Tesis Ayu

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
PONV adalah mual dan/atau muntah yang terjadi dalam 24 jam pertama setelah
pembedahan. PONV terdiri dari 3 gejala utama yang dapat timbul segera atau setelah operasi.
Nausea/mual adalah sensasi subyektif akan keinginan untuk muntah tanpa gerakan ekspulsif
otot, jika berat akan berhubungan dengan peningkatan sekresi kelenjar ludah, gangguan
vasomotor dan berkeringat. Vomiting atau muntah adalah keluarnya isi lambung melalui
mulut. Retching adalah keinginan untuk muntah yang tidak produktif. PONV dapat
dikelompokkan ke dalam early PONV (mual dan/atau muntah yang terjadi dalam 2-6 jam
pascaoperasi), late PONV (mual dan/atau muntah yang terjadi dalam 6-24 jam pascaoperasi)
dan delayed PONV (mual dan/atau muntah yang timbul setelah 24 jam pascaoperasi). PONV
yang timbul segera atau lambat dapat berbeda dalam patogenesisnya. Penggunaan anestesi
volatil merupakan penyebab PONV yang timbul segera, penggunaan opioid dan motion
sickness akibat perpindahan pasien merupakan penyebab dari PONV yang timbul lambat.
Anestesi umum dengan menggunakan anesthesia inhalasi berhubungan dengan insiden
PONV yang bervariasi antara 20-30%. Hal ini dapat meningkatkan ketidaknyamanan pasien,
meningkatkan biaya yang dibutuhkan dan meningkatkan efek samping yang timbul. PONV
diketahui bersifat multifaktorial, termasuk diantaranya faktor individu pasien, anestesi dan
faktor pembedahan. (Miler, 2010).
2.1 Patofisiologi Mual dan Muntah Pascaoperasi
Vomiting/muntah
adalah
keluarnya isi gastrointestinal melalui mulut.
6
Retching adalah kontraksi otot
respirasi (diafragma, dada, dinding abdomen)
yang spasmodik dan ritmik disertai dengan terdorongnya lambung dan esofagus tanpa disertai
dengan keluarnya isi gastrointestinal. Muntah dan retching adalah respon pasien yang dapat
dilihat, sedangkan mual lebih bersifat subyektif dan merupakan sensasi tidak menyenangkan
yang berhubungan dengan kecenderungan untuk muntah. Muntah tidak sama dengan refluk
atau regurgitasi yang terjadi secara pasif akibat relaksasi sfingter esofagus pada pasien koma
atau pada infant. Muntah dapat dibedakan menjadi 3 fase, yaitu fase preejeksi, fase ejeksi,
dan fase postejeksi. Fase preejeksi didominasi oleh rasa mual dan berhubungan dengan
perubahan otonomik dan gastrointestinal. Gejala awal yang terjadi adalah saliva kental,
berkeringat, pucat dan takikardi. Fase preejeksi bisa berakhir dalam menit, jam bahkan
sampai beberapa hari, seperti tampak pada pasien yang mendapat kemoterapi dan kehamilan,
serta tidak selalu berakhir dengan muntah. Fase ejeksi terdiri dari retching dan muntah.
Retching merupakan aksi gerakan inspiratori untuk melawan glottis yang menutup. Pada
muntah kontraksi rektus abdominalis dan otot obliquus eksternal menyebabkan lambung
mengeluarkan isinya. Berbeda dengan retching, muntah diikuti oleh peninggian diafragma
dan gelombang tekanan positif thorak. Sfingter atas esofagus dan esofagus relaksasi, otot
abdomen dan diafragma berkontraksi, dan tekanan intrathorak dan intraabdomen meningkat
sekitar 100 mmHg. Fase postejeksi dinyatakan dengan pemulihan muntah dan gejala sisa
muntah. Muntah dapat muncul lagi dengan melalui fase praejeksi dan ejeksi lagi (Miller,
2010).
2.2 Neurofisiologi Mual dan Muntah
Muntah adalah suatu reflek yang terintegrasi secara komplek dan terdiri dari 3 komponen
utama yaitu detektor emetik, mekanisme integrasi dan output otonom dan somatik. Sistem
saraf pusat menghubungkan antara lengkung afferen (sensoris) dan efferen dari reflek muntah
dan membentuk interaksi antara sistem otonom dan somatomotorik. Salah satu contoh
koordinasi ini yaitu retching tidak akan dimulai sampai kontraksi retrograde (dimulai dari
usus halus yang kemudian bergerak retrograde menuju antrum) mencapai antrum, dan
kontraksi retrograde tidak akan dimulai sampai lambung proksimal mengalami relaksasi
(Guyton & Hall, 2006).
Reseptor dan hubungan aferen dari chemoreseptor trigger zone (CTZ) dapat
diidentifikasi lebih baik dibandingkan dengan pusat muntah. CTZ terbentang di dasar
ventrikel IV dekat permukaan medula oblongata pada area postrema. Area postrema
mendapat vaskularisasi dari arteri cerebelaris inferior. Pusat muntah yang berada di formatio
reticularis lateralis medula oblongata, memperantarai reflek muntah. Hal ini sangat berkaitan
dengan nukleus traktus solitarius dan area postrema. CTZ berada di area postrema.
Rangsangan perifer dan sentral dapat mempengaruhi pusat muntah maupun CTZ. Rangsang
aferen yang berasal dari faring, traktus gastrointestinal, mediastinum, pelvis renalis,
peritoneum, dan genitalia dapat merangsang pusat muntah. Rangsangan sentral yang berasal
dari kortek cerebri, pusat kortek dan batang otak yang lebih tinggi, nukleus traktus solitarius,
CTZ, sistem vestibular di telinga tengah dan pusat penglihatan juga mempengaruhi pusat
muntah karena area postrema tidak memiliki sawar darah otak yang efektif, obat maupun
bahan kimia yang terdapat dalam darah atau cairan serebrospinal dapat secara langsung
mempengaruhi CTZ. Reseptor 5-hydroxytryptamine type 3 (5-HT3), dopamin type 2 (D2),
opioid dan neurokinin-1 (NK-1) ditemukan di CTZ. Nukleus traktus solitarius memiliki
banyak reseptor enkefalin, histaminergik (H1) dan muskarinik kolinergik (M). Reseptorreseptor ini menyampaikan pesan ke pusat muntah apabila terangsang. Pusat muntah
mengatur impuls aferen melalui nervus vagus, nervus phrenicus dan nervus spinalis pada
otot-otot nafas dan abdominal untuk memulai reflek muntah.
Area postrema memiliki dua fungsi utama pada proses muntah yaitu memberi respon
pada aferen vagal baik secara langsung maupun tidak langsung dan mendeteksi bahan kimia
yang dapat menstimuli muntah di sirkulasi atau cairan serebro spinalis. Bahan-bahan yang
bersifat emetogenik dapat bersifat endogen (dopamin, asetilkolin dan enkefalin) atau eksogen
(cisplatin, copper sulfat dan emetine). Muntah yang dipicu oleh stress mungkin berhubungan
dengan pengeluaran epinefrin yang berlebih pada cerebro spinal fluid (CSF), kemudian
mengaktivasi area postrema untuk merangsang muntah. Pemberian katekolamin secara
intracerebroventrikular juga menunjukkan bahwa hal ini dapat merangsang muntah. Agen
endogen dapat berkumpul didalam darah atau CSF selama tingkat patologis, seperti uremia,
yang berhubungan dengan mual dan muntah (Lobato, dkk., 2008; Guyton & Hall, 2006).
cemas
Nyeri
Bau, lihat, rasa
Pusat kortikal
VOMITING
CENTER
cerebelum
Sistem vestibular
Input Glossopharyngeal
and trigeminal
Faring
CTZ
Nukleus tractus
solitarius
Stimulasi Sympatis
dan parasympatis
Anesthesia umum
Opioid
Kelainan metabolik
Jantung
Traktus Biliaris
Traktusgastrointestinal
Traktus Genitourinarius
Gambar 2.1 Bagan neurofisiologi mual muntah
2.3 Faktor Resiko dan Pencetus
PONV merupakan masalah yang sering terjadi pada unit perawatan post anaesthesia
care unit (PACU) dan penting untuk diketahui karena efek negatifnya, kenyamanan pasien,
rujukan pasien yang tidak terencana sebelumnya, dan penundaan pemindahan pasien dari
ruang pulih pascaoperasi. Faktor yang terlibat pada PONV termasuk nyeri dan penggunaan
opiat untuk menangani nyeri yang terjadi, obat atau teknik anestesi, perubahan posisi dan
pergerakan, ambulasi khusus, lokasi operasi dan faktor pasien termasuk riwayat motion
sickness atau PONV, obesitas, wanita, dan juga siklus menstruasi. Interaksi ini dan faktor
yang kompleks akan dinilai selama fase dan pengalaman operasi. Berdasarkan berbagai
impuls afferen yang dapat menstimuli pusat muntah, terdapat berbagai faktor yang
berhubungan dengan terjadinya PONV yaitu faktor pasien, faktor pembedahan dan faktor
anestesi.
2.3.1 Faktor pasien
Pasien dengan faktor resiko terjadinya PONV adalah wanita, tidak merokok, adanya
riwayat PONV atau motion sickness. Pasien dengan gangguan gastrointestinal seperti hiatus
hernia, refluk gastroesofageal, atau kelainan metabolik diabetes melitus, uremia dan kelainan
elektrolit juga beresiko tinggi untuk mengalami PONV. Kehamilan dan kecemasan
preoperatif juga meningkatkan resiko terjadinya PONV, demikian halnya pada pasien yang
akan menjalani kemoterapi atau radioterapi. Apfel dkk membuat sistem penilaian sederhana
yang terdiri dari 4 faktor resiko utama terjadinya PONV yaitu wanita, riwayat PONV atau
motion sickness sebelumnya, tidak merokok, dan penggunaan opioid pada periode
pascaoperasi, jika tidak terdapat faktor resiko, terdapat satu, dua, tiga atau empat dari faktor
resiko tersebut diatas, insiden PONV adalah kurang lebih 10%, 21%, 39%, 61% dan 79%
(Gan, TJ. 2007).
Gambar
2.2 Skor resiko prediksi PONV yang disederhanakan (dikutip dari Miller Ronald, 2009)
2.3.2 Faktor pembedahan
Prosedur intraabdomen dihubungkan dengan kejadian PONV yang lebih sering jika
dibandingkan dengan prosedur yang dilakukan di luar kavum abdomen. Stimulasi mekanik
dari usus dapat menyebabkan rangsangan vagal dan aferen splanik yang mengirim sinyal ke
sistem saraf pusat (SSP). Stimulasi mekanik dapat meningkatkan pelepasan 5-HT dan
mensensitisasi jalur muntah terhadap stimulus yang lain.
Operasi di daerah telinga, hidung, tenggorokan, gigi, daerah payudara, operasi ortopedi
di daerah bahu, laparoskopi, operasi ginekologi dan operasi stripping varicose vena
merupakan operasi yang memiliki resiko tinggi terjadinya PONV. Resiko terjadinya PONV
juga meningkat pada pasien pediatri yang menjalani operasi strabismus, adenotonsilektomi
dan orchidopeksi. Resiko terjadinya PONV meningkat dengan peningkatan durasi operasi
karena operasi yang lama akan meningkatkan waktu paparan dengan obat anestesi yang
bersifat emetogenik.
Terdapat angka kejadian PONV yang tinggi (lebih dari 80%) baik itu pada orang dewasa
maupun anak-anak setelah menjalani operasi mata, tetapi tidak semua tipe pembedahan mata
terpengaruh. Operasi strabismus dihubungkan dengan peningkatan insiden PONV dua kali
lebih tinggi jika dibandingkan dengan tipe pembedahan mata yang lain, tetapi jarang terjadi
pada 2 jam pertama setelah operasi. Dua tipe emesis yang terjadi digambarkan sebagai
bentuk dini dimana muncul di ruang operasi pada saat akhir prosedur atau di ruang pulih
pascaoperasi, dan emesis yang tertunda (delayed emesis), yang muncul kemudian yaitu 24
jam setelah pembedahan. Pada satu studi menunjukkan bahwa 41% anak-anak muntah saat
masih di rumah sakit sedangkan 50-56% muntah terjadi saat di rumah, utamanya selama hari
pertama. Studi lain menunjukkan hasil signifikan kejadian PONV yang lebih rendah setelah
pemulangan pasien (post discharged PONV). Yentis dan Bissonnette menunjukkan 17-27%
kejadian muntah sebelum dan 34-45% kejadian setelah pulang dari rumah sakit. Beberapa
teori telah dikemukakan untuk menghitung angka kejadian PONV yang tinggi pada prosedur
mata khusus seperti traksi pada otot-otot ekstraokuler, menelan cairan pascaoperasi, dan
stimulasi mekanisme vestibular dengan distorsi visual. Kejadian muntah tidak tergantung
dengan berapa jumlah otot yang dioperasi, spontan ataukah ventilasi terkontrol, akupuntur,
lidokain, gender, penggunaan kodein ataukah acetaminophen, atau lamanya anestesia.
Kejadian PONV setelah tonsilektomi dan adenoidektomi pada anak-anak tinggi, lebih
dari 76%. Tingginya kejadian PONV ini diperkirakan karena darah mengiritasi kemoreseptor
gastrointestinal dan nervus trigeminal aferen dapat distimulasi selama pembedahan dan
pemberian opioid pascaoperasi. Pembedahan telinga tengah dihubungkan dengan tingginya
kejadian PON, hal ini kemungkinan berhubungan dengan terlibatnya jalur stimulasi
vestibular aferen dalam motion sickness.
Seperti yang telah dikemukakan, wanita lebih sensitif terhadap rangsangan muntah
dibandingkan dengan laki-laki periode perioperatif. Pada pembedahan ginekologi didapatkan
kejadian PONV yang tinggi. Selain itu, stimulasi uterus, ligamen, vaginal dan servik telah
menunjukkan hantaran afferen ke medula spinalis melalui nervus hipogastrik dan pelvis.
Muntah dapat lebih sering terjadi pada operasi yang dilakukan pemasangan tampon vagina
dan dilatasi servik. Insiden PONV tinggi setelah laparoskopi diagnostik dan terapeutik,
pembedahan ginekologi mayor dan histerektomi, dilatasi dan kuretase.
2.3.3. Faktor anestesi
Faktor anestesi yang mempengaruhi terjadinya PONV diantaranya adalah premedikasi,
teknik anestesi, pilihan obat anestesi (nitrous okside, volatil, obat induksi intravena, opioid,
dan obat reversal pelumpuh otot), keadekuatan pemberian cairan intravena dan penanganan
nyeri pascaoperasi. Hipotensi yang terjadi selama induksi dan pembedahan berhubungan
dengan peningkatan resiko terjadinya PONV.
2.3.3.1. Faktor preoperatif
Menelan makanan pada periode preoperatif dapat meningkatkan resiko muntah selama
pascaoperasi, sehingga puasa sebelum anestesi dapat sebagai pencegahan terjadinya aspirasi.
Namun puasa tidak memiliki efek yang mampu diprediksi secara absolut pada isi lambung
karena pengosongan lambung bervariasi tergantung individu dan jenis makanan yang ditelan
(contohnya makanan berlemak akan dicerna dengan lambat). Puasa itu sendiri dapat
menyebabkan mual. Mayoritas wanita dilaporkan mual setelah puasa selama 7 jam,
sementara hampir lebih dari sepertiga laki-laki mengalami hal yang sama setelah berpuasa
sedikit lebih lama.
2.3.3.2. Faktor perioperatif
Pada periode preoperatif biasanya diberikan premedikasi berupa analgesik dan/atau anti
emetik. Morfin memiliki efek stimulasi maupun inhibisi muntah tergantung dosis yang
digunakan, dan opioid mampu mengaktivasi pusat emetik. Efek mual dari opioid
berhubungan dengan stimulasi reseptor mu pada area postrema. Lepasnya area ini memblok
efek emetik opioid. Fentanyl memiliki efek anti emetik yang luas pada dosis yang lebih
besar, memblok emesis yang diinduksi oleh morfin, apomorfine, copper sulfat dan cisplatin,
dan efek ini dapat diantagonis oleh nalokson. Efek samping muntah dari morfin kurang
berhubungan dengan muntah dibandingkan dengan metabolitnya. Morfin 6-glukoronide
memiliki efek emetik yang lebih poten dibandingkan dengan bentuk asalnya.
Benzodiazepine sering digunakan saat premedikasi untuk menurunkan kecemasan dan
menimbulkan amnesia. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa midazolam efektif untuk
menurunkan muntah pascaoperasi. Selain efek ansiolitik yang dimilikinya, midazolam juga
mempengaruhi efek gamma-amino butiryc acid dan menurunkan aktifitas dopaminergik dan
menurunkan pelepasan 5-HT di otak.
Anestesia umum dengan penggunaan gas anestesi inhalasi sangat berhubungan dengan
kejadian muntah pascaoperasi. PONV yang berhubungan dengan penggunaan gas anestesi
inhalasi terjadi dalam beberapa jam pertama setelah berakhirnya operasi, meskipun hal ini
tergantung pada durasi pemakaian gas anestesi inhalasi. Agen volatil dapat bekerja melalui
perubahan tekanan telinga tengah, tetapi sepertinya volatil menyebabkan muntah melalui
kerjanya di usus. Ventilasi dengan masker menekan gas ke perut, menyebabkan distensi dan
muntah melalui aktivasi vagal abdominal dan afferent splanik. Hal ini lebih sering terjadi
pada pasien obesitas yang biasanya mengalami kesulitan ventilasi. Level pengalaman seorang
ahli anestesi dalam melakukan ventilasi dengan masker memiliki efek terhadap kejadian
muntah, dengan kejadian lebih tinggi pada praktisi yang kurang pengalaman, kemungkinan
berhubungan dengan tendensi yang lebih besar untuk mendorong udara ke dalam perut. Telah
dikemukakan bahwa menghindari ventilasi tekanan positif sebelum intubasi dapat
menurunkan kejadian muntah. Insiden PONV yang tinggi ditemukan terjadi pada penggunaan
gas N2O, N2O secara langsung menstimuli pusat muntah dan berinteraksi dengan reseptor
opioid. N2O juga mengakibatkan distensi ruang udara di telinga tengah dan gastrointestinal,
sehingga mempengaruhi sistem vestibular dan meningkatkan input visceral ke pusat muntah.
Peningkatan aktivitasi simpatetik yang dihubungkan dengan penggunaan nitrous okside
adalah kontributor yang paling memungkinkan terjadinya muntah pascaoperasi. Agen volatil
anestesi menekan lambung dan motilitas usus kecil. Mekanisme yang diketahui secara umum
terlibat adalah periferal, pelepasan asetilkolin dari pleksus mesenterikus atau peningkatan
pada discharge simpatis yang bekerja langsung maupun tidak langsung.
Tidak ada bukti yang menyebutkan bahwa total anestesi intravena (TIVA) dengan
propofol lebih menurunkan insiden PONV dibandingkan dengan anestesi inhalasi.
Mekanismenya belum jelas, diperkirakan karena propofol bekerja dengan menurunkan level
5-HT di area postrema. Propofol yang diberikan hanya untuk induksi saja tidak memiliki efek
yang relevan terhadap insiden PONV. Efek anti emetik propofol bersifat dose-dependent, dan
kontrol terhadap PONV lebih baik jika pasien menerima infus propofol intravena kontinyu.
Efek anti emetik propofol lebih lemah jika diberikan sebagai obat induksi saja, kemungkinan
disebabkan karena konsentrasi plasma propofol pada periode pemulihan awal berada dibawah
konsentrasi efektif untuk mencegah PONV (Becker D, 2010).
Pelumpuh otot non-depolarisasi biasanya digunakan pada anestesi umum. Penggunaan
inhibitor kolinesterase digunakan untuk menghilangkan efek sisa pelumpuh otot, dan secara
teori dapat meningkatkan PONV, dengan penggunaan pelumpuh otot kerja pendek dan
pelumpuh otot kerja sedang, terjadinya pemulihan spontan dari pelumpuh otot meminimalkan
PONV yang berhubungan dengan pemakaian obat reversal pelumpuh otot. Efek neostigmin
dalam menyebabkan PONV masih belum diketahui. Perbedaan ini mungkin berhubungan
dengan faktor lainnya seperti umur pasien (dewasa, anak-anak), jenis operasi yang dilakukan
(perifer, ginekologi), obat induksi intravena (thiopental, propofol) dan dosis obat neostigmin
dan antikolinergik yang digunakan (glycopyrrolate, atropin). Wanita, anak-anak lebih
cenderung mengalami PONV dan operasi laparoskopi berhubungan dengan resiko tinggi
terjadinya PONV. Atropin, tidak seperti antikolinergik glycopyrrolate, dapat melewati sawar
darah otak dan dapat bereaksi sebagai anti emetik. Studi metaanalisis terbaru menunjukkan
bahwa neostigmin yang diberikan bersama dengan glycopyrrolate atau atropin berpotensi
meningkatkan insiden PONV. Dalam hal memperhatikan keselamatan pasien, obat reversal
pelumpuh otot harus digunakan dalam dosis tepat jika benar-benar diperlukan.
Teknik anestesi regional memiliki keuntungan dibandingkan dengan anestesi umum
dalam hal penggunaan nitrous okside, gas anestesi volatil. Meskipun penggunaan opiod
dihindari, tapi PONV masih dapat terjadi jika opioid diberikan intravena ataupun ke ruang
epidural maupun ruang intratekal. Penggunaan opioid yang lipofilik seperti fentanyl atau
sufentanyl membatasi penyebaran opioid kearah cefalad dan dapat menurunkan resiko
terjadinya muntah akibat pemakaian opioid. Hipotensi yang terjadi sekunder akibat blok
simpatis yang terjadi juga berperan dalam terjadinya PONV. Hal ini diperkirakan karena
hipotensi menyebabkan iskemi batang otak yang kemudian mengaktifkan pusat muntah di
medula. Hipotensi juga menyebabkan iskemi di usus, yang mengakibatkan pelepasan zat-zat
emetogenik dari usus halus. Hipotesis yang menghubungkan hipotensi dan PONV masih
perlu diklarifikasi dan mekanisme yang menghubungkan hipotensi dengan mual dan muntah
masih perlu dijelaskan (Becker D, 2010).
2.3.3.3. Faktor pascaoperasi
Nyeri pascaoperasi, terutama nyeri visceral atau nyeri pelvis sering dikatakan sebagai
penyebab PONV. Nyeri dapat memperpanjang waktu pengosongan lambung dan dapat
berperan dalam menyebabkan muntah setelah operasi. Pendekatan multimodal dalam
menangani nyeri dapat menurunkan nyeri pascaoperasi dengan menggunakan kombinasi
opioid sistemik, obat antiinflamasi non steroid, blok neuroaksial, blok saraf regional, dan
melalui infiltrasi lokal di sekitar luka operasi. Pendekatan dengan menggunakan opioid
dengan dosis terkecil untuk mendapatkan analgesia yang adekuat penting dilakukan untuk
membatasi terjadinya mual dan muntah yang diakibatkan oleh penggunaan opioid. Gerakan
yang tiba-tiba, perubahan posisi pasien selama perpindahan pasien dan pergerakan juga dapat
mencetuskan mual dan muntah, terutama pasien yang mendapatkan opioid. Organ vestibular
dapat disensitisasi oleh pergerakan akibat difusi opioid dan nitrous okside yang digunakan ke
dalam telinga tengah (Becker D, 2010).
2.4 Pencegahan dan Penanganan PONV
Telah disepakati bahwa profilaksis dan terapi terhadap PONV harus mempertimbangkan
faktor-faktor seperti tingkat resiko pasien terhadap PONV, morbiditas yang terkait dengan
PONV. Tidak semua pasien memerlukan profilaksis terhadap PONV. Secara umum, pasien
dengan resiko ringan terjadinya PONV tidak menunjukkan keuntungan jika diberikan
profilaksis PONV. Sebaliknya profilaksis PONV harus diberikan pada pasien dengan resiko
sedang berat terjadinya PONV.
Alur penanganan PONV yang bisa dijadikan pedoman adalah:
1. Identifikasi faktor resiko primer terjadinya PONV
2. Turunkan faktor resiko dasar untuk terjadinya PONV
3. Tentukan regimen anti emetik monoterapi dan kombinasi terapi yang paling efektif
untuk profilaksis PONV, termasuk pendekatan farmakologi dan non farmakologi
4. Tentukan pendekatan terapi PONV yang optimal dengan/atau profilaksis PONV
5. Tentukan dosis dan waktu pemberian profilaksis yang tepat
6. Evaluasi cost-effectiveness (C/E) dari berbagai strategi penanganan PONV
7. Buat algoritme untuk mengidentifikasi individu dengan resiko meningkat dan anjuran
untuk strategi terapi yang efektif
Perkiraan resiko pasien untuk mengalami PONV mengindikasikan pasien mana yang
paling memberikan keuntungan jika diberikan terapi profilaksis anti emetik. Penggunaan anti
emetik profilaksis harus didasarkan pada penilaian resiko pasien untuk mengalami PONV.
Dengan kata lain, anti emetik profilaksis hanya diberikan jika faktor resiko pasien cukup
tinggi.
Mengurangi faktor resiko dasar dapat menurunkan insiden PONV secara signifikan.
Penggunaan regional anestesi lebih menurunkan insiden PONV dibandingkan dengan
anestesi umum. Sinclair dkk menemukan bahwa resiko PONV sembilan kali lebih kecil pada
pada pasien dengan regional anestesi dibandingkan dengan anestesi umum, jika diperlukan
anestesi umum, penggunaan propofol untuk induksi dan pemeliharaan anestesi akan
menurunkan insiden PONV. Anti emetik pilihan pertama dan kedua yang direkomendasikan
untuk diberikan sebagai profilaksis pada pasien dewasa adalah 5-HT3 reseptor antagonis
(ondansetron, granisetron, dolasetron dan tropisetron), steroid (deksametason), phenothiazine
(promethazine
dan
prochlorperazine),
phenylethylamine
(efedrin),
butyrophenone
(droperidol, haloperidol), antihistamin (dimenhydrinate), dan antikolinergik (skopolamin).
Obat anti emetik ini direkomendasikan pada pasien dengan resiko sedang berat untuk
mengalami PONV (Lobato, dkk., 2006).
Gambar 2.3 Algorithm for management of perioperatif nausea and vomiting (PONV), dikutip dari
Society for ambulatory aenesthesia guidelines for the management of postoperatif nausea and
vomiting, 2007)
Pasien dewasa dengan resiko sedang berat harus mendapat terapi kombinasi dengan satu
atau lebih obat profilaksis dari kelas yang berbeda. Secara umum, kombinasi terapi
memberikan keuntungan yang lebih besar dibandingkan dengan monoterapi. Obat dengan
mekanisme kerja yang berbeda harus digunakan untuk memberikan keuntungan yang
optimal.
Tabel 2.1. Dosis dan waktu pemberian anti emetik untuk pencegahan Postoperatif Nausea and
Vomiting (PONV), dikutip dari Society for ambulatory aenesthesia guidelines for the management of
postoperatif nausea and vomiting, 2007
Terjadinya PONV pada periode pascaoperasi harus diterapi dengan memberikan anti
emetik yang berbeda dari anti emetik yang telah diberikan sebagai profilaksis, atau jika
belum diberikan profilaksis yang diberikan sebagai pilihan pertama adalah antagonis reseptor
5-HT3. Memberikan kembali medikasi yang telah diberikan dalam profilaksis PONV dalam
waktu 6 jam pascaoperasi tidak memberikan keuntungan tambahan, jika keluhan kembali
timbul setelah 6 jam pascaoperasi, maka dapat diberikan dosis kedua 5-HT3 reseptor
antagonis ataupun butyrophenone (droperidol, haloperidol), jika pasien mengeluh mual dan
muntah, maka pada saat yang sama harus dilakukan evaluasi untuk mengeluarkan faktor obat
atau mekanis yang memicu terjadinya mual dan muntah, meskipun profilaksis PONV tidak
dapat menghilangkan resiko PONV, namun dapat menurunkan insiden PONV secara
signifikan. Strategi menurunkan ambang resiko untuk PONV adalah sebagai berikut:
1. Gunakan anestesi regional
2. Gunakan propofol untuk induksi dan rumatan anestesi
3. Gunakan suplementasi oksigen intraoperatif
4. Beri hidrasi yang cukup
5. Hindari Nitrous Okside
6. Hindari agen volatil
7. Minimalisasi pemberian opioid intraoperatif dan postoperatif
8. Minimalisasi penggunaan neostigmin
2.5 Ondansetron
2.5.1 Struktur Kimia Ondansetron
Gambar 2.4. Struktur Kimia Ondansetron
Formula molekul ondansetron adalah C18H19N3O•HCl•2H2O, dengan berat molekul
sebesar 365.9. Ondansetron hydrocloride dihydrate adalah serbuk warna putih yang larut
dalam air dan normal salin.
2.5.2 Farmakodinamik Ondansetron
Ondansetron adalah derivat carbazalone yang secara struktural berhubungan dengan
serotonin dan bekerja spesifik sebagai antagonis reseptor subtype 5-HT3, tanpa
mempengaruhi reseptor dopamin, histamin, adrenergik ataupun kolinergik sehingga
ondansetron tidak memiliki efek neurologis, yang terbalik dengan droperidol dan
metokloperamid.
Ondansetron adalah antagonis reseptor 5-HT3 yang bekerja secara selektif. Meskipun
mekanisme kerjanya belum diketahui dengan jelas, namun ondansetron bukan merupakan
antagonis reseptor dopamin. Reseptor serotonin tipe 5- HT3 berada diperifer (di ujung nervus
vagus) maupun di sentral yaitu di chemoreceptor trigger zone pada area postrema. Efek
sitotoksik kemoterapi tampaknya berhubungan dengan pelepasan serotonin dari sel
enterochromaffin di usus halus. Serotonin yang dilepaskan akan merangsang afferen vagus
melalui reseptor 5- HT3 dan memulai reflek muntah.
Pada pasien normal, pemberian ondansetron secara intravena dengan dosis 0,15 mg/kg
tidak memiliki efek tehadap motilitas esofagus, motilitas lambung, tekanan sfingter esofagus
bawah atau waktu transit usus halus. Pemberian ondansetron dalam beberapa hari
memperlambat waktu transit di kolon pada pasien normal. Ondansetron tidak memiliki efek
pada konsentrasi prolaktin plasma. Ondansetron tidak memperberat efek depresan yang
ditimbulkan oleh alfentanyl atau derajat blokade neuromuskular yang ditimbulkan oleh
atrakurium. Interaksi dengan anestesi umum dan lokal masih belum dilakukan penelitian
(Katzung, dkk., 2012).
2.5.3 Farmakokinetik Ondansetron
Ondansetron diabsorbsi secara baik dari traktus gastrointestinal akan mengalami
metabolisme awal. Bioaviabilitas rata-rata pada subyek sehat setelah pemberian tablet 8 mg
dosis tunggal adalah kurang lebih 56%. Ondansetron yang ada secara sistemik tidak
mengalami peningkatan yang proporsional terhadap dosis yang diberikan. Konsentrasi
sistemik setelah pemberian ondansetron tablet 16 mg adalah 24% lebih besar dibandingkan
konsentrasi yang diperkirakan setelah pemberian tablet 8 mg. Hal ini menunjukkan bahwa
terjadi penurunan metabolisme awal setelah pemberian dosis oral yang lebih besar.
Bioaviabilitas juga sedikit dipengaruhi oleh adanya makanan namun tidak terpengaruh oleh
antasida.
Ondansetron mengalami metabolisme yang luas, dengan sekitar 5% dari dosis yang
tertera ditemukan di urine dalam bentuk aslinya. Jalur metabolisme utamanya adalah melalui
hydroxylasi cincin indole yang diikuti dengan konjugasi glucoronideatau sulfate. Meskipun
beberapa metabolit yang tidak mengalami konjugasi memiliki aktifitas farmakologi, namun
metabolit ini tidak ditemukan di plasma dalam konsentrasi yang signifikan untuk
menimbulkan aktifitas biologis ondansetron. Ondansetron efektif jika diberikan secara oral
ataupun intravena dan memiliki bioaviabilitas pada pemberian secara oral sebesar 60%
dengan konsentrasi terapeutik dalam darah tercapai dalam 30 sampai 60 menit setelah
pemberian. Metabolisme menjadi metabolit tidak aktif terjadi terutama di hati dan waktu
paruh eliminasinya adalah 3-4 jam.
Penelitian metabolisme secara in vitro menunjukkan ondansetron adalah merupakan
substrat untuk enzim hepar sitokrom P-450, termasuk CYP1A2, CYP2D6 dan CYP3A4. Pada
metabolisme ondansetron secara keseluruhan, CYP3A4 memegang peranan penting karena
berbagai enzim metabolik terlibat dalam metabolisme ondansetron maka hambatan atau
hilangnya salah satu enzim (misalnya defisiensi CYP2D6 secara genetik) dikompensasi oleh
enzim yang lainnya kemudian menghasilkan sedikit perubahan eliminasi ondansetron secara
keseluruhan. Eliminasi ondansetron dapat dipengaruhi oleh adanya rangsangan pada sitokrom
P-450. Pada penelitian farmakokinetik terhadap 16 orang pasien epilepsi yang mendapat
perangsang CYP3A4, karbamazepin, atau fenitoin menunjukkan penurunan konsentrasi
sistemik, konsentrasi maksimal dan waktu paruh ondansetron. Hal ini menghasilkan
peningkatan kliren yang signifikan. Pada manusia, carmustine, etoposide, dan cispalstin tidak
memiliki efek pada farmakokinetik ondansetron.
Perbedaan jenis kelamin menentukan dosis ondansetron pada pemberian tunggal.
Absorbsi ondansetron lebih besar dan lebih cepat pada wanita dibandingkan dengan pria.
Kliren yang lebih lambat pada wanita, volume distribusi yang lebih lambat (disesuaikan
dengan berat badan) dan bioaviabilitas absolut yang lebih besar menghasilkan level plasma
ondansetron yang lebih besar. Level plasma yang lebih besar ini dapat dijelaskan oleh
perbedaan berat badan antara pria dan wanita. Masih belum diketahui apakah perbedaan yang
berhubungan dengan jenis kelamin ini merupakan hal yang penting secara klinis. Penurunan
kliren dan peningkatan waktu paruh eliminasi dapat dilihat pada pasien dengan umur diatas
75 tahun. Uji klinis pada pasien kanker menunjukkan efikasi dan keamanan yang sama pada
pasien berumur 65 tahun dan pasien yang berumur dibawah 65 tahun. Tidak ada dosis yang
dianjurkan pada pasien geriatri. Pada pasien dengan gangguan fungsi hepar ringan sampai
sedang, kliren akan menurun 2 kalinya dan waktu paruh rata-rata akan meningkat 11,6 jam
dibandingkan dengan 5,7 jam pada pasien normal. Pada pasien dengan gangguan fungi hepar
berat (Child-Pugh skor diatas 10), kliren akan berkurang 2-3 kali dan volume distribusi akan
meningkat dengan akibat akan meningkatkan waktu paruh menjadi 20 jam. Pada pasien
dengan gangguan fungsi hepar berat, dosis total dalam sehari tidak boleh melebihi 8 mg
karena kliren ginjal memiliki kontribusi yang sangat sedikit (5%), gangguan fungsi ginjal
tidak memiliki pengaruh yang signifikan pada kliren total ondansetron. Pasien bedah yang
mendapatkan ondansetron 1 jam sebelum induksi dengan anestesi umum balans (thiopental,
methohexital, atau thiamylal, opioid: alfentanyl, sufentanyl, morfin atau fentanyl, nitrous
okside, blok neuromuskuler: suksinilkolin/ kurare atau gallamine dan/ atau vecuronium,
pankuronium atau atrakurium, dan suplemental isofluran atau enflurane) pada penelitian
double blind yang meliputi 865 pasien, ondansetron tablet (16 mg) lebih efektif secara
signifikan dibandingkan dengan placebo untuk mencegah mual muntah pascaoperasi.
Reaksi hipersensitifitas dilaporkan terjadi pada pasien yang hipersensitif terhadap
antagonis reseptor 5-HT3 lainnya. Ondansetron bukan merupakan obat yang merangsang
peristaltik lambung maupun usus. Penggunaan ondansetron pada pasien yang menjalani
pembedahan abdomen ataupun pasien kemoterapi memicu mual dan muntah karena menutupi
terjadinya ileus yang progresif dan/ atau distensi gaster.
2.5.4 Interaksi Ondansetron dengan Obat Lain
Ondansetron sendiri tidak meningkatkan atau menghambat sitokrom P-450, suatu enzim
metabolisme di hepar. Karena ondansetron dimetabolisme oleh enzim metabolisme hepar
yaitu sitokrom P-450 (CYP3A4, CYP2D6, CYP1A2) maka obat - obat yang meningkatkan
atau menghambat enzim-enzim ini akan merubah klirennya dan akhirnya akan
mempengaruhi waktu paruh ondansetron. Pada pasien yang diterapi dengan obat yang
meningkatkan aktifitas CYP3A4 (seperti fenitoin, karbamazepin, dan rifampicin), maka
kliren ondansetron meningkat secara signifikan dan konsentrasi ondansetron dalam darah
menurun. Meskipun tidak ada reaksi farmakokinetik antara ondansetron dan tramadol, namun
data pada suatu penelitian kecil menunjukkan bahwa ondansetron dapat berhubungan dengan
peningkatan pemberian tramadol pada pasien (Katzung, dkk., 2012).
2.5.5 Efek samping Ondansetron
Efek samping yang paling sering terjadi adalah nyeri kepala dan diare. Peningkatan
sementara konsentrasi plasma enzim transaminase hepar hanya ditemukan pada pasien yang
mendapat kemoterapi, hal ini lebih disebabkan oleh obat kemoterapinya dibandingkan
dengan ondansetronnya sendiri. Aritmia jantung dan gangguan konduksi (AV blok)
dilaporkan terjadi setelah pemberian intravena ondansetron dan metocloperamide. Suatu
episode berat dari iskemi miokard akut dilaporkan terjadi setelah pemberian intravena pada
pasien yang tidak memiliki riwayat kelainan jantung. Ondansetron dan antagonis reseptor 5HT3 lainnya dapat menyebabkan sedikit pemanjangan interval QT pada elektrokardiografi
pasien, tapi hal ini berbeda dengan yang ditemukan pada pasien yang mendapat droperidol.
Efek samping yang terjadi adalah:
1. Rash, terjadi pada kurang lebih 1% pasien yang menerima ondansetron
2. Kasus yang jarang terjadi dilaporkan adanya reaksi anafilaksis, spasme bronkus,
takikardi, angina (chest pain), hipokalemi, perubahan EKG, oklusi pembuluh darah
dan kejang grand mal. Kecuali spasme bronkus dan reaksi anafilaksis, hubungan
dengan ondansetron masih belum jelas.
3. Efek samping kardiovaskuler jarang terjadi dan biasanya terjadi pada pemberian
ondansetron secara intravena, perubahan EKG sementara termasuk pemanjangan
interval QT dilaporkan terjadi.
4. Flushing merupakan reaksi hipersensitifas yang jarang terjadi, kadang reaksi
hipersensitifitas yang berat (misalnya reaksi anafilaksis/ anafilaktoid, angioedema,
spasme bronkus, pemendekan nafas, hipotensi, edema laring, stridor) juga
dilaporkan telah terjadi. Spasme laring, syok, dan henti jantung juga bisa terjadi
selama reaksi alergi pada pasien yang mendapatkan injeksi ondansetron.
5. Urtikaria pada kulit
6. Kebutaan sementara, terutama setelah pemberian secara intravena.
Gejala terjadinya efek samping ini dilaporkan berkurang dalam beberapa menit sampai 48
jam.
Diperkirakan bahwa pada setiap 100 pasien yang mendapat ondansetron untuk mencegah
terjadinya mual muntah pascaoperasi, 20 pasien tidak mengalami muntah (number needed to
treat) dan 3 orang mengalami nyeri kepala (number needed to harm). Sedasi, hipotensi,
disforia dan gejala ekstrapiramidal yang terjadi pada pemberian obat anti emetik alternatif
(promethazine, droperidol metokloperamid) tidak terjadi pada pemberian ondansetron.
Ondansetron 4-8 mg intravena (pemberian dalam 2-5 menit sebelum induksi anestesi) sangat
efektif dalam menurunkan insiden mual muntah pascaoperasi pada pasien-pasien tertentu
(operasi ginekologi, operasi telinga tengah). Pemberian ondansetron secara oral (0,15 mg/kg)
atau intravena (0,05-0,15 mg/kg) efektif untuk menurunkan kejadian muntah pada pasien
dewasa muda yang menjalani operasi rawat jalan seperti tonsilektomi dan operasi strabismus.
Ondansetron profilaksis 1-8 mg intravena (0,1 mg/kg sampai 4 mg pada pasien anak) efektif
untuk terapi mual dan muntah pascaoperasi.
2.6. Deksametason
2.6.1 Struktur Kimia Deksametason
Deksametason dengan rumus molekul C
22H 29
FO5 dengan nama kimia 9-Fluoro-
11β,17,21-trihidroksi-16α-metilpregna-1-,4-diena,3,20-dion.
Gambar 2.5. Struktur kimia deksametason.
Deksametason merupakan obat golongan kortikosteroid. Kortikosteroid adalah suatu
hormon yang dibuat oleh bagian korteks (luar) dari kelenjar adrenal. Kortikosteroid terbagi
menjadi 2 kelompok yaitu, kelompok glukokortikoid dan mineralokortikoid. Glukokortikoid
berperan mengendalikan metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein, juga bertindak sebagai
anti inflamasi dengan cara menghambat pelepasan fosfolipid serta dapat pula menurunkan
kinerja eosinofil. Mineralokortikoid berfungsi mengatur kadar elektrolit dan air dengan cara
penahanan garam di ginjal. Berdasarkan mekanisme kerjanya, deksametason digolongkan ke
dalam kelompok glukokortikoid (Allen K, 2007).
2.6.2 Farmakodinamik Deksametason
Deksametason dapat menghambat pelepasan asam arakidonat, modulasi substansi yang
berasal dari metabolisme asam arakidonat, dan pengurangan jumlah 5-HT3. Deksametason
mempunyai efek anti emetik, diduga melalui mekanisme menghambat pelepasan
prostaglandin secara sentral sehingga terjadi penurunan kadar 5-HT3 di sistem saraf pusat,
menghambat pelepasan serotonin di saluran cerna sehingga tidak terjadi ikatan serotonin
dengan reseptor 5-HT3, pelepasan endorfin, dan anti inflamasi yang kuat di daerah
pembedahan dan diduga glukokortikoid mempunyai efek yang bervariasi pada susunan saraf
pusat dan akan mempengaruhi regio neurotransmite, densitas reseptor, transduksi sinyal, dan
konfigurasi neuron (Allen K, 2007). Reseptor glukokortikoid juga ditemukan pada nukleus
traktus solitaries, nukleus raphe, dan area postrema, dimana inti-inti tersebut berpengaruh
secara signifikan terhadap aktivitas mual muntah. Efek anti emetik deksametason juga
dihubungkan dengan supresi dari adrenokortikotropin yang telah diteliti responnya terhadap
stimuli pergerakan sehingga deksametason sangat efektif dalam penanganan motion sickness.
Kebanyakan efek farmakologis glukokortikoid tergantung pada kombinasi dengan
reseptor-reseptor steroi intrasel pada sel-sel target dan mempengaruhi DNA, transkipsi gen,
serta protein ribosom, oleh karena itu efeknya tidak langsung dan onset kerjanya relatif
lambat (1-6 jam).
Deksametason memiliki waktu paruh 36-72 jam dengan waktu kerja yang lama sekitar
dua jam dan sangat baik diberikan sebagai profilakis sesaat sesudah induksi dibandingkan
saat selesai anestesi untuk mencegah mual dan muntah pascaoperasi. Secara umum dosis
deksametason yang efektif untuk mencegah mual dan muntah pascaoperasi berkisar 8-10 mg.
Efektifitas, keamanan, dan biaya yang relatif murah menyebabkan deksametason
direkomendasikan sebagai pilihan pertama untuk kombinasi dengan anti emetik yang lain.
Dosis lebih kecil (2,5-5 mg) dilaporkan juga efektif mencegah mual dan muntah
pascaoperasi. Pada penelitian yang dilakukan oleh Apfel dkk (2007) disebutkan bahwa
deksametason dengan dosis 2,5 mg efektif menurunkan kejadian mual dan muntah
pascaoperasi laparaskopi ginekologi.
2.6.3 Farmakokinetik Deksametason
Pemberian obat secara intravena, obat langsung berada di sirkulasi sistemik,
didistribusikan, sebagian berikatan dengan protein plasma dan sebagian lagi berada dalam
bentuk bebas. Bentuk oral dan intramuskular diabsorpsi dengan baik oleh mukosa saluran
gastrointestinal, ruang sinovial, dan otot. Presentase yang terikat protein tidak diketahui.
Kebanyakan (paling sedikit 70%) dimetabolisme oleh hati.
Metabolit
inaktif
setelah
penyuntikan intravena, sebagian besar dalam waktu 72 jam disekresi dalam urin, di feses dan
empedu hampir tidak ada (Katzung, dkk., 2012)
.2.6.4 Interaksi Deksametason dengan Obat Lain
Glukokortikoid meningkatkan potensi obat, yang dipakai secara bersama-sama.termasuk
aspirin dan obat anti inflamasi nonsteroid (meningkatkan pendarahan dan tukak
gastrointestinal), diuretik tidak hemat kalium (peningkatan pelepasan kalium menyebabkan
hipokelami).
2.6.5 Efek Samping Deksametason
1. Hiperglikemia perioperatif : studi meta analisis mengatakan bahwa kadar gula darah
meningkat 24 jam setelah pemberian deksametason. Hiperglikemia bisa terjadi pada
pasien tanpa atau dengan diabetes mellitus. Efek glukokotikoid deksametason mampu
meningkatkan glukoneogenesis, yaitu pembentukan glukosa yang mengaktivasi
konversi dari protein menjadi glukosa melalui lintasan glukoneogenesis di dalam hati
dan menstimulasi konversi lebih lanjut menjadi glikogen, sehingga beresiko
meningkatkan kadar gula darah.
2. Meningkatkan resiko infeksi: suatu studi case-control pada 63 pasien menyimpulkan
bahwa penggunaan deksametason pada PONV meningkatkan resiko infeksi
pascaoperasi. Mekanismenya tidak diketahui dengan jelas.
3. Menghambat penyembuhan luka: studi yang dilakukan pada hewan mengatakan
bahwa pemberian deksametason menurunkan proses kolagenisasi, epitelisasi, dan
konten fibroblast.
4. Ulkus lambung: tidak terdapat data pasien-pasien yang diberikan dosis tunggal
deksametason terkena ulkus lambung, tapi studi pada tikus menyatakan bahwa pada
hewan yang diberikan deksametason 1 mg/kgBB intramuskular sebanyak 30%
menderita ulkus lambung.
5. Mengiritasi perineum: kejadian ini tidak sepenuhnya dimegerti, tapi pemberian
deksametason intravena pada pasien yang sadar memberikan efek nyeri pada
perineum, teriritasi, terbakar. Kemungkinan fosfat ester pada deksametason sodium
fosfat yang mengambil peran terhadap hal ini.
2.7 Kombinasi Anti Muntah Dalam Mencegah Mual dan Muntah Pascaoperasi
Terapi kombinasi terbukti lebih baik dibandingkan terapi tunggal dalam mencegah mual
dan muntah pascaoperasi. Adanya berbagai reseptor muntah di pusat muntah dan CTZ
mendukung penggunaan kombinasi obat-obat anti muntah. Kombinasi antagonis reseptor
5HT-3, bersama droperidol, deksametason lebih baik jika dibandingkan dengan penggunaan
obat tunggal antagonis reseptor 5-HT3, droperidol atau deksametason (Lobato dkk., 2008).
Dalam uji coba klinis skala besar, Apfel dkk (2007) secara stimultan mengevaluasi
efikasi anti muntah tiga obat yang berbeda yaitu ondansetron, deksametason, dan droperidol.
Obat-obat ini menunjukkan efektifitas yang sama dengan cara kerja yang berbeda.
Peningkatan jumlah anti muntah yang diberikan dapat mengurangi insiden mual muntah
pascaoperasi dari 52% jika tanpa anti muntah, sampai masing-masing 37%, 28%, dan 22%,
ketika menggunakan satu, dua, dan tiga obat anti muntah (Lobato dkk., 2008).
Kombinasi obat telah banyak dilaporkan sangat bermanfaat dalam profilaksis mual dan
muntah pascaoperasi, khususnya pada pasien-pasien resiko tinggi untuk terjadinya muntah.
Pemberian kombinasi ondansetron dan deksametason dimungkinkan melalui cara-cara antara
lain deksametason dapat menurunkan level 5-HT3 di jaringan saraf dengan menurunkan
prekursor dari tritphan, efek anti inflamasi dari deksametason dapat mencegah pelepasan
serotonin di usus, dan deksametason dapat meningkatkan efek umum dari anti emetik dengan
meningkatkan sensibilitas dari reseptor (Song dkk., 2011).
Download