BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Stroke Menurut batasan WHO stroke secara klinis didefinisikan sebagai gangguan fungsi otak yang terjadi secara mendadak dengan tanda klinis baik fokal maupun global yang berlangsung lebih dari 24 jam, mengakibatkan kematian sebelum 24 jam dengan penyebab gangguan peredaran darah otak. Gejala dan tanda yang timbul sesuai dengan daerah fokal di otak yang terganggu (Bonita R, 1992). Stroke adalah penyakit pada otak berupa gangguan fungsi syaraf lokal dan/atau global, munculnya mendadak, progresif, dan cepat. Gangguan fungsi syaraf pada stroke disebabkan oleh gangguan peredaran darah otak non traumatik. Gangguan syaraf tersebut menimbulkan gejala antara lain: kelumpuhan wajah atau anggota badan, bicara tidak lancar, bicara tidak jelas (pelo), mungkin perubahan kesadaran, gangguan penglihatan, dan lain-lain. Didefinisikan sebagai stroke jika pernah didiagnosis menderita penyakit stroke oleh tenaga kesehatan (dokter/perawat/bidan) atau belum pernah didiagnosis menderita penyakit stroke oleh tenaga kesehatan tetapi pernah mengalami secara mendadak keluhan kelumpuhan pada satu sisi tubuh atau kelumpuhan pada satu sisi tubuh yang disertai kesemutan atau baal satu sisi tubuh atau mulut menjadi mencong tanpa kelumpuhan otot mata atau bicara pelo atau sulit bicara/komunikasi dan atau tidak mengerti pembicaraan (Riskesdas, 2013). Dari berbagai definisi disimpulkan, stroke adalah serangan mendadak yang terjadi di otak dan dapat mengakibatkan kerusakan pada sebagian atau keseluruhan otak yang disebabkan gangguan pembuluh darah yang mensuplai darah ke otak, biasanya berlangsung lebih dari 24 jam. 2.2. Epidemiologi Stroke Meningkatnya angka penderita stroke menimbulkan masalah kesehatan yang serius selain dari dampak sosial dan ekonomi yang diakibatkan kecacatan juga penyakit ini menimbulkan kematian mendadak. Di Amerika diperkirakan Universitas Sumatera Utara biaya perawatan pada 2 juta penderita pasca stroke adalah 65,5 miliar dolar pada tahun 2008. Hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 2001 memperlihatkan peningkatan proporsi angka kesakitan pada penyakit jantung dan stroke (Depkes, 2007). Menurut Riskesdas 2013, prevalensi stroke di Indonesia meningkat menjadi 12,1 per 1000 populasi dibanding dengan tahun 2007 (8.3 per 1000 populasi). Prevalensi Stroke berdasarkan diagnosis nakes tertinggi di Sulawesi Utara (10,8‰), diikuti DI Yogyakarta (10,3‰), Bangka Belitung dan DKI Jakarta masing-masing 9,7 per mil. Prevalensi Stroke berdasarkan terdiagnosis nakes dan gejala tertinggi terdapat di Sulawesi Selatan (17,9‰), DI Yogyakarta (16,9‰), Sulawesi Tengah (16,6‰), diikuti Jawa Timur sebesar 16 per mil. Stroke dapat mengenai semua umur, namun sebagian besar dijumpai pada usia diatas 45 tahun. Insidens stroke meningkat seiring meningkatnya umur. Insidens stroke pada usia 80-90 tahuan 300 per 10.000 penduduk, sementara pada usia 30-40 tahun 3 per 10.000 penduduk (Bustan, 2007). Prevalensi penyakit stroke pada kelompok yang didiagnosis tenaga kesehatan gejala nya meningkat seiring dengan bertambahnya umur, tertinggi pada umur ≥75 tahun (43,1‰ dan 67,0‰). Prevalensi stroke yang terdiagnosis nakes maupun berdasarkan diagnosis atau gejala sama tinggi pada laki-laki dan perempuan (Riskesdas, 2013). Prevalensi stroke cenderung lebih tinggi pada masyarakat dengan pendidikan rendah baik yang didiagnosis tenaga kesehatan (16,5‰) maupun diagnosis nakes atau gejala (32,8‰). Prevalensi stroke di kota lebih tinggi dari di desa, baik berdasarkan diagnosis nakes (8,2‰) maupun berdasarkan diagnosis nakes atau gejala (12,7‰). Prevalensi lebih tinggi pada masyarakat yang tidak bekerja baik yang didiagnosis nakes (11,4‰) maupun yang didiagnosis nakes atau gejala (18‰) (Riskesdas, 2013). Faktor-faktor penyebab terjadinya stroke yaitu faktor pola makan, gaya hidup dan hipertensi, diabetes, hiperlipidemia dll. Merokok merupakan bagian dari gaya hidup yang menyebabkan stroke. Demikian juga kurang aktivitas fisik, obesitas, diet yang tidak sehat, konsumsi alkohol, dan stres psikologis merupakan faktor risiko terjadinya stroke. Universitas Sumatera Utara 2.3 Klasifikasi Stroke Menurut patofisiologinya, stroke diklasifikasikan menjadi stroke iskemik dan stroke hemoragik. Dua kategori ini merupakan suatu kondisi yang berbeda, pada stroke hemorragik terdapat timbunan darah di subarahchnoid atau intraserebral, sedangkan stroke iskemik terjadi karena kurangnya suplai darah ke otak sehingga kebutuhan oksigen dan nutrisi kurang mencukupi. Insidens stroke hemorragik antara 15-30% dan stroke iskemik antara 70-85% (Iskandar, 2004). 2.3.1 Stroke Iskemik Stroke iskemik memiliki proporsi yang terbesar dan umumnya mendominasi kelompok usia menengah dan usia tua. Tipe stroke ini berkaitan dengan kejadian atherosklerosis yang dicetuskan oleh predisposisi hipertensi. Dalam prakteknya kurang lebih 83% dari seluruh kejadian stroke berupa stroke iskemik yang terdiri dari 57% stroke disebabkan oleh trombosis arteri, 15 % emboli serebri , transient ischemic attack (TIA) 6 % dan lain-lain sebesar 5% (Iskandar, 2004). Pada stroke iskemik pada dasarnya terjadi akibat kurangnya aliran darah ke otak. Penurunan aliran darah yang semakin parah dapat menyebabkan kematian jaringan otak, yang disebut infark. Perjalanan klinis pasien dengan stroke infark akan sebanding dengan tingkat penurunan aliran darah ke jaringan otak, perjalanan klinis ini dibagi menjadi empat tahapan (Misbach, 1999), yaitu : a. Transient Ischemic Attack (TIA) Adalah suatu gangguan akut dari fungsi fokal serebral yang gejalanya berlangsung kurang dari 24 jam dan disebabkan oleh thrombus atau emboli. Satu sampai dua jam biasanya TIA dapat ditangani, namun apabila sampai tiga jam juga masih belum teratasi sekitar 50% pasien sudah terdapat infark dilihat dari hasil MRI. b. Reversible Ischemic Neurological Defisit (RIND) Seperti juga TIA gejala neurologi dari RIND akan menghilang lebih dari 24 jam, biasanya RIND akan membaik dalam waktu 24-48 jam. Universitas Sumatera Utara c. Stroke In Evolution (Progressing Stroke) Pada keadaan ini gejala atau tanda neurologis fokal terus memburuk setelah 48 jam. Defisit neurologis yang timbul berlangsung secara bertahap dari yang ringan menjadi lebih berat. d. Complete Stroke Non Hemorrhagic Kelainan neurologis yang sudah menetap tidak berkembang lagi bergantung daerah bagian otak mana yang mengalami infark. 2.3.2 Stroke Hemorragik Stroke hemorragik menempati urutan kedua terbanyak setelah stroke iskemik. Dalam praktek 15-30% dari seluruh gangguan peredaran darah otak berupa stroke hemorragik, yang terdiri dari perdarahan intraserebral dan perdarahan subarachnoid. Perdarahan intraserebral lebih sering dijumapi dari pada perdarahan subaraknoid (Iskandar, 2004) : a. Perdarahan Intraserebral (PIS) Perdarahan intraserebral terjadi di dalam substansi atau parenkim otak. Penyebab utamanya adalah hipertensi, khususnya yang tidak terkontrol. Penyebab lain yaitu malformasi arteriovenosa (MVA), alkoholisme, diskrasia darah dan angiopati (Caplan, 2000). b. Perdarahan Subarachnoid (PSA) Penyebab tersering dari perdarahan ini adalah rupturnya aneurisma arterial yang terletak di otak dan perdarahan dari malformasi vaskular yang terletak dekat dengan piamater. Penyebab lain dapat berupa akibat trauma, angiopati amiloid. Bila pecahnya aneurisma ini berhubungan dengan Cairan Serebrospinalis (CSS) akan meningkatkan Tekanan Intrakranial (TIK), bila terus berlanjut dan tidak segera ditangani maka perdarahan akan berlanjut ke arah koma dan kematian. Aneurisma pada perdarahan subarachnoid muncul dari arteri-arteri di luar parenkim dan aneurisma ini mempunyai ukuran lebih besar (Misbach,1999). Universitas Sumatera Utara 2.4. Faktor Risiko Stroke Stroke bersifat multikausal. Berbagai faktor risiko yang berkaitan dapat menyebabkan terjadinya stroke. Faktor risiko stroke dibedakan atas faktor risiko yang dapat diubah (dapat modifikasi) dan faktor risiko yang tidak dapat diubah (tidak dapat di modifikasi). Faktor risiko stroke yang tak dapat dimodifikasi, meliputi (Sacco R.L and B. Albala, 2001; Caplan, L.R, 2000; Abu Odah dan Abu Ahmad, 2014) : 1. Usia yang meningkat 2. Jenis kelamin (pria lebih sering terkena dibanding wanita) 3. Ras atau etnis 4. Riwayat keluarga 5. Riwayat TIA Sedangkan faktor risiko stroke yang dapat dimodifikasi meliputi 1. Faktor risiko yang sudah terbukti (intervensi berrmanfaat) a. Hipertensi b. Fibrilasi atrium c. Merokok d. Gaya hidup e. Hiperurisemia f. Dislipidemia g. Diabetes h. Hiperlipidemia i. Stenosis karotis j. Riwayat serangan iskemik sepintas k. Obesitas/kegemukan l. Penyakit sel sabit 2. Faktor risiko yang belum terbukti (intervensi belum terbukti bermanfaat) a. Penyakit Jantung 1) Infark myokard 2) Disfungsi ventrikel kiri Universitas Sumatera Utara 3) Penyakit katup jantung 4) Hipertrofi ventrikel kiri 5) Patensi foramen ovale 6) Aneurisma septum atrium 7) Kalsifikasi mitral anuler b. Ruptur katup mitral c. Ateroma arkus aorta d. Inaktivitas fisik e. Pola diet buruk f. Lipoprotein g. Kosumsi alkohol berlebihan h. Antibodi antifosfolipid i. Hiperhomosisteinemia j. Kondisi hiperkoagulasi k. Terapi sulih hormon l. Kontrasepsi oral m. Hiperfibrinogenemia n. Penyalahgunaan narkoba o. Migren p. Displasia fibromuskuler 3. Infeksi / Inflamasi Kronis 2.5. Patofisiologi Stroke Patofisiologi stroke dapat dibedakan atas : 2.5.1. Patofisiologi Stroke Iskemik Stroke iskemik terjadi oleh karena berkurangnya aliran darah ke otak atau bagian otak sehingga terjadi kekurangan persediaan oksigen dan glucose serta zatzat lain yang penting dan diperlukan untuk kehidupan sel-sel otak, dan pembuangan CO2 dan asam laktat. Universitas Sumatera Utara Ada beberapa faktor yang mempengaruhi aliran darah di otak, antara lain : 1. Keadaan pembuluh darah, dapat menyempit akibat aterosklerosis atau tersumbat oleh trombus atau embolus. 2. Keadaan darah: viskositas darah yang meningkat dan hematokrit yang meningkat menyebabkan aliran darah ke otak lebih lambat, anemia yang berat menyebabkan oksigenasi otak menurun. 3. Tekanan darah sistemik memegang peranan terhadap tekanan perfusi otak. 4. Kelainan jantung : menyebabkan menurunnya curah jantung serta lepasnya embolus yang menimbulkan iskemia otak. Sebagai akibat dari menurunnya aliran darah ke sebagian otak tertentu, maka akan terjadi serangkaian proses patologik pada daerah iskemik. Perubahan ini dimulai ditingkat seluler, berupa perubahan fungsi dan struktur sel yang diikuti dengan kerusakan pada fungsi utama serta integritas fisik dari susunan sel, selanjutnya akan berakhir dengan kematian neuron. 2.5.2. Patofisiologi Stroke Hemorragik Perdarahan otak dibedakan atas perdarahan intraserebral dan perdarahan subarachnoid . A. Patofisiologi Perdarahan Intraserebral Penyebab perdarahan intraserebral dapat bersifat primer akibat hipertensi khronik dan sekunder akibat anomali vaskuler congenital, koagulopati, tumor otak, vaskulitis, post stroke iskemik dan penggunaan obat anti koagulan. Diperkirakan 50% perdarahan intraserebral akibat hipertensi khronik dan 25 % karena anomali kongenital dan sisanya akibat penyebab lain (Misbach, 1999). Hipertensi merupakan faktor risiko terbesar terjadinya perdarahan intraserebral. Hipertensi khronik menyebabkan pembuluh darah mengalami perubahan patologik berupa hipohialinosis, necrosis fibroid serta timbulnya aneurisme tipe Bouchard. Kenaikan tekanan darah Universitas Sumatera Utara secara tajam akan menginduksi pecahnya pembuluh darah (Misbach, 1999). B. Patofisiologi Perdarahan Subarakhnoid Perdarahan subarachnoid jumlahnya relatif kecil yaitu sekitar 4,2 %. Perdarahan subaraknoid terjadi karena pecahnya aneurisme sakuler pada 80% kasus perdarahan subarachnoid non traumatik. Aneurisme sakuler merupakan proses degenerasi vaskuler akibat didapat proses hemodinamika pada bifurcatio pembuluh arteri otak terutama di daerah sirkulus willisi. Darah yang masuk ke subarachnoid pada sebagian besar kasus menyebabakan sakit kepala hebat diikuti penurunan kesadaran pada 50% kasus dan rangsangan meningeal dan gelisah pada 10 % kasus (Misbach, 1999). 2.6. Gejala dan Tanda Stroke Manifestasi klinis stroke tergantung pada daerah otak yang terganggu aliran darahnya dan fungsi daerah otak yang menderita iskemia. Dengan demikian gejala neurologi yang timbul tergantung berat ringannya gangguan pembuluh darah dan lokasinya. Gejala klinis stroke secara umum dapat berupa: a. Kelumpuhan wajah atau anggota badan (hemiparesis) yang timbul mendadak. b. Gangguan sensibilitas pada satu atau lebih anggota badan (hemihipestasi). c. Perubahan status mental (somnolen, delirium, letargi, stupor, atau koma) d. Afasia (bicara tidak lancar, kurangnya ucapan, atau kesulitan memahami ucapan). e. Disartria (bicara pelo atau cadel). f. Gangguan penglihatan (hemianopia atau monokuler) atau diplopia. g. Ataksia (trunkal atau anggota badan). h. Vertigo, mual dan muntah, atau nyeri kepala. Universitas Sumatera Utara Gambaran gejala klinik stroke bervariasi berdasarkan vaskularisasi pembuluh darah otak yang mengalami gangguan. Berikut ini penggolongan sindrom klinik oklusi berdasarkan lokasi : a. Arteri Serebri Anterior, dengan gejala primer kebingungan, hemiparesis kontralateral, hilangnya sensasi kaki kontralateral. b. Arteri serebri media, dengan gejala kebutaan monokuler, hemiplegia (lumpuh separuh badan), hemianestthesia (separuh badan kurang rasa), kebingungan, gangguan fungsi percakapan dan komunikasi ( afasia global). c. Arteri serebri posterior, gejala berupa koma, hemiparesis kontralateral, hemianopsia, dan afasia (buta kata). d. Sistem vertebra basilaris dengan gejala kelemahan salah satu dari empat anggota tubuh, peningkatan refleks tendon, ataksia (sulit berjalan), disfagia (sulit menelan), diplopia ( gangguan penglihatan ), pusing, vertigo, gangguan ingatan dan koma. e. Gambaran klinis yang khas pada perdarahan intraserebral adalah manifestasi kenaikan tekanan intrakranial dan diikuti penurunan kesadaran selama 5-30 menit setelah serangan. Refleks babinski positif adalh pertanda kuat adanya perdarahan intraserebral . Sementara gejala yang khas pada perdarahan sub arakhnoid adalah nyeri kepala sangat hebat pada saat onset penyakit , muntah dan diikuti penurunan kesadaran ( Misbach, 1999). 2.7. Pencegahan Stroke Stroke merupakan salah satu penyebab kematian dan disabilitas diseluruh dunia. Penelitian-penelitian epidemiologi telah banyak membantu untuk mengidentifikasi dan menentukan faktor-faktor risiko, American Heart Association (AHA) mengeluarkan beberapa rekomendasi prevensi primer maupun sekunder (Kelompok Studi Stroke, 2007). Universitas Sumatera Utara 2.7.1 Prevensi Stroke pada Hipertensi Hipertensi harus dikendalikan untuk mencegah terjadinya stroke (prevensi primer), dan pengendalian pada pasien hipertensi yang pernah mengalami TIA atau stroke dapat mengurangi atau mencegah risiko terjadinya stroke berulang (prevensi sekunder). Pengendalian hipertensi dapat dilakukan melalui dua pendekatan, yaitu pengendalian gaya hidup (lifestyle) dan pemberian obat antihipertensi. Pengendalian gaya hidup meliputi : a. Mempertahankan berat badan normal untuk dewasa dengan perhitungan body mass index 20-25 kg/m2. b. Mengurangi asupan garam, kurang dari 6 gram garam dapur atau kurang dari 2,4 gram Natrium/hari. c. Tidak meminum alkohol, atau minum alkohol kurang dari 3 unit/hari bagi laki-laki dan kurang dari 2 unit bagi perempuan. d. Olahraga aerobik dengan frekwensi 30 menit/hari e. Memakan buah dan sayur yang segar f. Mengurangi konsumsi lemak baik yang jenuh maupun yang tidak jenuh Joint National Committee (JNC) VII merekomendasikan penggunaan Angiotensin Converting Enzyme (ACE-I) atau Thiazid diuretik untuk prevensi hipertensi yang tidak terkontrol (Robinson S.W, 2014). 2.7.2 Prevensi Stroke Pada Diabetes Mellitus Penderita DM rentan terhadap komplikasi vaskuler termasuk stroke. DM merupakan suatu faktor risiko untuk Stroke Iskemik dan pasien DM berisiko tinggi untuk terkena stroke pada pembuluh darah besaran atau kecil. Kontrol DM yang ketat terbukti mencegah komplikasi vaskuler yang lain dan dapat menurunkan risiko stroke juga, selain itu perbaikan kontrol DM akan mengurangi progresi pembentukan atherosklerosis. Pengendalian glukosa direkomendasikan sampai kadar yang hampir normoglikemik pada pasien diabetes dengan Stroke Iskemik atau TIA untuk mengurangi komplikasi mikrovaskuler. ACE-I dan Angiotensin Receptor Blocker (ARB) lebih efektif dalam menurunkan Universitas Sumatera Utara progresivitas penyakit hipertensi dan ginjal dan direkomendasikan sebagai pilihan pertama untuk pasien dengan diabetes mellitus. 2.7.3 Prevensi Stroke Pada Pasien Dengan Gaya Hidup Kurang Baik Pola hidup sehat meliputi makanan yang seimbang, olahraga teratur dengan frekwensi yang cukup, tidak merokok dan tidak mengkonsumsi alkohol serta batin yang tenang dapat mencegah terkena stroke. Stroke terutama mengenai usia produktif, hal ini berkaitan dengan pola hidup tidak sehat seperti banyak mengkonsumsi makanan siap saji yang sarat kolesterol, merokok, minuman keras, kurangnya berolahraga dan stress (Sacco R.L and B. Albala, 2001; Caplan, L.R, 2000 ). Pada Konsensus Nasional Pengelolaan Stroke di Indonesia 1999, dikemukakan upaya yang dapat dilakukan untuk pencegahan primer penyakit stroke, yaitu : memasyarakatkan pola hidup sehat bebas stroke dengan menghindari merokok, stress mental, alkohol, kegemukan, konsumsi garam berlebihan, obat-obatan golongan amfetamin, kokain dan sejenisnya, mengurangi kolesterol, lemak dalam makanan, mengendalikan hipertensi, diabetes mellitus, penyakit jantung, serta menganjurkan konsumsi gizi yang seimbang dan berolahraga secara teratur (Gorelick, 2000). 2.8 Penatalaksanaan Umum Stroke Apabila seseorang masuk ke rumah sakit dengan tanda-tanda neurologis fokal yang khas yang timbul mendadak seperti hemiparesis, gangguan hemisensorik, hemianopia, afasia atau ataksia. Penanangan stroke secara dini adalah penting karena “jendela terapi” stroke hanya 3-6 jam. Penatalaksanaan yang tepat dan cermat di ruang gawat darurat memegang peranan besar dalam menentukan hasil akhir pengobatan. Pengobatan pasien yang terserang stroke secara umum yaitu : a. Memberikan life support (bantuan hidup) secara umum Penanganan ini harus segera dilakukan sejak awal pasien masuk rumah sakit. Universitas Sumatera Utara Hal-hal yang harus dilakukan dalam pemberian bantuan hidup diantaranya adalah : 1) Stabilkan status kardiorespiratorik. 2) Lakukan penilaian fisik awal termasuk penilaian airway, breathing, circulation, dan pemeriksaan neurologis yang singkat. 3) Pertimbangkan intubasi bila kesadaran stupor atau koma atau gagal napas. 4) Pasang intravena dengan larutan salin 0.9% dengan kecepatan 20 ml/jam, jangan memakai cairan hipotonis seperti dextrose 5% dalam air dan Salin 0,45% karena dapat memperhebat edema otak. 5) Berikan oksigen 2-4 liter/menit via kanul nasal. 6) Jangan berikan makanan dan minuman melalui mulut karena dikhawatirkan akan muntah akibat peningkatan TIK atau nyeri kepalanya. 7) Asupan nutrisi per oral hanya boleh diberikan setelah fungsi menelan membaik dan bila ada gangguan menelan atau kesadaran menurun, asupan nutrisi dapat diberikan nasogastrik dengan 1500 kalori. 8) Koreksi keadaan hipoglikemi atau hiperglikemi, karena hiperglikemi dapat meningkatkan kerusakan iskemi dan hipoglikemi dapat menambah kerusakan jaringan otak. 9) Buat rekaman EKG untuk menilai adanya iskemi jantung atau fibrilasi atrium karena fibrilasi atrium merupakan salah satu faktor risiko stroke, dan lakukan juga foto rontgen thoraks. 10) Ambil sampel darah untuk periksa hitung darah lengkap dan trombosit, kimia darah (glukosa, elektrolit ureum, kreatinin), masa protrombin. 11) Tegakkan diagnosis berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik. 12) Lakukan pencitraan untuk membantu diagnosis bila tersedia, atau dengan menggunakan skor Gadjah Mada. 13) Konsul segera dokter ahli saraf untuk penangan selanjutnya. Universitas Sumatera Utara b. Melakukan Rehabilitasi Tindakan rehabilitasi dilakukan dengan cara fisioterapi, dengan tujuan untuk mencegah kontraktur, memberikan harapan pengobatan yang berhubungan dengan medis dan memberikan dukungan psikologis pada penderita dan keluarga penderita. c. Mencegah Serangan Ulang Stroke Manajemen faktor-faktor risiko sangat penting untuk pasien yang pernah terserang TIA. Risiko terkena stroke setelah TIA 8% lebih besar dibanding yang belum pernah mengalami TIA. Berbagai terapi yang dapat diberikan untuk mencegah serangan ulang pada Stroke Ischemic atau Infark adalah ( Gabriela, 2009) : 1) Aspirin Di AS pemberian aspirin dengan dosis harian 75 mg sampai 100 mg merupakan dosis yang baik. 2) Ticlopidin The Japanese Guideline for Mangement Stroke, 2004 merekomendasikan dosis ticlopidin 75 mg/hari sebagai terapi antiplatelet untuk prevensi sekunder. 2.9 Penatalaksanaan Spesifik Stroke Prinsip dasar penatalaksanaan stroke akut adalah upaya memulihkan tekanan perifer otak, mencegah kematian sel otak, mengoptimalkan metabolism dan mencegah terjadinya proses patologi lainnya. Berikut terapi spesifik pada Stroke Ischemic dan Stroke Hemorragik : 2.9.1 Stroke Iskemik a. Trombolisis dengan Recombinant Tissue Plasminogen Activator (rTPA). Terapi trombolitik ini tidak diberikan pada pasien yang tidak dirawat di unit perawatan intesif atau di pelayanan stroke yang lengkap. Pemberian rTPA sangat jarang dilakukan dan terbatas pada beberapa kriteria pasien misalnya usia ≥ 18 tahun, tidak ada stroke dalam 3 bulan Universitas Sumatera Utara terakhir, tidak ada pembedahan mayor dalam 14 hari sebelumnya, tidak ada riwayat perdarahan intrakranial, tekanan darah ≤ 185/≤110 mmHg.pengobatan ini hanya boleh diberikan pada Stroke Ischemic dengan onset kurang dari 3 jam dan hasil scan tomografik normal. b. Antikoagulan heparin atau Low Molecule Wright Heparin (LMWH) Dipakai unuk reperfusi dan prevensi stroke berulang dengan pemantauan APTT 1-2 kali kontrol. c. Asetosal (ASA) Pada tahap ini dosis kecil 50-100 mg dapat diberikan dalam 48 jam pertama bila sudah terbukti tidak ada perdarahan. 2.9.2 Stroke Hemorragik a. Singkirkan kemungkinan koagulopati, pastikan hasil masa protrombin dan tromboplastin normal, bila memanjang berikan plasma beku (FFP) 4-8 unit IV tiap 4 jam dan vitamin K 15 mg IV bolus kemudian 3 kali sehari 15 mg subkutan hingga masa protrombin normal. b. Kendalikan hipertensi karena tekanan darah yang tinggi dapat menyebabkan perburukan edema perihematom serta meningkatkan kemungkinan perdarahan berulang. Tekanan sistolik > 180 mmHg harus diturunkan menjadi 150-180 mmHg dengan labetalo (20 mg iv dalam 2 menit kemudian 40-80 mg iv dalam 10 menit hingga mencapai tekanan yang diinginkan) kemudian berikan infuse 2 mg/menit kaptopril 12,5-25 mg 2-3 kali sehari. c. Pertimbangkan tindakan bedah bila ada perdarahan serebellum dengan diameter > 3 cm atau volume > 50 ml. d. Pertimbangkan angiography untuk menyingkirkan aneurisma atau malformasi areriovenosa e. Pertimbangkan fenitoin (10-20 mg/BB iv dengan tetesan 50 mg/menit) pada pasien dengan perdarahan luas dan derajat kesadaran menurun. Universitas Sumatera Utara