Laki-laki Papua dan partisipasi dalam pengasuhan anak Oleh: Rini Hanifa* Ada apa dengan perempuan? Berbicara mengenai gender in value chain dapat dimulai dengan mengajukan pertanyaan Ada apa dengan perempuan?, ada apa dengan perempuan dalam rantai nilai? dan langkah selanjutnya adalah menjawab pertanyaan tersebut. Perempuan mengalami ketidakadilan dan diskriminasi dalam berbagai aspek kehidupan. Perempuan tidak menikmati manfaat pembangunan sebagaimana halnya laki-laki. Perempuan tertinggal dari laki-laki. Perempuan memiliki kapasitas lebih rendah dari laki-laki. Upah perempuan lebih murah dari pada laki-laki untuk jenis pekerjaan yang sama, akses perempuan terbatas, dan lain-lain. Berawal dari pertanyaan “ada apa dengan perempuan” maka banyak program pembangunan, termasuk program kewirausahaan berbasis pertanian memberikan perhatian terhadap hambatan dan permasalahan perempuan dalam mengakses dan menerima manfaat dari program tersebut. Berbagai upaya untuk meningkatkan kapasitas perempuan di lakukan, termasuk memastikan perempuan terlibat aktif dalam setiap kegiatan. Perhatian tersebut tidak muncul dengan sendirinya sebagai bentuk dari keprihatinan terhadap nasib perempuan. Tetapi perhatian tersebut didapat melalui proses perjuangan panjang para aktivis, termasuk upaya yang membuktikan bahwa keterlibatan perempuan dalam pembangunan membawa keuntungan. Temuan bahwa perempuan berkontribusi terhadap perilaku fertilitas, transisi demografi, kesejahteraan anak dan penurunan kematian anak, pertumbuhan ekonomi dan penghapusan kemiskinan menyebabkan meningkatnya advokasi terhadap pemberdayaan perempuan dalam wacana pembangunan internasional (Kabeer et al., 2014). Berbagai program diimplementasikan untuk mengejar ketertinggalan perempuan: keterampilan dan keahlian perempuan meningkat, pengetahuan perempuan dalam teknis pertanian meningkat, kemampuan perempuan dalam pemasaran meningkat, perempuan terlibat aktif dalam kegiatan ekonomi, memiliki pendapatan sendiri, dan berkontribusi terhadap income keluarga. Beberapa program juga sukses meningkatkan posisi tawar perempuan dalam rumah tangga, perempuan terlibat dalam pembuatan keputusan dan dalam mengelola keuangan. Ketika hal tersebut tercapai, sering lembaga pembangunan dan program yang mereka kelola berhenti hingga di situ. Bahkan beberapa lembaga merasa sudah merasa senang ketika dalam setiap kegiatan program, lebih dari 30% perempuan terlibat, misal perempuan hadir dalam pelatihan pemasaran, perempuan hadir dalam pelatihan pembuatan pupuk organik, perempuan hadir dalam pelatihan pengelolaan keuangan keluarga dan usaha dan sejenisnya. Tetapi permasalahan perempuan terus berlanjut, perempuan mengalami beban ganda. Bukannya lebih sejahtera, perempuan justru menjadi lelah dan capek, perempuan bekerja dengan jam yang lebih lama, karena selain terlibat aktif dalam aktivitas ekonomi/produksi mereka juga masih terikat dengan beban pekerjaan rumah tangga dan pengasuhan. Seharusnya bagaimana? Seharusnya ketika perempuan terlibat dalam kegiatan ekonomi, laki-laki juga harus berbagi pekerjaan rumah tangga dengan perempuan, laki-laki juga harus terlibat mengasuh anak, hanya saja hal ini masih menjadi tantangan, dan banyak program pemberdayaan perempuan, ataupun kerja-kerja sehubungan gender in value chain masih belum berhasil mengatasi masalah beban ganda tersebut. Pergeseran peran dimana perempuan terlibat aktif dalam menambah pendapatan keluarga, tidak diiringi dengan perubahan peran laki-laki dalam rumah tangga. Pendekatan gender transformatif adalah salah satu pendekatan yang mulai banyak dipakai, tidak hanya oleh sektor kesehatan, tetapi juga sektor/program enterprise development. Pendekatan tersebut percaya bahwa untuk menghilangkan kesenjangan dan agar tercipta relasi setara antara laki-laki dan perempuan maka laki-laki juga harus dilibatkan Kesadaran gender laki-laki harus dibangun. Untuk tulisan kali ini, saya belum akan membahas mengenai hal itu. Hal yang akan saya ceritakan kali ini adalah hal yang sederhana, hal yang saya lihat dan didasarkan oleh pengalaman. Saya akan bercerita mengenai laki-laki Papua dan pengasuhan. Ketika laki-laki ikut terlibat dalam pekerjaan rumah tangga dan ikut mengasuh anak maka kesempatan akan lebih terbuka. Hanya saja, dalam budaya masyarakat Indonesia secara umum, laki-laki mengasuh anak masih jarang kita temui. Laki-laki Papua ikut mengasuh anak, sebagian orang mungkin akan sulit percaya. Tetapi apa yang saya amati di desa Ambaidiru, kepuluan Yapen, Papua, membuat saya percaya bahwa laki-laki bisa terlibat aktif dalam mengasuh anak. Saya menuliskan hal ini dengan harapan, apa yang ceritakan bisa menjadi inspirasi bagi laki-laki lain terutama yang tinggal didaerah pedesaan yang budaya patriarkinya masih kuat. Laki-laki Papua di desa Ambaidiru yang berpartisipasi dalam mengasuh anak tidak pernah mengikuti program yang menggunakan pendekatan gender transformatif. Istri mereka juga belum mendapatkan program pemberdayaan perempuan yang membangun kesadaran kritis mereka. Mengasuh anak sudah menjadi hal yang alami bagi laki- laki di desa itu. Mungkinkah? Kok bisa? Saya sendiri juga tidak mengerti. Saya mengundang Anda yang membaca untuk menyumbangkan pendapat. Tetapi sebelumnya silahkan simak cerita saya dibawah ini. Berawal dari sebuah kunjungan saya di bulan Maret tahun 2014 di sebuah desa terpencil, Desa Ambaidiru. Desa tersebut belum memiliki belum memiliki listrik dan berada daerah pinggiran hutan yang lebat dan asri. Di desa tersebut kita masih bisa menjumpai berbagai satwa seperti kuskus, kangguru pohon, burung kasuari dan burung Cendrawasih, bahkan warga setempat masih tergantung dari berburu untuk memenuhi kebutuhan proteinnya. Waktu itu saya sedang melakukan kunjungan monitoring untuk melihat perkembangan kebun sayur dan juga kebun vanili masyarakat di desa Ambaidiru, Kabupaten Kepulauan Yapen, Papua. Saya melihat seorang laki-laki tengah menggendong anak dan membawa payung berwarna hijau. Dia berjalan pelan, santai. Laki-laki tersebut tersenyum dan menyapa saya ramah. Waktu itu matahari tepat diatas kepala, panas serasa membakar kulit, mungkin itulah alasan kenapa lakilaki tersebut membawa payung, ia ingin melindungi anaknya, sehingga anaknya tidak terganggu dan bisa terus tertidur lelap. Dia bercerita kalau dia baru saja dari rumah Mikael, staf penyuluh pertanian yang bekerja di KSU WMY, sebuah koperasi masyarakat lokal yang mengembangkan usaha Vanili. Istrinya sedang menjual hasil kebun di pasar, yang jaraknya cukup jauh dari kampung tersebut, dan dia tinggal menjaga rumah dan mengasuh anak. Istrinya baru akan pulang dari pasar sore hari. Jemarinya yang kasar dan kekar dikarenakan setiap hari bekerja di ladang merangkul anaknya dari balik kain gendongan dengan lembut. Ia tidak malu berjalan di kampung sambil menggendong anak dan membawa payung. Sulit bagi saya percaya dengan apa yang saya lihat. Laki-laki Papua di desa Ambaidiru yang saya temui mencengangkan saya. Mereka ikut melakukan pengasuhan. Tidak hanya ketika istri berjualan di pasar, tetapi mereka juga ikut mengasuh anak ketika istri ada di rumah. Mereka menjaga anak ketika istri sedang sibuk memasak di dapur, atau mereka juga ikut mengasuh anak ketika bekerja bersama-sama dengan istri di kebun. Dan dari informasi yang saya dapatkan, tingkat KDRT di desa tersebut sangat rendah. Konsumsi alkohol rendah, sehingga hampir tidak ditemui laki-laki mabuk di desa tersebut. Laki-laki dan perempuan sama-sama bekerja di kebun. Di pagi hari, kita akan menjumpai banyak rumah yang kosong karena banyak yang bekerja di kebun, dan kebunnya berjarak cukup jauh dari rumah. Bagi yang memiliki kebun dekat dari rumah, mereka akan pulang ke rumah di siang hari, tetapi bagi yang kebun jauh dari rumah mereka baru akan pulang di sore hari, atau ada juga yang bermalam di kebun dengan tenda sederhana terbuat dari plastik terpal. Sehingga jika melakukan pertemuan dengan petani laki-laki dan perempuan, pertemuan tersebut harus diselenggarakan di malam hari. Agak sedikit berbeda dari tempat lain yang pernah saya kunjungan, kehadiran perempuan di acara rapat desa cukup tinggi. Tak jarang rapat berlangsung hingga tengah malam dan perempuan tetap bertahan hadir dalam rapat. Perempuan tersebut mengatakan kalau desa tersebut aman, dan mereka saling menjaga satu sama lain. Laki-laki mengasuh anak, masih antara percaya dan tidak. Mungkin saja hanya satu-dua orang laki-laki yang ikut mengasuh anak, sementara laki-laki lainnya didesa tersebut mungkin tidak terlibat. Tetapi ketika saya tinggal lebih lama di desa tersebut, ketika telah menjelajahi desa, saya menemukan pemandangan yang sama bahwa laki-laki baik tua atau muda, ikut mengasuh anak atau adiknya. Pemandangan laki-laki berjalan santai di pusat desa sambil menggendong anak adalah pemandangan yang biasa. Mereka tidak malu, dan tidak merasa nilainya sebagai laki-laki jatuh. Sebaliknya mereka berjalan sambil menggendong anak dengan senyum di bibir, dengan wajah gembira, dengan mata penuh kasih menatap anak tersebut. Tidak mungkin. Sebagian yang pesimis akan sulit mempercayai. Masyarakat di desa tersebut masih hidup di lingkungan alam yang keras, jalanan buruk, bahkan ketika jalan putus masyarakat harus berjalan kaki belasan kilometer, tidak ada listrik, tidak ada sinyal telfon, dan lokasi yang terisolasi. Sebagian besar dari masyarakat juga masih menerapkan pola ladang berpindah. Liarnya alam membuat perempuan memiliki ketergantungan dengan kekuatan fisik laki-laki, misalkan, dalam menebas pohon membuka lahan baru. Dengan kondisi alam yang keras, umumnya budaya patriarki akan sangat kental, dan akan sangat jarang menemukan laki-laki yang ikut mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Tetapi laki-laki didesa ini berbeda. Hal unik lainnya, yang menjual hasil kebun ke pasar hampir semuanya dilakukan oleh perempuan. Jika laki-laki tidak memiliki istri (karena meninggal atau karena memang tidak menikah) mereka akan menitipkan hasil kebun yang akan dijual ke saudara perempuannya. Ketika yang menjual/memasarkan hasil kebun perempuan maka otomatis uang juga dikelola oleh perempuan. Sehabis berjualan perempuan akan membeli kebutuhan dapur dan kebutuhan rumah tangga lainnya. Ketika perempuan berjualan ke pasar (kota), artinya perempuan jugalah yang memegang informasi. Perempuan akan menghubungi keluarga/kerabat/saudara/anak yang tinggal di kota Papua lainnya melalui handphone, karena hanya di kotalah mereka memiliki kesempatan untuk berkomunikasi melalui telfon. Jika ada anak yang tengah berkuliah di Jayapura (ibu kota Papua) atau kota lain di pulau Jawa, maka perempuanlah yang akan ke Bank untuk mengirimkan uang kepada anaknya tersebut. Salah seorang perempuan tokoh desa bercerita tersebut kepada pernah saya, ia mengatakan kalau laki-laki di desa Ambaidiru akan merasa malu jika tidak ikut bekerja di ladang, dan mengasuh anak juga sudah menjadi hal yang wajar, tetapi dia mengatakan bahwa dengan meningkatnya pendidikan masyarakat, dengan semakin banyak anak muda yang bersekolah di kota menyebabkan terjadinya pergeseran nilai. Banyak anak yang lulus kemudian bekerja, berumah tangga dan tinggal di kota. Justru dengan tinggal di kota partisipasi laki-laki dalam mengasuh anak berkurang. Tingkat konsumsi alkohol meningkat sehingga tingkat KDRT meningkat. Tingkat perselingkuhan laki-laki juga meningkat. Sangat berbeda dengan kondisi kehidupan di desa dan hal itu membuat ia khawatir. Pengamatan saya juga memiliki kesimpulan yang sama. Hal yang sedikit kontradiktif dengan banyak temuan studi mengenai kesetaraan gender. Seperti temuan Simulja (2014) lakilaki yang memiliki gender ideologi yang gender egalitarian berbagai pengasuhan anak dengan lebih berimbang, sedangkan laki-laki dengan ideologi gender tradisional hampir tidak terlibat dalam pengasuhan anak. Dalam banyak penelitian, tingkat pendidikan berkorelasi positif dengan meningkatnya ideologi gender egalitarian. Anak laki-laki muda Ambaidiru yang memiliki pendidikan lebih tinggi harusnya lebih terlibat aktif dalam pengasuhan, bukan sebaliknya. Tetapi bagaimanapun apa yang saya tulis ini bukan hasil dari sebuah studi melainkan hanya refleksi dari sebuah pengalaman. Pengalaman selama tinggal dan berinteraksi dengan masyarakat tani tradisional di desa Ambaidiru. Tetapi akan menarik jika ada yang mengkajinya, karena hasil temuan tersebut tentunya akan bermanfaat dalam memahami partisipasi laki-laki dalam pengasuhan, yang kita harapkan meningkat. Jika laki-laki ikut mengasuh anak maka beban ganda petani perempuan akan jauh berkurang. Sudah saatnya kita juga mulai memikirkan tidak sekedar meningkatkan kapasitas perempuan tetapi bagaimana perempuan juga tidak menyandang beban lebih berat karenanya. 7/27/2016, Jakarta. Foto: Koleksi Pribadi. *hanya cerita ringan yang ditulis di waktu senggang demi saling memperkaya pengalaman (lagi mindahin koleksi foto dari komputer ke external harddisk, dan ngga sengaja menemukan foto ini, sayang jika hanya tersimpan dan tidak dibagi).