16 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Landasan Teori
2.1.1 Pengertian investasi
Investasi terdiri dari investasi pada aset riil (tanah, mesin, bangunan),
maupun pada aset-aset financial (deposito, saham ataupun obligasi). Terdapat
berbagai definisi tentang investasi secara keseluruhan, salah satunya Investasi
adalah penundaan konsumsi sekarang untuk digunakan dalam produksi yang
efisien selama periode waktu yang tertentu (Jogiyanto, 2003:5).
Investasi juga merupakan komitmen atas sejumlah dana atau sumber daya
lainnya yang dilakukan pada saat ini dengan tujuan memperoleh sejumlah
pengembalian di masa datang (Tandelilin, 2001:3).
Investasi dengan financial aset yaitu berupa saham, yakni merupakan
upaya mengelola uang dengan menggunakan kelebihan dananya untuk membeli
saham dengan harapan memperoleh pengembalian di masa yang akan datang.
(Riyanto, 2001:175).
Jadi, berdasarkan pemaparan di atas investasi merupakan upaya
menggunakan kesempatan untuk tidak mengkonsumsi kebutuhan sekarang dan
menggunakan kelebihan dana dari penundanaan itu untuk membeli aset-aset (aset
riil ataupun aset finansial) dengan harapan memperoleh pengembalian di masa
yang akan datang. Dapat dilihat pula bahwa investasi memiliki dua elemen
penting yaitu return (tingkat pengembalian) dan risiko.
16
2.1.2 Manajemen investasi
Manajemen
investasi
atau
manajemen
portofolio
adalah
proses
memanajemen uang, dengan menanggung risiko minimum untuk mendapatkan
return tertentu. Manajemen investasi mencakup proses investasi
yang
menunjukan bagaimana pemodal seharusnya melakukan investasi dalam sekuritas,
yaitu sekuritas apa yang akan dipilih, seberapa banyak investasi tersebut dan
kapan investasi tersebut akan dilakukan. Pengambilan keputusan ini memerlukan
beberapa tahapan antara lain(Husnan, 1998:434)
1) Menentukan kebijakan investasi
Disini investor perlu menentukan apa tujuan investasinya, dan berapa
banyak investasi tersebut akan dilakukan. Adanya hubungan positif antara tingkat
risiko dan pengembalian membuat investor tidak dapat mengatakan bahwa tujuan
investasinya adalah untuk mencari pengembalian yang sebesar-besarnya. Pemodal
yang bersedia menanggung risiko lebih besar (dan karenanya memperoleh
pengembalian yang lebih besar), akan mengalokasikan dananya pada sebagian
besar sekuritas yang lebih berisiko, dengan demikian portofolio investasinya
mungkin akan terdiri dari saham dan bukan obligasi. Saham pun akan dipilih dari
perusahaan yang mempunyai risiko tinggi, sebaliknya untuk investor yang tidak
bersedia menanggung risiko yang tinggi mungkin akan memilih sebagian
investasinya pada obligasi dari perusahaan-perusahaan yang dinilai aman.
2) Analisis Sekuritas
Tahap ini berarti melakukan analisis terhadap individual atau kelompok
sekuritas. Ada dua filosofi dalam melakukan analisis sekuritas. Pertama, adalah
17
mereka yang berpendapat bahwa ada sekuritas yang mispriced (harga salah,
mungkin terlalu tinggi, mungkin terlalu rendah), dan analisis dapat mendeteksi
sekuritas-sekuritas tersebut. Kedua, adalah mereka yang berpendapat bahwa harga
sekuritas adalah wajar. Kalaupun ada mispriced, analisis tidak mau untuk
mendeteksinya.
3) Pembentukan Portofolio
Portofolio berarti sekumpulan investasi. Tahap ini menyangkut identifikasi
sekuritas-sekuritas mana yang akan dipilih, dan berapa proporsi dana yang akan
ditanamkan pada masing-masing sekuritas tersebut. Diperlukan strategi dalam
menentukan sekuritas-sekuritas yang nantinya akan dipilih untuk membentuk
suatu portofolio yang memiliki kinerja baik dan dengan tingkat pengembalian
sesuai dengan harapan investasi.
4) Melakukan revisi portofolio
Tahap ini merupakan pengulangan terhadap tiga tahap sebelumnya,
dengan maksud kalau perlu melakukan perubahan terhadap portofolio yang telah
dimiliki.
5) Evaluasi kinerja potofolio
Dalam tahap ini investor melakukan penilaian terhadap kinerja
(performance) portofolio, baik dalam aspek tingkat pengembalian yang diperoleh
maupun risiko yang ditanggung.
18
2.1.3
Pengertian portofolio
Setiap investasi akan menimbulkan suatu risiko, untuk meminimalkan
risiko tersebut dibentuklah suatu portofolio. Portofolio merupakan sekumpulan
investasi, dalam pembentukan portofolio, investor selalu menginginkan return
yang maksimal dengan risiko tertentu atau mencari risiko yang rendah dengan
return tertentu.
Pembentukan portofolio efisien haruslah berpegang pada asumsi tentang
bagaimana prilaku investor dalam pembuatan keputusan investasi yang
diambilnya (Tandelilin, 2001:74). Pembentukan portofolio juga memerlukan
adanya perhitungan return dan risiko portofolio. Return realisasi dan return
ekspektasi dari portofolio merupakan rata – rata tertimbang return dari return –
return seluruh sekuritas tunggal, akan tetapi risiko portofolio tidak harus sama
dengan rata – rata tertimbang risiko – risiko dari seluruh sekuritas tunggal.
2.1.4 Pengertian return dan risiko portofolio
1) Return Portofolio
Return merupakan hasil yang diperoleh dari investasi. Return dapat berupa
return realisasi yang sudah terjadi dan return ekspektasi yang belum terjadi, tetapi
diharapkan terjadi pada masa yang akan datang (expected return). Pengukuran
return realisasi banyak menggunakan return total yamg merupakan return
keseluruhan dari suatu investasi dari suatu periode tertentu. Perhitungan return ini
juga didasarkan pada data historis. Return realisasi ini dapat digunakan sebagai
19
salah satu pengukur kinerja perusahaan serta dapat sebagai dasar penentu return
ekspektasi dan risiko pada masa yang akan datang.
Return ekspektasi merupakan return yang diharapkan akan diperoleh oleh
investor pada masa yang akan datang. Jadi, perbedaan antara keduanya adalah
return realisasi sifatnya sudah terjadi, sedangkan return ekspektasi sifatnya belum
terjadi. Komponen return dalam investasi saham terdiri:
a) Yield, merupakan suatu penghasilan yang diperoleh oleh investor yang
menanamkan dananya pada sekuritas yang dibayarkan oleh penerbit
sekuritas tersebut.
b) Capital gain (loss), merupakan return yang diperoleh dari suatu sekuritas
yang diakibatkan oleh perubahan harga tersebut dalam suatu periode
tertentu, yang menjadi pengembalian (gain) jika pergerakan harga sekuritas
tersebut lebih tinggi dibanding waktu pembelian, dan jika sebaliknya akan
menjadi kerugian (loss).
Jogianto (1998:85) mengemukakan bahwa return sebagai hasil yang diperoleh
dari investasi dapat berupa return realisasi dan return ekspektasi.
a) Return realisasi (realized return) merupakan return yang telah terjadi dan
dihitung berdasarkan data historis. Return realisasi tersebut dapat berfungsi,
baik sebagai salah satu pengukur kinerja perusahaan maupun sebagai dasar
penentuan return ekspektasi dan risiko pada masa yang akan datang. Salah
satu jenis pengukuran return realisasi yang sering digunakan adalah return
total. Secara matematika return realisasi dapat dirumuskan sebagai berikut :
Rt
=
Pt  Pt 1  Dt
................................................................(1)
Pt 1
20
Keterangan :
Rt
= return saham pada periode ke-t
Pt
= harga saham pada periode ke-t
Pt-1
= harga saham pada periode ke t-1
Dt
= dividen (kas) periode ke-t
b)Return ekspektasi (expected return) adalah return yang diharapkan akan
diperoleh investor pada masa mendatang. Secara matematika return
ekspektasi dapat dirumuskan sebagai berikut :
n
E (R) =
 ( Ri.i) ....................................................................(2)
i 1
Keterangan :
E (R) = ekspektasi sutu sekuritas
Ri
= return masa depan ke-i
ρi
= probabilitas hasil masa depan ke-i
n
= jumlah periode waktu observasi
Definisi lain menyebutkan bahwa return ekspektasi dengan probabilitas
kejadian setiap periode yang sama dapat dirumuskan sebagai berikut (Husnan,
2001:51)
n
E (Ri) =

j 1
Rij
.......................................................................(3)
n
Keterangan :
E (Ri) = return ekspektasi suatu sekuritas ke-i
Rij
= hasil masa depan ke-j dari sekuritas i
n
= jumlah dari hasil masa depan
Return portofolio saham merupakan rata – rata tertimbang dari return
tiap - tiap saham yang termasuk di dalamnya, sehingga expected return portofolio
juga merupakan rata – rata tertimbang dari expected return saham yang ada
didalamnya, hal ini dapat dirumuskan sebagai berikut :
Rp =
 XiRi ...............................................................................(4)
21
Keterangan :
Rp
= expected return portofolio
Xi
= proporsi saham i
Ri
= rata - rata return saham i
2) Risiko Portofolio
Risiko merupakan penyimpangan tingkat pengembalian yang diperoleh
dari nilai yang diharapkan oleh seorang investor. Risiko yang diharapkan
tergantung pada keanekaragaman kemungkinan hasil yang diharapkan. Besarnya
risiko dapat diukur menggunakan standar deviasi (Sunariyah, 2000:184). Standar
deviasi dapat diformulasikan sebagai berikut :
  P[r  E ( R)] 2 .......................................................................................(5)
Keterangan :
= standar deviasi

P
= probabilitas kejadian dari setiap hasil yang diharapkan
R
= kemungkinan tingkat hasil
E(R) = hasil yang diharapkan
Di sisi lain risiko adalah kemungkinan terjadinya perbedaan antara return
yang sesungguhnya dengan return yang diharapakan. Pada prinsipnya risiko dapat
dikelompokkan menjadi dua bagian yakni (Jones, 1998:162)
a) Risiko tidak sistematik (unsystematic risk)
Merupakan risiko yang terkait dengan
suatu saham tertentu yang
umumnya dapat dihindari (avoidable) atau diperkecil melalui diversifikasi
(diversifiable).
22
b) Risiko sistematik (systematic risk)
Merupakan risiko pasar yang bersifat umum dan berlaku bagi semua
saham dalam pasar modal yang bersangkutan. Risiko ini tidak mungkin
dapat dihindari oleh investor melalui diversifikasi sekalipun.
Selain dua bagian risiko tersebut, ternyata sikap investor dalam menghadapi risiko
yang muncul dapat dibedakan menjadi tiga yakni :
a) Risk Averse adalah sikap seorang investor yang akan memilih investasi
yang memilki risiko yang lebih rendah dengan tingkat return yang
diharapkan sama besar.
b) Risk Neutral adalah sikap seorang investor yang akan memilih investasi
yang tingkat return-nya sesuai dengan risiko yang dihadapi.
c) Risk Seeker adalah sikap seorang investor yang akan memilih investasi
yang memilki risiko yang lebih tinggi dengan tingkat return yang
diharapkan sama besar.
2.1.5
Strategi portofolio
Strategi investasi umumnya ada dua macam, yakni strategi aktif (active
strategy) dan strategi pasif (passive strategy). Kedua strategi tersebut dapat
digunakan dalam pembentukan portofolio (Tandelilin, 2001:199).
1) Strategi Aktif
Strategi aktif merupakan tindakan investor secara aktif dalam melakukan
pemilihan dan jual beli saham, mencari informasi, mengikuti waktu dan
pergerakan harga saham serta berbagai tindakan aktif lainnya untuk
23
mendapatkan abnormal return. Tujuan dari strategi aktif adalah mendapatkan
return portofolio saham yang melebihi return portofolio saham yang diperoleh
dari strategi pasif. Ada tiga strategi yang biasa dipakai investor dalam
menjalankan strategi aktif portofolio saham, yakni :
a) pemilihan saham, maksudnya para investor secara aktif melakukan analisis
pemilihan saham – saham terbaik, yaitu saham yang memberikan
hubungan tingkat return dan risiko yang terbaik dibandingkan alternatif
lainnya. Analisis ini mendasarkan pada pendekatan analisis fundamental
guna mengetahui prospek saham tersebut pada masa datang.
b) rotasi sektor, strategi ini biasanya dilakukan oleh investor yang
berinvestasi pada saham – saham di dalam negeri saja. Dalam hal ini
investor dapat melakukan dua cara, yaitu :
(1) melakukan investasi pada saham – saham perusahaan yang
bergerak pada sektor tertentu untuk mengantisipasi perubahan
siklus ekonomi di kemudian hari. Investasi ini dilakukan jika
investor yakin bahwa suatu saham pada sektor tertentu akan
memberikan return yang lebih tinggi dibanding return pasar.
(2) melakukan modifikasi atau perubahan terhadap bobot portofolio
saham – saham pada sektor industri yang berbeda – beda, untuk
mengantisipasi perubahan siklus ekonomi, pertumbuhan dan nilai
saham
perusahaan.
Investor
akan
meningkatkan
bobot
portofolionya pada saham – saham sektor industri yang berprospek
24
cerah di masa datang dan akan mengurangi bobot portofolionya
pada saham sektor industri yang berprospek kurang baik.
c) strategi momentum harga, menyatakan bahwa pada waktu–waktu tertentu
harga pasar saham akan merefleksikan pergerakan earning ataupun
pertumbuhan perusahaan. Investor dengan menggunakan strategi ini akan
mencari waktu yang tepat pada saat perubahan harga yang terjadi bisa
memberikan tingkat pengembalian bagi investor melalui tindakan menjual
atau membeli saham.
2. Strategi Pasif
Strategi pasif merupakan tindakan investor yang cenderung pasif dalam
berinvestasi dalam saham dan hanya mendasarkan pergerakan sahamnya pada
pergerakan indeks pasar. Strategi pasif mendasarkan diri pada asumsi bahwa :
a) Pasar modal tidak melakukan mispricing.
b) Meskipun terjadi mispricing, para pemodal berpendapat bahwa
mereka tidak bisa mengidentifkasi dan memanfaatkannya.
Tujuan dari strategi pasif adalah memperoleh return portofolio sebesar return
indeks pasar dengan menekankan seminimal mungkin risiko dan biaya
investasi yang harus dikeluarkan, ada dua macam strategi pasif yakni :
a) strategi beli dan simpan, maksudnya adalah investor melakukan pembelian
sejumlah saham dan tetap memegangnya untuk beberapa waktu tertentu.
Tujuan dilakukannya strategi ini ialah untuk menghindari biaya transaksi
dan biaya tambahan lainnya yang biasanya terlalu tinggi.
25
b) strategi mengikuti indeks, merupakan strategi yang digambarkan sebagai
pembelian instrumen reksadana atau dana pensiun oleh investor. Investor
dalam strategi ini berharap bahwa kinerja investasinya pada kumpulan
saham dalam instrumen reksadana sudah merupakan duplikasi dari kinerja
indeks pasar, dengan kata lain investor berharap memperoleh return yang
sebanding dengan return pasar.
2.1.6 Capital Aset Pricing Model (CAPM)
Capital Aset Pricing Model (CAPM) mendasarkan diri atas teori
portofolio yang dirumuskan oleh Markowitz pada tahun 1952. CAPM merupakan
model untuk menentukan harga suatu aset. Model ini mendasarkan diri pada
kondisi ekuilibrium. Kondisi ekuilibrium menggambarkan tingkat pengembalian
yang diisyaratkan oleh pemodal untuk suatu saham akan dipengaruhi oleh risiko
saham tersebut, disini risiko bukan lagi diartikan sebagai deviasi standar tingkat
pengembalian, tetapi diukur dengan beta (β).
Menurut Husnan (1998:89) asumsi-asumsi yang mendasari CAPM adalah
sebagai berikut
1) Tidak ada biaya transaksi, dengan demikian pemodal bisa membeli
atau menjual sekuritas tanpa menanggung biaya transaksi.
2) Investasi sepenuhnya bisa dipecah-pecah (full divisble), artinya
pemodal bisa melakukan investasi sekecil apapun pada setiap jenis
sekuritas.
26
3) Tidak ada pajak penghasilan bagi para pemodal, dengan demikian
pemodal akan merasa indifferent antara memperoleh dividen ataupun
capital gain.
4) Para pemodal tidak bisa mempengaruhi harga saham dengan tindakan
membeli atau menjual saham.
5) Para pemodal akan bertindak semata-mata atas pertimbangan expected
value dan deviasi standar tingkat pengembalian portofolio.
6) Para pemodal bisa melakukan short sales
7) Terdapat riskles lending and borrowing rate, sehingga pemodal bisa
menyimpan dan meminjam dengan tingkat bunga yang sama.
8) Pemodal mempunyai pengharapan yang homogen. Ini berarti bahwa
para pemodal sepakat tentang expected return, deviasi standar, dan
koefisien korelasi tingkat pengembalian.
9) Semua aktiva bisa diperjualbelikan.
Model CAPM ini dalam mengukur risiko suatu saham memperhitungkan
risiko sebagai beta (β) yang menunjukkan kepekaan tingkat pengembalian suatu
saham terhadap tingkat pengembalian dari indeks pasar. Saham dengan beta lebih
besar dari 1 (β>1) disebut sebagai saham yang agresif dan jika kurang dari 1 (β<1)
disebut sebagai saham yang defensif. Apabila beta sama dengan 1 (β=1) berarti
return saham i berubah secara proposional dengan return market, dengan
mengetahui besarnya risiko suatu sekuritas maka kita dapat menghitung tingkat
return yang diharapkan pada sekuritas tersebut. Besar kecilnya beta menunjukkan
besar kecilnya kepekaan tingkat keuntungan saham (Ri) terhadap tingkat
27
pengembalian indeks pasar (Rm). Hubungan tersebut dapat dilihat pada gambar
berikut :
Gambar 2.1
Kondisi Beta dengan Sumbu Tegak Ri dan Sumbu Datar Rm
Ri
Ri-Rf
β>1
β=1
β<1
Rm-Rf
Rm
Sumber : Suad Husnan (2001:176)
Garis Pasar Modal (GPM) menggambarkan tradeoff antara
risiko
dan
return ekspektasi untuk portofolio efisien, tetapi bukan untuk sekuritas individual.
Garis lain yang menunjukkan tradeoff antara risiko dan return ekspektasi untuk
sekuritas individual disebut dengan Garis Pasar Sekuritas (Security Market
Line/SML). Garis Pasar Sekuritas (GPS) merupakan penggambaran secara grafis
dari model CAPM yang dapat dilihat pada Gambar 2.2 berikut :
28
Gambar 2.2
Garis Pasar Sekuritas (Security Market Line)
E(R)
SML
E(Rm)
Rf
β=1
β
Sumber : Suad Husnan (1998:92)
Gambar 2.2 menggambarkan risiko dan tingkat pengembalian dari semua
sekuritas baik efisien maupun tidak. Sumbu tegak menunjukkan tingkat
pengembalian yang diharapkan dari suatu investasi dan sumbu datarnya adalah
risiko (yang diukur dari beta). Garis yang menghubungkan antara kedua titik
disebut SML (Security Market Line). Tingkat pengembalian di investasi lain akan
berada pada garis tersebut sesuai dengan beta investasi-investasi tersebut.
Semakin besar risiko makin besar tingkat pengembalian yang diharapkan dari
investasi tersebut.
Garis Pasar Sekuritas (GPS) di atas tidak lain merupakan persamaan garis
regresi dengan intercept = Rf dan slope = E(Rm) – Rf. GPS ini merupakan
persamaan dari CAPM yang dikembangkan oleh Jack Treynor, William Sharpe,
29
dan John Litner pada pertengahan tahun 1960-an (Husnan, 1998:92) yang
diformulasikan sebagai berikut :
E(Ri) = Rf + (Rm- Rf)βi............................................................................(6)
Keterangan :
E(Ri) = Tingkat pengembalian yang diharapkan (Expected return)
Rf
= Tingkat pengembalian bebas risiko ( risk free )
Rm
= Tingkat pengembalian pasar (return market)
βi
= Risiko sistematis saham i
2.1.7 Strategi mengikuti indeks (indexing)
Strategi pasif menurut Boddie, Kane, dan Marcus (1996:183) sebenarnya
adalah suatu strategi portofolio yang ditempuh dengan mencari keamanan (rasa
aman), baik secara langsung maupun tidak langsung sehingga investor penganut
strategi ini diumpamakan seperti orang yang naif. Bentuk penerapan strategi
investasi pasif adalah dengan membuat suatu portofolio berdasarkan suatu indeks
yang valid dan disebut sebagai indexing.
Jones (2001:294) menyatakan bahwa indexing merupakan pendekatan
investasi yang mencoba untuk menyamai imbal hasil investasi dari sebuah
portofolio pembanding tertentu atau dalam hal ini adalah indeks harga saham.
Manajer investasi yang menerapkan cara ini pada dasarnya bertujuan untuk
memiripkan kinerja portofolio yang dimiliki dengan kinerja indeks dengan cara
memegang seluruh sekuritas yang ada di dalam indeks, tidak ada usaha untuk
mengutak – atik anggota portofolio dalam rangka mengalahkan kinerja indeks.
Strategi mengikuti indeks ini dalam prakteknya bisa digambarkan sebagai
pembelian instrumen reksadana atau dana pensiun oleh investor. Pembelian
instrumen reksadana menimbulkan harapan bagi investor bahwa kinerja
30
investasinya pada kumpulan saham-saham dalam instrumen reksadana sudah
merupakan duplikasi dari kinerja indeks pasar, dengan kata lain, investor berharap
akan memperoleh return yang sebanding dengan
return pasar (Tandelilin,
2001:201).
2.1.8 Indeks harga saham
Indeks Harga Saham merupakan indikator yang menggambarkan
pergerakan harga-harga saham (www.idx.co.id). Saat ini Bursa Efek Indonesia
(BEI) memiliki lima macam indeks harga saham, yaitu :
1) Indeks Harga Saham Gabungan (Composite Stock Price Indeks)
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) diperkenalkan untuk pertama kalinya
pada tanggal 1 April 1983 sebagai indikator untuk membantu pergerakan harga
saham. IHSG merupakan suatu nilai yang digunakan untuk membantu mengukur
kinerja saham yang tercatat di suatu bursa efek. Indeks ini mencakup pergerakan
harga seluruh saham biasa dan saham preferen yang tercatat di BEI. IHSG ini ada
yang dikeluarkan oleh institusi swasta tertentu seperti media massa keuangan dan
lain-lain.
Makna gabungan (composite) disini berarti kinerja saham yang dimasukkan
dalam perhitungan jumlah sahamnya lebih dari satu, ada yang 20 saham, 30
saham, 40 saham, 45 saham, dan bahkan seluruh saham yang tercatat pada bursa
efek tersebut. Rumus yang digunakan dalam perhitungan adalah membagi total
kapitalisasi pasar hari ini dengan nilai dasar. Nilai pasar diperoleh dari harga
saham dikalikan dengan jumlah saham outstanding. Nilai dasar adalah nilai pasar
31
pada hari dasar perhitungan indeks yaitu 10 Agustus 1982 sedangkan jumlah
saham yang tercatat pada waktu itu adalah sebanyak 13 saham.
2) Indeks Sektoral
Indeks Sektoral BEI adalah sub indeks dari IHSG. Semua saham yang tercatat
di BEI diklasifikasikan kedalam sembilan sektor menurut klasifikasi industri yang
telah ditetapkan BEI, yang diberi nama JASICA (Jakarta Stock Exchange
Industrial Classification). Kesembilan sektor tersebut adalah sektor-sektor primer
(pertanian dan pertambangan), sektor-sektor sekunder (industri dasar dan kimia,
aneka industri serta industri barang konsumsi), dan sektor-sektor tersier/jasa
(property dan real estate, transportasi dan infrastruktur, keuangan, perdagangan
serta jasa dan investasi). Indeks sektoral diperkenalkan pada tanggal 2 Januari
1996 dengan nilai awal indeks 100 untuk setiap sektor dan menggunakan hari
dasar tanggal 28 Desember 1995.
3) Indeks LQ 45 (Liquidity 45)
Indeks LQ 45 merupakan indeks yang diperkenalkan oleh BEI pada tanggal 24
Februari 1997 dengan hari dasar dimulai tanggal 13 Juli 1994. Indeks ini meliputi
45 jenis saham yang memiliki kapitalisasi pasar dan tingkat likuiditas tertinggi.
BEI terus memantau perkembangan komponen saham yang masuk dalam
perhitungan Indeks LQ 45. Setiap 6 bulan sekali akan dilakukan review
pergerakan rangking saham-saham yang digunakan dalam perhitungan Indeks LQ
45. Apabila terdapat saham yang tidak memiliki kriteria lagi, maka saham tersebut
harus dikeluarkan dari perhitungan indeks dan digantikan dengan saham lainnya
yang memenuhi kriteria.
32
Indeks LQ 45 tidak dimaksudkan untuk mengganti IHSG yang ada saat ini,
tetapi justru sebagai pelengkap IHSG dan Indeks Sektoral. Indeks LQ 45
khususnya bertujuan untuk menyediakan sarana yang objektif dan terpercaya bagi
analis keuangan, manajer investasi, investor dan pemerhati pasar modal lainnya
dalam memonitor pergerakan harga dari saham-saham yang aktif diperdagangkan.
Penentuan saham-saham yang termasuk Indeks LQ 45 menggunakan 2 tahap
seleksi. Pada tahap pertama kriteria-kriteria yang harus dipenuhi adalah sebagai
berikut
a) Saham tersebut berada di top 95 persen dari total rata-rata tahunan nilai
transaksi saham di pasar reguler.
b) Berada di top 90 persen dari rata-rata tahunan kapitalisasi pasar.
c) Telah tercatat di BEI selama paling sedikit 30 hari bursa.
Jika lolos seleksi tahap pertama maka dilanjutkan dengan tahap kedua
menyangkut kriteria sebagai berikut
a) Merupakan urutan tertinggi yang mewakili sektornya dalam klasifikasi
industri BEI (JASICA) sesuai dengan nilai kapitalisasi pasarnya.
b) Memiliki Porsi yang sama dengan sektor-sektor lain.
c) Merupakan urutan tertinggi berdasarkan frekuensi transaksi.
4) Jakarta Islamic Index
Dalam rangka mengembangkan pasar modal syariah, PT. Bursa Efek
Indonesia (BEI) bersama dengan PT. Danareksa Investment Management (DIM)
telah meluncurkan indeks saham yang dibuat berdasarkan Syariah Islam, yaitu
Jakarta Islamic Index (JII).
33
Jakarta Islamic Index terdiri dari 30 jenis saham yang dipilih dari sahamsaham yang sesuai dengan Syariah Islam. Penentuan kriteria pemilihan saham
dalam Jakarta Islamic Index melibatkan pihak Dewan Pengawas Syariah
PT. Danareksa Investment Management.
Jakarta Islamic Index dimaksudkan untuk digunakan sebagai tolok ukur
untuk mengukur kinerja suatu investasi pada saham dengan basis syariah. Melalui
Jakarta Islamic Index diharapkan dapat meningkatkan kepercayaan investor untuk
mengembangkan investasi dalam equity secara syariah.
5) Indeks Individual
Indeks Individual yaitu indeks harga masing-masing saham terhadap harga
dasarnya.
2.1.9 Tingkat bunga bebas risiko (risk free rate)
Risiko lain yang penting untuk diketahui dan berhubungan erat dalam
penelitian ini ialah Risk Free Rate dan Risk Premium selain risiko sistematis yang
dapat diukur dengan beta. Pengertian luas mengenai tingkat pengembalian bebas
risiko menurut Weston (1996:46) ialah sebagai berikut :
“Risk Free Rate (RFR) adalah tingkat suku bunga yang bebas dari semua
risiko, yaitu tingkat risiko sebenarnya ditambah premi untuk tingkat inflasi yang
diharapkan dan risk premium adalah tambahan pengembalian yang diterima
investor dengan mengambil jumlah tambahan risiko yang merupakan perbedaan
antara tingkat pengembalian yang diharapkan dari aset yang berisiko dengan aset
yang kurang berisiko.”
34
Sertifikat Bank Indonesia (SBI) sebagai aktiva yang bebas risiko
menjadikan investor mempunyai pilihan untuk memasukkan aktiva ini ke
portofolionya. Investor dapat memasukkan aktiva bebas risiko ke dalam portofolio
aktiva berisiko dalam bentuk simpanan (lending) atau pinjaman (borrowing).
Bentuk simpanan berarti membeli aktiva bebas risiko dan memasukkanya
kedalam portofolio aktiva berisiko, sedangkan bentuk pinjaman berarti meminjam
sejumlah dana dengan tingkat bunga bebas risiko (menjual aktiva bebas risiko)
dengan menggunakan dana ini untuk menambah proporsi di portofolio aktiva
berisiko.
2.1.10 Penilaian kinerja portofolio
Penilaian kinerja portofolio, memerlukan variabel – variabel yang relevan
seperti tingkat pengembalian dan risiko. Penilaian terhadap kinerja portofolio
merupakan langkah investor dalam mengevaluasi kinerja portofolionya. Pada
tahap ini kinerja portofolio akan dibandingkan dengan kinerja portofolio lainnya
melalui proses benchmarking. Proses benchmarking akan membandingkan kinerja
portofolio dari strategi aktif dengan kinerja portofolio dari strategi pasif. Evaluasi
kinerja portofolio ini diharapkan akan menjawab sejauh manakah portofolio yang
telah dibentuk mampu memberikan kinerja yang memuaskan investor.
Penilaian
kinerja
portofolio
saham
dapat
dilakukan
dengan
mempertimbangkan variabel return saja atau melibatkan variabel risiko. Penilaian
kinerja portofolio dengan melibatkan variabel risiko akan memberikan informasi
35
yang lebih mendalam mengenai keterkaitan suatu return yang dihasilkan oleh
portofolio dikaitkan dengan tingkat risiko untuk mencapai return tersebut.
Risk Adjusted Performance didasarkan pada gabungan antara return dan
risiko. Tiga ukuran yang dapat digunakan dalam mengevaluasi kinerja portofolio
dengan menggunakan risk adjusted performance, yakni sebagai berikut
(Tandelilin, 2001:324) :
1) Indeks Sharpe
Dalam indeks Sharpe, pengukuran kinerja portofolio dilakukan dengan
mengukur total risiko sebagai indikatornya. Indeks ini mendasarkan
perhitungannya pada konsep garis pasar modal (capital market line) sebagai
patok duga, yaitu dengan cara membagi premi risiko portofolio dengan standar
deviasinya.
Ŝp =
R p  RF
 TR
..........................................................................(7)
Keterangan :
Ŝp = indeks Sharpe
R p = return rata – rata portofolio selama jangka waktu
pengukuran
RF = return rata – rata aset bebas risiko selama jangka waktu
pengukuran
σTR = standar deviasi portofolio selama jangka waktu pengukuran
Standar deviasi merupakan risiko total yang merupakan penjumlahan dari
risiko pasar (systematic risk) dengan risiko tidak sistematik (unsystematic risk)
di dalam teori portofolio, dengan memperhitungkan risiko, makin tinggi nilai
pengukuran Sharpe, makin baik kinerja portofolio.
36
2) Indeks Treynor
Pengukuran kinerja portofolio dengan indeks Treynor dilakukan dengan
mengukur risiko sistematisnya (beta) sebagai indikator. Indeks ini melihat
kinerja portofolio dengan cara menghubungkan tingkat return portofolio
dengan besarnya risiko dari portofolio tersebut.
Ťp =
R p  RF
p
.........................................................................(8)
Keterangan :
Ťp = indeks Treynor
R p = return rata – rata portofolio selama jangka waktu pengukuran
RF = return rata – rata aset bebas risiko selama jangka waktu
pengukuran
βp = risiko sistematik dari portofolio selama jangka waktu pengukuran
Kinerja
portofolio
dengan
mempertimbangkan
risiko
sistematik
menginterpretasikan bahwa makin tinggi nilai pengukuran indeks Treynor,
makin baik kinerja portofolio.
Risiko yang dianggap relevan dalam indeks Sharpe adalah risiko total
(penjumlahan risiko sistematis dan risiko tidak sistematis), sedangkan pada
Indeks Treynor hanya menggunakan risiko sistematis (beta) saja, sehingga
apabila suatu portofolio dianggap telah terdiversifikasi dengan baik, berarti
return portofolio tersebut hampir semuanya dipengaruhi oleh return pasar,
sebaliknya jika return suatu portofolio hanya sebagian kecil saja yang
dipengaruhi return pasar, tentu saja lebih tepat jika digunakan indeks Sharpe.
Seberapa besar suatu portofolio terdiversifikasi dapat diketahui dengan
melakukan analisis regresi antara return portofolio dengan return pasar.
Berdasarkan hasil regresi tersebut akan diperoleh besarnya nilai kuadrat dari
37
koefisien korelasi yang sering disebut dengan koefisien determinasi (R2).
Semakin terdiversifikasi suatu portofolio maka nilai R2 portofolio tersebut
akan semakin mendekati 1,0. Nilai R2 sebesar 1,0 menunjukkan bahwa return
portofolio tersebut sepenuhnya dapat dijelaskan oleh return pasar.
3) Indeks Jensen
Pengukuran kinerja portofolio dengan indeks Jensen dilakukan dengan
mengukur risiko sistematisnya (beta) sebagai indikatornya. Indeks ini
menunjukkan perbedaan antara tingkat return aktual yang diperoleh portofolio
dengan tingkat return yang diharapkan jika portofolio tersebut berada pada
garis pasar modal (CML), makin tinggi nilai indeks Jensen makin baik kinerja
portofolionya.
Ĵp - Rf = αp + [Rf + ( Rm - Rf ) βp ] ...........................................(9)
Keterangan :
Ĵp
= return portofolio selama jangka waktu pengukuran t / indeks
Jensen
αp
= exess performance portofolio selama jangka waktu pengukuran
Rf
= return bebas risiko selama jangka waktu pengukuran
Rm
= return pasar selama jangka waktu pengukuran
βp
= risiko sistematik selama jangka waktu pengukuran
Persamaan indeks Jensen dengan indeks Treynor adalah bahwa kedua indeks
tersebut menggunakan garis pasar sekuritas sebagai dasar untuk membuat
persamaan, sedangkan perbedaannya adalah bahwa indeks Treynor sama
dengan slope garis yang menghubungkan posisi portofolio dengan return
bebas risiko, sedangkan indeks Jensen merupakan selisih antara return
portofolio dengan return portofolio yang tidak dikelola dengan cara khusus
38
(hanya mengikuti return pasar). Jadi, nilai indeks Jensen bisa saja lebih besar,
lebih kecil, atau sama dengan nol.
2.2 Pembahasan Hasil Penelitian Sebelumnya
1) Bambang Riyanto (2002), dengan judul “Pengujian CAPM di BEJ periode
1994-1997 : Standard CAPM ataukah Zero Beta?”. Hasil Penelitian ini
menyebutkan bahwa secara keseluruhan saham-saham yang dipilih sebagai
sampel yakni saham-saham yang cukup aktif diperdagangkan menunjukkan α
yang tidak signifikan dari nol sedangkan β signifikan dan positif.
Persamaannya dengan penelitian ini ialah dalam penggunaan CAPM di dalam
pembentukan portofolio saham menggunakan strategi aktif, sebagai tolak ukur
CAPM ialah β sebagai ukuran sistematis dari suatu portofolio atau sekuritas,
disamping itu penelitian ini juga menganalisis saham-saham yang secara aktif
diperdagangkan yakni saham yang termasuk ke dalam indeks LQ 45.
Perbedaannya, penelitian Suad Husnan
hanya menguji CAPM saja,
sedangkan dalam penelitian ini membandingkan portofolio yang dibentuk
berdasarkan CAPM dan strategi mengikuti indeks (indexing).
2) Penelitian sebelumnya dilakukan oleh Tona Aurora Lubis pada tahun 2003
dengan judul “Analisis Kinerja Reksadana Saham dan Reksadana Indeks
dalam Penilaian Tingkat Efisiensi Pasar Modal Indonesia” dengan
menggunakan analisis perbandingan kinerja secara raw performance dan risk
adjusted performance serta model CAPM dari Jensen. Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa kinerja Reksadana indeks LQ 45 lebih kecil dari kinerja
39
Reksadana saham (individual). Persamaannya dengan penelitian sekarang
adalah sama-sama menggunakan model risk adjusted performance di dalam
mengukur perbedaan kinerja, sedangkan perbedaannya terletak pada sampel
penelitiannya, yang mana dalam penelitian ini menggunakan saham-saham
yang termasuk dalam indeks LQ 45 serta selain menggunakan model risk
adjusted performance untuk mengukur perbedaan kinerja portofolio,
penelitian ini juga menggunakan analisis beda dua rata-rata dalam mengukur
kinerja portofolio.
3) Vivi Lestari (2005), dengan judul “Perbandingan Kinerja Reksa Dana Saham
dan Reksa Dana Indeks Saham di Pasar Modal Indonesia”. Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa terdapat perbedaan namun tidak signifikan antara kinerja
reksadana saham (secara individual) dengan kinerja reksadana indeks saham
di Pasar Modal Indonesia. Persamaannya dengan penelitian ini terletak pada
pengukuran
kinerja
portofolio
saham
yang
digunakan
sama-sama
menggunakan metode risk adjusted performance (Indeks Sharpe, Indeks
Treynor, dan Indeks Jensen). Perbedaanya ialah penelitian Vivi Lestari
menggunakan sampel penelitian berupa portofolio-portofolio saham yang
dibentuk oleh reksadana, dan menggunakan metode penggukuran yang
digunakan adalah selain metode risk adjusted performance (Indeks Sharpe,
Indeks Treynor, dan Indeks Jensen) juga menggunakan apprasial ratio.
4) Putu Astri Wulandari (2006), dengan judul “Analisis Kinerja Portofolio
Saham dengan Pendekatan Risk Adjusted Performance (Indeks Sharpe, Indeks
Treynor, Indeks Jensen) yang dibentuk berdasarkan Strategi Investasi
40
Momentum di Bursa Efek Jakarta”. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa
kinerja portofolio winner-loser saham individual dan saham industri
berdasarkan strategi investasi momentum dengan pendekatan risk adjusted
performance (indeks Sharpe, indeks Treynor, indeks Jensen) tidak berbeda
secara signifikan. Persamaannya dengan penelitian ini terletak pada model
pengukuran kinerja portofolio yang digunakan yakni dengan model risk
ajusted performance, sedangkan perbedaannya penelitian Astri Wulandari
hanya mengganalisis kinerja portofolio berdasarkan strategi portofolio aktif
yakni dengan membandingkan kinerja saham individual dengan saham
industri berdasarkan strategi momentum, dan penelitian sekarang mencoba
membandingkan kinerja portofolio berdasarkan strategi portofolio aktif dan
pasif pada saham-saham sektor perbankan yang termasuk indeks LQ 45.
5) I Gst. Bgs. Wiksuana (2007), dengan judul “Konsistensi Risk Adjusted
Performance sebagai Pengukur Kinerja Portofolio Saham di Bursa Efek
Jakarta”. Hasil penelitian ini mengemukakan bahwa dalam uji korelasi
Pearson Product Moment nilai indeks Sharpe dengan indeks Treynor
memiliki korelasi yang positif dan signifikan secara statistik sebagai pengukur
kinerja portofolio losser saham individual periode 3 bulan untuk kelompok
portofolio 20 saham dan 15 saham. Indeks Treynor dan Indeks Jensen
memiliki korelasi yang positif dan signifikan untuk kelompok portofolio 20
saham, 15 saham, dan 8 saham, sedangkan indeks Sharpe dengan indeks
Jensen menunjukkan korelasi yang positif dan tidak signifikan secara statistik
untuk semua kelompok portofolio. Jadi, para investor dan manajer investasi di
41
Bursa Efek Jakarta seyogianya menggunakan indeks Treynor sebagai
pengukur kinerja portofolio saham, karena terbukti selalu konsisten sebagai
alat ukur risk adjusted performance. Persamaannya dengan penelitian ini ialah
terletak pada model pengukuran kinerja portofolio yang digunakan ialah
dengan metode risk adjusted performance, sedangkan perbedaannya penelitian
Wiksuana hanya meneliti konsistensi metode risk adjusted performance
sebagai pengukur kinerja, dan penelitian sekarang membandingkan hasil
metode risk adjusted performance berdasarkan strategi aktif dan pasif pada
saham LQ 45.
42
Download