan laba rugi (income statement), laporan perubahan ekuitas, laporan arus kas (cash flow statement), dan catatan atas laporan keuangan. 9 Muh. Arief Effendi, 2009, The Power of Good Corporate Governace, Teori dan Implementasi, Salemba Empat, Jakarta, h. 103. 93 Informasi finansial yang utama terdapat pada laporan keuangan tahunan (annual report) dan laporan keuangan interim (interim report), biasanya berupa laporan tengah tahunan dan laporan triwulanan. Informasi non finansial merupakan bagian tak terpisahkan dari laporan finansial dan bertujuan untuk meningkatkan nilai tambah (value added) dari manfaat laporan keuangan. Informasi non finansial difokuskan pada masalah pengungkapan (disclosure) resiko potensial (potential risk) yang dihadapi perusahaan saat ini serta alasan mengapa manajemen mengambil resiko tersebut. Adapun empat tujuan utama keterbukaan informasi terutama pengungkapan informasi finansial dan non finansial bagi perusahaan yakni meningkatkan keterbukaan atau transparansi dalam pemberian informasi, mendukung proses implementasi GCG, termasuk pelaporan kepada pemangku kepentingan (stakeholder), mengupayakan kualitas menejemen perusahaan yang lebih profesional dan bagi auditor eksternal (auditor independen) dituntut lebih memahami analisis strategis dan resiko perusahaan secara keseluruhan. Beberapa kasus perbankan beberapa tahun lalu, antara lain akibat adanya disinformasi yang disampaikan kepada publik. Informasi dan laporan keuangan yang dilaporkan yang baik-baik saja meski sudah diaudit oleh auditor eksternal. Akibatnya ialah banyak bank yang mengalami kebangkrutan dan terpaksa ditutup atau dilikuidasi pemerintah. Dengan keberadaan SIH-P pada perusahaan perbankan diharapkan dapat membantu proses pengambilan keputusan yang cepat, akurat, dan valid yang bertujuan untuk meningkatkan coporate value dalam rangka penerapan salah satu 94 prinsip GCG yakni prinsip akuntabilitas. Bank BPD Bali belum memiliki SIH-P. SIH-P pada perusahaan ini masih dalam proses penyusunan. PT Bank BPD Bali telah melakukan berbagai kajian dalam rangka pengadaan sistem informasi demikian itu. Bank BPD Bali menyadari bahwa sistem informasi ini sangat diperlukan untuk pengambilan keputusan yang lebih cepat, akurat, dan valid, sehingga berbagai pemborosan dari segi biaya dan waktu dapat ditekan atau dikurangi. Pengurangan biaya atau waktu yang tidak diperlukan itu identik dengan efisiensi yang sangat berpengaruh terhadap kinerja (performance) perusahaan. Performance perusahaan merupakan komponen yang mempengaruhi derajat akuntabilitas perusahaan. BPR Kertiawan berpendapat berbeda. BPR ini berpendapat bahwa mereka belum memerlukan SIH-P dalam rangka pengambilan keputusan. Alasan yang disampaikan berkenaan dengan hal itu adalah bahwa SIH-P tidak dipersyaratkan secara ketentuan hukum. GCG perbankan secara normatif hanya mempersyaratkan akuntabilitas dan tidak menjelaskan atau mempersyaratkan lebih lanjut SIH-P sebagai komponen penting yang menentukan akuntabilitas. Alasan lainnya adalah BPR memiliki skup kerja yang lebih sempit dibanding bank umum yang lebih besar, sehingga keputusan perusahaan cukup diambil berdasarkan sistem informasi hukum manual sebagaimana yang sudah digunakan selama ini. Pandangan berbeda dari kedua bank itu menunjukkan bahwa pengadaan atau keberadaan SIH-P tidak didasarkan pada kebutuhan hukum, melainkan pada kebutuhan praktis perusahaan dalam pengambilan keputusan. Kebutuhan 95 demikian itu dipengaruhi oleh skup kerja dari bank yang bersangkutan. Bank-bank besar dengan skup kerja yang lebih besar dan luas cenderung memerlukan SIH-P dalam pengambilan keputusan untuk menjamin terselenggaranya prinsip akuntabilitas perusahaan. Sedangkan bank yang skup kerjanya kecil tidak terlalu memerlukan SIH-P dalam performa yang khusus, melainkan cukup menggunakan SIH-P manual. Pertimbangan bank-bank kecil itu tidak dapat dipertahankan karena masalah akuntabilitas bukan hanya masalah perusahaan bank itu sendiri, melainkan juga masalah masyarakat sebagai salah satu pemangku kepentingan dominan pada bank yang memerlukan performa bank yang terbaik dalam rangka melindungi kepentingan mereka secara adil. Sekalipun ketentuan PBI tidak mensyaratkan SIH-P sebagai komponen akuntabilitas perusahaan, namun dalam rangka pengambilan keputusan yang akurat, sistem demikian itu merupakan komponen akuntabilitas yang tidak dapat ditiadakan. Sifat incidental dari masalah atau sengketa juga merupakan pertimbangan lain yang meningkatkan urgensi SIHP pada setiap perusahaan perbankan. Alasan lainnya adalah efek internal dan eksternal akuntabilitas perusahaan, yaitu efisiensi yang eningkatkan keuntungan dan performa perusahaan yang meningkatkan kepercayaan masyarakat dan lebih jauh daya saing dan keberlanjutan daya hidup perusahaan. 96 1.3 Akibat Kekosongan Sistem Informasi Hukum Perusahaan Terhadap Sistem Pengambilan Keputusan dan Validitas Produk Hukum Perusahaan SIH-P merupakan komponen vital proses pengambilan keputusan perusahaan (company decision making process), terutama pengambilan keputusan yang cepat dan tepat (quick and accurate) dalam menghasilkan keputusan yang responsive terhadap perkembangan kebutuhan internal dan eksternal perusahaan. Proses penetapan keputusan yang cepat merupakan bagian dari tampilan perusahaan yang berhubungan erat dengan daya saing perusahaan dengan perusahaan sejenis lainnya. Kelambanan proses pengambilan keputusan merupakan sebab utama yang mengakibatkan ketertinggalan perusahaan atau menurunnya daya saing perusahaan atau ketidaktepatan keputusan merupakan sumber masalah yang berhubungan dengan pemborosan waktu dan biaya yang berhubungan erat dengan penghasilan atau keuntungan perusahaan. Keputusan yang tidak tepat merupakan sumber masalah dan masalah merupakan sumber pemborosan yang mempengaruhi efisiensi dan akhirnya penghasilan dan keuntungan perusahaan. Karena itu, SIH-P merupakan komponen vital perusahaan yang menentukan tampilan dan daya saing perusahaan. Untuk keperluan itu, SIHP merupakan komponen perusahaan yang seharusnya ditata bersamaan dengan penataan organisasi perusahaan dan alur proses keputusan perusahaan. SIH-P merupakan jabaran visi, misi, tata nilai, lingkup, tujuan dan strategi bisnis perusahaan. Tantangan terberat dalam mengimplementasikan GCG yakni merumuskan dan mengkomunikasikan visi, misi, tata nilai, serta lingkup, tujuan dan strategi bisnis perusahaan. Menejemen perusahaan hendaknya merumuskan 97 tahapan implementasi, tata nilai, etika bisnis, budaya dan tujuan akhir perusahaan yang akan dicapai melalui dedikasi dan keyakinan terhadap manfaat penerapan GCG. Dalam operasional perusahaan, nilai perusahaan serta keuntungan yang dihasilkan tercermin dalam laporan keuangan dan merupakan indikator bahwa apa yang telah dilakukan perusahaan telah sejalan dengan strategi bisnis dan target pencapaian yang disepakati. Namun disadari bahwa angka saja tidak cukup untuk mencerminkan kondisi perusahaan yang sebenarnya. Pada akhirnya, kesuksesan perusahaan justru diukur dari dukungan penuh dari semua organ perusahaan beserta stakeholders, serta SIH-P yang memadai, karena seluruh tampilan sistem dan strategis perusahaan senantiasa diukur dari sistem pengambilan keputusan dan hasilnya yang memadai. Bagian terpenting dan merupakan soft part di perusahaan adalah tata nilai perusahaan yang pada perusahaan-perusahaan besar (corporation) dijabarkan di dalam sistem pengambilan keputusan perusahaan. Diperlukan rumusan atas perilaku yang dapat diterima oleh semua insan perusahaan sebagai faktor utama semua aspek diperusahaan, bagian yang lain yang tak kalah penting adalah akuntabilitas, diperlukan sanksi yang tegas pada individu yang melanggar pedoman perilaku perusahaan agar menjadi contoh bagi yang lain bahwa hal itu tidak dapat ditoleransi oleh perusahaan. Di balik semua itu, belum banyak perusahaan menyadari bahwa sistem pengambilan keputusan yang tertata dengan baik merupakan kunci yang menentukan hasil akhir kinerja perusahaan. GCG tidak hanya sekedar sistem dan tata nilai, namun mencakup pola hubungan antara manajemen puncak sampai kepada pegawai paling bawah 98 maupun para pemangku kepentingan yang berujung pada konsumen dimana GCG dikomunikasikan pengelolaan dengan perusahaan efektif dan dipahami oleh semua pihak. kesuksesan bukan semata-mata hanya Dalam mengejar keuntungan. Pengelolaan bisnis perusahaan yang dilandasi oleh prinsip GCG selalu memiliki indikator kesuksesan yang diturunkan dari visi, misi, tata nilai dan rencana strategis perusahaan jangka panjang yang salah satu bentuknya harus diwujudkan dalam sistem atau alur proses pengambilan keputusan yang cepat dan tepat. Semua organ perusahaan meyakini, jika target tercapai yang diturunkan dari rencana strategis dapat direncanakan dan dilaksanakan dengan benar, itu berarti organ perusahaan telah menjalankan tugasnya untuk semata-mata kebaikan perusahaan. Jika perusahaan hanya berorintasi pada keuntungan semata maka seringkali perusahaan akan kehilangan visinya dan dapat menemui kegagalan. Dengan kata lain keuntungan akan datang jika perusahaan melakukan sesuatu yang benar dan kebenaran perilaku perusahaan itu terletak pada sistem pengambilan keputusan yang cepat dan tepat. Dengan cara ini sangat diyakini pertumbuhan dan perolehan perusahaan dapat diwujudkan secara baik dan berkesinambungan. Secara umum strategi implementasi terdiri dari tiga tahap. Pertama membangun komitmen bersama untuk melaksanakan prinsip-prinsip GCG yakni transparansi, kedua akuntabilitas, adalah kedalamnya responsibilitas, membangun sistem sistem pengambilan independensi, perusahaan keputusan. Ini yang dan fairness. terkendali, dapat dilakukan Tahap termasuk melalui 99 penguatan pengawasan internal, manajemen resiko, termasuk pelaksanaan whistle blowing system, serta sistem pengambilan keputusan yang cepat dan tepat melalui sistem penyajian informasi hukum perusahaan secara cepat dan akurat. Tahap ketiga adalah membangun budaya perusahaan dengan mengaktualisasikan etika bisnis dan prinsip-prinsip GCG sebagai landasan dalam menjalankan kegiatan bisnis perusahaan, pada akhirnya visi dan misi perusahaan mengarahkan untuk memaksimalkan keuntungan dan pertumbuhan secara berkesinambungan yang juga menjadi kepentingan semua stakeholder. SIH-P yang tertata secara elektornis merupakan cara untuk meyakinkan bahwa sistem pengambilan keputusan dapat dibersihkan dari subyektifitas dan sistem pengambilan keptusan yang bias dengan kepentingan perseorangan, baik internal maupun eksternal perusahaan. Setelah suskes melaksanakan GCG di tahap ketiga maka diharapkan akan mengubah budaya perushaan terutama pada persepsi tentang keuntungan, SDM, sistem keputusan yang akuntable, dan pentingnya peranan stakeholder. Secara makro, upaya dimaksud diharapkan dapat ikut mewujudkan iklim bisnis yang kondufis, menurunkan biaya ekonomi tinggi, dan pada giliran berikutnya akan meningkatkan daya saing Indonesia. Dalam pelaksanaan penerapan GCG adalah penting bagi perusahaan untuk melakukan pentahapan yang cermat berdasarkan analisis atas situasi dan kondisi perusahaan, dan tingkat kesiapannya, sehingga penerapan GCG dapat berjalan secara efektif dan mendapatkan dukungan dari seluruh unsur manajemen perusahaan. Dukungan manajemen yang ikhlas dan terbuka (just and voluntary) merupakan bagian lain proses pengambilan keputusan yang cepat dan akurat, 100 demikian sebaliknya sistem pengambilan keputusan yang berpijak pada keiklasan dan keterbukaan akan mempengaruhi dukungan. Pada umumnya perusahaan yang telah berhasil dalam menerapkan GCG menggunakan pentahapan implementasi GCG melalui tiga tahap yakni tahap persiapan, tahap implementasi, dan tahap evaluasi. Tahap persiapan ini terdiri dari tiga langkah utama yakni awareness building, GCG assessment, dan GCG manual building. Awareness building merupakan langkah sosialisasi awal untuk membangun kesadaran mengenai arti penting GCG dan komitmen bersama dalam penerapannya. Upaya ini dapat dilakukan dengan meminta bantuan tenaga ahli independen dari luar perusahaan. Bentuk kegiatan dapat berupa seminar, lokakarya, dan diskusi kelompok. GCG assessment merupakan upaya untuk mengukur atau lebih tepatnya memetakan kondisi perusahaan dalam penerapan GCG saat ini. Langkah ini perlu guna memastikan titik awal atau level penerapan GCG dan untuk mengidentifikasi langkah-langkah yang tepat guna mempersiapkan infrastruktur dan struktur perusahaan yang kondusif bagi penerapan GCG secara efektif. Dengan kata lain GCG assessment dibutuhkan untuk mengidentifikasi aspek-aspek apa yang perlu mendapatkan perhatian terlebih dahulu, dan langkah-langkah apa yang dapat diambil untuk mewujudkannya. GCG manual building adalah langkah berikut setelah assessment dilakukan. Berdasarkan hasil pemetaan yingkat kesiapan perusahaan dan upaya identifikasi prioritas penerapannya, penyususnan manual atau pedoman implementasi GCG dapat disusun. Penyusunan manual dapat dilakukan dengan 101 bantuan tenaga ahli independen ari luar perusahaan. Manual ini dapat dibedakan antara manual untuk organ-organ perusahaan dan manual untuk keseluruhan anggota perusahaan, mencakup berbagai aspek seperti: kebijakan GCG perusahaaan, pedoman GCG bagi organ-organ perusahaan, pedoman perilaku, Audit Committee Charter, kebijakan disklosur dan transparansi, kebijakan manajemen resiko, dan roadmap implementasi. Tahap implementasi dilakukan setelah perusahaan memiliki GCG manual. Tahap ini terdiri dari atas tiga langkah utama yakni: sisialisasi, implementasi, dan internalisasi. Sosialisasi diperlukan untuk memperkenalkan kepada seluruh perusahaan berbagai aspek yang terkait dengan implementasi GCG khususnya mengenai Pedoman Penerapan GCG. Upay sosialisasi perlu dilakuakan dengan suatu tim khusus yang dibentuk untuk itu, langsung berada di bawah pengawasan Direktur Utama atau salah satu Direktur yang ditunjuk sebagai GCG champion di perusahaan. Implementasi adalah kegiatan yang dilakukan sejalandengan pedoman GCG yang ada, berdasar roadmap yang telah disusun. Implementasi harus bersifat top down approach yang melibatkan Dewan Komisaris dan Direksi perusahaan. Implementasi hendaknya mencakup pula upaya manajemen perubahan (change management) guna mengawal proses perubahan yang ditimbulkan oleh implementasi GCG. Internalisasi adalah tahap jangka panjang dalam implementasi. Internalisasi mencakup upaya-upaya untuk memperkenalkan GCG di dalam seluruh proses bisnis perusahaan melalui berbagai prosedur operasi, sistem kerja, 102 dan berbagai peraturan perusahaan. Dengan upaya ini dapat dipastikan bahwa penerapan GCG bukan sekadar suatu kepatuhan yang bersifat superficial, tetapi benar-benar tercermin dalam seluruh aktivitas perusahaan. Tahap evaluasi adalah tahap yang perlu dilakukan secara teratur dari waktu ke waktu utnuk mengukur sejauh mana efektivitas penerapan GCG telah dilakuakn dengan meminta pihak independen melakukan audit implementasi dan scoring atas praktik GCG yang ada. Evaluasi dapat membantu perusahaan memetakan kembali kondisi dan situasi serta capaian perusahaan dalam implementasi GCG sehingga dapat mengupayakan perbaikan-perbaikan yang perlu berdasarkan rekomendasi yang diberikan. Dalam membangun GCG, termasuk kedalamnya SIH-P dalam rangka pengembangan sistem pengambilan keputusan perusahaan yang akuntabel, terkait dengan pengembangan sistem yang diharapkan akan mempengaruhi perilaku setiap individu dalam perusahaan yang pada gilirannya akan membentuk kultur perusahaan yang bernuansa GCG, maka diperlukan langkah-langkah yakni: Pertama, menetapkan visi, misi, rencana strategis, tujuan perusahaan, serta sistem operasional pencapaiannya secara jelas. Hal ini penting karena hanya dengan cara inilah didapat acuan bagi semua pihak dalam perusahaan. Dalam Undang-Undang Perserosan Terbatas, hal ini dikenal dengan istilah fiduciary duty (menjalankan amanah), organ perusahaan harus selalu bertindak semata-mata untuk kepentingan perusahaan. Jika semua visi berikut penjabarannya dibuat jelas, maka koordinasi dalam pencapaian tujuam menjadi semakin mudah. Demikian 103 pula setiap transaksi yang mengandung benturan kepentingan akan terlihat gamblang. Kedua, mengembangkan suatu struktur yang menjaga keseimbangan peran dan fungsi organ perusahaan (check and balance). Diantara beberapa kelemahan praktek korporasi di Indonesia, salah satu yang mencolok adalah begitu kuatnya pengaruh pemegang saham pengendali yang acap kali berperan rangkap, mejabat manajeman perusahaan. Alhasil, tak heran jika yang muncul adalah mandulnya fungsi pengawasan yang seharusnya dilakukan oleh Dewan Komisaris. Sebaliknyam Direksi menjadi begitu dominan sehingga fungsi kemudi jalannya perusahaan menjadi tidak harmonis. Ketiga, membangun sistem informasi, baik untuk keperluan proses pengambilan keputusan maupun keperluan keterbukaan informasi material dan relevan mengenai perusahaan. Keputusan yang diambil perusahaan biasanya dilakukan pada level direksi, dewan komisaris dan RUPS. Keputusan tersebut sebaiknya didukung ketersediaan informasi yang lengkap, menyeluruh, tepat waktu dan seketika. Dalam mengungkap informasi material dan relevan, hal pertama yang harus dilakukan adalah mengidentifikasi secara jelas apa yang dimaksud informasi yang jelas dan relevan tersebut. Pasalnya, setiap perusahaan memiliki kekhususan tersendiri. Kedua, membuat daftar kewajiban pelaporan dan mengembangkan format pelaporan yang standar. Jika telah diketahui kejalasan prihal informasi material dan relevan, maka tindakan berikutnya adalah mengembangkan sistem pelaporan internal unit-unit perusahaan yang memasok informasi tersebut. Ketiga, informasi guna pengambilan keputusan harus 104 dibagikan kepada para pengambil keputusan di perusahaan terutama Direksi, Dewan Komisaris secara simetris artinya seluruh anggota Direksi dan Komisaris harus mendapatkan informasi yang sama satu dengan yang lain, termasuk dalam hal waktu diterimanya informasi tersebut. Hal ini sangat penting untuk mengurangi resiko tanggung renteng dalam pengambilan keputusan oleh Direksi dan Komisaris. Informasi yang simetris juga memungkinkan tercapainya collective wisdom dalam proses pengambilan keputusan sehingga keputusan yang dihasilkan akan berkualitas. Keempat, membangun sistem audit yang handal, yang tak terbatas pada kepatuhan terhadap peraturan dan prosedur operasional standar, tetapi juga mencakup pengendalian resiko perusahaan. Selain mengawasi dan mengendalikan, satuan audit internal juga memonitor transaksi yang mengandung benturan kepentingan sekaligus merekomendasikan kepada Direksi bagaimana sebaiknya menyikapi masalah tersebut. Dengan adanya SIH-P diharapkan dapat menjadi salah satu sumber pengambilan keputusan yang cepat dan akuntabel jika menemukan suatu masalah pada saat berjalannya fungsi audit internal pada perusahaan. Satuan audit internal juga bertugas memonitor apakah pelaksanaan GCG sudah dilakukan dengan benar, dengan demikian adanya kesinambungan antara fungsi audit internal dengan SIH-P. Pada Bank BPD Bali, jika mengalami masalah dalam pengambilan keputusan belum pernah mengalami permasalahan yang signifikan mengenai pengambilan keputusan walaupun belum dimilikinya SIH-P, karena semua permaslahan yang memerlukan keputusan sudah diatur dalam Keputusan Direksi. 105 Keadaan yang sama juga pada BPR Kertiawan yang juga tidak pernah mengalami permasalahan dalam proses pengambilan keputusan. Jika terjadi permaslahan, Bank BPD Bali selalu menyelesaikan sesuai dengan mekanisme yang ada tergantung permaslahan yang dihadapi dan selalu dengan Keputusan Direksi. Frekwensi permasalahan yang muncul di Bank BPD Bali selama ini jarang terjadi, permasalahan tersebut tidak mempengaruhi terhadap proses penyelenggaraaan perusahaan, citra perusahaan dan daya saing perusahaan karena selama ini dapat diselesaikan dengan cepat dan tepat. Terhadap permasalahan-permasalahan yang dihadapi Bank BPD Bali tidak mempengaruhi secara signifikan. Hal yang serupa juga terjadi pada BPR Kertiawan yang jarang mengalami masalah dalam proses pengambilan keputusan, dan tidak mempengaruhi proses penyelenggaraan perusahaan, citra perusahaan, dan daya saing perusahaan. Pada Bank BNI 46 sampai saat ini belum pernah mengalami masalah dalam pengambilan keputusan dan frekwensi masalah yang timbul hampir tidak pernah terjadi dan permasalahan tersebut tidsk mempengaruhi citra perusahaan dan juga daya saing perusahaan. 3.4 Akibat Kekosongan Sistem Informasi Hukum Perusahaan Terhadap Penyelenggaraan Perusahaan dan Daya Saing Perusahaan Good governance adalah penyelenggaraan pemerintahan berdasarkan prinsip partisipasi maksimal dari seluruh pemangku kepentingan (stakeholder), hukum dan aturan (rule of law), transparansi, responsivitas, orientasi konsensus, keadilan dan kewajaran, efisiensi dan efektivitas, akuntabilitas dan visi strategis.10 10 Johan Pieris dan Nizam Jim, 2007, Etika Bisnis & Good Corporate Governance, Pelangi Cendikia kerjasama dengan Program Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana UKI, Jakarta, h. 131. 106 Dengan kata lain bahwa dunia usaha harus juga membangun dan memelihara prinsip-prinsip good governance. Sejak kejadian krisis multi dimensi pada tahun 1998 yang sangat fantastis dalam dunia bisnis ini membuka mata semua kalangan pebisnis dan pemerintahan betapa pentingnya penerapan prinsip GCG dalam kegiatan bisnis. 11 Berdasarkan hasil penyelidikan para regulator pemerintah dan analisis para pakar manajemen dapat disimpulkan penyebab utama tumbangnya perusahaan-perusahaan besar itu adalah karena lemahnya penerapan prinsip-prinsip Good Corporate Governance mereka, disamping itu makin terpisahnya hubungan pemegang saham dengan manajemen perusahaan. Kelemahan prinsip Good Corporate Governance itu antara lain ditandai oleh empat macam hal, yaitu: 1. Lemahnya peranan the Board of directors dalam mengendalikan pengelolaan perusahaan; Board of directors kurang aktif dalam menganalisis strategis bisnis perusahaan, 2. Semakin bebasnya manajemen perusahaan mengelola harta dan utang perusahaan dan mengambil keputusan-keputusan penting yang bersangkutan dengan kelangsungan hidup perusahaan, 3. Tidak transparan, akurat dan tepat waktunya pengungkapan laporan perkembangan bisnis dan keuangan oleh Board of directors kepada pemegang saham dan kreditur, 11 Joni Emirzon, 2007, Prinsip-Prinsip Good Corporate Governance Paradigma Baru Dalam Praktik Bisnis Indonesia, Genta Press, Yogyakarta, h. 75. 107 4. Dalam banyak kasus auditor yang mengaudit laporan keuangan perusahaan tidak bekerja dibawah pengawas langsung komite audit dan tidak bebas dari pengaruh manajemen senior perusahaan. SIH-P sekurang-kurangnya mencakup: kelengkapan data, ketersimpanan data, keamanan data, ketersediaan data, dan kecepatan serta keakurasian penyajian data. Masing-masing komponen sistem ini dapat digambarkan sebagai berikut. (1) Kelengkapan data Data dalam SIH-P disetarakan dengan dokumen, yaitu dokumendokumen hukum perusahaan. Kelengkapan data (data coherency) adalah keterpenuhan seluruh komponen data perusahaan, terutama yang berkenaan dengan hukum perusahaan, seperti: dokumen anggaran dasar perusahaan dengan seluruh perubahannya; dokumen keputusankeputusan RUPS perusahaan; dokumen keputusan komisaris dan direksi; peraturan perusahaan dan perjanjian kerja, serta produk hukum perusahaan lainnya. Kelengkapan data juga mencakup seluruh dokumen hukum yang terbentuk beradasarkan penyelenggaraan usaha, seperti: kontrak kerja, perjanjian kredit, dan perjanjian-perjanjian lainnya dengan pihak ketiga. Kelengkapan data merupakan prasyarat penyajian informasi yang cepat dan akurat. Kecepatan dan keakurasian data dalam proses pengambilan keputusan atau tindakan hukum perusahaan lainnya, seperti: penerimaan tenaga kerja, mutasi dan promosi, serta pemberhentian tenaga kerja; pemberian kredit, perpanjangan dan penghapusan kredit; 108 kerjasama atau pemutusan kerjasama dengan pihak ketiga; pengembangan, penggabungan, serta pembubaran cabang atau anak perusahaan; merupakan prasyarat tampilan perusahaan yang sehat, demikian selanjutnya keberlanjutan citra dan dukungan pasar dan lingkungan perusahaan terhadap keberadaan dan penyelenggaraan usaha perusahaan. (2) Ketersimpanan data Penyimpanan data berhubungan dengan dua hal, yaitu: pertama, keamanan data; dan kedua, ketersediaan data. Dokumen hukum perusahaan merupakan sumber informasi hukum perudahaan. Dokumen hukum ini mencakup dokumen yang bersifat soft copy maupun hard copy. Kedua jenis dokumen itu, secara substansi, mencakup seluruh jenis dokumen yang disyaratkan pada kelengkapan data perusahaan. Penyimpanan data mengikuti bentuk dan sifat data untuk memenuhi kebutuhan data atau informasi hukum perusahaan. Data dalam soft data harus disimpin secara komputerisasi, digital, atau elektronik, sedangkan data dalam bentuk hard data disimpan dengan cara pengarsipan manual atau sistem dokumentasi manual. Penyimpanan data mengikuti berbagai konsep penyimpanan. Tidak ada satu sistem mutlak yang berlaku umum terhadap sistem penyimpanan data hukum perusahaan. Setiap perusahaan mengembangkan sendiri sistem penyimpanan datanya sesuai dengan kebutuhan perusahaan bersangkutan. Namun demikian cara menyimpan data ini, disamping 109 secara umum diklasifikasi atas penyimanan secara komputer dan manual, juga dapat diklasifikasi berdasarkan jenis pembentuknya, jenis dokumennya, jenis kegiatan perusahaannya, dan jenis dokumen berdasarkan status perusahaannnya. Berdasarkan pembentuknya, dokumen hukum perusahaan dapat diklasifikasi atas: produk RUPS, produk komisaris, produk direksi, dan produk hubungan dokumennya, dokumen dengan produk pendirian pengelolaan pihak ketiga. Berdasarkan jenis hukum perusahaan dapat diklasifikasi atas dan perusahaan; pengembangan dan dokumen perusahaan; dokumen penyelenggaraan kegiatan usaha perusahaan. Berdasarkan jenis kegiatan usahanya, dokumen hukum perusahaan dapat diklasifikasi atas dokumen hukum pengikatan kredit dan jaminan, pengendalian risiko kredit, pelunasan kredit, dan penyelesian kredit macet. Berdasarkan status perusahaannya, dokumen hukum perusahaan dapat diklasifikasi atas dokumen hukum pendirian, pengembangan, dan pengakhiran perusahaan. Ragam klasifikasi ini seringkali digunakan secara bercampur satu sama lain, tergantung kebutuhan perusahaan. Namun demikian, secara umum kebanyakan perusahaan menggunakan klasifikasi berdasarkan jenis organ pembentuk produk hukum perusahaan itu. Isu lain berkenaan dengan penyimpanan atau ketersimpanan data adalah sifat dari data yang disimpan itu. Ada tiga kategori data menurut sifatnya, yaitu: (a) mendasar atau fundamental, sangat 110 penting, dan rahasia; (b) operasional, biasa, dan umum; dan (c) data pendukung. Ketiga jenis data ini menciptakan tiga jenis kebutuhan penyimpanan, yaitu: (a) penyimpanan data rahasia; (b) penyimpanan data biasa; dan (c) penyimpanan data penunjang atau terbuka. Ketiga jenis data dan cara penyimpanannya itu selanjutnya menentukan jenis hak atau kewenangan dari subyek pengakses data itu, yang juga dapat dikategorikan atas tiga jenis, yaitu: (a) subyek yang memiliki kewenangan akses terhadap data rahasia; (b) subyek yang yang memiliki kewenangan akses terhadap data biasa; dan (c) subyek yang memiliki kewenangan akses terhadap data penunjang. Ketiga jenis data itu juga menentuka lokasi penyimpanannya, mulai dari ruang terbuka hingga pada ruang khusus atau bahkan tempat penyimpanan khusus. Tempat penyimpanan ketiga jenis data ini tidak dapat dipertukarkan satu sama lain, demikian juga hak akses dan penggunaannya. Ketiga jenis data ini juga menentukan cara permintaannya: (a) untuk data rahasia biasanya didasarkan cara permintaan dengan standar tertentu dan diikuti dengan persyaratan yang sangat ketat; (b) untuk jenis data biasa, biasanya hanya dapat diakses oleh subyek tertentu yang diberi wewenang untuk mengakeses data tersebut; sedang untuk (c) jenis data penunjang, umumnya bersifat terbuka dan dapat diakes oleh semua pihak di dalam perusahaan itu. Karena itu, jenis data yang ketiga ini umumnya tersedia disetiap computer personal pegawai perusahaan tersebut, seperti data tentang 111 kebijakan umum perusahaan, jaringan pasar, luasan produk, dan data lain yang berhubungan dengan profil dan performance perusahaan. Data yang ketiga ini umumnya juga merupakan data umum yang dapat diakses oleh masyarakat umum, pemangku kepentingan, atau pihak lainnya yang mempunyai kepentingan terkait dengan perusahaan. (3) Keamanan data Data perusahaan umumnya bersifat rahasia. Namun demikian terdapat juga jenis data yang bersifat umum dan terbuka untuk pihak ketiga. Keamanan data merupakan aspek dari penyimpanan data. Karena itu, derajat keamanan penyimpanan data. data Untuk berkaitan erat dengan sifat dan cara jenis data yang bersifat fundamental, rahasia, dan sangat penting biasanya disimpan pada tempat-tempat tertentu yang menjamin keamanan, seperti: safety box, atau jenis penyimpanan data lainnya. Untuk jenis data operasional perusahaan umumnya disimpan pada bank data setiap bagian perusahaan dan hanya dapat diakses oleh petugas atau pegawai tertentu pada bagian itu. Sekalipun memiliki sifat biasa, namun data ini umumnya juga diamankan dengan kode akses tertentu, sehingga tidak dapat diakses oleh semua pegawai. Isu keamanan umumnya tidak menjadi isu utama dalam kaitan dengan jenis data pendukung. Keamanan data juga berhubungan dengan tanggungjawab setiap orang atau lembaga yang ditugaskan untuk menimpa data itu. Tugas setiap orang atau lembaga yang ditugaskan menyimpan data umumnya juga 112 mencakup tugas untuk menjaga keamanan data itu dari akses pihak ketiga. Keamanan dalam pengertian ini adalah keamanan data dari akses pihak yang tidak berhak. (4) Ketersediaan data Ketersediaan data ditentukan oleh kelengkapan, ketersimpnan, dan keamanan data. Ketersediaan data merupakan prasayarat pasokan data dalam proses pengelolaan perusahaan, penyenggaraan usaha, dan pengembangan usaha dan perusahaan. Ketersediaan data menentukan kecepatan dan keakurasian penyediaan data yang lebih jauh menentukan kecepatan pengambilan keputusan dalam proses kebijakan perusahaan. Ketersediaan data merupakan prasayarat penyediaan data. Penyediaan data dilakukan oleh bagian atau petugas tertentu yang ditentukan di dalam ketentuan pengelolaan data perusahaan. (5) Kecepatan dan keakurasian penyajian data Kecepatan dan keakurasian penyediaan atau penyajian data ditentukan oleh kelengkapan dan ketersediaan data.kecepatan dan keakurasian penyediaan data merupakan prasyarat kecepatan dan keakurasian pengambilan keputusan dan lebih jauh menentukan kecepatan dan keakurasian tindakan perusahaan. Kekosongan SIH perbankan dapat berimplikasi terhadap penyelenggaraan sistem pengelolaan perusahaan, penyelenggaraan usaha perusahaan. sistem pengambilan keputusan, dan sistem 113 Dalam penerapan prinsip akuntabilitas di Bank BPD Bali penjabarannya dengan membuat job desk dimasing-masing Divisi dan melakukan penilaian atas hasil kerja sehingga dapat dipertanggung jawababkan kinerja secara transparan dan wajar dan dikelola secara benar, terukur dan sesuai dengan kepentingan perusahaan. Akuntabilitas merupakan persyaratan yang diperlukan untuk mencapai kinerja yang berkesinambungan. Untuk memenuhi kebutuhan terhadap informasi hukum yaitu berdasarkan peraturan-peraturan yang ada seperti UUP, PBI dan lain-lain yang berhubungan dengan permasalahan yang dihadapi. Pada BPR Kertiawan penajbaran prinsip akuntabilitas dalam proses pengambilan keputusan dalam perusahaan yakni menurut SOP (standar operasional prosedur) yang berlaku dan ketentuan OJK, dan dalam memenuhi kebutuhan terhadap informasi hukum dalam proses pengambilan keputusan yang cepat dan akurat yaitu dengan mencari di dalam Undang-Undang. Pada Bank BNI 46 dalam pengambilan keputusan dalam perusahaan yakni jika keputusan yang telah diambil oleh pihak yang berkompeten dan memiliki kewenangan sesuai dengan keputusan yang diambil tersebut dan telah mempertimbangkan unsur untung/ rugi serta mitigasi resikonya. Dalam pengambilan keputusan terebut mengacu pada ketentuan online yang telah ada, melakukan browsing diinternet, dan konsultasi pada bagian legal perusahaan.