PERANAN PEMERIKSAAN LESITHIN-SFINGOMYEILIN UNTUK MATURITAS PARU JANIN dr. Pande Made Ngurah Geriawan, Sp.OG BAGIAN/SMF OBSTETRI DAN GINEKOLOGI FK UNUD/RSUP SANGLAH DENPASAR 2012 BAB I PENDAHULUAN Pertumbuhansistem pernapasan janin telah dimulai sejak minggu ke empat kehamilan (hari ke 24) dimana celah laryngotracheal muncul didasar pharynx, lama kelamaan semakin dalam membentuk diverticulum laryngotracheal.Dalam pertumbuhan kearah kaudal lipatan longitudinal mesenchim berfusi membentuk tracheoesophageal, yang memisahkan laryngotracheal tube di ventral dengan esophageus di dorsal. Laryngotracheal tube bertumbuh menjadi larynx dan trachea.Tunas paru berkembang dari ujung kaudal tube ini dan segera bercabang menjadi dua buah tunas bronchopulmonary (tunas paru). Dari setiap percabangan ini terbentuk saliran udara/ pernapasan yaitu bronchus dan bronchiolus.Jaringan pernapasan – bronchiolus- duktus dan sacus alveolaris dan alveoli berkembang dari ujung terminal bronchiolus dan terus berkembang sampai periode post natal dimana sel epitelnya berasal dari endodermal. Penggunaan analisis terhadap cairan amnion untuk memprediksi maturitas paruparu janin telah diterima secara luas. Hasil analisis ini telah dimanfaatkan untuk menentukan saat yang tepat untuk melakukan terminasi kehamilan secara elektif, misalnya pada kasus seksio sesaria yang berulang dan merupakan faktor yang penting dalam penatalaksanaan kasus-kasus gestosis, diabetes militus, perdarahan antepartum, inkopabilitas rhesus dan komplikasi-komplikasi lain kehamilan.1,2 Apabila karena sesuatu keadaan, kehamilan harus diakhiri atau menunda suatu persalinan, menjadi suatu persoalan untuk menentukan dengan tepat maturitas paru-paru janin.Maturitas paru-paru janin ini sangat erat hubungannya dengan terjadinya Respiratory distress syndrome (RDS).Pada RDS terdapat gangguan produksi dan sekresi bahan yang disebut surfaktan, yang dihasilkan oleh pneumosit tipe II. Produksi bahan tersebut yang sangat cepat meningkat sesudah usia kehamilan 35 Minggu. Surfaktan akan menurunkan tekanan pada permukaan alveoli, sehingga kolaps alveoli tidak akan terjadi.1,2,3,4 Pemeriksaan maturitas paru sangat bermanfaat, untuk memprediksi terjadinya RDS pada bayi-bayi baru lahir. Di Amerika Serikat, berdasarkan hasil pemeriksaan maturitas paru secara luas, RDS telah diprediksi terjadinya pada 40.000 bayi-bayi yang baru lahir setiap tahun. Sindroma gawat napas mortalitasnya yang cukup tinggi yaitu sebesar 30% dan dalam jangka panjang dihubungkan dengan resiko yang bermakna untuk timbulnya gejala sisa, baik neurologis maupun pulmonologist.2,4 BAB II PERKEMBANGAN NORMAL PARU JANIN II.1 PERKEMBANGAN SECARA ANATOMI Pada hari ke 26-28 broncus primer terbentuk, perkembangan selanjunya terjadi pada empat fase yang overlapping yaitu : Fase Glandular, hari 28 sampai minggu ke 16 disebut fase glandular karena secara histologis terlihat gambaran glndula yang dilapisi oleh epitel kuboid pada bagian terminalnya yang terjadi proses percabangan bronchus. Demikian pula dengan arteri pulmonalis yang bertumbuh mengikuti percabangan bronchus. Pembuluh kapiler masih terpisah jauh dari terminal saluran nafas oleh jaringan interstisiel. Kehidupan ekstra uterin belum memungkinkan pada tahap ini karena kapasitas pertukaran gas yang masih terbatas antara kapiler dan saluran nafas. Fase canalicular, minggu ke 13 sampai dengan minggu ke 25, pada saat ini terjadi canalisasi saluran nafas. Setiap bronchus memunculkan 2 atau lebih bronchiolus respiratorius dan setiap bronchiolus respiratorius terbagi menjadi 3 sampai 6 duktus alveolaris, epitel menjadi lebih tipis kapiler semakin dekat dengan epitel pernapasan dan potensi perukaran gas masih terbatas. Fase terminal sac, dari 24 minggu sampai lahir. Duktus alveolaris tumbuh menjadi alveoli primitive. Epitel berdiferensiasi menjadi tipe I dan tipe II. Sel alveolar tipe I menutupi lebih kurang 95% alveoli. Jumlah kapiler semakin bertambah dan semakin dekat dengan sel tipe I sehingga memungkinkan pertukaran gas yang lebih baik. Sel tipe II berperan dalam mensintesa , menyimpan dan mensekresikan surfaktan. Fase Alveolar, mulai pada fase akhir kehidupan dalam kandungan berlangsung terus sampai 8 tahun. Alveolarisasi yang sebenarnya dimulai kira-kira pada 34 sampai 36 minggu. Pada saat kelahiran alveoli dewasa baru didapatkan sekitar 1/8 sampai 1/6. Jumlah alveoli terus bertambah sampai terbentuk alveoli dewasa seluruhnya setelah 8 tahun. Paru terdiri dari 40 tipe sel yang berbeda. Sel yang melapisi alveoli terutama terdiri dari 2 tipe sel, yaitu pneumosit tipe I dan tipe II. Tipe I sebagai sel utama alveoli merupakan epitel yang tipis melapisi dinding alveoli dan berkontak erat dengan sel endotel kapiler, yang memungkinkan pertukaran gas bias terjadi. Sel tipe II yang lebih kecil dari tipe I terletak disudutsudut alveoli, berbentuk kuboid dan mengandung lamellar inclusion spesifik bila dilihat dibawah mikroskop electron. Lamellar body adalah tempat menyimpan surfaktan intraseluler. Dengan analisa biokemik ternyata lamellar body mengandung surfaktan sejenis fospolopid. Sel tipe II menangkap precursor pembentuk fospolipid dan protein. Sintesa terjadi dalam endoplasmic reticulum. Setelah dimodofikasi dalam apparatus golgi komponen surfaktan dibawa dan disimpan dalam lamellar body. Lamellar body ini disekresikan dengan cara exsocytosis dan dibuka diluar sel membentuk tubular myelin. Dari sini dihasilkan surfaktan monolayer, yang diabsorbsi ke air – liquid interface. Dengan mikroskop electron tubular myelin terlihat seperti kisi-kisi berbentuk tabung segi empat. Selain itu sel tipe II juga berfungsi untuk proliferasi sebagai respon terhadap trauma.Setelah mengalami trauma, sei tipe I terkelupas dari dinding alveoli dan sel tipe II berproliferasi untuk memperbaiki dinding alveoli, kemidian berkembang menjadi sel tipe I. Gambar 1. Pekembangan normal Paru janin II.2 PERKEMBANGAN SECARA BIOKEMIK Surfaktan adalah komplek antara fospolipid dan protein, dimana 85-90% adalah fospolipid dan 10% protein. Komposisi lipid (fospolipid) dari surfaktan terutama terdiri dari saturated palmitic acid. Sintesa faty acid dan fospolipid terjadi de novo dalam sel tipe II yang bahanbahannya diambil dari sirkulasi darah. Sumber energi diambilkan dari glikogen.Kadar dari glycogen dalam paru janin meningkat pada saat awal perkembangan paru yang mencapai puncaknya pada saat akhir kehamilan, kemudian menurun dengan cepat bersamaan dengan peningkatan sintesa fospolipid.Pada saat peningkatan sintesa phosphatydilcholin aktifitas enzim cholin phospatydil tranverase juga meningkat pada saat akhir kehamilan.Demikian juga peningkatan sintesa fatty acid paralel dengan peningkatan enzim faty acid sintesa.Selain komponen fospolipid juga terdapat komponen protein.Surfaktan protein A (SP-A) merupakan highly glycocilated protein yang berperan dalam sekresisurfaktan dan reuptake oleh sel tipe II yang juga berperan penting dalam pembentukan tubular myeilin.Komponen protein lain SP-B dan SP-C berperan dalam aktifitas permukaan surfaktan. Sejumlah rangsangan fisik, biokemik, dan hormonal dapat mempengaruhi perkembangan paru serta sintesa dan sekresi fospolipid. Insiden RDS lebih rendah pada bayi yang dilahirkan setelah proses persalinan baik pervaginam maupun dengan seksio cesaria dibandingkan dengan yang lahir tanpa diawali proses persalinan pada usia kehamilan yang sama. Persalinan diduga mempercepat sekresi surfaktan dan tidak mempengaruhi sintesa. Perbedaan jenis kelamin ternyata bayi laki-laki lebih sering dikenal RDS dibandingkan dengan bayi perempuan. Perbedaan kadar fospolipid dalam cairan ketuban memperlihatkan bahwa maturasi paru bayi perempuan lebih cepat terjadi sau minggu. Diduga hal ini disebabkan peningkatan sekresi dan bukan peningkatan sintesa. Ibu dengan DM juga mempengaruhi pematangan paru, dimana RDS lebih sering didapatkan pada bayi dengan ibu menderita DM. Tidak jelas factor apa yang menyebabkan terlambatnya maturitas paru janin, apakah hipoglikemia, hiperinsulinemia, gangguan metabolisme, fatty acid atau kombinasi factor-faktor tersebut. Sintesa surfaktan juga distimulasi oleh beberapa hormone seperti glucocorticoid hormone tyroid, TRH dan prolaktin, dan oleh growth factor seperti epidermal growth factor (EGF). Dari factor tersebut, pengaruh glucocorticoid sangat banyak diteliti. Pemberian glucocorticoid kepada janin menuebabjan sejumlah perubahan morfologi yang menandakan percepatan maturitas paru, pembesaran alveoli, penipisan inter alveolar septum, peningkatan jumlah sel tipe II dan peningkatan lamellar body dalam sel tipe II. Gluckokortitiroid juga meningkatkan sintesa fospolipid paru dan protein surfaktan. Secara klinis ternyata pemberian steroid antenatal mempercepat maturitas paru. Sekresi surfaktan juga dirangsang oleh sejumlah zat termasuk β adrenergic-agonist (seprti terbutaline) dan perinoceptor agonist (seperti adenosint) dan camp. II.3 PERKEMBANGAN SECARA FISIOLOGI Gerakan pernafasan pada janin sudah dapat dilihat pada akhir trimester kedua masa kehamilan Pada umur kehamilan 34 minggu janin yang sehat sudah menunjukkan gerakan pernafasan kurang lebih 30-60 kali dalam satu menit. Gerakan pernafasan ini juga penting peranannya daiam mendistribusikan surfaktan ke seluruh alveoli paru. Adanya gerakan pernafasan ini juga menandakan maturasi susunan saraf pusat BAB III FISIOLOGI PERNAPASAN PADA NEONATUS Saat bayi dilahirkan dan sirkulasi fetoplasenta berhenti berfungsi, bayi tersebut mengalami perubahan fisiologi yang besar sekali dan cepat.Dalam beberapa menit setelah lahir, sistem pernapasan harus mampu memberikan oksigen dan mengeliminasi karbondioksida kalau neonatus itu hendak bertahan hidup. Kelangsungan hidup bayi tersebut tegantung pada cepat dan teraturnya pertukaran oksigen dan korbondioksida antara lingkungan barunya dan sirkulasi paru-paru yang terisi cairan harus diisi dengan udara, udara harus dipertukarkan dengan gerakan pernapasan yang tepat, dan mikrosirkulasi yang kuat harus diciptakan di sekitar alveoli tersebut.2,4 Segera setelah lahir, pola pernapasan bergeser dari satu inspirasi episodik dangkal, yang khas pada pernapasan janin, menjadi pola inhalasi lebih dalam dan teratur.Sekarang jelas bahwa aerasi paru-paru neonatus bukan inflasi dari suatu struktur yang kolaps, melainkan pergantian cepat cairan bronkhial dan alveoli dengan air. Pada biri-biri, dan diperkirakan pada bayi manusia, cairan alveoli yang tersisa setelah kelahiran dibersihkan melalui sirkulasi paru dan pada tingkat yang lebih kecil, melalui sistem limfatik paru.2 Karena cairan digantikan dengan udara, terdapat pengurangan cukup besar kompresi vaskuler paru dan selanjut, menurunkan tahanan aliran darah.Dengan menurunnya aliran cairan darah arteri pulmonalis, duktus arteiosus normalnya menutup. Penutupan foramen ovale lebih variabel.2 Tekanan negatif pada toraks yang tinggi diperlukan untuk menghasilkan pemasukan udara pertama kali ke dalam alveoli yang penuh terisi air. Normalnya, dari pernapasan pertama setelah lahir ini, secara progesif lebih banyak udara residual berkumpul di dalam paru-paru, dan setiap pernapasan berikutnya, diperlukan tekanan pembukaan paru-paru, yang lebih rendah.2,4 Berhasilnya pengisian paru-paru dengan udara dan cepatnya pembentukan pola fisiologi perubahan tekanan volume pada inspirasi dan ekspirasi memerlukan adanya bahan permukaan aktif yang akan merendahkan tegangan permukaan di dalam alveoli dan karena itu mencegah kolapsnya paruparu pada setiap ekspirasi. Tidak cukupnya surfaktan akan menyebabkan timbulnya Respiratory Distress syndrome (RDS) dengan cepat.l,2,3,4,10,11 Pada tahun 1929, Von Neergard membandingkan kurva-kurva tekanan volume paru-paru yang dikembangkan dengan udara, dengan paru-paru yang dikembangkan dengan suatu larutan gum Arab. Dari hasil penelitian ini, ia menyimpulkan bahwa kekuatan yang meningkatkan deflasi atau kolapsnya paruparu yang mengandung udara adalah kekuatan yang terutama dihasilkan oleh tegangan permukaan pada sekat udara saringan pada alveolus. Clements pada tahun 1957, menemukan bahwa suatu bahan yang menghasilkan tegangan permukaan terdapat di dalam ekstraks-ekstraks salin dari bahan cucian paru. Kemudian ditemukan bahwa sifat-sifat permukaan aktif dari alveoli dapat dihubungkan dengan komponen-komponen suatu kompleks lipoprotein, yaitu surfaktan.1,2,5 Klaus dan rekan (1961) menetapkan bahwa komponen permukaan aktif surfaktan yang penting ada hubungannya dengan suatu lesitin spesifik, yaitu diplamitoilfostidilkolin.1 Avery dan Mead (1959) adalah yang pertama kali menunjukan bahwa RDS disebabkan oleh defisiensi biosintesis surfaktan dalam paru-paru janin dan neonatus. Berikutnya, beberapa peneliti telah memperlihatkan pertambahan sintesis surfaktan, normalnya tampak pada paru-paru janin menurut perkembangannya diketahui bahwa dari 40 tipe sel paru, surfaktan dibentuk khususnya pada pneumosit tipe II ini ditandai dengan badan-badan multiveskuler, progenitor seluler dari badan lamellar disekresi dari paru-paru. Dalam kehidupan janin lebih lanjut, pada saat alveolusnya ditandai dengan suatu interface air ke jaringan, badan-badan lamelar utuh disapu ke dalam cairan amnion dengan gerakan-gerakan semacam pernapasan, yaitu pernapasan janin.2 Ini merupakan cirri yang sangat penting dari kehamilan manusia, karena surfaktan di dalam cairan amnion menunjukan mulainya pematangan fungsional paru-paru.Pada spesies lain, sekret-sekret paru tidak perlu masuk ke cairan amnion; misalnya, pada janin biri-biri, interface air ke jaringan diproduksi dalam alveolus paru bayi baru lahir.Hal ini memungkinkan "penguraian" surfaktan dari bahan lamelar dan penurunan tegangan permukaan ini kemudian menyebar ke lapisan alveolus, dank arena itu mencegah kolaps alveolus pada waktu ekspirasi.Dengan demikian, kemampuan paru-paru janin untuk memproduksi surfaktan inilah, dan bukan meletakkan badan lamellar ini in-utero, yang menandai kematangan paru sebelum lahir.2,3 BAB IV SURFAKTAN IV.1. Definisi Surfaktan adalah suatu bahan yang dikeluarkan oleh sel pada alveoli paru yang dapat menurunkan tekanan antara udara dan jaringan sehingga memudahkan paru saat bayibernapas pertama. Surfaktan terdiri dari 2 kata yaitu surface (permukaan/bahan ) dan active. Artinya bahan yang dapat mengaktifkan permukaan paru sehingga paru mudah berkembang saat pernapasan. Surfaktan paru dibentuk oleh sel pneumosit tipe Iiyang mempunyai ciri khas sebagai berikut: Terdapat badan multivesikuler Terdapat badan berlapis sebagai pembentuk dan pengikat surfaktan. Pada masa intrauterin badan berlapis dibentuk oleh sel pneumosit tipe II yang selanjutnya dialirkan oleh air ketuban yang masih mengisi alveoli menuju air ketuban dikantong amnion saat terjadi gerakan pernapasan janin intrauteri. Saat janin bernapas pertama kali hingga terjadi kontrak antara udara dan jaringan, merupakan kesempatan sel tipe II untuk membentuk dan melepaskan surfaktan.11 IV.2.Jenis-jenis Surfaktan Terdapat 2 jenis Surfaktan yaitu 1. Surfaktan natural atau asli yang berasal dari manusia, didapatkan dari cairan amnion sewaktu sectio cesaria dari dengan kehamilan cukup bulan. 2. Surfaktan eksogen yang berasal dari sintetik dan biologik yang terdiri dari Surfaktan eksogen sintetik terdiri dari campuran Dipalmitoylphosphatidylcholine (DPPC), Hexaldecanol, dan tyloxapol yaitu Exosurf dan Pulmactant (ALEC) dibuat dari DPPC 70% dan Phosphatidylglicerol 30%, kedua surfaktan tersebut tidak lama dipasarkan di Amerika dan Eropa 2,5. ada 2 jenis surfaktan sintesis yang edang dikembangkan yaitu KL4 (Sinafultide) dan rSPC (venticute) dimana kedua surfaktan ini belum pernah ada penelitian tentang penggunaannya pada bayi prematur Surfaktan eksogen semi sintetik, berasal dari campuran surfaktan paru anak sapi dengan Dipalmitoylphosphatidylcholine (DPPC), Tripalmitine dan palmitik misalnya Surfaktan TA, surfanta. Surfaktan eksogen biologik yaitu surfaktan yang diambil dari paru anak sapi atau babi misalnya infasurf, alveofact, BLES, sedangkan yang diambil dari paru babi adalah Curosurf. IV.3. Metabolisme Surfaktan Surfaktan paru disintesis, ditranspormasikan dan di sekresi ke alveolus kemudian di produksi ulang melalui mekanisme yang sangat kompleks dan teregulasi. Proses ini berjalan lebih lambat pada bayi baru lahir prematur dari pada orang dewasa atau pada penderita dengan kelainan paru. Kecapatan sintesis dan waktu paruh surfaktan di pengaruhi oleh berbagai faktor seperti sintesis surfaktan pada bayi prematur dengan menggunakan isotop yang stabil seperti glukose, asam asetat dan asam palmitic memperlihatkan bahwa sintesis dari glukose dalam perubahannya menjadi surfaktan posphatidylcholine (PC) menggunakan waktu kurang dari 19 jam dan mencapai puncaknya dalam waktu 70 jam. Kecepatan produksi dari PC absolut adalah 4,2 mg/kg/hari sedangkan waktu paruhnya 113 (±25 jam). Kecepatan sintesis dari PC fraksional dari plasma palmitat jauh lebih tinggi dari pada palmitat yang di sintesis de novo dari asetat atau glukose tetapi hanya menghasilkan setengah dari total produksi surfaktan pada bayi prematur. Sekresi surfaktan dapat distimulasi oleh beberapa mekanisme seperti sel tipe II yang memiliki reseptor beta-adrenergik yang dapat merespon beta-agonist dengan peningktan sekresi surfaktan. Purin seperti adenosin triphospat merupakan stimulator kuat untuk mensekresikan surfaktan. Peregangan mekanis seperti distensi paru dan hiperventilasi juga diperkirakan turut berperan dalam mensekresi surfaktan. Hormon thyroxine juga berperanan penting dalam mensekresi surfaktan dimana dalam prosesnya dapat mempercepat diferensiasi sel tipe II dan juga berperan secara sinergis dengan glukokortikoid untuk meningkatkan distensi paru dan sintesis DPPC. Sel tipe II , makrofag dan alveolar pada dinding paru mempunyai peran besar dalam pemecahan surfaktan. Perubahan siklik pada permukaan alveolar merangsang konversi surfaktan aktif yang baru disekresikan dengan kandungan kaya protein menjadi bentuk surfaktan yang rendah protein. Surfaktan juga di transpormasikan selama siklus kompresi dan ekpansi alvoli, dari kumpulan surfaktan yang besar dan sangat aktif menjadi subtipe yang kecil dang kurang aktif yang dapat menyebabkan terjadinya beberapa gangguan seperti : Defects in metabolisme surfaktan, respiratory distres syndrome, meconium aspiration syndrome, pulmonary hammorage, acute respiratory distress syndrome. IV.3. Fungsi Surfaktan Pada tahun 1929 Von Neegard menyatakan bahwa tegangan permukaan paru lebih rendah dari cairan biologi normal karena menemukan adanya perbedaan elastisitas pada paru-paru yang terisi udara dan terisi larutan garam (saline). Disebutkan juga bahwa tegangan permukaan adalah lebih penting dari kekuatan elastisitas jaringan untuk kekuatan penarikan paru pada saat mengembang.12,13. Tegangan permukaan antara air-udara alveoli memberikan kekuatan penarikan melawan pengembangan paru. Hukum laplace menyatakan bahwa perbedaan tekanan antara ruang udara dan lapisan (Δ P) tergantung hanya pada tegangan permukaan (T) dan jarak dari alveoli (Δ P = 2T /r). Kekuatan sebesar 70 dynes/cm2 menghasilkan hubungan antara cairan - udara dalam alveoli dan dengan cepat akan menyebabkan kolapsnya alveoli dan kegagalan nafas jika tidak berlawanan.11 Pada tahun 1950, Clements dan Pattle secara independen mendemonstrasikan adanya ekstrak paru yang dapat menurunkan atau mengurangi tegangan permukaan fosfolipid paru.Beberapa tahun berikutnya yaitu pada tahun 1959 Avery dan Mead menyatakan bahwa RDSpada bayi prematur disebabkan adanya defisiensi bahan aktif permukaan paru yang disebut surfaktan paru. Surfaktan merupakan suatu komplek material yang menutupi permukaan alveoli paru, yang mengandung lapisan fosfolipid heterogen dan menghasilkan selaput fosfolipid cair, yang dapat menurunkan tegangan permukaan antara airudara dengan harga mendekati nol, memastikan bahwa ruang alveoli tetap terbuka selama siklus respirasi dan mempertahankan volume residual paru pada saat akhir ekspirasi. Rendahnya tegangan permukaan juga memastikan bahwa jaringan aliran cairan adalah dari ruang alveoli ke dalam intersisial. Kebocoran surfaktan menyebabkan akumulasi cairan ke dalam ruang alveoli. Surfaktan juga berperan dalam meningkatkan klirens mukosiliar dan mengeluarkan bahan particulate dari paru. Setelah beberapa percobaan dengan pemberian surfaktan aerosol pada bayi-bayi RDS tidak berhasil, dilakukan percobaan pemberian surfaktan secara intratrakeal pada bayi hewan prematur. Pada tahun 1980Fujiwara dkk melakukan uji klinik pemberian preparat surfaktan dari ekstrak paru sapi (Surfaktan TA) pada 10 bayi dengan RDS berat. Penelitian secara randomized controlled trials dengan sampel kecil pada tahun 1985 dengan memberikan preparat surfaktan dari lavas alveoli sapi atau cairan amnion manusia memberikan hasil yang signifikan tefiadap penurunan angka kejadian pneumothorax dan angka kematian. Penelitian-penelitian yang dilakukan di berbagai pusat penelitian pada tahun 1989 menyatakan tentang keberhasilan tentang menurunnya angka kematian dan komplikasi dari RDS di amerika. Pada tahun 1990telah disetujui penggunaan surfaktan sintetik untuk terapi RDS di amerika, dan tahun 1991disetujui penggunaan terapi surfaktan dari binatang.12,13 IV.4. Komposisi Surfaktan Paru Surfaktan paru merupakan komplek lipoprotein yang disintesa dan disekresi oleh sel alveolar tipe II dan Clara sel di saluran napas pada lapisan epithel. Surfaktan paru merupakan senyawa komplek yang komposisinya hampir 90% adalah lipid dan 10% protein. Secara keseluruhan komposisi lipid dan fosfolipid dari surfaktan diisolasi dari bermacam-macam spesies binatang yang komposisinya hampir sama. Pada manusia phosphatidylcholine mengandung hampir 80% total lipid, yang separuhnya adalah dipalmitoylphosphatidylcholine (DPPC), 8% lipid netral, dan 12% protein dimana sekitar separuhnya merupakan protein spesifik surfaktan dan sisanya protein dari plasma atau jaringan paru. Fosfolipid surfaktan terdiri dari 60% campuran saturated phosphatidylcholine yang 80% unsaturated mengandung dipalmitoylphosphatidylcholine, phosphatidylcholine, phosphatidylinositol dan dan sejumlah 15% 25% campuran phosphatidylglycerol kecil dan phosphatkiylserine, phosphatidylethanolamine sphingomyefine, dan glycolipid. (dikutip dari Dobbs, 1989; Van Golde, 1988; Wright and Clements, 1987). Fosfolipid saturasi ini merupakan komponen penting untuk menurunkan tegangan permukaan antara udara dan cairan pada alveolus untuk mencegah kolaps saluran napas pada waktu ekspirasi. Pada tahun 1973 menurut King dkk,dan Possmayer, 1988 terdapat 4 macam protein spesifik surfaktan dengan struktur dan fungsi yang berbeda. Keempat macam protein tersebut adalah SP-A, SP-B, SP-C dan SP-D. Protein tersebut didapat dari cairan lavage bronkoalveoli (BALF) dan dengan tehnik ultrasentrifugasi serta pemberian pelarut organik kaya lemak, dapat dipisahkan dan dibedakan menjadi dua golongan yaitu hydrofobik dengan berat molekul rendah SPB dan SP-C, sedangkan SP-A dan SP-D merupakan hidrofilik dengan berat molekul tinggi.12,13 BAB V LESITHIN – SFINGOMYEILIN RASIO V.1. Peranan L/S Rasio Tujuan penilaian maturitas paru janin yaitu untuk meminimalisasi resiko komplikasi janin yang berhubungan dengan RDS. Hal ini menjadi semakin penting karena dapat menurunkan morbiditas yang berhubungan dengan persalinan preterm iatrogenik, persalinan dengan SC elektif khususnya pada pasien yang lupa terhadap haid terakhir, terlambat ANC atau pada kondisi medis seperti diabetes millitus yang dapat mengakibatkan keterlambatan maturitas paru janin terutama produksi surfaktan. Pemeriksaan untuk menentukan rasio lesitin-sfingomyelin ini merupakan pemeriksaan yang paling sering digunakan untuk memprediksikan maturitas paruparu janin, dan dianggap sebagai "goldstandart method".Pemeriksaan ini mempunyai beberapa hal yang kurang menguntungkan, yaitu memerlukan banyak waktu dalam proses pemeriksaannya, disamping itu pengukuran rasio lesitinsfngomielin ini memerlukan laboratorium yang monitornya dengan baik karena variasi kecil dalam taknik dapat sangat mempengaruhi keakuratan hasilnya.1,12 Borer dan dkk, yang pertama kali memperkenalkan pengukuran rasio lesitin-sfingomielin ini. Selanjutnya banyak penelitian dilakukan untuk mengevaluasi berbagai teknik pemeriksaan ini.13,16,18,19 Penilaian maturitas paru dengan analisa fosfolipid dalam cairan ketuban telah dimulai sejak tahun 1971, ketika Gluck melaporkan test pertama yang secara luas dipergunakan untuk menilai maturitas paru janin yaitu Lesithin/Sfingomyeilin (L/S Ratio). Alasan penggunaan test ini adalah karena sfingomyeilin terdapat dalam cairan amnion dalam jumlah yang relatif konstan selama trisemester ketiga dan tidak terkandung dalam cairan yang diproduksi oleh paru janin, sedangkan lesithin adalah komponen utama dari fosfolipid surfaktan yang diproduksi oleh paru janin pada umur kehamilan 24-26 minggu dan mulai meningkat konsentrasinya pada pertengahan trisemester ketiga. Juga disebutkan adanya perubahan konsentrasi phospolipid dalam air ketuban selama kehamilan. Dia juga menemukan bahwa phospolipid total dalam air ketuban meningkat selama kehamilandan mencapai puncaknya pada usia kehamilan 35 minggu. Kadar lesithin (phospatydilcholin) hampir sama dengan sfingomyeilin sampai umur kehamilan 35 minggu.dimana saa itu terjadi peningkatan kadar lesithin 4 kali dibandingkan sfingomyeilin. Setelah 35 minggu kadar lesithin tetap meninggi sedangkan sfingomyeilin sedikit menurun. Berdasarkan hal ini rasio L/S mulai diperhatikan apalagi hasilnya dapat dibaca dengan segera dengan metode spektroskopi inframerah. Penelitian selanjunya menunjukkan bahwa nampaknya maturitas paru sudah tercapai bila kadar lesithin telah melebihi kadar sfingomyeilin. Pada keadaan normal rasio L/S = 2,0 tercapai pada usia kehamilan 35 minggu. Maturitas paru dianggap bila L/S rasio > 2 pada usia kehamilan 35 minggu dan dianggap terlambat bila < 1 setelah usia kehamilan 35 minggu. Waktu untuk pematangan paru –paru sangat penting diketahui pada kehamilan resiko tinggi. Pada sebagian besar kasus, kondisi yang diketahui memodifikasi waktu timbulnya surfaktan yang hanya diketahui dari penelitian retrospektif. Sayangnya diagnosis Diabetes kelas A atau IUGR hanya dapat dilakukan setelah persalinan. 26 Seorang klinisi harus dapat memperkirakan adanya kematangan paru-paru kecuali apabila ada konfirmasi sonografik bahwa kehamilan seorang adalah aterm. Sebagai konsekuensinya, pertimbangan penilaian aktifitas surfaktan sangat penting ketika intervensi dilakukan berdasarkan indikasi maternal dan janin atau bila ingin mencegah suatu persalinan preterm. Pertimbangan sangat penting terutama pada trisemester ketiga, karena kurang lebih 19% kasus memiliki resiko persalinan prematur pada minggu ke 28 – 32 dan 35% memiliki resiko untuk bersalin pada usia kehamilan 33-36 minggu yang menunjukkan rasio L/S lebih dari 2. 26. Keadaan yang mempercepat maturitas paru antara lain pregnancy induced hypertension, hipertensi oleh karena kelainan ginjal, jantung, sickle cell anemia, addiksi narkotik, diabetes kelas D,E,F dan KPD lebih dari 24 jam. Keadaan yang memperlambat maturitas paru antara lain diabetes kelas A,B,C, hydrop foetalis dan non hypertensive renal disease. Sejumlah penelitian telah dilakukan untuk mengukur rasio lesitin sfingomyelin dengan menggunakan berbagai modifikasi dalam prosedur pemeriksaannya. Modifikasi yang paling sering adalah menghilangkan langkah pemeriksaan presitasi dalam aseton dingin. Gluck dkk menyatakan bahwa presipitasi dengan aseton akan memisahkan fosfolipid permukaan-aktif dari yang bukan permukaan aktif, tetapi peneliti-peneliti lain tidak menemukan pemisahan fosfolipid dalam dua fraksi tersebut. Penelitian dengan menggunakan metode tanpa presipitasi aseton dilaporkan oleh Tuimala serta Morison dkk yang menyatakan prediktabilitas rasio lesitin sfngomielin pada level 1,5/l dan 2/1.1 Sebelum kehamilan 34 minggu, lesitin dan sfingomielin terdapat didalam cairan amnion denga konsentrasi yang sama. Pada sekitar usia kehamilan 34 minggu, konsentrasi relative lesitin terhadap sfingomielin mulai naik. Gluck dkk, pada tahun 1971, melaporkan bahwa untuk kehamilan yang tidak diketahui umurnya tetapi tanpa komplikasi apapun, resiko terjadinya RDS pada bayi baru lahir sangat kecil kalau konsentrasi lesitin di dalam cairan amnion sedikitnya dua kali konsentrasi sfingomielin, sementara itu ada resiko yang semakin tinggi untuk terjadinya RDS kalau rasio lesitin-sfingomielin di bawah 2. Baru-baru ini, telah dikembangkan pengukuran aktifitas surfaktan yang lebih spesifik dan sebagai profil paru-paru. Profil ini tanpaknya memiliki keunggulan khusus bagi pasien dengan rasio L/S yang kurang dari 2 dan pada pasien Diabetes. Umumnya Phosphatidyl Inositol (PI) meningkat sesuai dengan kenaikan rasio L/S hingga mencapai nilai 2 , setelah itu pada trisemester tiga kadarnya menurun. Berbeda dengan PG yang pertama kali timbul pada kehamilan normal usia 35 minggu, kehadirannya memberikan akses sinyal 3% dari fungsi maturitas stabil paru-paru neonatus. PG tidak terdapat dalam darah, sekret vagina, atau mekonium oleh karena itu kehadiran bahan-bahan kontaminasi ini dalam air ketuban tidak akan mempengaruhi interpretasi tingkat PG. Insiden RDS medekati 34% pada umur krhamilan 33 minggu, 14% pada umur kehamilan 34 minggu, 6% pada umur krhamilan 35 minggu dan 3-4% pada umur kehamilan setelah 35 minggu. Hal ini segera dikonfirmasikan oleh peneliti lain. Pada tahun 1975, Harvey dkk menggabungkan 25 laporan yang rasio lesitin-sfingomielin diukur dengan teknik yang sama pada cairan amnion yang dikumpulkan dalam 72 jam setelah kelahiran. Bila rasio lesitin-sfingomielin lebih besar dari 2, resiko terjadi RDS ditemukan kecil sekali, kecuali bila ibu menderita diabetes. Kalau rasio lesitinsfingomielin antara 1,5 sampai 2, maka sindroma gawat napas ditemukan pada 40% kasus, dan kalau dibawah 1,5 ditemukan pada 73% kasus. Meskipun 73 bayi mengalami RDS kalau rasio lesitin-sfingomielin dibawah 1,5 tetapi yang terbukti fatal hanya pada 14%.1 Secara umum penilaian maturitas paru janin tidak diperlukan pada umur kehamilan >37 minggu karena paru janin dianggap sudah matur. Walau bagaimanapun komplikasi seperti DM, isoimunisasi Rh dapat menghambat perkembangan paru janin dan pasien dengan komplikasi seperti ini memerlukan pemeriksaan lanjutan. Selain itu juga tes-tes ini tidak diperlukan untuk umur kehamilan < 30 minggu karena kebanyakan janin dianggap mempunyai paru yang masih imatur. Sampel-sampel cairan amnion yang bercampur darah dapat mempengaruhi hasil L/S rasio menjadi tidak akurat dimana rasio sebanyak 1,5 plasma rasionya sekitar 1.6, mekonium mempunyai rasio sebesar 1,2 dan biasanya memberi nilai palsu yang rendah. Kemudian sample yang terkontaminasi dengan urine dengan nilai kreatinin >5mg/dl tidak dapat digunakan untuk menilai maturitas paru janin. 6 V.2.Cara Pemeriksaan L/S Ratio V.2.1.Amniosestesis Amniosentesis pada mulanya dilakukan untuk memperkirakan konsentrasi bilirubin atau pigmen seperti bilirubin dalam cairan amnion untuk menenyukan penyakit hemolitik pada janin. Sekarang prosedur ini paling sering digunakan untuk menetapkan konsentrasi relative fosfolipid surfaktan aktif untuk mengidentifikasikan apakah janin sudah atau belum mengalami kematangan paru1,2,3 . Beberapa pemeriksaan yang digunakan untuk memprediksikan maturitas paru janin umumnya memakai cairan amnion sebagai specimen pemeriksaan. Ciran amnion ini yang terutama didapatkan dengan cara melakukan amniosentesis suprapubik, disamping itu juga menggunakan cairan amnion yang didapat dari vaginal pool yaitu pada kasus-kasus dengan ketuban pecah dini.1,2,3,5 Cairan amnion yang didapat dari amniosentesis ini, apabila terkontaminasi darah akan cukup mempersulit teknik pemeriksaan dan interpretasi hasilnya. Darah dapat mengubah kadar berbagai kandungan dalam cairan amnion yang sedang diteliti. Gibbsons dkk. (1974) meneliti efek-efek penambahan darah ibu kedalm cairan amnion segar, yang kemudian disentrifugasi dengan baik. Penambahan darah dengan konsentrasi 1 persen atau lebih kedalm cairan amnion menyebabkan penurunan rasio lesithin-sfingomyeilin (L/S Ratio)., suatu perubahan yang menimbulkan dugaan janin kurang matur. Buhy dan Spellacy (1975) menemukan bahwa serum ibu mempunyai rasio L/S 1:3 sampai 1:5 dan mereka menemukan bahwa penambahan serum ini ke cairan amnion akan mempengaruhi ratio L/S, Mekonium juga dapat menurunkan rasio lesithinsfingomyeilin. 1,5 V.2.2.Langkah-langkah pengukuran L/S Rasio Campurkan 5 ml cairan amnion dengan 5 ml methanol pada 1 tabung ekstraksi. Jika hanya tersedia sedikit saja cairan amnion yang bisa digunakan, maka masih dapat dikerjakan dengan cara mengurangi juga reagennya secara proporsional. Tambahkan larutan tadi dengan 10 ml chloroform kemudian tutup dan kocok selama 5 menit, lalu lakukan sentrifuse 600xg (kirakira 1700rpm dengan menggunakan model internasional model v 240 head selama 5 menit. Setelah disentrifuge, ambil bagian atas dari tabung tersebut (aqueus layer). Saring bagian bawahnya (chloroform) dengan menggunakan kertas whatman No.1 ke cawan penguapan untuk dilakukan penguapan. Sebagai alternative dapat digunakan whatman No.1 PS (silicone-treated phase-separating paper) atau dengan anhydrous magnesium sulfat untuk mengurangi kadar air sebelum dilakukan penguapan. Lakukan konsentrasi cairan hingga menjadi 0,5ml dengan menggunakan udara bersih yang mengalir diatas permukaan larutan (material amnion mungkin menjadi kering, namun paapran temperature ruangan harus dibatasi 5-10menit). Tahap penguapan ini memerlukan waktu 20-30 detik. Kemudian bilas cawan tadi dengan 1-2ml chloroform dan pindahkan hasil bilasan ke tabung ukuran 13x100mm. Penguapan selanjutnya sekitar 50 mikroliter (1-2 tetes) Hasil konsentrat ini nantinya bisa disimpan pada suhu – 20 derajad, hal ini dilakukan jika pemeriksaan kromatografinya tidak bisa dilakukan pada hari yang sama. Letakkan kertas kromatografi diatas petunjuk tetesan Gelman dan beri tanda pada 11 titik. Jarak antara tiap itiknya adalah 2 cm dan 2,5 cm dari batas bawah kertas kromatin Letakkan campuran kertas no 1 pada titik 1 dan 11 sebanyak 5 mikroliter (lysolechitin dan phosphatidylethanolamine, 1:1). Pada titik 3 dan 7 beri campuaran standar no 2 sebanyak 5 mikroliter (L/S =2). Pada titik 5 dan 9 berikan campuran standart no 3 (L/S=5) dengan jumlah yang sama. Ada jarak yang cukup pada kertas kromaografik ini untuk menggandakan tiap titik jika memang diperlukan pada pasien yang berasal dari 2 sampel atau dari pasien yang sama tapi akan menggunakan 2 bahan aseton presipitat dan aseton supernate. Pisahkan 1 sampel secara merata antara titik 2 dan 8 dan sampel yang kedua antara titik 4 dan 10. Biarkan titik no 6 kosong berikan 5 mikroliter untuk meyakinkan diameternya kurang dari 4mm. Gunakan semua ekstrak. Siapkan cairan pelarut : masing-masing 170ml chloroform, 20ml methanil absolute, dan 3ml ammonium hidrokloride. Pasang easel Eastman kodak kromatografi. Tuangkan larutan pada tiap basis yang di etsa. Letakkan lapisan ipis kromatografik pada camber Eastman kodak kromatografi dan klip pada tepinya dan atur tiap chamber pada palungan (proses ini berlansung 15 menit) Angkat kertas kromatografik setelahnya dan keringkan selama 15 menit. Hati-hati memisahkan pada no 6. Letakkan 1½ lembar ini pada ruang tertutup yang berisi kristal iodine selama 5 menit. Observasi perubahan warna dari kuning menjadi coklat. Angkat lembar kromatografikdan beri tanda lingkran dengan pensil. Semprotkan sisa lembarannya menggunakan spray bismuth sampai muncul warna keputihan dengan latarbelakang orange dan keringkan di udara selama beberapa menit. Letakkan lembaran yang sudah dicat dengan bismuth pada cawan yang mengandung larutan A (3,48mol/liter asam asetat) dan putar cawan hingga warna latarbelakangnyamenjadi putih kembali. Lesithin sfinmyelin yang standart akan tanpak sebagai tiik berwarna kuning orange. Angkat kertas kromatografik dan lingkari itik tersebut dengan pensil, akan tanpak lebih jelas jika dilihat menggunakan cahaya sinar. Observasi dengan eqeraq sebab warnaynya dapat memudar dengan segera. (15menit). Secara visual bandingkan ukuran bintik lesithin dan sfingomyeilin dan laporkan hasilnya seperti pada contoh dibawah Ketika kertas kromatin ini mengering bungkus kesemuanya dengan menggunakan kertas sellulose (pembungkus saran) Setelah titik yang sudah di cat dengan iodine memudar maka setengah dari kertas kromatin yang sudah dicat dengan iodine ini dapat digunakan kembali untuk beberapa tipe teknik visual seperti pada teknik ANS (8-amino-1-naptalena sulfonic acid), phosfomolybdic acid-stannous chloride atau spray asam dan pemanasan arang yang dapat dijelaskan dibawah ini : Teknik yang dapat digunakan agar bintik pengecatan menjadi terlihat: ANS : spray kromatogram dengan 0,35g/liter larutan aqua ANS (sigma). Ketika dilihat dibawah sinar UV maka fosfolipid akan tanpak sebagai bintik flurosent biru terang. Rhodamine: semprot kromatogram dengan semprotan B (Gelman) dan baca dibawah sinar UV pada interval 30 menit. Setelah pengecatab iodium maka disarankan untuk menunggu sampai 12 jam sebelum disemprotkan dengan semprotan B ini. Semprotan asam atau cairan asam, arang: kromaogram dengan 9 mol/liter H2SO4 atau dengan ammonium sulfat (300g/liter) diasamkan dengan 12ml konsentrat atau sulfur. Semprotan alternatif yang bisa digunakan adalah yang mengandung asam fosforid (8g/dl), yang dilaporkan memberikan warna arang dalam waktu 25 menit pada suhu 100 derajad. V.2.3 Interpretasi L/S Rasio * Immature. (resiko tinggi syndrome distres nafas ) dengan L/S rasio ≤2 Lesithin dan sfingomyeilin tanpak sebagai itik kecil dengan menggunakan pengecatan bismuth dan pengecatan iodium. * Transisional ( beberapa resiko syndrome distres nafas ) dengan L/S rasio antara 2-5. Hanya tanpak sebagai bintik lesitin kecil atau tidak tanpak sfingomyeilin dengan pengecatan bismuth ( ukuran dari lesithin biasanya lebih kecil dari pada standart 2:1). Dengan pengecatan iodium rasio bintik lebih besar daripada 2 tetapi lebih kecil dari 5 * Mature (resiko minimal syndrome distres nafas) dengan L/S rasio ≥ 5 Lesithin dan tanpa sfingomyeilin pada pengecatan bismuth (ukuran lesihin biasanya lebih besar dari pada standart 2:1). Dengan pengecatan iodine rasinya akan lebih besar dari 5. V.3.Deksametason dan Pematangan paru janin. Walau kentroversial, pemberiannya namun sudah pada diakui ketuban secara pecah dini luas bahwa preterm masih glukokortikoid (Deksametason) dapat merangsang proses pematangan paru janin. Deksametason yang diberikan baik secara intravena maupun secara intramuskuler akan segera melawati plasenta menuju peredaran darah janin. Pada paru janin deksametason akan berikatan dengan reseptor III yang ada pada permukaan sel pneumosit tipe II kemudian masuk kedalam sitoplasma selanjutnya akan berikatan dengan reseptor III yang ada pada inti sel. Pada inti sel Deksametason akan merangsang pembentukan beberapa enzim yang berperanan dalam proses pematangan paru. Secara skematis dapat dilihat pada skema berikut : Glucocorticoid Receptor III Receptor III Glucocorticoid Glucocorticoid DNA Enzyme synthesis RNA Lamellar body Phospholipid synthesis V.4. Pemilihan dan penentuan dosis Deksametason Surfactant Untuk keperluan pematangan paru janin, di klinik kortikosteroid yang banyak digunakan adalah golongan glukokortikoid terutama yang sintesis seperti: Hidrokortison, Betamason dan Deksametason. Hal ini didasarkan atas minimalnya efek samping terhadap metabolisme air, elektrolit maupun metabolisme secara umum.Diantara ketiga pilihan tersebut, yang banyak digunakan adalah Betametason dan Deksametason oleh karena kemampuannya untuk merangsang pematangan paru janin lebih kuat dibandingkan dengan Hidrokortison.Perbandingan ketiga glukokortikoid tersebut dapat dilihat pada tabel dibawah. Tabel 2.1. Perbandingan tiga glukokortikoid untuk pematangan paru janin(Allbert J et a1,1992). Daya ikat Kandungan Respon Stimulasi terhadap Sodiun antiinflamasi terhadap sel Deksametason + protein 15 mEq 2,75 +++ Pneumusit tipe II Betametason +++ 20 mEq 3,25 +++ Hidrokortison ++ 42 mEq 1,50 ++ Sudah disampaikan dan dimasalahkan di awal tulisan ini mengenai dosis dan cara pemberian kortikosteroid. Beberapa senter memberikan dengan cara dan dosis sendiri-sendiri. Allbert J et l,(1992) memfonnulasikan dosis dan cara pemberian kortikosteroid sesuai dengan tabel dibawah ini. Tabel 2.2 Pemberian glukokortikoid dalam pematangan paru janin (Allbert J et a1,1992). Jenis Cara Dosis Interval Jumlah pemberian Total dosis Betametason pemberian im 12 mg 12 jam 2 kali 24 mg Ueksametaso im, iv 5 mg 12 iam 4 kali 20 mg n The American College of Obstetricians and Gynecologists melalui Committeen on Obstetric Practice membuat suatu diskusi panel (The NationalInstitute of Health Consensus Panel) mengenai pemberian kortikosteroid antepartum.Kemudian hasil diskusi ini diutamakan dalam skala nasional maupun internasional. Rekomendasi ini pertama kali dimuat dalam American Journal Obstetri dan Ginekologi dengan topik ACOG committee opinion: Antenatal Corticosteroid therapy for fetal maturition. Dosis dan cara pemberian ini sedikit berbeda dan dapat dilihat pada tabel dibawah ini : Tabel 2.3. Dosis dan cara pemberian kortikosteroid (Joan MM,2000). Cara Jenis Jumlah Dosis Interval pemberian Total dosis pemberian Betametason im 12 mg 12 jam 2 24 Deksametason im, iv 4 mg 8 jam 6 24 5 mg 12 jam 4 20 Beberapa penelitian menggunakan dosis Deksametason total 24 mg dengan tehnik pemberian 12 mg pada saat penderita masuk rumah sakit, kemudian diulang 24 jam berikutnya. Tehnik pemberian ini juga dilakukan di RS Sanglah Denpasar, tetapi sediaan yang ada adalah 15 mg dalam satu ampul. Sehingga dosis total Deksametason adalah 30 mg. 20 V.5. Efek samping pemberian Deksametason Pemberian deksametason pada wanita hamil dengan ketuban yang sudah pecah merupakan suatu hal yang problematik.Beberapa penulis dan di beberapa senter tidak merekomendasikan pemberian deksametason pada wanita hamil preterm dengan ketuban yang sudah pecah. Beberapa efek samping yang ditakutkan dan mungkin akan timbul pada pemberian kortikosteroid adalah meningkatnya risiko infeksi baik pada ibu (korioamnionitis) maupun janin, timbulnya edema paru. Pada pemberian dengan multiple close dapat terjadi hiperglikemia pada ibu, supresi kelenjar akibat adanya supresi terhadap maternal pituitary-udrenal axis berat badan lahir rendah. V.6. PEMERIKSAAN ULTRASONOGRAFI 14,15 Kemajuan teknologi dalam pemeriksaan ultra-sonografi telah memungkinkan dilakukan observasi perubahan-perubahan yang terjadi pada plasenta dalam rahim. Winsberg, Fisher dkk, Hobbins dan Winsberg, serta Stein dkk telah memperlihatkan gambaran ultra-sonografi pada plasenta yang matur. Secara logis, dapat diterima bahwa plasenta sebagai "fetal" organ akan menjadi matur sejalan dengan sistem organ fetal lainnya. Pada tahun 1979, Hobbins dkk mencoba membuat kategori fase-fase maturisasi plasenta, untuk itu mereka mengklasifikasikan variasi gambaran ultrasonografi plasenta yang terjadi selama kehamilan dan kemudian mencari korelasinya dengan rasio lesitin/sfingomielin sebagai salah satu indeks maturitas paru-paru janin. Klasifikasi plasenta, dibuat mulai dari Derajat 0 sampai dengan Derajat III. Derajat 0 : chorionic plate tampak halus, dan dengan jelas tampak sebagai garis rata. Gambaran ini akan terlihat pada kehamilan kira-kira 12 minggu. Substansi plasenta tampak homogen dan tidak tampak area ekhogenik. Lapisan basal juga tampak homogen dan tekstur yang sama seperti substansi plasenta. Fase ini tampak pada trimester I dan II. Derajat I : Plasenta menunjukan perubahan paling awal dari proses maturasi-nya, yaitu chorionic plate tampak sebagai garis yang rata tetapi dengan beberapa undulasi. Beberapa ekhogenik area tampak pada substansi plasenta, sehingga tidak lagi tampak homogen. Tidak ada densitas yang terlihat di lapisan basal. Fase ini biasanya didapatkan mulai dari kehamilan 30-32 minggu dan terus sampai kehamilan aterm. Derajat II : perubahan terjadi pada tiga zona, yaitu chorionic plate lebih banyak tanda-tanda identitas. Substansi plasenta tampak terpisah dan tidak kompit oleh gambaran linear echogenic atau comma like echgenic densities. Pada fase ini linear echogenic densities tidak mencapai lapisan basal. Area ekhogenik dalam substansi plasenta tampak bertambah jumlahnya dan ukurannya lebih besar dari Grade I. Derajat III : merupakan gambaran plasenta yang matur. Chorionic plate tampak terputus-putus oleh identitas, dimana memanjang kelapisan basal dan mungkin memperlihatkan septa inter-kotiledon. Substansi plasenta menjadi terpisah dalam beberapa kompartemen yang mungkin adalah batas kotiledon. Bagian tengah dari kompertemen ini menunjukan area kosong, padat, bentuk tidak teratur, area ekhogenik tampak dekat ke chorionic plate. Area ekhogenik pada lapisan basal menjadi lebih besar, lebih padat, dan menyatu. Plasenta 129 pasien dilakukan gradasi plasenta. Delapan puluh enam pasien termasuk klasifikasi Derajat I atau lebih dan seluruhnya diukur rasio lesitin/sfingomielin. Didapatkan rasio lesitin/sfingomielin yang matur (2,0) pada 68% plasenta Derajat I (21/31), 88% plasenta Derajat II (28/23), dan 100% plasenta Derajat III (23/23). Hasil ini memperlihatkan korelasi antara perubahan dalam proses maturasi yang terlihat dengan pemeriksaan ultrasonografi dan matuaJaru-paru janin yang didasarkan pada rasio lesitin/sfngomielin. BAB VI KESIMPULAN Pada suatu keadaan dimana kehamilan harus diakhiri yang terjadi pada kasuskasus ketuban pecah dini pada usia kehamilan preterm pada kasus partus prematurus iminens (PPI) yang gagal dilakukan perawatan konservatif, juga pada kehamilan dengan kelainan medis maka sangatlah penting untuk dilakukan pemeriksaan untuk menentukan maturitas paru janin dengan tepat. Maturitas paru janin sangat erat hubungannya dengan kejadian syndrome respiratory syndrome (RDS) Penggunaan hasil analisa terhadap cairan amnion telah dapat diterima secara luas, dimana pada dasarnya pemeriksaan tersebut untuk memeriksa maturitas surfaktan yang disekresikan kedalam cairan amnion. Maturitas surfaktan dinilai berdasarkan komposisi komponen-komponen aktif surfaktan. Dari sekian banyak metode pemeriksaan untuk menentukan maturitas paru janin yang dianggap sebagai “gold standart methode” adalah pemeriksaan rasiolesithin – sfingomyeilin. Pemeriksaan ini mempunyai beberapa hal kelemahan, yaitu memerlukan banyak waktu dalam proses pemeriksaannya, disamping itu pengukuran rasio lesitin-sfngomielin ini memerlukan laboratorium yang monitornya dengan baik karena variasi kecil dalam taknik dapat sangat mempengaruhi keakuratan hasilnya.Oleh karena itu metode pemeriksaan ini belumlah memenuhu criteria pemeriksaan yang ideal, karena pemeriksaan yang ideal menurut para peneliti adalah cepat, tekniknya mudah dilakukan, biayanya tidak mahal dan memberikan hasil dengan akurasi yang tinggi Sampai saat ini masih terus dikembangkan berbagai metode pemeriksaan yang ideal untuk menentukan maturitas paru janin. DAFTAR PUSTAKA 1. O’ brien WF, Cefalo RC. Clinical applicability of amnioik fluid test for fetal pulmonic maturity. Am J.Obstet Gynecol 1998, 136: 135-144. 2. Cunningham FG, Mc Donald PC, Gant NF. Obstettri William. Edisi 18 Jakarta: EGC, 1995; 121-133 3. Lee W, Bell M, Novi MJ. Pulmonary Lamellar bodies in human amniotic fluid: Their relationship to feal age and the lechitin/ sfingomyeilin ratio. Am J. Obstet Gynecol: 1998;136: 60-66 4. Ganong WF. Fisiologi Kedokteran. Edisi 9. Jakarta: EGC, 1979: 633-634 5. Kassanos D, Botsis D, Gregorion O, Bezantakos ch, Kontogeorgi Z. The tap test : A simple and inexpensive method for the diagnosis of fetal pulmonary maturity. Int J. Gynecol Obstet 1993: 4: 135-138 6. Strong TH, hayes AS, Sawyer AT, Folkkestad B, Mills, Sugden P. Amniotic fluid turbidity : Auseful adjunct for assessing fetal pulmonary maturity status. Int J Gynecol Obstet 1992; 38: 97-100. 7. Bustos R, Gluck MVKL, Gabbe SG, Surat Evertson L, Vargas C, Lowenberg E. Significance of phosfatidyl gliserol in amniotic fluid in complicated pregnancies. Am J Obstet Gynecol 1979: 133: 899-903. 8. Parker CR, Haulth JC, Hankins GDV, Leveno K, Rosenfeeld CR, Porter JC. Endocrine maturation and lung fungtion in premature neonates of women with diabetes. Am J Obstet Gynecol 1989; 160: 657-662 9. Herbert WNP, Jonhston JM, Mc Donald PC, Jimenez JM,. Fetal lung maturation. Human amniotic fluid phosphatidate phosphohydrolase activity through normal gestation ti the lechitin/sfingomyeilin ratio. Am J Obstet Gynecol 1978; 132: 373-379. 10. Pusponegoro TS. Penggunaan Surfaktan pada Sindroma Gawat Nafas Neonatal. Continuing Education Ilmu Kesehatan Anak no 27, November 1997; 89-96. 11. Poynter S, Marie Ann. Surfactan biology and clinical application. Crit Care Clin, 2003; 19: 459-473. 12. Morley.C, Davis P. surfactant treatment for premature lung disorders: a review of best practices in 2002. In Pediatric Respiratory reviews, 2004; 299-304. 13. Worthman L. surfactant Protein A (SP-A) affects pulmonary surfactant Morfology ang Biophisical Properties. Department of biochemistry memorial University of Newfounland, St John’s, Newfounland, 1997; 1-130. 14. Grannum PAT, Berkowitz RL, Hobbins J. The Ultrasonic changes in the maturing plasenta and heir relation to fetal Pulmonary maturity. Am J Obstet Gynecol 1979; 133: 915-922. 15. Kazzi GM, Gross TL, Rosen MG, Jaatoul NY,. The relationship of Placental grade, Fetal lung maturity, and Neonatal outcome informal and complicated pregnancies. Am J Obstet Gynecol 1989; 145: 54-58. 16. Cunningham FG, Mc Donald PC, GantNF, 1997. Williams Obstetrics. 20th ed. New Jersey: Apleton & lange, 797-826. 17. Albert J,Morrison JC, 1992. Glucocorticoid and fetal pulmonary maturity. In: drug therapy in Obstetrica and gynecology. Edited by Rayburn WF. MD, Zuspan FP. MD, Mosby St Louis, 90-102. 18. Joan M.M, 2000. Therapeutic agents in preterm labor: Steroid In : Clnical Obstetrics and gynecology. Edited by Roy MP, Jamed RS. Lippncott Company, Washington, 43, 802-08. 19. ACOG Committee Opinion, 1999. Antenatal Coricosteroid therapy for fetal maturation. Int J Obstet Gynecol. 64: 334-335. 20. James A T MD, Angela MH, Jones MS,et al,2001. The effect of multidose antenatal betamethasone on maternal and infant outcome. Am J Obstet Gynecol, 184; 196-2002. 21. Roiz Hernandez J, Navarro Solis E, Carreon Valdez E.2002. Lamellar bodies as a diagnostic test of fetal lung maturity. Int J of Gynecol and Obstetrics, 77; 217-221. 22. Karcher R, PhD, Sykes E MD, Batton D MD, Uddin Z PhD, Ross G DO, Hockman E PhD.2005. Gestational age-specific predicted risk of neonatal respiratory distress syndrome using lamellar body count ang surfactant- toalbumin ratio amniotic fluid. Am J Obstet Gynecol; 193: 1680-4. 23. Grenache DG, Gronowsski AM. 2006. Fetal Lung Maturity. Clinical Biochemistry;39:1-10. 24. Abd El Aal D.E.M, Elkhirshy A.A, Atwa S, El- Kabsh M.Y.2005. Lamellar body count as a predictor of neonatal lung maturity in high risk pregnancies. Int J of Gynecology and Obststrics; 89: 19-25 25. Wijnberger L.E.D, Huisjes A.J.M, Voorbij H.A.M, Franx A, Bruinse H.W, Mol B.W.J. 2001. The accuracy of lamellar body count and lecithin/sphingomyeilin ratio in the prediction of neonatal perpiratory distress syndrome: a meta-analysis.British J of Obsterics and Gynecology, vol. 108,pp. 583-588. 26. Serudji, Sulin D.2005. Obstetri.pp.558-561. Sistem prnafasan janin. Patofisiologi