Jurnal Papua_1.indd - Balai Arkeologi Papua

advertisement
Putri Novita Taniardi, Sumbangan Antropologi dalam Penelitian Arkeologi
Sumbangan Antropologi dalam Penelitian Arkeologi
Putri Novita Taniardi
(Balai Arkeologi Yogyakarta)
Abstract
Archaeology is a science that has goals to reconstruct the culture of the past, to
reconstruct the culture history and reconstruct the changing of culture. To reach the
goals, archaeology needs other field of science to help in analyzing the archaeological
subject and Anthropology is one of them. The contribution of Anthropology in
Archaeological research is particularly on its advantage in ethnographic data.
Ethnoarchaeology is one of the branches of archaeology which using ethnographic
analogy as one of the methods. Nevertheless, Ethnography should not just be
interpreted as a data but also as a method. By applying the ethnographic method in
archaeological research, it is hoped that it could help Archaeology in solving the
problem they’re faced.
Keywords: Archaeology, Anthropology, Ethnographic method
Pendahuluan
Hubungan antara arkeologi dan masa lalu memang tidak dapat dipisahkan.
Arkeologi mempelajari kebudayaan masa lalu melalui tinggalannya yang terbatas.
Tinggalan-tinggalan arkeologi yang memberi sumbangan bagi rekonstruksi
kebudayaan masa lalu manusia diantaranya artefak, fitur, dan ekofak. Keseluruhan
tinggalan arkeologi tersebut merupakan media yang menjembatani antara masa
lalu dan masa kini. Mengungkap masa lalu memang sarat akan tantangan. Ketika
tinggalan arkeologi sudah ditemukan, perjalanan tidak lantas berhenti. Interpretasi
akan tinggalan arkeologi tersebut sendiri membutuhkan perjalanan yang panjang.
Di sinilah arkeologi berperan. Sebagai ilmu pengetahuan yang lekat dengan
masa lalu, arkeologi memliki tiga tujuan utama, yaitu merekonstruksi kebudayaan
masa lalu; merekonstruksi sejarah budaya; dan merekonstruksi proses perubahan
budaya.
Mempelajari arkeologi sama halnya mempelajari bagaimana mengungkap
misteri yang sudah terkubur bertahun-tahun silam. Untuk mengungkap misteri
Papua Vol. 1 No. 2 / November 2009
25
Putri Novita Taniardi, Sumbangan Antropologi dalam Penelitian Arkeologi
tersebut, tidak mungkin dengan cara menanyai langsung kepada manusia pendukung
kebudayaannya. Rentang waktu yang panjang mengakibatkan tidak ada lagi manusia
pendukung kebudayaan yang masih ada hingga sekarang. Bisa dibayangkan, untuk
mengungkap misteri pada masa prasejarah, tidak mungkin kita berharap untuk
menanyai manusia yang hidup pada masa itu. Upaya yang dapat ditempuh adalah
dengan mempelajari tinggalan-tinggalan mereka. Melalui tinggalan arkeologi tersebut,
kebudayaan manusia prasejarah dapat diungkap.
Arkeologi lekat dengan masa lalu dan waktu. Archaeology is about
excitement. It is about intellectual curiosity and finding ways to turn that curiosity
into knowledge about people in the past (Gamble, 2001:1). Di sinilah arkeologi
mempunyai peran untuk menjembatani masa lalu dan masa kini. Keingintahuan akan
masa lalu terbentur akan sedikitnya informasi berupa tinggalan-tinggalan manusia
pendukung kebudayaan masa itu. Dengan arkeologi, keterbatasan tinggalan tersebut
coba dirangkai ibarat puzzle untuk memecahkan teka-teki kehidupan dan kebudayaan
manusia di masa lalu. Hanya saja, seringkali dalam memecahkan sebuah permasalahan,
arkeologi sebagai ilmu pengetahuan seringkali menemui hambatan. Seperti misalnya
keterbatasan arkeolog terkait dengan adanya data etnografi untuk melakukan analisis
terhadap artefak. Sebuah artefak yang susah untuk dilacak fungsi dan kegunaannya
membutuhkan analogi etnografi. Bisa jadi, di salah satu masyarakat tradisional masih
menggunakan benda serupa. Di sinilah dibutuhkan antropologi sebagai ilmu bantu
dalam melakukan analisis keberadaan artefak tersebut. Kelebihan antropologi adalah
keunggulannya dalam mengolah data etnografi.
Arkeologi pada akhirnya harus bisa membuka diri terhadap perkembangan
ilmu pengetahuan dewasa ini. Bagaimanapun, sumbangan dari ilmu-ilmu lain akan
memperkaya analisis arkeolog. Tidak hanya antropologi, ilmu lain seperti geografi,
geologi, sejarah, kimia, dan lain-lain memberikan sumbangan yang berarti bagi
arkeologi. Hanya saja, tulisan ini tidak akan mengulas semua ilmu yang berperan
dalam penelitian arkeologi. Tulisan ini akan mengulas bagaimana antropologi
berperan dalam mengungkap masa lalu bersama arkeologi. Masa lalu akan semakin
dekat dan menjadi bagian dari hidup manusia. The past is not remote but a part of
daily life (Gamble, 2001:18).
26
Papua Vol. 1 No. 2 / November 2009
Putri Novita Taniardi, Sumbangan Antropologi dalam Penelitian Arkeologi
Etnoarkeologi dan Antropologi
Kebanyakan, arkeolog mempelajari masyarakat yang sudah mati dan
terkubur. Untuk mempelajari masyarakat yang masih hidup, etnografer seringkali
dirasa paling tapat. Padahal, tidak lantas begitu adanya. Bidang kajian etnografer
diantaranya meliputi aspek-aspek sosial, politik, agama, dan politik. Etnografer
seringkali melewatkan aspek budaya bendawi yang hidup di tengah-tengah masyarakat
tradisional. Di sinilah peran seorang etnoarkeolog. Etnoarkeolog mempelajari artefak
dan budaya bendawi yang masih digunakan oleh masyarakat tradisional untuk merunut
kegunaannya di masa lalu. Membicarakan cakupan kerja seorang etnoarkeolog
tidak lepas dari membicarakan etnoarkeologi sendiri. Studi etnoarkeologi berperan
dalam menafsirkan data-data arkeologi untuk merekonstruksi kehidupan manusia di
masa lampau. Istilah etnoarkeologi mulai digunakan di Indonesia secara lebih luas
sejak tahun 1970-an (Tanudirjo, 1987:8). Akan tetapi, dalam perkembangannya,
etnoarkeologi juga berperan untuk mendokumentasikan aspek-aspek kehidupan
tradisional yang masih berlangsung. Kehidupan tradisional yang masih bertahan
tidak menutup kemungkinan suatu saat akan punah juga tergilas modernisasi. Bila
kehidupan tradisional tersebut tidak didokumentasikan, maka generasi berikutnya
tidak dapat lagi mengetahui kekayaan warisan budaya nenek moyangnya.
Di sinilah kerja etnoarkeologi diperlukan, sebagai upaya untuk membingkai
sebuah kebudayaan yang hidup dalam masyarakat tradisional menjadi sebuah wacana
untuk dapat selalu dibaca.
Penggunaan data etnografi sebagai bahan analogi untuk mengungkap
kehidupan manusia di masa lampau, mempunyai kedudukan sebagai interpretasi. Data
etnografi digunakan untuk memberi gambaran dan menjelaskan gambaran rekonstruksi
suatu gejala arkeologis. Misalnya saja penggunaan kapak batu oleh masyarakat
tradisional di Papua. Untuk merunut kegunaan kapak batu tersebut, etnoarkeolog
dapat menggali data etnografi suatu masyarakat yang masih mempergunakannya.
Dengan mendapatkan data etnografi mengenai kegunaan kapak batu tersebut, sebuah
rekonstruksi gejala arkeologis dapat tercapai. Di masa lampau, kemungkinan kapak
batu mempunyai fungsi serupa. Kedudukan etnoarkeologi sebagai bahan analogi
banyak diragukan oleh para ahli. Keraguan ini muncul terutama sekali di kalangan
pendukung Cultural Relativism. Para pendukung aliran ini beranggapan bahwa
Papua Vol. 1 No. 2 / November 2009
27
Putri Novita Taniardi, Sumbangan Antropologi dalam Penelitian Arkeologi
sebenarnya tidak ada kebudayaan yang bersifat sama dalam kurun waktu tertentu
dan tempat tertentu. Analogi etnografi pada akhirnya tidak dapat menjadi jembatan
untuk menjelaskan pola-pola tingkah laku masyarakat di masa lampau secara pasti
(Tanudirjo, 1989:25).
Dalam perkembangan selanjutnya, muncul pula gerakan The New
Archaeology yang memunculkan kesadaran baru tentang kedudukan studi
etnoarkeologi. Banyak ahli yang menyadari bahwa studi etnoarkeologi mempunyai
potensi untuk menghasilkan hipotesis. Hipotesis tersebut masih harus diuji agar dapat
diterima sebagai eksplanasi. Pendapat para ahli pendukung The New Archaeology
bertitik tolak dari kesepakatan bahwa etnoarkeologi adalah tidak lain merupakan
sebuah analogi, sedangkan analogi adalah perangkat penalaran induktif. Sesuai
dengan penalaran induktif, maka studi etnoarkeologi bukanlah suatu pembuktian,
interpretasi, maupun eksplanasi, apabila belum diuji kembali. Melalui pandangan ini,
dapat diketahui kedudukan studi etnoarkeologi lebih merupakan alat, bukan sebagai
data.
Studi etnoarkeologi memiliki kerangka syarat yang harus dipenuhi untuk
mencapai tujuannya sebagai perangkat hipotesis. Kerangka syarat studi etnoarkeologi
telah diletakkan oleh Ascher. Terdapat dua model pendekatan dalam studi etnoarkeologi,
yaitu pendekatan kesinambungan sejarah (direct historical) dan perbandingan
umum (general comparative). Pendekatan pertama didasari oleh pandangan bahwa
kebudayaan yang ada sekarang merupakan warisan dari kebudayaan yang telah ada
sebelumnya. Kebudayaan yang masih ada sekarang merupakan bentuk perkembangan
dari kebudayaan masa lampau. Dengan demikian, perbandingan akan bernilai jika
analogi dilakukan antara data etnografi yang memiliki kesinambungan sejarah. Untuk
membuktikan kesinambungan tersebut, dilakukan studi tentang penelusuran sejarah
suatu bangsa atau yang dikenal dengan etnohistori. Sedangkan pendekatan yang kedua
didasari oleh pandangan bahwa hubungan antara budaya arkeologi yang pendukungnya
telah punah dan pendukung budaya yang masih berlangsung pada hakikatnya adalah
hubungan bentuk, sehingga tidak perlu memiliki kesamaan sejarah, ruang, maupun
waktu. Data etnografi pada akhirnya yang dikumpulkan dari sembarang tempat dapat
digunakan untuk membantu interpretasi arkeologi di manapun. Meski demikian,
Ascher kemudian menyaratkan bahwa pendekatan ini dapat dilakukan pada budaya
yang beradaptasi pada lingkunagn yang sejenis dengan cara yang sama (Tanudirjo,
28
Papua Vol. 1 No. 2 / November 2009
Putri Novita Taniardi, Sumbangan Antropologi dalam Penelitian Arkeologi
1989: 31-32).
Selain Ascher, Conklin juga menetapkan syarat-syarat studi etnoarkeologi
yang terdiri atas konteks (contexts), konsep (concepts), relasi (relations), skala
(scale), dan lingkup (scale). Kesamaan konteks dimaksudkan sebagai kesamaan
kondisi yang melatarbelakangi terbentuknya tingkah laku atau hasil budaya tertentu.
Kesamaan konsep dimaksudkan mengacu pada kesamaan pengertian terhadap istilahistilah tertentu yang terkadang memiliki arti yang beragam. Kesamaan relasi dikaitkan
dengan aspek ganda dari suatu tingkah laku atau hasil budaya materi, sehingga harus
ditentukan bahwa perbandingan dilakukan pada aspek yang sama. Kesamaan skala
berarti adanya kesamaan dalam satuan analisis. Sedangkan kesamaan lingkup berarti
bahwa perbandingan yang dilakukan pada aspek tertentu akan semakin kuat apabila
kesamaan itu juga meliputi daerah yang lebih luas dan waktu yang lebih rentang
(Tanudirjo, 1989:35). Dari pendapat-pendapat para ahli tersebut, diketahui bahwa
studi etnoarkeologi memiliki syarat-syarat analogi yang harus dipenuhi. Bila dapat
ditarik benang merah, syarat studi etnografi tersebut menyiratkan adanya kesamaan
analogi dalam aspek-aspek yang telah disebutkan. Baik Ascher maupun Conklin
berusaha membingkai studi etnoarkeologi dalam batasan analogi. Sehingga, analogi
etnografi yang dialakukan tidak keluar dari koridor dan terlalu jauh perbedaannya,
apalagi sampai keluar dari konteksnya.
Berbagai perkembangan studi etnoarkelogi yang telah dikemukakan
sebelumnya menunjukkan bahwa studi ini telah melampaui rentang waktu yang
panjang. Perhatian terhadap studi etnoarkeologi menunjukkan bahwa studi ini
masih memiliki peran yang penting dalam kerangka kerja arkeologi. Meskipun telah
disebutkan sebelumnya bebrapa pengertian etnoarkeologi, terdapat sebuah definisi
etnoarkeologi yang menarik untuk dibincangkan. Definisi ini sekaligus menjadi
jembatan penghubung antara studi etnoarkeologi dan antropologi. Stanislowski
(1974) mendefinisikan etnoarkeologi sebagai,
Participant observation study of form, manufacturing, disturbance, meaning
and use of artifacts and their function or institutional setting and social group
correlation among non-industrial peoples for the purpose of constructing
better of explanatory models and also to aid archaelogycal analogy and
inference (Agorsah, 1990:191).
Papua Vol. 1 No. 2 / November 2009
29
Putri Novita Taniardi, Sumbangan Antropologi dalam Penelitian Arkeologi
Definisi di atas menyebutkan adanya sebuah observasi partisipasi. Dalam
dunia arkeologi, observasi partisipasi tentu merupakan hal yang asing. Membicarakan
partisipasi observasi berarti membicarakan sebuah keterlibatan di tengah-tengah
sebuah masyarakat yang masih hidup. Sementara, kerja arkeologi kebanyakan
seputar tinggalan-tinggalan manusia yang seringkali sudah mati dan terkubur tanah.
Masyarakat pendukung kebudayaan bendawi tersebut sudah lama punah.
Observasi partisipasi erat hubungannya dengan cara kerja seorang
antropolog. Antropologi, sebagai sebuah ilmu yang bertujuan untuk mengungkap
gagasan masyarakat akan sebuah kebudayaan mutlak membutuhkan observasi
partispasi. Cara kerja ini untuk mengaburkan sekat antara peneliti dan informan. Bila
seorang antropolog masih diterima sebagai seorang peneliti, maka, data yang diperoleh
selama proses penelitian harus dilakukan cek ulang berkali-kali. Lain halnya ketika
seorang antropolog sudah diterima sebagai bagian dari sebuah masyarakat, informasi
baru yang seringkali tidak ditanyakan pun akan keluar seiring terjalinnya rasa percaya.
Ketika etnoarkeolog kemudian menyertakan observasi partisipasi, mau
tidak mau, cara kerja seorang etnoarkeolog menyerupai cara kerja antropolog.
Bedanya kemudian, seorang etnoarkeolog melakukan observasi partisipasi untuk
mengungkap gejala arkeologis, baik yang ditemukan pada masyarakat tersebut, atau
pada masyarakat lain. Sekadar mengingatkan kembali, etnoarkeologi merujuk data
etnografi sebagai bahan analogi dengan syarat-syarat analogi yang harus dipenuhi.
Observasi partisipasi merupakan salah satu teknik dalam metode penelitian
etnografis. Teknik ini yang dikembangkan oleh Malinowski di Kepulauan Trobriand.
Ia terlibat secara penuh dalam kehidupan di desa tersebut. Termasuk pula dalam
aktivitas keseharian masyarakatnya, seperti memasak, bergosip, dan melihat langsung
aktivitas keseharian mereka, termasuk pertengkaran, senda gurau, dan sebagainya.
Dengan observasi partisipasi, Malinowski dapat diterima sebagai bagian dari
masyarakat Kepulauan Trobriand. Keterlibatan ini sekaligus menjembatani perbedaan
dua kebudayaan. Bisa dibayangkan, seorang Malinoski yang berasal dari Eropa
berbaur dengan masyarakat di Kepulauan Pasifik. Dari latar belakang warna kulit saja
sudah menunjukkan perbedaan, apalagi bahasa, dan latar belakang kulturalnya.
30
Papua Vol. 1 No. 2 / November 2009
Putri Novita Taniardi, Sumbangan Antropologi dalam Penelitian Arkeologi
Implementasi Metode Etnografi dalam Studi Arkeologi
Etnografi merupakan pekerjaan mendeskripsikan suatu kebudayaan. Tujuan
utama dari aktivitas ini adalah untuk memahami suatu pandangan hidup dari sudut
pandang penduduk asli. Menurut Malinowski, tujuan utama penelitian etnografi adalah
“to grasp the native’s point of view, his relation of life, to realize his vision and his
world.” (Marzali dalam Spradley, 2007: xi). Adamson Hoebel sendiri secara ringkas
menegaskan bahwa “The foundation of Cultural Anthropology is ethnography”.
Di dalam etnografi sendiri setidaknya sudah mengalami tiga fase
perkembangan. Fase pertama dapat dikatakan sebagai asal mula etnografi. Antropologi,
sebagai sebuah disiplin ilmu baru lahir pada paruh kedua abad ke-19 dengan tokohtokoh seperti E.B. Tylor, James Frazer, dan L.H. Morgan. Upaya besar mereka
adalah dalam menerapkan teori evolusi biologi terhadap bahan-bahan tulisan tentang
berbagai suku bangsa di dunia yang dikumpulkan oleh para musafir, penyebar agama
Kristen, pegawai pemerintah kolonial, dan penjelajah alam. Mereka bekerja di kamar
kerja sendiri dan perpustakaan atau yag dikenal sebagai antropolog di balik meja.
Mereka semua, kecuali L.H. Morgan tidak pernah terjun langsung di tengah-tengah
masyarakat yang menjadi objek tulisan mereka. Menjelang akhir abad ke-19, muncul
pandangan baru dalam antropologi. Kerangka evolusi masyarakat dan budaya yang
disusun oleh para ahli teori terdahulu, dipandang tidak realistis dan tidak didukung
dengan bukti nyata. Dari sinilah muncul pemikiran baru bahwa seorang antropolog
harus melihat sendiri kelompok masyarakat yang menjadi objek kajiannya. Inilah
awal mula munculnya pemikiran perlunya kajian lapangan melalui etnografi dalam
antropologi.
Peneliti awal yang mulai mengaplikasikan kajian lapangan etnografi adalah
W.H.R Rivers dari Inggris dan Franz Boas dari Amerika Serikat. Pada masa awal
ini, teknik etnografi yang utama adalah wawancara yang panjang, berkali-kali dengan
bebrapa informan kunci. Penelitian etnografi pada masa awal ini adalah “informan
oriented” karena tujuannya untuk mendapatkan gambaran masa lalu masyarakat
tersebut (Marzali dalam Spradley, 2007: x).
Fase kedua dikenal sebagai etnografi modern. Metode etnografi modern
seperti yang umum digunakan sering pada masa kini, baru muncul pada 1915-1925
dipelopori oleh dua ahli antropologi Inggris, A.R. Radcliffe Brown dan Bronislaw
Papua Vol. 1 No. 2 / November 2009
31
Putri Novita Taniardi, Sumbangan Antropologi dalam Penelitian Arkeologi
Malinowski. Mereka berdua tidak terlalu memandang penting hal yang berkaitan
dengan sejarah kebudayaan suatu masyarakat. Perhatian utama mereka adalah kondisi
masyarakat terkini, kehidupan yang tengah dijalankan oleh sebuah masyarakat. Untuk
dapat mencapai tujuan tersebut, seorang peneliti tidak cukup hanya dengan melakukan
wawancara saja. Peneliti juga harus terlibat penuh dalam aktivitas sebuah masyarakat.
Dari sinilah kemudian dikenal adanya observasi partisipasi, yaitu pengamatan
langsung terhadap kehidupan masyarakat dengan melibatkan diri bersama mereka.
Fase yang ketiga adalah etnografi baru. Metode etnografi ini berkembang
sejak tahun 1960-an. Sasaran etnografi baru membuat pemaparan etnografis
lebih akurat dan lebih replikabel daripada yang dianggap telah berlaku pada masa
sebelumnya. Etnografi baru menekankan pada aspek kognitif masyarakat budaya.
Seorang etnograf harus berupaya memproduksikan realitas budaya budaya seturut
pandangan, penataan, dan penghayatan warga budaya (Kaplan dan Manners, 2002:
251). Etnografer harus memaparkan tentang suatu budaya tertentu yang harus
diungkapkan dengan kaidah konseptual, kategori, kode, dan aturan kognitif “pribumi”
dan tidak sehubungan dengan kategori konseptual yang diperoleh dari pendidikan
sang antropolog yang dibawa ke tengah-tengah kancah penelitian (ibid).
Jelas terlihat di sini bahwa etnografi baru berupaya untuk menonjolkan
pemahaman suatu budaya melalui sudut pandang pelaku budaya itu sendiri. Dengan
cara ini, dampak penyenjangan yang muncul dari preferensi teori dan bias budaya si
etnograf dapat dinetralkan, dan suatu deskripsi yang mencerminkan realitas budaya
yang sesungguhnya dapat lebih dihampiri (ibid). salah satu tokoh penganut etnografi
baru ini adalah James P. Spradley. Spradley meletakkan bahasa sebagai aspek yang
paling penting dalam etnografi baru ini. Bahasa menyerap pertemuan antara etnografer
dan informan. Etnografer setidaknya harus berhadapan dengan dua bahasa, yaitu
bahasa mereka sendiri dan bahasa yang digunakan oleh informan. Di sinilah bahasa
memainkan peran yang penting untuk menjembatani komunikasi antara etnografer
dan informan. Melalui bahasa pula gagasan dari informan dapat terungkap, sehingga
aspek kebudayaan yang hendak diketahui dapat terpenuhi.
Ketiga metode etnografi tersebut menandai adanya perkembangan etnografi
dari masa ke masa. Meskipun demikian, etnografi tetap diletakkan sebagai metode yang
paling mendasar dalam kerangka kerja seorang antropolog. Sebagai sebuah metode,
32
Papua Vol. 1 No. 2 / November 2009
Putri Novita Taniardi, Sumbangan Antropologi dalam Penelitian Arkeologi
etnografi dapat diaplikasikan di dalam disiplin ilmu lain, tidak hanya terbatas pada
antropologi saja. Seperti misalnya dalam studi etnoarkeologi. Etnografi dalam studi
etnoarkeologi sebenarnya dapat pula dimaknai sebagai metode, tidak hanya sebagai
data. Bagaimana pun, etnografi sebagai data diperoleh melalui penelitian antropologi
dengan teknik etnografi. Artinya, metode etnografi ini dapat diimplementasikan dalam
penelitian arkeologi, yang salah satunya terdapat studi etnoarkeologi. Implementasi
yang paling mendasar adalah menerapkan prinsip-prinsip dasar dalam metode
etnografi. Sebuah penelitian yang menerapkan metode etnografi tidak dapat dipungkiri
lagi harus memiliki informan. Informan adalah seorang warga budaya yang dianggap
memiliki pengetahuan mendalam mengenai kondisi kebudayaannya. Walaupun
hampir setiap orang dapat menjadi informan, namun tidak setiap orang dapat menjadi
informan yang baik. Spradley mengidentifikasikan lima persyaratan minimal untuk
memilih informan yang baik, yaitu (1) enkulturasi penuh; (2) keterlibatan langsung;
(3) suasana budaya yang tidak dikenal; (4) waktu yang cukup; dan (5) non-analitis.
Dalam memilih informan, dikenal pula adanya teknik snowball. Dengan teknik ini,
ketika kita mendatangi salah sorang informan, kita akan diarahkan menuju informan
yang lain yang memiliki informasi yang lebih lengkap hingga akhirnya berujung pada
informan kunci.
Setelah memperoleh informan, langkah selanjutnya yang diambil adalah
wawancara. Syarat mutlak yang diajukan oleh metode etnografi adalah adanya
wawancara mendalam. Wawancara ini bukanlah wawancara singkat yang dilakukan
dalam sekali kunjungan. Wawancara mendalam membutuhkan adanya wawancara
dalam durasi yang panjang dan diulang-ulang. Tujuan dari wawancara ini adalah
untuk mengungkap gagasan dari informan sebagai pelaku sebuah kebudayaan yang
ada di dalam suatu masyarakat. Bisa dibayangkan bagaimana reaksi informan ketika
dihadapkan pada situasi wawancara yang panjang jika seorang etnografer belum
melebur dengan informan. Suasana cenderung kaku dan membosankan. Oleh karena
itu, wawancara mendalam erat kaitannya dengan observasi partisipasi. Dalam sebuah
penelitian etnografi, observasi partisipasi dilakukan tidak hanya untuk mengungkap
way of life dari seorang informan. Observasi partisipasi merupakan langkah awal yang
menentukan keberhasilan penelitian seorang etnografer. Bila proses awal ini dapat
dilalui dengan baik dan etnografer dapat diterima dengan baik di tengah-tengah sebuah
masyarakat, kekakuan antara peneliti dan subjek penelitian akan cair. Tidak jarang
Papua Vol. 1 No. 2 / November 2009
33
Putri Novita Taniardi, Sumbangan Antropologi dalam Penelitian Arkeologi
pula, informasi yang bahkan tidak ditanyakan oleh sang etnografer akan disampaikan
dengan sukarela oleh informan.
Dengan mengimplementasikan ketiga aspek mendasar dalam metode
etnografi tersebut, seorang etnoarkeolog dapat memperoleh kemudahan dalam
melakukan penelitiannya. Salah satu contoh penelitian etnoarkeologi yang
mengimplementasikan metode etnografi adalah penelitian yang dilakukan oleh
Jajang A Sonjaya pada masyarakat Nias. Awalnya, penelitian tersebut hanya akan
melalakukan penelitian arkeologi murni. Akan tetapi, setelah berada di lapangan
justru ditemui hal-hal menarik lainnya yang sayang untuk dilewatkan. Seperti halnya
yang Jajang tuturkan:
“Semula saya berfokus pada megalitik, namun secara alami mulai bergeser
dan berkembang ke hal-hal lain seperti status sosial, kekerabatan, pemukiman,
gender, mitos, dan identitas” (Sonjaya, 2008:12).“Namun demikian, saya
tidak melupakan latar belakang disiplin saya, yakni arkeologi, sehingga
pengamatan saya bertolak dari data autentik berupa benda-benda arkeologi,
lalu mencari relasi benda-benda arkeologi tersebut dengan data autentik lain
seperti pola pemukiman dan lansekap (lingkungan)” (ibid) “Pengumpulan
data untuk tulisan ini dilakukan dengan tiga cara, yaitu partisipasi observasi,
survei arkeologi, dan studi literatur”(ibid, hal.15).
Dari pemaparan di atas, dapat kita lihat bagaimana metode etnografi
diimplementasikan dalam penelitian arkeologi. Partisipasi observasi memang manjur
untuk mengantar seorang peneliti masuk ke tengah-tengah masyarakat yang diteliti.
Terlebih bila baik peneliti maupun masyarakat tersebut memiliki latar belakang
kebudayaan yang berbeda.
Dengan mengimplementasikan metode etnografi dalam penelitian arkeologi,
terutama studi etnoarkeologi, sebuah data berupa hipotesis akan terungkap. Hasil
penelitian tersebut tidak hanya sekadar mengungkap fungsi dari artefak yang terdapat
di sebuah masyarakat yang masih mempertahankan keberadaannya. Lebih jauh dari
itu, gagasan dan cara pikir masyarakat terhadap budaya materi berupa artefak akan
terungkap pula. Ethnographic research might help us appreciate the intertwining
of the symbolic and the pragmatic, for the pragmatic, through material culture and
through the cultural crafting of senses and emotions (Kus, 1997:210).
34
Papua Vol. 1 No. 2 / November 2009
Putri Novita Taniardi, Sumbangan Antropologi dalam Penelitian Arkeologi
Penutup
Antropologi, sebagai sebuah disiplin ilmu yang mengkaji kebudayaan
manusia terkini ternyata mampu memberikan sumbangan bagi disiplin ilmu lain. Salah
satunya adalah arkeologi. Di dalam arkeologi, terdapat sebuah studi yang dikenal
sebagai etnoarkeologi. Pada dasarnya, etnoarkeologi menggunakan data etnografi
sebagai bahan analogi. Data etnografi ini merupakan hasil dari kerja penelitian
seorang antropolog.
Akan tetapi, sebelum lahir data etnografi, mutlak diperlukan sebuah kerja
penelitian lapangan. Antropologi kemudian mengenal adanya metode etnografi.
Ternyata, metode etnografi ini pun dapat diimplementasikan dalam studi etnoarkeologi.
Prinsip-prinsip dalam metode etnografi bila diimplementasikan dalam penelitian
etnoarkeologi dapat memberikan sumbangan hasil penelitian yang lebih kaya. Tidak
hanya semata-mata mengetahui apa fungsi dan kegunaan sebuah artefak sebagai
budaya materi di sebuah masyarakat, akan tetapi, dapat terungkap pula, bagaimana
masyarakat memaknai keberadaan artefak tersebut. Sebuah pemaknaan simbolis akan
terungkap melalui cara kerja ini. Sehingga, penelitian etnoarkeologi ke depan akan
lebih kaya dan beragam.
Papua Vol. 1 No. 2 / November 2009
35
Putri Novita Taniardi, Sumbangan Antropologi dalam Penelitian Arkeologi
Daftar Pustaka
Agorsah, E. Kofi. 1990. The Search for a Self-Corrective Approach to the Study of
Past Human Behavior dalam The African Archaeological Review, Vol. 8
(1990), pp. 189-208. Anonym: Springer.
Kaplan, David dan Robert A. Manners. 2002. Teori Budaya. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Kus, Susan. 1997. Archaeologist as Anthropologist: Much Ado about Something after
All? dalam Journal of Archaeological Method and Theory, Vol. 4, No. 3/4,
New Approaches to Combining the Archaeological and Historical Records
(Sep., 1997). Anonym : Springer.
Sonjaya, Jajang Agus. 2008. Melacak Batu Menguak Mitos, Petualangan Antarbudaya
di Nias. Yogyakarta: Kanisius.
Spradley, James P. 2006. Metode Etnografi. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Tanudirjo, Daud Aris. 1987. Laporan Penelitian Penerapan Etnoarkeologi di
Indonesia. Yogyakarta: Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada.
36
Papua Vol. 1 No. 2 / November 2009
Putri Novita Taniardi, Sumbangan Antropologi dalam Penelitian Arkeologi
Wawancara Sebagai Salah Satu Metode Pengumpulan Data Etnografi
Papua Vol. 1 No. 2 / November 2009
37
Download