BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kesehatan

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kesehatan jiwa merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kesehatan
dan unsur utama dalam terwujudnya kualitas hidup manusia yang utuh. Apabila
kesehatan jiwa terganggu maka akan berdampak pada aktivitas fisik. Salah satu
gangguan jiwa yang banyak terjadi di Indonesia yaitu gangguan bipolar.
Gangguan bipolar adalah satu penyakit mental yang paling umum, parah, dan
presisten (Ikawati, 2011).
Gangguan bipolar terjadi tidak hanya pada orang dewasa, akan tetapi dapat
juga menyerang anak-anak maupun remaja. Prevalensi gangguan bipolar pada
usia muda dan dewasa adalah sama di Amerika Serikat (Meter dkk, 2011). Lakilaki maupun perempuan memiliki risiko yang sama terserang gangguan mental
ini, akan tetapi dalam beberapa literatur menyatakan bahwa bipolar I menyerang
laki-laki dan perempuan dengan angka kejadian yang sama, sedangkan bipolar II
lebih banyak terjadi pada perempuan (Bauer dan Pfennig, 2005). Data mengenai
gz angguan bipolar di Indonesia masih terbatas, sehingga belum diketahui secara
pasti seberapa besar prevalensi gangguan tersebut di Indonesia.
Gangguan bipolar bersifat melumpuhkan, rekuren dan episodik, serta
memiliki prevalensi dan tingkat mortalitas yang tinggi. Pasien mengalami episode
mania, hipomania, atau depresi mayor secara bergantian. Tingginya mortalitas
dikarenakan hampir semua penderita gangguan bipolar mempunyai keinginan
1
2
untuk melakukan tindakan bunuh diri. Selain itu, adanya remisi dari episode akut
pasien, memiliki risiko yang tinggi terjadinya relaps selama satu periode sampai
enam bulan. Sehingga kondisi ini membutuhkan terapi pemeliharaan (Hirschfeld
dkk, 2010).
Terapi pemeliharaan direkomendasikan mengikuti episode mania, namun
pemberian obat tergantung pada kondisi pasien dan episode bipolar yang sedang
berlangsung. Penggunaan obat secara empirik mendukung terapi pemeliharaan
meliputi penggunaan mood stabilizer seperti litium, valproat, sebagai alternatif
dapat digunakan lamotrigin, atau okskarbazepin. Pasien yang kurang berespon
membutuhkan
penambahan
antipsikotik
atau
antidepresan
dalam
terapi
pemeliharaan (Hirschfeld dkk, 2010). Penggunaan obat-obat tersebut menjadi
bervariasi tergantung episode dan kondisi pasien, sehingga pasien yang kurang
berespon terhadap monoterapi akan diberikan kombinasi untuk mengoptimal
respon terapi dan mencegah terjadinya kekambuhan.
Obat-obat yang digunakan dalam terapi bipolar cenderung memiliki harga
mahal. Tidak semua obat-obat tersebut masuk dalam daftar obat yang dibiayai
oleh asuransi kesehatan atau pemerintah sehingga untuk pasien yang berasal dari
kalangan kurang mampu secara ekonomi menjadi suatu kendala dalam
mendapatkan perawatan. Hal ini dapat memicu terjadinya ketidakpatuhan pasien
dalam menggunakan obat. Dampak selanjutnya jika pasien tidak mendapat
pengobatan maka akan memperparah kondisi pasien gangguan bipolar.
3
Penelitian dilakukan untuk mengetahui bagaimana fenomena gangguan
bipolar di Yogyakarta khususnya menegnai gambaran karakteristik pasien serta
pola pengobatan yang digunakan pasien rawat jalan gangguan bipolar yang
mendapat perawatan dari Rumah Sakit Jiwa Grhasia pada tahun 2014. Hasil dari
penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam menyusun,
mengevaluasi atau memperbaiki tatalaksana terapi gangguan bipolar di rumah
sakit terkait.
Penelitian dilakukan di Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Grhasia Yogyakarta
karena merupakan salah satu rumah sakit jiwa di Yogyakarta yang menjadi
rujukan utama untuk pasien gangguan jiwa. Berdasarkan informasi yang diperoleh
dari rumah sakit tersebut, jumlah pasien rawat jalan gangguan bipolar lebih
banyak dibandingkan pasien rawat inap, maka penelitian dilakukan pada pasien
rawat jalan.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang, maka dapat dibuat rumusan masalah :
1. Bagaimana karakteristik pasien gangguan bipolar rawat jalan RSJ Grhasia
Yogyakarta tahun 2014 yang meliputi usia dan jenis kelamin, diagnosis,
riwayat kontrol, frekuensin kontrol, riwayat inap, domisili serta sistem
pembayaran obat pasien?
2. Bagaimana pola pengobatan pada pasien rawat jalan gangguan bipolar di RSJ
Grhasia Yogyakarta tahun 2014?
4
C. Tujuan Penelitian
1. Mengetahui karakteristik pasien gangguan bipolar rawat jalan RSJ Grhasia
Yogyakarta tahun 2014 yang meliputi usia dan jenis kelamin, diagnosis,
riwayat kontrol, frekuensi kontrol, riwayat inap, domisili serta sistem
pembayaran obat pasien.
2. Mengetahui pola pengobatan pada pasien rawat jalan gangguan bipolar di RSJ
Grhasia Yogyakarta tahun 2014.
D. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian diharapkan memberikan manfaat sebagai berikut:
1. Bagi peneliti:
Meningkatkan pengetahuan tentang farmasi dan kesehatan serta sebagai
sarana untuk mengaplikasikan dan mengembangkan ilmu yang diperoleh.
2. Bagi rumah sakit:
a. Sebagai salah satu informasi gambaran penggunaan obat pada pasien rawat
jalan di rumah sakit tersebut.
b. Sebagai masukan dalam menyusun atau memperbaiki penatalaksanaan
terapi gangguan bipolar di rumah sakit.
5
E. Tinjauan Pustaka
1. Gangguan Bipolar
a. Definisi
Gangguan bipolar adalah suatu penyakit gangguan suasana hati (mood)
atau perasaan yang sangat ekstrim dengan dua kutub deresi (perasaan sedih
berlebihan) dan mania (perasaan bahagia berlebihan) yang menggangu fungsi
sosial individu dan merupakan pemicu kuat upaya bunuh diri penderitanya.
Penyakit ini termasuk penyakit otak yang menyebabkan perubahan-perubahan
yang tidak biasa pada suasana hati, energi, aktivitas, dan kemampuan untuk
melakukan tugas-tugas harian. Perasaan mereka mudah naik dan turun secara
berlebihan bila dibandingkan manusia normal pada umumnya (WHO, 2013).
Diagnostic and Statistical Manual of Disorder V Text Revision (DSM-V
TR) mengklasifikasikan gangguan bipolar menjadi :
1) Gangguan bipolar I : terjadi episode mania, dimana episode mania dapat
didahului dan atau diikuti episode depresi mayor.
2) Gangguan bipolar II: Kriteria diagnosis berdasarkan riwayat hipomania
terdahulu atau yang terjadi saat ini dengan adanya riwayat depresi mayor
atau yang terjadi saat ini.
3) Siklotimik
4) Bipolar yang terinduksi oleh substansi kimia atau obat-obatan
5) Bipolar yang mengakibatkan penyakit lain
6
6) Bipolar spesifik lainya
b. Epidemiologi
Penelitian dahulu mendapatkan prevalensi seumur hidup untuk
gangguan bipolar sekitar 1%, namun yang terhitung didalamnya hanyalah
gangguan klasik dari manik-depresi (tipe bipolar I). Setelah muncul
diagnosis bipolar II (depresi dengan hipomania), prevalensi menjadi
minimal 5%. Penelitian National Comorbidity Study yang dilakukan di
Amerika Serikat menunjukan prevalensi seumur hidup diperkirakan 0.4%
untuk bipolar I, 0,6% untuk bipolar II. Prevalensi pada keseluruhan polusi
sekitar 1-5% (Bauer dan Pfennig, 2005). Jenis kelamin ditemukan, usia,
status pernikahan, faktor sosial-ekonomi dan budaya, serta komorbiditas
merupakan bagian yang bermakna dalam studi epidemiologi gangguan
bipolar.
Gangguan bipolar I terjadi pada pria maupun wanita dengan jumlah
yang hampir sama, sedangkan gangguan bipolar II lebih banyak terjadi
pada wanita (Dryton dan Weinstein, 2008). Walaupun demikian, episode
mania lebih umum pada pria, sedangkan episode depresi pada wanita.
Gangguan bipolar I umumnya muncul lebih dini dibandingkan gangguan
depresi.
Penelitian Dr. Ghanshyam pandey beserta timnya dari University of
Iilinois, Chicago, menemukan bahwa 9 dari 17 remaja yang meninggal
akibat bunuh diri memiliki sejarah gangguan mental. Salah satu gangguan
7
mental yang bisa membawa seseorang menuju pada keputusan bunuh diri
adalah gangguan bipolar (WHO, 2013).
c. Etiologi
Sampai sekarang ini belum ada teori yang dapat membuktikan secara
jelas bagaimana terjadinya gangguan bipolar. Namun ada beberapa faktor
yang berkontribusi, antara lain faktor biologis (neutrotransmiter, sistem
second messenger, neuroendokrin, dan neuroanatomi), faktor genetik, dan
faktor psikososial.
1) Faktor Biokimia
Sejumlah besar penelitian telah melaporkan berbagai kelainan di
dalam metabolit amin biogenik di dalam darah, urin, dan cairan
serebrospinalis pada pasien gangguan mood. Amin biogenik (norepinefrin
dan serotonin) merupakan dua neurotransmiter yang paling berperan
dalam patofisiologis gangguan mood (Kaplan dkk, 1997). Apabila
norepinefrin (NE) dan epinefrin mengalami penurunan kadar NE dan
epinefrin mengakibatkan depresi, sebaliknya peningkatan kadar keduanya
menyebabkan mania (Ikawati, 2011).
Serotonin merupakan neurotransmiter aminergik yang paling sering
dihubungkan dengan depresi. Penurunan serotonin dapat menyebabkan
depresi. Pada beberapa yang bunuh diri memiliki konsentrasi metabolit
seretonin yang rendah di cairan serebrospinalnya. Selain kedua senyawa di
atas, ada dopamin yang memiliki peranan dalam depresi dan mania pula.
8
Data menunjukan aktivitas dopamin yang menurun pada depresi dan
meningkat pada mania (Kaplan dkk, 1997).
2) Faktor Genetik
Sebanyak 80-90% pasien dengan gangguan bipolar memiliki riwayat
keluarga yang juga memiliki gangguan mood (misal, gangguan bipolar,
depresi, siklotomia, atau dystymia). Keluarga keturuunan pertama pasien
dengan gangguan mood dan 5%-15 memiliki risiko langsung mengalami
gangguan bipolar (Dryton dan Weinstein, 2008).
Pada penelitian anak kembar (penelitian ini merupakan penelitian
paling bermakna untuk memisahkan faktor genetik dan lingkungan)
ditemukan kemungkinan anak kembar lainya untuk menderita gangguan
mood (bipolar atau unipolar) 70-90% untuk kembar monozigot dan 1635% untuk kembar dizigot (Sadock, 2007).
3) Faktor Psikososial
Sebuah teori menjelaskan keadaan stres muncul terlebih dahulu
daripada gangguan depresi maupun gangguan bipolar yakni peristiwa stres
menyebabkan perubahan jangka panjang pada biologis otak (Sadock,
2007). Perubahan ini menyebabkan gangguan fungsional dari kontak
sinaps. Pada akhirnya perubahan ini menyebabkan orang tersebut berisiko
tinggi untuk mengalami episode gangguan mood, walaupun stressor
eksternal.
9
Terdapat fakta bahwa gangguan bipolar bersifat menurun kepada
generasinya berdasarkan etiologi biologik. Lima puluh persen pasien
bipolar memiliki satu orang tua dengan gangguan perasaan/gangguan
efektif, yang tersering unipolar (depresi saja). Jika seorang orang tua
mengidap gangguan bipolar maka 75% anaknya memiliki risiko mengidap
gangguan mood.keturunan pertama dari seseorang yang menderita
gangguan bipolar berisiko menderita gangguan serupa sebesar 7 kali.
Bahkan risiko pada anak kembar sangat tinggi terutama pada kembar
monozigot (40-80%), sedangkan kembar dizigot lebih rendah, yakni 1020% (Andra, 2008).
d. Patofisiologi
Beberapa teori telah diusulkan berkaitan dengan patologi gangguan
jiwa. Penelitian terhadap hubungan genetik menyatakan bahwa multipel
lokus gen dapat mempengaruhi hereditas gangguan jiwa. Lingkungan atau
psikososial stressor,defisiensi nutrisi, infeksi, reaksi imunologi, gangguan
tidur,
gangguan
neurotransmitter,
ritme
sirkadian
hormon,
fungsi
dapat
menyebabkan
endokrin,
disregulasi
neuropeptida,
kation,
intraseluler second messenger, dan jalur transduksi sinyal (Dryton dan
Weinstein, 2008).
Kindling and Behavior Sensitization model menyatakan postulat
bahwa psikososial stressor dapat mengakibatkan episode mania atau
depresi karena variasi jaringan otak yang tersensitisasi akan mengalami
10
pembesaran dan terjadi reaksi skunder secara spontan yang mengakibatkan
ketidakseimbangan
atau
disregulasi
dari
neurotransmiter
serta
abnormalitas voltase kanan ion. Disregulasi antara neurotransmiter,
neuropeptida, hormon dan second messenger dapat mengakibatkan
gangguan siklus ritme sirkadian pada sistem saraf pusat. Abnormalitas
homeostatis kalsium, kalium, dan natrium dapat mengubah pengeluaran
neurotransmitter dan sistem second messenger (Dryton dan Weinstein,
2008).
Hipotesis katekolamin pada gangguan jiwa menyatakan bahwa
peningkatan aktivitas dopamin dan norepinefrin berperan hiperaktivitas
dan psikotik dengan tingkat mania yang parah serta dapat menurunkan
aktivitas pada depresi. Teori difisiensi GABA (y-aminobutyric acid) telah
menyatakan bahwa mania terjadi sebagai akibat dihambatnya aktivitas
norepinefrin dan dopamin. Glutamat dan asparat menjadi overaktif dan
mengakibatkan
episode
manik.
Kurangnya
aktifitas
kolinergenik
menyebabkan mania dan asetilkolin yang over aktif menyebabkan depresi.
Asetilkolin merupakan antagonis dari katekolamin dan berkontribusi pada
interaksi
antara
sistem
second
messenger
fosfstidilinositol
dan
fosfatidilkolin (Dryton dan Weinstein, 2008).
e. Prognosis
Gangguan bipolar dapat semakin parah dan dalam waktu yang lama
atau dapat terjadi ringan dengan frekuensi terjadinya episode ditunjukan
11
dengan gejala yang berbeda. Pasien dengan gangguan bipolar rata-rata
mengalami 8-10 episode mania atau depresi sepanjang hidupnya. Namun,
pada beberapa orang dapat lebih atau kurang.
Pasien gangguan bipolar memiliki angka kematian yang tinggi akibat
bunuh diri dari sebagian besar populasi. Suatu penelitian melaporkan
bahwa 18% pasien bipolar meninggal akibat bunuh diri. Sekitar 75%
pasien bipolar bunuh diri terjadi pada saat episode depresi. Pasien yang
melakukan terapi menunjukan peningkatan angka pertahanan hidup dari
risiko bunuh diri (Anonim, 2009).
f. Manifestasi klinis
Hal-hal yang menonjol dari gangguan bipolar adalah riwayat mania
atau hipomania yang tidak disebabkan oleh beberapa kondisi medis, zat
kimia, atau gangguan psikiatrik. Konsep baru pada spektrum gangguan
bipolar telah disarankan untuk lebih luas meliputi dysthymia, siklotimik,
obat yang menginduksi hipomania, serta kekambuhan pada depresi
unipolar. Gangguan bipolar merupakan gangguan siklus keadaan jiwa
dimana pasien dapat berpindah dari satu episode ke episode lainya dengan
atau tanpa periode normal. Seseorang dengan gangguan bipolar terjadi
keadaan jiwa yang fluktuatif selama beberapa bulan atau setelah satu
episode mereka dapat tidak terjadi kekambuhan selama berberapa tahun
pada beberapa tipe episode mood. Penyakit gangguan psikiatrik lain yang
dapat berasosiasi dengan bipolar antara lain adalah penyalah gunaan
12
alkohol dan obat-obatan, gangguan personal, gangguan kecemasan seperti
gangguan kecemasan, gangguan kecemasan sosial, obbesive-convulsive
disorder (Dryton dan Weinstein, 2008).
g. Diagnosis
Diagnosis yang akurat penting dilakukan karena beberapa gangguan
psikiater dan neurologik terlihat hampir sama baik gejala pada mania
maupun pada depresi. Sebagai contoh hiperaktivitas dan episode mania
memiliki karakteristik yang mirip, individu dengan gangguan bipolar
dapat terjadi kesalahan diagnosis sehingga mendapat resep stimulansia
sistem saraf pusat. Penggunaan obat atau substansi yang berefek pada
sistem saraf pusat seperti alkohol, antidepresan, kafein, stimulansia sistem
saraf pusat, halusinogen atau marijuana, akan memperburuk gejala pada
mania atau depresi dan menurunkan respon terapi. Gangguan biopolar
merupakan masalah kesehatan masyarakat yang signifikan, sering kali
tidak terdiagnosis dan tidak diobati untuk jangka panjang (Sonne dan
Brady, 1995).
Gangguan bipolar bukanlah sebuah diagnosis yang mudah untuk
ditegakan karena diagnosis banding cukup banyak dan kompleks (Hilty,
2006). Penyakit lain yang hampir sama presentasinya dengan gangguan
bipolar adalah
gangguan skizoafektif. Gangguan skizoafektif ini
merupakan gangguan dari skizoafrenia dan biopolar. Pasien dengan
gangguan skizoafektif mempunyai episode mood, tetapi terdapat faktor
pembeda dengan biopolar yaitu pasien menunjukan gejala psikosis pada
13
waktu diantara episode mood. Dokter memberi pengarahan pada anggota
keluarga pasien agar mengetahui gejala apa saja yang terjadi pada pasien
ketika mengalami psikotik diantara episode mood. Hal ini akan membuat
sulit bagi dokter untuk memperoleh riwayat psikiatrik secara keseluruhan
dari pasien untuk menetapkan diagnosis skizoafektif (Dryton dan
Weinstein, 2008).
DSM-V TR memberikan kriteria dalam penegakan diagnosis gangguan
bipolar sebagai berikut :
1) Bipolar I
Ditemukan kriteria terjadinya episode mania, dimana episode mania
dapat didahului dan atau diikuti dengan episode hipomania atau
depresi mayor.
a) Episode Mania
Paling sedikit satu minggu (bisa kurang bila dirawat dirumah
sakit) pasien mengalami peningkatan mood yang elasi, ekspansif,
iritabel dan peningkatan aktivitas atau energi. Secara menetap pasien
memiliki tiga atau lebih (empat atau lebih bila memiliki iritabel) gejala
seperti grandiositas atau percaya berlebihan, berkurangnya kebutuhan
tidur, berbicara banyak, pengalaman subjektif bahwa pikiran berlomba,
distrakbilitasi (perhatian mudah beralih atau stimulus eksternal tidak
relevan), meningkatnya aktivitas yang bertujuan (sosial, pekerjaan,
14
sekolah, seksualitas) atau agitasi psikomotor, meningkatnya aktivitas
yang memiliki potensi bahaya tinggi.
b) Episode Hipomania
Pasien paling sedikit empat hari mengalami peningkatan mood
yang elasi, ekspansif, iritabel yang ringan dan peningkatan aktivitas
atau energi. Secara menetap pasien memiliki tiga atau lebih (empat
atau lebih bila hanya iritabel) gejala seperti grandiositas atau percaya
berlebihan,
pengalaman
berkurangnya
subjektif
kebutuhan
bahwa
pikiran
tidur,
berbicara
berlomba,
banyak,
distrakbilitasi
(perhatian mudah beralih atau stimulus eksternal tidak relevan),
meningkatnya aktivitas yang bertujuan (sosial, pekerjaan, sekolah,
seksualitas) atau agitasi psikomotor, meningkatnya aktivitas yang
memiliki potensi bahaya tinggi.
Episode berkaitan dengan perubahan fungsi keyakinan yang
bukan karakteristik individu ketika tidak mengalami gejala. Episode
ini tidak cukup berbahaya untuk mengganggu fungsi sosial maupun
pekerjaan, tidak rawat inap dirumah sakit. Jika gejala psikotik muncul,
maka termasuk mania. Gejala tidak diakibatkan oleh efek psikologikal
dari penyalahgunaan obat, penyakit, maupun terapi lain.
15
c) Episode Depresi Mayor
Lima atau lebih gejala muncul selama dua minggu dan
meunjukan minimal satu diantaranya depresi mood atau kehilangan
ketertarikan/kesenangan (jika jelas diakibatkan oleh kondisi medis
lain, maka tidak dimasukan dalam gejala diatas). Gejala meliputi
depresi mood hampir setiap hari (pada anak-anak dan remaja dapat
terjadi mood iritabel), kehilangan ketertarikan atau kesenangan pada
semua hal atau aktivitas hampir setiap hari, secara signifikan
kehilangan atau penambahan berat badan ketika tidak mengalami diet,
insomnia atau hipersomnia hampir setiap hari, retardasi atau agitasi
psikomotor gejala hampir setiap hari, mengalami kelelahan atau
kehilangan energi hampir setiap hari, merasa bersalah atau tidak
berharga atau tidak pantas hampir setiap hari, kehilangan kemampuan
untuk berfikir atau berkonsentrasi hampir setiap hari, memiliki
keinginan untuk bunuh diri secara berulang-ulang. Episode ini dapat
menyebabkan gangguan sosial, pekerjaan, maupun personal. Episode
tidak diakibatkan oleh efek psikologikal dari penyalahan obat,
penyakit, maupun terapi lain.
2) Bipolar II
Diagnosis berdasarkan riwayat hipomania atau yang terjadi
terdahalu atau yang terjadi saat ini dan diikuti dengan adanya riwayat
16
depresi mayor atau yang terjadi saat ini. Kriteria diagnosis episode
hipomania maupun depresi mayor sama seperti diatas.
3) Siklotimik
Minimal selama 2 tahun (pada anak-anak dan remaja minimal
satu tahun) terjadi beberapa episode dengan gejala hipomania (tetapi
bukan termasuk kriteria diagnosis hipomania) dan beberapa episode
depresi (tetapi bukan termasuk kriteria diagnosis depresi mayor).
Gejala tidak jelaskan sebagai gangguan delusi, gangguan spesifikasi
atau tidak spesifik dari skizofrenia. Episode hipomania dan depresi
muncul minimal dari waktu tersebut dan lebih dari dua bulan individu
mengalami tanpa gejala. Tidak terdapat kriteria depresi, hipomania,
dan mania. Gejala tidak diakibatkan oleh efek psikologikal
penyalahgunaan obat, penyakit, atau terapi.
4) Bipolar yang terinduksi oleh substansi kimia atau obat-obatan
Gangguan mood yang muncul dan dikarakterisasi dengan adanya
elasi, ekspansif, iritabel, tanpa ada depresi mood atau kehilangan
ketertarikan atau kesenangan terhadap semua hal atau aktifitas.
Berdasarkan riwayat, pemeriksaan fisik, atau laboratorium ditemukan
dua hal bahwa gejala pada kriteria terebut terjadi selama atau setelah
keracunan atau adanya withdrawl atau setelah terpapar obat dan obatobatan memiliki kemampuan dalam menimbulkan gejala seperti
kriteria di atas. Gangguan tidak mudah untuk didiagnosis sebagai
17
bipolar, maka perlu lebih dalam untuk menegakan diagnosis, tidak
menyebabkan terjadinya delirium, tetapi dapat menyebabkan stres,
gangguan sosial, pekerjaan, maupun personal.
5) Bipolar spesifik lainya
Karakteristik seperti bipolar yang dapat mengakibatkan gangguan
sosial, pekerjaan maupun personal, tetapi tidak ditemukan kriteria yang
penuh pada beberapa gangguan bipolar. Kategori spesifik bipolar
digunakan pada kondisi dimana tenaga medis memberikan penjelasan
ketka tidak ditemukan kriteria spesifik bipolar, misalnya hipomania
tanpa gejala dan depresi mayor, hipomania yang terjadi dalam durasi
singkat, siklotimik yang berlangsung dalam waktu singkat.
2. Terapi
Diagnosis dini dan penanganan episode mood ikut meningkatkan
prognosis dengan menurunkan risiko relaps serta meningkatkan respon dua
kali lipat terhadap medikasi (Berk dkk, 2011). Pengobatan yang diberikan
tergantung dari fase gangguan dan tingkat keparahanya.pengobatan dianjurkan
untuk diberikan pada waktu yang tidak terbatas karena resiko relaps yang
terjadi pada sepertiga pasien dalam 1 tahun pertama dan lebih 70% pasien
dalam 5 tahun. Sebelum pengobatan dilaksanakan beberapa pemeriksaan,
antara lain pemeriksaan fisik (body mass index, tekanan darah, adanya
gangguan
motorik
ekstrapiramidal)
dan
pemeriksaan
penunjang
18
(elektrokardiografi, pemeriksaan darah lengkap, gula darah puasa, fungsi liver,
dan ginjal, pemeriksaan kehamilan, tiroid, skrining toksologi pada urin).
Evaluasi mencakup penilaian risiko keamanan pasien, keluarga ataupun
orang lain yang berada disekitarnya. Pelayanan kesehatan yang menyeluruh
antara lain, membina hubungaan terapeutik dengan pasien, edukasi pasien
mengenai gangguan yang dialaminya, meningkatkan adherensi pengobatan,
mendorong pasien untuk sadar akan stresor, sadar akan tanda dini terjadinya
relaps, dan mendorong pasien dan follow-up serta edukasi pada wanita yang
menginginkan kehamilan.
a. Tujuan Terapi
Terapi dalam penanganan pasien bipolar memiliki tujan diantaranya
adalah mengurangi gejala bipolar, mencegah terjadi episode berikutnya,
meningkatkan kepatuhan pasien pada pengobatan, menghindari stressor
yang dapat memicu kejadian episode, meminimalkan adverse effects serta
mengembalikan fungsi-fungsi kehidupan menjadi normal (Dryton dan
Weinstein, 2008).
b. Algoritma Terapi
Gangguan bipolar harus diobati secara kontinu, tidak boleh putus.
Bila putus, fase normal akan memendek sehingga kekambuhan semakin
sering. Adanya fase normal pada gangguan bipolar sering mengakibatkan
buruknya compliance untuk berobat karena dianggap sudah sembuh. Oleh
19
karena itu, edukasi sangat penting agar penderita dapat ditangani lebih dini
(Israr, 2009).
Terapi pemeliharaan bagi pasien gangguan bipolar memiliki
beberapa tujuan, yaitu untuk mencegaah relaps, mengurangi risiko bunuh
diri, serta mengurangi frekuensi terjadinya cycling dan ketidakstabilan
mood. Terapi pemeliharaan umumnya direkomendasikan pada episode
mania. Pada beberapa penelitian pasien bipolar II memerlukan jaminan
untuk mendapatkan terapi pemeliharaan dengan mempertimbangkan
kondisi penyakit tersebut (Hirschfeld dkk, 2010).
Tabel I. Rekomendasi Terapi Rumatan Gangguan Bipolar I
Lini I
Lini II
Lini III
Tidak
direkomendasikan
litium, lamotrigin monoterapi, divalproat, olanzapin,
quetiapin, litium atau divalproat + quetiapin, risperidon
injeksi jangka panjang (RIJP), aripirazol
karbamazepin,litium + divalproat karbamazepin, litium
atau divalproat + olanzapin, litium + lomotrigin,
olanzapin + fluoksetin
penambahan
fenitoin,
penambahan
olanzapin,
penambahan Electroconvulsive Therapy (ECT),
penambahan topiramat, penambahan asam lemak
omega-3, penambahan okskarbazepin
gabapentin, topiramat atau antidepresan monoterapi
(Sumber : Perhimpunan Dokter Spesialis Jiwa Indonesia, 2010)
Obat yang digunakan dalam terapi pemeliharaan meliputi litium dan
valproat, sedangkan alternatif terapi menggunakan lamotrigin atau
karbamazepin atau okskarbazepin. Jika salah satu obat tersebut digunakan
dalam mencapai remisi dari episode depresi atau mania, umumnya obat
tersebut digunakan secara berkelanjutan. Tahap pemeliharaan dengan
20
electroconvulcive therapy (ECT) juga dapat dipertimbangkan untuk pasien
episode akut yang merespon ECT (Hirschfeld dkk., 2010).
Bagi pasien yang mendapat terapi antipsikotik selama episode akut
sebelumnya, pengguanaan antipsikotik yang sedang berlangsung perlu
ditinjau kembali setelah memasuki terapi pemeliharaan, antipsikotik harus
dihentikan kecuali diperlukan untuk mengendalikan psikotik presisten atau
untuk profilaksis terhadap kekambuhan. Terapi dengan antipsikotik
atipikal belum memiliki bukti bahwaa obat-obat tersebut memiliki khasiat
yang sebanding dengan litium atau valproat dalam terapi pemeliharaan
(Hirschfeld dkk, 2010).
Tabel II. Rekomendasi Terapi Rumatan Gangguan Bipolar II
Lini I
Lini II
Lini III
Tidak
direkomendasikan
litium, lamotrigin
divalproat, litium atau divalproat atau
antipsikotika
atipikal
+
antidepresan,
kombinasi dua dari : litium, lamotrigin,
divalproat, atau antipsikotik atipikal
karbamazepin, antipsikotik atipikal, ECT
Gabapentin
(Sumber : Perhimpunan Dokter Spesialis Jiwa Indosnesia, 2010)
Agen untuk penggunaan jangka panjang disbut mood stabilizer yang
idealnya dapat mencegah kekambuhan pada kedua kutup dari gangguan
bipolar. Pilihan terapi jangka panjangyaitu litium monoterapi yang efektif
digunakan pada relaps mania maupun depresi. Terapi jangka panjang
umumnya dan litium pada khususnya ditujukan untuk mengurangi risiko
terjadinya tindakan bunuh diri dari pasien bipolar. Efek samping dari litium
21
seperti mulut kering, jerawat, nyeri otot, temperatur badan turun yang tidak
nyaman, kuku atau rambut rapuh (NIMH, 2012).
Jika pasien gagal dalam menggunakan monoterapi dan terjadi relaps
maka perlu dilakukan kombinasi terapi jangka panjang. Apabila gejala lebih
mengarah ke mania dilakukan kombinasi antimania antara lain litium,
valproat, antipsikotik. Namun apabila gejala lebih mengarah ke depresi
maka diberikan lamotrigin atau quetiapin. Pada bipolar I, lamotrigin
biasanya
dikombinasikan
dengan
antimania
agen
jangka
panjang.
Lamotrigin dan quetiapin efektif sebagai monoterapi dalam bipolar II
(Goodwin, 2009).
Pada
kasus
rapid
cycling
perlu
dilakukan
identifikasi
dan
memanajemen kondisi pasien seperti hipotiroidisme atau penyalahgunaan
senyawa yang dapaat menyebabkan cycling. Terdapat sedikit data sebagai
dasar terapi inisiasi ekstrapolasi atau sebagai analisis sekunder terhadap data
efikasi akut dan jangka panjang dari pasien bipolar I secara umum. Beberapa
pasien membutuhkan terapi kombinasi serta perlu dilakukan evakuasi
terdapat efek dari anti-cycling selama 6 bulan atau lebih dengan mengikuti
perkembangan mood (Goodwin, 2009).
Antikonvulsan digunakan seperti mood stabilizer. Kegunaan utamanya
untuk terapi kejang, namun juga membantu dalam mengontrol mood.
Antikonvulsan yang bisa digunakan meliputi asam valproat, lamotrigin,
gabapentin, topiramat, dan okskarbazepin. Pasien yang mendapat terapi
22
antikonvulsan harus dilakukan monitoring penggunanaanya pada gejala
depresi, tindakan atau keinginan untuk bunuh diri, serta perubahan mood.
Pasien tidak disarankan merubah dosis sendiri tanpa pengawasan dari dokter
maupun apoteker (NIMH, 2012).
Tabel III. Panduan Obat-Obatan Bipolar Berdasarkan Formularium Nasional
Nama Obat
Dosis
Keterangan
Litium Karbonat
Tablet 200 mg, 400 mg
Harus dilakukan pemeriksaan fungsi
ginjal dan monitoring kadar litium. Efek
samping : tremor, poliuria, polidipsi,
peningkatan beraat badan,gangguan
kognitif,gangguan saluran cerna ,
rambut rontok, leukositosis, jerawat,
dan edema
Valproat
Tablet salut 250 mg,
tablet SR 500 mg, tablet
salut enterik 200 mg.
Efek samping : nyeri pada saluran
cerna, peningkatan ringkan enzim hati,
tremor, dan sedasi.
Tablet SR 200 mg
Untuk pasien bipolar yang tidak
memberikan respon terhadap pemberian
litium atau valproat, efek samping:
lelah, mual, diplopia, pandangan kabur,
dan ataxia.
Quetiapin
Risperidon
Tablet salut 1 mg, 2 mg,
tablet 3 mg
Olanzapin
Tablet salut 5 mg, 10 mg
Amitriptilin
Tablet salut 25 mg
Fluoksetin
Kapsul 10 mg
Maprotilin
Tablet salut 25 mg, 50 mg
Sentralin
Tablet salut 50 mg
Adjuntive treatment pada kasus bipolar
yang tidak memberikan respon terhadap
pemberian litium atau valproat
Efek
samping
:
rash
kulit,
hipersensitifitas,
sindrom
steven
johnshon, toksik epidermal nekrolisis
Adjuntiv treatment pada kasus bipolar
yang tidak memberikan respon terhadap
pemberian litium valproat
Untuk depresi mayor
(Sumber : Anonima, 2013)
23
Antipsikotik atipikal diberikan untuk menangani gejala gangguan
bipolar dan bersama obat lain seperti antidepresan. Antipsikotik atipikal
yang digunakan meliputi olanzapin, aripiprazol, quetiapin. Efek dari
antipsikotik ini seperti menggigil , penglihatan yang kabur, peningkatan
denyut jantung, kulit kasar, sensitif terhadap cahaya matahari, serta
gangguan menstruasi pada perempuan. Selain itu juga dapat meningkatkan
berat badan pasien akibat perubahan metabolisme (NIMH, 2012).
Antidepresan beberapa diantaranya digunakan dalam menangani gejala
depresi pada gangguan bipolar. Fluoxetin, paroxetin, sertralin, bupropion
merupakan contoh antidepresan yang diresepkan untuk pasien bipolar.
Penggunaan antidepresan saja dapat meningkatkan risiko perubahan mood.
Oleh karena itu, dokter memberikan kombinasi dengan mood stabilizer.
Efek samping antidepresan antara lain sakit kepala, mual, agitasi, masalah
seksual (NIMH, 2012).
F. Keterangan Empiris
Penelitian ini dapat memberikan informasi mengenai karakteristik dan pola
pengobatan pasien meliputi umur dan jenis kelamin pasien, diagnosis, riwayat
kontrol, frekuensi kontrol, riwayat rawat inap, sistem pembayaran obat, jenis obat,
penggunaan obat pasien baik secara monoterapi maupun kombinasi, perubahan
penggunaan obat, frekuensi penggunaan dosis, serta penggunaan obat lainnya
pada pasien bipolar rawat jalan.
Download