peranan pemeriksaan lesithin-sfingomyeilin untuk maturitas paru

advertisement
PERANAN PEMERIKSAAN
LESITHIN-SFINGOMYEILIN UNTUK MATURITAS PARU
JANIN
dr. Pande Made Ngurah Geriawan, Sp.OG
BAGIAN/SMF OBSTETRI DAN GINEKOLOGI
FK UNUD/RSUP SANGLAH DENPASAR
2012
BAB I
PENDAHULUAN
Pertumbuhansistem pernapasan janin telah dimulai sejak minggu ke empat
kehamilan (hari ke 24) dimana celah laryngotracheal muncul didasar pharynx,
lama kelamaan semakin dalam membentuk diverticulum laryngotracheal.Dalam
pertumbuhan kearah kaudal lipatan longitudinal mesenchim berfusi membentuk
tracheoesophageal, yang memisahkan laryngotracheal tube di ventral dengan
esophageus di dorsal.
Laryngotracheal tube bertumbuh menjadi larynx dan trachea.Tunas paru
berkembang dari ujung kaudal tube ini dan segera bercabang menjadi dua buah
tunas bronchopulmonary (tunas paru). Dari setiap percabangan ini terbentuk
saliran udara/ pernapasan yaitu bronchus dan bronchiolus.Jaringan pernapasan –
bronchiolus- duktus dan sacus alveolaris dan alveoli berkembang dari ujung
terminal bronchiolus dan terus berkembang sampai periode post natal dimana sel
epitelnya berasal dari endodermal.
Penggunaan analisis terhadap cairan amnion untuk memprediksi maturitas paruparu janin telah diterima secara luas. Hasil analisis ini telah dimanfaatkan untuk
menentukan saat yang tepat untuk melakukan terminasi kehamilan secara elektif,
misalnya pada kasus seksio sesaria yang berulang dan merupakan faktor yang
penting dalam penatalaksanaan kasus-kasus gestosis, diabetes militus, perdarahan
antepartum, inkopabilitas rhesus dan komplikasi-komplikasi lain kehamilan.1,2
Apabila karena sesuatu keadaan, kehamilan harus diakhiri atau menunda suatu
persalinan, menjadi suatu persoalan untuk menentukan dengan tepat maturitas
paru-paru janin.Maturitas paru-paru janin ini sangat erat hubungannya dengan
terjadinya Respiratory distress syndrome (RDS).Pada RDS terdapat gangguan
produksi dan sekresi bahan yang disebut surfaktan, yang dihasilkan oleh
pneumosit tipe II. Produksi bahan tersebut yang sangat cepat meningkat
sesudah usia kehamilan 35 Minggu. Surfaktan akan menurunkan tekanan pada
permukaan alveoli, sehingga kolaps alveoli tidak akan terjadi.1,2,3,4
Pemeriksaan maturitas paru sangat bermanfaat, untuk memprediksi
terjadinya RDS pada bayi-bayi baru lahir. Di Amerika Serikat, berdasarkan hasil
pemeriksaan maturitas paru secara luas, RDS telah diprediksi terjadinya pada
40.000 bayi-bayi yang baru lahir setiap tahun. Sindroma gawat napas
mortalitasnya yang cukup tinggi yaitu sebesar 30% dan dalam jangka panjang
dihubungkan dengan resiko yang bermakna untuk timbulnya gejala sisa, baik
neurologis maupun pulmonologist.2,4
BAB II
PERKEMBANGAN NORMAL PARU JANIN
II.1 PERKEMBANGAN SECARA ANATOMI
Pada hari ke 26-28 broncus primer terbentuk, perkembangan selanjunya
terjadi pada empat fase yang overlapping yaitu :
Fase Glandular, hari 28 sampai minggu ke 16 disebut fase glandular karena
secara histologis terlihat gambaran glndula yang dilapisi oleh epitel kuboid pada
bagian terminalnya yang terjadi proses percabangan bronchus. Demikian pula
dengan arteri pulmonalis yang bertumbuh mengikuti percabangan bronchus.
Pembuluh kapiler masih terpisah jauh dari terminal saluran nafas oleh jaringan
interstisiel. Kehidupan ekstra uterin belum memungkinkan pada tahap ini karena
kapasitas pertukaran gas yang masih terbatas antara kapiler dan saluran nafas.
Fase canalicular, minggu ke 13 sampai dengan minggu ke 25, pada saat ini
terjadi canalisasi saluran nafas. Setiap bronchus memunculkan 2 atau lebih
bronchiolus respiratorius dan setiap bronchiolus respiratorius terbagi menjadi 3
sampai 6 duktus alveolaris, epitel menjadi lebih tipis kapiler semakin dekat
dengan epitel pernapasan dan potensi perukaran gas masih terbatas.
Fase terminal sac, dari 24 minggu sampai lahir. Duktus alveolaris tumbuh
menjadi alveoli primitive. Epitel berdiferensiasi menjadi tipe I dan tipe II. Sel
alveolar tipe I menutupi lebih kurang 95% alveoli. Jumlah kapiler semakin
bertambah dan semakin dekat dengan sel tipe I sehingga memungkinkan
pertukaran gas yang lebih baik. Sel tipe II berperan dalam mensintesa ,
menyimpan dan mensekresikan surfaktan.
Fase Alveolar, mulai pada fase akhir kehidupan dalam kandungan berlangsung
terus sampai 8 tahun. Alveolarisasi yang sebenarnya dimulai kira-kira pada 34
sampai 36 minggu. Pada saat kelahiran alveoli dewasa baru didapatkan sekitar 1/8
sampai 1/6. Jumlah alveoli terus bertambah sampai terbentuk alveoli dewasa
seluruhnya setelah 8 tahun. Paru terdiri dari 40 tipe sel yang berbeda. Sel yang
melapisi alveoli terutama terdiri dari 2 tipe sel, yaitu pneumosit tipe I dan tipe II.
Tipe I sebagai sel utama alveoli merupakan epitel yang tipis melapisi dinding
alveoli dan berkontak erat dengan sel endotel kapiler, yang memungkinkan
pertukaran gas bias terjadi. Sel tipe II yang lebih kecil dari tipe I terletak disudutsudut alveoli, berbentuk kuboid dan mengandung lamellar inclusion spesifik bila
dilihat dibawah mikroskop electron. Lamellar body adalah tempat menyimpan
surfaktan intraseluler. Dengan analisa biokemik ternyata lamellar body
mengandung surfaktan sejenis fospolopid.
Sel tipe II menangkap precursor pembentuk fospolipid dan protein.
Sintesa terjadi dalam endoplasmic reticulum. Setelah dimodofikasi dalam
apparatus golgi komponen surfaktan dibawa dan disimpan dalam lamellar body.
Lamellar body ini disekresikan dengan cara exsocytosis dan dibuka diluar sel
membentuk tubular myelin. Dari sini dihasilkan surfaktan monolayer, yang
diabsorbsi ke air – liquid interface. Dengan mikroskop electron tubular myelin
terlihat seperti kisi-kisi berbentuk tabung segi empat. Selain itu sel tipe II juga
berfungsi untuk proliferasi sebagai respon terhadap trauma.Setelah mengalami
trauma, sei tipe I terkelupas dari dinding alveoli dan sel tipe II berproliferasi untuk
memperbaiki dinding alveoli, kemidian berkembang menjadi sel tipe I.
Gambar 1. Pekembangan normal Paru janin
II.2 PERKEMBANGAN SECARA BIOKEMIK
Surfaktan adalah komplek antara fospolipid dan protein, dimana 85-90%
adalah fospolipid dan 10% protein. Komposisi lipid (fospolipid) dari surfaktan
terutama terdiri dari saturated palmitic acid.
Sintesa faty acid dan fospolipid terjadi de novo dalam sel tipe II yang bahanbahannya diambil dari sirkulasi darah.
Sumber energi diambilkan dari glikogen.Kadar dari glycogen dalam paru janin
meningkat pada saat awal perkembangan paru yang mencapai puncaknya pada
saat akhir kehamilan, kemudian menurun dengan cepat bersamaan dengan
peningkatan sintesa fospolipid.Pada saat peningkatan sintesa phosphatydilcholin
aktifitas enzim cholin phospatydil tranverase juga meningkat pada saat akhir
kehamilan.Demikian juga peningkatan sintesa fatty acid paralel dengan
peningkatan enzim faty acid sintesa.Selain komponen fospolipid juga terdapat
komponen protein.Surfaktan protein A (SP-A) merupakan highly glycocilated
protein yang berperan dalam sekresisurfaktan dan reuptake oleh sel tipe II yang
juga berperan penting dalam pembentukan tubular myeilin.Komponen protein lain
SP-B dan SP-C berperan dalam aktifitas permukaan surfaktan.
Sejumlah rangsangan fisik, biokemik, dan hormonal dapat mempengaruhi
perkembangan paru serta sintesa dan sekresi fospolipid. Insiden RDS lebih rendah
pada bayi yang dilahirkan setelah proses persalinan baik pervaginam maupun
dengan seksio cesaria dibandingkan dengan yang lahir tanpa diawali proses
persalinan pada usia kehamilan yang sama. Persalinan diduga mempercepat
sekresi surfaktan dan tidak mempengaruhi sintesa. Perbedaan jenis kelamin
ternyata bayi laki-laki lebih sering dikenal RDS dibandingkan dengan bayi
perempuan. Perbedaan kadar fospolipid dalam cairan ketuban memperlihatkan
bahwa maturasi paru bayi perempuan lebih cepat terjadi sau minggu. Diduga hal
ini disebabkan peningkatan sekresi dan bukan peningkatan sintesa. Ibu dengan
DM juga mempengaruhi pematangan paru, dimana RDS lebih sering didapatkan
pada bayi dengan ibu menderita DM. Tidak jelas factor apa yang menyebabkan
terlambatnya maturitas paru janin, apakah hipoglikemia, hiperinsulinemia,
gangguan metabolisme, fatty acid atau kombinasi factor-faktor tersebut.
Sintesa surfaktan juga distimulasi oleh beberapa hormone seperti
glucocorticoid hormone tyroid, TRH dan prolaktin, dan oleh growth factor seperti
epidermal growth factor (EGF). Dari factor tersebut, pengaruh glucocorticoid
sangat banyak diteliti. Pemberian glucocorticoid kepada janin menuebabjan
sejumlah perubahan morfologi yang menandakan percepatan maturitas paru,
pembesaran alveoli, penipisan inter alveolar septum, peningkatan jumlah sel tipe
II dan peningkatan lamellar body dalam sel tipe II. Gluckokortitiroid juga
meningkatkan sintesa fospolipid paru dan protein surfaktan. Secara klinis ternyata
pemberian steroid antenatal mempercepat maturitas paru. Sekresi surfaktan juga
dirangsang oleh sejumlah zat termasuk β adrenergic-agonist (seprti terbutaline)
dan perinoceptor agonist (seperti adenosint) dan camp.
II.3 PERKEMBANGAN SECARA FISIOLOGI
Gerakan pernafasan pada janin sudah dapat dilihat pada akhir trimester
kedua masa kehamilan Pada umur kehamilan 34 minggu janin yang sehat sudah
menunjukkan gerakan pernafasan kurang lebih 30-60 kali dalam satu menit.
Gerakan pernafasan ini juga penting peranannya daiam mendistribusikan
surfaktan ke seluruh alveoli paru. Adanya gerakan pernafasan ini juga
menandakan maturasi susunan saraf pusat
BAB III
FISIOLOGI PERNAPASAN PADA NEONATUS
Saat bayi dilahirkan dan sirkulasi fetoplasenta berhenti berfungsi, bayi tersebut
mengalami perubahan fisiologi yang besar sekali dan cepat.Dalam beberapa menit
setelah lahir, sistem pernapasan harus mampu memberikan oksigen dan
mengeliminasi karbondioksida kalau neonatus itu hendak bertahan hidup.
Kelangsungan hidup bayi tersebut tegantung pada cepat dan teraturnya pertukaran
oksigen dan korbondioksida antara lingkungan barunya dan sirkulasi paru-paru
yang terisi cairan harus diisi dengan udara, udara harus dipertukarkan dengan
gerakan pernapasan yang tepat, dan mikrosirkulasi yang kuat harus diciptakan di
sekitar alveoli tersebut.2,4
Segera setelah lahir, pola pernapasan bergeser dari satu inspirasi episodik
dangkal, yang khas pada pernapasan janin, menjadi pola inhalasi lebih dalam dan
teratur.Sekarang jelas bahwa aerasi paru-paru neonatus bukan inflasi dari suatu
struktur yang kolaps, melainkan pergantian cepat cairan bronkhial dan alveoli
dengan air. Pada biri-biri, dan diperkirakan pada bayi manusia, cairan alveoli yang
tersisa setelah kelahiran dibersihkan melalui sirkulasi paru dan pada tingkat yang
lebih kecil, melalui sistem limfatik paru.2
Karena cairan digantikan dengan udara, terdapat pengurangan cukup besar
kompresi vaskuler paru dan selanjut, menurunkan tahanan aliran darah.Dengan
menurunnya aliran cairan darah arteri pulmonalis, duktus arteiosus normalnya
menutup. Penutupan foramen ovale lebih variabel.2
Tekanan negatif pada toraks yang tinggi diperlukan untuk menghasilkan
pemasukan udara pertama kali ke dalam alveoli yang penuh terisi air. Normalnya,
dari pernapasan pertama setelah lahir ini, secara progesif lebih banyak udara
residual berkumpul di dalam paru-paru, dan setiap pernapasan berikutnya,
diperlukan tekanan pembukaan paru-paru, yang lebih rendah.2,4
Berhasilnya pengisian paru-paru dengan udara dan cepatnya pembentukan
pola fisiologi perubahan tekanan volume pada inspirasi dan ekspirasi memerlukan
adanya bahan permukaan aktif yang akan merendahkan tegangan permukaan di
dalam alveoli dan karena itu mencegah kolapsnya paruparu pada setiap ekspirasi.
Tidak cukupnya surfaktan akan menyebabkan timbulnya Respiratory Distress
syndrome (RDS) dengan cepat.l,2,3,4,10,11
Pada tahun 1929, Von Neergard membandingkan kurva-kurva tekanan
volume paru-paru yang dikembangkan dengan udara, dengan paru-paru yang
dikembangkan dengan suatu larutan gum Arab. Dari hasil penelitian ini, ia
menyimpulkan bahwa kekuatan yang meningkatkan deflasi atau kolapsnya paruparu yang mengandung udara adalah kekuatan yang terutama dihasilkan oleh
tegangan permukaan pada sekat udara saringan pada alveolus. Clements pada
tahun 1957, menemukan bahwa suatu bahan yang menghasilkan tegangan
permukaan terdapat di dalam ekstraks-ekstraks salin dari bahan cucian paru.
Kemudian ditemukan bahwa sifat-sifat permukaan aktif dari alveoli dapat
dihubungkan dengan komponen-komponen suatu kompleks lipoprotein, yaitu
surfaktan.1,2,5
Klaus dan rekan (1961) menetapkan bahwa komponen permukaan aktif
surfaktan yang penting ada hubungannya dengan suatu lesitin spesifik, yaitu
diplamitoilfostidilkolin.1
Avery dan Mead (1959) adalah yang pertama kali menunjukan bahwa
RDS disebabkan oleh defisiensi biosintesis surfaktan dalam paru-paru janin dan
neonatus. Berikutnya, beberapa peneliti telah memperlihatkan pertambahan
sintesis
surfaktan,
normalnya
tampak
pada
paru-paru
janin
menurut
perkembangannya diketahui bahwa dari 40 tipe sel paru, surfaktan dibentuk
khususnya pada pneumosit tipe II ini ditandai dengan badan-badan multiveskuler,
progenitor seluler dari badan lamellar disekresi dari paru-paru. Dalam kehidupan
janin lebih lanjut, pada saat alveolusnya ditandai dengan suatu interface air ke
jaringan, badan-badan lamelar utuh disapu ke dalam cairan amnion dengan
gerakan-gerakan semacam pernapasan, yaitu pernapasan janin.2
Ini merupakan cirri yang sangat penting dari kehamilan manusia, karena
surfaktan di dalam cairan amnion menunjukan mulainya pematangan fungsional
paru-paru.Pada spesies lain, sekret-sekret paru tidak perlu masuk ke cairan
amnion; misalnya, pada janin biri-biri, interface air ke jaringan diproduksi dalam
alveolus paru bayi baru lahir.Hal ini memungkinkan "penguraian" surfaktan dari
bahan lamelar dan penurunan tegangan permukaan ini kemudian menyebar ke
lapisan alveolus, dank arena itu mencegah kolaps alveolus pada waktu
ekspirasi.Dengan demikian, kemampuan paru-paru janin untuk memproduksi
surfaktan inilah, dan bukan meletakkan badan lamellar ini in-utero, yang
menandai kematangan paru sebelum lahir.2,3
BAB IV
SURFAKTAN
IV.1. Definisi
Surfaktan adalah suatu bahan yang dikeluarkan oleh sel pada alveoli paru
yang dapat menurunkan tekanan antara udara dan jaringan sehingga memudahkan
paru saat bayibernapas pertama.
Surfaktan terdiri dari 2 kata yaitu surface (permukaan/bahan ) dan active.
Artinya bahan yang dapat mengaktifkan permukaan paru sehingga paru mudah
berkembang saat pernapasan. Surfaktan paru dibentuk oleh sel pneumosit tipe
Iiyang mempunyai ciri khas sebagai berikut:

Terdapat badan multivesikuler

Terdapat badan berlapis sebagai pembentuk dan pengikat surfaktan.
Pada masa intrauterin badan berlapis dibentuk oleh sel pneumosit tipe II yang
selanjutnya dialirkan oleh air ketuban yang masih mengisi alveoli menuju air
ketuban dikantong amnion saat terjadi gerakan pernapasan janin intrauteri. Saat
janin bernapas pertama kali hingga terjadi kontrak antara udara dan jaringan,
merupakan kesempatan sel tipe II untuk membentuk dan melepaskan surfaktan.11
IV.2.Jenis-jenis Surfaktan
Terdapat 2 jenis Surfaktan yaitu
1. Surfaktan natural atau asli yang berasal dari manusia, didapatkan dari
cairan amnion sewaktu sectio cesaria dari dengan kehamilan cukup bulan.
2. Surfaktan eksogen yang berasal dari sintetik dan biologik yang terdiri dari

Surfaktan
eksogen
sintetik
terdiri
dari
campuran
Dipalmitoylphosphatidylcholine (DPPC), Hexaldecanol, dan
tyloxapol yaitu Exosurf dan Pulmactant (ALEC) dibuat dari
DPPC 70% dan Phosphatidylglicerol 30%, kedua surfaktan
tersebut tidak lama dipasarkan di Amerika dan Eropa 2,5. ada 2
jenis surfaktan sintesis yang edang dikembangkan yaitu KL4
(Sinafultide) dan rSPC (venticute) dimana kedua surfaktan ini
belum pernah ada penelitian tentang penggunaannya pada bayi
prematur

Surfaktan eksogen semi sintetik, berasal dari campuran surfaktan
paru anak sapi dengan Dipalmitoylphosphatidylcholine (DPPC),
Tripalmitine dan palmitik misalnya Surfaktan TA, surfanta.

Surfaktan eksogen biologik yaitu surfaktan yang diambil dari
paru anak sapi atau babi misalnya infasurf, alveofact, BLES,
sedangkan yang diambil dari paru babi adalah Curosurf.
IV.3. Metabolisme Surfaktan
Surfaktan paru disintesis, ditranspormasikan dan di sekresi ke alveolus
kemudian di produksi ulang melalui mekanisme yang sangat kompleks dan
teregulasi. Proses ini berjalan lebih lambat pada bayi baru lahir prematur dari pada
orang dewasa atau pada penderita dengan kelainan paru.
Kecapatan sintesis dan waktu paruh surfaktan di pengaruhi oleh berbagai
faktor seperti sintesis surfaktan pada bayi prematur dengan menggunakan isotop
yang stabil seperti glukose, asam asetat dan asam palmitic memperlihatkan bahwa
sintesis dari glukose dalam perubahannya menjadi surfaktan posphatidylcholine
(PC) menggunakan waktu kurang dari 19 jam dan mencapai puncaknya dalam
waktu 70 jam. Kecepatan produksi dari PC absolut adalah 4,2 mg/kg/hari
sedangkan waktu paruhnya 113 (±25 jam). Kecepatan sintesis dari PC fraksional
dari plasma palmitat jauh lebih tinggi dari pada palmitat yang di sintesis de novo
dari asetat atau glukose tetapi hanya menghasilkan setengah dari total produksi
surfaktan pada bayi prematur.
Sekresi surfaktan dapat distimulasi oleh beberapa mekanisme seperti sel
tipe II yang memiliki reseptor beta-adrenergik yang dapat merespon beta-agonist
dengan peningktan sekresi surfaktan. Purin seperti adenosin triphospat merupakan
stimulator kuat untuk mensekresikan surfaktan. Peregangan mekanis seperti
distensi paru dan hiperventilasi juga diperkirakan turut berperan dalam
mensekresi surfaktan. Hormon thyroxine
juga berperanan penting dalam
mensekresi surfaktan dimana dalam prosesnya dapat mempercepat diferensiasi sel
tipe II dan juga berperan secara sinergis dengan glukokortikoid untuk
meningkatkan distensi paru dan sintesis DPPC.
Sel tipe II , makrofag dan alveolar pada dinding paru mempunyai peran
besar dalam pemecahan surfaktan. Perubahan siklik pada permukaan alveolar
merangsang konversi surfaktan aktif yang baru disekresikan dengan kandungan
kaya protein menjadi bentuk surfaktan yang rendah protein. Surfaktan juga di
transpormasikan selama siklus kompresi dan ekpansi alvoli, dari kumpulan
surfaktan yang besar dan sangat aktif menjadi subtipe yang kecil dang kurang
aktif yang dapat menyebabkan terjadinya beberapa gangguan seperti : Defects in
metabolisme surfaktan, respiratory distres syndrome, meconium aspiration
syndrome, pulmonary hammorage, acute respiratory distress syndrome.
IV.3. Fungsi Surfaktan
Pada tahun 1929 Von Neegard menyatakan bahwa tegangan permukaan
paru lebih rendah dari cairan biologi normal karena menemukan adanya
perbedaan elastisitas pada paru-paru yang terisi udara dan terisi larutan garam
(saline). Disebutkan juga bahwa tegangan permukaan adalah lebih penting dari
kekuatan elastisitas jaringan untuk kekuatan penarikan paru pada saat
mengembang.12,13. Tegangan permukaan antara air-udara alveoli memberikan
kekuatan penarikan melawan pengembangan paru. Hukum laplace menyatakan
bahwa perbedaan tekanan antara ruang udara dan lapisan (Δ P) tergantung hanya
pada tegangan permukaan (T) dan jarak dari alveoli (Δ P = 2T /r). Kekuatan
sebesar 70 dynes/cm2 menghasilkan hubungan antara cairan - udara dalam alveoli
dan dengan cepat akan menyebabkan kolapsnya alveoli dan kegagalan nafas jika
tidak berlawanan.11
Pada
tahun
1950,
Clements
dan
Pattle
secara
independen
mendemonstrasikan adanya ekstrak paru yang dapat menurunkan atau mengurangi
tegangan permukaan fosfolipid paru.Beberapa tahun berikutnya yaitu pada tahun
1959 Avery dan Mead menyatakan bahwa RDSpada bayi prematur disebabkan
adanya defisiensi bahan aktif permukaan paru yang disebut surfaktan paru.
Surfaktan merupakan suatu komplek material yang menutupi permukaan
alveoli paru, yang mengandung lapisan fosfolipid heterogen dan menghasilkan
selaput fosfolipid cair, yang dapat menurunkan tegangan permukaan antara airudara dengan harga mendekati nol, memastikan bahwa ruang alveoli tetap terbuka
selama siklus respirasi dan mempertahankan volume residual paru pada saat akhir
ekspirasi. Rendahnya tegangan permukaan juga memastikan bahwa jaringan
aliran cairan adalah dari ruang alveoli ke dalam intersisial. Kebocoran surfaktan
menyebabkan akumulasi cairan ke dalam ruang alveoli. Surfaktan juga berperan
dalam meningkatkan klirens mukosiliar dan mengeluarkan bahan particulate dari
paru.
Setelah beberapa percobaan dengan pemberian surfaktan aerosol pada
bayi-bayi RDS tidak berhasil, dilakukan percobaan pemberian surfaktan secara
intratrakeal pada bayi hewan prematur. Pada tahun 1980Fujiwara dkk melakukan
uji klinik pemberian preparat surfaktan dari ekstrak paru sapi (Surfaktan TA) pada
10 bayi dengan RDS berat. Penelitian secara randomized controlled trials dengan
sampel kecil pada tahun 1985 dengan memberikan preparat surfaktan dari lavas
alveoli sapi atau cairan amnion manusia memberikan hasil yang signifikan
tefiadap penurunan angka kejadian pneumothorax dan angka kematian.
Penelitian-penelitian yang dilakukan di berbagai pusat penelitian pada tahun 1989
menyatakan tentang keberhasilan tentang menurunnya angka kematian dan
komplikasi dari RDS di amerika. Pada tahun 1990telah disetujui penggunaan
surfaktan sintetik untuk terapi RDS di amerika, dan tahun 1991disetujui
penggunaan terapi surfaktan dari binatang.12,13
IV.4. Komposisi Surfaktan Paru
Surfaktan paru merupakan komplek lipoprotein yang disintesa dan
disekresi oleh sel alveolar tipe II dan Clara sel di saluran napas pada lapisan
epithel. Surfaktan paru merupakan senyawa komplek yang komposisinya hampir
90% adalah lipid dan 10% protein. Secara keseluruhan komposisi lipid dan
fosfolipid dari surfaktan diisolasi dari bermacam-macam spesies binatang yang
komposisinya hampir sama. Pada manusia phosphatidylcholine mengandung
hampir 80% total lipid, yang separuhnya adalah dipalmitoylphosphatidylcholine
(DPPC), 8% lipid netral, dan 12% protein dimana sekitar separuhnya merupakan
protein spesifik surfaktan dan sisanya protein dari plasma atau jaringan paru.
Fosfolipid surfaktan terdiri dari 60% campuran saturated phosphatidylcholine
yang
80%
unsaturated
mengandung
dipalmitoylphosphatidylcholine,
phosphatidylcholine,
phosphatidylinositol
dan
dan
sejumlah
15%
25%
campuran
phosphatidylglycerol
kecil
dan
phosphatkiylserine,
phosphatidylethanolamine sphingomyefine, dan glycolipid. (dikutip dari Dobbs,
1989; Van Golde, 1988; Wright and Clements, 1987). Fosfolipid saturasi ini
merupakan komponen penting untuk menurunkan tegangan permukaan antara
udara dan cairan pada alveolus untuk mencegah kolaps saluran napas pada waktu
ekspirasi. Pada tahun 1973 menurut King dkk,dan Possmayer, 1988 terdapat 4
macam protein spesifik surfaktan dengan struktur dan
fungsi yang berbeda.
Keempat macam protein tersebut adalah SP-A, SP-B, SP-C dan SP-D. Protein
tersebut didapat dari cairan lavage bronkoalveoli (BALF) dan dengan tehnik
ultrasentrifugasi serta pemberian pelarut organik kaya lemak, dapat dipisahkan
dan dibedakan menjadi dua golongan yaitu hydrofobik dengan berat molekul
rendah SPB dan SP-C, sedangkan SP-A dan SP-D merupakan hidrofilik dengan
berat molekul tinggi.12,13
BAB V
LESITHIN – SFINGOMYEILIN RASIO
V.1. Peranan L/S Rasio
Tujuan penilaian maturitas paru janin yaitu untuk meminimalisasi resiko
komplikasi janin yang berhubungan dengan RDS. Hal ini menjadi semakin
penting karena dapat menurunkan morbiditas yang berhubungan dengan
persalinan preterm iatrogenik, persalinan dengan SC elektif khususnya pada
pasien yang lupa terhadap haid terakhir, terlambat ANC atau pada kondisi medis
seperti diabetes millitus yang dapat mengakibatkan keterlambatan maturitas paru
janin terutama produksi surfaktan.
Pemeriksaan untuk menentukan rasio lesitin-sfingomyelin ini merupakan
pemeriksaan yang paling sering digunakan untuk memprediksikan maturitas paruparu janin, dan dianggap sebagai "goldstandart method".Pemeriksaan ini
mempunyai beberapa hal yang kurang menguntungkan, yaitu memerlukan banyak
waktu dalam proses pemeriksaannya, disamping itu pengukuran rasio lesitinsfngomielin ini memerlukan laboratorium yang monitornya dengan baik karena
variasi kecil dalam taknik dapat sangat mempengaruhi keakuratan hasilnya.1,12
Borer dan dkk, yang pertama kali memperkenalkan pengukuran rasio
lesitin-sfingomielin
ini.
Selanjutnya
banyak
penelitian
dilakukan
untuk
mengevaluasi berbagai teknik pemeriksaan ini.13,16,18,19
Penilaian maturitas paru dengan analisa fosfolipid dalam cairan ketuban
telah dimulai sejak tahun 1971, ketika Gluck melaporkan test pertama yang secara
luas
dipergunakan
untuk
menilai
maturitas
paru
janin
yaitu
Lesithin/Sfingomyeilin (L/S Ratio). Alasan penggunaan test ini adalah karena
sfingomyeilin terdapat dalam cairan amnion dalam jumlah yang relatif konstan
selama trisemester ketiga dan tidak terkandung dalam cairan yang diproduksi oleh
paru janin, sedangkan lesithin adalah komponen utama dari fosfolipid surfaktan
yang diproduksi oleh paru janin pada umur kehamilan 24-26 minggu dan mulai
meningkat konsentrasinya pada pertengahan trisemester ketiga. Juga disebutkan
adanya perubahan konsentrasi phospolipid dalam air ketuban selama kehamilan.
Dia juga menemukan bahwa phospolipid total dalam air ketuban meningkat
selama kehamilandan mencapai puncaknya pada usia kehamilan 35 minggu.
Kadar lesithin (phospatydilcholin) hampir sama dengan sfingomyeilin sampai
umur kehamilan 35 minggu.dimana saa itu terjadi peningkatan kadar lesithin 4
kali dibandingkan
sfingomyeilin. Setelah 35 minggu kadar lesithin tetap
meninggi sedangkan sfingomyeilin sedikit menurun. Berdasarkan hal ini rasio L/S
mulai diperhatikan apalagi hasilnya dapat dibaca dengan segera dengan metode
spektroskopi inframerah.
Penelitian selanjunya menunjukkan bahwa nampaknya maturitas paru
sudah tercapai bila kadar lesithin telah melebihi kadar sfingomyeilin. Pada
keadaan normal rasio L/S = 2,0 tercapai pada usia kehamilan 35 minggu.
Maturitas paru dianggap bila L/S rasio > 2 pada usia kehamilan 35 minggu dan
dianggap terlambat bila < 1 setelah usia kehamilan 35 minggu.
Waktu untuk pematangan paru –paru sangat penting diketahui pada
kehamilan resiko tinggi. Pada sebagian besar kasus, kondisi yang diketahui
memodifikasi waktu timbulnya surfaktan yang hanya diketahui dari penelitian
retrospektif. Sayangnya diagnosis Diabetes kelas A atau IUGR hanya dapat
dilakukan setelah persalinan. 26
Seorang klinisi harus dapat memperkirakan adanya kematangan paru-paru
kecuali apabila
ada konfirmasi sonografik bahwa kehamilan seorang adalah
aterm. Sebagai konsekuensinya, pertimbangan penilaian aktifitas surfaktan sangat
penting ketika intervensi dilakukan berdasarkan indikasi maternal dan janin atau
bila ingin mencegah suatu persalinan preterm. Pertimbangan sangat penting
terutama pada trisemester ketiga, karena kurang lebih 19% kasus memiliki resiko
persalinan prematur pada minggu ke 28 – 32 dan 35% memiliki resiko untuk
bersalin pada usia kehamilan 33-36 minggu yang menunjukkan rasio L/S lebih
dari 2. 26.
Keadaan yang mempercepat maturitas paru antara lain pregnancy induced
hypertension, hipertensi oleh karena kelainan ginjal, jantung, sickle cell anemia,
addiksi narkotik, diabetes kelas D,E,F dan KPD lebih dari 24 jam. Keadaan yang
memperlambat maturitas paru antara lain diabetes kelas A,B,C, hydrop foetalis
dan non hypertensive renal disease.
Sejumlah penelitian telah dilakukan untuk mengukur rasio lesitin
sfingomyelin dengan menggunakan berbagai modifikasi dalam prosedur
pemeriksaannya. Modifikasi yang paling sering adalah menghilangkan langkah
pemeriksaan presitasi dalam aseton dingin. Gluck dkk menyatakan bahwa
presipitasi dengan aseton akan memisahkan fosfolipid permukaan-aktif dari yang
bukan permukaan aktif, tetapi peneliti-peneliti lain tidak menemukan pemisahan
fosfolipid dalam dua fraksi tersebut. Penelitian dengan menggunakan metode
tanpa presipitasi aseton dilaporkan oleh Tuimala serta Morison dkk yang
menyatakan prediktabilitas rasio lesitin sfngomielin pada level 1,5/l dan 2/1.1
Sebelum kehamilan 34 minggu, lesitin dan sfingomielin terdapat didalam
cairan amnion denga konsentrasi yang sama. Pada sekitar usia kehamilan 34
minggu, konsentrasi relative lesitin terhadap sfingomielin mulai naik.
Gluck dkk, pada tahun 1971, melaporkan bahwa untuk kehamilan yang
tidak diketahui umurnya tetapi tanpa komplikasi apapun, resiko terjadinya RDS
pada bayi baru lahir sangat kecil kalau konsentrasi lesitin di dalam cairan amnion
sedikitnya dua kali konsentrasi sfingomielin, sementara itu ada resiko yang
semakin tinggi untuk terjadinya RDS kalau rasio lesitin-sfingomielin di bawah 2.
Baru-baru ini, telah dikembangkan pengukuran aktifitas surfaktan yang
lebih spesifik dan sebagai profil paru-paru. Profil ini tanpaknya memiliki
keunggulan khusus bagi pasien dengan rasio L/S yang kurang dari 2 dan pada
pasien Diabetes. Umumnya Phosphatidyl Inositol (PI) meningkat sesuai dengan
kenaikan rasio L/S hingga mencapai nilai 2 , setelah itu pada trisemester tiga
kadarnya menurun. Berbeda dengan PG yang pertama kali timbul pada kehamilan
normal usia 35 minggu, kehadirannya memberikan akses sinyal 3% dari fungsi
maturitas stabil paru-paru neonatus. PG tidak terdapat dalam darah, sekret vagina,
atau mekonium oleh karena itu kehadiran bahan-bahan kontaminasi ini dalam air
ketuban tidak akan mempengaruhi interpretasi tingkat PG. Insiden RDS medekati
34% pada umur krhamilan 33 minggu, 14% pada umur kehamilan 34 minggu, 6%
pada umur krhamilan 35 minggu dan 3-4% pada umur kehamilan setelah 35
minggu.
Hal ini segera dikonfirmasikan oleh peneliti lain. Pada tahun 1975, Harvey
dkk menggabungkan 25 laporan yang rasio lesitin-sfingomielin diukur dengan
teknik yang sama pada cairan amnion yang dikumpulkan dalam 72 jam setelah
kelahiran. Bila rasio lesitin-sfingomielin lebih besar dari 2, resiko terjadi RDS
ditemukan kecil sekali, kecuali bila ibu menderita diabetes. Kalau rasio lesitinsfingomielin antara 1,5 sampai 2, maka sindroma gawat napas ditemukan pada
40% kasus, dan kalau dibawah 1,5 ditemukan pada 73% kasus. Meskipun 73 bayi
mengalami RDS kalau rasio lesitin-sfingomielin dibawah 1,5 tetapi yang terbukti
fatal hanya pada 14%.1
Secara umum penilaian maturitas paru janin tidak diperlukan pada umur
kehamilan >37 minggu karena paru janin dianggap sudah matur. Walau
bagaimanapun komplikasi seperti DM, isoimunisasi Rh dapat menghambat
perkembangan paru janin dan pasien dengan komplikasi seperti ini memerlukan
pemeriksaan lanjutan. Selain itu juga tes-tes ini tidak diperlukan untuk umur
kehamilan < 30 minggu karena kebanyakan janin dianggap mempunyai paru yang
masih imatur.
Sampel-sampel cairan amnion yang bercampur darah dapat mempengaruhi
hasil L/S rasio menjadi tidak akurat dimana rasio sebanyak 1,5 plasma rasionya
sekitar 1.6, mekonium mempunyai rasio sebesar 1,2 dan biasanya memberi nilai
palsu yang rendah.
Kemudian sample yang terkontaminasi dengan urine dengan nilai kreatinin
>5mg/dl tidak dapat digunakan untuk menilai maturitas paru janin. 6
V.2.Cara Pemeriksaan L/S Ratio
V.2.1.Amniosestesis
Amniosentesis pada mulanya dilakukan untuk memperkirakan konsentrasi
bilirubin atau pigmen seperti bilirubin dalam cairan amnion untuk menenyukan
penyakit hemolitik pada janin. Sekarang prosedur ini paling sering digunakan
untuk menetapkan konsentrasi relative fosfolipid surfaktan aktif untuk
mengidentifikasikan apakah janin sudah atau belum mengalami kematangan
paru1,2,3
.
Beberapa pemeriksaan yang digunakan untuk memprediksikan maturitas paru
janin umumnya memakai cairan amnion sebagai specimen pemeriksaan. Ciran
amnion ini yang terutama didapatkan dengan cara melakukan amniosentesis
suprapubik, disamping itu juga menggunakan cairan amnion yang didapat dari
vaginal pool yaitu pada kasus-kasus dengan ketuban pecah dini.1,2,3,5
Cairan amnion yang didapat dari amniosentesis ini, apabila terkontaminasi
darah akan cukup mempersulit teknik pemeriksaan dan interpretasi hasilnya.
Darah dapat mengubah kadar berbagai kandungan dalam cairan amnion yang
sedang diteliti. Gibbsons dkk. (1974) meneliti efek-efek penambahan darah ibu
kedalm cairan amnion segar, yang kemudian disentrifugasi dengan baik.
Penambahan darah dengan konsentrasi 1 persen atau lebih kedalm cairan amnion
menyebabkan penurunan rasio lesithin-sfingomyeilin (L/S Ratio)., suatu
perubahan yang menimbulkan dugaan janin kurang matur. Buhy dan Spellacy
(1975) menemukan bahwa serum ibu mempunyai rasio L/S 1:3 sampai 1:5 dan
mereka menemukan bahwa penambahan serum ini ke cairan amnion akan
mempengaruhi ratio L/S, Mekonium juga dapat menurunkan rasio lesithinsfingomyeilin. 1,5
V.2.2.Langkah-langkah pengukuran L/S Rasio

Campurkan 5 ml cairan amnion dengan 5 ml methanol pada 1
tabung ekstraksi. Jika hanya tersedia sedikit saja cairan amnion
yang bisa digunakan, maka masih dapat dikerjakan dengan cara
mengurangi juga reagennya secara proporsional.

Tambahkan larutan tadi dengan 10 ml chloroform kemudian tutup
dan kocok selama 5 menit, lalu lakukan sentrifuse 600xg (kirakira 1700rpm dengan menggunakan model internasional model v
240 head selama 5 menit.

Setelah disentrifuge, ambil bagian atas dari tabung tersebut
(aqueus layer). Saring bagian bawahnya (chloroform) dengan
menggunakan kertas whatman No.1 ke cawan penguapan untuk
dilakukan penguapan. Sebagai alternative dapat digunakan
whatman No.1 PS (silicone-treated phase-separating paper) atau
dengan anhydrous magnesium sulfat untuk mengurangi kadar air
sebelum dilakukan penguapan.

Lakukan konsentrasi cairan hingga menjadi 0,5ml dengan
menggunakan udara bersih yang mengalir diatas permukaan
larutan (material amnion mungkin menjadi kering, namun
paapran temperature ruangan harus dibatasi 5-10menit). Tahap
penguapan ini memerlukan waktu 20-30 detik.

Kemudian bilas cawan tadi dengan 1-2ml chloroform dan
pindahkan hasil bilasan ke tabung ukuran 13x100mm. Penguapan
selanjutnya sekitar 50 mikroliter (1-2 tetes)

Hasil konsentrat ini nantinya bisa disimpan pada suhu – 20
derajad, hal ini dilakukan jika pemeriksaan kromatografinya tidak
bisa dilakukan pada hari yang sama.

Letakkan kertas kromatografi diatas petunjuk tetesan Gelman dan
beri tanda pada 11 titik. Jarak antara tiap itiknya adalah 2 cm dan
2,5 cm dari batas bawah kertas kromatin

Letakkan campuran kertas no 1 pada titik 1 dan 11 sebanyak 5
mikroliter (lysolechitin dan phosphatidylethanolamine, 1:1). Pada
titik 3 dan 7 beri campuaran standar no 2 sebanyak 5 mikroliter
(L/S =2). Pada titik 5 dan 9 berikan campuran standart no 3
(L/S=5) dengan jumlah yang sama.

Ada jarak yang cukup pada kertas kromaografik ini untuk
menggandakan tiap titik jika memang diperlukan pada pasien
yang berasal dari 2 sampel atau dari pasien yang sama tapi akan
menggunakan 2 bahan aseton presipitat dan aseton supernate.

Pisahkan 1 sampel secara merata antara titik 2 dan 8 dan sampel
yang kedua antara titik 4 dan 10. Biarkan titik no 6 kosong
berikan 5 mikroliter untuk meyakinkan diameternya kurang dari
4mm. Gunakan semua ekstrak.

Siapkan cairan pelarut : masing-masing 170ml chloroform, 20ml
methanil absolute, dan 3ml ammonium hidrokloride.

Pasang easel Eastman kodak kromatografi. Tuangkan larutan
pada tiap basis yang di etsa. Letakkan lapisan ipis kromatografik
pada camber Eastman kodak kromatografi dan klip pada tepinya
dan atur tiap chamber pada palungan (proses ini berlansung 15
menit)

Angkat kertas kromatografik setelahnya dan keringkan selama 15
menit. Hati-hati memisahkan pada no 6.

Letakkan 1½ lembar ini pada ruang tertutup yang berisi kristal
iodine selama 5 menit. Observasi perubahan warna dari kuning
menjadi coklat. Angkat lembar kromatografikdan beri tanda
lingkran dengan pensil.

Semprotkan sisa lembarannya menggunakan spray bismuth
sampai muncul warna keputihan dengan latarbelakang orange dan
keringkan di udara selama beberapa menit.

Letakkan lembaran yang sudah dicat dengan bismuth pada cawan
yang mengandung larutan A (3,48mol/liter asam asetat) dan putar
cawan hingga warna latarbelakangnyamenjadi putih kembali.
Lesithin sfinmyelin yang standart akan tanpak sebagai tiik
berwarna kuning orange. Angkat kertas kromatografik dan
lingkari itik tersebut dengan pensil, akan tanpak lebih jelas jika
dilihat menggunakan cahaya sinar. Observasi dengan eqeraq
sebab warnaynya dapat memudar dengan segera. (15menit).

Secara
visual
bandingkan
ukuran
bintik
lesithin
dan
sfingomyeilin dan laporkan hasilnya seperti pada contoh dibawah

Ketika kertas kromatin ini mengering bungkus kesemuanya
dengan menggunakan kertas sellulose (pembungkus saran)

Setelah titik yang sudah di cat dengan iodine memudar maka
setengah dari kertas kromatin yang sudah dicat dengan iodine ini
dapat digunakan kembali untuk beberapa tipe teknik visual
seperti pada teknik ANS (8-amino-1-naptalena sulfonic acid),
phosfomolybdic acid-stannous chloride atau spray asam dan
pemanasan arang yang dapat dijelaskan dibawah ini :
Teknik yang dapat digunakan agar bintik pengecatan menjadi terlihat:

ANS : spray kromatogram dengan 0,35g/liter larutan aqua ANS
(sigma). Ketika dilihat dibawah sinar UV maka fosfolipid akan
tanpak sebagai bintik flurosent biru terang.

Rhodamine:
semprot
kromatogram
dengan
semprotan
B
(Gelman) dan baca dibawah sinar UV pada interval 30 menit.
Setelah pengecatab iodium maka disarankan untuk menunggu
sampai 12 jam sebelum disemprotkan dengan semprotan B ini.

Semprotan asam atau cairan asam, arang: kromaogram dengan 9
mol/liter H2SO4 atau dengan ammonium sulfat (300g/liter)
diasamkan dengan 12ml konsentrat atau sulfur. Semprotan
alternatif yang bisa digunakan adalah yang mengandung asam
fosforid (8g/dl), yang dilaporkan memberikan warna arang dalam
waktu 25 menit pada suhu 100 derajad.
V.2.3 Interpretasi L/S Rasio
* Immature. (resiko tinggi syndrome distres nafas ) dengan L/S rasio ≤2
Lesithin dan sfingomyeilin tanpak sebagai itik kecil dengan menggunakan
pengecatan bismuth dan pengecatan iodium.
* Transisional ( beberapa resiko syndrome distres nafas ) dengan L/S
rasio antara 2-5.
Hanya tanpak sebagai bintik lesitin kecil atau tidak tanpak sfingomyeilin dengan
pengecatan bismuth ( ukuran dari lesithin biasanya lebih kecil dari pada standart
2:1). Dengan pengecatan iodium rasio bintik lebih besar daripada 2 tetapi lebih
kecil dari 5
* Mature (resiko minimal syndrome distres nafas) dengan L/S rasio ≥ 5
Lesithin dan tanpa sfingomyeilin pada pengecatan bismuth (ukuran lesihin
biasanya lebih besar dari pada standart 2:1). Dengan pengecatan iodine rasinya
akan lebih besar dari 5.
V.3.Deksametason dan Pematangan paru janin.
Walau
kentroversial,
pemberiannya
namun
sudah
pada
diakui
ketuban
secara
pecah
dini
luas
bahwa
preterm
masih
glukokortikoid
(Deksametason) dapat merangsang proses pematangan paru janin. Deksametason
yang diberikan baik secara intravena maupun secara intramuskuler akan segera
melawati plasenta menuju peredaran darah janin. Pada paru janin deksametason
akan berikatan dengan reseptor III yang ada pada permukaan sel pneumosit tipe II
kemudian masuk kedalam sitoplasma selanjutnya akan berikatan dengan reseptor
III yang ada pada inti sel. Pada inti sel Deksametason akan merangsang
pembentukan beberapa enzim yang berperanan dalam proses pematangan paru.
Secara skematis dapat dilihat pada skema berikut :
Glucocorticoid
Receptor III
Receptor III
Glucocorticoid
Glucocorticoid
DNA
Enzyme synthesis
RNA
Lamellar body
Phospholipid synthesis
V.4. Pemilihan dan penentuan dosis Deksametason
Surfactant
Untuk keperluan pematangan paru janin, di klinik kortikosteroid yang
banyak digunakan adalah golongan glukokortikoid terutama yang sintesis seperti:
Hidrokortison, Betamason dan Deksametason. Hal ini didasarkan atas minimalnya
efek samping terhadap metabolisme air, elektrolit maupun metabolisme secara
umum.Diantara ketiga pilihan tersebut, yang banyak digunakan adalah
Betametason dan Deksametason oleh karena kemampuannya untuk merangsang
pematangan
paru
janin
lebih
kuat
dibandingkan
dengan
Hidrokortison.Perbandingan ketiga glukokortikoid tersebut dapat dilihat pada
tabel dibawah.
Tabel 2.1. Perbandingan tiga glukokortikoid untuk pematangan paru janin(Allbert
J et a1,1992).
Daya ikat
Kandungan
Respon
Stimulasi
terhadap
Sodiun
antiinflamasi
terhadap sel
Deksametason
+
protein
15 mEq
2,75
+++
Pneumusit tipe II
Betametason
+++
20 mEq
3,25
+++
Hidrokortison
++
42 mEq
1,50
++
Sudah disampaikan dan dimasalahkan di awal tulisan ini mengenai dosis
dan cara pemberian kortikosteroid. Beberapa senter memberikan dengan cara dan
dosis sendiri-sendiri. Allbert J et l,(1992) memfonnulasikan dosis dan cara
pemberian kortikosteroid sesuai dengan tabel dibawah ini.
Tabel 2.2 Pemberian glukokortikoid dalam pematangan paru janin (Allbert J et
a1,1992).
Jenis
Cara
Dosis
Interval
Jumlah pemberian Total dosis
Betametason
pemberian
im
12 mg
12 jam
2 kali
24 mg
Ueksametaso
im, iv
5 mg
12 iam
4 kali
20 mg
n
The American College of Obstetricians and Gynecologists melalui Committeen on
Obstetric Practice membuat suatu diskusi panel (The NationalInstitute of Health
Consensus Panel) mengenai pemberian kortikosteroid antepartum.Kemudian hasil
diskusi ini diutamakan dalam skala nasional maupun internasional. Rekomendasi
ini pertama kali dimuat dalam American Journal Obstetri dan Ginekologi dengan
topik ACOG committee opinion: Antenatal Corticosteroid therapy for fetal
maturition. Dosis dan cara pemberian ini sedikit berbeda dan dapat dilihat pada
tabel dibawah ini :
Tabel 2.3. Dosis dan cara pemberian kortikosteroid (Joan MM,2000).
Cara
Jenis
Jumlah
Dosis
Interval
pemberian
Total dosis
pemberian
Betametason
im
12 mg
12 jam
2
24
Deksametason
im, iv
4 mg
8 jam
6
24
5 mg
12 jam
4
20
Beberapa penelitian menggunakan dosis Deksametason total 24 mg dengan tehnik
pemberian 12 mg pada saat penderita masuk rumah sakit, kemudian diulang 24
jam berikutnya. Tehnik pemberian ini juga dilakukan di RS Sanglah Denpasar,
tetapi sediaan yang ada adalah 15 mg dalam satu ampul. Sehingga dosis total
Deksametason adalah 30 mg. 20
V.5. Efek samping pemberian Deksametason
Pemberian deksametason pada wanita hamil dengan ketuban yang sudah
pecah merupakan suatu hal yang problematik.Beberapa penulis dan di beberapa
senter tidak merekomendasikan pemberian deksametason pada wanita hamil
preterm dengan ketuban yang sudah pecah.
Beberapa efek samping yang ditakutkan dan mungkin akan timbul pada
pemberian kortikosteroid adalah meningkatnya risiko infeksi baik pada ibu
(korioamnionitis) maupun janin, timbulnya edema paru. Pada pemberian dengan
multiple close dapat terjadi hiperglikemia pada ibu, supresi kelenjar akibat adanya
supresi terhadap maternal pituitary-udrenal axis berat badan lahir rendah.
V.6. PEMERIKSAAN ULTRASONOGRAFI 14,15
Kemajuan
teknologi
dalam
pemeriksaan
ultra-sonografi
telah
memungkinkan dilakukan observasi perubahan-perubahan yang terjadi pada
plasenta dalam rahim. Winsberg, Fisher dkk, Hobbins dan Winsberg, serta Stein
dkk telah memperlihatkan gambaran ultra-sonografi pada plasenta yang matur.
Secara logis, dapat diterima bahwa plasenta sebagai "fetal" organ akan menjadi
matur sejalan dengan sistem organ fetal lainnya.
Pada tahun 1979, Hobbins dkk mencoba membuat kategori fase-fase
maturisasi plasenta, untuk itu mereka mengklasifikasikan variasi gambaran ultrasonografi plasenta yang terjadi selama kehamilan dan kemudian mencari
korelasinya dengan rasio lesitin/sfingomielin sebagai salah satu indeks maturitas
paru-paru janin.
Klasifikasi plasenta, dibuat mulai dari Derajat 0 sampai dengan Derajat
III. Derajat 0 : chorionic plate tampak halus, dan dengan jelas tampak sebagai
garis rata. Gambaran ini akan terlihat pada kehamilan kira-kira 12 minggu.
Substansi plasenta tampak homogen dan tidak tampak area ekhogenik. Lapisan
basal juga tampak homogen dan tekstur yang sama seperti substansi plasenta. Fase
ini tampak pada trimester I dan II. Derajat I : Plasenta menunjukan perubahan
paling awal dari proses maturasi-nya, yaitu
chorionic plate tampak sebagai garis yang rata tetapi dengan beberapa
undulasi. Beberapa ekhogenik area tampak pada substansi plasenta, sehingga
tidak lagi tampak homogen. Tidak ada densitas yang terlihat di lapisan basal. Fase
ini biasanya didapatkan mulai dari kehamilan 30-32 minggu dan terus sampai
kehamilan aterm. Derajat II : perubahan terjadi pada tiga zona, yaitu chorionic
plate lebih banyak tanda-tanda identitas. Substansi plasenta tampak terpisah dan
tidak kompit oleh gambaran linear echogenic atau comma like echgenic densities.
Pada fase ini linear echogenic densities tidak mencapai lapisan basal. Area
ekhogenik dalam substansi plasenta tampak bertambah jumlahnya dan ukurannya
lebih besar dari Grade I. Derajat III : merupakan gambaran plasenta yang matur.
Chorionic plate tampak terputus-putus oleh identitas, dimana memanjang
kelapisan basal dan mungkin memperlihatkan septa inter-kotiledon. Substansi
plasenta menjadi terpisah dalam beberapa kompartemen yang mungkin adalah
batas kotiledon. Bagian tengah dari kompertemen ini menunjukan area kosong,
padat, bentuk tidak teratur, area ekhogenik tampak dekat ke chorionic plate. Area
ekhogenik pada lapisan basal menjadi lebih besar, lebih padat, dan menyatu.
Plasenta 129 pasien dilakukan gradasi plasenta. Delapan puluh enam
pasien termasuk klasifikasi Derajat I atau lebih dan seluruhnya diukur rasio
lesitin/sfingomielin. Didapatkan rasio lesitin/sfingomielin yang matur (2,0) pada
68% plasenta Derajat I (21/31), 88% plasenta Derajat II (28/23), dan 100%
plasenta Derajat III (23/23). Hasil ini memperlihatkan korelasi antara perubahan
dalam proses maturasi yang terlihat dengan pemeriksaan ultrasonografi dan
matuaJaru-paru janin yang didasarkan pada rasio lesitin/sfngomielin.
BAB VI
KESIMPULAN
Pada suatu keadaan dimana kehamilan harus diakhiri yang terjadi pada kasuskasus ketuban pecah dini pada usia kehamilan preterm
pada kasus partus
prematurus iminens (PPI) yang gagal dilakukan perawatan konservatif, juga pada
kehamilan dengan kelainan medis
maka sangatlah penting untuk dilakukan
pemeriksaan untuk menentukan maturitas paru janin dengan tepat. Maturitas paru
janin sangat erat hubungannya dengan kejadian syndrome respiratory syndrome
(RDS)
Penggunaan hasil analisa terhadap cairan amnion telah dapat diterima
secara luas, dimana pada dasarnya pemeriksaan tersebut untuk memeriksa
maturitas surfaktan yang disekresikan kedalam cairan amnion. Maturitas surfaktan
dinilai berdasarkan komposisi komponen-komponen aktif surfaktan.
Dari sekian banyak metode pemeriksaan untuk menentukan maturitas paru
janin yang dianggap sebagai “gold standart methode” adalah pemeriksaan
rasiolesithin – sfingomyeilin. Pemeriksaan ini mempunyai beberapa hal
kelemahan, yaitu memerlukan banyak waktu dalam proses pemeriksaannya,
disamping itu pengukuran rasio lesitin-sfngomielin ini memerlukan laboratorium
yang monitornya dengan baik karena variasi kecil dalam taknik dapat sangat
mempengaruhi keakuratan hasilnya.Oleh karena itu metode pemeriksaan ini
belumlah memenuhu criteria pemeriksaan yang ideal, karena pemeriksaan yang
ideal menurut para peneliti adalah cepat, tekniknya mudah dilakukan, biayanya
tidak mahal dan memberikan hasil dengan akurasi yang tinggi
Sampai saat ini masih terus dikembangkan berbagai metode pemeriksaan
yang ideal untuk menentukan maturitas paru janin.
DAFTAR PUSTAKA
1. O’ brien WF, Cefalo RC. Clinical applicability of amnioik fluid test for
fetal pulmonic maturity. Am J.Obstet Gynecol 1998, 136: 135-144.
2. Cunningham FG, Mc Donald PC, Gant NF. Obstettri William. Edisi 18
Jakarta: EGC, 1995; 121-133
3. Lee W, Bell M, Novi MJ. Pulmonary Lamellar bodies in human amniotic
fluid: Their relationship to feal age and the lechitin/ sfingomyeilin ratio.
Am J. Obstet Gynecol: 1998;136: 60-66
4. Ganong WF. Fisiologi Kedokteran. Edisi 9. Jakarta: EGC, 1979: 633-634
5. Kassanos D, Botsis D, Gregorion O, Bezantakos ch, Kontogeorgi Z. The
tap test : A simple and inexpensive method for the diagnosis of fetal
pulmonary maturity. Int J. Gynecol Obstet 1993: 4: 135-138
6. Strong TH, hayes AS, Sawyer AT, Folkkestad B, Mills, Sugden P.
Amniotic fluid turbidity : Auseful adjunct for assessing fetal pulmonary
maturity status. Int J Gynecol Obstet 1992; 38: 97-100.
7. Bustos R, Gluck MVKL, Gabbe SG, Surat Evertson L, Vargas C,
Lowenberg E. Significance of phosfatidyl gliserol in amniotic fluid in
complicated pregnancies. Am J Obstet Gynecol 1979: 133: 899-903.
8. Parker CR, Haulth JC, Hankins GDV, Leveno K, Rosenfeeld CR, Porter
JC. Endocrine maturation and lung fungtion in premature neonates of
women with diabetes. Am J Obstet Gynecol 1989; 160: 657-662
9. Herbert WNP, Jonhston JM, Mc Donald PC, Jimenez JM,. Fetal lung
maturation. Human amniotic fluid phosphatidate phosphohydrolase
activity through normal gestation ti the lechitin/sfingomyeilin ratio. Am J
Obstet Gynecol 1978; 132: 373-379.
10. Pusponegoro TS. Penggunaan Surfaktan pada Sindroma Gawat Nafas
Neonatal. Continuing Education Ilmu Kesehatan Anak no 27, November
1997; 89-96.
11. Poynter S, Marie Ann. Surfactan biology and clinical application. Crit
Care Clin, 2003; 19: 459-473.
12. Morley.C, Davis P. surfactant treatment for premature lung disorders: a
review of best practices in 2002. In Pediatric Respiratory reviews, 2004;
299-304.
13. Worthman L. surfactant Protein A (SP-A) affects pulmonary surfactant
Morfology ang Biophisical Properties. Department of biochemistry
memorial University of Newfounland, St John’s, Newfounland, 1997;
1-130.
14. Grannum PAT, Berkowitz RL, Hobbins J. The Ultrasonic changes in the
maturing plasenta and heir relation to fetal Pulmonary maturity. Am J
Obstet Gynecol 1979; 133: 915-922.
15. Kazzi GM, Gross TL, Rosen MG, Jaatoul NY,. The relationship of
Placental grade, Fetal lung maturity, and Neonatal outcome informal and
complicated pregnancies. Am J Obstet Gynecol 1989; 145: 54-58.
16. Cunningham FG, Mc Donald PC, GantNF, 1997. Williams Obstetrics. 20th
ed. New Jersey: Apleton & lange, 797-826.
17. Albert J,Morrison JC, 1992. Glucocorticoid and fetal pulmonary maturity.
In: drug therapy in Obstetrica and gynecology. Edited by Rayburn WF.
MD, Zuspan FP. MD, Mosby St Louis, 90-102.
18. Joan M.M, 2000. Therapeutic agents in preterm labor: Steroid In : Clnical
Obstetrics and gynecology. Edited by Roy MP, Jamed RS. Lippncott
Company, Washington, 43, 802-08.
19. ACOG Committee Opinion, 1999. Antenatal Coricosteroid therapy for
fetal maturation. Int J Obstet Gynecol. 64: 334-335.
20. James A T MD, Angela MH, Jones MS,et al,2001. The effect of multidose
antenatal betamethasone on maternal and infant outcome. Am J Obstet
Gynecol, 184; 196-2002.
21. Roiz Hernandez J, Navarro Solis E, Carreon Valdez E.2002. Lamellar
bodies as a diagnostic test of fetal lung maturity. Int J of Gynecol and
Obstetrics, 77; 217-221.
22. Karcher R, PhD, Sykes E MD, Batton D MD, Uddin Z PhD, Ross G DO,
Hockman E PhD.2005. Gestational age-specific predicted risk of neonatal
respiratory distress syndrome using lamellar body count ang surfactant- toalbumin ratio amniotic fluid. Am J Obstet Gynecol; 193: 1680-4.
23. Grenache DG, Gronowsski AM. 2006. Fetal Lung Maturity. Clinical
Biochemistry;39:1-10.
24. Abd El Aal D.E.M, Elkhirshy A.A, Atwa S, El- Kabsh M.Y.2005.
Lamellar body count as a predictor of neonatal lung maturity in high risk
pregnancies. Int J of Gynecology and Obststrics; 89: 19-25
25. Wijnberger L.E.D, Huisjes A.J.M, Voorbij H.A.M, Franx A, Bruinse H.W,
Mol B.W.J. 2001. The accuracy of lamellar body count and
lecithin/sphingomyeilin ratio in the prediction of neonatal perpiratory
distress syndrome: a meta-analysis.British J of Obsterics and Gynecology,
vol. 108,pp. 583-588.
26. Serudji,
Sulin
D.2005.
Obstetri.pp.558-561.
Sistem
prnafasan
janin.
Patofisiologi
Download